IDENTIFIKASI PRODUKTIVITAS INDUK DOMBA YANG DIGEMBALAKAN SEBAGAI DASAR KRITERIA SELEKSI DI UNIT PENDIDIKAN PENELITIAN DAN PETERNAKAN JONGGOL INSTITUT PERTANIAN BOGOR (UP3J-IPB)
JARMUJI
PROGRAM STUDI ILMU TERNAK SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Produktivitas Induk Domba yang Digembalakan Sebagai Dasar Kriteria Seleksi di Unit Pendidikan Penelitian dan Peternakan Jonggol Institut Pertanian Bogor (UP3J-IPB) merupakan karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, ...Juni 2008
Jarmuji
ABSTRACT JARMUJI. Identification of Ewe Productivity Grazed for Basic Selection in The Jonggol Animal Science Teaching and Research Unit (JASTRU), supervised by CECE SUMANTRI and SRI SUPRAPTINI MANSJOER. Local sheep is one of the animal genetic resources which is potential to be developed in supporting national meat supply. Local sheep has some superiorities such as twinning birth, early mature age and non seasonally breeding. Nevertheless, instead of these superiority, some problem still occurred as lacking of lamb survivability rate, low carcass percentage and high variances both genotype and phenotype parameters. The objectives of this study were to find the relationship between ewe age and its productivity, and ewe body measurements and its milk yield on grazing system. This study was conducted in the Jonggol Animal Science Teaching and Research Unit (JASTRU), Singasari Village, Bogor District, from June up to November 2007. As many 100 lactating ewes, on 1 to 4 years of age, were used in this study. Sheep were reared on grazing system from 9 a.m. to 4 p.m. and housed at night. The results showed that ewe age highly significant affected the body weight after lambing (p<0,01), milk yield (p<0,01), total birth weight (p<0,01) and total weaning weight (P<0,01) but did not significant for litter size. Breast circle, udder base circle, and udder height showed strong relationship in predicting 3 to 5 year ewe milk yield (p<0,01). The most productive ewes was 3 to 4 year ewes group. Key words: jonggol, sheep, udder size, milk yield, weaning weight.
RINGKASAN
JARMUJI. Identifikasi Produktivitas Induk Domba yang Digembalakan sebagai Dasar Kriteria Seleksi di Unit Pendidikan, Penelitian dan Peternakan Jonggol Institut Pertanian Bogor (UP3J-IPB), dibimbing oleh CECE SUMANTRI dan SRI SUPRAPTINI MANSJOER. Domba lokal merupakan salah satu sumber daya genetik ternak yang berpotensi dikembangkan dalam penyediaan daging nasional. Domba lokal memiliki beberapa keunggulan di antaranya kemampuan melahirkan anak kembar, umur dewasa kelamin cepat dan beranak sepanjang tahun. Namun kondisi ini masih dihadapkan pada beberapa masalah seperti kurangnya daya tahan hidup anak domba dalam mencapai usia sapih, persentase karkas yang rendah dan tingkat keragaman genotip maupun fenotip yang tinggi. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan informasi hubungan umur induk terhadap produktivitasnya dan hubungan antara ukuran-ukuran tubuh induk dengan produksi susu dengan sistem digembalakan. Penelitian ini dilakukan di Unit Pendidikan, Penelitian dan Peternakan Jonggol Institut Pertanian Bogor (UP3J-IPB) Desa Singasari Kabupaten Bogor pada bulan Juni-Nopember 2007. Sebanyak 100 ekor induk domba UP3J umur 1,0-4,0 tahun dalam kondisi laktasi digunakan dalam penelitian ini. Pemeliharaan domba dilakukan dengan cara digembalakan dalam pastura pada pukul 09.00-16.00 dan dikandangkan pada malam hari. Hasil penelitian menunjukkan umur induk berpengaruh sangat nyata terhadap bobot badan induk setelah melahirkan (p<0,01), produksi susu (p<0,01), total bobot lahir (p<0,01) dan total bobot sapih (p<0,01), namun tidak berpengaruh nyata terhdap jumlah anak sekelahiran. Lingkar dada, lingkar pangkal ambing dan dalam ambing sangat nyata memiliki hubungan yang kuat dalam menduga produksi susu induk umur 3-5 tahun (P<0,01). Produktivitas induk tertinggi diperoleh pada kelompok domba umur 3,0-4,0 tahun. Kata kunci: jonggol, domba, ukuran ambing, produksi susu, bobot sapih.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm dan sebagainya
IDENTIFIKASI PRODUKTIVITAS INDUK DOMBA YANG DIGEMBALAKAN SEBAGAI DASAR KRITERIA SELEKSI DI UNIT PENDIDIKAN PENELITIAN DAN PETERNAKAN JONGGOL INSTITUT PERTANIAN BOGOR (UP3J-IPB)
JARMUJI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ternak
PROGRAM STUDI ILMU TERNAK SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Penelitian : Identifikasi Produktivitas Induk Domba yang Digembalakan sebagai Dasar Kriteria Seleksi di Unit Pendidikan Penelitian dan Peternakan Jonggol Institut Pertanian Bogor (UP3J-IPB). Nama : Jarmuji NRP : D051060041 Program Studi : Ilmu Ternak
Disetujui : Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc Ketua
Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer Anggota
Diketahui Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian: 11 Juli 2008
Tanggal Lulus:
2008
PRAKATA Syukur alhamdullilah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat, karunia dan pertolongan yang diberikan Tesis dengan Judul “Identifikasi Produktivitas Induk Domba Digembalakan sebagai Dasar Kriteria Seleksi di Unit Pendidikan Penelitian dan Peternakan Jonggol Institut Pertanian Bogor (UP3JIPB)” dapat diselesaikan. Tesis ini disusun berdasarkan data yang diperoleh melalui pengukuran dilapangan. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dasar mengenai produktivitas dan kriteria seleksi induk domba UP3J sehingga akan dapat digunakan sebagai informasi dalam penyusunan program pemuliaan dan pengembangan domba lokal di UP3J-IPB. Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc dan Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan motivasi penulis, sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada staf dan karyawan UP3J, teman-teman yang banyak membantu pengambilan data di lapangan. Terimakasih penulis sampaikan kepada istri dan, ananda tercinta, serta seluruh keluarga yang telah memberi segala doa dan kasih sayang. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, 2008
Jarmuji
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan pada tanggal 09 Oktober 1978. Tahun 1996 penulis lulus dari SMA Kristen YPKSS Kabupaten Ogan Komering Ulu dan pada tahun yang sama lulus seleksi ujian seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB) di Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Penulis bekerja sebagai staf pengajar Universitas Bengkulu jurusan Peternakan sejak tahun 2005 dan diberi kesempatan melanjutkan pendidikan pada program studi ilmu ternak sekolah pascasarjana Institut Pertanian Bogor sejak tahun 2006. Sebelumnya penulis bekerja di PT Agricinal Sebelat Bengkulu sebagai Staf Integrasi Ternak Sapi-Sawit dari tahun 2001-2004. Penulis menikah dengan Wardhaniasih S.Pd tahun 2002 dan telah dikaruniai seorang putra bernama Adham Aji Nugraha Ningtyas.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
vii
DAFTAR PERSAMAAN ................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
ix
PENDAHULUAN ............................................................................................ Latar Belakang .......................................................................................... Tujuan Penelitian............................................................................... ........ Manfaat Penelitian............................................................................... ...... Kerangka Pikir Penelitian.................................................................. ........
1 1 3 3 3
PUSTAKA........................................................................................................ 4 Domba Lokal di Indonesia........................................................................ 4 Sejarah.................................................................................................. 4 Domba Ekor Tipis Jawa.............................................................. .......... 5 Domba Priangan................................................................................... . 6 Domba Ekor Sumatra.................................................................... ........ 7 Domba Ekor Gemuk.......................................................................... .... 7 Produktivitas Domba................................................................................... 8 Pertumbuhan......................................................................................... . 8 Jumlah Anak Sekelahiran.................................................................... 10 Produksi Susu.................................................................................... .... 10 Bobot Lahir............................................................................................ 13 Bobot Sapih........................................................................................ ... 14 Daya Hidup............................................................................................ 16 Karakteristik Padang Penggembalaan....................................................... 16 BAHAN DAN METODE......................................................................... ....... Tempat dan Waktu .................................................................................... Bahan dan Alat .......................................................................................... Pendataan dan Identifikasi Domba Penelitian .......................................... Peubah yang Diamati................................................................................ Analisis Data ................................................................................................
18 18 18 18 19 21
HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................................... Keadaan Umum Lokasi ............................................................................. Manajemen Pemeliharaan ........................................................................ Dinamika populasi............................................................................... .. Kandang Ternak .................................................................................... Sistem Penggembalaan .......................................................................... Kapasitas Tampung Padang Penggembalaan...................................... .. Kesehatan.......................................................................................... .... Perkawinan........................................................................................... .
23 23 26 26 28 30 32 34 35
Produktivitas Domba UP3J..................................................................... ... Ukuran Tubuh........................................................................................ Bobot Badan Induk setelah Melahirkan .......................................... . Jumlah Anak Sekelahiran..................................................................... . Produksi Susu................................................................................... Komposisi Nutrisi Air Susu.................................. ................................ Total Bobot Lahir............................................................................... Total Bobot Sapih .............................................................................. Daya Hidup Anak Domba Periode Lahir sampai Sapih...................... Korelasi Ukuran Tubuh Induk dengan Produsi Susu........................ BAHASAN UMUM....................................................................................... Unit Pendidikan, Penelitian dan Peternakan Jonggol Institut Pertanian Bogor (UP3J-IPB) sebagai Sentra Bibit Domba..................
36 37 39 40 44 49 51 54 56 59 62 62
SIMPULAN......................................................................................................... 66 SARAN DAN REKOMENDASI............................................................ ............ 66 DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
1. Rataan dan Simpangan Baku Bobot Badan Domba Lokal Jantan dan Betina Dewasa Umur 2-3 Tahun pada Lokasi yang Berbeda....................
5
2. Komposisi Fisik dan Kimia Air Susu Ternak Ruminansia ......................
11
3. Umur Domba Berdasarkan Pergantian Gigi ...............................................
19
4. Kondisi Iklim di UP3J ................................................................................
24
5. Struktur Populasi Ternak Domba di UP3J.......................................... .......
28
6. Struktur Populasi Ternak Kerbau dan Sapi di UP3J...................................
28
7. Rataan dan Koefisien Keragaman Ukuran Tubuh Domba Jonggol Betina pada Umur yang Berbeda................................................................
37
8. Rataan dan Koefisien Keragaman Bobot Badan Induk setelah Melahirkan Berdasarkan Umur Induk..................................... .......
39
9. Distribusi Jumlah Anak Sekelahiran Berdasarkan Umur Induk............ ....
41
10. Rataan dan Simpangan Baku Produksi Susu Induk Berdasarkan Jumlah Anak Menyusui......................................................... .....................
47
11. Rataan dan Koefisien Keragaman Produksi Susu Induk Berdasarkan Umur Induk.......................................................... ......................................
48
12. Komposisi Nutrisi Susu Domba UP3J.......... ............................................
50
13. Rataan dan Koefisien Keragaman Total Bobot Lahir Berdasarkan Umur Induk................................................................. ..........
52
14. Rataan dan Koefisien Keragaman Total Bobot Sapih Berdasarkan Umur Induk.......................................................... .................
54
15. Rataan dan Koefisien Keragaman Daya Hidup Anak Domba Periode Lahir sampai Sapih Berdasarkan Jenis Kelamin..... ......................
56
16. Rataan dan Koefisien Keragaman Daya Hidup Anak Domba Periode Lahir sampai Sapih Berdasarkan Tipe Kelahiran.........................
57
17. Rataan dan koefisien Keragaman Daya Hidup Anak Domba Periode Lahir sampai Sapih Berdasarkan Umur Induk......................
58
18. Nilai Korelasi Ukuran Tubuh Induk terhadap Produksi Susu pada Umur yang Berbeda....................................................................................
60
19. Kriteria Seleksi Domba UP3J Betina Umur 1,0-1,5 Tahun.............. .........
63
20. Potensi Produktivitas Hasil Persilangan antara Domba UP3J dan Domba Garut............................................................................................
65
DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka Pikir Penelitian....................................................................... ....
3
2. Pengukuran Berdasarkan Anatomi Kerangka pada Domba........................
20
3. Peta Kondisi Padang Penggembalaan, Sarana dan Prasarana UP3J-IPB Tahun 2007........................................ .........................................................
23
4. Karakteristik Pejantan Dewasa dan Induk Domba UP3J................. ..........
26
5. Kontruksi Kandang Domba dan Kondisi Feses yang Menumpuk pada Lantai Kandang........................... .......................................................
29
6. Kondisi Rumput Brachiaria humidicola di Padang Penggembalaan dan Tingkah Laku Domba saat Menghindari Terik Matahari ........................... .. 31 7. Kondisi Domba yang Terserang Nematoda................................................
34
8. Rataan dan Koefisien Keragaman Bobot Badan Induk setelah Melahirkan Domba UP3J Berdasarkan Umur Induk................................................. ....
39
9. Rataan dan Koefisien Keragaman Jumlah Anak Sekelahiran Berdasarkan Umur Induk.................... .......................................................
42
10. Kurva Produksi Susu Domba UP3J selama 59 Hari Laktasi pada Umur Induk yang Berbeda..................... ............................................
44
11. Rataan dan Koefisien Keragaman Produksi Susu Berdasarkan Umur Induk.................................. .........................................................................
49
12. Rataan dan Koefisien Keragaman Total Bobot Lahir Berdasarkan Umur Induk.................................. .........................................................................
53
13. Rataan dan Koefisien Keragaman Total Bobot Sapih Berdasarkan Umur Induk.................................. .........................................................................
55
14. Rataan dan Koefisien Keragaman Daya Hidup Anak Domba Periode Lahir sampai Sapih Berdasarkan Umur Induk............................................
58
DAFTAR PERSAMAAN
1. Model Analisis General Linier Model (GLM) terhadap Peubah yang Diamati ..............................................................................................
21
2. Model Regresi Linier Berganda .................................................................
21
3. Bobot Sapih Standar Umur 60 Hari. ..........................................................
22
4. Koefisien Biak Dalam ..............................................................................
22
5. Analisis Kebutuhan Padang Penggembalaan .......................................... ..
22
PENDAHULUAN Latar Belakang Permintaan yang tinggi terhadap produk ternak yang tidak dibarengi dengan strategi pengembangan yang tepat, dapat menguras sumber daya genetik ternak dengan cepat. Selama satu setengah dekade terakhir, sebanyak 300 dari 6000 bangsa ternak yang diidentifikasi oleh FAO di dunia mengalami kepunahan, atau rata-rata 1-2 bangsa ternak perminggu (Cardellino 2004). Bangsa-bangsa ternak lokal perlu dilindungi dan dipertahankan, karena memiliki beberapa keunggulan seperti kemampuan hidup dengan pakan kualitas rendah dan tekanan iklim setempat, serta lebih tahan terhadap penyakit dan parasit lokal (FAO 2002). Domba lokal merupakan salah satu sumber daya genetik ternak yang berpotensi dikembangkan dalam penyediaan daging nasional. Domba lokal memiliki beberapa keunggulan di antaranya kemampuan dalam melahirkan anak kembar dua ekor atau lebih, umur dewasa kelamin relatif cepat serta tidak mengenal musim kawin sehingga dapat beranak sepanjang tahun. Domba lokal pada dasarnya digolongkan menjadi dua yaitu domba ekor tipis dan ekor gemuk. Namun di beberapa daerah tempat domba berkembang dengan lingkungan yang berbeda, seringkali domba lokal tersebut dikelompokan galur tersendiri. Domba lokal yang berkembang di Indonesia antara lain domba priangan di Garut, Jawa Barat, domba ekor gemuk di Jawa Timur dan Madura, domba donggala di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah dan domba ekor tipis sumatera di Sumatera Utara. Pemeliharaan ternak domba hingga saat ini masih didominasi oleh peternakan rakyat dalam skala kecil dengan sistem pemeliharaan secara tradisional. Pemeliharaan domba tersebut pada umumnya digunakan hanya sebagai usaha sampingan atau tabungan untuk menunjang ekonomi keluarga, sehingga produktivitas ternak kurang mendapat perhatian. Domba lokal memiliki siklus reproduksi yang cepat, dengan jarak kelahiran delapan bulan maka dalam dua tahun seekor induk domba sedikitnya menghasilkan tiga ekor anak pada kelahiran tunggal atau 1,5 ekor anak per induk pertahun. Namun kondisi ini masih dihadapkan pada masalah kurangnya daya tahan hidup
anak domba yang dilahirkan per induk dalam mencapai usia sapih, terutama yang dilahirkan kembar dua atau lebih dengan tingkat kematian mencapai 40-60% (Iniquez et al. 1993). Angka kematian yang tinggi sebelum mencapai umur sapih ini sebagian besar disebabkan oleh kurangnya zat makanan yang disediakan oleh induk dalam bentuk air susu. Sementara anak domba sangat tergantung pada ketersediaan air susu sebagai bahan makanan dalam menopang pertumbuhan dan kehidupan sebelum ternak disapih. Produksi susu induk yang rendah juga dapat menurunkan laju pertumbuhan dan bobot sapih. Domba yang memiliki bobot sapih rendah dapat menurunkan kemampuan dalam bersaing memperoleh hijauan yang berkualitas di padang penggembalaan, sehingga pertumbuhan mencapai dewasa menjadi lambat, kualitas karkas rendah dan menurunkan kemampuan reproduksi. Populasi domba pada tahun 2005 sebesar 8.327.022 ekor atau terjadi peningkatan populasi sebesar 2,6% dari tahun sebelumnya. Daging domba merupakan komoditi ternak yang mampu mensuplai kebutuhan daging nasional sebanyak 3% dan menempati urutan kelima setelah daging unggas, sapi, babi dan kambing (Direktorat Jenderal Peternakan 2006). Berdasarkan sebaran padat populasi ternak domba, wilayah Jawa Barat dan Banten merupakan sentra populasi domba dan menyumbang lebih dari 49,68%, Jawa Tengah dan DIY Yogyakarta 25%, Jawa Timur 17%, Pulau Sumatera 7% sebesar populasi yang ada, kemudian Nusa tenggara dan Sulawesi masing-masing 0,89 dan 0,24%. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa populasi domba terkonsentrasi di Pulau Jawa. Sama halnya dengan sapi potong, populasi domba berkorelasi positif dengan populasi penduduk. Populasi domba dapat ditingkatkan dengan cara memperbaiki produktivitas induk melalui kemampuan menghasilkan air susu dan anak kembar pada kondisi lingkungan dan pakan yang terbatas. Seleksi keunggulan genetik melalui identifikasi suatu sifat yang diduga mempunyai hubungan kuat dengan sifat produksi, merupakan cara praktis guna mendukung program perbaikan genetik domba lokal di lapangan.
Tujuan 1. Mendapatkan informasi produktivitas induk dan anak dombaUP3J. 2. Hubungan ukuran-ukuran tubuh induk dengan produksi susu. 3. Mendapatkan kriteria seleksi induk dan anak domba UP3J. Manfaat Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai kriteria seleksi dalam upaya meningkatkan produktivitas induk domba jonggol di UP3J-IPB. Kerangka Pikir
Pengembangan domba lokal
Peluang Prolifik Masak dini Beranak sepanjang tahun Permasalahan Daya hidup sampai usia sapih rendah Pertumbuhan lambat & persentase karkas rendah Keragaman fenotip tinggi
PENELITIAN
Inventarisasi produktivitas induk
Ukuran tubuh
Bobot badan Jumlah anak sekelahiran Produksi susu Total bobot lahir Total bobot sapih Kriteria seleksi
Analisis & interprestasi data Simpulan & Rekomendasi
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian.
PUSTAKA Domba Lokal di Indonesia Sejarah
Sebelum proses domestikasi habitat hidup domba banyak dijumpai di
daerah-daerah pegunungan, perburuan terus dilakukan oleh manusia untuk mendapatkan daging dalam memenuhi kebutuhan sesaat. Proses domestikasi mulai dilakukan ketika manusia perlu mempunyai cadangan daging untuk digunakan setiap saat. Diperkirakan pada akhir periode zaman Mesolithikum ternak domba mulai didomestikasi. Menurut Devendra dan McLeroy (1982), domba hasil domestikasi memiliki sistematika kingdom Animalia,Chordata, famili Bovidae, sub-famili Caprinae, genus Ovis dan dalam spesies Ovis aries. Selanjutnya, dombadomba terdomestifikasi yang ada sekarang memiliki komposisi genetik domba argali (Ovis ammon) yang berkembang di Asia Tengah, domba Urial (Ovis vignei) di Asia, domba Moufflon (Ovis musimon) di Asia dan Eropa. Pada masa kolonial Belanda, banyak dilakukan impor ternak domba ke Indonesia terutama ke pulau Jawa sebagai pusat pemerintahan pada saat itu dengan tujuan meningkatkan pendapatan rakyat Indonesia. Selain itu, kedatangan pedagang Arab ke Wilayah Nusantara juga memberikan kontribusi pada keragaman ternak domba yang ada di Indonesia (Devendra dan Mcleroy 1982). Menurut Diwyanto (1982), domba lokal Indonesia dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu domba ekor tipis, domba ekor sedang dan domba ekor gemuk. Domba ekor tipis mempunyai lebar pangkal ekor kurang dari 4 cm, domba ekor sedang 4-8 cm, dan domba ekor gemuk lebih dari 8 cm. Domba ekor tipis banyak dijumpai pada daerah-daerah yang relatif basah seperti di Jawa Barat, sedangkan domba ekor gemuk terutama tersebar pada daerah-daerah kering seperti di Jawa Timur dan Nusa Tenggara (Sutana 1993; Doho 1994). Domba ekor tipis terdiri atas beberapa galur atau subpopulasi yang diberi nama berdasarkan daerah tempat domba tersebut berkembang, diantaranya adalah domba garut tipe daging dan tipe tangkas (Mulliadi 1996). Fauzi (2006) menyatakan bahwa secara genotipe domba ekor gemuk yang tersebar di daerah Donggala, Kisar, Madura, Rote, Sumbawa, dan Lombok memiliki tingkat keragaman yang tinggi. Diwyanto (1982) menyatakan di
Sulawesi terdapat domba lokal yang memiliki ekor tidak terlalu gemuk dan disebut dengan domba donggala. Sumantri et al. (2007), melaporkan bahwa terdapat perbedaan bobot hidup dewasa diantara domba lokal yang dipelihara pada lokasi yang berbeda, dimana domba jantan indramayu (DEG) memiliki bobot badan paling tinggi dibanding dengan domba lokal lainnya, sedangkan domba betina garut (DET) memiliki bobot badan yang tertinggi (Tabel 1) Tabel 1. Rataan dan simpangan baku bobot badan domba lokal jantan dan betina dewasa umur 2-3 tahun pada lokasi yang berbeda Lokasi Jantan Betina Rataan±sb (kg) Rataan±sb (kg) 27,57±3,80 40,80±12,30 Garut (DET) 26,11±4,12 34,90± 5,96 Jonggol (DET) 23,52±5,30 46,08± 8,33 Indramayu (DEG) 22,17±4,93 37,77± 8,06 Madura (DEG) 25,25±2,55 24,00± 3,73 Donggala (DEG) 18,87±3,52 25,82± 5,03 Kisar (DEG) 20,33±2,39 27,87± 5,29 Rote (DEG) 26,97±4,58 33,80± 6,76 Sumbawa (DEG) Sumber: Sumantri et al. (2007) Domba Ekor Tipis Jawa Domba ekor tipis jawa memiliki ciri berekor tipis dan pendek. Bangsa domba ini sekitar 80-85% terdapat di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah (Direktorat Bina Perbibitan 1998). Menurut Devendra dan McLeroy (1982), domba ini memiliki tubuh dan ekor berukuran kecil, bobot badan betina dewasa bervariasi dari 25-35 kg dengan tinggi badan rata-rata 57 cm, sedangkan bobot badan domba jantan dewasa berkisar antara 40-60 kg dengan tinggi badan rata-rata 60 cm. Pada umumnya domba ini mempunyai bobot potong 19 kg. Domba ekor tipis jawa memiliki warna dominan putih dan terdapat belang hitam di sekeliling mata, hidung dan kadang-kadang di seluruh tubuhnya. Bagian ekornya tidak menunjukkan adanya deposisi lemak. Domba jantan memiliki tanduk yang melengkung, sedangkan domba betina biasanya tidak bertanduk. Domba ekor tipis jawa mempunyai telinga ukuran sedang dan wol yang kasar (Iniquez et al. 1993). Rataan bobot lahir dan bobot sapih domba ekor tipis yang dipelihara dengan sistem penggembalaan masingmasing 2,2 dan 10 kg/ekor (Priyanto et al. 1992).
Domba Priangan Domba priangan merupakan galur domba ekor tipis yang tersebar di daerah Jawa Barat, terutama di daerah Garut sehingga disebut domba garut. Domba priangan mulai dikembangkan pada tahun 1864 melalui persilangan tiga bangsa antara domba ekor tipis jawa, merino dan cape yang diduga berasal dari Afrika Selatan (Devendra dan McLeroy 1982). Domba priangan mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan domba ekor tipis jawa. Jenis domba ini mempunyai bentuk muka yang cembung, dan sering ditemukan domba dengan telinga rumpung (tidak mempunyai daun telinga). Warna wol bermacam-macam yaitu hitam, abu-abu, putih dan belang-belang hitam. Pada bagian pangkal ekornya terdapat sedikit timbunan lemak. Domba betina tidak bertanduk, sedangkan domba jantan memiliki tanduk yang melengkung. Bobot badan domba priangan betina sebesar 35-40 kg dan bobot domba jantan mencapai 50-60 kg (Devendra dan McLeroy 1982). Domba garut dapat dikategorikan ke dalam dua tipe yaitu tipe tangkas dan tipe pedaging. Morfologi domba garut tangkas sangat berbeda dengan domba garut tipe daging (Mulliadi 1996). Domba garut tangkas jantan bertanduk, sedangkan yang betina tidak bertanduk. Domba garut tipe pedaging baik jantan maupun betina mempunyai tanduk, walaupun tanduk domba betina berukuran kecil. Bentuk telinga domba garut tipe tangkas lebih pendek (rumpung) dan domba tipe pedaging umumnya panjang dan lebar. Warna wol domba tipe tangkas dominan hitam sekitar 51% dan hanya 3,80% berwarna putih polos. Warna wol domba tipe pedaging dominan putih polos 58% dan hitam polos 7,30%. Domba priangan termasuk domba yang sangat prolifik, interval beranak yang pendek, dan jumlah anak yang dihasilkan rata-rata sebesar 1,70 ekor/induk. Domba priangan banyak digunakan untuk meningkatkan komposisi genetik (up grading) domba lokal yang terdapat pada daerah tersebut (Devendra dan McLeroy 1982).
Domba Ekor Tipis Sumatera Domba lokal sumatera memiliki ciri warna tubuh dominan coklat muda di samping warna putih dan hitam. Domba lokal sumatera pada umumnya memiliki wol penutup tubuh yang tebal, kecuali pada bagian perut, kaki bawah atau kepala. Domba ini mampu beradaptasi dengan baik pada terhadap iklim basah, dapat dikawinkan sepanjang tahun dan memiliki daya resistensi terhadap penyakit. Tingkat pertumbuhan dan bobot badan dewasa relatif lebih rendah dibandingkan dengan domba priangan. Menurut Doloksaribu et al. (2000) domba sumatera ratarata melahirkan pertama umur 465±3 hari, jumlah anak sekelahiran dan jumlah
anak yang disapih masing-masing 1,52±0,04 dan 1,23±0,04 ekor/induk, rataan bobot lahir dan bobot sapih masing-masing 1,3 dan 6,9 kg/ekor. Selanjutnya, ratarata bobot induk pada kelahiran kedua 26,8±0,5 kg. Domba sumatera termasuk domba profilik dan mampu beranak 1,82 kali dalam setahun atau dapat menghasilkan 2,2 anak sapihan/tahun (Iniquez et al. 1991). Persilangan domba sumatera dengan domba ekor gemuk dan domba barbados menghasilkan bobot lahir dan bobot sapih masing-masing sebesar 1,83 dan 8,70 kg/ekor atau meningkat 10-13% dari domba bangsa murni sumatera (Gatenby et al. 1997). Domba Ekor Gemuk Domba ekor gemuk dikenal karena memiliki bentuk ekor yang gemuk dan merupakan domba khas daerah Jawa Timur. Populasi domba ini pada awalnya banyak dijumpai di Pulau Madura kemudian menyebar ke daerah Jawa Timur lainnya (Edey 1983). Domba ekor gemuk juga dapat ditemukan di pulau-pulau wilayah timur Indonesia seperti, Lombok, Sumbawa, Kisar, dan Rote (Devendra dan McLeroy 1982). Menurut Hardjosubroto (1994), domba ekor gemuk diduga berasal dari Asia Barat Daya yang dibawa oleh pedagang bangsa arab pada abad ke -18. sekitar tahun 1731-1779, Pemerintah Hindia Belanda memutuskan mengimpor domba pejantan kirmani dari Persia (kirmani adalah nama lain domba ekor gemuk dari Iran). Diwyanto (1982) menyatakan di Sulawesi terdapat domba lokal yang memiliki ekor tidak terlalu gemuk. Selanjutnya, domba ekor gemuk tersebut banyak berkembang di Kabupaten Donggala sehingga disebut dengan domba donggala. Populasi domba donggala di Sulawesi Tengah dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan, populasi pada tahun 1989 sebanyak 16.192 ekor, namun saat ini hanya tinggal 3.270 ekor (Disnak Sulteng 2005). Ciri-ciri domba ekor gemuk adalah berbulu kasar, tidak bertanduk, warna putih dan telinga sedang (Edey 1983). Ekor berbentuk huruf S atau sigmoid dan menyimpan lemak dalam jumlah besar (Hardjosubroto 1994). Selanjutnya, bagian pangkal ekor yang membesar merupakan timbunan lemak untuk cadangan energi. pada saat musim hujan dimana produksi dan kualitas pakan tinggi, pangkal ekor domba penuh dengan lemak sehingga terlihat ekornya membesar. Namun apabila produksi dan kualitas hijauan jelek, maka ekor tersebut akan mengecil karena lemak yang ada pada ekor domba akan dipergunakan untuk mensuplai energi yang
dibutuhkan tubuh. Warna bulu yang putih pada domba ekor gemuk juga dapat berfungsi untuk mengurangi cekaman panas sinar matahari. Bobot badan domba ekor gemuk jantan unggul dapat mencapai 43 kg, betina 40 kg, dan rataan bobot potong 24 kg. Umur pertama kali melahirkan antara 11-17 bulan dan dapat menghasilkan 2,34 anak sapihan/tahun (Devendra dan McLeroy 1982). Namun di Palu, domba ekor gemuk yang dilepas di padang penggembalaan rumput alam mempunyai persentase kelahiran kembar hanya sebesar 3,23% (Malewa 2007), sedangkan di Indramayu dengan sistem pemeliharaan dan pemberian pakan yang lebih baik (cut and carry) persentase melahirkan kembar mencapai 47,17% dan kembar tiga 13,21% (Fida 2006). Produktivitas Domba Produktivitas adalah hasil yang diperoleh oleh seekor ternak dalam kurun waktu tertentu dan merupakan gabungan sifat-sifat pertumbuhan dan reproduksi (Hardjosubroto 1994). Sifat reproduksi pada induk domba dapat dilihat dari, Service per Conception (S/C), jumlah anak sekelahiran, bobot lahir, bobot sapih dan persentase jumlah anak yang dipanen selama satu tahun, interval kelahiran dan mortalitas (Atkins 1986). Pertumbuhan Pertumbuhan secara sederhana didefinisikan sebagai perubahan ukuran yang meliputi perubahan bobot hidup, bentuk, dimensi linear dan komposisi tubuh, sedangkan perkembangan merupakan kemajuan gradual kompleksitas yang lebih rendah menjadi kompleksitas yang lebih tinggi dan ekspansi ukuran tubuh (Soeparno 2005). Proses perubahan dimensi tubuh pada fase pertumbuhan relatif tidak dapat berubah seiring bertambahnya umur, namun ukuran dan bobot secara flukuatif dapat mengalami perubahan yang ditentukan oleh faktor genetik, lingkungan dan interaksinya (Lawrence dan Fowler 2002). Ada tiga proses utama dalam pertumbuhan, yaitu pertumbuhan seluler yang meliputi hiperplasia kemudian hipertropi, diferensiasi sel-sel induk didalam embrio menjadi eksoterm, mesoderm, endoderm dan proses diferesiansi (Rehfeldt et al. 2004). Menurut Lawrence dan Fowler (2002), secara umum periode pertumbuhan dibedakan menjadi dua, yaitu periode sebelum lahir (prenatal) dan periode setelah lahir (postnatal). Pertumbuhan postnatal dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu periode pertumbuhan sebelum penyapihan dan periode setelah penyapihan. Selanjutnya, teknik yang paling praktis dan banyak dilakukan untuk memprediksi laju pertumbuhan seekor ternak biasanya dilakukan dengan cara melihat pertambahan bobot badan ternak, oleh sebab itu catatan bobot badan
ternak sangat diperlukan di dalam program pemuliaan. Selain untuk mengetahui pertumbuhan, pengukuran bobot badan dapat menentukan tingkat konsumsi, efisiensi pakan dan harga (Parakkasi 1999). Herman (2003) menyatakan 75% proses pertumbuhan terjadi pada ternak sampai umur satu tahun dan 25% pada ternak dewasa. Pertumbuhan paling cepat diperoleh pada saat domba berumur tiga bulan pertama, bobot tubuh bisa mencapai 50% dari bobot umur satu tahun, 25% lagi tiga bulan kedua dan 25% berikutnya dicapai enam bulan terakhir. Pertumbuhan seekor ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis kelamin, hormon dan kastrasi, genotip dan komposisi kimia pakan yang dikonsumsi (Soeparno 2005). Menurut Edey (1983) bahwa pertumbuhan ternak domba sebelum lepas sapih dipengaruhi oleh faktor genetik, bobot lahir, produksi susu induk, jumlah anak perkelahiran, umur induk, jenis kelamin, penyakit dan manajemen pemeliharaan. Pertumbuhan setelah periode sapih pada domba memiliki hubungan kuat dengan bobot sapih dan efisiensi pakan (Martojo 1992). Pembatasan konsumsi pakan pada induk domba selama periode kebuntingan dapat menurunkan bobot lahir dan laju pertumbuhan ternak sampai umur tiga tahun, sehingga akan memperlambat tercapainya dewasa kelamin dan umur potong (Swatland 1984).
Jumlah Anak Sekelahiran Jumlah anak sekelahiran adalah jumlah anak yang dilahirkan oleh seekor induk (Gatenby 1991). Jumlah anak sekelahiran dipengaruhi oleh faktor induk yang ditentukan oleh laju ovulasi (Subandriyo et al. 1994). Bradford dan Inounu (1996) menyatakan bahwa laju ovulasi adalah rataan jumlah sel telur yang dihasilkan oleh seekor induk pada setiap siklus bihari. Laju ovulasi dan jumlah anak sekelahiran merupakan parameter untuk menentukan tingkat peridi domba. Jumlah anak sekelahiran dipengaruhi oleh gen fekunditas (FecJF) yang dapat megontrol laju ovulasi dan lingkungan terutama pakan (Bradford dan Inounu 1996). Menurut Inounu (1991), laju ovulasi dipengaruhi oleh keberadaan gen FecJF, manajemen pemberian pakan dan bobot badan induk, namun tidak dipengaruhi oleh paritas induk. Domba lokal yang masuk ke dalam tingkat peridi dunia adalah domba priangan. Secara genetik domba priangan mengandung gen pengendali tingginya laju ovulasi berupa gen tunggal yang bekerja secara efektif yaitu gen FecJF (Elsen et al. 1991). Menurut Pollott dan Gootwine (2004), dengan sistem pemeliharaan
yang intensif, pada kelahiran pertama rata-rata jumlah anak sekelahiran sebesar 1,41 ekor/induk, namun pada kelahiran ke lima rata-rata jumlah anak sekelahiran meningkat menjadi 1,74 ekor/induk. Namun demikian, pengaruh musim lebih dominan dalam mempengaruhi jumlah anak sekelahiran. Jumlah anak sekelahiran paling tinggi diperoleh pada bulan Februari atau pada saat induk dikawinkan pada saat musim semi (bulan September), produksi dan kualitas hijauan di padang penggembalaan cukup tinggi. Hijauan yang berkualitas dengan produksi yang tinggi dapat meningkatkan laju ovulasi dan daya hidup embrio. Produksi Susu Produksi susu induk merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk melihat produktivitas induk domba. Manalu (1999) menyatakan bahwa laktasi merupakan tahapan terakhir dari siklus reproduksi hewan mamalia, karena hampir semua ternak yang baru lahir menggantungkan hidupnya pada susu induk selama periode tertentu. Jika kebutuhan pakan tidak mencukupi, biasanya induk akan menghasilkan susu dengan cara mengorbankan jaringan dalam tubuhnya dan siklus reproduksi umumnya menjadi terhenti pada saat tahap awal laktasi. Dengan demikian, produksi susu yang mencukupi kebutuhan anak yang dilahirkan sangat esensial untuk reproduksi dan kelangsungan hidup spesies dan secara biologis kegagalan laktasi dapat menyebabkan kegagalan reproduksi seperti halnya kegagalan kawin atau ovulasi. Pulina dan Nudda (2004), melaporkan susu domba merupakan substansi yang komplek yang mengandung zat-zat seperti lemak, protein, kasein, komponen Non Protein Nitrogen (NPN), mineral dan vitamin yang dibutuhkan anak domba selama organ pencernaan belum mampu mencerna makanan berupa padatan seperti rumput. Dibanding dengan ternak kambing dan sapi, air susu domba memiliki karakteristik kandungan lemak dan kasein lebih tinggi (Tabel 1), kedua zat yang tersedia merupakan zat yang dapat digunakan untuk membuat keju lebih berkualitas dan rasa yang lebih enak, berwarna lebih putih (kandungan betakarotin rendah), lebih tahan terhadap kontaminasi mikroorganisme sesaat setelah pemerahan dan lebih tinggi kandungan mineral terutama kalsium. Warwick et al. (1983) menyatakan bahwa korelasi antara kadar proten dan produksi susu pada sapi perah cukup tinggi. Kandungan kasein pada susu domba adalah 4,50% dari total
komposisi air susu, sedangkan pada susu ternak kambing, sapi dan kerbau masingmasing 2,8, 2,6 dan 3,8% (Tabel 2).
Tabel 2 Komposisi fisik dan kimia air susu ternak ruminansia dan manusia Komposisi
Domba
Air (%)
82,5
Total solid (%)
Kambing
Sapi
Kerbau
87
87,5
80,7
17,5
13
12,5
19,2
Lemak (%)
6,5
3,5
3,5
8,8
Total nitrogen (%) kasein (%)
5,5 4,5
3,5 2,5
3,2 2,6
4,4 3,8
Serum Protein (%)
1,1
0,7
0,6
1,1
Laktosa (%)
4,8
4,8
4,7
4,4
Mineral (%)
0,9
0,8
0,7
0,8
Ca (mg/l)
193
134
119
190
Energi (kcal/l)
1050
650
700
1100
Sumber: Pulina dan Nudda (2004)
Laktasi merupakan proses fisiologi ternak seperti sintesis, sekresi dan pengeluaran air susu. Produksi susu domba di Jawa berkisar antara 274-382 ml/ekor/hari (Sitorus et al. 1985), sedangkan domba priangan yang diberi pakan konsentrat 500 g/hari dan 1000 g/ekor/hari masing-masing produksi susunya adalah 648 ml dan 963 ml/ekor/hari (Sumaryadi 1997). Produksi susu domba dipengaruhi oleh bangsa domba, nutrisi yang dikonsumsi selama bunting, jumlah anak yang menyusui, frekuensi menyusui dan nutrisi selama induk menyusui (Treacher dan Caja 2002). Menurut Pollott dan Gootwine (2004), total produksi susu pada domba dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti manajemen pemeliharaan, bangsa domba, umur induk, kondisi iklim saat melahirkan, laju pertumbuhan sel skretori pada kelenjar ambing dan jumlah anak sekelahiran. Selanjutnya, produksi susu domba mempunyai korelasi yang tinggi dengan produksi susu pada saat puncak laktasi (0,75) dan panjang laktasi (0,54), tetapi berkorelasi negatif dengan laju mortalitas sel skretori dalam kelenjar ambing (0,54). Namun demikian, produksi susu yang tinggi pada domba dapat menurunkan kemampuan reproduksi seperti penurunan laju konsepsi induk, memperpanjang jarak kelahiran dan penurunan jumlah anak
sekelahiran (Pollott dan Gootwine 2004). Produksi susu yang rendah dapat memperpendek jumlah hari laktasi sehingga induk dapat dikawinkan lebih awal dan jarak kelahiran menjadi lebih pendek. Menurut Snowder dan Glim (1991), produksi susu domba dipengaruhi oleh jumlah anak yang menyusui, semakin banyak jumlah anak yang menyusui, semakin tinggi produksi susu yang dihasilkan. Induk yang menyusui anak kembar, rata-rata produksi susu 6% lebih tinggi dibanding induk yang menyusui tunggal (Pollott dan Gootwine 2004). Sutama (1990) menyatakan, domba jawa menghasilkan rata-rata produksi susu harian lebih rendah daripada domba Merino. Produksi dan kualitas pakan yang dikonsumsi domba berpengaruh terhadap produksi dan kualitas air susu (Cannas 2004). Produksi dan kualitas susu merupakan faktor yang sangat penting untuk menunjang pertumbuhan anak domba. Air susu merupakan nutrisi utama yang dibutuhkan anak domba untuk kekebalan tubuh dan pertumbuhan anak domba periode lahir sampai anak domba mampu mengkonsumsi dan mencerna pakan berupa padatan dan rumput (Pulina dan Nudda 2004). Konsumsi air susu yang rendah selama 3-4 minggu setelah melahirkan akan menurunkan pertambahan bobot badan dan ukuran rangka tubuh dan dapat menurunkan diameter serat otot daging pada domba (Stickland et al. 2004). Menurut Hernandez dan Hohenboken (1980), antara produksi susu bangsa domba perah dengan pertambahan bobot badan anak domba periode lahir sampai sapih memiliki korelasi sebesar 0,64 pada kelahiran tunggal dan 0,55 kelahiran kembar, dimana setiap kenaikan 1 liter produksi susu akan meningkatkan pertambahan bobot badan sebesar 110 dan 70 g/hari terhadap anak yang lahir tunggal dan kembar. Snowder dan Glimp (1991) melaporkan adanya hubungan korelasi yang nyata antara produksi susu dengan pertambahan bobot badan periode lahir sampai anak domba berumur 56 hari. Greenwood et al. (2004), melaporkan anak domba bangsa suffolk yang diberi perlakuan dengan pemberian air susu ad libitum mengasilkan rata-rata pertambahan bobot badan sebesar 337 g/hari, sedangkan pemberian air susu yang dibatasi hanya menghasilkan pertambahan bobot badan sebesar 150 g/ekor/hari. Selanjutnya, anak domba tersebut setelah dipotong, menghasilkan bobot organ-organ tubuh anak domba yang mendapat air
susu ad libitum seperti pankreas, hati, jantung, ginjal, testis, saluran pencernaan yang sangat nyata lebih berat. Fehr (1981) melaporkan, sebanyak 32 ekor anak kambing jantan yang dipisah dengan induknya setelah lahir dan memberikan susu pengganti secara ad libitum selama delapan hari, anak dengan bobot lahir lebih rendah memiliki kemampuan adaptasi terhadap susu pengganti lebih lama dan pertambahan bobot badan nyata lebih rendah. Selanjutnya dilaporkan anak kambing yang pertambahan bobot badannya rendah kemudian dilanjutkan dengan pemberian air susu yang lebih banyak (ekstra) untuk pertumbuhan kompensantori, ternyata tetap kerdil dan setelah dipotong ternyata hanya lemak abdomen yang meningkat dan hal ini dapat menggangu sistem pencernaannya. Bobot Lahir Bobot lahir adalah bobot anak pada saat dilahirkan. Namun secara teknis dilapangan penimbangan anak domba setelah lahir sering kali sulit dilakukan, sehingga biasanya bobot lahir didefinisikan bobot anak yang ditimbang dalam kurun waktu 24 jam sesudah lahir (Hardjosubroto 1994). Anak yang memiliki bobot lahir tinggi cenderung mamiliki daya hidup yang tinggi saat dilahirkan (vigor of birth) dan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi (Bourdon 2000). Menurut Taylor dan Field (2004), bahwa bobot lahir menggambarkan 5-7% bobot dewasa seekor ternak. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan prenatal dan bobot lahir antara lain genotif induk dan anak, umur induk, lingkungan uterus, nutrisi selama kebuntingan dan jenis kelamin (Soeparno 2005). Peningkatan jumlah anak sekelahiran seringkali diiringi dengan menurunnya laju pertumbuhan prenatal sehingga bobot lahir menjadi rendah. Rendahnya laju pertumbuhan prenatal kemungkinan disebabkan oleh terbatasnya volume uterus dan pasokan nutrisi dari induk. Bradford (1993) melaporkan bahwa pejantan yang besar pada domba terdapat kecenderungan berasal dari tipe kelahiran tunggal, sehingga secara genotipe merupakan domba non-karier untuk gen peridi. Dengan demikian jika seleksi hanya didasarkan pada bobot badan yang tinggi dapat berakibat menurunnya jumlah anak sekelahiran atau sebaliknya seleksi untuk meningkatkan fertilitas dan tingkat peridi menyebabkan penurunan bobot lahir dan bobot sapih.
Ukuran tubuh induk memiliki hubungan yang erat dengan laju pertumbuhan prenatal, sehingga calon induk sebaiknya dipilih induk yang memiliki bobot badan tinggi (Inounu et al. 1993). Anak domba yang memiliki bobot lahir rendah biasanya kondisinya lebih lemah, sehingga kemampuan menyusui induk untuk mendapatkan kolustrum dan air susu menjadi lebih sedikit terutama 3-5 hari setelah melahirkan (Johnston 1983). Bobot Sapih Bobot sapih merupakan indikator dari kemampuan induk untuk menghasilkan susu dan kemampuan cempe untuk mendapatkan susu dan tumbuh. Laju pertumbuhan sangat menentukan nilai ekonomis suatu usaha peternakan lebih-lebih untuk seleksi terhadap sifat yang menghasilkan daging, karena erat hubungannya dengan efisiensi dan konversi penggunaan pakan. Ternak yang memiliki bobot sapih yang tinggi cenderung memiliki kemampuan untuk memperoleh pakan lebih baik, sehingga pertambahan bobot badan dan kemampuan hidup tinggi. Laju pertumbuhan setelah disapih umumnya memiliki korelasi yang tinggi dengan bobot sapih hal ini ditunjukan dengan nilai repitabilitas yang tinggi yaitu 0,70 pada domba (Iñiguez et al. 1991). Bobot sapih biasanya disesuaikan dengan rerata bobot sapih umur tertentu. Pada sapi dan kerbau biasanya umur sapih disesuaikan dengan umur 105 hari sedangkan pada kambing dan domba umur 90 hari (Hardjosubroto 1994). Faktor genetik dan lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap bobot sapih. Steinheim et al. (2008) mengamati faktor genetik dan lingkungan terhadap 37.338 ekor anak domba bangsa Nowergian dan 30.075 ekor anak domba bangsa Spel yang lahir selama tahun 1989-1999 dari 40 peternakan (farm) yang berbeda. Mereka mendapatkan secara genetik bangsa domba Nowergian memiliki bobot sapih lebih tinggi dan lebih rentan terhadap perubahan lingkungan dibanding bangsa Spel. Selanjutnya didapatkan bobot sapih juga secara nyata dipengaruhi tahun lahir dan manajemen pemeliharaan. Menurut Inounu (1996), bobot sapih dipengaruhi oleh genotif dan pakan induk, pada anak domba yang membawa gen fekunditas (FecJF) perbaikan pakan induk sangat nyata meningkatkan bobot sapih dibanding dengan ternak normal (19,44 vs 16,32 kg). Bobot sapih domba jantan biasanya lebih tinggi dibanding domba betina, tingginya bobot sapih domba jantan disebabkan oleh kerja hormon testoteron terhadap laju pertumbuhan sel otot dan
aktivitas yang lebih tinggi untuk merangsang pertumbuhan tulang (Rehfeldt et al. 2004). Domba jantan juga lebih superior dalam mendapatkan air susu dibanding domba betina (Jonston 1983). Menurut Lewis (1989), pengaruh jumlah anak sekelahiran dan jenis kelamin terhadap bobot sapih domba Ramboillet sangat nyata lebih tinggi dibanding pengaruh umur induk. Nafiu (2003) melaporkan bahwa kondisi pakan berpengaruh sangat nyata terhadap bobot sapih domba priangan dan persilanganya dengan domba Charollais dan St. Croix (p<0,01), pada kondisi pakan yang jelek rataan bobot sapih sebesar 10,87 kg/ekor dan meningkat 12,57 kg/ekor pada kondisi pakan yang baik. Rataan bobot sapih anak domba Fisheep yang rendah terjadi pada bulan September sedangkan tertinggi pada bulan April (Forgaty et al. 1984). Seleksi terhadap bobot sapih sangat penting digunakan di Indonesia. Penyesuaian perlu dilakukan terhadap umur pada saat cempe disapih. Umur penyapihan disesuaikan dengan tujuan pemeliharaan (perah atau daging). Penyapihan sering dilakukan oleh peternak pada umur 90 hari dengan alasan domba dapat melahirkan 3 kali dalam dua tahun atau produksi susunya rendah. Daya Hidup Daya hidup anak domba periode lahir sampai sapih ditentukan oleh faktor genetik, tingkah laku, fisiologi dan lingkungan terutama manajemen pemeliharaan (Hincks dan Dodds 2008). Eleiser et al. (1994) menyatakan bahwa daya hidup anak domba disebabkan oleh persaingan untuk mendapatkan kolustrum dan air susu induk, persaingan selama dalam kandungan dan sifat keindukan (mothering ability). Pada umumnya anak yang dilahirkan kembar dua atau lebih memiliki persentase daya hidup lebih rendah dibanding dengan anak dilahirkan tunggal. Angka kematian anak domba paling tinggi umumnya terjadi pada hari pertama sampai hari ketiga setelah dilahirkan, dengan angka kematian sebesar 5-30% (Hincks dan Dodds 2008). Angka kematian anak domba sebelum umur sapih dengan lahir tunggal dengan bobot lahir 2,60 kg dan lahir kembar rata-rata 2 kg angka kematian berturut-turut dapat mencapai 20 dan 40%. Lahir kembar tiga dan kembar empat perkelahiran rata-rata bobot lahir 1,40 dan 1,30 kg mempunyai angka kematian masing-masing 60 dan 80% (Iniquez et al.1993). Angka kematian anak domba periode lahir sampai sapih dapat ditekan dengan perbaikan dalam perawatan induk
bunting, induk menyusui dan perbaikan tatalaksana pemberian pakan (Subandriyo et al. 1994). Karakteristik Padang Penggembalaan Padang rumput merupakan lahan yang paling ekonomis dalam menyediakan pakan ternak ruminansia (Reksohadiprodjo 1994b). Menurut Martojo dan Mansjoer (1985), pada sistem pemeliharaan ternak secara tradisional ekstensif maupun semi intensif, hampir seluruh kebutuhan pakan ternak disediakan dari sumber hijauan yang ada di padang penggembalaan (pangonan), sedangkan pemeliharaan sistem tradisional intensif pemberian pakan hijauan dilakukan di dalam kandang (cut and carry) dan ternak mendapat pakan tambahan berupa dedak maupun konsentrat. Padang rumput yang produktif dapat menghasilkan produksi ternak yang tinggi, dalam upaya pencapaian produksi yang tinggi tersebut diperlukan suatu perencanaan dan manajemen yang baik. Setiana dan Abdullah (1993) menyatakan bahwa dilihat dari proses introduksinya rumput dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu rumput alami (liar) dan rumput budidaya. Ketersediaan rumput alami semakin berkurang dengan meningkatnya persaingan lahan untuk tanaman pangan, pemukiman dan industri sehingga memerlukan upaya pengolahan rumput budidaya agar tetap lestari dan ekonomis. Produksi rumput di padang pengembalaan ditentukan oleh beberapa faktor seperti iklim, pengelolahan dan kesuburan tanah, pemeliharaan dan tekanan pengembalaan (Reksohadiprodjo 1994b), sedangkan kandungan nutrisi rumput banyak ditentukan oleh umur tanaman saat digrazing, jenis rumput (genetik), intensitas cahaya dan suhu, lingkungan serta manajemen grazing (Coleman dan Henry 2002). Padang penggembalaan tropik biasanya menghasilkan hijauan yang melimpah dimusim hujan, tunas tanaman dan biji tumbuh dan berkembang lebih cepat. Selanjutnya, pada musim hujan tanaman hijauan yang mudah lebih banyak dikonsumsi oleh ternak dengan daya cerna yang lebih tinggi dibanding tanaman tua. Kadar protein kasar hijauan dapat mencapai 8-10% dari total bahan kering hijauan, sehingga pada musim
hujan
biasanya
ternak
menghasilkan
produktivitas
yang
tinggi
(Reksohadiprodjo 1994a). Produksi dan kualitas hijauan yang rendah selama bulan kering juga terjadi di negara-negara yang mengalami empat musim, pada musim panas produksi hijauan sangat rendah tetapi saat musim semi produksinya melimpah (Avondo dan Lutri
2004), sehingga untuk mengantisipasi diperlukan sistem irigasi yang memadahi atau melakukan teknologi pengawetan pakan. Komposisi kimia dan produksi hijauan sangat berpengaruh terhadap produktivitas ternak, ternak yang dilahirkan pada musim panas biasanya bobot badannya rendah, produksi dan kualitas susu rendah, pertumbuhan anak domba terhambat (Brandano et al. 2004). Menurut Umberger (2001) bahwa manajemen penggembalaan dapat dibedakan menjadi dua cara yaitu penggembalaan kontinyu dan penggembalaan bergilir. Penggembalaan kontinyu membiarkan domba merumput sendiri pada suatu padang rumput yang telah ditetapkan sepanjang musim penggembalaan (ekstensif), sedangkan penggembalaan bergilir melibatkan campur tangan manusia dengan membagi lahan penggembalaan kedalam petak-petak (intensif). Salah satu keuntungan penggembalaan bergilir untuk mencegah ternak agar tidak melakukan renggut pilih (selective grazing), sehingga pertumbuhan kembali rumput (regrowth) dapat terjamin.
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Unit Pendidikan, Penelitian dan Peternakan Jonggol Institut Pertanian Bogor (UP3J-IPB) Desa Singasari Kecamatan Jonggol Kabupaten Bogor dari bulan Juni sampai dengan November 2007. Bahan dan Alat Materi penelitian 100 ekor induk domba UP3J yang dipelihara di padang penggembalaan, merupakan hasil silangan domba lokal ekor tipis dengan domba garut yang berkembang sejak tahun 1980 dan telah mengalami seleksi secara alami pada lingkungan yang panas dan kering pada umur 1-4 tahun dalam kondisi laktasi. Peralatan yang diperlukan dalam penelitian kandang koloni induk yang sedang melahirkan, kandang koloni induk, kandang koloni anak, kalung nomor, ember, timbangan ternak merk Shalter, timbangan kapasitas 10 kg dengan skala 20 g dan termometer ruang. Pendataan dan Identifikasi Domba Penelitian Ternak domba UP3J umur 1-4 tahun dalam keadaan bunting dipilih sebanyak 100 ekor dan diberi tanda berupa nomor kalung, kemudian ditempatkan pada kandang kelompok. Pemilihan ternak bunting dilakukan pagi hari, saat dimana kondisi rumen tidak dipenuhi oleh pakan. Untuk mengetahui kriteria induk bunting dilakukan dengan mengamati besarnya tubuh sebelah kanan atau mengamati dan meraba ambing. Tanda dibuat untuk mengidentifikasi tingkatan umur, laktasi, jumlah anak berdasarkan kelamin (lahir tunggal atau
kembar), bobot induk.
Identifikasi anak dilakukan berdasarkan bobot lahir, kelamin, lahir tunggal atau kembar, lahir normal atau cacat dan nomor induk yang melahirkan. Sistem pemeliharaan domba UP3J umumnya digembalakan secara bebas di padang penggembalaan dan dikandangkan pada sore hari. Pemberian pakan dilakukan dengan sistem dilepas di padang penggembalaan (grazing) mulai pukul 09.00 sampai dengan pukul 16.00 dan sore harinya ternak dimasukan ke dalam kandang.
Penentuan umur pada ternak domba dapat dilakukan dengan cara melihat pergantian gigi seri pada ternak (Tabel 3).
Tabel 3 Umur domba berdasarkan pergantian gigi Umur Pergantian Gigi seri menjadi tetap 3 bulan Gigi susu lengkap 1-1,5 tahun Sepasang gigi tetap 2,0-3,0 tahun Dua pasang gigi tetap 3,0-4,0 tahun Tiga pasang gigi tetap 4,0-5,0 tahun Empat pasang gigi tetap >5,0 tahun Gigi tetap aus mulai lepas
Kode I0 I1 I2 I3 I4 >I4
Sumber: Ensminger (2002)
Peubah yang Diamati Beberapa peubah yang diamati pada untuk mengetahui produktivitas induk setelah melahirkan. 1. Umur induk, dilakukan dengan melihat jumlah pergantian gigi seri menjadi gigi tetap setelah melahirkan (I1, I2, I3 dan I4). 2. Ukuran‐ukuran tubuh, dengan mengukur berdasarkan anatomi kerangka domba seperti pada gambar 2 (Battaglia 2007). a. Tinggi Pundak (TP), jarak tertinggi pundak sampai tanah, diukur dengan menggunakan mistar ukur (satuan dalam cm). b. Panjang Badan (PB), jarak garis lurus dari tepi depan luar tulang Scapula sampai benjolan tulang tapis (tulang duduk / os ischium), diukur dengan menggunakan mistar ukur (satuan dalam cm). c. Lingkar Dada (LD), diukur melingkar rongga dada di belakang sendi tulang bahu (os scapula) menggunakan pita ukur (satuan dalam cm). d. Dalam Dada (DD), jarak antara titik tertinggi pundak dan tulang dada, diukur dengan mistar ukur (satuan dalam cm). e. Lebar Dada (LD), bagian tengah tulang dada kiri dan kanan diukur dengan kaliper (satuan dalam cm). f.
Lingkar Ambing (LA), diukur dengan cara melihat lingkar pangkal ambing (satuan dalam cm).
g. Dalam Ambing (DA), diukur panjang garis tengah ambing pada saat laktasi (satuan dalam cm).
Gambar 2 Pengukuran berdasarkan anatomi kerangka pada domba (Battaglia 2007)
3. Bobot Badan Induk, dilakukan dengan cara menimbang induk setelah melahirkan (satuan dalam kg). 4. Jumlah Anak Sekelahiran, dilakukan dengan melihat jumlah anak yang dilahirkan (ekor/induk). 5. Produksi Susu, diukur dengan cara memisahkan anak-anak domba, kemudian sebelum dan susudah anak menyusu pada induk, terlebih dahulu dilakukan penimbangan masing-masing anak (Caja et al. 2006). Total selisih bobot anak domba sebelum dan sesudah menyusu tersebut merupakan jumlah produksi susu induk. Pengukuran dilakukan pukul 23.00, 05.00, 11.00 dan 17.00 (satuan dalam gram). Produksi susu diukur setiap tiga hari sekali. 6. Total Bobot Lahir, diukur dengan menimbang jumlah anak yang dilahirkan setiap induk domba (kg/induk). 7. Total Bobot Sapih, diukur dengan menimbang jumlah anak yang disapih umur dua bulan setiap induk domba (kg/induk).
8. Daya Hidup Periode Lahir sampai Sapih, jumlah anak domba yang hidup pada saat dilahirkan sampai berumur dua bulan. Persentase daya hidup dihitung dengan membagi jumlah anak domba yang mati dengan jumlah anak domba yang dilahirkan hidup sampai umur dua bulan dikali 100 (satuan dalam persen). Peubah pendukung yang diamati untuk mengetahui kondisi lingkungan yang mempengaruhi produktivitas ternak adalah luas areal dan daya tampung padang
penggembalaan
UP3J-IPB,
temperatur
dan
kelembaban
padang
penggembalaan dan curah hujan. Analisis Data Data kuantitatif untuk mengetahui produktivitas induk berupa bobot badan induk, produksi susu, jumlah anak sekelahiran, total bobot lahir dan total bobot sapih dihitung nilai rata-rata, simpangan baku dan koefisien keragaman yang disajikan dalam bentuk tabel dan diagram. Pengaruh umur induk terhadap performa induk setelah melahirkan dianalisis keragaman (ANOVA) dengan menggunakan general linier model (GLM) program statistica. Sifat-sifat yang diduga memiliki hubungan fungsional (sebab akibat) peubah terikat terhadap beberapa peubah bebas seperti bobot badan dengan ukuran-ukuran tubuh, produksi susu dengan ukuran-ukuran tubuh dilakukan dengan menggunakan analisi regresi berganda. Model matematika analisis keragaman (ANOVA) menurut Riduwan (2003) sebagai berikut : Yij = μ + Ai +ε Keterangan: Yijk = sifat yang diamati (bobot badan induk; jumlah anak sekelahiran; produksi susu; total bobot lahir; total bobot sapih) μ = rataan Ai = umur induk € = galat
Persamaan regresi linear berganda dengan beberapa peubah bebas menurut Riduwan (2003) : Ỷ = a + b1X2 + b2X2 +…..+ bnXn Keterangan : Ỷ = peubah terikat (produksi susu), X = peubah bebas (panjang badan, lingkar dada, lebar dada, dalam dada, tinggi pundak, lingkar pangkal ambing, tinggi ambing), a = besarnya Y jika X = 0 dan b = nilai arah sebagai penentu ramalan (prediksi) terhadap nilai Y. Untuk merespon berbagai kelompok umur sapih yang berbeda, maka digunakan angka penyesuaian (faktor koreksi). Persamaan hasil modifikasi berdasarkan persamaan Hardjosubroto (1994) dengan umur penimbangan disesuaikan pada umur sapih 60 hari : BSs = BL + (BS – BL) X 60 umur Keterangan : BSs : bobot sapih standar 60 hari, BL : bobot lahir, BS : bobot sapih dan Umur : umur anak domba saat disapih (hari). Perhitungan besarnya koefisien biak dalam pada populasi menggunakan persamaan ∆F= Nf+Nm/8NfNm (Wiener 1994), Nf dan Nm masing-masing jumlah betina dewasa dan pejantan dalam populasi. Analisis
lingkungan
untuk
mengetahui
kebutuhan
luas
padang
penggembalaan per tahun di UP3J-IPB digunakan persamaan (y-1)s = r (Reksohadiprodjo 1994a), y = luas padang penggembalaan yang dibutuhkan ternak per tahun, s = periode merumput dan r = periode istirahat.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Unit Pendidikan, Penelitian dan Peternakan Jonggol (UP3J) merupakan areal peternakan domba milik Institut Pertanian Bogor (IPB) yang terletak desa Singasari Kecamatan Jonggol Kabupaten Bogor. UP3J disamping dikelola untuk tujuan komersil juga digunakan sebagai sarana pendidikan dan penelitian terutama pada bidang peternakan. Seringkali juga digunakan sebagai praktek kerja lapang bagi mahasiwa. UP3J memiliki luas areal 169 hektar, terdiri atas 20% kondisi lahan datar, 60% bergelombang dan 20% curam dan lembah. Kondisi padang penggembalaan, sarana dan prasarana di UP3J-IPB dalam penunjang kegiatan peternakan seperti padang pengembalaan, kebun rumput, kandang, kantor, gudang, ruang rapat, penginapan, perumahan karyawan serta bangunan jalan penghubung tahun 2007 terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Peta kondisi padang penggembalaan, sarana dan prasarana UP3J-IPB (2007).
Secara geografis UP3J terletak antara 60LU dan 106,530BT pada ketinggian 70 m diatas permukaan laut. Kondisi iklim di UP3J secara umum dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu bulan basah dan bulan kering. Perbedaan suhu antara bulan basah dan bulan kering di UP3J sangat ekstrim, bulan kering biasanya lebih lama dibanding dengan bulan basah (Tabel 4). Bulan kering biasanya terjadi antara Maret-Oktober dan bulan basah antara November-Ferbruari. Kondisi iklim ini berbeda dengan di Bogor pada umumnya yang beriklim tipe A menurut klasifikasi Scmidt dan Ferguson, dimana bulan basah biasanya lebih panjang dibanding dengan bulan kering (Koesmaryono dan Handoko 1993). Tabel 4 Kondisi iklim di UP3J Kondisi iklim Curah hujan (mm/bulan) Suhu maksimum (0C) Suhu minimum (0C) Suhu basah (0C) Suhu kering (0C Kelembaban (%) Kecepatan angin (m/jam) Sumber : data diolah dari dokumen UP3J (2007)
Bulan basah
Bulan kering
457,33 30,77 22,15 26,90 25,81 92,36 3479,33
182,22 33,63 21,78 28,95 26,29 91,54 1848,89
Kondisi iklim selama penelitian bulan Juni-November dengan rata-rata curah hujan 182,22 mm/bulan, kelembaban 75%, suhu maksimum 33,630C, suhu minimum 22,400C dan kecepatan angin rata-rata 1848,89 m/jam (Tabel 4). Suhu lingkungan yang tinggi dari thermonetral zone mengakibatkan domba mengalami cekaman panas dan kelebihan panas ini akan dilepaskan melalui saluran pernafasan (Winugroho et al. 1993). Kisaran suhu lingkungan domba tropis untuk produksi yang efisien adalah 4-240C (Yousef 1985), sedangkan menurut Abdalla et al. (1993), daerah termonetral untuk ternak domba adalah 200C dengan kelembaban 65% dan akan mengalami cekaman panas jika suhu lingkungan mencapai 350C. Suhu lingkungan yang tinggi selama bulan kering dapat mempengaruhi produktivitas ternak baik langsung maupun tidak langsung. Suhu yang tinggi selama bulan kering dapat menurunkan laju konsepsi dan pertumbuan plasenta saat bunting (Gordon 2005). Selama musim panas, induk domba bangsa Dorset, Merino
dan Rambouliet saat ovulasi tidak menunjukan tanda-tanda birahi (silent heat) dan mengurangi produksi sperma dan kualitas semen serta meningkatkan abnormalitas spermatozoa pada domba jantan (Bearden et al. 2004). Rendahnya curah hujan selama bulan kering di UP3J-IPB menyebabkan ketersediaan air minum untuk kebutuhan ternak menjadi berkurang, bak-bak penampungan disekitar kandang banyak yang mengering. Menurut Cassamasima et al. (2008), kekurangan kebutuhan air sebanyak 40% nyata menurunkan bobot induk yang sedang menyusui meskipun secara langsung tidak berpengaruh terhadap produksi dan komposisi air susu. Setiap 1 kg bahan kering pakan yang dikonsumsi domba membutuhkan air minum 2-3 kg, namun pada domba yang bunting kebutuhan air meningkat 50-100% (Reksohadiprodjo 1994b). Curah hujan secara tidak langsung berpengaruh terhadap komposisi nutrisi dan pertumbuhan hijauan di padang penggembalaan (Coleman dan Henry 2002). Hijauan jenis rumput tropik di padang penggembalaan menunjukkan pertumbuhan yang cepat pada suhu 15-300C dan
mengalami
pertumbuhan
yang
sangat
lambat
pada
suhu
31-360C
(Reksohadiprodjo 1994a). Kondisi tanah di UP3J memiliki tekstur liat berdebu dengan pH 5,25 (asam), nisbah C/N 13,78 dan kapasitas tukar kation (KTK) 6,64 cmol/kg, sehingga tingkat kesuburan tanah tergolong rendah (Malesi 2006). Hijauan makanan ternak yang dikembangakan di padang penggembalaan pada awalnya terdiri atas rumput Bachiaria humidicola, Brachiaria decumbent, Pinnesitum purperium dan tanaman leguminosa seperti gamal dan lamtoro (UP3J 1992). Rumput Bachiaria humidicola memiliki perkembangan vegetatif dengan stolon yang begitu cepat, sehingga pada saat ditanam di lapangan segera membentuk hamparan yang tebal. Gamal (Glirisidiae sp) dan Lamtoro (Leuchena sp) merupakan tanaman legum yang ditanam di sekeliling padang pengembalaan sekaligus berfungsi sebagai pagar hidup dan pembatas antar paddok. Sistem penanaman campuran rumput dan legum diharapkan dapat membantu memperkaya unsur hara dan mengurangi kondisi panas serta kecepatan angin. Sumber air disamping memanfaatkan air hujan, juga dibuat bak-bak penampungan dan waduk pada setiap padang penggembalaan. Namun saat ini sebagian besar padang penggembalaan telah berubah menjadi semak belukar dan rumput alam, hanya lebih kurang sepertiga dari total luas padang penggembalaan (± 50 ha) yang masih layak
digunakan sebagai areal grazing (Gambar 3). Pagar pembatas padang penggembalaan sebagian besar telah mengalami kerusakan, sehingga sulit dilakukan pengaturan ternak untuk merumput dalam areal padang penggembalaan secara bergilir. Kondisi ini menyebabkan ternak domba memilih hijauan yang masih muda, sehingga pemanfaatan hijauan tidak optimum (Umberger 2001) dan menimbulkan pertumbuhan kembali rumput (regrowth) tidak merata serta interpensi gulma menjadi meningkat (Reksohadiprodjo 1994b). Permasalahan lain di UP3J-IPB adalah ternak milik penduduk seperti kerbau dan sapi sering masuk ke dalam areal padang penggembalaan. Kolam penampung air tanah (earth dam) selama penelitian (Juni-November 2007) sebagian besar mengalami kekeringan, sehingga ternak domba harus berjalan cukup jauh dalam mendapatkan air minum.
Manajemen Pemeliharaan Dinamika Populasi Domba UP3J merupakan domba hasil silangan domba lokal ekor tipis dengan domba garut yang berkembang di Unit Pendidikan, Penelitian dan Peternakan Jonggol Institut Pertanian Bogor (UP3J-IPB) sejak tahun 1980 dan telah mengalami seleksi secara alami pada lingkungan yang panas dan kering (UP3J 1992). Domba UP3J memiliki ciri-ciri ekor tipis dan tidak berlemak, telinga berukuran kecil sampai medium, bulu biasanya berwarna putih, belang hitam dan banyak bercak warna hitam disekitar mata dan hidung, domba jantan bertanduk dan domba betina tidak bertanduk (Gambar 4). Sumantri et al. (2007) melaporkan bahwa lebar ekor domba UP3J 3,54±0,89 cm, tinggi pundak 55,66±3,37 cm domba jantan dan 57,87±4,26 cm betina dewasa, bobot badan domba jantan dan betina dewasa masing-masing 34,90±6,96 dan 26,11±4,12 kg. Ramdan (2007) melaporkan bahwa domba UP3J lebih banyak ditemukan tipe ekor tipis (96%) dibanding dengan tipe ekor sedang (4%) dan tidak ditemukan tipe ekor gemuk (0%), kondisi tersebut berbeda dengan hasil penelitian Raharjo (1992) bahwa pada kelompok domba yang sama telah ditemukan lebih banyak tipe ekor sedang (65%) dibanding ekor tipis (35%). Hal ini diduga pada penelitian terdahulu lebih banyak diwarisi bangsa domba garut, sedangkan saat ini lebih banyak diwarisi darah domba lokal.
A
C
B
D
Gambar 4 Karakteristik jantan dewasa (A) dan muda (B) serta induk domba UP3J (C, D).
Populasi ternak domba UP3J sebanyak 637 ekor yang terbagi menjadi berbagi tingkatan umur. Struktur populasi domba di UP3J disajikan pada Tabel 5. Populasi domba jantan dewasa di UP3J lebih sedikit dibanding dengan domba betina, karena domba jantan dewasa yang tidak digunakan untuk perkawinan biasanya habis terjual pada saat hari raya keagamaan atau kepada para pedagang sate dan rumah makan di sekitar lokasi. Meskipun terdapat 39 ekor domba jantan dewasa di UP3J, namun hanya 5 ekor pejantan terpilih yang digunakan untuk mengawini 275 betina dewasa (1:55,6). Sebanyak 34 domba jantan dewasa yang lain merupakan domba jantan afkir sisa dari penjualan domba-domba jantan tahun sebelumnya (Tabel 5). Pemeliharaan domba pejantan terpilih dan betina dewasa domba jantan muda dan dewasa afkir yang untuk dijual dilakukan dengan melepas di padang penggembalaan yang kondisi hijauan lebih baik dan terpisah dari domba yang lain. Demikian juga saat dikandangkan, domba jantan muda dan dewasa afkir biasanya terpisah dari kelompok domba lainnya.
Tabel 5 Struktur populasi domba UP3J Umur 0-3 bulan 3-12 bulan Betina 75 125 Jantan 80 40 Jantan afkir Total 155 165 Sumber : hasil perhitungan di lapangan (2007) Jenis kelamin
1-5 tahun 278 5 34 317
Total 478 125 34 637
Selain ternak domba terdapat 39 ekor ternak kerbau dan 20 ekor sapi yang digembalakan di padang penggembalaan (Tabel 6). Tabel 6 Struktur populasi ternak kerbau dan sapi di padang penggembalaan UP3J Umur Jenis kelamin Total Anak Muda Dewasa Kerbau 6 10 23 39 Sapi 3 5 12 20 Sumber : hasil perhitungan di lapangan (2007)
Berdasarkan jumlah populasi ternak ruminansia (Tabel 5 dan 6), dilakukan perhitungan jumlah populasi ternak ruminansia dalam jumlah unit ternak (UT) yang dihitung berdasarkan umur (anak, muda dan dewasa) dan angka konversi satuan ternak menurut Dinas Peternakan Sulawesi Selatan (2004) yaitu untuk domba 0,04 UT (anak), 0,07 UT (muda) dan 0,15 UT (dewasa), kerbau 0,29 UT (anak), 0,69 UT (muda) dan 1,15 UT (dewasa), sapi 0,25 UT (anak), 0,60 UT (muda) dan 1,00 UT (dewasa). Besarnnya satuan unit ternak (UT) berdasarkan jenis ternak yang terdapat pada Tabel 4 dan 5 adalah 62,00 UT domba, 35,00 UT kerbau dan 15,75 UT sapi. Kandang Ternak Kontruksi bangunan kandang domba di UP3J dapat dilihat pada Gambar 5. Bahan bangunan kandang umumnya dibuat dari bahan kayu, lantai kayu, dinding papan dan atap menggunakan bahan seng. Kandang dibuat koloni dengan sistem lantai panggung. Dinding kandang pada bagian atas dibuat celah untuk keluar masuknya udara, sedangkan pada bagian bawah dibuat rapat sehingga ternak tidak kedinginan dan terlindungi dari serangan predator terutama anjing. Tinggi lantai
panggung dari tanah lebih kurang 1,50 m, hal ini memudahkan pada saat membersihkan kotoran ternak.
(A) Gambar 5
(B)
Kontruksi kandang (A) dan kondisi feses yang menumpuk pada lantai kandang (B).
Dasar lantai kandang dibuat celah lobang, dengan harapan feses domba bisa jatuh ke tanah. Namun karena pembersihan kotoran dalam kandang tidak dilakukan secara baik, maka timbul adanya penumpukan kotoran pada lantai kandang. Kondisi ini tentu merupakan media yang untuk pertumbuhan jamur dan bakteri dan mengeluarkan gas amonia yang dapat mengganggu kesehatan ternak. Terdapat empat kandang koloni yang digunakan untuk ternak domba dengan ukuran yang bervariasi. Kandang koloni dengan ukuran 8,0x15,0 m biasanya digunakan untuk menampung 130-170 ekor domba dalam berbagai tingkatan umur. Kondisi semacam ini seringkali menyebabkan induk yang melahirkan pada malam hari di dalam kandang anaknya terinjak-injak oleh domba lain, kaki terperosok kedalam lobang lantai kandang atau induk tidak mengenal anak yang dilahirkan, sehingga dapat meningkatkan angka mortalitas anak domba di UP3J. Kandang hanya lebih banyak difungsikan untuk tempat beristirahat ternak pada malam hari, pagi harinya ternak dilepas di padang penggembalaan. Pada sekitar kandang ditanami pohon akasia dengan tujuan untuk melindungi terpaan angin kencang dan sebagai peneduh. Pada sisi kanan dan kiri kandang dibuat tempat pakan, namun tidak difungsikan secara optimal.
Sistem Penggembalaan (Grazing) Pemberian pakan domba UP3J dilakukan dengan sistem penggembalaan secara kontinyu, yaitu dengan cara membiarkan ternak merumput hijauan secara bebas
di
padang
penggembalaan
(grazing)
sepanjang
musim.
Sistem
penggembalaan kontinyu mempunyai sifat sangat selektif memilih hijauan yang masih muda, sehingga pemanfaatan hijauan tidak optimum (Umberger 2001) dan menimbulkan pertumbuhan kembali rumput (regrowth) tidak merata serta interpensi gulma menjadi meningkat (Reksohadiprodjo 1994a). Ternak dilepas di padang penggembalaan (grazing) mulai pukul 09.00 sampai dengan pukul 16.00. Pemberian air minum dilakukan dengan menyediakan di sekitar padang penggembalaan. Namun demikian, kondisi hijauan selama penelitian sebagian besar mengalami kekeringan, hanya bagian batang tanaman yang keras dan daun tua yang terlihat tersisa (Gambar 6). Ketersediaan hijauan yang palatabel dan air minum menjadi sangat terbatas sehingga ternak harus berjalan cukup jauh untuk memperoleh hijauan dan air minum. Keadaan semacam menyebabkan ternak terutama anak domba mengalami kelelahan dan akhirnya tertinggal atau mati di padang penggembalaan. Pada saat ternak dikandangkan, sering kali terdapat sekelompok induk dan anak domba yang tertinggal di padang penggembalaan, terutama domba yang mencari pakan pada semak-semak atau di padang penggembalaan yang cukup jauh dari kandang atau terpisah dari kelompok domba. Pada bulan kering produksi hijauan segar di UP3J yang dipanen umur 30 hari sebesar 369,42 g/m2, sedangkan pada musim hujan mencapai 404,20 g/m2 (Malesi 2006). Selanjutmya, kandungan protein dan serat kasar hijauan pada musim kering masing-masing sebesar 4,59% dan 44,78%. Produksi tersebut sangat rendah jika di banding dengan hasil penelitian Mansyur (2004) bahwa produksi rumput Brachiaria humidicola yang dipanen umur 30 hari dan dipupuk dengan 9 ton/ha dolomit, 2 ton/ha pupuk kandang, 450 kg urea, 15 kg SP36 dan 430 kg KCl adalah sebesar 3.260 g/m2, dengan kandungan nutrisi 5,5% protein kasar, 0,21% fospor dan 0,38% kalsium serta daya cerna bahan kering dan bahan organik masingmasing 57,23 dan 57,52%. Skerman dan Riveros (1990) menyatakan bahwa rumput Brachiaria humidicola mengandung protein kasar sebesar 8-9% dan serat kasar 3235%.
(A)
(B)
Gambar 6 Kondisi rumput Brachiaria humidicola di padang penggembalaan yang mengering (A) dan tingkah laku domba saat menghindari terik matahari (B)
Penurunan produksi hijauan di UP3J selama bulan kering disebabkan oleh rendahnya ketersediaan air tanah, sehingga dapat mengganggu proses metabolisme diantaranya pengurangan pembukaan stomata, laju fotosintesis dan kehilangan air dari daun (Goldsworthy dan Fisher 1992) dan menghambat penyerapan unsur hara di dalam tanah oleh tanaman (Hardjowigeno 2003). Menurut Minson (1990), penurunan kandungan protein kasar pada rumput selain disebabkan oleh umur tanaman, juga dapat disebabkan oleh penurunan proporsi helai daun dengan kelopak daun dan batang, dimana pada helai daun mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi dibanding kelopak daun dan batang. Konsentrasi nitrogen pada tanaman akan menurun dengan meningkatnya umur tanaman (Whitehead 2000). Suhu dan kelembaban udara merupakan faktor yang sangat mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung kandungan nutrisi hijauan di padang penggembalaan, suhu lingkungan yang tinggi dapat meningkatkan struktur material dinding sel tanaman seperti lignin dan mempercepat proses metabolisme yang dapat menurunkan ukuran ruang isi sel (Coleman dan Henry 2002). Henry et al. (2000) menunjukkan bahwa rumput Italian ryegrass (Lolium multiflorum) yang tumbuh pada suhu lingkungan 340C kandungan lignin, selulosa dan hemiselulosa meningkat tajam, sehingga nilai kecernaan bahan kering menjadi rendah.
Kapasitas Tampung Padang Penggembalaan Besarnnya satuan unit ternak (UT) berdasarkan jenis ternak yang terdapat pada Tabel 4 dan 5 adalah 62,00 UT domba, 35,00 UT kerbau dan 15,75 UT sapi. Luas padang pengembalaan yang ditanami rumput ±32 ha, sehingga kepadatan populasi di padang pengembalaan UP3J adalah 3,50 UT/ha atau 1,50 UT/ha untuk total luas areal UP3J ±169 ha. Menurut Reksohadiprodjo (1994a), bahwa untuk menjamin pertumbuhan kembali hijauan di padang penggembalaan harus disisakan bagian dari tanaman dan diperhitungkan adanya proper use, yang besarnya tergantung pada iklim dan jenis ternak di padang penggembalaan serta masa istirahat untuk tumbuh kembali setelah dipakai untuk padang penggembalaan yang juga tergantung musim. Selanjutnya, pada padang penggembalaan ringan proper use adalah 25-30%, penggunaan sedang 40-45% dan penggunaan berat 60-70%. Bila produksi hijauan segar di UP3J pada musim kering 369,42 g/m2 dan proper use sebesar 70% pada padang penggembalaan berat, maka jumlah hijauan tersedia per m2 adalah 70%x369,42 g atau diperkirakan 2.586 kg/ha. Mengingat adanya musim kering yang panjang, masa istirahat hijauan untuk tumbuh kembali (regrowth) untuk daerah tropik setelah digunakan untuk penggembalaan (dipanen) 30 hari adalah 10 minggu (Reksohadiprodjo 1994a). Selanjutnya, jika 1 UT dengan berat hidup 300 kg membutuhkan hijauan segar sebanyak 30 kg/hari, maka konsumsi hijauan segar selama 30 hari sebanyak 30x30 kg = 900 kg. Kebutuhan luas padang penggembalaan yang harus disediakan adalah 900/2.586 = 0,348 ha. Kebutuhan luas tanah per tahun dihitung menurut persamaan (y-1)s = r (Reksohadiprodjo 1994a), maka kebutuhan luas padang penggembalaan per tahun adalah 3,3x0,348 = 1,2 ha/UT atau 1 ha padang penggembalaan dapat menampung 0,8 UT. Untuk menghitung kebutuhan luas padang penggembalaan di UP3J dengan total ternak 112,75 UT (62,00 UT domba + 35,00 UT kerbau + 15,75 UT sapi) dan interpensi gulma semak sebesar 20% adalah seluas 169 ha. Namun kondisi tahun 2007 hanya sekitar sepertiga (± 50 ha) dari total luas padang penggembalaan yang masih layak dipergunakan sebagai areal penggembalaan (Gambar 3). Penggunaan padang penggembalaan dalam kondisi berat dapat menyebabkan domba jonggol di UP3J tidak mampu menampilkan potensi genetiknya secara optimal. Upaya meningkatkan pertumbuhan dan produksi domba betina dan anak
domba yang baru tumbuh diperlukan konsumsi hijauan yang cukup dengan kualitas yang sesuai dengan kebutuhan ternak. Menurut Herman (2003), kebutuhan pakan untuk hidup pokok ternak di padang penggembalaan berkisar antara 10 sampai 90% lebih tinggi dibanding kebutuhan ternak yang diberi pakan dalam kandang. Besarnya kebutuhan tersebut tergantung produksi hijauan, ketersediaan air, topografi dan jarak tempuh hewan saat merumput. Rata-rata konsumsi bahan kering untuk pertumbuhan 1,70%, menyusui 2% dan kebuntingan 4% dari bobot badan (Umberger 2001). Peningkatan produktivitas ternak domba UP3J dapat dilakukan dengan memperbaiki manajemen padang penggembalaan seperti peremajaan hijauan, pemberian pupuk organik maupun kimia secara berkala, pembuatan irigasi dan perbaikan pagar sehingga dapat meningkatkan produksi dan kualitas rumput lebih baik. Manajemen penggembalaan dilakukan secara bergilir dengan melibatkan campur tangan manusia, sehingga ternak tidak diberi kesempatan untuk melakukan renggut pilih (selective grazing), sehingga pertumbuhan kembali rumput dapat terjamin (Umberger 2001). Ketika kondisi hijauan jelek terutama pada musim kering, maka perlu ditambahkan pakan suplemen (Dove 2002). Selanjutnya, metode yang digunakan untuk menentukan jenis dan konsentrasi pakan suplemen yang diberikan yaitu dengan melihat defisiensi zat nutrisi pada kandungan feses, plasma darah atau total kandungan air dalam tubuh. Menurut Antunovic et al. (2004) bahwa untuk mencegah defisiensi dan timbulnya penyakit, suplementasi mineral pada domba yang digembalakan disesuaikan dengan kebutuhan ternak berdasarkan status reproduksi dan umur domba. Pada ternak tidak bunting dan bunting kebutuhan Ca, P dan Na lebih tinggi dibanding ternak yang sedang laktasi, tetapi kebutuhan K sangat nyata lebih rendah. Selanjutnya, pada domba muda sampai umur satu tahun kebutuhan P, Na dan P lebih tinggi dibanding domba yang berumur lebih tiga tahun. Penambahan dedak sebesar 150 g/hari terhadap ternak domba di UP3J pada bulan kering yang memiliki rata-rata bobot badan 20 kg menghasilkan pertambahan bobot badan sebesar 77 g/hari sangat nyata lebih tinggi (p<0,01) dibanding ternak yang tidak mendapat pakan tambahan dedak yaitu 47 g/hari (Wardhani 2006).
Kesehatan Pencegahan penyakit dilakukan dengan pemberian obat cacing pada ternak setiap periode satu bulan. Namun demikian, serangan cacing tambang jenis nematoda (Haemoncus contotrtus) sering muncul saat terjadi hujan beberapa hari saat musim kering atau saat terjadi pergantian musim kering ke musim hujan dan mencapai puncaknya pada musim hujan. Rataan jumlah telur nematoda yang terdapat pada tinja domba di UP3J pada musim kemarau (122,83 telur/minggu) sangat nyata lebih rendah (p<0,01) dibandingkan awal musim hujan (303,58 telur/minggu) (Malesi 2006). Penurunan jumlah telur pada musim panas disebabkan suhu lingkungan dan intensitas penyinaran yang tinggi. Pelet tinja domba cepat kering dan sulit hancur pada musim panas, sehingga bila ada telur cacing menetas maka larva sulit keluar dari pelet tinja. Menurut Kusumamihardja (1982) bahwa pada musim kemarau air embun pada rumput cepat menguap, sehingga larva tidak leluasa naik ke pucuk rumput. Nematoda sering menyerang pada anak domba yang telah mulai makan rumput atau setelah berumur lebih kurang enam minggu. Tanda anak domba yang terserang cacing adalah kurus, bulu kusut, suhu tubuh meningkat, mencret, jika dibuka pada kelopak mata terdapat cacing dan pada kondisi akut biasanya ternak tidak dapat berdiri (Gambar 7).
Gambar 7 Kondisi domba yang terserang nematoda
Siklus hidup nematoda (Haemoncus contotrtus) penting diketahui sebagai program pengontrolan kesehatan ternak di padang penggembalaan. Pada domba dewasa nematoda tinggal di abomasum dan bertelur dalam jumlah yang sangat besar kemudian dikeluarkan bersama feses. Telur pada feses menetas menjadi larva lalu menempel pada rumput dan berkembang menjadi larva infektif untuk menginfeksi domba (Whittier et al. 2003). Perkawinan Sistem perkawinan dilakukan secara alami, dengan cara menempatkan beberapa pejantan terpilih pada kelompok domba betina dewasa. Perbandingan antara pejantan dan betina dewasa adalah 5 ekor pejantan dan 278 ekor betina atau 1:55,6. Rasio jantan dan betina dewasa domba di UP3J tergolong rendah, karena menurut Wiradarya (2005), rasio pejantan dan betina dewasa adalah 1:25, sedangkan menurut Iniquez et al. (1993), dalam populasi seekor pejantan mampu mengawini 15-20 betina. Besarnya laju koefisien biak dalam pada populasi domba di UP3J yang dihitung berdasarkan persamaan ∆F= Nf+Nm/8NfNm (Wiener 1994) adalah 0,025/periode kelahiran. Biak dalam akan meningkatkan frekuensi gen homozigot dalam populasi dan secara otomatis dapat menurunkan frekuensi gen heterozigot. Gen-gen homozigot resesif akan meningkat yang dapat menyebabkan penurunan kemampuan reproduksi, kemampuan mengasuh anak (mothering ability) rendah, meningkatkan mortalitas (letal), menurunkan vigoritas dan laju pertumbuhan pada ternak domba (Bourdon 2000). Pada ternak domba setiap peningkatan 0.01 koefisien inbreeding dapat menyebabkan penurunan jumlah anak sekelahiran dan daya hidup masing-masing sebesar 0,014 dan 0,028 (Simm 1998). Menurut Wiener (1994), akibat terjadinya peningkatan koefisien biak dalam pada beberapa level (0, 0,25, 0,38, 0,50 dan 0,59) dapat menimbulkan penurunan daya hidup induk dari 92% menjadi 74%, jumlah anak sekelahiran 1,73 menjadi 1,26, daya hidup anak domba dari 95 menjadi 74% dan total bobot sapih dari 28 kg menjadi 13 kg. Menurut Martojo (1992) untuk menghindari timbulnya penurunan produktivitas ternak seperti kemampuan reproduksi dan daya hidup, maka koefisien inbreeding dalam populasi diusahakan sebesar 0,005/generasi. Sehingga pada ternak sapi dengan interval generasi selama 5 tahun, maka koefisien biak dalam yang dianjurkan adalah 0,001/tahun.
Produktivitas Domba UP3J Produktivitas induk umumnya masih rendah, dengan total populasi induk dewasa sebanyak 278 hanya menghasilkan anak (lamb crop) 320 ekor/tahun atau dalam setiap 100 ekor induk hanya mampu menghasilkan anak (lamb crop) sebanyak 115 pertahun (Tabel 5). Dengan asumsi jumlah anak sekelahiran sebesar 135% ekor/induk dan jarak beranak 8 bulan, maka dapat dihitung rata-rata persentase beranak sebesar 56,70%. Hasil serupa diperoleh pada domba ekor gemuk di Kecamatan Sigi-Biromaru Kabupaten Donggala yang dipelihara dengan sistem melepas pada penggembalaan bebas (ekstensif) dengan persentase beranak sebesar 57,25% (Malewa 2007). Hardjosubroto (1994) melaporkan bahwa domba ekor tipis jawa dengan jarak beranak delapan bulan, setiap 100 ekor induk dapat menghasilkan rata-rata anak domba dalam setahun (lamb crop) sebanyak 210 ekor, sedangkan domba priangan rata-rata 230 ekor. Rendahnya persentase beranak induk domba UP3J diduga disebabkan belum dilakukan seleksi terhadap betina produktif dan rasio pejantan dan betina dewasa dalam populasi yang masih rendah karena menurut Wiradarya (2005) rasio pejantan dan induk adalah 1:25, sehingga berpotensi sebagai daerah bibit. Penggunaan padang penggembalaan dalam kondisi berat dan musim kering yang cukup lama dapat menurunkan produktivitas hijauan pakan ternak. Menurut Reksohadiprodjo (1994a) bahwa pada musim panas biasanya terjadi kematangan fisiologi tanaman, sehingga rasio antara daun dan batang berkurang, akibatnya nilai nutrisi tanaman menjadi rendah. Kandungan protein, mineral dan karbohidrat yang mudah larut menjadi berkurang, sedangkan kandungan serat kasar dan lignin meningkat. Perubahan-perubahan ini dapat mengurangi palatabilitas dan daya cerna tanaman sehingga kebutuhan energi dan protein ternak tidak terpenuhi. Rata-rata kebutuhan bahan kering untuk hidup pokok dan pertumbuhan domba adalah 3,20-4,00% dari bobot hidup, energi 93-98 Kcal/hari/Wkg0,75, protein dapat dicerna 1,72 g/hari/Wkg0,75 (Reksohadiprodjo 1994b). Selanjutnya kebutuhan energi untuk hidup pokok ternak yang digembalakan pada padang gembalaan 25-75% lebih tinggi dibanding yang dikandangkan, sedangkan kebutuhan energi induk saat bunting dapat mencapai 171% lebih tinggi dari hidup pokok.
Ukuran Tubuh Rataan dan koefisien keragaman panjang badan, lingkar dada, lebar dada, dalam dada, tinggi pundak, lingkar pangka ambing dan dalam ambing disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Rataan dan koefisien keragaman ukuran tubuh domba UP3J betina pada umur yang berbeda. Umur domba n Rataan (cm) Peubah (tahun) (ekor) I1 14 52,11 I2 19 53,89 Panjang Badan (PB) 17 53,41 I3 I4 21 53,57 63,96B I1 14 I2 66,76B 19 Lingkar Dada (LD) 17 I3 70,73A 21 I4 70,48A 12,83B I1 14 I2 13,22AB 19 Lebar Dada (LeD) 17 I3 14,21A 21 I4 13,96AB I1 14 25,31B I2 25,68B 19 Dalam Dada (DD) I3 27,37A 17 I4 27,05A 21 53,66 14 I1 55,32 I2 19 Tinggi Pundak (TP) 56,48 17 I3 56,56 21 I4 23,98 I1 14 24,61 I2 19 Lingkar Ambing (LA) 25,41 17 I3 25,91 21 I4 11,89B I1 14 I2 13,45AB 19 Dalam Ambing (DA) I3 15,10A 17 21 I4 15,15A
dewasa KK (%) 9,69 6,56 8,14 7,29 5,75 5,53 5,43 5,30 9,59 9,91 8,50 7,80 5,29 6,93 6,17 3,55 8,49 5,72 8,79 8,08 15,47 15,64 12,28 9,53 20,77 19,55 18,80 14,52
Keterangan: huruf yang tidak sama pada kolom yang sama untuk setiap peubah menunjukkan berbeda sangat nyata (p<0,01)
Panjang badan, lingkar dada, lebar dada, dalam dada dan tinggi pundak merupakan bagian penting dalam memberikan kontribusi terhadap performa ternak, karena ukuran tubuh tersebut berhubungan dengan bobot badan (Diwyanto 1984; Doho 1994), meskipun tidak dapat menggambarkan komposisi zat dalam tubuh (Fourie et al. 2002). Rataan panjang badan, lingkar dada, dalam dada dan tinggi pundak hasil penelitian ini lebih rendah jika dibanding dengan penelitian Ramdan (2007) pada kelompok domba yang sama, panjang badan pada domba betina I1 52,2 cm, I2 52,8 cm dan I3 60,6 cm, lingkar dada I1 67,1 cm, I2 71,1 cm, I3 72,20 cm dan I4 74,40 cm dan tinggi pundak I1 67,10 cm, I2 71,00 cm, I3 72,20 cm dan I4 74,40 cm. Perbedaan ukuran tubuh tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan kecepatan pertumbuhan ternak sesuai dengan potensi genetik individu (Piper dan Ruvinsky 2005) dan kondisi lingkungan terutama ketersediaan pakan (Parakkasi 1999). Kondisi hijauan yang baik yang dikonsumsi induk domba selama periode kebuntingan dapat meningkatkan laju pertumbuhan fetus dan bobot lahir (Subandriyo et al. 1994; Rehfeldt et al. 2004; Dong et al. 2008). Bobot lahir yang tinggi memiliki hubungan kuat dengan bobot sapih dan efisiensi penggunaan pakan setelah sapih (Martojo 1992). Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa berbedaan umur induk tidak berpengaruh nyata terhadap panjang badan dan tinggi pundak, namun berpengaruh sangat nyata terhadap lingkar dada, lebar dada dan dalam dada (P<0,01). Hal ini menunjukkan bahwa akselerasi laju pertumbuhan tulang dan rangka sampai dengan umur 1‐1,5 (I1) atau 2‐3 tahun (I2) tahun diduga terjadi pada organ tulang belakang dan organ kaki yang ditunjukkan dengan menambah ukuran panjang dan tinggi ternak. Menurut Soeparno (2005) bahwa selama pertumbuhan dan perkembangan, bagian organ dan komponen tubuh mengalami pertumbuhan maksimal dengan kecepatan yang berbeda. Selama periode postnatal, tulang tumbuh lebih awal dibandingkan dengan pertumbuhan otot dan lemak, sedangkan rusuk merupakan tulang yang perkembangannya paling akhir. Koefisien keragaman untuk beberapa peubah ukuran tubuh menunjukan nilai yang relatif kecil dan hampir seragam untuk semua umur, meskipun pada peubah lingkar pangkal ambing dan dalam ambing cenderung menunjukkan nilai yang lebih besar. Namun demikian, untuk melakukan seleksi berdasarkan kriteria ukuran tubuh domba UP3J sebaiknya dilakukan pada kelompok induk I1 dan I2 yang memiliki koefisien keragaman tinggi.
Bobot Badan Induk Setelah Melahirkan Berdasarkan hasil pengamatan sebanyak 94 ekor induk yang melahirkan rata‐rata bobot badan setelah melahirkan sebesar 24,3±3,90 kg/ekor dengan koefisien keragaman 16,06%. Dilihat berdasarkan bobot badan induk, domba UP3J tergolong rendah dibandingkan dengan rata‐rata bobot badan induk domba ekor tipis jawa yaitu sebesar 30 kg dan domba ekor gemuk sebesar 35 kg (Iniguez dan Gunawan 1990). Hasil analisa data menunjukkan bahwa umur induk berpengaruh sangat nyata terhadap bobot badan induk saat melahirkan (p<0,01). Rataan bobot badan induk I1 dan I2 secara sebesar 21,40 kg dan 21,70 kg, sedangkan I3 dan I4 meningkat menjadi 26,60 dan 25,90 kg (Tabel 8).
) ,5 % A
.91 25
(1 2
A
.62 26
.7 B (1 5 ,0 % ) 21
B
.42
25
21
bobot badan (kg/ekor)
(1 6
30
,5 %
)
(1 2
,8 %
)
20 15 10 5 0
1,0-1,5
2,0-3,0
3,0-4,0
4,0-5,0
umur induk (tahun)
Gambar 8 Rataan dan koefisien keragaman bobot induk berdasarkan umur induk
Keadaan ini menunjukkan bahwa pertumbuhan domba terus berjalan sampai domba berumur 3 tahun, selanjutnya mulai umur empat tahun terjadi penurunan bobot badan (Gambar 8).
Tabel 8 Rataan dan koefisien keragaman bobot badan induk setelah melahirkan (kg/ekor) berdasarkan umur induk Umur induk n Rataan bobot badan induk KK (tahun) (ekor) (kg/ekor) (%) 21,40B I1 14 16,45 B I2 21.70 21 15,08 18 12,79 I3 26.60A 41 12,54 I4 25,90A Rataan 24,30 16,06 Keterangan: huruf yang tidak sama pada baris berbeda untuk setiap peubah bebas menunjukkan berbeda sangat nyata (p<0,01) Laju pertumbuhan setelah lahir mula-mula terjadi sangat lambat, kemudian cepat, selanjutnya berangsur-angsur menurun dan berhenti setelah mencapai dewasa (Soeparno 2005). Kelompok I1 dan I2 memiliki bobot badan dengan tingkat keragaman yang lebih tinggi dibanding dengan induk umur I3 dan I4, dengan koefisien keragaman 16,45 dan 15,08%, sedangkan I3 dan I4 sebesar 12,79 dan 12,54%. Kondisi ini menunjukkan bahwa bobot badan pada kelompok domba I1 dan I2 lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan terutama kemampuan dalam mengkonsumsi pakan. Keragaman yang tinggi pada induk juga disebabkan domba tersebut masih dalam taraf pertumbuhan, pada masa pertumbuhan akselerasi peningkatan bobot badan disamping dipengaruhi faktor genetik, juga sangat tergantung pada komposisi kimia pakan yang dikonsumsi (Soeparno 2005). Bobot badan yang rendah pada induk domba dapat menurunkan kemampuan reproduksi seperti jumlah anak sekelahiran, total bobot lahir, total bobot sapih dan memperpanjang jarak kelahiran serta mempengaruhi produksi susu dan daya hidup anak yang dilahirkan (Lawrence dan Fowler 2002). Sebaliknya, domba yang mampu menyeleksi pakan dengan kandungan protein dan energi lebih tinggi akan menghasilkan bobot badan lebih tinggi dan kemampuan reproduksi induk akan lebih baik. Keadaan semacam ini sering dimanfaatkan peternak untuk menghasilkan bobot badan yang dinginkan dengan cara memanipulasi kandungan nutrisi pada pakan yang diberikan ternak. Jumlah Anak Sekelahiran Berdasarkan jumlah pengamatan sebanyak 94 ekor induk yang melahirkan, didapatkan jumlah anak sekelahiran sebesar 1,27±0,44 ekor/induk dengan koefisien keragaman 34,65%. Hasil penelitian ini lebih rendah dibanding dengan rataan jumlah anak sekelahiran domba ekor tipis jawa yang dilaporkan peneliti sebelumya
yaitu sebesar 1,77ekor/induk (Inounu 1996). Jumlah anak sekelahiran yang lebih rendah ini diduga pengaruh kondisi pakan yang jelek selama bulan kering dan belum adanya
seleksi
terhadap induk yang memiliki gen fekunditas yang
mengontrol sifat prolifik domba UP3J pada generasi-generasi sebelumnya. Ketersediaan hijauan dengan kualitas yang jelek, juga menjadi penyebab rendahnya jumlah anak sekelahiran induk domba UP3J. Tabel 9 Distribusi kelahiran, rataan anak sekelahiran dan koefisien keragaman berdasarkan umur induk Distribusi kelahiran (%) Umur n Rataan anak KK (tahun) (ekor) Tunggal Kembar Kembar 3 sekelahiran (%) 35,20 1,21 21,50 78,50 I1 14 35,16 1,24 23,83 76,20 I2 21 35,08 1,22 5,50 16,70 77,80 18 I3 35,68 1,32 2,40 29,30 68,30 41 I4 Rataan 94 73,40 25,50 2,10 1,27 35,25
Pemberian pakan yang cukup dan berkualitas pada domba muda sangat penting untuk proses pematangan sel telur, karena membutuhkan lebih kurang 6 bulan proses pembentukan sel telur dari folikel di dalam ovarium (Robinson et al. 2002). Domba ekor gemuk yang dipelihara dengan melepas di padang penggembalaan rumput alam persentase kelahiran kembar sangat rendah yaitu hanya 3,23% di Palu Timur, 1,61% di Palu Selatan dan 9,09% di Binomaru (Malewa 2007), sedangkan di Indramayu dengan manajemen pemberian pakan yang lebih baik persentase kelahiran kembar mencapai 47,1% dan kelahiran kembar tiga 13,21%. Nottle et al. (1997) melaporkan induk domba merino yang diberi pakan dengan kualitas tinggi (flushing) 6 bulan sebelum ovulasi menghasilkan 1,63±0,07 sel telur/ovulasi, sedangkan induk yang tidak mendapat perlakuan flushing hanya menghasilkan 1,06±0,09 sel telur/ovulasi dan induk yang mendapat perlakuan flushing dua bulan sebelum ovulasi hanya menghasilkan 1,38±0,09 sel telur/ovulasi. Pada induk domba ekor tipis jawa yang diberi pakan dengan kualitas baik (15% PK dan 10 MJ/kg) yang diberikan ad libitum dalam beberapa bulan pada domba muda, menghasilkan jumlah anak sekelahiran sebesar 1,80 ekor/induk, sedangkan pada induk domba yang diberi pakan dengan jumlah dibatasi menghasilkan jumlah anak sekelahiran sebesar 1,50 ekor/induk (Sutama et al. 1988). Domba ekor tipis sumatera yang dipelihara di lahan perkebunan karet yang masih berumur muda dengan kualitas hijauan yang tinggi menghasilkan jumlah
jumlah anak sekelahiran (ekor/induk)
,68 %) 2(3 5 1.3
1.2
2(3 5
,08 %)
,16 %) 6(3 5 1.2
1.2
1.4
1(3 5
,20 %)
anak sekelahiran sebesar 1,49 ekor/induk, sedangkan yang dipelihara pada lahan perkebunan karet yang telah berumur tua dengan kualitas hijauan rendah jumlah anak sekelahiran sebesar 1,26/induk (Reese et al. 1990). Domba priangan di Stasiun Penelitian Ternak Bogor yang diberi pakan kualitas baik jumlah anak sekelahiran mencapai 1,92 ekor/induk nyata lebih tinggi (p<0,01) dari kelompok domba yang mendapat pakan kualitas rendah (Nafiu 2003). Tabel 9 menunjukkan jumlah anak sekelahiran tidak nyata dipengaruhi oleh umur induk (p>0,05). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnnya, dimana umur induk berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap jumlah anak sekelahiran pada domba Assaf yang di pelihara dengan intensif (Pollott dan Gootwine 2004). Namun demikian, pada`induk I3 dan I4 mampu melahirkan anak sekelahiran kembar tiga meskipun persentasenya sangat rendah (Tabel 9). Pengaruh tidak nyata umur induk terhadap jumlah anak sekelahiran diduga dipengaruhi produksi dan kualitas hijauan yang tersedia di padang penggembalaan di UP3J rendah. Inounu et al. (1986) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara bobot badan induk domba ekor tipis saat dikawinkan dengan jumlah anak sekelahiran yang dipelihara oleh peternakan rakyat di Garut. Menurut Pollott dan Gootwine (2004) bahwa sifat prolifik pada bangsa domba Assaf dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama ketersediaan pakan selama perkawinan dan kebuntingan, hal ini ditunjukkan dengan nilai ripitabilitas yang rendah (0,05). Perbaikan kondisi pakan pada domba mempengaruhi jumlah sel telur yang dihasilkan saat ovulasi, tetapi nyata meningkatkan daya hidup embrio sehingga jumlah anak yang dilahirkan lebih tinggi (Vanques et al. 2008).
1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
1,0-1,5
2,0-3,0
3,0-4,0
4,0-5,0
umur induk (tahun)
Gambar 9 Rataan dan koefisien keragaman jumlah anak sekelahiran berdasarkan umur induk
Disamping faktor pakan, sifat prolifik pada domba juga dipengaruhi oleh keberadaan gen fekunditas (FeCJF) yang bekerja mengendalikan jumlah sel telur yang dihasilkan saat ovulasi (Willingham et al. 2002). Induk yang secara genotif tidak membawa gen FeCJF (normal), setiap ovulasi hanya mampu menghasilkan satu atau dua zigot saja, namun induk yang homozigot FeCJF kontribusi gen setiap ovulasi mampu menghasilkan lebih dari dua sel telur (Inounu et al. 1993), bahkan pada bangsa domba priangan mampu menghasilkan kelahiran anak kembar empat (Davis et al. 2002). Inounu et al. (1993) melaporkan bahwa domba ekor tipis yang secara genotif tidak mengandung gen FeCJF menghasilkan jumlah anak sekelahiran rata-rata sebesar 1,24, sedangkan kelompok induk heterozigot dan homozigot menghasilkan jumlah anak sekelahiran rata-rata 1,95 dan 2,59. Frekuensi gen FeCJF pada ternak domba dipengaruhi oleh bangsa domba, pada domba ekor tipis frekuensi berkisar 5-25% (Roberts 2000). Salah satu domba ekor tipis yang memiliki frekuensi gen FeCJF tinggi adalah domba priangan dengan rata-rata jumlah anak sekelahiran sebesar 1,85, sehingga domba priangan telah ditetapkan sebagai salah satu domba peridi dunia dengan pola segredasi pewarisan dikendalikan oleh gen tunggal (Elsen et al. 1991). Pada populasi ternak yang besar dengan perkawinan terjadi secara acak dan seleksi belum dilakukan seperti pada populasi domba di lokasi UP3J, distribusi frekuensi gen FeCJF akan selalu stabil, sesuai hukum Hardy-Weinberg sehingga ekspresi gen FeCJF pada penampilan reproduksi induk tidak terlihat nyata (Wiener 1994). Perkawinan domba normal dengan domba yang mengandung Gen FeCJF homozigot menghasilkan keturunan yang heterozigot, karena gen FeCJF memiliki sifat aditif (Willingham et al. 2002). Seleksi dan persilangan domba priangan dengan domba UP3J dapat dilakukan untuk meningkatkan frekuensi gen FeCJF. Gen FecJF sebagai gen mayor memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap jumlah anak sekelahiran dan cenderung dapat diekspresikan pada induk yang di beri pakan dengan nutrisi yang baik (Nafiu 2003). Peningkatan kualitas hijauan di padang penggembalaan UP3J melalui pemberian pakan tambahan, pemupukan dan pembuatan sistem irigasi di padang penggembalaan dapat meningkatkan daya hidup embrio dan jumlah anak sekelahiran.
Produksi Susu Hasil pengamatan terhadap 89 ekor induk laktasi diperoleh rata-rata produksi susu 415±135 g/hari selama 59 hari laktasi dengan koefisien keragaman 32,46%. Hasil ini lebih rendah dibanding dengan rataan produksi susu domba ekor tipis jawa yang di injeksi dengan prostaglandin dan dipelihara intensif yaitu sebesar 815 g/hari (Manalu dan Sumaryadi 1998a). Produksi susu yang lebih rendah pada domba UP3J disamping pengaruh prostaglandin, juga pengaruh pakan yang dikonsumsi. Prostaglandin merupakan hormon yang dapat meningkatkan laju pertumbuhan kelenjar dan merangsang aktivitas sel skretori dalam memproduksi air susu (Manalu 1999). Menurut Coleman dan Henry (2002) bahwa induk domba pada saat menyusui kebutuhan pakan meningkat, karena disamping digunakan untuk hidup pokok dan pertumbuhan juga digunakan untuk produksi susu. Rata-rata kebutuhan bahan kering domba untuk hidup pokok sebesar 78-98 g/hari/Wkg0,75, namun pada saat laktasi meningkat menjadi 197g/hari/Wkg0,75 (Reksohadiprodjo 1994b). Kurva produksi susu pada induk I1, I2, I3 dan I4 menunjukkan bahwa selama 16 minggu laktasi tidak menggambarakan kurva produksi susu yang normal (Gambar 10).
y = 0.5561x2 - 16.53x + 480.67 R2 = 0.6861
Produksi susu (g/h)
Produksi susu (g/h)
I1
700 650 600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 7
700 650 600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
y = -0.9148x2 - 2.7412x + 527.12 R2 = 0.9666
I2
7
10 14 17 21 24 28 31 35 38 42 45 49 52 56 59
10 14 17 21 24 28 31 35 38 42 45 49 52 56 59 Hari laktasi (hari)
Hari laktasi (hari)
I3
700 650 600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 7
I4
y = -0.8507x2 - 7.9363x + 651.08 R2 = 0.9757
Produksi susu (g/h)
Produksi susu (g/h)
10 14 17 21 24 28 31 35 38 42 45 49 52 56 59 Hari laktasi (hari)
700 650 600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
y = -0.5053x2 - 12.69x + 607.69 R2 = 0.9783
7
10 14 17 21 24 28 31 35 38 42 45 49 52 56 59 Hari Laktasi (hari)
Gambar 10 Kurva produksi susu domba UP3J selama 59 hari laktasi
Rata-rata puncak laktasi terjadi pada minggu pertama dan kedua setelah
melahirkan dan produksinya terus mengalami penurunan sampai minggu 16 (hari ke 59). Penurunan laju produksi pada induk I1 cenderung tidak stabil dan terjadi beberapa kali puncak laktasi dibanding dengan induk yang lebih tua, hal ini menunjukkan bahwa produksi susu pada I1 diduga lebih rentan terhadap perubahan lingkungan terutama kondisi pakan dan suhu lingkungan. Namun demikian, ratarata penurunan produksi susu setelah puncak laktasi pada I1 jauh lebih rendah dibanding induk yang lebih tua. Rata-rata penurunan produksi susu setelah puncak laktasi I1 2,21 g/hari, sedangkan I2 5,57 g/hari, I3 7,06 g/hari dan I4 6,45 g/hari. Hasil ini sesuai dengan pendapat Pollott dan Gootwine (2004) bahwa rata-rata penurunan produksi susu akibat dampak persistensi domba Awassi pada kelahiran pertama sebesar 8,00 g/hari, sedangkan pada induk umur tiga tahun mencapai sebesar 12 g/hari. Menurut Borlino et al. (2004), laju produksi susu akan meningkat sampai mencapai puncak produksi maksimum, setelah itu kemudian perlahan akan mengalami penurunan sampai akhir laktasi (periode kering). Total produksi susu selama laktasi dan bentuk kurva laktasi dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti manajemen pemeliharaan, bulan saat melahirkan, umur induk dan jumlah anak yang menyusui (Ruiz et al. 2000). Selanjutnya, induk bangsa domba Laxta yang melahirkan anak pada bulan November menunjukkan produksi susu puncak laktasi terjadi pada minggu kedua setelah melahirkan dengan puncak produksi 1,50 l/hari, sedangkan induk yang melahirkan bulan Maret puncak laktasi terjadi pada minggu keempat dengan produksi 1,20l/hari. Macciotta et al. (1999), melaporkan pada musim semi dimana ketersediaan pakan dengan kualitas yang baik laju produksi susu akan membentuk kurva normal dan hanya terdapat satu kali puncak laktasi, yaitu pada minggu ke-3 atau ke-4 setelah induk melahirkan. Namun pada musim panas dimana ketersediaan dan kualitas pakan rendah dan temperatur lingkungan yang tinggi menyebabkan kebutuhan induk domba tidak terpenuhi, hal ini dapat menyebabkan kurva laktasi menjadi semu (false), kadang tidak muncul puncak laktasi atau terjadi beberapa kali puncak laktasi selama periode laktasi. Gambar 10 menunjukkan dengan bertambahnya hari laktasi (persistensi) terjadi rata-rata penurunan laju produksi susu secara lambat. Menurut Tucker (1985) bahwa selama laktasi kadar prolaktin akan tetap tinggi sebagai respon terhadap rangsang isapan anak domba yang berlangsung terus-menerus. Kadar prolaktin yang tinggi tersebur berdampak pada kerja organ otak dan ovarium. Di
otak, prolaktin yang sampai di hipotamalus akan menghambat sekresi GnRH. Sedangkan kadar estrogen yang semula sangat tinggi selama persalinan karena sekresi dari plasenta akan mengalami penurunan setelah terlepasnya plasenta. Penurunan ini ternyata tidak mampu merangsang hipotamalus untuk mensekresi GnRH, hal ini mengisyaratkan adanya penurunan hipotamalus terhadap mekanisme umpan balik positif terhadap sekresi LH dan FSH dalam mengontrol pertumbuhan folikel dan ovulasi. Selama laktasi domba tidak menunjukkan estrus. Menurut Manalu (1999) bahwa dengan semakin bertambahnya umur anak akan menyebabkan penurunan produksi susu, karena setelah anak domba mulai memakan rumput rangsangan yang diberikan ke kelenjar dan aktivitas sel sekretori mensintesis air susu menjadi menurun. Pakan merupakan faktor yang sangat penting untuk pertumbuhan ambing selama kebuntingan, dimana akselerasi pertumbuhan ambing pada ternak domba terjadi pada fase akhir kebuntingan dan hanya sekitar 5% terjadi pada awal laktasi (Lawrence dan Fowler 2002). Induk domba yang mengkonsumsi pakan dengan kualitas yang rendah terutama minggu-minggu terakhir kebuntingan menyebabkan pertumbuhan ambing rendah dan menghasilkan ukuran ambing yang kecil, hal ini menyebabkan volume untuk menampung sel-sel skretori dan dapat menurunkan produksi susu 17-32% (Treacher dan Caja 2002). Selanjutnya, pemberian pakan yang cukup dan kualitas baik pada saat laktasi dapat meningkatkan proses metabolisme sintesa air susu, dimana kandungan nitrogen dan aktivitas enzim didalam retikulum, abomasum dan usus halus meningkat. Suhu dan kelembapan lingkungan yang tinggi juga dapat meningkatkan produksi panas metabolisme di dalam tubuh, sehingga ternak akan berusaha melepaskan panas tubuh dengan meningkatkan konsumsi air dan mengurangi konsumsi pakan, kondisi ini dapat menurunkan produksi susu. Pada rata-rata suhu lingkungan sebesar 240C tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi susu, namun pada suhu lingkungan 340C sangat nyata menurunkan produksi susu (Esmay 1982). Laktasi harus berlanjut minimal sampai ketahap ketika anak domba dapat disapih
dan dapat hidup dengan makanan sendiri. Produksi susu akan
mengalami penurunan bersamaan dengan bertambahnya waktu laktasi (Pulina dan Nudda 2004).
Tabel 10 Rataan dan simpangan baku produksi susu berdasarkan jumlah anak yang menyusui induk. Produksi susu (g/ekor/hari) Tipe anak menyusui Rataan Minimum Maksimum Tunggal 430±90 270 550 Kembar 530±130 310 780 Tabel 10 menunjukkan bahwa produksi susu tidak nyata dipengaruhi oleh jumlah anak yang menyusui. Namun demikian, produksi susu induk yang menyusui anak kembar cenderung lebih tinggi dibanding dengan kelompok induk yang menyusui
anak tunggal. Rata-rata produksi susu pada induk yang menyusui
kembar adalah 530 g/hari atau 22% lebih tinggi dibanding dengan kelompok induk yang menyusui tunggal. Pada kelompok bangsa domba perah juga dilaporkan bahwa produksi susu pada kelahiran kembar sebanyak 4,27 liter atau meningkat 14,17% dari kelompok induk yang menyusui tunggal yaitu sebesar 3,74 liter/hari (Hernandez dan Hohenboken 1980). Semakin banyak jumlah anak yang menyusui akan meningkatkan rangsangan pengisapan oleh anak dan pengosongan kelenjar secara teratur, hal ini dapat meningkatkan pembebasan hormone prolaktin dalam darah dan merangsang hormon okstitosin mensekresi air susu (Manalu 1999; Pulina dan Nudda 2004). Rangsangan yang dilakukan oleh anak domba merupakan signal yang sangat penting, karena dapat menyebabkan meningkatnya laju pembelahan sel skretori pada kelenjar susu (Anderson 1985). Bangsa domba Rambouillet, Columbia dan Polypai induk yang menyusui anak kembar rata-rata produksi susu harian 13-17% lebih tinggi dibanding induk yang menyusui tunggal (Snowder dan Glim 1991). Frekuensi menyusui semakin tinggi yang dilakukan oleh anak domba secara fisiologi akan mengurangi tekanan air susu di dalam kelenjar ambing dan merangsang kerja hormon yang menstimulasi sel skretori untuk mensintesis air susu. Pada sapi yang diperah dua kali sehari produksinya meningkat 40% dari yang diperah satu kali, tiga kali sehari produksinya meningkat 5-20% dari yang diperah dua kali sehari dan empat kali sehari produksinya meningkat 5-10% dari yang tiga kali sehari (Heald 1985). Tabel 11 menunjukkan rata-rata produksi susu kelompok induk I3 dan I4 sangat nyata lebih tinggi dibanding I1 dan I2 (p<0,01).
Tabel 11 Rataan dan koefisien keragaman produksi susu berdasarkan umur induk Umur induk (tahun)
n (ekor)
Rataan produksi susu (g/ekor/hari) B
I1
14
330
I2
19
390AB
I3 I4 Rataan
17 39
KK (%) 34,54 29,23
A
27,12
AB
430
26,76
420
32,46
490
Keterangan: huruf yang tidak sama pada baris berbeda untuk setiap peubah bebas menunjukkan berbeda sangat nyata (p<0,01)
Produksi susu yang tinggi pada I3 diduga disebabkan oleh rata-rata bobot
badan induk yang lebih tinggi dibanding I1, I2, dan I4 (Tabel 8). Ternak yang memiliki bobot badan tinggi proporsi penggunaan energi yang digunakan untuk hidup pokok menjadi lebih sedikit dan selanjutnya kelebihan energi bisa digunakan untuk produksi susu (Cannas 2004). Produksi susu membutuhkan energi yang lebih banyak dibanding kebutuhan saat ternak bunting atau saat melahirkan. Pada saat ternak melahirkan rata-rata energi yang digunakan hanya sebesar 10%, namun pada saat laktasi rata-rata energi yang digunakan untuk mensintesis air susu dapat mencapai 80% dari total energi neto dalam tubuh (Collier 1985). Jika dalam satu tahun ternak domba rata-rata melahirkan anak sebanyak tiga kali, maka dapat ditentukan bahwa kelompok induk I3 rata-rata telah melahirkan sebanyak lima kali (laktasi kelima). Rata-rata produksi susu pada induk I1 sebesar 330 g/hari kemudian meningkat menjadi 390 g/hari pada I2 dan mencapai puncak produksi rata-rata sebesar 490 g/hari pada I3, namun rata-rata produksi susu kembali mengalami penurunan pada induk I4 dengan rata-rata produksi 430 g/hari (Gambar 11). Hal ini setara dengan pendapat Anderson (1985) bahwa ternak ruminansia pada umumnya mengalami puncak produksi pada laktasi kelima, dimana ternak pada umur tersebut telah mengalami pertumbuhan yang maksimum seperti pertumbuhan tulang maupun jaringan tubuh serta ambing. Penurunan produksi susu pada induk domba yang tua disebabkan oleh meningkatnya laju mortalitas sel-sel skretori di dalam kelenjar ambing, sehingga laju sintesis air susu menjadi menurun (Pollott dan Gootwine 2004).
%) 43 A 0 B (26 , 76
49 A 0 (27 , 12
%)
39 A 0 B (2 9 , 23
%)
500 450 400 350
33 B 0 (34 , 54
produksi susu (g/ekor/hari)
%)
300 250 200 150 100 50 0
1,0-1,5
2,0-3,0
3,0-4,0
4,0-5,0
umur induk (tahun)
Gambar 11 Rataan dan koefisien keragaman produksi susu berdasarkan umur induk
Kelompok induk I3 dan I4 umumnya telah telah melahirkan lebih dari satu kali, sehingga mendapat rangsangan dari anak lebih banyak untuk pertumbuhan ambing. Menurut Lawrence dan Fowler (2002), disampig faktor intrisik (kontrol sistemik) yang mengontrol pertumbuhan ambing, faktor eksternal seperti kondisi pakan dan rangsangan anak domba juga dapat mempengaruhi pertumbuhan ambing. Pada sapi perah puncak produksi susu terjadi pada umur 7 atau 8 tahun dengan total peningkatan produksi susu rata-rata sampai laktasi kelima adalah 30%, dimana 13% peningkatan laktasi pertama sampai laktasi kedua, 9% laktasi kedua sampai ketiga, 5%, laktasi ketiga sampai keempat dan 3% laktasi keempat sampai kelima (Anderson 1985). Berdasarkan besarnya nilai koefisien keragaman, induk domba UP3J umur 11,5 tahun (I1) memiliki nilai tertinggi yaitu 34,54% (Tabel 12). Hasil ini menunjukkan bahwa seleksi produksi susu induk domba UP3J akan lebih efektif jika dilakukan pada induk umur 1-1,5 tahun (I1), karena dengan tingkat keragaman yang tinggi akan menghasilkan efektifitas dan respon seleksi yang relatif tinggi (Martojo 1992). Komposisi Nutrisi Air Susu Hasil analisa laboratorium terhadap komposisi berat jenis, laktosa, lemak dan protein dapat dilihat pada Tabel 12. Komposisi kimia air susu domba UP3J terdiri dari 1,03 g/ml, berat jenis 3,04% laktosa, 3,42% lemak dan 5,31% protein.
Tabel 12 Komposisi nutrisi susu domba UP3J n Rataan Komponen (ekor) berat jenis (g/ml) 19 1,03±0,01 laktosa (%) 12 3,04±1,68 lemak (%) 19 3,42±0,96 protein (%) 19 5,31±0,54
Minimum
Maksimum
1,02 0,05 2,20 4,49
1,07 4,93 5,60 6,53
Sumber : hasil analisis laboratorium Produksi ternak Perah, IPB (2008)
Komposisi kimia susu domba UP3J lebih rendah jika dibanding dengan komposisi susu pada bangsa domba perah yaitu mengandung 1,04 g/ml berat jenis, 4,80% laktosa, 6,50% lemak, dan 5,50% protein (Pulina dan Nudda 2004).. Rendahnya kandungan laktosa dan lemak susu domba UP3J disebabkan oleh pengaruh ketersediaan pakan yang jelek selama laktasi. Nutrisi pakan secara langsung berpengaruh terhadap sintesis dan laju sekresi lemak susu dan juga berpengaruh terhadap konsentrasi mineral dan vitamin pada air susu. Nutrisi juga berpengaruh terhadap jumlah sel somatik dan konsentrasi mikrobia pada air susu, karena itu manipulasi komposisi nutrisi pada makanan domba perah sering dilakukan untuk mendapatkan kualitas yang baik terhadap hasil pengelolahan susu seperti keju (Nudda et al. 2004). Menurut Bencini dan Pulina (1997) kandungan lemak susu berkorelasi positif dengan kandungan neutral detergent fibre (NDF) dalam pakan tetapi berkorelasi negatif dengan kandungan protein dalam air susu, sedangkan protein susu berkorelasi dengan karbohidrat bukan serat (NFC) dalam pakan. Ketersediaan energi yang meningkat dalam pakan yang dikonsumsi ternak domba akan meningkatkan kandungan glukosa dalam darah, dimana glukosa akan disintesis menjadi laktosa (Freetly dan Ferrel 1999). Sebenarnya kandungan protein kasar yang terdapat dalam makanan tidak berpengaruh terhadap kandungan protein air susu, namun biasanya hijauan yang kandungan protein kasarnya rendah tidak disukai oleh ternak, sehingga konsumsi menjadi rendah. Tabel 12 juga menunjukkan tingkat keragaman yang tinggi terhadap komposisi laktosa, lemak dan protein dalam air susu, hal ini menunjukkan adanya perbedaan kemampuan individu ternak dalam mengkonsumsi kualitas hijauan di padang pengembalaan. Domba-domba yang mengkonsumsi hijauan dengan berkualitas baik, tentu dapat meningkatkan produksi dan komposisi nutrisi pada air
susu. Produksi dan dan kualitas air susu sangat dibutuhkan untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan anak domba periode lahir sampai sapih, dimana pada periode ini anak domba belum mampu mengkonsumsi makanan dalam bentuk padatan (Pulina dan Nudda 2004). Total Bobot Lahir Berdasarkan jumlah pengamatan sebanyak 94 kelahiran, diperoleh rataan total bobot lahir anak sebesar 2,48±0,83 kg/induk dengan koefisien keragaman 33,34%. Hasil penelitian ini lebih rendah dari total bobot lahir domba ekor tipis sumatera 2,74 kg (Iniquez et al. 1991). Total bobot lahir anak domba yang rendah pada penelitian ini selain disebabkan oleh faktor genetik, jumlah anak sekelahiran tunggal yang lebih tinggi dan faktor lingkungan terutama tidak tersedianya sumber pakan yang cukup dan bekualitas selama periode kebuntingan. Nutrisi selama periode kebuntingan menjadi faktor yang sangat penting bagi pertumbuhan prenatal dan bobot lahir anak domba. Rehfeldt et al. (2004) melaporkan pemberian pakan dengan nutrisi rendah selama sepertiga terakhir periode kebuntingan dapat menyebabkan pertumbuhan sel daging terhambat sehingga bobot lahir manjadi rendah. Secara genetik domba UP3J memiliki karakteristik ukuran tubuh yang kecil dan bobot badan rendah, rata-rata bobot induk dewasa umur 1-4 tahun hanya 24,30±3,90 kg/induk, sedangkan bobot badan induk domba ekor gemuk rata-rata mencapai 40 kg (Devendra dan McLeroy 1982). Jumlah anak sekelahiran juga menentukan total bobot lahir, pada induk yang melahirkan kembar total bobot lahir lebih tinggi dibanding dengan lahir tunggal. Rataan jumlah anak sekelahiran pada penelitian ini sebesar 1,27ekor/induk dengan proporsi 73,40% lahir tunggal, 25,50% lahir kembar dua dan 2,10 kembar tiga. Meskipun rata-rata bobot lahir individual anak domba yang dilahirkan tunggal lebih tinggi dibanding kembar, namun total bobot lahir pada kelahiran kembar selalu lebih tinggi. Iniquez et al. (1993) melaporkan bahwa domba ekor tipis memiliki rata-rata total bobot lahir tunggal sebesar 2,60 kg, kembar dua sebesar 4 kg, kembar tiga sebesar 4,20 kg dan kembar empat sebesar 5,20 kg. Jumlah dan kandungan nutrisi pakan yang dikonsumsi induk selama periode kebuntingan berpengaruh terhadap bobot lahir, karena laju pertumbuhan selama
periode prenatal sangat dipengaruhi oleh nutrisi dari induk yang disalurkan melalui plasenta (Robinson et al. 2002). Menurut Dong et al. (2008) bahwa perbaikan nutrisi dalam pakan pada tengah fase kebuntingan dapat meningkatkan hormon insulin-like growth faktor -1 reseptor (IGF-1F) dalam plasma darah yang merupakan aktifator hipertropi pada organ seperti hati dan jaringan ventrikulus pada fetus. Hijauan pakan yang dikonsumsi oleh ternak domba UP3J selama bulan kering jumlah dan nilai gizinya rendah. Suhu lingkungan yang tinggi secara tidak langsung dapat mempengaruhi bobot lahir, dimana pada suhu yang tinggi dapat menurunkan konsumsi pakan induk sehingga kebutuhan nutrisi yang diberikan kepada fetus selama fase kebuntingan menjadi berkurang. Inounu et al. (1991) melaporkan bahwa induk yang mendapat kadar protein kosentrat yang tinggi pada sepertiga akhir kebuntingan menghasilkan anak dengan bobot lahir yang tinggi dengan daya hidup yang tinggi pula. Pada induk domba priangan, induk hasil persilangan domba priangan dangan St. Croix dan Moulton Charolais, secara umum bobot lahir meningkat sejalan dengan perbaikan pakan (Nafiu 2003). Tabel 13 menunjukkan bahwa bobot lahir nyata dipengaruhi oleh umur induk (p<0,05). Induk yang berumur lebih tua disamping sudah pengalaman dalam melahirkan, perkembangan organ reproduksi juga sudah sempurna, daya tampung uterus bertamba akibat beberapa kali melahirkan dan ukuran plasenta lebih besar. Pertumbuhan periode prenatal banyak ditentukan oleh ukuran plasenta, karena semua proses penyaluran nutrisi dari induk kepada fetus pada periode prenatal melalui plasenta.
Tabel 13 Rataan, simpangan baku dan koefisien keragaman total bobot lahir berdasarkan umur induk Umur induk n Rataan total bobot lahir KK (tahun) (ekor) (kg/induk) (%) 2,06b I1 14 39,90 ab I2 21 36,69 2,30 18 24,94 I3 2,59ab 41 31,72 I4 2,67a Rataan 2,48 33,34 Keterangan : huruf yang tidak sama pada baris berbeda untuk setiap peubah bebas menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Rata-rata total bobot lahir I4 2,67±0,85 kg/induk nyata lebih tinggi (p<0,05) dibanding I1 yaitu 2,06±0,82 kg/induk (Gambar 12). Tingginya bobot lahir pada induk umur empat tahun (I4) juga disebabkan oleh tingginya bobot badan induk setelah
melahirkan
(Tabel
7).
Bobot
badan
induk
yang
tinggi
dapat
mengindikasikan bahwa induk tersebut memiliki kemampuan dalam mengkonsumsi pakan lebih baik selama periode kebuntingan. Pakan yang cukup dan mengandung gizi yang tinggi sangat diperlukan untuk pertumbuhan fetus. Fetus yang besar umumnya memiliki jumlah serat daging lebih banyak, diameter serat yang lebih besar dan jumlah DNA lebih banyak (Wigmore and Stickland 1983). Jumlah serat daging dapat dimanipulasi dengan pemberian pakan yang cukup dengan kandungan nutrisi tinggi selama periode kebuntingan (Wilson et al. 1988). Secara genetik induk yang memiliki bobot badan tinggi dan ukuran tubuh besar kemungkinan diturunkan kepada anaknya cukup tinggi, hal ini ditunjukan dengan nilai heritabilitas bobot lahir sebesar 0,30 (Bourdon 2000). Menurut Fiss dan Wilton (1993) meningkatnya bobot induk dapat menaikan bobot lahir terutama pada bangsa domba yang memiliki ukuran tubuh kecil. Manalu et al. (1998) melaporkan bahwa menginjeksi PMSG sebanyak 700 IU pada akhir fase pada induk domba ekor tipis nyata meningkatkan ukuran uterus (66%) dan rata-rata bobot lahir
%) 7A (3 1 , 72
9 AB (2 4 , 94
4,0-5,0
2.3
6B (3 9 , 90
3,0-4,0
2 1.5 1 0.5 0 1,0-1,5
2.6
2.5
2.5
3
2.0
total bobot lahir (kg/induk)
%)
0 AB (3 6 , 69
%)
%)
individu (44%).
2,0-3,0
umur induk (tahun)
Gambar 12 Rataan dan koefisien keragaman total bobot lahir berdasarkan umur induk
Bobot lahir dipengaruhi oleh kondisi lingkungan fetus (intra uterin), genotif, lingkungan induk, nutrisi, jenis kelamin dan umur induk (Esminger 2002). Bobot induk saat kawin juga mempengaruhi total bobot lahir. Meskipun selama penelitian tidak memperoleh data bobot badan induk saat kawin, tetapi dapat diprediksi bahwa rata-rata bobot badan setelah melahirkan yang tinggi pada I3 dan I4 merupakan indikasi bahwa rata-rata bobot badan saat kawin juga lebih tinggi (Tabel 5). Pada persilangan domba priangan dengan domba St. Croix menghasilkan total bobot lahir yang lebih besar dibanding dengan total bobot lahir domba priangan (Nafiu 2003). Tabel 13 menunjukkan koefisien keragaman total bobot lahir yang rendah terjadi pada kelompok induk umur tiga tahun (I3), hal ini mengindikasikan bahwa domba setelah berumur tiga tahun lebih stabil atau lebih tahan terhadap suhu lingkungan yang tinggi dan kondisi pakan yang jelek selama penelitian. Selain melalui perbaikan nutrisi pakan, total bobot lahir dapat ditingkatkan dengan cara menginjeksi hormon progesteron pada induk bunting (Manalu dan Sumaryadi 1998b). Sebaliknya, seleksi berdasarkan total bobot lahir induk domba jonggol akan lebih efektif dilakukan pada kelompok induk I1 dan I2, karena pada kelompok umur tersebut memiliki tingkat keragaman yang lebih tinggi dibanding I3 dan I4. Total Bobot Sapih Berdasarkan jumlah pengamatan 84 kelahiran didapatkan rataan total bobot sapih umur 8 minggu sebesar 6,12±1,92 kg/induk dengan koefisien keragaman 31,37%. Hasil penelitian lain dilaporkan bahwa rata-rata bobot sapih umur 12 minggu anak domba ekor tipis jawa, domba ekor gemuk dan domba ekor tipis sumatera masing-masing sebesar 9,20, 9,04 dan 11,40 kg (Setiadi dan Inigues 1993). Total bobot sapih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan daya hidup pada tipe kelahiran kembar, hal ini ditandai dengan nilai heritabilitas bobot sapih yang rendah yaitu 0,10-0,20 (Bourdon 2000). Lasslo et al. (1985) melaporkan induk domba targhee yang dipelihara pada pasture dengan sistem irigasi yang baik menghasilkan total bobot sapih lebih tinggi dibanding kelompok induk yang dipelihara pada lahan pastura pada kondisi irigasi yang jelek. Nafiu (2003) juga melaporkan rata-rata total bobot sapih domba priangan yang diberi pakan baik
sebesar 17,79 kg/induk, sedangkan pada pakan yang kurang baik sebesar 14,20 kg/induk. Tabel 14 menunjukkan total bobot sapih sangat nyata dipengaruhi oleh umur induk (P<0,01). Tabel 14 Rataan dan koefisien keragaman total bobot sapih berdasarkan umur induk Umur induk n Rataan total bobot sapih KK (tahun) (ekor) (kg/induk) (%) I1 14 30,89 4,99B AB 5,85 I2 21 33,40 I3 6,83A 18 28,16 AB I4 6,35 41 29,96 Rataan 6,12 31,37 Keterangan: huruf yang tidak sama pada baris berbeda untuk setiap peubah bebas menunjukkan berbeda sangat nyata (p<0,01)
Semakin bertambahnya umur dan bobot badan induk akan meningkatkan total bobot sapih. Namun demikian, setelah induk mencapai umur 4 tahun (I4) total
total bobot sapih (kg/induk)
6
(2 9 ,9 6 %)
B
(3 3 ,4 0 %)
B
6.3 5A
7
5.8 5A
4.9 9B (3 0 ,8 9 %)
6.8 3A (2 8 ,1 6 %)
bobot sapih cenderung mulai mengalami penurunan (Gambar 13).
5 4 3 2 1 0
1,0-1,5
2,0-3,0
3,0-4,0
4,0-5,0
umur induk (tahun)
Gambar 13 Rataan dan koefisien keragaman total bobot sapih berdasarkan umur induk
Hal ini disadari karena dengan meningkatnya umur induk sangat nyata meningkatkan bobot badan saat melahirkan (Tabel 8) dan meningkatkan produksi susu induk (Tabel 11), air susu merupakan sumber makanan utama yang
dibutuhkan untuk hidup dan pertumbuhan anak domba selama periode lahir sampai sapih. Gall (1981) melaporkan bobot sapih pada kelompok anak kambing bangsa Alpine yang mengkonsumsi air susu lebih banyak dengan konsentrat yang rendah, menghasilkan bobot sapih lebih tinggi dibanding dengan kelompok anak kambing yang mendapat perlakuan pemberian air susu yang dibatasi dan konsentrat ad libitum. Daya Hidup Periode Lahir sampai Sapih Berdasarkan jumlah pengamatan 94 kelahiran didapatkan rataan daya hidup anak periode lahir sampai sapih sebesar 74,56±43,74% dengan koefisien keragaman 58,66%. Hasil penelitian ini lebih rendah dari domba priangan sebesar 78,47% (Nafiu 2003), dan hasil persilangannya domba sumatera dengan domba komposit pada generasi kedua yang mencapai 81,1% (Doloksaribu et al. 2000). Daya hidup yang lebih tinggi pada domba priangan dan komposit sumatera lebih disebabkan oleh efek heterosis hasil persilangan dan manajemen pemberian pakan yang lebih baik. Hasil persilangan antar bangsa domba dapat meningkatkan frekuensi gen heterosigot dan menurunkan gen homozigot resesif, dengan efek heterisigositas akan meningkatkan vigor, sehingga kemampuan hidup lebih tinggi (Bourdon 2000; Piper and Ruvinsky 2005). Tabel 15 Rataan dan koefisien keragaman daya hidup anak domba periode lahir sampai sapih berdasarkan jenis kelamin. n Daya hidup KK Jenis kelamin (ekor) (%) (%) Jantan 52 82,69 46,19 betina 62 67,74 69,57 Rataan 74,56 58,66 Keterangan : huruf yang tidak sama pada baris berbeda untuk setiap peubah bebas menunjukkan berbeda sangat nyata (p<0,01) Tabel 15 menunjukkan bahwa daya hidup sangat nyata dipengaruhi oleh jenis kelamin (p<0,01).Rata-rata daya hidup domba jantan dan betina masingmasing sebesar 94,23 dan 72,58%. Daya hidup domba jantan yang tinggi disebabkan oleh rata-rata bobot lahir yang tinggi dan secara genetik ternak jantan lebih bersifat superior dan lebih dalam mendapatkan air susu induk.
Tabel 16 Rataan dan koefisien keragaman daya hidup anak domba periode lahir sampai sapih berdasarkan tipe kelahiran. n Daya hidup KK Tipe kelahiran (ekor) (%) (%) B tunggal 64 96,83 46,19 A kembar dua 45 51,11 69,57 kembar tiga 6 16,67A 59,20 Rataan 74,56 58,66 Keterangan : huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata p<0,01) antar perlakuan Daya hidup anak domba periode lahir sampai sapih sangat nyata dipengaruhi oleh jumlah anak sekelahiran (p<0.01). Rataan daya hidup pada anak kelahiran tunggal, kembar dua dan kembar tiga masing-masing sebesar 96,83, 51,11 dan 16,67% (Tabel 16). Iniquez et al. (1993) melaporkan bahwa angka kematian anak domba periode lahir sampai sapih dengan lahir tunggal dengan bobot lahir 2,6 kg dan lahir kembar rata-rata 2 kg angka kematian berturut-turut dapat mencapai 20 dan 40%. Lahir kembar tiga dan kembar empat perkelahiran rata-rata bobot lahir 1,4 dan 1,3 kg mempunyai angka kematian masing-masing 60 dan 80%. Fogarty et al. (1984) melaporkan pada musim kering saat dimana jumlah anak sekelahiran rendah, persentasi hidup anak domba bangsa Finnsheep periode lahir sampai sapih justru lebih tinggi dibanding dengan bangsa domba yang memiliki jumlah kelahiran lebih banyak. Rendahnya daya hidup pada anak yang dilahirkan kembar disebabkan efek vigoritas dan adanya persaingan dalam mendapatkan kolustrum dan air susu induk selama periode lahir sampai sapih. Menurut Eleiser et al. (1994), daya hidup pada tipe kelahiran tunggal umumnya lebih tinggi dibanding tipe kelahiran kembar, karena selama di dalam uterus zat makanan hanya dikonsumsi oleh satu ekor calon anak sehingga vigoritas lebih tinggi. Tabel 17 menunjukkan daya hidup anak domba periode lahir sampai sapih anak domba tidak nyata dipengaruhi oleh umur induk (p>0,05). Namun demikian, ada kencenderungan anak domba yang dilahirkan oleh induk I3 memiliki daya
hidup yang lebih tinggi dibanding I1, I2 dan I3. hal ini disadari karena I3 memiliki produksi susu yang paling tinggi dibanding umur induk lainnya. Tabel 17 Rataan dan koefisien keragaman daya hidup anak domba periode lahir sampai sapih berdasarkan umur induk Umur induk n Rataan daya hidup KK (tahun) (ekor) (%) (%) I1 14 68,75 67,89 I2 21 73,08 61,89 I3 18 88,24 37,64 I4 41 78,26 53,88 Rataan 74,56 58,66 Keterangan : huruf yang tidak sama pada baris berbeda untuk setiap peubah bebas menunjukkan berbeda sangat nyata (p<0,01) Rataan daya hidup anak domba yang dilahirkan induk I3 sebesar 88, 24% atau 29,30% lebih tinggi dibanding daya hidup anak domba yang dilahirkan oleh %)
induk I1 (Gambar 14).
,88
(37
73
(53 78
.26
88
.08
(61
.24
%) ,89
%) .75 68
Daya hidup anak periode lahir-sapih (%)
80
(67
100 90
,89
%)
,64
70 60 50 40 30 20 10 0
1,0-1,5
2,0-3,0
3,0-4,0
4,0-5,0
um ur induk (tahun)
Gambar 14 Rataan dan koefisien keragaman daya hidup anak domba periode lahir sampai sapih berdasarkan umur induk.
Hal ini disadari karena produksi susu pada anak I3 lebih tinggi dibanding anak dari induk I1, I2 maupun I4, sehingga konsumsi susu juga lebih tinggi. Susu domba pada tahap awal laktasi mengandung kolustrum dengan konsentrasi yang tinggi. Kolustrum merupakan zat makanan yang sangat penting untuk kelangsungan hidup ternak domba yang baru dilahirkan sampai umur sapih, dan secara alami kolustrum merupakan sumber makanan yang tidak dapat digantikan dengan sumber makanan lain (Pulina dan Nudda 2004). Selain digunakan sebagai sumber makanan, kolustrum juga berfungsi untuk mengeluarkan sisa kotoran (racun) dalam saluran pencernaan (laxative) dan merupakan zat yang dibutuhkan pada sistem kekebalan tubuh (Brandano et al. 2004). Pada ternak ruminansia kolustrum merupakan alat angkut satu-satunya immunoglobin terutama IgG dari induk ke anak yang baru dilahirkan (Manalu 1999). Air susu merupakan substansi kompleks yang mengandung zat-zat seperti lemak, protein, komponen non protein, mineral dan vitamin yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan daya hidup anak domba periode lahir sampai sapih. Air susu mengandung lisozim, laktoperoksidase, protein pengikat besi lakktoferin dan protein pengikat vitamin B12 dan folat yang secara langsung dibutuhkan aktivitas bakteri dalam saluran pencernaan serta digunakan sebagai antibodi (Manalu 1999). Kemampuan untuk mendapatkan kolustrum sesaat setelah lahir atau paling lambat 18-36 jam menjadi faktor yang sangat menentukan untuk kelangsungan hidup anak domba, dimana pada saat yang bersamaan merupakan proses pembentukan terjalinnya hubungan anak dan induk domba (Brandano et al. 2004). Kolustrum merupakan zat yang dihasilkan pertama kali oleh kelenjar susu dan umumnya diproduksi sebelum fase kelahiran hingga 5-6 hari setelah induk melahirkan. Laju mortalitas dapat ditekan dengan sedikit perbaikan dalam perawatan induk bunting tua, induk menyusui dan perbaikan tatalaksana pemberian pakan (Subandrio et al. 1994). Korelasi Ukuran Tubuh Induk terhadap Produksi Susu Dari
beberapa
ukuran-ukuran
tubuh
induk
domba
yang
diduga
mempengaruhi terhadap produksi susu, pada induk I3 dan I4 diperoleh tiga peubah yang memiliki pengaruh sangat nyata (p<0.01) dalam menduga produksi susu (Tabel 18). Ketiga peubah pada induk I3 tersebut adalah lingkar dada (r=0,84), lingkar ambing (r=0,76) dan dalam ambing (r= 0,55). Pada I4, untuk peubah yang sama memiliki nilai koefisien korelasi lingkar dada (r=0,51), lingkar ambing (r=0,77) dan dalam ambing (r=0,61).
Tabel 18 Nilai korelasi antara ukuran tubuh terhadap produksi susu berdasarkan umur induk Produksi susu Peubah I1 I2 I3 I4 0,57 0,73 0,23 0,19 Panjang Badan (PB) Lingkar Dada (LD) 0,35 0,41 0,84** 0,51** Lebar Dada (LeD) 0,23 0,44 0,19 0,26 Dalam Dada (DD) 0,22 0,55 0,57 0,52 Tinggi Pundak (TP) 0,78 0,52 0,32 0,30 Lingkar Ambing (LA) 0,66 0,81 0,76** 0,77** 0,42 0,79 0,55** 0,61** Tinggi Ambing (TA) ** menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (p<0,01)
Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara bobot badan induk setelah melahirkan dan ukuran ambing terhadap produksi susu. lingkar dada merupakan komponen tubuh yang memiliki hubungan erat dengan bobot badan dewasa domba UP3J (Ramdan 2007), domba garut (Nurhayati 2004), domba ekor gemuk dan domba ekor gemuk (Nugrahani 1997). Ternak yang memiliki bobot badan tinggi proporsi penggunaan energi yang digunakan untuk hidup pokok menjadi lebih sedikit dan selanjutnya kelebihan energi bisa digunakan untuk produksi susu (Cannas 2004). Korelasi antara lingkar ambing dan dalam ambing pada penelitian ini memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding dengan nilai korelasi antara dalam dan lebar ambing terhadap produksi susu bangsa domba Latxa yaitu masing-masing 0,43 dan 0,10, sementara jarak dan ukuran puting memiliki hubungan negatif terhadap produksi susu dengan nilai korelasi masingmasing sebesar -0,25 dan -0,10 (Legarra dan Ugarte 2005). Sedangkan pada bangsa kambing perah diperoleh hubungan yang sangat antara volume ambing dan jarak antar puting terhadap produksi susu yaitu sebesar 0,79 dan 0,77, sementara jarak lantai dengan puting terhadap produksi susu memiliki hubungan negatif dengan nilai korelasi sebesar 0,20 (Capote et al. 2006).
Hal ini menunjukkan bahwa
semakin besar ambing maka dapat diduga bahwa produksi susu akan semakin tinggi, karena ukuran ambing yang besar akan menampung jaringan alveoli dan selsel skretori lebih banyak sehingga sintesa air susu yang dihasilkan meningkat (Pulina dan Nudda 2004). Pertumbuhan ambing dimulai 4-5 minggu setelah terjadi konsepsi (periode prenatal), lahir, dewasa (periode pubertas), pertumbuhan saat ternak bunting dan
laktasi. Pertumbuhan ambing pada ternak mamalia sebelum fase kebuntingan berjalan lambat, tetapi pada saat ternak bunting pertumbuhan ambing sangat cepat dan mulai menurun pada saat laktasi (Lawrence dan Fowler 2002). Pertumbuhan ambing dikontrol kerja hormon mammogenik yang dihasilkan oleh ovarium, korpus luteum, plasenta, kelenjar hipofisa dan andrenal (Anderson 1985). Manalu et al. (1998), melaporkan bahwa induk domba ekor tipis yang di injeksi dengan PMSG 700 UI (superovulasi) menjelang dikawinkan, nyata meningkatkan (p<0,05) pertumbuhan kelenjar ambing (33%), konsentrasi kolagen pada ambing (23%), jumlah RNA kelenjar ambing (33%) dan konsentrasi protein (82%) serta konsentrasi glikogen (22%) pada minggu ke-7 dan ke-15 kebuntingan dibanding induk yang tidak disuperovulasi. Selanjutnya, induk yang disuperovulasi menghasilkan produksi susu yang lebih tinggi. Produksi susu domba dipengaruhi oleh jumlah sel skretori di dalam jaringan ambing, aktivitas sel skretori dalam melakukan sintesis susu dan ketersediaan subtrak untuk disintesa menjadi susu. Sintesis susu dilakukan oleh sel-sel skretori pada kelenjar susu dengan menggunakan nutrisi dari bahan makanan yang dikonsumsi domba (Manalu et al. 2000). Jumlah dan aktivitas sel skretori selama laktasi dipengaruhi oleh pertumbuhan dan perkembangan kelenjar ambing. Selanjutnya, Pengaruh hormon mamogenik sangat dominan dalam mengontrol pertumbuhan dan perkembangan kelenjar ambing terutama selama siklus estrus sampai awal laktasi. Pada saat siklus estrus dan tahap awal kebuntingan hormon mamogenik (estrogen, progesteron dan relaksin) disekresi oleh ovarium dan korpus luteum, namun selama periode kebuntingan sekresi hormon mamogenik (estradiol, progesteron dan laktogen plasenta) dilakukan oleh organ plasenta. Pada tahap laktasi, síntesis susu dikontrol oleh hormon tiroksin (síntesis protein), paratiroid (síntesis Ca dan P), insulin (síntesis glukosa) dan aldosteron (síntesis elektrolit dan mineral), sedangkan sekresi susu lebih banyak dikontrol oleh hormon prolaktin dan oksitosin (Tucker 1985). Pertumbuhan kelenjar ambing dapat dilihat dari besarnya ambing, semakin besar ukuran ambing maka semakin banyak jumlah sel skretori untuk mensintesis air susu, nilai korelasi antara lebar dan dalam ambing dengan jumlah sel skretori yaitu 0,10 dan 0,27 (Legarra dan Ugarte 2005). Korelasi antara produksi susu dengan laju mortalitas jumlah sel skretori sebesar -0,45 (Pollott dan Gootwine 2004). Pada sapi 20% ukuran ambing dipengaruhi oleh bobot badan dan 80% oleh kerja hormon pada saat bunting dan laktasi (Anderson 1985).
BAHASAN UMUM Unit Pendidikan Penelitian dan Peternakan Jonggol Institut Pertanian Bogor (UP3J-IPB) sebagai Sentra Bibit Domba Domba UP3J merupakan domba lokal yang mampu beradaptasi dan berkembang pada lingkungan panas dan kering. Domba UP3J telah mengalami proses seleksi alam sejak tahun 1980 pada lingkungan kering dan kondisi pakan yang jelek. Ciri-ciri umum domba UP3J antara lain memiliki ekor tipis dan tidak berlemak, telinga berukuran kecil sampai medium, bentuk hidung datar, domba betina tidak bertanduk, bulu biasanya berwarna putih, belang hitam dan banyak bercak hitam di sekitar mata dan hidung. Produktivitas induk domba UP3J umur 14 tahun pada musim kering dengan suhu lingkungan antara 220C-350C antara lain memiliki rata-rata bobot badan 24±4 kg, mampu melahirkan anak
1,27±0,44
ekor/induk, rata-rata produksi susu selama 16 minggu laktasi 415±135 g/hari, total bobot lahir dan total bobot sapih umur 2 bulan masing-masing sebesar 2,48±0,827 dan 6,12±1,92 kg/induk. Usaha untuk memperbaiki atau meningkatkan mutu genetik domba UP3J melalui pengembangbiakan ternak-ternak yang memiliki potensi genetik baik dapat dilakukan dengan cara seleksi terhadap induk domba. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa untuk melakukan seleksi terhadap induk sebaiknya dilakukan pada induk-induk muda umur 1-1,5 tahun berdasarkan kriteria bobot badan dan produksi susu. Agar proses seleksi dapat berjalan dengan baik dan menghasilkan hasil yang optimal, diperlukan beberapa tahapan di lokasi Unit Pendidikan Penelitian dan Peternakan jonggol, Institut Pertanian Bogor (UP3J-IPB). 1. Perbaikan sarana dan prasarana di UP3J Peningkatan produktivitas ternak diawali dengan perbaikan sarana dan prasarana seperti padang penggembalaan, kandang, laboratorium, air dan fasilitas jalan. Perbaikan padang penggembalaan dapat dilakukan dengan peremajaan rumput padang penggembalaan, perbaikan pengelolahan padang penggembalaan, perbaikan pagar padang penggembalaan, pemupukan secara
intensif
dan
pengembangan
tanaman
leguminosa.
Sistem
pemeliharaan dan pengandangan ternak dengan mengelompokan ternak
yang sedang bunting, melahirkan/laktasi dan pertumbuhan. Untuk menghindari perkawinan antar kerabat kelompok domba jantan dewasa dipisah dari kelompok betina dewasa baik saat di padang penggembalaan maupun di dalam kandang. 2. Seleksi ternak betina Seleksi terhadap domba betina muda yang dilahirkan di lokasi UP3J dilakukan berdasarkan kriteria kondisi fisik yang sehat, bebas dari abnormalitas, dan pertumbuhannya baik. Seleksi pertumbuhan secara sederhana dapat dilakukan dengan mencatat bobot lahir, bobot sapih dan bobot sampai dengan umur 1 tahun. Sebanyak 40% dari jumlah betina muda yang terbaik digunakan sebagai pengganti sejumlah induk domba yang di afkir karena alasan tertentu. Sisanya dapat dijual sebagai sumber bibit untuk peternak lokal atau daerah lain. Jumlah induk di UP3J sebaiknya dipertahankan dalam jumlah mudah dikontrol dan menghasilkan pendapatan dari penjualan setiap tahunnya. Induk yang tua dapat diafkir setelah berumur 4 tahun. Kriteria seleksi berdasarkan sifat kuantitatif pada ternak domba UP3J betina hasil penelitian disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Kriteria seleksi domba UP3J betina dewasa umur 1,0-1,5 tahun Parameter Rataan ± sb Bobot badan (kg) Produksi susu (g/hari) Total bobot lahir (kg/ekor) Total bobot sapih(kg/ekor)
21,42 ± 3,52 330 ± 120 2,06 ± 0,82 4,99 ± 1,54
Dalam melaksanakan seleksi dilakukan pemilihan sekelompok induk domba yang mempunyai produksi lebih tinggi dari rataan populasinya. 3. Seleksi ternak jantan Seleksi terhadap domba jantan muda yang dilahirkan setiap periode dilakukan berdasarkan kriteria kondisi fisik sehat dan tidak cacat, pertumbuhan baik. Seleksi tahap pertama dapat dilakukan dengan cara memilih sebanyak 40% jumlah ternak jantan saat disapih untuk dipelihara sampai umur 1 tahun (dewasa), sisanya 60% dapat digemukan untuk dijual..
pada umur 1 tahun ternak yang terseleksi tahap pertama diseleksi lagi berdasarkan bobot badan serta tes kemampuan reproduksi dan kemampuan kawinya (kopulasi). Hanya 10-20% dari domba jantan pada seleksi kedua ini yang akan digunakan untuk sumber bibit di lokasi UP3J sebagai calon pengganti pejantan. Sedangkan sisanya dapat disebarkan kepada petani diluar lokasi UP3J. 4. Perkawinan Setelah melakukan seleksi (pemilihan) terhadap induk-induk domba UP3J untuk dijadikan bibit yang memiliki produktivitas tinggi, dilanjutkan dengan perkawinan. Sistem perkawinan yang digunakan untuk meningkatkan mutu genetik domba UP3J dapat dilakukan dengan cara melepas pejantanpejantan
unggul
kedalam
kelompok
betina
unggul
di
padang
penggembalaan yang telah berpagar rapat. Jumlah pejantan dan betina dewasa hasil seleksi di dalam populasi tetap dipertahankan dengan perbandingan 1:25. Pengelompokan wilayah perlu dilakukan dalam mengembangkan ternak domba, agar kemurnian sumber daya genetik domba UP3J tetap terjaga. 1. Wilayah Sumber Bibit Unit Pendidikan, Penelitian dan Peternakan Jonggol Institut Pertanian Bogor (UP3J-IPB) berpotensi dijadikan sebagai wilayah sumber bibit murni ternak domba lokal galur domba ekor tipis yang tahan terhadap lingkungan yang panas. Pada wilayah sumber bibit ini sebaiknya dilakukan pelestarian secara in-situ dengan menutup wilayah tersebut terhadap pemasukan bangsa domba lain maupun bangsa yang sama dari wilayah lain. Upaya perbaikan mutu genetik untuk peningkatan produktivitas domba dilakukan melalui program seleksi dalam bangsa.
2. Wilayah Produksi Potensi pengembangan domba UP3J di luar daerah-daerah sentra populasi domba cukup tinggi terutama pulau Sumatera dan daerah-daerah lain di Indonesia yang memiliki sumber pakan melimpah terutama di lahan
perkebunan kelapa sawit. Pengembangan domba UP3J pada perkebunan kelapa sawit memiliki potensi yang cukup besar, tingginya daya dukung hijauan yang eksis pada perkebunan sawit, hasil ikutan pabrik seperti bungkil inti sawit (palm cernel cake); lumpur sawit (soleyid decanter) dan hasil ikutan di kebun seperti daun dan pelepah sawit dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak (Batubara 2003). Wilayah produksi digunakan pengembangbiakan domba UP3J untuk tujuan komersil, menggunakan teknik-teknik perkawinan silang dan penggemukan. Keuntungan utama persilangan adalah hybrid vigor atau heterosis, yaitu jika seekor induk dikawinkan dengan pejantan dari bangsa yang berbeda, turunannya akan lebih baik performanya untuk sifat-sifat tertentu daripada tetuanya. Persilangan (Crossbreeding) dengan domba garut pada wilayah produksi merupakan salah satu cara untuk peningkatan mutu genetik domba yang pada akhirnya meningkatkan produktivitas. Kemajuan potensi genetik akan lebih cepat tercapai jika program pemuliaan dilakukan dengan persilangan yang diiringi dengan seleksi (Gatenby, 1991). Tabel 20 Produktivitas hasil persilangan antara domba UP3J dan garut Peubah
UP3J
Bobot induk (kg) 21,42* Kelahiran (ekor/induk) 1,21* Produksi susu (g/hari) 330* Sumber : * hasil penelitian ** Nafiu 2003 *** Manalu dan Sumariyadi 1998
Garut 30** 1,8** 815***
UP3J-Garut 25,71 1,51 572,5
Hasil persilangan induk UP3J dengan pejantan domba garut menghasilkan proporsi darah 50% domba UP3J dan 50% domba garut yang berpotensi dapat meningkatkan bobot badan, jumlah anak sekelahiran dan produksi susu induk dengan asumsi lingkungan yang sama (Tabel 20). Hal ini menunjukkan domba UP3J dapat ditingkatkan dengan melakukan penyilangan dengan domba garut.
SIMPULAN 1. Umur induk berpengaruh sangat nyata terhadap bobot badan, produksi susu, total bobot lahir dan total bobot sapih induk domba UP3J. 2. Induk domba jonggol mencapai produktivitas tertinggi pada saat induk mencapai umur 3-4 tahun (I3), namun setelah umur 4-5 tahun (I4) produktivitas induk mulai menurun. 3. Bobot badan dan produksi susu pada induk domba UP3J memiliki tingkat keragaman yang tinggi dalam populasi, sehingga akan efektif untuk digunakan sebagai kriteria seleksi. 4. Seleksi pada induk domba UP3J berdasarkan bobot badan dan produksi susu terbaik dilakukan pada umur 1-1,5 tahun (I1). SARAN/REKOMENDASI Usaha untuk memperbaiki atau meningkatkan produktivitas domba UP3J dilakukan dengan memperbaiki lingkungan terutama meningkatkan produksi dan kualitas hijauan di padang penggembalaan dan seleksi. Seleksi akan efektif bila dilakukan dalam lingkungan seragam, diikuti pencatatan produksi (rekording) yang teliti, kemudian
atas dasar catatan produksi tersebut dilakukan penyusunan
peringkat dan dibandingkan dengan rataan populasi. Seleksi induk domba UP3J dapat dilakukan memilih ternak yang pertumbuhan cepat dan produksi susu tinggi. Seleksi pertumbuhan dilakukan dengan mencatat bobot lahir, bobot sapih dan bobot badan 1 tahun dan produksi susu pada kelahiran pertama (I1). Penggantian induk domba UP3J hasil seleksi dapat dilakukan setelah umur 4 tahun (I4). Perlu dilakukan seleksi terhadap domba jantan untuk dijadikan sebagai calon pengganti pejantan UP3J tidak produktif dan sebagai bibit untuk disebarkan ke petani. Perlu dilakukan penambahan jumlah pejantan hasil seleksi dalam populasi untuk mengawini betina dengan perbandingan 1:25.
DAFTAR PUSTAKA Abdalla EB, Kotby EA, Johnson HD. 1993. Physiological responses to heat induced hyperthermia of pregnant and lactating ewes. Small Rum Res 11: 25-34. Anderson RR. 1985. Mammary Gland.The Lowa State University Press/AMES. Antunovic Z, Speranda M, Steiner Z. 2004. The influence of age and the reproductive status to the blood indicators of the ewes. Arch Tierrz Dummerstorf 47(3):265-73. Atkins KD. 1986. A genetics analisis of the components of the lifetime productivity in Scottish blackface sheep. Anim Proc 43:403-19. Avondo M, Lutri L. 2004. Feed Intake. In: Pulina G, editor. Dairy Sheep Nutrition. CABI Publishing. Battaglia RA. 2007. Hand Book of Livestock Management. Fourth edition. New Jersey: Pearson Prentice Hall. Batubara LP. 2003. Potensi integrasi peternakan dengan perkebunan kelapa sawit sebagai simpul agribisnis ruminan. Buletin Ilmu Peternakan Indonesia Wartazoa 13 (3):83-91. Bearden HJ, Fuquae JW, Willard ST. 2004. Applied Animal Reproduction. Sixth edition. New Jersey: Mississippi State University. Pearson Prentice Hall. Bencini R, Pulina G. 1997. The quality of sheep milk. A review. Aust J Expert Agric 37:485-504. Borlino AC, Macciotta NPP, Pulina G. 2004. Mathematical Modelling of Milk Production Pattern in Dairy Sheep. In : Pulina G, editor. Dairy Sheep Nutrition. CABI Publishing Bourdon RM. 2000. Understanding Animal Breeding. Fourth Edition. New Jersey: Colorado State University. Prentice Hall. Bradford GE. 1993. Small Ruminant Breeding Strategies for Indonesia. In: Subandriyo and Gatenby GE. Advances in Small Ruminant Research in Indonesia. Ciawi-Bogor, Indonesia: RIAP. Pp:137-145. Bradford GE, Inounu I. 1996. Prolific sheep of Indonesia. In : Fahmy MH, editor Prolific Sheep. Cab International. Pp:109-20. Brandano P, Rassu SPG, Lanza. 2004. Feeding Dairy Lamb. In: Pullina G, editor. Dairy Sheep Nutrition. CABI Publishing. Caja G, Salama AAK, Such X. 2006. Omitting the dry off period negatively affects colostrums and milk yield in dairy goat. J Dairy Sci 89:4220-28. Cannas A. 2004. Feeding of Lactating Ewes. In: Pulina G, editor. Dairy Sheep Nutrition. CABI Publishing.
Capote J, Arguello A, Castro N, Lopez JL, Caja G. 2006. Correlations between udder morphology, milk yield, and milking ability with different milking frequencies in dairy goat. J Dairy Sci 89:2076-79. Cardellino RA. 2004. Conservation of Farm Animal Genetic Resources-A Global View. In: Simm G, Villanueva B, Sinclair KD, Townsend, editor. Farm Animal Genetic Resources. Nottingham University Press. Casamassima D, Pizzo R, Palazzo M, Alessandro ADG, Martemucci G. 2008. Effect of water retriction on productive performance and and blood parameters in Comisana sheep reared under intensive condition. Small Rum Res, Article in Press. Coleman SW, Henry DA. 2002. Nutritive Value of Herbage. In: Freer M, Dove H, editor. Sheep Nutrition. CABI Publishing. Collier RJ. 1985. Nutritional, Metabolic, and Environmental Aspects of Lactation. In: Larson BL, editor. Lactation. First Edition. Iowa: The Iowa State University Press. Davis GH et al. 2002. DNA test in prolific sheep from eight countries provide new evidence on origin of the boorola (FeCB) mutation. J Bio Reprod 66:186974. Devendra C, McLeroy GB. 1982. Goat and Sheep Production in The Tropics. London: Longman Group Limited. Direktorat Bina Perbibitan. 1998. Petunjuk Teknis Pengembangan Pembibitan Pedesaan Kambing dan Domba. Cetakan kedua. Jakarta: Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. 2006. Data Konsumsi Daging Telur dan Susu Tahun 2002-2006. Jakarta: Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Peternakan. [DISNAK SULSEL] Dinas Peternakan Sulawesi Selatan. 2004. Statistik Peternakan tahun 2003. Makasar: Dinas Peternakan Sulawesi Selatan. [DISNAK SULTENG] Dinas Peternakan Sulawesi Tengah. 2005. Statistik Sulawesi Tengah. Palu: Dinas Peternakan Sulawesi Tengah. Doho SR. 1994. Parameter fenotipik beberapa sifat kualitatif dan kuantitatif pada domba ekor gemuk [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Doloksaribu M, Gatenby RM, Bradford GE. 2000. Comparison of Sumatera sheep and hair sheep crossbreeds, III: Reproductive performance of F2 ewes weights of lambs. Small Rum Res 28:115-121.
Dong F, Ford SP, Nijland MJ,Nathanielsz PW, Ren J. 2008. Influence of maternal under nutrition and over feeding on cardiac ciliary neurotrophic factor reseptor and ventricular size in fetal sheep. J Nut Biochem 19(6):409-14. Dove H. 2002. Principles of Supplementary Feeding in Sheep-Grazing Systems. In: Freer M, Dove H, editor. Sheep Nutrition. CABI Publishing. Diwyanto K. 1982. Pengamatan fenotip domba priangan serta hubungan antara beberapa ukuran tubuh dengan bobot badan [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Edey, TN. 1983. Tropical Sheep and Goat Production. Canberra: Australian Universities. International Development Program (AUIDP). Eleiser S, Saribu MD, Batubara LP. 1994. Beberapa kegiatan uji coba pengembangan ternak domba [Laporan Penelitian]. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Elsen JM, Bondin L, Thimonier J. 1991. Major Gen for Reproduction in Sheep. Paris: INRA. Ensminger ME. 2002. Sheep and Goat Science. Interstate Publisher, Inc. Esmay LM. 1982. Principles of Animal Enviroment. AVI Publishing Company, Inc. Fauzi U. 2006. Identifikasi keragaman DNA mikrosatelit lokus CSSM018, ILSTS054, dan IDVGA30 pada domba lokal [Skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Fehr PM. 1981. Growth. In: Gall C, editor. Goat Production. Academic Press Fida. 2006. Studi penampilan pertumbuhan anak prasapih, bobot badan dan dimensi tubuh domba ekor gemuk di Indramayu, Madura dan Palu [Skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Fiss CF, Wilton JW. 1993. Contrtibution of breed, cow weight and milk yield to preweaning, feedlot, and carcass traits of calves in three beef breeding systems [Abstract]. J Anim Sci 71:2874-84. Fogarty NM, Dickerson GE, Young LD. 1984. Lamb production and its components in pure breed and composite lines. I: Seasonal and other enviromental effects. J Anim Sci 58:258-300. Food and Agriculture Organization (FAO). 2002. Conserving and Developing Farm Animal Diversity. Rome: Secretariat of The Report on The State of The Word’s Animal Genetic Resources. Fourie PJ, Neser FWC, Oliver JJ, Van Der Westhuizen C. 2002. Relationship between production performance, visual appraisal and body measurement of young Dorper rams. http:/www. Sasa. Co. Za/ sajas. Html [Maret 2008].
Freetly HC, Ferrel CL. 1999. Relationship of portal drained viscera and liver net flux of glucose, lactate, volatile fatty acids, and nitrogen metabolites to milk production in the ewe. J Dairy Sci 82:597-604. Gall C. 1981. Goat Production. London: Academic Press. Gatenby, R.M. 1991. Sheep. London: Macmilalan Education Ltd. Gatenby RM, Bradford GE, Doloksaribu M, Romjali E, Pitono AD, Sakul H. 1997. Comparison of Sumatera sheep and three hair sheep crossbreds. I. Growth, mortality and wool cover of F1 lamb. Small Rum Res 25:1-7. Goldsworthy PR, Fisher NM. 1992. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Gordon I. 2005. Reproductive Tecnologies in Farm Animals. CABI Publishing. Greenwood PL, Hunt AS, Bell AW. 2004. Effects birth weight and postnatal nutrition on neonatal sheep: IV. Organ growth. J Anim Sci 82:422-28. Hardjosubroto W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Hardjowigeno S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Presindo. Heald CW. 1985. Milk Collection. In: Larson BL, editor. Lactation. Iowa: The Iowa State University Press. Henry DA, Simpson RJ, MacMillan RH. 2000. Seasonal changes and the effect of the temperature and leave moisture conten on intrinsic shear strength of leaves of pastures grasses. Aus J Agr Res 51:823-31. Herman R. 2003. Budidaya Ternak Ruminansia Kecil. Bogor: Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Hernandez GH, Honenboken W. 1980. Relationships between ewe milk production and composition and preweaning lamb weight gain. J Anim Sci 50:597-603. Hincks JME, Dodds KG. 2008. Management of maternal-offspring behavior to improve lamb survival in easy care sheep systems [Abstract]. J Anim Sci 86:259-70. Iniguez L and B. Gunawan. 1990. The Reproductivity Potential of Indonesian Sheep Breeds for Humid Tropics. In: Tomaszewska MW, Gardiner S, Djajanegara A, Wiradarya TR. 1990. Goat and Sheep Production in Indonesia. Semarang: Sebelas Maret University Press. Iniquez L, Sancez M, Ginting SP. 1991. Productivity in sumantran sheep in a system integrated with with rubber plantation. Small ruminant Colaborative Research Support Program. Annual Report 5:303-17. Iniquez L, Pattie WA, Gunawan B. 1993. Aspects of sheep breedingwith particular emphasis on humid tropical environments. In: Wodzicka MT, Mastika IM, Djajanegara A, Gardiner S, Wiradarya TR, editor. Goat and Sheep Production in Indonesia. Semarang: Sebelas Maret University Press.
Inounu I, Subandriyo, Thomas N, Sitorus P, Bell M. 1986. Lambing characteristic of javanese thin-tailed ewes at Cicadas Experiment Station and under village condition. Jurnal Ilmu dan Peternakan 2(1):79-82. Inounu I. 1991. Production performance of prolific javanese sheep [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Inounu I, Iniguez LC, Bradford GE, Subandriyo, Tiesnamurti B. 1993. Performance production of prolific Javanese ewes. Small Rum Res 12:43-57. Inounu I. 1996. Keragaan Produksi Domba Prolifik [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Johnston RG. 1983. Introduction to Sheep Farming. London: Granada Publishing. Koesmaryono Y, Handoko. 1993. Klasifikasi Iklim. Dalam: Handoko, editor. Klimatologi dasar: Landasan Pemahaman Fisika Atmosfer dan UnsurUnsur Iklim. Jurusan Geofisika dan Meteorologi. Bogor: FMIPA. Intitut Pertanian Bogor. Kusumamihardja S. 1982. Pengaruh musim, umur dan waktu pengembalaan pada derajat infestasi nematode saluran pencernaan domba (Ovis aries) di Bogor [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Lasslo LL, Bradford GE, Torell DT, Kennedy BW. 1985. Selection for weaning weight in Targhee sheep in two environments. II: Correlated effects. J Anim Sci 61:387-97. Lawrence TLJ, Fowler VR. 2002. Growth of Farm Animals. CABI Publishing. Legarra A, Ugarte E. 2005. Genetic parameters of udder traits, somatic cell score, and milk yied in Latxa sheep. J Dairy Sci 88:2238-45. Lewis RM, Shelton M,. Sanders JO, Notter DR, Pirie WR. 1989. Adjustmen factors for 120-day weaning weight in Rambouillet lamb. J Anim Sci 67:1107-15 Macciotta NPP, Borlino AC, Pulina G. 1999. Analysis of enviromentall effect of tes day milk yield of Sarda dairy ewes. J Dairy Sci 77:1357-65. Malesi L. 2006. Produksi rumput Brachiaria humidicola dengan pemberian EM4 (Effective Microorganisms) di padang penggembalaan ternak domba [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Malewa A. 2007. Karakteristik fenotipe dan jarak genetik domba donggala di tiga lokasi di Sulawesi Tengah [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Manalu W, Sumaryadi MY. 1998a. Mammary gland indices at the end of lactation in Javanese thin tail ewes with different litter size. J Anim Sci 11:648-54. Manalu W, Sumaryadi MY. 1998b. Maternal serum progesterone concentration during pregnancy and lamb birth weight at parturition in Javanese thin tail ewes with different liter sizes. Small Rum Res 30(3):163-69.
Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 1998. Effect of superovulation on maternal serum progesterone concentration, uterine and fetal weights at weeks 7 and 15 of pregnancy in Javanese thin tail ewes. Small Rum Res 30(3):171-76. Manalu W. 1999. Fisiologi Laktasi. Bogor: Program Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 1999. Mammary gland differential growth during pregnancy in superovulated Javanese thin tail ewes. Small Rum Res 33(3):279-84. Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 2000. Effect of superovulation prior to mating on milk production performance during lactation in ewes. J Dairy Sci 83:477-83. Mansyur. 2004. Interval pemotongan rumput Brachiaria humidicola (Rendle) schwieek [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Martojo H, Mansjoer SS. 1985. Ilmu Pemuliaan Ternak. Bogor: Program Pasca Sarjana Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Sisdiksat Intim. Martojo H. 1992. Peningkatan Mutu Genetik Ternak. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Minson DJ. 1990. Forage in Ruminant Nutrition. San Diego: California Academic Press. Mulliadi D. 1996. Sifat fenotif domba priangan di Kabupaten Pandeglang dan Garut [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nafiu L. 2003. Evaluasi genetik domba priangan dan persilangannya dengan st. croix dan moulton charollais [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nottle MB, Kleemann DO, Seamark RF. 1997. Effect of previous under nutrition on ovulation rate of Merino ewes supplemented with lupin grain. Anim Reprod Sci 49:29-36. Nudda A, Battacone G, Bencini R, Pulina G. 2004. Nutrition and Milk Quality. In: Pulina G, editor. Dairy Sheep Nutritionl. CABI Publishing. Nugrahani N. 1997. Respon seleksi bobot badan dan keeratan beberapa ukuran tubuh dengan bobot badan pada domba ekor gemuk di UPT HMT Garahan, Jember [Skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Nurhayati L. 2004. Penampilan pertumbuhan domba priangan di Kabupaten Garut [Skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Parakkasi A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Piper L, Ruvinsky A. 2005. The Genetics of Sheep. CAB International. Pollott GE, Gootwine E. 2004. Reproductive performance and milk production of Assaf sheep in an intensif management system. J Dairy Sci 87:3690-703. Priyanto D, Setiadi B, Inounu I, Subandriyo. 1992. Produktivitas domba pedesaan pada kondisi pemeliharaan tradisional di Cirebon. Jurnal Ilmu dan Peternakan 5(1):15-19. Pulina G, Nudda A, 2004. Milk Production. In: Pullina G, editor. Dairy Sheep Nutrition. CABI Publishing. Raharjo SE. 1992. Studi keragaman genotipe dan fenotipe domba di Desa Kalaparae dan Walangsari Kabupaten Sukabumi serta di UP3J [Skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Ramdan R. 2007. Fenotipe domba lokal di Unit Pendidikan, Penelitian dan Peternakan Jonggol [Skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Reese AA, Handayani SW, Ginting SP, Sinulingga S, Reese GR, Johnson WL. 1990. Effect of energy suplementation on lamb production of Javanese thin tailed ewes. J Anim Sci 68:1827-40. Rehfeldt. C, Fieldler I, Sticland NC. 2004. Number and Size of Muscle Fibres in Relation to Meat Production. In: Everts ME, tePas MWF, Haagsmant HP, editor. Muscle Development of Livestock, Animal Fisiology, Genetic and Meat Quality. CABI Publishing. Reksohadiprodjo S. 1994a. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. Yogyakarta: BPFE. Reksohadiprodjo S. 1994b. Pakan Ternak Gembala. Yogyakarta: BPFE. Riduwan. 2003. Dasar-Dasar Statistika. Bandung: Alfabeta. Roberts JA. 2000. Frequency of the prolificacy gene in flocks of Indonesian thin tail sheep, a review. Small Rum Res 36:215-226. Robinson JJ, Rooke JA, McEvoy TG. 2002. Nutrition for Conception and pregnancy. In: Freer M, Dove H, editor. Sheep Nutrition. CABI Publishing. Ruiz R, Oreguei LM, Herrerot M. 2000. Comparison of model for describing the lactation curve of Laxta sheep and an análisis of factors affecting milk yield. J Dairy Sci 83:2709-719. Setiadi B, Iniguez L. 1993. Reproduction performance of small ruminants in an onfarm research program with village farm in west java. Small Rum Res 12:280-91.
Setiana MA dan Abdullah L. 1993. Studi potensi tumbuhan alam sebagai sumber hijauan makanan ternak di desa Tapos, Kec. Tenjo, Kab. Bogor. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Simm G.1998. Genetic Improvement of Cattle and Sheep. Miller Freeman UK Ltd. Sitorus SS, Ginting S, Van Eys JV, Inounu I. 1985. Effect of level of feeding and of litter size on milk yield and composition of Javanese ewes. Working Paper 65:1-7. Skerman PJ, Riveros F. 1990. Tropical Grasses. Roma: Plant Production and Protection Series, FAO. Snowder GD, Glim HA. 1991. Influence breed, number of sukling lambs, and stage lactation on ewes milk production and lamb growth under range conditions. J Anim Sci 69:923-30. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Steinheim G, Odegard J, Adnoy T, Klemetsdal G. 2008. Genotype by enviroment interaction for lamb weaning weight in two Nowergian sheep breeds [Abstract]. J Anim Sci 86:33-39. Stickland NC, Bayol S, Asthon C, Rehfeldt C. 2004. Manipulation of Muscle Fibre Number during Prenatal Development. In: Everts ME, tePas MWF, Haagsmant HP, editor. Muscle Development of Livestock, Animal Fisiology, Genetic and Meat Quality. CABI Publishing. Subandriyo. 1984. Factor a affecting survival of range sheep in the U.S, and characterization of sheep in Indonesian [Tesis]. Montana: Montana State University. Subandriyo, Setiadi B, Soedjana TD, Sitorus P. 1994. Produktivitas usaha ternak domba di pedesaan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Sumantri C, Einstiana A, Salamena JF, Inounu I. 2007. Keragaan dan hubungan phylogenik antar domba lokal di Indonesia melalui pendekatan analisis morfologi. JITV 12: 42-54. Sumaryadi MY. 1997. Perdiksi banyaknya anak, bobot lahir, komponen kimia kelenjar susu dan produksi susu kaitannya dengan bobot sapih berdasarkan profil hormon dan metabolit darah selama kebuntingan pada domba (Ovis aries) [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sutama IK, Edey TN, Fletcher IC. 1988. Study on reproduction of Javanese thin tailed ewes. Aust Agr Res 39:703-11. Sutama IK. 1990. Lactation performance and preweaning lamb growth in Javanese thin-tail sheep. Ilmu dan Peternakan 4:297-302.
Sutana IK. 1993. Domba ekor gemuk di Indonesia, potensi dan permasalahannya. Di dalam : Usaha ternak domba dan kambing menyongsong era PJPT II. Prosiding sarasehan 13-14 Desember 1992. Bogor: Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI) Cabang Bogor dan Himpunan Pengusaha Domba dan Kambing Indonesia (HKDI) Cabang Bogor. Swatland HJ. 1984. Structure and Development of Meat Animals. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Taylor RE, Field TG. 2004. Scientific Farm Animal Production. Eight Edition. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Tiesnamurti B. 2002. Kajian genetik terhadap induk domba priangan peridi ditinjau dari aspek kuantitatif dan molekuler [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Treacher TT, Caja G. 2002. Nutrition during Lactation. In: Freer M, Dove H, editor. Sheep Nutrition. CABI Publishing. Tucker HA. 1985. Endocrine and Neural Control of The Mammary Gland. In: Larson BL, editor. Laktation. Iowa: The Iowa State University Press. Umberger SH. 2001. Sheep Grazing Management.Managing Virgina’s Steep Pastures, Till Seeding of Forages and Legumes. Virgina State University. Virgina Cooperative Extension Publication 418:5-7. [UP3J] Unit Pendidikan, Penelitian dan Peternakan Jonggol.1992. Laporan Perkembangan Ternak. Jonggol, Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. [UP3J] Unit Pendidikan, Penelitian dan Peternakan Jonggol. 2007. Data Iklim di UP3J selama Periode 2007. Jonggol, Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Vanques MI, Forcada F, Casao A, Sosa C, Palacin I, Abecia JA. 2008. Effects of melatonin and under nutrition on the viability of ovine embriyos during an estrus and the breeding season [Abstract]. Anim Reprod Sci, Article in Press. Wardhani DK. 2006. Performans domba local yang digembalakan di padang rumput Brachiaria humidicola UP3 Jonggol dengan penambahan dedak padi [Skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Warwick EJ, Astuti JM, Hardjosubroto W. 1983. Pemuliaan Ternak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Wiener G. 1994. Animal Breeding. London: Macmillan Education LTD. Wigmore PMC, Sticland NC. 1983. Muscle development in large and small pig fetuses. J Anatomy 137: 235-45.
Willingham TD, Waldron DW, Thompson PV. 2002. Effect of the FeCB allel on birth weight and post weaning production traits of rambouillet-boorola cross wether. Sheep and Goat, Wool and Mohair CPR:1-6. Wilson LL, Rugh MC, Ziegler JH, Varela-Alvaez H, Simpson J, Watkins JL, Stout JM, Merritt TL. 1988. Effect of preweaning regime, breed of lamb’s sire and lamb sex on milk production of the ewe and growth and carcass trait of the progeny. J Anim Sci 31:136-41. Whitehead DC. 2000. Nutrien Element in Grassland: Soil-Plant-Animal Relationship. Wallingford. CAB International Publishing. Whittier WD, Zajac A, Umberger SH. 2003. Control of internal parasites in sheep. Virgina Cooperation Extension. Virgina State University. Winugroho M, Sastradipradja D, Young BA. 1993. Adapted Small Ruminant on Heat Condition. In: Wodzicka MT, Mastika IM, Djajanegara A, Gardiner S, Wiradarya TR, editor. Goat and Sheep Production in Indonesia. Semarang: Sebelas Maret University Press. Wiradarya TR. 2005. Sistem tiga strata sebagai strategi pemulihan dan peningkatan mutu genetik kambing dan domba di Indonesia. Media Peternakan 28(2):87-99. Yousef, MK. 1985. Thermonetral Zone. In: Yousef MK, editor. Stress Physiology of Lifestock. Florida: CRC Press, Inc.