PENGGUNAAN BAHAN BAKU DAN LAHAN SERTA ANALISIS USAHA INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN DI KAWASAN PPI MUARA ANGKE JAKARTA
IMELDA
DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DANSUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penggunaan Bahan Baku dan Lahan serta Analisis Usaha Industri Pengolahan Ikan dan di Kawasan PPI Muara Angke Jakarta adalah benar karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, 12 Februari 2013
Imelda C44080018
ABSTRAK IMELDA. Penggunaan Bahan Baku dan Lahan serta Analisis Usaha Industri Pengolahan Ikan di Kawasan PPI Muara Angke Jakarta. Dibimbing oleh ANWAR BEY PANE dan ERNANI LUBIS. Industri pengolahan ikan merupakan salah satu Industri Kepelabuhanan Perikanan yang mampu memberikan nilai tambah pada hasil tangkapan yang didaratkan. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui kebutuhan bahan baku utama ikan pada industri pengolahan untuk berbagai jenis industri pengolahan di kawasan PPI Muara Angke dan sekitarnya; 2) mengetahui kebutuhan luasan lahan jenis-jenis industri tersebut di atas; dan 3) mendapatkan gambaran usaha industri pengolahan ikan di PPI Muara Angke. Metode yang digunakan adalah survei dengan aspek yang diteliti terdiri dari aspek bahan baku, aspek lahan, dan aspek usaha industri. Kebutuhan bahan baku ikan dari sisi jenis ikan, jumlah dan kualitas belum dapat dipenuhi oleh pasokan hasil tangkapan didaratkan atau yang disediakan TPI PPI Muara Angke. Besaran luasan lahan yang disediakan untuk masing-masing jenis industri pengolahan ikan di PHPT Kawasan PPI Muara Angke telah ditentukan luasnya, sehingga apabila terjadi peningkatan produksi pengolahan yang membutuhkan penambahan luasan lahan, maka pengusaha pengolahan tidak dapat menambah luasan areal pengolahannya ke PHPT. Berdasarkan analisis usaha pada keempat jenis usaha pengolahan ikan di PHPT PPI Muara Angke menguntungkan. Kata kunci: analisis usaha, bahan baku, lahan, pengolahan ikan, PPI Muara Angke
ABSTRACT IMELDA. Usage of Material Basics and Areas Including Business Analysis for Fishery Product Industry in PPI Muara Angke Area. Supervised by ANWAR BEY PANE and ERNANI LUBIS. Fishery product industry is one of industries in fishing ports which give added value. The aims of this research are: 1) to know using of fish material basic for fishery product industries in PPI Muara Angke area; 2) to know using of areas for fishery product industries in PPI Muara Angke areas; and 3) describe fishery product industry in PPI Muara Angke. Survey method was used in this research. There are three aspect which was studied consist of material basics, areas, and industry effort. Material basics like fish types, quantity, and quality unfulfilledby fish catches which landed in TPI PPI Muara Angke.The fixed area was provided for every kind fishery product industry in PHPT PPI, so if happens increase of production fishery product which need added areas, the entrepreneurs can’t enlarge their areas to PHPT. Based on business analysis, the four kind fishery product industry in PPI Muara Angke are profitable. Keywords: areas, business analysis, material basics, fishery product, PPI Muara Angke
© Hak cipta IPB, Tahun 2013 Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
PENGGUNAAN BAHAN BAKU DAN LAHAN SERTA ANALISIS USAHA INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN DAN DI KAWASAN PPI MUARA ANGKE JAKARTA
IMELDA
Skripsi sebagian salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi
Nama NRP
: Penggunaan Bahan Baku dan Lahan serta Analisis Usaha Industri Pengolahan Ikan di Kawasan PPI Muara Angke Jakarta : Imelda : C44080018
Disetujui oleh
Dr. Ir. Anwar Bey Pane, DEA Pembimbing 1
Dr.Ir. Ernani Lubis, DEA Pembimbing 2
Diketahui oleh
Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc Ketua Departemen
Tanggal lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2012 sampai dengan Maret 2012 ini ialah pelabuhan perikanan, dengan judul Penggunaan Bahan Baku dan Lahan serta Analisis Usaha Industri Pengolahan Ikan di Kawasan PPI Muara Angke Jakarta. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Ir. Anwar Bey Pane, DEA dan Ibu Dr. Ir. Ernani Lubis, DEA selaku pembimbing, serta Bapak Ir. Wawan Oktoriza, M.Si yang telah banyak memberikan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Fahrul Rozi, Dwi Putra Yuwandana, Christin Novaria S., Ristiani, Hotnaida Saragih, Nurtsani Liliana, Ariestio Dwi R., Reza Setia R., Izza M dan PSP Angkatan 45 yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, dan seluruh keluarga serta teman-teman atas doa dan dukungannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2013
Imelda
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sumatera Selatan pada tanggal 27 November 1990 dari ayah Haidar dan ibu Sintia. Penulis adalah putri keduadari tiga bersaudara. Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Ogan Komering Uludan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum Avertebrata Air pada tahun ajaran 2010/2011, asisten praktikum Rekayasa dan Tingkah Laku Ikan pada tahun ajaran 2010/2011, Asisten Mata Kuliah Metodologi Penelitian pada tahun ajaran 2011/2012, Asisten Mata Kuliah Kapal pada tahun ajaran 2011/2012 dan 2012/2013, Asisten Mata Kuliah Dinamika Kapal pada tahun 2012/2013. Penulis juga pernah aktif sebagai staf Bidang Kewirausahaan Himpunan Mahasiswa Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Bulan Februari-Maret 2012 penulis melaksanakan Praktik Lapangan di Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke dengan judul Penggunaan Bahan Baku dan Lahan serta Analisis Usaha Industri Pengolahan Ikan di Kawasan PPI Muara Angke Jakarta dan dinyatakan lulus pada sidang ujian akhir Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan tanggal 17 Januari 2013.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
iii v vii
1 PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Permasalahan Penelitian
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
4
Industri Kepelabuhanan Perikanan
4
Bahan Baku Utama Ikan
7
Lahan Industri di Pelabuhan Perikanan
9
Analisis Usaha Industri Pengolahan Ikan 3 METODOLOGI
12 14
Waktu danTempat
14
Alat dan Bahan Penelitian
14
Metode Penelitian
14
Analisis Data
17
4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
19
Keadaan Umum Kota Jakarta Utara
19
Keadaan Umum Perikanan Tangkap Kota Jakarta Utara
25
Kawasan PPI Muara Angke
34
5 PENGGUNAAN BAHAN BAKU IKAN DAN PROSES PRODUKSI PADA INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN DI PHPT PPI MUARA ANGKE
42
Kondisi Pengolahan Ikan
42
Bahan Baku Pengolahan dan Penggunaannya
47
Proses Produksi Industri Pengolahan Ikan
60
6 PENGGUNAAN LAHAN INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN DI KAWASAN PPI MUARA ANGKE Pengembangan kawasan PPI Muara Angke
73 73
Lahan Industri Pengolahan Ikan dan Penggunaan Lahan 7 ANALISIS USAHA UNTUK SETIAP INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN DI PHPT PPI MUARA ANGKE
77 100
Industri Pengolahan Ikan Asin
100
Industri Pengolahan Ikan Asap
104
Industri Pengolahan Ikan Pindang
106
Industri Pengolahan Kulit Ikan Pari
108
8 SIMPULAN DAN SARAN
113
Simpulan
113
Saran
114
DAFTAR PUSTAKA
115
LAMPIRAN
119
DAFTAR TABEL 1 Biaya sewa tanah pelabuhan dan bangunan pelabuhan perikanan yang berlaku pada Departemen Kelautan dan Perikanan berdasarkan PERMEN No. 19 tahun 2006 2 Jenis data utama primer dan sekunder yang dikumpulkan pada penelitian bahan baku, lahan industri dan analisis usahanya di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 3 Jenis data tambahan primer dan sekunder yang dikumpulkan pada penelitian bahan baku, lahan industri dan analisis usahanya di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 4 Perkembangan jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kota Jakarta Utara pada tahun 2006-2010 5 Luas wilayah, jumlah dan kepadatan penduduk dan rasio jenis kelamin menurut kecamatan di Kota Jakarta Utara tahun 2010 6 Jumlah nelayan berdasarkan kategori nelayan di Jakarta Utara tahun 2010 7 Volume dan nilai produksi perikanan laut di Kota Jakarta Utara tahun 2010 8 Pertumbuhan jumlah armada perikanan di PPI Muara Angke menurut kelompok ukuran GT tahun 2006-2010 9 Perkembangan jumlah dan jenis alat tangkap di PPI Muara Angke tahun 2006-2010 10 Perkembangan volume dan nilai produksi dan retribusi di PPI Muara Angke tahun 2006-2010 11 Kepelabuhanan Perikanan di PPI Muara Angke tahun 2010 12 Jumlah jenis ikan yang digunakan oleh setiap jenis industri pengolahan ikan di PHPT Muara Angke tahun 2012 13 Jenis-jenis ikan yang sering digunakan sebagai bahan baku pada industri pengolahan ikan asin di PHPT Muara Angke tahun 2012 14 Jenis ikan yang digunakan industri pengolahan ikan asap di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 15 Jenis ikan dan nama latinnya yang digunakan sebagai bahan baku ikan pindang di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 16 Penggolongan kulit ikan pari berdasarkan hasil pengukuran panjang dan lebar kulit 17 Jumlah garam yang dibutuhkan untuk penggaraman ketiga jenis ikan yang sering diasinkan di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 18 Rencana pengembangan fasilitas di kawasan minapolitan Pelabuhan Perikanan Muara Angke tahun 2011-2015 19 Zonasi kawasan Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta tahun 2010 20 Skema pemanfaatan ruang dan lahan pada proses produksi pengolahan ikan asin di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012
11
16
16
20 21 26
27 27 29 30 37 48 49
54 56 59 61
75 76 80
21 Skema pemanfaatan ruang dan lahan pada proses produksi pengolahan ikan asap di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012.. 22 Skema pemanfaatan ruang dan lahan pada proses produksi pengolahan ikan pindang di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 23 Skema pemanfaatan ruang dan lahan pada proses produksi pengolahan kulit ikan pari dan hiu untuk konsumsi di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 24 Skema pemanfaatan ruang dan lahan pada proses produksi pengolahan tulang ikan untuk kosmetik di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 25 Skema pemanfaatan ruang dan lahan pada proses produksi pengolahan kulit ikan pari untuk penyamakan di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 26 Penggunaan lahan, bahan baku dan produksi per tahun, frekuensi produksi per bulan, dan kapasitas proses olahan per produsi pada industri pengolahan ikan di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 27 Analisis usaha pada industri pengolahan ikan asin dengan dan tanpa metode perebusan di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 28 Analisis usaha pada industri pengolahan ikan asap di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012. 29 Analisis usaha pada industri pengolahan ikan pindang di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 30 Analisis usaha pada industri pengolahan kulit ikan pari untuk konsumsi dan tulang ikan untuk kosmetik di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 31 Analisis usaha pada industri pengolahan kulit ikan pari untuk penyamakan di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 32 Nilai R/C, ROI, dan PP pada industri pengolahan ikan di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012
84 88
93
94
95
98
103
106 107 110
110 112
DAFTAR GAMBAR 1 Grafik perkembangan jumlah armada penangkapan ikan di PPI Muara Angke tahun 2006-2010 2 Diagram komposisi alat tangkap yang digunakan nelayan berbasis di PPI Muara Angke tahun 2010 3 Grafik perkembangan volume dan nilai produksi di PPI Muara Angke tahun 2006-2010 4 Struktur organisasi Unit Pelaksana Teknis Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan di Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke tahun 2011 5 Peta eksisting Kawasan Muara Angke tahun 2011 6 Komposisi jenis-jenis ikan bahan baku industri pengolahan ikan asin di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 7 Diagram lokasi asal pembelian bahan baku ikan industri pengolahan ikan asin di PHPT Muara Angke tahun 2012 8 Komposisi asal bahan baku ikan yang dibeli industri pengolahan ikan asin yang berasal dari dermaga pendaratan PPI Muara Angke tahun 2012 9 Kondisi bahan baku ikan asin yang digunakan dalam keadaan beku dan perlu dicairkan dahulu untuk dibersihkan di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 10 Penjemuran ikan asin di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 11 Pengasapan ikan layang, ikan pari dan cucut pada industri pengasapan ikan di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 12 Ikan yang sudah mengalami proses pengasapan pada industri pengolahan ikan asap di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 13 Ikan pindang tongkol yang sudah matang di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 14 Ikan layang yang sedang disusun pada industri pengolahan ikan pindang di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 15 Kegiatan pengolahan ikan bandeng presto di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 16 Kulit ikan pari dan hiu yang sedang dijemur pada industri pengolahan kulit dan tulang ikan di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 17 Tulang ikan pari dan hiu yang sedang dijemur pada industri pengolahan kulit dan tulang ikan di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 18 Kulit ikan yang sedang dijemur untuk tujuan penyamakan pada industri pengolahan kulit ikan pari di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 19 Overlay peta eksisting terhadap peta peruntukan lahan umum tahun 2011 20 Kondisi eksisting PHPT dan rencana pemindahan PHPT PPI Muara Angke tahun 2011 21 Denah ruang dan lahan pada industri pengolahan ikan asin di
28 30 31
36 39 49 50
52
53 62 65 66 67 68 69
70
71
72 74 75
22 23 24 25
PHPT PPI Muara angke tahun 2012 Denah ruang dan lahan pada industri pengolahan ikan asap di PHPT PPI Muara angke tahun 2012 Denah ruang dan lahan pada industri pengolahan ikan pindang di PHPT PPI Muara angke tahun 2012 Denah ruang dan lahan pada industri pengolahan kulit ikan dan tulang ikan di PHPT PPI Muara angke tahun 2012 Denah ruang dan lahan pada industri pengolahan kulit ikan pari di PHPT PPI Muara angke tahun 2012
79 83 87 91 96
1
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri perikanan di pelabuhan perikanan disebut industri kepelabuhan perikanan (IKP), terdiri atas tiga kelompok, yaitu industri penangkapan ikan, industri pengolahan ikan, dan industri tambahan atau pendukung. Industri pengolahan ikan merupakan salah satu bagian penting dari industri kepelabuhan perikanan (IKP) selain industri penangkapan. Industri pengolahan mampu memberikan nilai tambah hasil tangkapan yang didaratkan di pelabuhan perikanan melalui pemanfaatan bahan baku ikan secara menyeluruh (Pane, 2007). Suatu industri pengolahan ikan memerlukan lahan untuk kelangsungan pengoperasiannya. Lahan merupakan faktor yang berperan dalam penentuan posisi industri pengolahan ikan dan mempengaruhi jarak pegangkutan dari sumber hasil tangkapan yaitu tempat pelelangan ikan (TPI) ke lokasi industri pengolahan ikan. Lahan industri perlu direncanakan di suatu pelabuhan perikanan, bahkan “jauh hari” sebelum aktivitas industri itu ada. Akan tetapi setiap industri pengolahan membutuhkan luasan lahan yang berbeda satu sama lain. Besarnya luasan lahan ini disesuaikan dengan jenis industri pengolahan yang ingin dilakukan atau direncanakan, sehingga sangat menarik untuk diteliti mengenai penggunaan lahan untuk industri pengolahan dan besarnya kebutuhan akan lahan tersebut. Industri pengolahan ikan yang termasuk dalam Industri Kepelabuhan Perikanan menggunakan ikan sebagai bahan baku utamanya. Ketersediaan bahan baku ikan ini diperoleh langsung melalui pelabuhan perikanan (PP) atau pangkalan pendaratan ikan (PPI) itu sendiri baik melalui pendaratan hasil tangkapan di PP atau PPI tersebut maupun dari luar daerah yang datang dari PP atau PPI lain melalui transportasi darat. Jumlah ikan yang tersedia dan mutu ikan juga turut mempengaruhi kecukupan tersedianya bahan baku ikan. Oleh karena itu kebutuhan bahan baku utama ikan juga perlu diteliti pada Industri Kepelabuhan Perikanan (IKP). Usaha industri pengolahan ikan juga perlu dianalisis agar dapat diketahui kelayakannya. Pengetahuan mengenai kelayakan usaha tersebut bisa dijadikan pedoman dalam perencanaan pengembangan industri pengolahan ikan yang ada di kawasan PPI Muara Angke. Pelabuhan Perikanan sebagai pusat bagi pertumbuhan industri pengolahan ikan sekaligus memberikan pelayanan bagi industri pengolahan ikan di dalamnya. Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke termasuk salah satu pelabuhan perikanan yang mempunyai aktivitas industri pengolahan ikan tradisional cukup lengkap dengan jumlah produksi rata-rata per hari sebanyak 30-40 ton. Selain itu, PPI Muara Angke juga memiliki produksi hasil tangkapan yang didaratkan cukup besar yaitu sebanyak 14.553 ton pada tahun 2008 (Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara, 2009 vide Sunea 2010). Namun demikian perlu pengkajian apakah produksi tersebut memenuhi pemenuhan kebutuhan bahan baku utama bagi industri pengolahan ikan di kawasan PPI tersebut. Dengan mempertimbangkan berbagai alas an tersebut maka penulis tertarik untuk meneliti kebutuhan bahan baku ikan dan lahan industri pengolahan di PPI
1
2
Muara Angke yang meliputi aspek-aspek bahan baku utama industri pengolahan, aspek lahan industri dan aspek usaha industri. 1.2 Permasalahan Penelitian Berbagai permasalahan dalam penelitian ini tercermin dari pertanyaan berikut ini: 1) Jenis-jenis industri pengolahan apa saja yang ada di kawasan PPI Muara Angke? 2) Jenis-jenis bahan baku ikan apa saja yang dibutuhkan oleh setiap jenis industri pengolahan tersebut? Berapa jumlah kebutuhannya? 3) Bahan baku ikan diperoleh darimana saja pada setiap jenis industri? Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke? Luar PPI MuaraAngke? Luar PPI Muara Angke, apakah berasal dari hasil tangkapan yang didaratkan di pelabuhan perikanan atau pangkalan pendaratan ikan? Berapa perbandingan jumlah asal bahan baku dari setiap jenis ikan yang dibeli oleh per jenis industri? 5) Apa saja alasan-alasan setiap jenis industri pengolahan di kawasan PPI Muara Angke ini membeli bahan baku ikan di PPI Muara Angke? Atau apa saja alasan-alasan setiap jenis industri pengolahan di PPI Muara Angke ini jika mereka membeli bahan baku ikan di luar PPI Muara Angke? 6) Tahapan proses apasaja yang dilakukan pada setiap jenis industri pengolahan ikan di kawasan PPI MuaraAngke? 7) Berapa luasan lahan yang digunakan pada setiap industri di atas? Apakah lahan tersebut disewa/dikontrak atau milik sendiri? Digunakan untuk apa saja luasan lahan tersebut pada setiap jenis industri? Berapa harga sewa dan bangunan pada setiap jenis industri di atas pada saat ini? 8) Berapa besar penerimaan usaha dari setiap jenis industri di atas? Berapa besar biaya variabel dan biaya tetap dari setiap industri di atas?Apakah usaha setiap industri di atas menguntungkan? Hubungan apa yang dapat diperoleh antara bahan baku ikan yang tersedia di PPI Muara Angke ini dengan omset usaha pada setiap jenis industri di atas?
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk: 1) Mengetahui penggunaan bahan baku utama ikan pada industri pengolahan (jenis, jumlah dan asal bahan baku) untuk berbagai jenis industri pengolahan di kawasan PPI Muara Angke dan sekitarnya; 2) Mengetahui penggunaan luasan lahan jenis-jenis industri tersebut di atas; 3) Mendapatkan gambaran usaha industri pengolahan ikan di PPI Muara Angke
3
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk: 1) Pihak pengelola kawasan PPI Muara Angke dalam perencanaan atau perancangan IKP; utamanya industri pengolahan ikan di kawasan PPI Muara Angke; 2) Pihak-pihak lainnya seperti peneliti/mahasiswa dan atau masyarakat lainnya baik sebagai bahan (data dan informasi) untuk penelitian-penelitian lebih lanjut, maupun sebagai masukan dalam pengambilan keputusan dan lain-lain. 3) Pihak pemerintah daerah/ Dinas Kelautan dan Perikanan setempat di dalam perencanaan Industri Kepelabuhan Perikanan di daerahnya;
4
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Industri Kepelabuhanan Perikanan 2.1.1 Pengertian Industri Kepelabuhanan Perikanan Pemanfaatan sumberdaya perikanan laut Indonesia sudah semakin meningkat meskipun belum sepenuhnya optimal dilihat dari semakin meningkatnya jumlah produksi ikan, jumlah perahu penangkapan ikan dan jumlah nelayan yang ada saat ini. Perkembangan pemanfaatan sumberdaya laut ini semakin membangkitkan industri yang berbasiskan hasil tangkapan di pelabuhan perikanan Indonesia. Industri merupakan kumpulan perusaahaan sejenis. Berdasarkan teori ekonomi mikro, pengertian industri secara mikro adalah kumpulan dari perusahaan-perusahaan yang menghasilkan barang-barang yang homogen, atau barang-barang yang mempunyai sifat saling menggantikan secara erat (Hasibuan 1993). Menurut UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri. Industri perikanan yang berkembang di pelabuhan perikanan memiliki berbagai aktivitas meliputi kegiatan penangkapan ikan, pengolahan ikan, dan pemasaran produksi perikanan. Menurut Pane (2007) industri perikanan di pelabuhan perikanan disebut industri kepelabuhanan perikanan, terdiri atas tiga kelompok, yaitu industri pengolahan ikan, industri penangkapan ikan, dan industri tambahan atau pendukung. Batasan dari industri pengolahan ikan menurut Pane (2007) adalah kelompok usaha di pelabuhan perikanan yang aktivitasnya bersifat terkait langsung dengan upaya menghasilkan produk olahan ikan (dalam arti luas: ikan, krustasea, moluska, binatang air lainnya dan tumbuhan air dari hasil tangkapan atau eksploitasi alami dan hasil budidaya) dalam jumlah besar. Ibrahim (2004) mengatakan bahwa industri pengolahan hasil perikanan merupakan salah satu agroindustri yang memanfaatkan hasil perikanan sebagai bahan baku untuk menghasilkan suatu produk yang bernilai tambah tinggi. Pengolahan ikan dalam arti luas terdiri atas: (a) pengolahan tradisional, seperti pemindangan ikan, pengeringan ikan, pengasapan ikan, fermentasi ikan (terasi, petis, kecap ikan, dan lain-lain), kerupuk ikan, dan lain-lain; (b) pengolahan semi modern, seperti pengalengan ikan, filet ikan dan pembuatan makanan jadi berbahan ikan (bakso ikan, fish nugget, supi, dan lain-lain); (c) pengolahan modern, seperti surimi, industri tingkat tiga dari rumput laut (bahan kosmetik, kesehatan, obat-obatan, dan lain-lain) (Pane 2007). Batasan dari kelompok industri penangkapan ikan adalah kelompok usaha di pelabuhan perikanan yang aktivitasnya bersifat terkait langsung dengan penyediaan unit penangkapan ikan (kapal/perahu, alat tangkap) atau dalam upaya menghasilkan hasil tangkapan dalam jumlah banyak. Selanjutnya batasan kelompok industri tambahan adalah kelompok usaha pendukung industri penangkapan ikan dan atau industri pengolahan ikan di pelabuhan perikanan.
5
Industri penangkapan ikan memegang peranan penting dalam upaya pemanfaatan sumberdaya ikan laut seoptimal mungkin.Industri penangkapan ikan juga berperan untuk memfasilitasi operasi penangkapan ikan yang lebih baik dan ramah lingkungan. Industri tambahan dan industri pengolahan ikan juga tidak kalah penting dengan industri penangkapan ikan. Ketiga jenis industri ini saling melengkapi dalam Industri Kepelabuhanan Perikanan. 2.1.2 Aktivitas-aktivitas yang terdapat di Pelabuhan Perikanan Pelabuhan perikanan memiliki berbagai aktivitas untuk menunjang eksistensinya. Menurut Pane (2007), aktivitas-aktivitas yang ada di pelabuhan perikanan dapat dikelompokkan menjadi tujuh kelompok, yaitu: 1) Kelompok aktivitas yang berhubungan dengan hasil tangkapan, antara lain aktivitas penanganan, pendaratan, pemasaran atau pelelangan ikan dan pendistribusiannya. 2) Kelompok aktivitas yang berhubungan dengan pengolahan ikan, antara lain aktivitas pembekuan ikan, pengolahan ikan, serta pemasaran dan distribusi hasil olahan 3) Kelompok aktivitas yang berhubungan dengan unit penangkapan 4) Kelompok yang berhubungan dengan penyediaan kebutuhan melaut 5) Kelompok aktivitas yang berhubungan dengan kelembagaan pelaku aktif. 6) Pelaku aktif di sini adalah nelayan atau pengusaha penangkapan, ABK, nahkoda, pengolah ikan, pedagang, pembeli, buruh pengangkut, dan lainnya. 7) Kelompok aktivitas yang berhubungan dengan kelembagaan penunjang pelabuhan perikanan 8) Kelompok aktivitas yang berhubungan dengan pengelolaan pelabuhan perikanan Setiap aktivitas yang ada di pelabuhan perikanan berhubungan satu sama lain dan saling menunjang. Aktivitas yang berhubungan dengan pengolahan ikan biasanya dilakukan oleh pengusaha industri pengolahan ikan yang bertujuan untuk menghasilkan produk perikanan yang memiliki nilai tambah (Tomasina 2010). Menurut Adawyah (2007) bahwa prinsip pengolahan ikan pada dasarnya bertujuan melindungi ikan dari pembusukan atau kerusakan, memperpanjang daya awet dan mendiversifikasi produk olahan hasil perikanan. Selanjutnya dikemukakan oleh (Adawyah 2007) bahwa cara pengolahan yang umum dilakukan pada dasarnya dibagi menjadi empat golongan, yaitu: 1) pengolahan dengan memanfaatkan faktor fisikawi, 2) pengolahan dengan bahan pengawet, 3) pengolahan yang memanfaatkan faktor fisikawi dan bahan pengawet, serta 4) pengolahan dengan cara fermentasi. 2.1.3 Aktivitas-aktivitas industri di Pelabuhan Perikanan Menurut Indrianto (2006) pelabuhan perikanan digunakan untuk mengelola aktivitas yang meliputi proses pendaratan, pelelangan, pengolahan dan pemasaran ikan. Aktivitas pendaratan ikan hasil tangkapan di pelabuhan perikanan sangat bergantung kepada kelengkapan fasilitas yang ada di pelabuhan seperti dermaga, kolam pelabuhan dan alur pelayaran yang dapat memperlancar kapal-kapal perikanan untuk bertambat di pelabuhan guna melakukan pembongkaran hasil
6
tangkapan dan menyediakan bahan perbekalan untuk melaut. Hasil tangkapan yang telah dibongkar akan dibawa ke TPI dan selanjutnya dilakukan pelelangan ikan sebagai awal dari pemasaran ikan. Aktivitas pengolahan ikan hasil tangkapan di pelabuhan biasanya dilakukan pada saat musim ikan untuk menampung produksi perikanan yang tidak habis terjual dalam bentuk segar. Aktivitas pemasaran berawal dari tempat pelelangan ikan hingga ke tangan konsumen. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa aktivitas-aktivitas industri di pelabuhan perikanan termasuk ke dalam aktivitas Industri kepelabuhanan perikanan yang digolongkan menjadi 3 kelompok industri yaitu industri penangkapan ikan, industri pengolahan ikan, dan industri tambahan atau pendukung. Menurut Pane (2007) aktivitas dari industri penangkapan ikan meliputi usaha penangkapan ikan, pembuatan kapal (galangan kapal), pembuatan alat tangkap (pabrik alat tangkap) dan lain-lain. Aktivitas dari industri pengolahan ikan meliputi pembekuan ikan (ikan, udang, dan lain-lain) dan pengolahan ikan. Aktivitas yang ada pada jenis industri tambahan adalah perbaikan kapal dan mesin kapal, perbaikan alat tangkap, pabrik es, dan lain-lain. Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor :PER.18/ MEN/2006 tentang Skala Usaha Pengolahan Hasil Perikanan maka usaha perikanan dibedakan menjadi: a. Usaha pengolahan hasil perikanan skala mikro; b. Usaha pengolahan hasil perikanan skala kecil; c. Usaha pengolahan hasil perikanan skala menengah; d. Usaha pengolahan hasil perikanan skala besar. Keempat jenis skala usaha pengolahan ini memiliki aktvitas yang sama yaitu: meliputi aktivitas penyediaan bahan baku, pengolahan ikan dan aktivitas pemasaran. Ketiga aktivitas tersebut saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan, karena karakteristik ikan sebagai produk yang mudah busuk sehingga membutuhkan penanganan mutu ikan yang akan menjaga terhadap kerusakan atau menurunnya mutu produk perikanan tersebut. Kegiatan bahan baku merupakan kegiatan penting yang dapat mempengaruhi produksi suatu usaha. Hal ini dikarenakan jika terjadi kekurangan bahan baku dapat menyebabkan proses pengolahan dan pemasaran menjadi terhambat atau tidak efektif. Aktivitas pengolahan ikan meliputi proses produksi terdiri dari serangkaian kegiatan yang saling berhubungan satu sama lain untuk menghasilkan produk yang diinginkan. Aktivitas pemasaran dapat dilakukan apabila produk telah siap untuk dijual ke konsumen. Rantai pemasaran berawal dari produsen hingga sampai ke tangan konsumen. Aktivitas industri pengolahan ikan yang ada di pelabuhan perikanan juga memiliki ketiga aktivitas tersebut. Menurut Pane (2007), penetapan jenis industri di suatu pelabuhan perikanan dilakukan dengan mempertimbangkan: 1) Bahan baku utama, antara lain ikan basah segar dan ikan basah tidak segar (kurang sampai tidak segar) 2) Jenis ikan yang tersedia 3) Ukuran ikan yang tersedia 4) Prasarana atau infrastruktur serta jenis sarana yang tersedia dan yang akan dibangun di pelabuhan perikanan dan/atau di sekitar pelabuhan perikanan 5) Bahan-bahan penunjang atau tambahan yang tersedia, seperti kaleng dan tomat (untuk industri ikan kaleng), serta es (pabrik es) untuk filet ikan.
7
6) Pelayanan yang tersedia di pelabuhan perikanan, mencakup jenis dan cara pelayanan bahan baku industri, jenis dan cara pelayanan fasilitas, serta pelayanan pengurusan kemudahan perijinan (ekspor dan sebagainya). Industri pengolahan ikan membutuhkan ikan dalam kondisi yang segar untuk dapat menghasilkan produk dengan mutu prima, sehingga dapat dijual dengan harga produk setinggi mungkin. Cara pengolahan ikan yang baik pada industri pengolahan ikan juga dapat menambah nilai jual produk.
2.2 Bahan Baku Utama Ikan 2.2.1 Jenis-jenis industri Pengolahan Ikan yang ada Hasil dari sektor perikanan banyak sekali dimanfaatkan oleh masyarakat baik dalam keadaan segar maupun setelah diolah. Ikan segar biasa dikonsumsi untuk makanan sehari-hari baik di lingkungan rumah tangga ataupun di berbagai tempat makan komersil. Pengolahan dilakukan oleh beberapa industri pengolahan ikan yaitu:industri pengalengan ikan, industri pengasapan ikan, industri pembekuan ikan, industri pemindangan ikan, industri penggaraman/pengeringan ikan, industri pengolahan lainnya (Indonesian Investment Coordinating 2010). Semua bentuk pengolahan adalah untuk membuat produk agar dapat lebih diterima oleh konsumen atau untuk membuat produk agar memiliki konsumen yang lebih besar yaitu meliputi berbagai golongan etnis, agama dan kalangan lainnya (Irianto dan Giyatmi 2009). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa tujuan dari pengolahan adalah untuk (1) mengawetkan ikan, (2) mengubah bahan baku menjadi produk yang disukai konsumen, (3) mempertahankan mutu ikan, (4) menjamin keselamatan konsumen akibat mengkonsumsi produk olahan ikan, dan (5) memanfaatkan bahan baku lebih maksimal. Menurut Heruwati (2002) bahwa pengolahan ikan secara tradisional di Indonesia dilakukan oleh para nelayan dan keluarganya di sepanjang pantai tempat pendaratan ikan dengan cara pengolahan yang diwariskan secara turuntemurun. Cara pengolahan tradisional seperti penggaraman, pengeringan, pemindangan, pengasapan, dan fermentasi lebih dominan dilakukan daripada cara pengolahan modern seperti pembekuan dan pengalengan. Jenis olahan yang termasuk produk olahan tradisional ini adalah ikan kering atau asin kering, ikan pindang, ikan asap serta produk fermentasi yaitu kecap, peda, terasi, dan sejenisnya. Jenis olahan yang umumnya terdapat di pelabuhan perikanan Indonesia kecuali Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman Jakarta, masih bersifat tradisional dan belum memperhatikan kualitas ikan, sanitasi dan cara pengepakan yang baik antara lain jenis pengolahan pengasinan dan pemindangan. Jenis industri olahan lainnya yang sering dijumpai di lingkungan luar pelabuhan seperti pengalengan ikan, kerupuk, dan terasi (Lubis, 2006). Namun di beberapa tempat perkembangan industri pengolahan ikan baik tradisional maupun modern berjalan seimbang. Salah satunya kegiatan agroindustri pengolahan ikan hasil tangkapan di Muncar baik industri pengolahan ikan tradisional maupun modern sudah berkembang. Industri pengolahan ikan yang ada di Muncar meliputi industri pengalengan, pindang, gaplek ikan, tepung
8
ikan, minyak ikan, dan kerupuk ikan (Mira, Sari, dan Koeshendrajana, 2007 vide Witry 2010). 2.2.2 Jenis-jenis bahan baku ikan yang dibutuhkan per jenis industri pengolahan ikan Jenis industri pengolahan ikan yang berbeda umumnya membutuhkan bahan baku ikan yang berbeda pula. Misalnya untuk industri pengolahan ikan asin, jenis ikan yang paling sering diasinkan adalah ikan teri (Stolephorus spp.), patin (Pangasius hypophthalmus), manyung (Arius thalassinus), layur (Trichiurus lepturus), pepetek (Leiognathus spp.), dan lain-lain. Industri pengolahan kerupuk kulit dan pengolahan kulit pari umumnya membutuhkan bahan baku ikan pari (Dasyatis spp.). Menurut Anisah dan Indah (2007) jenis bahan baku ikan untuk industri pengolahan pindang ikan beragam. Mulai dari ikan kecil hingga ikan besar dan dari ikan air tawar sampai ikan air laut. Jenis ikan air tawar yang dapat dijadikan bahan baku dalam pengolahan pindang ikan yaitu: nila (Oreochromis niloticus), tawes, gurami (Ospronemus gouramy), mujair (Oreochromis mossambicus), sepat siam (Trichogaster pectoralis), tambakan (Helostoma temincki), dan ikan mas (Cyprinus Carpio), sedangkan jenis ikan laut terdiri dari: layang (Decapterus spp.), kembung (Rastreliger spp.), tongkol (Auxis thazard), bawal (Stromateus spp.), selar (Selaroides leptocepis), kuro (Polynemus spp.), bandeng (Chanos chanos), lemuru (Sardinella longiceps), pepetek (Leiognathus spp.), japuh (Dussumieria acuta), tembang (Sardinella gibbosa), ekor kuning (Lutjanus chrysurus), dan hiu (Selachimorpha spp.). Jenis ikan yang digunakan sebagai bahan baku dalam pengolahan pindang di Kelurahan Tegalsari, kota Tegal yaitu layang (Decapterus spp.), bentong (Selar sp.), kunir (Upeneus sp.), tiga waja (Johnius sp), lemuru (Sardinella sp.) dan tongkol (Auxis thazard). 2.2.3 Sumber bahan baku utama ikan Salah satu hal yang penting dalam industri pengolahan ikan adalah penyediaan bahan baku ikan. Ketersediaan bahan baku akan menentukan kelangsungan usaha bagi industri pengolahan ikan. Begitu pentingnya bahan baku, sehingga industri pengolahan tidak bisa melakukan aktivitasnya tanpa adanya bahan baku. Selanjutnya dikatakan pula bahwa salah satu tempat untuk mendapatkan bahanbaku adalah tempat pelelangan ikan (TPI) yang merupakan tempat memasarkan ikan yang berasal dari kapal-kapal penangkap ikan. Apabila produksi ikan di pelabuhan perikanan tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahan ikan, maka perusahaan bisa mendatangkan bahan baku dari luar daerah. Persyaratan utama pada pengolahan produk pangan adalah adanya jaminan pasokan bahan baku dalam jumlah yang cukup untuk memungkinkan pengoperasian yang efisien. Pada saat ini industri penangkapan ikan masih mengalami kesulitan dalam melakukan pemasokan atau pemanenan secara terjadwal. Karena kegiatan penangkapan sangat dipengaruhi oleh keadaaan alam seperti kondisi cuaca dan laut (Irianto dan Giyatmi 2009). Selain itu dijelaskan pula bahwa pengolahan tidak dapat memperbaiki mutu produk. Bahan baku yang
9
jelek akan menghasilkan produk dengan mutu yang jelek juga. Sedapat mungkin sepanjang rantai mulai dari panen sampai ke tangan konsumen, ikan dijaga mutunya setinggi mungkin.Kegagalan dalam melindungi mutu ikan pada salah satu titik dalam rantai tersebut dapat menyebabkan produk yang dihasilkan berkualitas jelek. Kebutuhan bahan baku sangat berpengaruh dalam proses produksi, bahkan dapat menjadi hambatan dalam proses produksi jika tidak dapat terpenuhi. Misalnya pada pengolahan ikan modern seperti pengalengan atau pembekuan menuntut pasokan bahan baku yang bermutu tinggi, jenis dan ukuran seragam serta tersedia dalam jumlah yang cukup banyak sesuai dengan kapasitas industri. Di Indonesia, persyaratan tersebut sulit dipenuhi karena beberapa hal. Pertama, corak perikanan bersifat perikanan rakyat, dengan 90% armada perahu kecil tanpa motor, pola produksinya tersebar di antara nelayan yang sangat banyak jumlahnya, sedangkan hasil tangkapan nelayan hanya sedikit. Kedua, perikanan tropic menjadi kendala dalam memasok ikan dengan jenis dan ukuran ikan yang sangat beragam.Kedua hal ini menjadi kendala dalam memasok ikan dengan jenis dan ukuran ikan seragam serta jumlah yang cukup (Heruwati2002). Hal ini juga yang menyebabkan pengolahan ikan secara tradisional lebih banyak dilakukan dibandingkan pengolahan ikan modern.
2. 3 Lahan Industri di Pelabuhan Perikanan 2.3.1 Lahan industri pengolahan dan kebutuhanlahannya/penggunaan lahan industri pengolahan di PP/PPI Lahan merupakan kebutuhan utama untuk berkembangnya industri pengolahan ikan di pelabuhan. Lahan juga merupakan unsur yang berpengaruh dalam menentukan posisi perusahaan yang akhirnya akan mempengaruhi jarak pengangkutan dari TPI ke tempat pengolahan. Dekatnya jarak TPI ke tempat pengolahan akan membuat perusahaan pengolah ikan lebih efektif dan efisien. Menurut Sumiati (2008) bahwa lahan adalah bagian daratan yang menampung seluruh fasilitas pelabuhan. Penggunaan lahan harus disesuaikan dengan daya dukungnya, karena lahan memiliki keterbatasan. Keterbatasan ini dapat dilihat dari kemampuan lahan antara lain kemiringan lahan, tekstur tanah, drainase, kedalaman efektif, erosi, fisiografi, geologi, dan jenis tanah (BPN 1996 vide Irianta 2008). Pertimbangan lain karena lahan sebagai bagian dari ruang yang sifatnya terbatas dalam kuantitas, memiliki sifat unit dalam hal lokasi, dan cenderung mengalami penurunan dalam melayani tuntutan pembangunan. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa lahan merupakan salah satu sumber daya alam dengan multi dimensi, meliputi dimensi fisik ruang, sosial budaya, politik dan pertahanan keamanan. Salah satu bentuk penggunaan lahan yaitu untuk aktivitas industri. Dalam penggunaan lahannya harus memenuhi syarat-syarat lokasi antara lain tingkat ketinggian dan kemiringan lahan kurang dari 5% yang berada di luar wilayah banjir, bukan zona labil dan bukan daerah patahan atau retakan, berlokasi di daerah pusat kota atau daerah pinggiran (menyebar dalam ruang kota), kemudahan aksesibilitas baik ke fasilitas transportasi komersial maupun ke tenaga kerja,
10
tersedianya jaringan utilitas, kesesuaian dengan penggunaan lahan di daerah sekitarnya, kesesuaian lokasi dengan pengelolaan kualitas udara (Chapin 1979 vide Irianta 2008). Selain itu keberadaan industri di suatu tempat juga tergantung pada faktor lingkungan yang akan menentukan keberlangsungan industri. Industri-industri umumnya terkonsentrasi pada suatu kawasan yang disebut kawasan industri. Pengertian kawasan industri menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang kawasan industri adalah tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan sarana dan prsarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri yang telah memiliki izin usaha kawasan industri. Spesifikasi dan fasilitasi kawasan industri juga dijelaskan dalam pasal 10, yaitu: 1) Luas lahan Kawasan Industri paling rendah 50 (lima puluh) hektar dalam satu hamparan; 2) Luas lahan Kawasan Industri Tertentu untuk usaha mikro, kecil, dan menengah paling rendah 5 (lima) hektar dalam satu hamparan. Selanjutnya dijelaskan pula mengenai pengertian kawasan peruntukan industri adalah bentangan lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan industri berdasarkan rencana tata ruang wilayah yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Semakin jelas pula bahwa sumberdaya lahan merupakan salah satu faktor produksi. PER.08/MEN/2012 mengenai Kepelabuhanan Perikanan juga menjelaskan kriteria operasional untuk masing-masing tipe pelabuhan perikanan terkait dengan industri pengolahan ikan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia tersebut maka pelabuhan perikanan samudera (tipe A), pelabuhan perikanan nusantara (tipe B), pelabuhan perikanan pantai (PPP) diwajibkan memiliki industri pengolahan ikan dalam kegiatan operasionalnya, sedangkan untuk pangkalan pendaratan ikan (tipe D) tidak memiliki kriteria operasional untuk memiliki industri pengolahan ikan di dalam pangkalan pendaratan ikan tersebut (KKP 2012).
2.3.2 Contoh-contoh lahan industri di pelabuhan perikanan tipe A dan tipe B Menurut Priyatno (2007) lahan industri merupakan lahan yang tepat untuk pengembangan industri pengolahan ikan.Salah satu pelabuhan perikanan tipe A yang memiliki area industri adalah Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap. Selanjutnya dikatakan pula bahwa pada tahun 2006 PPS Cilacap telah menggunakan lahan seluas 42.949,7 m2 dan menyisakan lahan seluas 84.354,30 m2 yang belum dimanfaatkan. Lahan industri PPS Cilacap yang dimanfaatkan tersebut ternyata bukan hanya dikhususkan untuk industri pengolahan ikan saja namun juga diperuntukkan untuk aktivitas terkait baik yang statusnya penunjang maupun utama. Kondisi tersebut menunjukkan adanya persaingan pemanfaatan lahan tersisa antara industri pengolahan ikan dengan industri perikanan lainnya. Selanjutnya dijelaskan juga bahwa peraturan penyewaan lahan industri di PPS Cilacap adalah mengikuti peraturan pemerintah No. 19 tahun 2006 tentang tarif penerimaan bukan pajak pada Departemen Kelautan dan Perikanan maka lahan industri di PPS Cilacap termasuk kepada lahan pelabuhan pada kategori
11
pelabuhan perikanan samudera. Biaya lahan pelabuhan pada kategori pelabuhan tersebut terbagi atas dua kategori yaitu biaya pengembangan dan sumbangan pemeliharaan prasarana. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 62 tahun 2002 tentang tarif atas penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Departemen Kelautan dan Perikanan maka biaya imbalan jasa tanah akan lahan dan bangunan pada pelabuhan perikanan juga dibedakan menjadi biaya tanah atau lahan pelabuhan, biaya bangunan pelabuhan perikanan, dan biaya tanah atau lahan yang dipakai untuk lapangan penjemuran jaring/penjemuran ikan dan tempat penumpukan barang.
Tabel 1 Biaya sewa tanah atau lahan pelabuhan dan bangunan pelabuhan perikanan yang berlaku pada Departemen Kelautan dan Perikanan berdasarkan PERMEN No. 19 tahun 2006 Biaya sewa A. Tanah Pelabuhan 1. Biaya Pengembangan (developmet charge) a. Pelabuhan Perikanan Samudera b. Pelabuhan Perikanan Nusantara c. Pelabuhan Perikanan Pantai 2. Sumbangan pemeliharaan prasarana a. Pelabuhan Perikanan Samudera b. Pelabuhan Perikanan Nusantara c. Pelabuhan Perikanan Pantai B. Bangunan pelabuhan perikanan 1. Bangunan sementara 2. Bangunan semi permanen 3. Bangunan permanen C. Tanah yang dipakai untuk: 1. Lapangan penjemuran jaring/penjemuran ikan a. Ruangan/lapangan terbuka beratap b. Ruangan/lapangan terbuka tidak beratap 2. Tempat penumpukan barang a. Ruangan/lapangan terbuka beratap b. Ruangan/lapangan terbuka tidak beratap
Satuan
Nilai (rupiah)
Per m2/hari Per m2/hari Per m2/hari
1.200 1.000 800
Per m2/hari Per m2/hari Per m2/hari
800 700
Per m2/hari Per m2/hari Per m2/hari
600 3.000 6.000 8.000
Per m2/hari Per m2/hari
50 30
Per m2/hari Per m2/hari
500 350
Sumiati (2008) mengatakan bahwa salah satu pelabuhan perikanan tipe B yang memiliki industri pengolahan ikan di dalam pelabuhan tersebut adalah PPN Palabuhanratu.Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu memiliki areal seluas 10,29 ha dimana luas lahan untuk kegiatan industri pengolahan adalah 5.582 m2. Luas lahan yang diperlukan menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER. 16/MEN/2006 tentang pelabuhan perikanan diperlukan seluas minimal 15 ha belum termasuk kolam pelabuhan, sehingga paling tidak maksimum luas lahan yang diperlukan untuk PPN Palabuhanratu adalah 30 ha (sesuai dengan batas minimum lahan PPS). Kapasitas lahan di PPN Palabuhanratu yang tersedia telah termanfaatkan seluruhnya. Selanjutnya dijelaskan juga bahwa PPN Palabuharatu menyediakan kemudahan bagi industri
12
pengolahan dengan cara menyewa tempat sesuai kontrak. Peran PPN Palabuhanratu yaitu hanya sebagai pihak mediator antara penyewa lahan dengan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).
2.3.3 Contoh-contoh aktivitas industri pengolahan di PP Tipe A dan Tipe B Pelabuhan perikanan memerlukan industri pengolahan ikan untuk menunjang kegiatan pengolahan hasil tangkapan yang telah didaratkan di pelabuhan tersebut. Aktivitas industri pengolahan ikan yang dilakukan cukup beragam disesuaikan dengan jenis industri pengolahan ikan.Salah satu contoh pelabuhan perikanan tipe A yang memiliki aktivitas industri pengolahan ikan adalah Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap. Menurut Priyatno (2007) kondisi aktual industri pengolahan ikan di PPS Cilacap didominasi oleh industriindustri pengolahan ikan yang berada di luar PPS Cilacap.Ada sembilan jenis olahan yang ada di Kabupaten Cilacap, tetapi hanya dua jenis yang berada di PPS Cilacap yaitu pembekuan dan ubur-ubur asin kering. Pada tahun 2002 sampai tahun 2005 industri pengolahan ikan yang bergerak secara kontinyu di PPS Cilacap adalah PT. Toxido Prima dan PT. Kusuma Suisan Jaya. Jenis produk olahan kedua perusahaan tersebut berupa udang beku, lobster beku, layur beku, bawal beku, ubur-ubur kering dan teri kering. Jumlah produk olahan ikan di PPS Cilacap pada tahun 2005 mencapai 1.170,12 ton. Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman (PPSNZJ) yang juga merupakan pelabuhan perikanan tipe A memiliki aktivitas industri pengolahan ikan yang beragam sesuai dengan produk akhir yang akan dihasilkan (Hadiyanto, 2004). Produk yang dihasilkan oleh industri pengolahan ikannya antara lain fillet, tuna loin, ikan kaleng, ikan beku, ikan pindang. Menurut Ibrahim (2004), industri perikanan di Indonesia cukup banyak jumlahnya dan terkonsentrasi pada beberapa lokasi khusus seperti Muara Baru dan Muara Angke (Jakarta), Pekalongan dan Muncar (Banyuwangi). Usaha pengolahan ikan yang ada di PPN Palabuhanratu sebagai salah satu pelabuhan perikanan tipe B terkonsentrasi di luar lokasi PPN Palabuhanratu.Pengolahan tersebut masih diusahakan secara tradisional. Jenisjenis usaha pengolahan ikan yang ada di PPN Palabuhanratu antara lain adalah pembekuan, pengasinan, pemindangan, kerupuk ikan, abon ikan dan pembuatan bakso ikan (Sumiati 2008). Selanjutnya dijelaskan bahwaindustri pengolahan di PPN Palabuhanratu tersebut adalah PT. AGB Palabuhanratu yang bergerak pada pemekuan khusus ikan layur.Volume produksi PT. AGB Palabuhanratu mengalami perubahan setiap bulannya tergantung pada ketersediaan ikan dan permintaan pelanggan.
2.4 Analisis Usaha Industri Pengolahan Ikan Tujuan akhir suatu usaha adalah mendapatkan laba. Tingkat laba yang berhasil diraih sering dijadikan ukuran keberhasilan usaha. Laba dapat menunjukkan efektivitas pemanfaatan sumberdaya, selain itu juga dapat memacu perkembangan usaha dan penambahan modal, peningkatan mutu, pengembangan
13
teknologi, pelayanan yang lebih bagus terhadap konsumen, dan perbaikan kesejahteraan para pekerja. Untuk mengetahui gambaran laba yang didapatkan maka diperlukan analisis usaha (Wibowo 1996). Menurut Hidayat (2007) analisis usaha merupakan suatu usaha dari sudut pandang atau badan dan atau orang-orang yang menanamkan modalnya dalam proyek atau usaha, dinyatakan dalam rupiah. Dalam analisis usaha dilakukan analisis pendapatan usaha, analisis imbangan penerimaan dan biaya (R-C ratio, analisis waktu balik modal (payback period) dan analisis return of investment (ROI). Analisis R/C ratio adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui seberapa jauh setiap rupiah yang digunakan dapat memberikan nilai penerimaan sebagai manfaat (Sugiarto et al. 2002 vide Hidayat 2007). Payback period merupakan suatu periode yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran investasi (initial cash investment) dengan menggunakan aliran kas (Umar 2003 vide Hidayat 2007). Return of investment (ROI) adalah kemampuan dari modal yang diinvestasikan dalam keseluruhan aktiva untuk menghasilkan keuntungan (Riyanto 2003 vide Hidayat 2007).
14
3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian lapang dilaksanakan di kawasan Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke, Jakarta (Lampiran 1), pada bulan FebruariMaret 2012.
3.2 Alat dan Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data dan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara (kuesioner), hasil pengamatan dan dari literatur (data sekunder). Alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner yang ditujukan kepada keempat jenis pemilik perusahaan pengolahan, pengelola PPI Muara Angke, pengelola TPI, pedagang ikan, dan nelayan sebagai tambahan.
3.3 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Aspek-aspek yang diteliti pada setiap jenis industri di PPI Muara Angke yaitu aspek bahan baku utama industri pengolahan, aspek lahan industri dan aspek usaha industri. Aspek bahan baku utama industri pengolahan ikan yang diteliti meliputi: jenis ikan, asal pembelian, jumlahnya, alasan pembelian, proses penyiapan dan penerimaan bahan baku. Aspek lahan industri yang akan diteliti berupa luas lahan, kepemilikan lahan, harga lahan dan bangunan. Selain itu, untuk aspek usaha industri meliputi: aktivitas di dalam atau di luar PPI Muara Angke, tahapan proses industri, omset atau penerimaan usaha, analisis usaha (biaya variabel/semi variabel, biaya tetap, keuntungan, dan lain-lain, hubungan bahan baku dan omset (penerimaan usaha). Pada penelitian ini dilakukan pengamatan, wawancara, pengukuran dan pengumpulan data sekunder. 1) Pengamatan Pengamatan terhadap bahan baku utama yaitu ikan, proses produksi dan lahan industri. 2) Wawancara Dari empat jenis industri pengolahan ikan di Pengolahan Tradisional Hasil Perikanan PPI Muara Angke hanya 4 jenis industri pengolahan yang diteliti yaitu industri pengolahan ikan asin, industri pengolahan ikan asap, industri pengolahan ikan pindang ikan, dan industri pengolahan kulit ikan pari. Hal ini dikarenakan industri pengolahan terasi sudah tidak berjalan di PHPT PPI Muara Angke sejak 4 tahun yang lalu sedangkan industri pengolahan limbah ikan tidak diteliti dalam penelitian ini. Industri pengolahan ikan asin yang ada di PHPT PPI Muara Angke terdiri dari 2 jenis yaitu industri pengolahan ikan asin dengan perebusan dan tanpa perebusan. Kedua jenis industri pengolahan ikan asin tersebut termasuk yang diambil sampelnya pada penelitian ini. Terdapat perbedaan metode, jenis ikan yang digunakan, bahan baku yang digunakan, harga per kg ikan bahan baku untuk jenis ikan yang berbeda,
15
jumlah tenaga kerja, jumlah garam dan kayu bakar yang digunakan, serta jumlah alat yang digunakan pada kedua jenis industri pengolahan ikan asin tersebut. Wawancara dilakukan terhadap responden pemilik jenis usaha pengolahan ikan yaitu usaha pengolahan ikan asin, ikan pindang, ikan asap dan pengolahan kulit pari terkait dengan kebutuhan bahan baku dan kebutuhan lahan untuk industri tersebut. Selain itu, wawancara juga dilakukan terhadap responden pengelola PPI Muara Angke sebanyak 1 orang, pengelola PHPT PPI Muara Angke sebanyak 1 orang, pengelola TPI sebanyak 1 orang, pedagang di TPI sebanyak 2 orang dan 2 orang nelayan nakhoda. Terhadap pengelola PPI Muara Angke akan diwawancarai mengenai lahan industri pengolahan ikan, aktivitas industri pengolahan ikan di pelabuhan tersebut dan kebutuhan bahan baku untuk industri pengolahan ikan, sedangkan terhadap responden pengelola TPI dan pedagang TPI diwawancara mengenai pemenuhan kebutuhan bahan baku ikan untuk industri pengolahan ikan di PPI Muara Angke. Responden nelayan nakhoda juga diwawancarai terkait hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Muara Angke. Keseluruhan responden berjumlah 11 orang. Metode penentuan responden dilakukan secara purposive. Untuk keempat jenis industri pengolahan ikan yang ada di PPI Muara Angke tersebut diambil 6 untuk industri olahan ikan asin, 1 industri ikan pindang, 2 industri pengolahan ikan asap dan 2 industri untuk pengolahan kulit pari. 3) Pengukuran Pengukuran dilakukan terhadap mutu jenis-jenis ikan dominan yang digunakan sebagai bahan baku industri oleh setiap jenis industri olahan. Pengukuran mutu dilakukan secara organoleptic, yaitu dengan cara mengamati bagian-bagian ikan seperti mata, insang, otot dan penekanan badan ikan. Pengambilan sampel ikan untuk pengukuran mutu ini, dilakukan secara purposive sebanyak 30 ekor ikan per jenis industri olahan. Data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini berupa data utama dan data tambahan. 1) Data utama merupakan data yang sangat penting untuk dicari agar dapat melakukan analisis data. Data utama terbagi menjadi dua jenis yaitu data utama primer dan data utama sekunder (Tabel 2) 2) Data Tambahan Data tambahan juga terbagi menjadi dua bagian yaitu: data tambahan utama primer dan data tambahan utama sekunder (Tabel 3).
16
Tabel 2 Jenis data utama primer dan sekunder yang dikumpulkan pada penelitian bahan baku, lahan industri dan analisis usahanya di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 Jenis data Rincian A. Data Utama Primer 1. Bahan baku utama yang Jenis ikan, asal pembelian, jumlahnya, digunakan oleh industri alasan pembelian, proses penyiapan dan pengolahan ikan penerimaan bahan baku, serta mutu ikan yang diamati dari sampel jenis-jenis ikan tersebut secara organoleptik 2. Lahan industri pengolahan luas , kepemilikan dan harga lahan, bangunan, penggunaan rinci lahan dan bangunan 3. Usaha industri Aktivitas industri pengolahan di dalam atau di luar PPI Muara Angke, tahapan proses industri, proses produksi yang B. Data Utama Sekunder dilakukan, omset atau penerimaan usaha 1. Data hasil tangkapan (biaya-biaya terkait analisis usaha) 2. Data industri pengolahan
Jumlah hasil tangkapan yang didistribusikan untuk industri pengolahan Jumlah industri pengolahan di kawasan PP atau di luar PP Distribusi dan bentuk olahan dan yang dihasilkan oleh industri pengolahan
Tabel 3 Jenis data tambahan primer dan sekunder yang dikumpulkan pada penelitian bahan baku, lahan industri dan analisis usahanya di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 Jenis Data dan Rincian A. Data Tambahan Primer 1. Gambar/foto-foto kondisi bahan baku ikan, proses produksi, lahan industri pengolahan ikan 2. Data pengelola industri pengolahan ikan 3. Amatan mengenai kondisi gedung industri pengolahan ikan di PPI Muara Angke dan lingkungannya 4. Data harga ikan yang digunakan sebagai bahan baku industri pengolahan ikan B. Data Tambahan Sekunder 1. Data kondisi umum daerah penelitian tingkat kabupaten pada 5 tahun terakhir 2. Kondisi umum dan fasilitas PPI Muara Angke 3. Data volume dan nilai produksi hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Muara Angke 4. Amatan mengenai kondisi gedung industri pengolahan ikan di PPI Muara Angke dan lingkungannya 5. Letak geografis dan luas wilayah 6. Peta daerah penelitian
17
3.4 Analisis Data Analisis data dilakukan untuk mengetahui kebutuhan bahan baku ikan industri pengolahan ikan di PHPT PPI Muara Angke; secara deskriptif, analisis diagram pie, perhitungan rata-rata, simpangan dan kisaran nilai. Analisis data lahan industri pengolahan ikan di PHPT PPI Muara Angke dengan cara membandingkan kebutuhan lahan industri pengolahan ikan pada keadaan sebenarnya dengan kebutuhan lahan yang disediakan oleh PPI Muara Angke. Analisis usaha dilakukan terhadap industri pengolahan ikan yang ada di PHPT PPI Muara Angke meliputi analisis rugi laba, R/C ratio, payback period dan return of investment. 1) Analisis Rugi Laba Analisis rugi laba secara sistematis dinyatakan dalam rumus sebagai berikut (Soekartawi 2003), yaitu: μ = TR-TC Keterangan : μ : Keuntungan (rupiah) TR : Total Penerimaan (rupiah) TC : Total Biaya (rupiah) Kriteria: TR < TC : Usaha menguntungkan, sehingga usaha tersebut layak untuk dilanjutkan TR < TC : Usaha mengalami kerugian, sehingga usaha tersebut tidak layak untuk dilanjutkan TR = TC : Usaha impas, sehingga usaha tersebut tidak untung dan tidak rugi (pada titik impas) 2) Analisis R/C ratio secara matematis dirumuskan sebagai berikut (Hernanto 1989): R/C = Keterangan: TR = Total Revenue atau Penerimaan total (Rp) TC = Total Cost atau Biaya Total (Rp) Dengan kriteria usaha sebagai berikut: - R/C > 1, Usaha menguntungkan, sehingga layak untuk dilanjutkan; - R/C = 1, Usaha impas; - R/C < 1, Usaha rugi, sehingga tidak layak untuk dilanjutkan. 3) Payback period secara sistematis dinyatakan dalam rumus sebagai berikut (Hernanto 1989) : Payback Period =
x 1 tahun
18
4) Analisis Return of Investment Analysis (ROI) secara sistematis dinyatakan dalam rumus sebagai berikut (Hernanto 1989) ROI =
x 100%
19
4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kota Jakarta Utara Kota Jakarta Utara merupakan salah satu wilayah dari Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta selain Kota Jakarta Selatan, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat dan Kota Jakarta Timur. Kota Jakarta Utara dan Kota Jakarta Barat merupakan dua kota yang turut mempengaruhi produksi perikanan bagi DKI Jakarta; sumbangan terbesar produksi perikanan di DKI Jakarta berasal dari Kota Jakarta Utara.
4.1.1 Kondisi geografis dan topografi Kota Jakarta Utara memiliki luas 146,66 km2 dan terbagi menjadi 6 kecamatan, yaitu: Kecamatan Penjaringan, Pademangan, Tanjung Priok, Koja, Kelapa Gading dan Cilincing. Secara administrasi, Kota Jakarta Utaraterletak antara 06˚10’00” LS - 106˚20’00” BT. Sebelah utara Jakarta Utara berbatasan dengan Laut Jawa. Sebelah selatan berbatasan dengan Jakarta Barat, Jakarta Pusat dan Jakarta Timur. Sebelah timur berbatasan dengan Jakarta Timur dan Kabupaten Bekasi sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tangerang dan Jakarta Barat. Wilayah Jakarta Utara sendiri merupakan daerah beriklim panas dengan suhu rata-rata 28,97oC pada tahun 2010.Rata-rata curah hujan 191,21 mm3 dengan maksimal curah hujan pada bulan Januari (572,2 mm3) dankelembaban udara rata-rata 77,9% serta rata-rata kecepatan angin di wilayah Jakarta Utara sekitar 4,39 knot (BPS Kota Jakarta Utara 2011). Wilayah Jakarta Utara yang terletak di daerah khatulistiwa menyebabkan wilayahnya dipengaruhi oleh angin muson timur terjadi (Mei-Oktober) dan muson barat (November-April) (Pesona Indonesia 2011). Pada musim barat, angin dan gelombang menjadi tidak menentu. Angin dan gelombang bisa menjadi begitu besar mengakibatkan nelayan tidak dapat melaut terutama bagi nelayan dengan armada penangkapan skala kecil. Apabila kegiatan melaut ini tidak dilakukan dalam waktu yang cukup lama maka akan dapat menimbulkan dampak paceklik bagi nelayan dan kemudian akan dapat terjadi kekurangan pasokan ikan bagi konsumen ikan lainnya. Badan Pusat Statistik Jakarta Utara (2011) menjelaskan bahwa wilayah Jakarta Utara membentang dari barat ke timur sepanjang kurang lebih 35 kilometer dan menjorok ke darat antara 4 sampai 10kilometer serta memiliki ketinggian 0-2 meter dari permukaan laut, dengan kurang lebih 110 pulau yang ada di Kepulauan Seribu. Sebagian besar wilayahnya terdiri dari rawa-rawa atau empang air payau. Selain itu kondisi wilayah yang merupakan daerah pantai dan tempat bermuaranya 13 (tiga belas) sungai dan 2 (dua) banjir kanal, menyebabkan wilayah ini merupakan daerah rawan banjir, baik kiriman maupun banjir karena air pasang laut.
20
Kota Jakarta Utara memiliki daerah pantai yang cukup panjang sebagaimana dikemukakan di atas, yaitu sekitar 35 kilometer sehingga cocok untuk pengembangan perikanan tangkap. Letak wilayah yang juga berhadapan langsung dengan Laut Jawa dan Kepulauan Seribu menjadikan daerah ini bercorak maritim, pelabuhan, pergudangan, dan perikanan, sehingga sangat memungkinkan berkembangnya industri perikanan guna memenuhi kebutuhan ikan di daerah Jakarta Utara.
4.1.2 Kependudukan, pendidikan dan lapangan kerja Jumlah penduduk di Kota Jakarta Utara pada tahun 2010 sebanyak 1.645.659 jiwa (BPS Kota Jakarta Utara 2011). Peningkatan penduduk Kota Jakarta Utara terjadi dari tahun ke tahun pada periode 2006-2010 seperti terlihat dalam Tabel 4. Pertumbuhan penduduk Jakarta Utara per tahun selama kurun waktu tahun 2006-2010, rata-rata 9% per tahun atau pada kisaran 1,0-21,8% per tahun. Laju pertumbuhan penduduk ini lebih besar dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk pada kurun waktu 1990-2000 yang hanya mencapai 0,51% per tahun. Laju pertumbuhan penduduk ini jauh lebih tinggi dibandingkan pada kurun waktu 1990-2000 yang hanya mencapai 0,51 persen per tahun (BPS Kota Jakarta Utara 2011). Pertumbuhan penduduk tertinggi pada periode tahun 2006-2010 tersebut di atas terjadi pada tahun 2008 yaitu 21,8%. Hal ini diduga terjadi karena banyaknya pendatang yang berasal dari luar Jakarta yang mencari pekerjaan di wilayah ini. Pada umumnya, peningkatan jumlah pendatang ke ibukota Jakarta terjadi pada saat selesai hari lebaran dan tahun baru.
Tabel 4 Perkembangan jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kota Jakarta Utara tahun 2006-2010 Tahun
Pria (jiwa)
Wanita (jiwa)
Jumlah (jiwa)
Pertumbuhan (%)
2006
604.737
576.230
1.180.967
-
2007
612.389
585.581
1.197.970
1,4
2008
707.191
752.189
1.459.380
21,8
2009
711.717
759.946
1.471.663
1,0
2010
824.480
821.179
1.645.659
11,8
692.103
699.025
1.391.128
9,0
Rata-rata Standar Deviasi
89.614,7
112.238,8
Kisaran 604.73824.480 576.230821.179 Sumber: BPS Kota Jakarta Utara 2011
198.352,5 1.180.9671.645.659
9,9 1,021,8
Pada tahun 2010, laju pertumbuhan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Penjaringan dan Cilincing sama sebesar 1,99%, sedangkan yang terendah di Kecamatan Kelapa Gading sebesar 0,33% (BPS Kota Jakarta Utara
21
2011). Penduduk pria jumlahnya lebih banyakdibandingkan dengan penduduk jenis kelamin wanita, masing-masing sebanyak 824.480 jiwa dan 821.179 jiwa pada tahun 2010; atau dengan rasio (P/L) sebesar 0,99. Penduduk Jakarta Utara tersebar di beberapa kecamatan yaitu: Kecamatan Penjaringan, Pademangan, Tanjung Priok, Koja, Kelapa Gading dan Cilincing (BPS Kota Jakarta Utara 2011) (Tabel 5). Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa luas wilayah Jakata Utara yang mencapai 146,7 km2dan rata-rata tingkat kepadatan penduduknya sebanyak jiwa 11.664 per km2 pada tahun 2010. Tingkat kepadatan penduduk tertinggi yaitu pada Kecamatan Koja sebesar 22.661 jiwa per km2, sedangkan kepadatan penduduk terendahberada di Kecamatan Penjaringan sebesar 4.776 jiwa per km2. Penduduk terbanyak berada di Kecamatan Tanjung Priok yaitu sebanyak 355.128 jiwa, kemudian diikuti Kecamatan Cilincing sebanyak 333.583 jiwa. Sementara penyebaran penduduk yang paling sedikit yaitu di Kecamatan Kelapa Gading hanya sebanyak 216.842 jiwa.
Tabel 5 Luas wilayah, jumlah dan kepadatan penduduk dan rasio jenis kelamin menurut kecamatan di Kota Jakarta Utara tahun 2010 Kecamatan
Luas Wilayah (km2)
Penduduk Lakilaki (jiwa)
Kepadatan
Wanita
Jumlah
Penduduk
(jiwa)
(jiwa)
(jiwa/m2)
Rasio Jenis Kelamin (L/P)
1. Penjaringan
45,4
120.067
96.775
216.842
4.776
1,2
2. Pademangan 3. Tanjung Priok 4. Koja 5. Kelapa Gading 6. Cilincing
11,9
69.174
56.596
125.770
10.552
1,2
22,5
194.206
160.992
355.128
15.771
1,2
12,3
153.862
123.227
277.089
22.611
1,2
14,9
61.335
53.864
115.199
7.749
1,1
39,7
179.127
154.456
333.583
8.403
1,2
Jumlah
146,7
777.771
645.840
1.423.611
69.862
1,2
Sumber: BPS Kota Jakarta Utara, 2011
Penduduk Kota Jakarta Utara yang semakin meningkat setiap tahunnya dapat memungkinkan peningkatan permintaan konsumen termasuk kebutuhan ikan. Aspek pemasaran ikan menjadi sangat penting di saat kebutuhan ikan terus meningkat agar ikan atau produk perikanan lainnya dapat sampai ke tangan konsumen. Peningkatan upaya pemasaran ikan harus lebih ditingkatkan lagi baik dalam hal strategi, sasaran maupun transportasinya guna memenuhi kebutuhan tersebut. Laju pertumbuhan penduduk yang meningkat perlu didukung oleh tingkat pendidikan yang memadai. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang menjadi perhatian pemerintah pusat maupun daerah sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan penanggulangan kemiskinan. Beberapa indikator yang menggambarkan pencapaian bidang pendidikan adalah angka buta huruf, Angka Partisipasi Sekolah, dan Rata-rata Lama Sekolah.
22
Apabila tingkat pendidikan penduduk semakin tinggi, terutama nelayan dan pelaku perikanan lainnya seperti pengolah ikan, maka akan dapat menambah pengetahuanpara nelayan dan pelaku perikanan lainnya tersebut. Demikian pula semakin tinggi tingkat pendidikan para pengolah maka kemungkinan teknik pengolahan ikan yang digunakan para pengolah ikan, akandapat semakin maju. Kemajuan teknik pengolahan ikan dapat berupa penggunaan teknologi modern. Badan Pusat Statistik Kota Jakarta Utara (2011) mengatakan bahwa angka buta huruf penduduk usia 10 tahun ke atas di Jakarta Utara mengalami penurunan dari 0,85% pada tahun 2009 menjadi 0,77% pada tahun 2010. Hal ini menggambarkan bahwa 0,77% penduduk Jakarta Utara usia 10 tahun keatas masih belum mampu membaca dan menulis. Semakin menurunnya angka buta huruf di Jakarta Utara menunjukkan semakin membaiknya kemampuaan membaca dan menulis penduduk Jakarta Utara. Pencapaian pembangunan di bidang pendidikan selama tahun 2008-2010 cukup menggembirakan. Hal ini juga ditunjukkan oleh Angka Partisipasi Sekolah pada jenjang pendidikan SD (usia 712 tahun) sebesar 98,44 persen, di tingkat SLTP (usia 13–15 tahun) sebesar 85,63 persen, dan di tingkat SLTA (usia 16–18 tahun) sebesar 55,60 persen. Indikator lainnya adalah rasio murid-sekolah dapat menggambarkan ketersediaan sarana pendidikan. Rasio murid-sekolah tertinggi yaitu pada jenjang SD yaitu 316, artinya setiap satu sekolah rata-rata diisi oleh 316 orang murid. Sementara untuk jenjang SLTA, rasio murid-sekolah sebesar 296. Angka ini relatif lebih rendah dibandingkan rasio murid-sekolah pada jenjang SLTP sebesar 314, sehingga perlu ditingkatkan lagi proses belajar mengajar di tingkat SLTA. Berdasarkan data Susenas 2010, sebagian besar penduduk Jakarta Utara berpendidikan SLTA, yaitu mencapai 33% dan hanya 7% penduduk yang berhasil menamatkan jenjang pendidikan Sarjana. Penduduk yang mengenyam tingkat pendidikan program 9 tahun belajar lebih banyak dibandingkan dengan penduduk yang mengenyam tingkat pendidikan hingga tingkat SMA maupun Sarjana. Sebagian besar masyarakat di Unit Pengolahan Hasil Pengolahan Tradisional di PPI Muara Angke juga lebih banyak didominasi oleh masyarakat dengan tingkat pendidikan SD sehingga hal ini dapat menjadi suatu indicator mengapa sebagian besar proses pengolahannya masih dilakukan secara tradisional.
4.1.3 Prasarana dan sarana transportasi Transportasi (perhubungan) merupakan salah satu kegiatan yang penting bagi manusia karena dapat memudahkan manusia untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Transportasi yang telah tersedia di wilayah Jakarta Utara meliputi transportasi darat dan transportasi laut. Prasarana transportasi darat yang banyak ditemui di Jakarta Utara yaitu jalan raya. Ketersediaan jalan raya yang memadai diperlukan untuk mendukung pertambahan jumlah kendaraan yang ada yang diakibatkan oleh meningkatnya jumlah penduduk. Jalan raya merupakan salah satu prasarana penting dalam transportasi darat karena merupakan penghubung antar satu daerah dengan daerah lainnya.
23
Pada tahun 2010, jumlah panjang jalan raya di Kota Jakarta Utara baik jalan tol, jalan negara, jalan provinsi maupun jalan kota adalah 1.314.514 m dengan jumlah luas jalan 8.085.482 m2(Status Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta,2010). Berdasarkan pengamatan, kondisi fisik jalan raya di wilayah ini, secara umum sudah baik sampai dengan sangat baik. Jalan raya juga dapat sebagai penghubung antara sentra-sentra produksi dan daerah-daerah distribusi dengan wilayah-wilayah pemasarannya. Dengan demikian jalan raya dapat berfungsi sebagai stimulan bagi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Kondisi jalan yang baik dan sangat baik di atas,akan membantu pendistribusian ikan baik segar maupun olahan dari daerah asal ke daerah tujuan. Akan tetapi banyaknya jumlah kendaraan yang tidak diimbangi dengan penambahan jumlah panjang jalan mengakibatkan banyak kemacetan di Jakarta Utara sehingga dapat mengganggu pendistribusian ikan ke daerah-daerah pemasaran dan atau masuknya ikan dari daerah-daerah lain ke wilayah Jakarta Utara. Sarana transportasi darat yang banyak digunakan di Jakarta Utara adalah angkutan umum seperti bus kota, minibus, bus antar daerah dan kereta api, dan kendaraan pribadi. Jumlah kendaraan angkutan umum, mikro bus dan mikrolet mengalami peningkatan dari 947 kendaraan pada tahun 2008 menjadi 1.666 kendaraan pada tahun 2010. Sebaliknya jumlah bus kota yang beroperasi di Jakarta Utara menurun pada tahun 2010 menjadi 515 bus dengan rata-rata penumpang per hari 16.139 orang(BPS Jakarta Utara 2011). Sarana lainnya yaitu kereta api juga cukup dimanfaatkan dilihat dari banyaknya pengguna jasa transportasi ini. Berdasarkan data dari BPS vide (El 2011), jumlah penumpang kereta api dari kawasan Jabodetabek pada tahun 2010 mencapai 124.308.000 orang (rata-rata 340.570 per hari). Transportasi laut merupakan salah satu transportasi yang juga banyak digunakan di Jakarta Utara mengingat kondisi umum Kota Jakarta Utara yang berhadapan langsung dengan Laut Jawa. Terdapat 3 (tiga) pelabuhan laut di Kota Jakarta Utara sebagai prasarana transportasi laut, yakni Pelabuhan Tanjung Priok, Pelabuhan Marunda dan Pelabuhan Sunda Kelapa. Pelabuhan yang paling berpotensi dari ketiga pelabuhan tersebut adalah Pelabuhan Tanjung Priok sebagai sentra bagi angkutan penumpang dan barang (ekspor dan impor) termasuk perdagangan dalam negeri. Pelabuhan Tanjung Priok merupakan pelabuhan terbesar di Indonesia. Menurut BPS (2012), jumlah keberangkatan penumpang di Pelabuhan Tanjung Priok pada tahun 2010 adalah sebanyak 205.532 orang demikian juga jumlah kedatangan penumpang di pelabuhan tersebut tidak jauh berbeda yaitu sebanyak 202.146 orang. Jumlah barang asal dalam negeri yang dimuat di Pelabuhan Tanjung Priok pada tahun 2010 sebanyak 9.901.037 ton, sedangkan jumlah barang yang dibongkar sebanyak 14.931.476 ton. Sarana transportasi laut yang digunakan yaitu kapal laut antara lain berupa kapal penumpang, kapal barang dan kapal tanker. Kapal ikan digunakan sebagai alat transportasi ikan melalui pelabuhan perikanan/pangkalan pendaratan ikan yang ada di wilayah ini. Selain transportasi laut dan transporasi darat, transportasi udara juga merupakan alat transportasi yang penting. Namun transportasi udara menghabiskan biaya yang lebih banyak dibandingkan kedua jenis transportasi lainnya. Transportasi udara memiliki kelebihan dibanding alat transportasi
24
lainnya yaitu memiliki teknologi yang lebih canggih dan lebih cepat dibandingkan dengan transportasi lainnya. Prasarana yang mendukung transportasi udara ini adalah bandara. Bandara berfungsi sebagai tempat terjadinya transfer perjalanan orang dan barang dari suatu wilayah ke wilayah lain pada kegiatan transportasi udara. Transportasi udara di Jakarta Utara menggunakan Bandara Soekarno Hatta yang terdapat di Kota Tangerang, Banten dan Bandara Halim Perdana Kusuma yang terdapat di Kota Jakarta Timur. Ketersediaan sarana dan prasarana udara ini sangat diperlukan untuk mendukung kelancaran kegiatan transportasi di Jakarta Utara. Dengan demikian pengiriman ikan keluar wilayah Jakarta Utara, selain dapat dilakukan melalui jalur darat dan laut, juga dapat melalui jalur udara, termasuk ekspor ikan dan produk perikanan ke luar negeri.
4.1.4 Prasarana dan sarana umum lainnya di Kota Jakarta Utara Prasarana dan sarana umum lainnya di Jakarta Utara meliputi komunikasi, air dan listrik. Seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi maka akses penduduk terhadap komunikasi dan informasi terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Prasarana komunikasi di Jakarta Utara meliputi telekomunikasi, dan layanan pos dan giro. Pelayanan komunikasi lainnya dapat berupa fasilitas telepon umum, wartel, warnet dan lain-lain. Sarana komunikasi antara lain berupa telepon (telepon kabel), pos dan giro. Rumah tangga yang menggunakan sarana telepon seluler sebagai sarana komunikasi sebanyak 79% dan kemudian meningkat menjadi 90% pada tahun 2010. Sementara itu rumah tangga pemilik telepon kabel terus mengalami penurunan dari 31% pada tahun 2008 menjadi 26% pada tahun 2010 (BPS Kota Jakarta Utara 2011). Perkembangan sarana dan prasarana komunikasi di Kota Jakarta Utara yang menjadi semakin maju akan dapat membuat komunikasi antar para pelaku industri perikanan yang ada semakin baik. Komunikasi yang semakin baik inilah yang dapat membawa perkembangan bagi industri-industri perikanan yang ada di Kota Jakarta Utara. Selain kebutuhan terhadap prasarana dan sarana komunikasi, kebutuhan prasarana dan sarana air bersih dan listrik juga merupakan kebutuhan yang mutlak dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat, karena kedua subsektor ini menjadi faktor penunjang kehidupan masyarakat. Pelayanan akan kebutuhan air bersih dan listrik merupakan salah satu sarana dan prasarana yang harus diperhitungkan pemerintah setempat. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan PT. Aerta Air Jakarta merupakan pengelola prasarana dan sarana pengadaan air bersih di Jakarta Utara. Produksi dan jumlah pelanggan air bersih di Jakarta Utara terus meningkat setiap tahunnya. Meningkatnya jumlah pelanggan terutama disebabkan kondisi air tanah yang tidak layak di wilayah ini; mengingat airnya payau dan adanya pembatasan penggunaan air tanah. Bertambahnya produksi air bersih menunjukkan semakin banyaknya volume air bersih yang dapat dialirkan untuk setiap pelanggan. Pada tahun 2008, rata-rata volume air yang disalurkan mencapai 133 m3 per pelanggan dan terus meningkat hingga mencapai 145 m3 per pelanggan pada tahun 2010 (BPS Jakarta Utara
25
2011). Ketersedian air berpengaruh kepada kebutuhan operasional nelayan dalam melaut. Kebutuhan akan air di Kota Jakarta Utara sudah tercukupi sehingga kemungkinan kebutuhan operasional nelayan yaitu air juga tercukupi. BPS Kota Jakarta Utara (2011) menjelaskan bahwa pengadaan listrik di Jakarta Utara diusahakan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang menyediakan layanan listrik bagi masyarakat Jakarta Utara. Jumlah listrik yang terjual pada tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar 10,72 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang pelanggannya berjumlah sekitar 202.922 jiwa. Sebagian listrik terjual dilayani di area pelayanan Sunter sebesar 57,60 persen. Masyarakat dikenakan beban biaya setiap bulannya untuk mendapatkan pelayan pengadaan air bersih dan listrik tersebut. Pengadaan listrik yang cukup di Kota Jakarta Utara juga memungkinkan kecukupan kebutuhan listrik di pelabuhan-pelabuhannya guna mendukung aktivitas-aktivitasnya; terutama di pelabuhan perikanan/pangkalan pendaratan ikan yang memiliki aktivitas perikanan tangkap.
4.2 Keadaan Umum PerikananTangkap Kota Jakarta Utara 4.2.1 Unit penangkapan ikan Unit penangkapan ikan terdiri dari kapal penangkapan ikan, alat penangkapan ikan dan nelayan. 1) Armada penangkapan ikan di Kota Jakarta Utara Armada penangkapan ikan sebagai pendukung keberlangsungan proses penangkapan ikan di Kota Jakarta Utara terdiri dari perahu tanpa motor (PTM), perahu motor tempel (PMT) dan kapal motor (KM). Ukuran KM yang dioperasikan oleh nelayan Jakarta Utara berkisar antara 05 GT hingga 50-100 GT dengan jumlah keseluruhan KM sebanyak 3.131 unit. Jumlah KM ukuran 5-10 GT paling dominan di Jakarta Utara pada tahun 2010 yaitu sebanyak 1.721 unit atau sebesar 54,4%, kemudian KM ukuran 0-5 GT sebanyak 535 unit atau sebesar 16,9%, KM ukuran 50-100 GT sebanyak 310 unit atau sebesar 9,8%, KM ukuran 20-30 GT sebanyak 280 unit dan KM ukuran 1020 GT sebanyak 247 unit. Kapal motor berukuran 30-50 GT menempati posisi armada penangkapan yang paling sedikit yaitu sebanyak 68 unit atau 2,2% (Dinas Perikanan DKI Jakarta 2010). Pada tahun yang sama, keberadaan PTM dan PMT di Jakarta Utara sudah tidak ditemukan lagi. 2) Nelayan di Jakarta Utara Nelayan Jakarta Utara dapat dikelompokkan menjadi dua kategori asal, yaitu nelayan penetap dan nelayan pendatang, sedangkan bila ditinjau dari status kepemilikannya nelayan dibedakan menjadi nelayan pemilik dan nelayan pekerja. Jumlah keseluruhan nelayan di Jakarta Utara pada tahun 2010 sebanyak 18.916 orang terdiri dari 11.445 orang nelayan penetap dan 7.471 orang nelayan pendatang (Tabel 6). Produksi ikan di Jakarta Utara ini diperoleh dari lima pelabuhan yang ada di wilayah tersebut yaitu Pelabuhan Perikanan Samudera Muara Baru, Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke, Pangkalan Pendaratan Ikan Kamal Muara,
26
Pangkalan Pendaratan Ikan Kalibaru dan Pangkalan Pendaratan Ikan Cilincing. Nilai produksi ikan yang didaratkan di Jakarta Utara pada tahun 2010 sebanyak Rp3.045.141.027.000,00, dengan nilai produksi pada kuartal I, kuartal II, kuartal III dan kuartal IV secara berturut-turut sebanyak Rp 584.872.591.000,00; Rp 801.419.459.000,00; Rp 630.623.248.000,00; Rp 1.037.225.729.000,00.
Tabel 6 Jumlah nelayan berdasarkan kategori nelayan di Jakarta Utara tahun 2010 Kategori nelayan 1. Nelayan Penetap
Jumlah (orang)
Persentase (%)
11.445
60,5
a. Pemilik
1.326
7,0
b. Pekerja
10.119
53,5
7.471
39,5
a. Pemilik
1.274
6,7
b. Pekerja
6.195
32,8
Jumlah
18.916
100,0
2. Nelayan Pendatang
Sumber:Dinas Perikanan DKI Jakarta 2011
Nelayan pendatang cukup tinggi jumlahnya terhadap nelayan penetap. Hal ini menggambarkan bahwa perikanan tangkap di Kota Jakarta Utara masih cukup tergantung kepada armada penangkapan ikan pendatang atau dari luar Jakarta. Atau dapat pula dikatakan bahwa Jakarta Utara sebagai bagian dari wilayah ibukota negara, subsektor perikanan tangkapnya memiliki daya tarik yang cukup tinggi bagi armada penangkapan ikan pendatang; dapat diduga terutama daya tarik dari aspek pemasaran. Pada tahun yang sama di Jakarta Utara, nelayan pemilik hanya merepresentasikan 13,7% dari keseluruhan nelayan di wilayah ini; terbesar (86,3%) merupakan nelayan pekerja. 3) Alat tangkap Aulia (2011) menjelaskan bahwa kegiatan usaha penangkapan ikan yang dilakukan oleh masyarakat khususnya nelayan di Jakarta Utara menggunakan alat tangkap seperti payang, dogol, pukat cincin, gillnet, bagan, rawai tuna, pancing, bubu dan muroami. Alat tangkap gillnet dan rawai tuna banyak dioperasikan oleh nelayan di Muara Baru, sedangkan di Muara Angke alat tangkap yang banyak dioperasikan adalah bukoami, pukat cincin, jaring cumi, gillnet, bubu, dan cantrang.
4.2.2 Produksi hasil tangkapan Kota Jakarta Utara Sebagai daerah yang berbatasan dengan laut, Jakarta Utara merupakan salah satu wilayah di DKI Jakarta yang mempunyai potensi perikanan laut cukup besar dilihat dari jumlah produksinya pada tahun 2010 sebesar 171.432,7 ton (Tabel 7). Jumlah produksi pada kuartal I, kuartal II, kuartal III dan kuartal IV berturut-turut sebanyak 38.292,4 ton; 45.004,5 ton; 39.242,7 ton; 48.893,1 ton.
27
Tabel 7 Volume dan nilai produksi perikanan laut di Kota Jakarta Utara tahun 2010 Kuartal
KT
Kuartal 1 38.292,4
VP NP
584.872.591
Kuartal 2 45.004,5 801.419.459
Kuartal 3 39.242,7 630.623.248
Ketererangan: KT = Kategori; VP = Volume produksi; NP Sumber: Dinas Perikanan DKI Jakarta 2011
Jumlah
Kuartal 4 48.893,1 1.037.225.729
171.432,7 3.045.141.027
= Nilai Produksi
4.2.3 Prasarana Perikanan Tangkap Kota Jakarta Utara 1) Prasarana perikanan tangkap di PPI Muara Angke (1) Unit penangkapan di PPI Muara Angke Jumlah armada penangkapan ikan di PPI Muara Angke pada tahun 2010 berjumlah 3.009 unit mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2009 (Tabel 8).
Tabel 8 Pertumbuhan jumlah armada perikanan di PPI Muara Angke menurut kelompok ukuran GT tahun 2006-2010 KM ≥ 30 GT
KM < 30 GT Tahun Jumlah (unit)
Jumlah (unit)
P (%)
Jumlah (unit)
P (%)
P (%)
2006
3.701
1.161
4.862
2007
3.662
-1,1
636
-45,2
4.298
-11,6
2008
3.511
-4,1
640
0,6
4.151
-3,4
2009
2.541
-27,6
463
-27,7
3.004
-27,6
2010
2.361
-7,1
648
40
3.009
0,2
3.865
-10,6
R
3.155
-10
710
-8,1
SD
649,9
-12
263,9
37,2
Kisaran
2.3613.701
- 27,6 -1,1
6361.161
- 45,240
827,2 3.0094.862
Keterangan: KM = Kapal motor; P = Pertumbuhan; R = Rata-rata; SD = Standar deviasi Sumber: UPT PKPP dan PPI Muara Angke 2011
12,4 -27,6 0,2
28
Gambar 1 Grafik perkembangan jumlah armada penangkapan ikan di PPI Muara Angke tahun 2006-2010
Jumlah kapal penangkap ikan yang ada di PPI Muara Angke pada tahun 2010 lebih didominasi oleh KM berukuran < 30 GT yaitu sebanyak 78,5% atau 2.361 unit dibandingkan KM berukuran ≥ 30 GT yang hanya berjumlah 648 unit (Tabel 9). Selama periode 2006-2010 armada KM < 30 GT relatif memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibanding KM ≥ 30 GT. Pada periode yang sama tersebut armada KM < 30 GT mengalami pertumbuhan negatif dengan rata-rata 10% per tahun atau kisaran -27,6 hingga -1,1 unit per tahun, sedangkan KM berukuran > 30 GT mempunyai pertumbuhan negatif rata-rata 8,1% unit per tahun atau kisaran -45,2 hingga 40 unit per tahun. Keseluruhan jumlah alat tangkap di PPI Muara Angke selama kurun waktu 2006-2010 mengalami pertumbuhan negatif dengan rata-rata 4% per tahun atau pada kisaran pertumbuhan -27,3 hingga -14,4 persen per tahun. Penambahan jumlah armada perikanan tangkap ini diiringi dengan pertambahan alat tangkap ikan yang digunakan di PPI tersebut. Berdasarkan Gambar 1 juga dapat diketahui bahwa selama periode 20062010 terjadi penurunan jumlah armada penangkapan ikan di PPI Muara Angke setiap tahunnya. Penurunan armada penangkapan ikan di atas, tidak disertai dengan penurunan jumlah alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di PPI Muara. Alat tangkap yang digunakan di PPI Muara Angke cukup beragam seperti terlihat pada Tabel 10. Alat tangkap yang paling banyak digunakan pada tahun 2010 di PPI Muara Angke adalah bouke ami sebanyak 1.361 unit atau 55,1% dan jaring cumi 798 unit atau 32,3% (Gambar 2). Alat tangkap purse seine cukup banyak terdapat di PPI ini yaitu 115 unit atau 4,7% dari seluruh alat tangkap di PPI ini. Jumlah alat tangkap di PPI Muara Angke pada tahun 2010 sebanyak 2.469 unit. (2) Volume dan Nilai Produksi Hasil Tangkapan Peningkatan jumlah armada dan alat penangkapan ikan di atas, juga ikut mempengaruhi jumlah volume produksi ikan yang didaratkan. Volume produksi ikan yang didaratkan juga cenderung meningkat sebagai akibat dari peningkatan armada dan alat penangkapan ikan. Perkembangan volume dan nilai produksi
29
ikan yang didaratkan dan nilai ikan di PPI Muara Angke dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 9 Perkembangan jumlah dan jenis alat tangkap di PPI Muara Angke tahun 2006-2010
2.
Jenis Bouke Ami Bubu
3.
Fish Net
1
-
-
317
3
107
148,5
1317
Gill Net Jaring Cantrang 6. Jaring Cumi 7. Jaring Tangsi 8. Jaring Nilon 9. Payang 10. Lampara Dasar 11. Liong Bun 12. Pancing 13. Purse Seine 14. Muro Ami Jumlah
164
173
261
50
50
140
80,6
50261
267
125
65
-
-
152
84,7
65267
782
621
679
767
798
729
68,1
621798
15
13
16
4
4
10
5,3
416
1
2
1
1
1
1
0,4
12
-
-
2
2
-
2
0
22
17
9
3
3
-
8
5,7
317
12
10
14
16
15
13
2,2
1016
6
12
7
10
10
9
2,2
612
1.097
485
560
116
115
475
361,3
1151.097
5
4
14
4
5
6
3,8
414
2.469
3.041
532,1
-7,3
-4
13,6
1.
4. 5.
2006
2007
2008
2009
2010
R
SD
1.158
1.619
1.277
1.367
1.361
1.356
151,5
1.1581.619
324
211
235
105
102
195
84
102324
3.856
3.292
3.138
2.448
P (%) -1,3 14,4 -23,7 Keterangan: K = Kisaran P = Pertumbuhan R = Rata-rata SD = Standar deviasi Sumber: UPT PKPP dan PPI Muara Angke 2011
K
2.4483.856 -23,714,4
30
Gambar 2 Diagram komposisi alat tangkap yang digunakan nelayan berbasis di PPI Muara Angke tahun 2010
Jumlah produksi ikan yang didaratkan di PPI Muara Angke pada tahun 2010 sebanyak 36,3 ribu ton, dengan rata-rata pertumbuhan produksi ikan yang didaratkan setiap tahunnya di PPI Muara Angke sebesar 15,2% dan kisaran pertumbuhannya dari -26% hingga 70,4% (Tabel 11). Nilai produksi ikan yang didaratkan pada tahun yang sama yaitu 82,6 milyar rupiah dengan rata-rata pertumbuhan setiap tahunnya 41,7% dan berkisar antara -57,6 milyar rupiah hingga 209,4 milyar rupiah. Demikian pula untuk retribusi di PPI Muara Angke pada tahun 2010 sebesar 4,4 milyar rupiah dengan rata-rata pertumbuhan per tahunnya sebesar 19,6% atau berkisar antara -8,3 milyar rupiah hingga 69,2 milyar rupiah.
Tabel 10 Perkembangan volume dan nilai produksi dan retribusi di PPI Muara Angke tahun 2006-2010 VP
-
Retribusi (milyar rupiah) 2,4
56,5 63,4
3,1 12,2
2,2 2,5
-8,3 13,6
-26
26,7
-57,9
2,6
4,0
36,3
70,4
82,6
209,4
4,4
69,2
R SD
27,4 5,7
15,2 40,2
56,8 20,1
41,7 116,1
2,8 0,9
19,6 34,2
K
21,336,3
-2670,4
26,782,6
-57,6209,4
2,24,4
-8,369,2
Tahun
P(%)
(ribu ton)
2006
24,6
-
2007 2008
26,1 28,8
6,1 10,3
2009
21,3
2010
NP (milyar rupiah) 54,8
P (%)
Keterangan: K = Kisaran; NP = Nilai produksi; P = Pertumbuhan; R = Rata-rata; SD = Standar deviasi; VP = Volume produksi
Sumber: Unit Pelaksana Teknis PPI Muara Angke 2011
P (%) -
31
Produksi ikan yang didaratkan di PPI Muara Angke secara keseluruhan selama kurun waktu 2006-2010 cenderung mengalami peningkatan, hanya saja pada tahun 2009 terjadi penurunan volume produksi ikan yang cukup drastis (Gambar 3). Hal ini diduga terjadi akibat penurunan jumlah KM penangkap ikan baik KM < 30 GT maupun KM ≥ 30 GT dan penurunan jumlah alat tangkap yang digunakan di PPI Muara Angke pada tahun yang sama sehingga jumlah produksi ikan yang didaratkan juga ikut berkurang. Sebagaimana volume produksi ikan yang didaratkan, nilai produksi ikan yang didaratkan di PPI Muara Angke selama kurun waktu 2006-2010 juga mengalami peningkatan. Akan tetapi pada tahun 2009, nilai produksi ikan mengalami penurunan drastis. Hal ini diduga disebabkan oleh produksi ikan yang didaratkan menurun pada tahun 2009 tersebut.
Gambar 3 Grafik perkembangan volume dan nilai produksi di PPI Muara Angketahun 2006-2010
(3) Fasilitas-fasilitas yang disediakan PPI Muara Angke Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke merupakan pelabuhan perikanan tipe D yang menurut Aulia (2011) fasilitasnya cukup lengkap untuk mendukung kegiatan di PPI Muara Angke khususnya penanganan hasil tangkapan; sebagaimana terlihat pada Tabel 16 (Unit Pelaksana Teknis PPI Muara Angke 2011). Fasilitas-fasilitas yang terkait dengan penanganan hasil tangkapan telah disediakan seperti tempat pelelangan ikan (TPI), cold storage, fasilitas air bersih dan sebagainya.
32
(4) Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional PPI Muara Angke a) Sejarah PHPT PPI Muara Angke Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT) PPI Muara Angkeberada di kawasan PPI Muara Angke dan memiliki peranan penting dalam kegiatan Industri Kepelabuhanan Perikanan di pangkalan pendaratan tersebut. Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional ini tepatnya berada di wilayah RW.001 Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara (PHPT PPI Muara Angke 2011). Selanjutnya Unit Pelaksana Teknis PPI Muara Angke (2011) menjelaskan bahwa kegiatan PHPT mulai beroperasi sejak tanggal 14 Juli 1984 dengan Dasar Hukum Pengelolaannya Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No.2263 Tahun 1984.Pembangunan dilakukan dengan dana APBD DKI Jakarta, (Dinas Perikanan Jakarta ) melalui 4 tahap (empat) tahap : (a) Tahap I beroperasi Tahun 1984 = 103 unit = 36 unit (b) Tahap II beroperasi Tahun 1988 (c) Tahap III beroperasi Tahun 1989 = 38 unit (d) Tahap IV beroperasi Tahun 1989 = 24 unit (e) Tambahan Unit Pengasapan Tahun 2003 = 6 unit Sehingga jumlah fasilitas sebanyak 207 unit. Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional Muara Angke juga dihuni oleh masyarakat yang berasal dari beragam daerah yaitu Indramayu, Serang, Bugis dan Madura. Jumlah Penduduk PHPT Muara Angke sebanyak kurang lebih 5.865 jiwa dengan rincian (PHPT Muara Angke, 2011): (a) Rukun Warga 01 = 3,915 jiwa / 1,359 KK (b) Rukun Warga 11 = 1,950 jiwa / 796 KK Jumlah warga yang beraktivitas di PHPT PPI Muara Angke hanya sejumlah 1.250 jiwa atau 21,3% dari seluruh total penduduk di PHPT PPI Muara Angke. Masyarakat di PHPT Muara Angke dilihat dari tingkat pendidikannya, sebagian besar sudah mengenyam pendidikan di tingkat SD yaitu sebesar 74,7%, tamat SLTP sebanyak 16,1%, tamat SLTA sebanyak 9,7%, sedangkan untuk yang tidak bersekolah sebanyak 9,5% (PHPT Muara Angke, 2011). Fasilitas yang terdapat di PHPT PPI Muara Angke meliputi: bangunan 2 (dua) lantai dengan ukuran 5x5 m² dimana lantai bawah dari bangunan tersebut digunakan untuk kegiatan pengolahan ikan, sedangkan lantai atas untuk istirahat pekerja; para-para penjemuran ikan dengan ukuran 5 X 25 m² yang berada di halaman belakang bangunan pengolahan dengan tiang beton dan penjemuran bambu. Fasilitas PHPT PPI Muara Angke tersebut disewakan kepada pengolah ikan dengan harga sewa setiap unit Rp 50.000,00 / bulan. b) Jenis dan jumlah industri pengolahan ikan di PHPT Muara Angke Unit Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional Muara Angke diisi oleh berbagai jenis industri pengolahan ikan di dalamnya. Industri pengolahan ikan di PHPT PPI Muara Angke tersebut terdiri dari: pengolahan ikan asin, pengolahan ikan asap, pengolahan cuwe/pindang, pengolahan terasi, pengolahan kulit ikan sebagai bahan baku penyamakan dan pengolahan limbah ikan. Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional Muara Angke mencatat jumlah masing-masing jenis industri pengolahan ikan sebagai berikut (PHPT PPI Muara Angke, 2011):
33
(a) Pengolah ikan asin sebanyak 191 unit (b) Pengolah ikan pindang sebanyak 1 unit (c) Pengolah ikan asap sebanyak 6 unit (d) Pengolah terasi sebanyak 1 unit (e) Pengolah kulit ikan pari sebanyak 6 unit (f) Pengolahan limbah ikan (bahan pakan ternak) sebanyak 2 unit Selanjutnya PHPT PPI Muara Angke menyebutkan bahwa perkembangan industri pengolahan ikan di PHPT PPI Muara Angke untuk industri pengolahan ikan asin cukup pesat terlihat dengan jumlah industri pengolahan ikan untuk jenis tersebut sebanyak 191 unit. Industri pengolahan ikan asin mendominasi industri pengolahan ikan yang ada di PHPT PPI Muara Angke dibandingkan dengan industri pengolahan ikan lainnya. Industri pengolahan terasi di PHPT PPI Muara Angke sudah tidak beroperasi lagi sejak tahun 2008 yang lalu. Jenis ikan yang diolah di PPI Muara Angke antara lain; ikan teri (Stelophorus indicus), ikan bloso (Saurida spp.), cucut (Sphyma sp.), cumi-cumi (Loligo sp.), layang (Decapterus ruseli), pari (Dasyatis spp.), pepetek (Leiognathus spp.), tenggiri (Scomberomorus commersoni), tongkol (Auxis thazard), dan lain-lain dengan kisaran produksi per hari sebanyak 30-40 ton. Hasil produksi para pengolah tersebut pada umumnya dipasarkan ke wilayah Jabodetabek (UPT PKPP dan PPI, 2008).
2) Prasarana perikanan tangkap lainnya di Kota Jakarta Utara Simarmata (2011) mengatakan bahwa ikan yang didaratkan melalui laut di Kota Jakarta Utara selain PPI Muara Angke berasal dari PPS Muara Baru, PPI Muara Kamal, PPI Cilincing dan PPI Kali Baru. Berikut ini adalah keterangan untuk masing-masing pelabuhan perikanan tersebut: (1) Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta Pelabuhan Perikanan Samudera Nizham Zachman Jakarta terletak di Muara Baru (Teluk Jakarta), Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, yaitu berada di 0625’ LS dan 1065’ BT. Luas areal secara keseluruhan sekitar 98 ha terbagi menjadi tiga areal yaitu kawasan industri 48 ha, areal fasilitas Perum dan UPT PPSNJZ 10 ha dan kolam pelabuhan 40 ha. Letak pelabuhan ini berbatasan langsung dengan Laut Jawa (Teluk Jakarta) di sebelah utara, Pelabuhan Sunda Kelapa di sebelah timur, Kecamatan Penjaringan di sebelah selatan dan Pantai Seruni kawasan Waduk Pluit di sebelah barat (PPSNZJ, 2011). Armada penangkapan yang ada di PPSNZJ meliputi kapal yang berukuran <10 GT sampai dengan >200 GT dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap yaitu gillnet, bubu, purse seine, longline, lift net, muroami dan lain-lain. Nelayan yang ada di PPSNZJ tersebut terdiri dari nelayan penetap dan pendatang. Rata-rata laju pertumbuhan jumlah keseluruhan nelayan masuk di PPS Nizam Zachman Jakarta tahun 2006-2010 adalah sebesar 11,5% pada kisaran 2,5 - 24% (Nurhalimah, 2011). Produksi ikan di PPS Nizam Zachman berasal dari dua sumber yaitu dari laut merupakan ikan hasil tangkapan oleh kapal-kapal penangkap ikan yang melakukan pendaratan hasil tangkapan di PPS Nizam Zachman Jakarta dan dari darat melalui jalur darat yang merupakan ikan yang didatangkan dari luar daerah
34
yaitu daerah-daerah yang sebagian besar terletak di daerah pesisir utara dan selatan Pulau Jawa seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada periode 2010, jumlah volume produksi ikan yang masuk ke PPSNJZ sebanyak 186.388,4 ton dengan rata-rata laju pertumbuhan 66,8% per tahun (PPSNZJ, 2011). (2) Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Kamal Jakarta Pangkalan Pendaratan Ikan Kamal Muara terletak di Kelurahan Kamal Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat. Pangkalan Pendaratan Ikan Kamal Muara dimanfaatkan untuk pendaratan kapal motor dan perahu motor tempel nelayan dan penjualan ikan. (Anonymous, 2000a vide Nuraini 2003). Pangkalan Pendaratan Ikan Kamal Muara termasuk pangkalan pendaratan ikan yang beroperasi sudah cukup lama, tetapi PPI ini baru dinyatakan dibuka secara resmi pada tahun 1999 berdasarkan surat keputusan Gubernur tahun 1999. Meskipun demikian tahun-tahun sebelumnya PPI ini tetap berproduksi (Nugroho 2000 vide Nuraini 2003). Alat tangkap bottom gillnet, payang dan bagan banyak dioperasikan oleh nelayan Kamal Muara (Aulia 2011). (3) Pangkalan Pendaratan Ikan Cilincing Jakarta Pangkalan Pendaratan Ikan Cilincing terletak di Kecamatan Cilincing yang merupakan salah satu Kecamatan yang berada di Wilayah Kota Administrasi Jakarta Utara, dengan batas-batas sebelah timur berbatasan dengan wilayah Kecamatan Taruma Jaya Kabupaten Bekasi, sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Koja dan sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cakung Kota Jakarta Timur. Alat tangkap jaring rampus, payang, jaring kejer, bubu dan dogol banyak dioperasikan oleh nelayan Cilincing (Aulia 2011). (4) Pangkalan Pendaratan Ikan Kali Baru Jakarta Pangkalan pendaratan ikan ini dibangun sejak tahun 1970. Pangkalan Pendaratan Ikan Kali Baru terus berkembnag meskipun telah ditutup secara resmi melalui SK Gubernur No. 268/1977. Melihat kenyataan tersebut maka diterbitkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 4022/1999 tentang pembukaan kembali tempat-tempat pendaratan ikan termasuk PPI Kali Baru (Anonymous, 2000a vide Nuraini 2003).
4.3 Kawasan PPI Muara Angke Kawasan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke terletak di Kelurahan Pluit,Kecamatan Penjaringan, Kota Jakarta Utara. Menurut UPT PKPP dan PPIMuara Angke (2011), PPI Muara Angke memiliki kondisi topografi lahan pada umumnya datar, elevasi rata-rata +2,1 m dari surut rendah. Jenis lapisan tanah adalah lempung bercampur sedikit lanau (silty clay) dengan konsistensi lunak sampai agak keras. Kawasan Pendaratan Ikan Muara Angke berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta dikelola oleh 2 unit pelaksana teknis (UPT) yaitu UPT “Pengelolaan Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan” (UPT PKPP dan PPI) dan UPT Balai Teknologi Penangkapan Ikan ( UPT BTPI). UPT PKPP dan PPI adalah salah satu Unit Pelaksana Teknis di bawah Dinas
35
Pertanian, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta (UPT PKPP dan PPI Muara Angke 2011). Dengan demikian UPT ini pada dasarnya mengelola PPI Muara Angke dan kawasan pelabuhan perikanan yang ada di luar PPI Muara Angke. 1) Struktur organisasi pengelola UPT PKPP dan PPI Muara Angke Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 192 Tahun 2010, UPT PKPP dan PPI mempunyai tugas (UPT PKPP dan PPI Muara Angke 2011):“Melaksanakan pengelolaan kawasan pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan ikan”. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut di atas UPT PKPP dan PPI mempunyai fungsi: (1) Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) dan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Unit Pengelola; (2) Pelaksanaan DPA Unit Pengelola (3) Pelaksanaan perencanaan, pemeliharaan, pengembangan dan rehabilitasi dermaga dan pelabuhan; (4) Pelaksanaan penerbitan rekomendasi izin kapal perikanan yang masuk dan keluar pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratanikan dari aspek kegiatan perikanan; (5) Pelayanan tambat labuh dan bongkar muat kapal ikan; (6) Penyediaan fasilitas penyelenggara pelelangan ikan dan penyewaan fasilitas penunjang lainnya; (7) Pengelolaan lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan usaha yang menunjang usaha perikanan; (8) Pengelolaan sarana fungsional, sarana penunjang dan pengusahaan barang dan atau pihak ketiga; (9) Pelayanan sandar kapal, gudang hasil perikaan dan usaha olahan ikan; (10) Pengkoordinasian kegiatan operasional instansi terkait yang melakukan aktivitas di pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan ikan (11) Penyelenggaraan keamanan, ketertiban dan kebersihan di kawasan pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan ikan; (12) Pengelolaan permukiman nelayan beserta fasilitas kelengkapannya; (13) Pelaksanan publikasi kegiatan Unit Pelaksana; (14) Pengelolaan teknologi informasi Unit Pengelola; (15) Pengelolaan kepegawaian, keuangan, barang; (16) Pelaksanaan kegiatan kerumahtanggaan dan ketatausahaan; (17) Penyiapan bahan laporan Dinas Kelautan dan Pertanian yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan fungsi Unit Pengelola; (18) Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan fungsi Unit Pengelola. Berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 192 tahun 2010 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja UPT PKPP dan PPI, struktur organisasi UPT PKPP dan PPI terdiri atas (Gambar 4): (1) Kepala UPT; (2) Subbagian Tata Usaha; (3) Seksi Kepelabuhanan Perikanan dan Pelelangan Ikan; (4) Seksi Fasilitas Usaha, Permukiman Nelayan, Keamanan dan Ketertiban; (5) Sub Kelompok Jabatan Fungsional
36
Kantor UPT PKPP dan PPI berlokasi di Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke. Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke sendiri berada di Kelurahan Pluit Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara dan memiliki luas wilayah kurang lebih 649.784 m2. Secara geografis kawasan Muara Angke terletak di delta Muara Angke dan berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara. Sebelah Timur berbatasan dengan Kali Asin. Sebelah Barat berbatasan dengan Kali Adem, sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan Muara Karang (UPT PKPP dan PPIMuara Angke 2011). Fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang kawasan PPI Muara Angke yang dikelola UPT PKPP dan PPI Muara Angke dijelaskan pada Tabel 11. KEPALA DINAS KELAUTAN Kepala UPT. PKPP dan PPI
Ka. Sub Bagian Tata Usaha STAF Kepala Seksi Kepelabuhanan Perikanan dan Pelelangan Ikan
STAF
Kepala Seksi Fasilitas Usaha, Perumahan Nelayan, Keamanan dan Ketertiban Sub Kelompok
STAF
Jabatan Fungsional STAF Gambar 4 Struktur organisasi UPT PKPP dan PPI tahun 2011 (UPT PKPP dan PPI 2011) Unit pelaksana teknis lainnya yang mengelola kawasan Pendaratan Ikan Muara Angke adalah UPT. BTPI yang merupakan salah satu UPT di lingkungan Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Propinsi DKI Jakarta yang salah satu fungsinya melakukan pelayanan jasa sarana perbaikan kapal dan sarana penangkapan ikan, yang meliputi pelayanan perawatan dan perbaikan (docking) kapal ikan (Budiningsih 2005). Kantor BTPI terletak di luar kompleks PPI Muara Angke namun berdekatan dengan kawasan PPI Muara Angke yaitu di Jalan Mandala Bahari 2, Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara.
37
Jenis Fasilitas
Luas (m2)
Jumlah
Tabel 11 Kepelabuhanan Perikanan di PPI Muara Angke Tahun 2010 Jenis Fasilitas
Jumlah
Luas (m2)
A. Fasilitas Pokok 1 .Kolam pelabuhan a. Tanggul pemecah gelombang sisi barat b. Tanggul pemecah gelombang sisi kiri 2. Dermaga beton
1 unit
213.352,15
1 unit
633.000
7 segmen
3. Tanggul rop/tembok laut
3.694,15 744.240
4. a. Waduk 1
1 unit
3.797,48
b. Waduk 2
1 unit
7.017,46
5. Jalan
1 unit
21.100,2
6. Pelebaran
1 unit
38.034,7
7. Lahan darat
1 unit
10.596,14
8. Drainase
1 unit
B. Fasilitas Fungsional B.1. Fasilitas Produksi 1. Tempat pelelangan ikan
1 unit
2.583
2. Pengepakan ikan ekspor/tradisional
1 unit
3. Gedung/kantor/ruko
1 unit
396,5
4. Gedung/kantor/ruko
1 unit
306
5. Gedung ikan (baru)
1 unit
648
6. Pasar pengecer
1 unit
1.580
7. a. Pasar grosir lama
1 unit
4.808,35
b. Pasar grosir baru
1 unit
1.650
1.022,78; 816,08; 1.430,4
B.2 Fasilitas Perbekalan 1. Area SPBU a. Kantor pengelola
1 unit
61,42
b. Pom bahan bakar solar
2 unit
60
c. Pom bahan bakar premium
1 unit
Lanjutan
107,97
38
d. Pelataran area SPBU
1 unit
1.873,68
4 unit
3.402,85
B.3. Fasilitas Perbaikan 1.
Kios/Gudang Perikanan/Bengkel Perikanan/Workshop 2. a. Winch house
Peralatan Kapal
5 unit
30
b. Dock tradisional
5 unit
705,01
c. Rumah genset
1 unit
36
d. Peralatan dock
1 unit
2.684,84
1. Kantor UPT PKPP dan PPI
1 unit
99,04
2. Kantor pengelola lama
1 unit
80,82
3. Kantor Ex. Sudin Jakarta Utara
1 unit
94,05
4. Kantor syahbandar
1 unit
134,34
5. Kantor Ex. BPL
1 unit
161,27
6. Kantor/koperasi
1 unit
341,16
B.4 Fasilitas Administrasi/Pengelola
B.5 Fasilitas Pengolahan/Industri 1. Cold storage Milik Dinas
1;2 unit
865,47; 1.953,7
2. Cold storage AGB Tuna
1 unit
600
3. Pabrik Es AGB dan Fisheries
1 unit
704,7
4. Container
1 unit
2.157,53
5. Cold storage (Ex. TPI lama)
1 unit
1.341,03
6. Cold storage (Ex. Mirasih)
1 unit
499,7
7. Cold storage/pengepakan ikan
1 unit
2.125
C. Fasilitas Penunjang 1. Kios 2. MCK
4;2;1;1;2; 1 unit 1;1;1 unit
3. Indomart
1 unit
4. POS
1;1;2;3 unit
5. Tempat sampah
1 unit
19,14
6. Bak penampungan air bersih (area TPI)
1 unit
16
7. Tempat Torn air bersih (area TPI)
1 unit
8. Gardu PLN
1 unit
9. Pusat jajanan serba ikan
3;1 unit
10. Pusat jajananserba ikan kios
3 unit
802,97
11. Mesjid
1 unit
175,35
12. Tempatberibadah
1 unit
149, 39
13. Pemukiman
1 unit
4.876,99
14. Mesjid
1 unit
15. Pos retribusi/gapura pintumasuk
1 unit
Sumber: Unit Pelaksana Teknis PPI Muara Angke, 2011
2) Peruntukkan kawasan PPI Muara Angke
539,13; 790,19; 140; 188,63; 477,84; 367,47 16; 25,01;16,13 61,77 12,72;9;18;68
1,44 3.164;51
190 6,4
39
Kawasan PPI Muara Angke (Gambar 5) telah dibangun sejak tahun 1978. Kawasan tersebut dipersiapkan untuk menampung kegiatan perikanan yang tersebar di beberapa lokasi dalam kawasan Muara Angke. Kawasan PPI Muara Angke mempunyai luas kurang lebih 717.300 m2 atau 71,73 ha. Kawasan tersebut dimanfaatkan untuk (UPT PKPP dan PPI, 2011): (1) Pangkalan Pendaratan Ikan di Muara Angke Lahan PPI Muara Angke digunakan untuk menempatkan bangunan pangkalan pendaratan ikan dan fasilitas penunjangnya seluas 5 ha; fasilitas sosial dan fasilitas umum seperti terminal 2,57 ha dan lapangan sepak bola 1 ha; docking kapal 1,35 ha; tambak uji coba air payau 9,12 ha dan fasilitas non produksi perikanan yang bersifat menunjang kegiatan perikanan seperti hutan bakau 8 ha, bank dan bioskop seluas kurang lebih 0,5 hektar serta lahan kosong 6,7 ha (Muara Angke 2010). (2) Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional Muara Angke Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT) Muara Angke memiliki luas lahan 5 ha, dan seperti telah dijelaskan pada Bab 4 bahwa PHPT Muara Angke berada di RW.001, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara. Kawasan PPI Muara Angke, sebagaimana telah dikemukakan di subbab 4.2.3, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta dikelola oleh 2 unit pelaksana teknis (UPT) di bawah Dinas Kelautan dan Pertanian; yaitu UPT Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan (UPT PKPP dan PPI) dan Balai Teknologi Penangkapan Ikan (BTPI). Kedua UPT tersebut mengelola sumber daya manusia, sarana dan prasarana berdasarkan tugas masing-masing. Hampir seluruh lahan yaitu seluas 70,38 ha atau 98% dari semua lahan yang dimiliki kawasan PPI Muara Angke dikelola oleh UPT PKPP dan PPI. Hal ini dikarenakan tugas dan fungsi UPT PKPP dan PPI yang cukup banyak sebagaimana telah dijelaskan pada subbab 4.2.3 sebelumnya. Pihak UPT BTPI hanya mengelola lahan sisanya yaitu seluas 1,35 ha dimana lahan tersebut digunakan untuk kegiatan docking kapal oleh galangan kapal Dok Pembinaan UPT BTPI, Fan Marine Shipyard (FMS), Karya teknik Utama (KTU), dan Koperasi Pegawai Negeri Dinas Perikanan (KPNDP) dengan pembinaan dari UPT. BTPI. (3) Perumahan nelayan Perumahan nelayan yang ada di kawasan Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke, sudah dibangun sejak tahun1978. Selanjutnya berdasarkan program pembangunan perumahan nelayan di kawasan tersebut pada tahun 1978 sampai dengan tahun 1996 telah dibangun 1.128 unit rumah nelayan, kemudian tahun 2004 dibangun 600 unit rumah susun. Sumber anggaran pembangunan rumah susun pada tahun 2004 tersebut berasal dari dana kompensasi pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial Pantai Indah Kapuk untuk pembangunan sebanyak 340 unit rumah susun atau sebanyak 4 (empat) blok dan dari Yayasan Budha Tzu Chi untuk membangun sebanyak 260 unit rumah susun atau sebanyak 3 (tiga) blok (Simarmata 2011).
(4) Lokasi pemasaran hasil tangkapan
40
Kegiatan pemasaran hasil tangkapan di PPI Muara Angke meliputi pemasaran lokal dan pemasaran antar daerah. Pemasaran hasil tangkapan lokal merupakan pemasaran hasil tangkapan sebatas daerah setempat. Hasil tangkapan yang dipasarkan umumnya sangat terbatas dan untuk memenuhi kebutuhan lokal. Pemasaran antar daerah adalah pemasaran hasil tangkapan guna memenuhi kebutuhan daerah lain. Kegiatan ini melibatkan para pedagang grosir (pedagang yang berfungsi sebagai distributor antara produsen) dan pedagang pengecer (pedagang yang menjual hasil tangkapan langsung kepada konsumen) yang memasarkan ikan di sekitar lokasi, serta pedagang antar daerah (pedagang yang menyalurkan hasil tangkapan dari suatu daerah ke daerah lainnya). Fasilitas pemasaran hasil tangkapan yang ada di PPI Muara Angke yaitu berupa: (a) Pasar Grosir Muara Angke Pasar grosir merupakan salah satu mata rantai distribusi/pemasaran ikan yang berada di Muara Angke. Pasar grosir seluas 6458,35 m2 ini memiliki 870 unit lapak yang dimanfaatkan oleh 275 pedagang grosir. Aktivitas Pasar Grosir ini dilakukan pada malam hari dan ikan yang diperdagangkan selain dari hasil lelang di Muara Angke juga berasal dari luar daerah seperti: Tuban, Pekalongan, Tegal, Cilacap dan Lampung. Dalam satu malam perputaran perdagangan ikan di pasar grosir rata-rata mencapai 35 ton (Simarmata, 2011). (b) Pasar Pengecer Selain, pasar grosir, di Muara Angke telah tersedia fasilitas bagi pengecer untuk memberikan pelayan kepada masyarakat yang memerlukan ikan dalam jumlah kecil yaitu pasar pengecer. Luas pasar pengecer kurang lebih 1.580 m2 (UPT PKPP dan PPI, 2011). Jumlah lapak yang ada di pasar pengecer ini adalah sebanyak 150 unit; yang dimanfaatkan oleh 148 orang pedagang pengecer. Pasar pengecer ini melayani kebutuhan konsumen dan para pengunjung yang akan mengkonsumsi ikan bakar di Pusat Jajan Serba Ikan yang masih berada di dalam kawasan PPI Muara Angke. Omset penjualan di pasar pengecer dalam waktu satu minggu mencapai 500 kg ikan/pedagang dan puncak keramaian penjualan biasanya terjadi pada hari Jumat, Sabtu dan Minggu (Simarmata 2011).
41
Gambar 5 Peta existing Kawasan PPI Muara Angke tahun 2011
41
42
5
PENGGUNAAN BAHAN BAKU DAN PROSES PRODUKSI PADA INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN DI PHPT PPI MUARA ANGKE 5.1
Kondisi Industri Pengolahan Ikan
Sebagian terbesar industri pengolahan ikan yang ada di PHPT PPIMuara Angke merupakan industri pengolahan ikan asin, sekitar 92% (PHPT 2012). Usaha pengolahan ikan asin ini dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat di PHPT di Muara Angke yang berlokasi di PPI Muara Angke. Selain itu, di PHPT PPI Muara Angke juga terdapat pengolahan ikan asap, pengolahan kulit ikan pari dan pengolahan ikan pindang. Pemindangan di kawasan PHPT PPI Muara Angke memiliki unit pengolahan yang paling sedikit yaitu 1 unit(subbab 4.2.3).
5.1.1 Industri pengolahan ikan asin Industri pengolahan ikan asin di PHPT PPI Muara Angke merupakan industri yang bergerak di bidang pengolahan yang mengubah bahan mentah yaitu ikan basah, menjadi barang/produk jadi atau setengah jadi yaitu ikan asin kering. Industri ini secara resmi merupakan usaha Koperasi Mina Jaya, namun usaha koperasi ini tidak berjalan baik sehingga pada kenyataannya usaha pengolahan ikan ini merupakan usaha perorangan atau swasta. Pada usaha ini pemilik bertanggung jawab terhadap kelancaran usahanya. Pemilik belum menggunakan mesin didalam usahanya. Bila mengacu pada Firdaus (2008), yang menyatakan bahwa usaha dibedakan berdasarkan lapangan usahanya, kepemilikan modalnya, tanggung jawab terhadap anggotanya, dan perbandingan penggunaan tenaga kerja mesin dan tenaga kerja manusia, maka usaha pengolahan ikan asin di PHPT PPI Muara Angke selain tergolong usaha industri yang mengubah bahan mentah menjadi bahan jadi/setengah jadi, juga tergolong usaha swasta yang modalnya berasal dari perseorangan atau sekelompok orang, tergolong usaha dimana pemilik bertanggung jawab penuh terhadap seluruh harta benda yang diikutsertakan dalam usaha dan pribadinya, dan tergolong usaha yang dalam kegiatan produksinya lebih mengutamakan tenaga kerja manusia daripada tenaga mesin. Pemilik usaha pengolahan ikan asin di PHPT PPI Muara Angke selain bertindak sebagai pemilik juga sebagai pengelola dan pemimpin dalam usaha tersebut, bahkan tidak jarang pemilik usaha juga ikut dalam proses produksi tersebut. Sehingga jika diklasikasikan berdasarkan klasifikasi Firdaus (2008) mengenai bentuk usaha maka industri pengolahan ikan asin ini tergolong perusahaan swasta. Industri pengolahan ikan asin di PHPTPPI Muara Angke umumnya mempekerjakan sekitar 3-10 orang tenaga kerja per industri pengolahan ikan. Tenaga kerja tersebut memiliki keterikatan kerja dengan pemilik dan menerima gaji setiap bulannya berkisar antara Rp 1.440.000,00 hingga Rp 1.540.000,00 per
42
43
orang atau dapat juga tenaga kerja tersebut dibayar per hari dengan upah setiap harinya sekitar Rp 70.000,00 per orang. Industri pengolahan ikan asin di PHPT PPI Muara Angke mempunyai omset setiap tahunnya sekitar 2 miliar rupiah untuk industri pengolahan ikan asin dengan perebusan danomset sebesar Rp 100.000.000,00 hingga Rp 300.000.000,00 untuk industri pengolahan ikan asin tanpa perebusan. Selain itu, sebagian besar industri pengolahan ikan asin di PHPT PPI Muara Angke ini sudah memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP). Bila mengacu pada peraturan menteri PER. 18/MEN/2006 mengenai skala usaha pengolahan hasil perikanan yang dibagi menjadi 4 skala, yaitu skala mikro, skala kecil, skala menengah dan skala besar (http://www.stp.kkp.go.id), maka skala usaha industri pengolahan ikan asin di PHPT Muara Angke tergolong skala mikro. Skala usaha mikro menurut PER. 18/MEN/2006 memiliki salah satu kriteria sebagai berikut yaitu nilai omset industri pengolahan ikan antara 1 miliar hingga 3 miliar rupiah untuk industri pengolahan ikan asin dengan perebusan dan 100 juta hingga 1 miliar rupiah per tahun untuk industri pengolahan ikan asin tanpa perebusan, asset atau kekayaan produktif di luar bangunan dan tanah yang dikonversi dalam rupiah sebesar 100 juta-1 miliar, jumlah tenaga kerja <10 orang, status hukum dan perijinan dalam kategori berbadan hukum, menerapkan teknologi, teknis dan manajerial industri tersebut belum memiliki Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) yaitu industri yang belum atau sudah menerapkan dan memenuhi persyaratan kelayakan dasar tetapi belum dilakukan penilikan oleh petugas pengawas mutu yang ditunjuk oleh Competent Authority. Usaha pengolahan ikan asin di Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional PPI Muara Angke yang metode sebelumnya tanpa perebusan, tetapi saat ini telah menggunakan metode perebusan. Setiap pengolah ikan asin juga difasilitasi oleh PHPT PPI Muara Angke berupa bangunan 2 (dua) lantai dengan ukuran 5x5 m²; selanjutnya dilengkapi dengan para-para penjemuran ikan dengan ukuran 5x25 m² yang berada di halaman belakang bangunan pengolahanyang terbuat daritiang beton dan penjemuran bambu seperti telah dijelaskan pada Bab 4. Kegiatan usaha pengolahan ikan ini sebenarnya berada di atas lahan milik PPI Muara Angke, sehingga pengusaha dikenakan biaya sewa fasilitas Rp 50.000,00 setiap bulannya oleh PHPT PPI Muara Angke sebagai pengelola lahan tersebut. Meski demikian, pihak PHPT maupun PPI Muara Angke tidak memiliki atau ikut menanam modal atau saham di usaha tersebut, tetapi lebih berperan mengatur keberlangsungan usaha pengolahan di PHPT Muara Angke tersebut dan menyiapkan fasilitas kepada para pengolah melalui penyewaan. Usaha pengolahan ikan asin di atas sebenarnya juga sudah dilakukan jauh sebelum PHPT PPI Muara Angke dibangun pada tahun 1984 seperti dijelaskan pada bab sebelumnya. Produk yang dihasilkan berupa ikan asin kering dipasarkan sendiri oleh para pengolah ikan asin, biasanya mereka sudah memiliki pelanggan sendiri baik yang datang langsung ke lokasi produksi maupun yang diantar ke pihak pembeli. Pembeli produk ikan asin tersebut bisa dari berbagai daerah seperti Bandung, Tangerang, Banten, Bogor, Bangka, Lampung, Surabaya, Medan, atau kebanyakan daerah yang berlokasi di dataran tinggi atau pegunungan.
44
5.1.2 Industri pengolahan ikan asap Industri pengolahan ikan asap di PHPT PPI Muara Angke berjumlah 6 unit atau 2,9% dari total keseluruhan industri pengolahan ikan yang ada di tempat tersebut. Kegiatan pengolahan ikan asap ini terkonsentrasi pada satu tempat di PHPT PPI Muara Angke. Industri pengolahan ikan asap tersebut di atas juga merupakan usaha pribadi dengan modal sendiri. Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam industri ini hanya sekitar 1-4 orang untuk setiap perusahaan. Tenaga kerja pada industri pengolahan ikan asap ini juga terikat seperti tenaga kerja pada umumnya dan menerima gaji setiap bulannya kurang lebih sebanyak Rp 1.400.000,00 untuk masing-masing pekerja, selain itu tenaga kerja juga disediakan tempat tinggal dan tinggal bersama dengan pemilik dalam satu rumah. Omset yang dapat dihasilkan industri pengolahan ikan asap dalam waktu satu tahun kurang lebih Rp 78.000.000,00 untuk setiap perusahaan. Biasanya pemilik industri pengasapan tidak hanya memimpin dan mengelola tetapi juga ikut bekerja dalam proses produksi pengolahan ikan asap ini. Dalam proses produksi ikan asap ini, prosesnya tidak menggunakan mesin tetapi menggunakan cara manual atau menggunakan tenaga manusia. Seluruh usaha industri pengolahan ikan asap ini juga memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), sehingga bila mengacu kepada klasifikasi usaha menurut Firdaus (2008) maka industri pengolahan ikan asap di PHPT PPI Muara Angke ini tergolong usaha industri yang mengubah bahan mentah yaitu ikan basah menjadi bahan jadi/setengah jadi berupa ikan asap. Usaha ini juga tergolong usaha yang modalnya berasal dari perseorangan atau sekelompok orang, tergolong usaha dimana pemilik bertanggung jawab penuh terhadap seluruh harta benda yang diikutsertakan dalam usaha maupun pribadinya, dan tergolong usaha yang dalam kegiatan produksinya lebih mengutamakan tenaga kerja manusia daripada tenaga mesin. Selain itu, bentuk usaha industri pengolahan ikan asap ini juga termasuk usaha swasta apabila dikategorikan berdasarkan bentuk usaha berdasarkan Firdaus (2008), dan telah dijelaskan sebelumnya untuk penggolongan skala usaha industri pengolahan hasil perikanan menurut PER. 18/MEN/2006 maka industri pengolahan ikan asap ini tergolong usaha skala mikro berdasarkan kriteria tersebut. Sebagaimana juga seperti pada pengolahan ikan asin, pihak PHPT PPI Muara Angke juga menyediakan fasilitas lahan dan bangunan dengan biaya sewa sebesar Rp 50.000,00 per bulan per perusahaan bagi industri pengolahan ikan asap. Hanya saja untuk industri pengolahan ikan asap hanya berupa lahan 150 m2 dan bangunan 2 lantai tanpa lahan para-para penjemuran. Hal ini dikarenakan industri pengolahan ikan asap tidak memerlukan lahan penjemuran seperti pada industri pengolahan ikan asin dan industri pengolahan kulit dan tulang ikan. Produk yang dihasilkan dari industri pengolahan ikan asap ini berupa ikan asap layang, ikan asap pari dan ikan asap hiu. Produksi ikan asap ini biasanya berdasarkan pesanan sehingga produknya dapat terjual semuanya. Pemasaran produk ini hanya untuk daerah lokal saja antara lain pasar Kramat Jati dan Pasar Palmerah. Kebanyakan para pembeli akan datang sendiri ke lokasi pengasapan ikan.
45
5.1.3 Industri pengolahan ikan pindang Industri pengolahan ikan pindang di PHPT PPI Muara Angke, hanya mempunyai satu unit perusahaan pengolahan, namun mampu melakukan proses pemindangan dengan 3 jenis ikan berbeda. Industri pengolahan ikan pindang pada awalnya juga merupakan bagian atau di bawah Koperasi Mina Jaya, namun dikarenakan koperasi tidak berjalan dengan baik maka usaha industri pengolahan ikan pindang bergerak sendiri dengan modal dari pemilik. Sebagaimana pada usaha industri pengolahan ikan asin dan ikan asap di kawasan PHPT PPI Muara Angke ini, pemilik industri pengolahan ikan pindang bertindak sebagai pemimpin dan pengelola, namun dalam hal ini pemilik tidak ikut serta dalam proses produksi ikan pindang dan hanya membantu pada proses pembelian bahan baku. Omset yang diterima industri pengolahan ikan pindang ini dalam 1 tahun kurang lebih sebesar Rp 357.000.000,00 setelah dikurangi bagi hasil dengan seluruh tenaga kerja yang dipekerjakan pada industri tersebut. Pada industri pengolahan ikan pindang ini, memperkerjakan 10 orang tenaga kerja. Tidak ada kontrak kerja terhadap tenaga kerjanya sehingga tenaga kerjanya merupakan tenaga kerja lepas. Tenaga kerja yang bekerja pada pemilik usaha ini tidak mendapatkan upah berupa gaji tetapi mendapatkan persentase keuntungan penjualan atau bagi hasil dari pemilik usaha. Hal ini terjadi dikarenakan tempat produksi, peralatan produksi, dan modal kerja semuanya dikeluarkan atau dibiayai oleh pemilik usaha, sedangkan tenaga kerja tersebut bertugas mempersiapkan bahan baku, mengolah bahan baku tersebut menjadi produk ikan pindang dan kemudian menjualnya sendiri ke pasar-pasar lokal. Dengan demikian tenaga kerja tersebut berfungsi ganda, sebagai pekerja produksi dan sekaligus sebagai pekerja pemasaran. Peralatan produksi yang digunakan pada usaha pemindangan juga masih sederhana seperti tempat pemindangan yang terbuat dari tong dan sebagainya. Industri pengolahan ikan pindang ini juga belum menggunakan mesin sebagai alat bantu dalam proses produksinya. Bila merujuk kepada klasifikasi Firdaus (2008) mengenai jenis usaha maka industri pengolahan ikan pindang di Pengolahan Tradisional Hasil Perikanan PPI Muara Angke ini sebagaimana pada industri pengolahan ikan asin dan ikan asap, tergolong usaha industri yang bergerak di bidang pengolahan bahan mentah menjadi barang jadi/setengah jadi yaitu ikan basah menjadi ikan pindang, dan berdasarkan lapangan usahanya merupakan usaha perseorangan, suatu usaha dimana pemiliknya bertanggung jawab penuh terhadap seluruh harta benda yang diikutsertakan dalam usaha dan pribadinya. Usaha ini juga termasuk usaha yang dalam proses produksinya lebih mementingkan tenaga kerja manusia daripada mesin. Bentuk industri pengolahan ikan pindang di PHPT Muara Angke jika didasarkan pada pengklasifikasian bentuk usaha menurut Firdaus (2008) maka tersebut juga berupa perusahaan swasta. Selain itu, skala usaha pengolahan ikan pindang di PHPT Muara Angke ini tergolong badan usaha mikro berdasarkan kriteria penggolongan skala usaha pengolahan ikan PER. 18/MEN/2006.
46
5.1.4 Industri pengolahan kulit ikan pari Industri pengolahan kulit ikan pari di Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional PPI Muara Angke menghasilkan bahan baku setengah jadi dan disalurkan kepada pembeli untuk diolah kembali. Produk yang dihasilkan dibedakan menjadi 3 jenis yaitu kulit ikan pari untuk penyamakan, kulit ikan pari dan hiu untuk konsumsi, dan tulang ikan pari dan hiu untuk kosmetik. Kulit ikan pari untuk penyamakan yaitu kulit pari yang dipersiapkan sebagai bahan baku untuk untuk pembuatan tas, dompet, sepatu, ikat pinggang dan sebagainya. Kulit ikan tersebut dibersihkan dan dicuci kemudian dijemur hingga kering dan dapat langsung dijual. Tulang ikan pari dan hiu biasanya dijadikan setengah jadi masih dalam bentuk potongan tulang-tulang dan selanjutnya dijual ke pengusaha lain untuk diolah kembali sebagai bahan dalam pembuatan kosmetik. Kulit ikan untuk konsumsi yaitu adalah kulit ikan yang setelah dikeringkan menjadi bahan baku setengah jadi dan dapat dijual ke pengusaha lain untuk dapat diolah sebagai bahan makanan. Industri pengolahan kulit ikan untuk konsumsi dan tulang ikan pari dan hiu tergabung dalam satu industri. Industri pengolahan kulit ikan untuk penyamakan dan kulit ikan untuk konsumsi serta pengolahan tulang ikandi PHPT Muara Angke sudah semakin maju dilihat dari kebutuhan akan lahan yang cukup banyak untuk proses produksi misalnya saja lahan 150 m2 dari pihak PHPT PPI Muara Angke sudah dimanfaatkan seoptimal mungkin, hanya saja pemilik industri ini tetap harus menyewa 2 lahan lagi masing-masing 150 m2 dan 1 lahan penjemuran berukuran 5 x 25 m2 , dan sebagian produknya dipasarkan hingga ke luar negeri, meskipun dalam proses pengolahannya masih dilakukan secara manual dengan tenaga kerja manusia. Tenaga kerja yang diperkerjakan sebanyak 5 orang untuk setiap usaha. Modal usaha disediakan sendiri oleh pemilik usaha. Pemilik industri bertindak sebagai pemimpin dan pengelola dalam industri pengolahan kulit dan tulang ikan ini. Omset yang diperoleh mencapai Rp 658.296.500,00 per tahun untuk usaha pengolahan kulit dan tulang ikan, sedangkan usaha pengolahan kulit ikan untuk penyamakan memiliki omset setiap tahunnya sebesar Rp 154.118.600,00 untuk masing-masing setiap perusahaan. Seluruh usaha pengolahan kulit ikan dan tulang ikan di PHPT Muara Angke juga sudah memiliki izin berupa Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP). Apabila mengacu kepada pengklasifikasian usaha Firdaus (2008) maka usaha pengolahan kulit dan tulang ikan pari di Pengolahan Hasil Perikanan TradisionalPPI Muara Angkesebagaimana ketiga jenis pengolahan lainnya, juga adalah tergolong usaha industri yang mengubah bahan mentah menjadi bahan jadi/setengah jadi, usaha perseorangan dan suatu usaha dimana pemiliknya bertanggung jawab penuh terhadap seluruh harta benda yang diikutsertakan dalam usaha maupun pribadinya serta termasuk usaha yang dalam proses produksinya lebih mementingkan tenaga kerja manusia daripada mesin. Berdasarkan pembagian skala usaha menurut PER. 18/MEN/2006, industri pengolahan kulit dan tulang ikan memenuhi kriteria usaha pengolahan hasil perikanan skala mikro. Usaha pengolahan hasil perikanan skala mikro memiliki salah satu kriteria sebagai berikut yaitu nilai omset industri pengolahan ikan antara 1 miliar hingga 3 miliar rupiah per tahun, asset atau kekayaan produktif di luar bangunan dan tanah yang dikonversi dalam rupiah sebesar 100 juta-1 miliar,
47
jumlah tenaga kerja < 10 orang, status hukum dan perijinan dalam kategori berbadan hukum, menerapkan teknologi, teknis dan manajerial industri tersebut belum memiliki Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) yaitu industri yang belum atau sudah menerapkan dan memenuhi persyaratan kelayakan dasar tetapi belum dilakukan penilikan oleh petugas pengawas mutu yang ditunjuk oleh Competent Authority. Bentuk industri pengolahan kulit ikan dan tulang ikan ini tergolong perusahaan swasta, sedangkan bentuk usaha industri pengolahan kulit pari ada yang tergolong perusahaan swasta dan ada yang komanditer (CV). Industri pengolahan kulit ikan untuk konsumsi yaitu kulit ikan pari dan kulit ikan hiu menghasilkan produk setengah jadi yang selanjutnya dijual kepada para pembeli yang sebagian besar merupakan pengusaha catering atau restoran. Pihak catering atau restoran akan mengolahnya menjadi masakan tertentu yang menggunakan bahan kulit ikan.Industri pengolahan kulit ikan pari yang menghasilkan bahan baku setengah jadi untuk penyamakan, pada proses selanjutnya di perusahaan industri aksesoris dibuat menjadi tas, dompet, sepatu dan lain-lain, biasanya diekspor ke luar negeri seperti Jepang atau dijual ke daerah lokal seperti ke Surabaya. Pemasaran tulang ikan hiu dan pari untuk kosmetik dijual kepada para pembeli (pedagang pengumpul) yang datang dari berbagai daerah antara lain dari Surabaya dan Indramayu dan selanjutnya diekspor ke luar negeri.
5.2 Bahan Baku Pengolahan dan Penggunaannya Bahan baku pengolahan yang digunakan oleh masing-masing industri pengolahan ikan di Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional PPI Muara Angke tercatat di kantor PHPT Muara Angke. Pihak PHPT PPI Muara Angke tidak terlibat langsung baik dalam kegiatan pemasokan bahan baku dan kegiatan pemasaran produk perikanan tersebut. ` Terdapat 16 jenis ikan yang biasa digunakan bahan baku ikan yang digunakan oleh industri pengolahan ikan di Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional Muara Angke. Keenam belas jenis ikan tersebut adalah bandeng (Chanos chanos), bilis (Anchoviclla commersoni), bulu ayam (Thryssa setirostris), cumi-cumi (Loligo sp.), hiu (Sphyma sp.), kakap (Lates calcarifer), kembung (Rastrellinger spp), kurisi (Nemitarus nematophorus), layang (Decapterus ruseli), lemuru (Sardinella lemuru), manyung (Arius thalassinus), pari (Dasyatis spp.), selar (Selaroides leptolepis), tembang (Sardinella gibbosa), tenggiri (Scomberomorus commersoni) dan tongkol (Auxis thazard). Setiap industri pengolahan ikan yang ada di Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional Muara Angke hanya mengolah beberapa jenis ikan saja dari keenam belas jenis ikan tersebut. Jumlah jenis ikan yang digunakan oleh masing-masing industri pengolahan ikan yang ada di PHPT Muara Angke tersebut dapat dijelaskan pada Tabel 12.
48
Tabel 12 Jumlah jenis ikan yang digunakanoleh setiap jenis industri pengolahan ikan di PHPT Muara Angke tahun 2012 Jenis pengolahan ikan Kisaran (jenis) Standar deviasi atau s (jenis) 1,03 1. Pengasinan 3–6 0,71 2. Pengasapan 1–2 0,71 3. Pengolahan kulit ikan 1–2 0,00 4. Pemindangan 3–3
Setiap industri pengolahan ikan asin yang ada di Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional PPI Muara Angke mengolah antara 3-5 jenis ikan (s = 0,84);setiap industri pengolahan ikan asap mengolahantara 1 hingga 2 jenis(s = 0,71);dan masing-masing industri pengolahan kulit ikan dan tulang ikandi PHPT Muara Angke menggunakan 1-2 jenis(s = 0,71); sedangkan industri pengolahan ikan pindang secara rutin memanfaatkan 3 jenis ikan.
5.2.1 Pengolahan ikan asin Industri pengolahan ikan asin dalam menghasilkan produknya menggunakan berbagai jenis ikan sebagai bahan bakunya. Hampir semua jenis ikan yang ada di PPI Muara Angke dapat digunakan sebagai bahan baku ikan asin mulai dari jenis ikan berukuran besar, sedang hingga berukuran kecil. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap industri pengolahan ikan asin di PHPT Muara angke menggunakan 3-5 jenis bahan baku ikan dalam proses produksinya. Terdapat 15 jenis ikan yang paling sering dijadikan bahan baku pada industri pengolahan ikan asin di PHPT Muara Angke (Tabel 13). Jenis ikan yang paling banyak digunakan oleh industri pengolahan ikan asin di PHPT PPI Muara Angke ini adalah layang, manyung, selar, tembang, tenggiri dan tongkol (Gambar 6). Keenam jenis ikan tersebut mempunyai persentase pemanfaatan masing-masing sebesar 11% oleh industri pengolahan ikan asin yang ada di PHPT Muara Angke. Berdasarkan Gambar 6 dapat diketahui jenis ikan lain yang juga dimanfaatkan untuk proses pengolahan ikan asin oleh para pengolah adalah ikan hiu (7%), lemuru dan pari (masing-masing 4%). Jenis ikan lainnya yaitu ikan bilis, bulu ayam, cumi-cumi, kakap, kembung, kurisi dengan masing-masing persentasenya sebesar 3% juga ikut dimanfaatkan oleh industri pengolahan ikan asin.
49
Tabel 13 Jenis-jenis ikan yang sering digunakan sebagai bahan baku pada industri pengolahan ikan asin di PHPT Muara Angke tahun 2012 Jenis Ikan Nama Latin 1. Bilis Anchoviclla commersoni 2. Bulu Ayam Thryssa setirostris 3. Cumi-cumi Loligo sp. 4. Hiu Sphyma sp. 5. Kakap Lates calcarifer 6. Kembung Rastrellinger spp. 7. Kurisi Nemitarus nematophorus 8. Layang Decapterus ruseli 9. Lemuru Sardinella lemuru 10. Manyung Arius thalassinus 11. Pari Dasyatis spp. 12. Selar Selaroides leptolepis 13. Tembang Sardinella gibbosa 14. Tenggiri Scomberomorus commersoni 15. Tongkol Auxis thazard
Gambar 6 Komposisi jenis-jenis ikan bahan baku industri pengolahan ikan asin di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012
Bahan baku ikan diperoleh para pengolah ikan asin di PHPT PPI Muara Angke dari beberapa lokasi yaitu TPI PPI Muara Angke, cold storage PPI Muara angke, cold storagePPS Nizam Zachman Muara Baru, dan dermaga pendaratan PPI Muara Angke (Gambar7). Industri pengolahan ikan asin sebagian terbesar memperoleh bahan baku ikan dari TPI Muara Angke dan dermaga pendaratan PPI
50
Muara Angke dengan persentase pembelian bahan baku ikan di lokasi tersebut masing-masing sebesar 36% atau keseluruhan yang berasal dari PPI Muara Angke adalah 72%. Kebutuhan bahan baku ikan juga diperoleh para pengolah ikan asin di PHPT Muara Angke dari cold storage PPS Muara Baru yaitu sekitar 21%, sedangkan sisanya 7% lainnya diperoleh dari cold storage Muara Angke. Proses pembelian bahan baku di Tempat Pelelangan Ikan PPI Muara Angke dilakukan para pengolah ikan asin dengan menjadi anggota lelang di TPI tersebut. Para pengolah yang sudah mempunyai nomor peserta lelang kemudian mengikuti kegiatan lelang yang ada di TPI dan pada akhirnya membeli bahan baku ikan di tempat tersebut. Sistem pembayaran untuk pembelian bahan baku di TPI PPI Muara Angke yaitu dengan menitipkan sejumlah uang kepada TPI sebelum acara lelang dimulai, apabila ternyata jumlah pembelian melebihi uang yang dititipkan maka para pengolah akan membayarnya setelah pelelangan selesai atau pada keesokan harinya. Jenis-jenis bahan baku ikan yang dibeli dari TPI Muara Angke yaitu jenis ikan kecil seperti bilis, bulu ayam, cumi-cumi, kembung, kurisi, layang, lemuru, selar, dan tembang. Bahan baku ikan yang telah dibeli oleh para pengolah dari TPI Muara Angke dibawa ke lokasi pengolahan dengan menggunakan gerobak dengan bak keadaan terbuka dan ikan tersebut diwadahi dalam tris atau keranjang dalam keadaan yang tidak tertutup sehingga memungkinkan sinar matahari dapat masuk dan memungkinkan percepatan proses pembusukan pada ikan. Hal ini menunjukkan bahwa penanganan hasil tangkapan masih kurang baik atau tidak menggunakan rantai dingin selama transportasi menuju lokasi produksi sehingga dapat mengakibatkan penurunan mutu ikan sebagai bahan baku produksi.
Gambar 7 Diagram lokasi asal pembelian bahan baku ikan industri pengolahan ikan asin di PHPT Muara Angke tahun 2012
Bila mengacu pada Clucas dan Ward (1996) vide Lubis et al. (2010) mengatakan bahwa hal-hal prinsip yang perlu diperhatikan selama penanganan
51
ikan mulai saat pembongkaran sampai pengangkutan ke hinterland yaitu pengontrolan suhu ikan selama penanganan agar selalu dingin; penanganan dilakukan secara cepat dan tepat; memperkecil sentuhan fisik secara langsung dengan ikan; menghindari sengatan langsung sinar matahari pada tubuh ikan dan memperkecil terjadinya kontaminasi terhadap ikan. Penanganan yang dilakukan terhadap bahan baku ikan dari TPI Muara Angke hingga ke lokasi produksi yaitu di PHPT PPI Muara Angke ini masih belum memperhatikan kelima prinsip tersebut. Pembelian bahan baku ikan yang juga dilakukan di cold storage PPS Muara Baru dikarenakan para pengolah seringkali kehabisan pasokan ikan dari TPI PPI Muara Angke dan cold storage yang ada di PPI Muara Angke sehingga harus membeli dari cold storage PPS Muara Baru. Selain itu, pasokan bahan baku ikan cukup banyak tersedia di perusahaan-perusahaan cold storage diPPS Muara Baru. Proses pengangkutan bahan baku ikan yang dibeli di PPS Muara Baru dibawa menggunakan mobil. Mobil yang digunakan untuk mengangkut ikan ini bisa berbentuk mobil pick up atau mobil elf. Ikan diwadahi terlebih dalam emberember bekas cat kemudian diletakkan pada bagian belakang mobil pick up sedangkan untuk pengangkutan dengan mobil elf biasanya ikan tidak diwadahi terlebih dahulu tetapi langsung dimasukkan ke dalam mobil. Mengingat jarak tempat pembelian bahan baku yang cukup jauh maka digunakan proses pengangkutan seperti di atas pada pembelian bahan baku di PPS Muara Baru. Proses pengangkutan ini lebih baik jika dibandingkan dengan pengangkutan bahan baku ikan dari Tempat Pelelangan Ikan PPI Muara Angke karena dapat mencegah kontak langsung dengan sinar matahari, namun mobil yang digunakan tidak berpendingin sehingga kemungkinan ikan beku tersebut cair cukup besar. Pembelian bahan baku ikan juga dilakukan di cold storage PPI Muara Angke. Hal ini dikarenakan mutu bahan baku ikan yang disediakan di tempat tersebut dianggap sudah bagus dan bahan baku ikan tersebut dapat dilihat langsung oleh para pengolah sebagai calon pembeli. Proses pegangkutan bahan baku ikan yang sudah dibeli dari cold storage PPI Muara Angke menggunakan gerobak dalam kondisi terbuka dimana ikan tersebut diwadahi dahulu dengan tris atau keranjang yang juga dalam kondisi terbuka. Kondisi ikan yang terbuka ini sangat memungkinkan terjadinya penurunan mutu ikan seperti dijelaskan sebelumnya karena kontak langsung dengan sinar matahari serta dapat terjadi kontaminasi pada ikan. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, lokasi pembelian bahan baku ikan yang paling banyak didatangi para pengolah ikan asin dari PHPT PPI Muara Angke adalah di dermaga pendaratan PPI Muara Angke dan TPI Muara Angke. Di dermaga pendaratan PPI Muara Angke, bahan baku ikan yang dibeli di tempat tersebut berasal dari kapal-kapal yang datang dari Cirebon, Surabaya, Indramayu dan daerah lainnya (Gambar 8).
52
Gambar 8 Komposisi asal bahan baku ikan yang dibeli oleh industri pengolahan ikan asin yang berasal dari dermaga pendaratan PPI Muara Angke tahun 2012
Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa pasokan bahan baku ikan terbesar yang dibeli industri pengolahan ikan asin di dermaga pendaratan PPI Muara Angke berasal dari kapal dari Indramayu yaitu sebesar 40%, sedangkan pasokan kapal dari Cirebon, Surabaya dan kapal-kapal lainnya masing-masing hanya sebanyak 20%. Alasan pembelian bahan baku ikan oleh industri pengolahan ikan asin dari kapal-kapal tersebut yaitu karena kapal-kapal tersebut sudah menjadi langganan pemasok bahan baku ikan bagi para pengolah ikan asin di PHPT PPI Muara Angke. Bahkan ada pengolah ikan asin yang memberikan sejumlah uang kepada pengelola kapal tersebut sebagai jaminan agar pengelola kapal tersebut selalu menjual hail tangkapannya kepada pengolah ikan asin tersebut. Pembayaran bahan baku ikan menggunakan uang cash setelah bahan baku ikan diterima. Kondisi ikan yang ditawarkan kualitasnya juga bervariasi, bisa dalam keadaan masih segar dan bisa juga dalam keaadaan kurang segar, sedangkan untuk harga biasanya hampir sama dengan harga ikan yang dijual di PPI Muara Angke. Proses pengangkutan bahan baku ikan yang dibeli di dermaga pendaratan PPI Muara Angke menggunakan gerobak terbuka dimana ikan-ikan tersebut ditempatkan di dalam tris atau keranjang terlebih dahulu juga dalam keadaan terbuka. Sama halnya dengan pengangkutan ikan dari TPI Muara Angke, penanganan dalam proses transportasi masih kurang baik karena keadaan ikan dalam wadah terbuka dapat mengakibatkan terjadinya kontaminasi pada ikan dan sinar matahari dapat langsung mengenai bahan baku ikan yang sedang diangkut. Hal ini menyebabkan proses pembusukan pada ikan yang diangkut dapat terjadi lebih cepat dan kemungkinan penurunan mutu ikan sangat besar. Jumlah pasokan bahan baku ikan paling banyak, sebagaimana telah dikemukakan juga diperoleh oleh pengusaha industri pengolahan ikan asin di PHPT PPI Muara Angke adalah berasal dari Pangkalan Pendaratan Ikan Muara
53
Angke. Lokasi ini merupakan lokasi pembelian bahan baku ikan terdekat bagi usaha industri pengolah ikan asin di PHPT PPI Muara Angke. Hal ini sesuai dengan pendapat Wibowo et al. (1986) yang menyatakan bahwa adalah lebih tepat apabila memilih lokasi pembelian bahan baku yang dekat dengan pertimbangan bahwa bahan baku ikan mudah rusak mutunya, ukuran berat, volume, dan kambanya (bulky) secara langsung akan berpengaruh terhadap ongkos transportasi dan proses produksinya. Kondisi ikan yang dibeli oleh industri pengolahan ikan asin dalam keadaan beku di TPI PPI Muara Angke, cold storage PPI Muara angke, cold storage PPS Nizam Zachman Muara Baru, dan dermaga pendaratan PPI Muara Angke masih dalam keadaan kotor yaitu masih berlendir dan berdarah (Gambar 9). Kondisi bahan baku ikan yang beku ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor kondisi awal bahan baku ikan sebelum dibekukan, didaratkan termasuk lama trip penangkapan di laut dan proses penanganan ikan sebelum ikan dibekukan.
Gambar 9 Bahan baku ikan asin yang digunakan dalam keadaan beku dan perlu dicairkan dahulu untuk dibersihkan di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012
Proses penyiapan bahan baku ikan sebelum proses produksi meliputi pencairan es pada bahan baku ikan dikarenakan kondisi ikan yang beku. Setelah cair, bahan baku ikan selanjutnya langsung dapat diolah untuk menjadi ikan asin. Pada industri pengolahan ikan asin di PHPT Muara Angke, perusahaanperusahaan pengolahan tidak melakukan penyimpanan bahan baku ikan terlebih dahulu, tetapi pada hari yang sama dengan penerimaan bahan baku ikan, maka bahan baku ikan langsung diolah setelah ikan beku tersebut dicairkan. Jumlah bahan baku ikan yang diperlukan setiap usaha industri pengolahan ikan asin di PHPT PPI Muara Angke adalah 300-3.000 kg setiap kali proses pengolahan. Lama waktu yang dibutuhkan satu kali proses untuk menghasilkan produk ikan asin yaitu 2-3 hari. Apabila melihat lamanya proses pengolahan ikan asin tersebut, maka usaha pengolahan ikan asin normalnya melakukan proses produksi sebanyak kurang lebih 15 kali per bulan. Namun pada kenyataannya proses pengolahan di industri pengolahan ikan asin dapat dilakukan hampir setiap hari atau dapat mencapai maksimal sekitar 28 kali dalam 1 bulan per perusahaan. Kebutuhan bahan baku ikan basah yang diperlukan oleh industri pengolahan ikan asin di PHPTPPI Muara Angke tanpa menggunakan metode perebusan
54
normalnya dalam satu bulan adalah 4.500-45.000 kg per perusahaan, sedangkan kebutuhan bahan baku ikan maksimal untuk proses produksi selama satu bulan adalahsebanyak 28.000-84.000 kg per perusahaan. Jumlah bahan baku ikan maksimal adalah jumlah bahan baku ikan yang digunakan dalam proses produksi maksimal yaitu kegiatan produksi yang dilakukan 28 kali dalam waktu satu bulan. Industri pengolahan ikan asin yang menggunakan metode perebusan di dalam proses pembuatan ikan asin biasanya membutuhkan bahan baku lebih banyak lagi yaitu 5.000 kg ikan per perusahaan dalam 1 kali proses pengolahan, sehingga dalam waktu 1 bulan pada keadaan normal dapat menghabiskan 45.000 kg ikan per perusahaan dan dapat mencapai jumlah maksimal 140.000 kg ikan per perusahaan. Kebutuhan bahan lainnya dalam pengolahan ikan asin adalah kebutuhan akan garam. Jumlah garam yang diperlukan untuk masing-masing industri pengolahan ikan asin tanpa metode perebusan adalah kurang lebih 600-10.000 kg garam setiap bulannya. Banyaknya garam yang diperlukan dalam proses pengolahan ikan asin disesuaikan dengan jenis ikan dan jumlah ikan. Bahkan metode pengolahan juga ikut mempengaruhi jumlah garam yang digunakan seperti pada metode pengolahan ikan asin dengan metode perebusan jumlah penggunaan garam pada proses pengolahannya lebih banyak jika dibandingkan dengan metode pengolahan ikan asin pada umumnya. Setiap usaha pengolahan ikan asin dengan metode perebusan membutuhkan garam kurang lebih 125.000 kg per bulannya.
5.2.2 Pengolahan ikan asap Industri pengolahan ikan asap di PHPT PPI Muara Angke menggunakan 3 jenis ikan sebagai bahan baku dalam proses produksinya. Ketiga jenis ikan tersebut dijelaskan pada Tabel 14.
Tabel 14 Jenis ikan yang digunakan industri pengolahan ikan asap di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 Jenis ikan yang digunakan Nama latin 1. Ikan Pari Dasyatis sp. 2. Cucut Sphyma sp. 3. Layang Decapterus ruseli
Ketiga jenis ikan tersebut yang paling sering digunakan oleh usaha-usaha pengolahan ikan asap di PHPT PPI Muara Angke. Dalam pengolahannya, usaha pengolahan ikan asap dapat mengolah ikan asap cucut dan ikan asap pari dalam suatu usaha produksi sedangkan usaha pengolahan ikan layang merupakan usaha pengolahan ikan asap yang khusus mengolah ikan asap layang saja. Setiap lokasi dimana terdapat industri pengolahan ikan asap didalamnya memiliki karakteristik tersendiri, bila ditinjau dari jenis bahan baku ikan yang digunakan; termasuk PHPT Muara Angke dimana pada kawasan ini memiliki
55
industri pengolahan ikan asap yang khusus mengolah ketiga jenis ikan tersebut di atas. Pembelian bahan baku ikan ini dilakukan di beberapa tempat yaitu dari agen dan pasar ikan di Muara Angke dengan persentase masing-masing pembelian 70% dan 30%. Ikan yang dibeli dari agen dapat berasal dari cold storage Muara Angke dan kapal-kapal nelayan. Ikan yang dibeli dari pasar ikan bisa berasal dari TPI Muara Angke, ikan yang didatangkan melalui jalur darat, ataupun berasal dari kapal-kapal yang mendaratkan ikannya di PPI Muara Angke. Bahan baku ikan asap sebagian besar atau 70% dibeli dari agen di PPI Muara Angke, sifatnya berlangganan sehingga interaksi antara agen dan pengolah cukup banyak. Akibatnya, kepercayaan agen dengan pengolah ikan asap juga cukup tinggi. Hal ini dibuktikan melalui proses pembayaran bahan baku ikan tidak harus secara cash, tetapi para pengolah ikan asap bisa berhutang terlebih dahulu kepada agen. Pembelian bahan baku ikan pada agen di PPI Muara Angke ini juga memenuhi kebutuhan akan ketiga jenis bahan baku ikan asap tersebut yaitu ikan pari, ikan cucut dan ikan layang. Kondisi bahan baku ikan tersebut oleh agen disimpan dalam cold storage di PPI Muara Angke sehingga ikan yang dijual kepada pengolah ikan asap dalam bentuk ikan beku dan untuk ikan yang diperoleh agen dari kapal juga bentuknya dalam keadaan beku. Selain masih dalam keadaan beku, ikan tersebut juga kotor yaitu masih berlendir dan terdapat darah-darah yang menempel. Bahan baku ikan asap yang dibeli di pasar ikan Muara Angke hanya sekitar 30% dari persentase lokasi pembelian untuk bahan baku ikan asap. Proses pembelian bahan baku ikan di pasar ikan dilakukan pada sore hari dikarenakan aktivitas pada pasar ikan berlangsung pada sore hari pukul 16.00-19.00 WIB. Jenis bahan baku ikan yang biasanya dibeli dari pasar ikan Muara Angke yaitu ikan pari dan ikan cucut. Pembayaran bahan baku ikan asap di pasar ikan Muara Angke dilakukan secara cash. Kondisi ikan yang ditawarkan di pasar ikan Muara pada awalnya dalam keadaan beku. Pada saat kegiatan jual beli berlangsung di pasar ikan Muara Angke, ikan-ikan tersebut diletakkan pada wadah-wadah yang sudah diisi dengan es, untuk menjaga kesegaran ikan. Lokasi pembelian bahan baku baik pada agen maupun pasar ikan Muara Angke tidak terlalu jauh dan masih berada di kawasan PPI Muara Angke, pengangkutan bahan baku ikan dilakukan dengan menggunakan gerobak. Sama halnya pengangkutan bahan baku ikan untuk pengolahan ikan asin, bahan baku ikan untuk ikan asap juga diletakkan dalam keranjang dan dibiarkan terbuka kemudian keranjang-keranjang tersebut dimasukkan ke dalam gerobak yang juga terbuka tanpa diberikan penutup atau es untuk menjaga rantai dingin dalam proses pengangkutan. Selanjutnya bahan baku ikan diangkut ke lokasi produksi. Alasan pembelian bahan baku pada agen di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke adalah karena pengolah ikan asap kurang mampu untuk membeli ikan di cold storage PPI Muara Angke.Biasanya pembelian ikan di cold storage PPI Muara Angke harus dalam jumlah yang besar atau di atas 1 ton, sedangkan pengolah ikan asap hanya sanggup membeli beberapa kuintal ikan saja sehingga pembelian bahan baku dilakukan pada agen di PPI Muara Angke. Selain itu, kemudahan pengolah untuk bisa membayar secara angsuran atau berhutang juga memperkuat alasan untuk mengambil bahan baku dari agen di PPI Muara Angke. Pembelian bahan baku ikan di pasar ikan dilakukan pengolah ikan asap
56
apabila kebutuhan bahan baku ikan belum cukup terpenuhi dari agen di Muara Angke. Bahan baku ikan yang sudah dibeli pengolah dan belum akan diolah disimpan terlebih dahulu. Ikan yang masih dalam keadaan beku tersebut langsung disimpan di dalam wadah yang terbuat dari fiber yang bagian luarnya dilapisi kembali dengan busa dan kayu. Kemudian di dalam wadah fiber tersebut ditambahkan es agar ikan dapat bertahan lebih lama dari kebusukan. Proses penyiapan bahan baku ikan asap yaitu pencairan es pada ikan beku yang akan diolah. Proses pencairan es untuk bahan baku ikan asap yang beku cukup didiamkan saja selama beberapa saat hingga es yang terdapat pada ikan mencair. Dalam satu kali pembelian bahan baku, masing-masing usaha pengolahan ikan asap ini dapat membeli kurang lebih 1000 kg ikan, sedangkan yang akan digunakan hanya 100-150 kg ikan dalam satu kali proses pengolahan ikan asap untuk setiap usaha pengolahan ikan asap. Sisa ikan yang belum diolah kemudian dijadikan simpanan bahan baku. Komposisi jumlah ikan yang digunakan dalam satu kali proses pengolahan ikan asap di PHPT PPI Muara Angke adalah sebagai berikut: 1) Ikan pari sebanyak 50 kg 2) Ikan hiu sebanyak 100 kg 3) Ikan layang 100 kg Proses pengolahan bahan baku menjadi ikan asap tidak terlalu lama, untuk ikan pari dan cucut diperlukan waktu sekitar 12 jam. Proses pengolahan ikan asap dilakukan hampir setiap hari atau 28 kali dalam satu kali proses dan jumlahnya disesuaikan dengan permintaan langganan sehingga kemungkinan produk untuk tidak laku terjual sangat kecil sekali. Sehingga dalam waktu satu bulan, setiap industri pengolahan ikan asap membutuhkan kurang lebih 2.800-4.200 kg ikan terdiri dari 1400 kg ikan pari, 2800 kg ikan hiu, dan 2800 kg ikan layang. Kebutuhan bahan lainnya yang turut mempengaruhi proses pengolahan ikan asap adalah batok kelapa untuk menghasilkan panas maupun bara api pada proses pengasapan. Jumlah batok kelapa yang diperlukan untuk setiap usaha pengolahan ikan asap dalam satu kali proses pengasapan yaitu 3 karung batok kelapa. Sehingga dalam satu bulan, jumlah batok kelapa yang dibutuhkan setiap industri pengolahan ikan asap adalah sebanyak 75 karung batok kelapa.
5.2.3 Pengolahan ikan pindang Industri pengolahan ikan pindang di Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional PPI Muara Angke memanfaatkan tiga jenis ikan sebagai bahan baku ikan pindang. Ketiga jenis ikan tersebut adalah sebagai berikut: (Tabel 15) Tabel 15 Jenis ikan dan nama latinnya yang digunakan sebagai bahan baku ikan pindang di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 Jenis ikan Nama latin 1. Tongkol Auxis thazard 2. Layang Decapterus ruseli 3. Bandeng Chanos chanos
57
Jenis ikan yang paling banyak jumlahnya secara berturut-turut digunakan usaha pengolahan ikan pindang ini adalah ikan tongkol, ikan layang, dan ikan bandeng dengan komposisi masing-masing jenis ikan sebagai berikut 68%, 27% dan 5%. Pembelian ketiga jenis bahan baku ikan pindang ini semuanya atau 100% dilakukan di cold storage PPS Muara Baru dan pengolah ikan pindang datang langsung ke lokasi pembelian bahan baku dan melakukan transaksi pembelian dengan pihak cold storage PPS Muara Baru. Pembelian bahan baku ikan di Muara Baru ini dilakukan pada siang hari dengan sistem pembayaran untuk pembelian ikan di cold storage Muara Baru adalah secara tunai. Kondisi ikan pada saat dibeli masih dalam keadaan beku karena disimpan di dalam cold storage. Mengingat jarak antar PPI Muara Angke dan PPS Muara Baru cukup jauh apabila ditempuh dengan berjalan kaki, maka proses pengangkutan bahan baku ikan dilakukan menggunakan mobil pick up dengan bak terbuka. Biasanya ikan-ikan tersebut pada saat dibeli telah dimasukkan ke dalam plastik bening dan telah ditentukan ukurannya misalnya satu kantong plastik tersebut berisi 100 kg ikan. Selanjutnya plastik-plastik yang sudah berisi ikan tersebut langsung dibawa menggunakan mobil pick up tanpa penutup di atasnya. Pembelian bahan baku yang seluruhnya dilakukan di PPS Muara Baru adalah karena pengolah ikan pindang ini merasa timbangan ikan kurang akurat di PPI Muara Angke dan persediaan bahan baku ikan di Muara Baru lebih banyak. Bahan baku yang sudah dibeli langsung diolah semua menjadi ikan pindang. Proses penyiapan bahan baku ikan untuk pengolahan dimulai dengan mencairkan ikan bandeng, ikan tongkol dan ikan layang yang beku terlebih dahulu agar dapat diolah. Jumlah bahan baku ikan yang diperlukan dalam 1 kali proses pengolahan untuk usaha pengolahan ikan pindang ini kurang lebih 630-740 kg dengan rincian per jenis ikan sebagai berikut: 1) Ikan tongkol sebanyak 400-500 kg 2) Ikan layang sebanyak 200 kg 3) Ikan bandeng sebanyak 30-40 kg Lama proses pengolahan bahan baku ikan untuk menjadi produk berupa ikan pindang tidak terlalu memerlukan waktu yang lama yaitu setengah hari atau sekitar 11 jam. Proses pengolahan ikan ini dilakukan hampir setiap hari atau sebanyak 28 kali dalam waktu 1 bulan. Bahan baku ikan yang dibutuhkan usaha pengolahan ikan pindang dalam waktu 1 bulan ini kurang lebih 18.640-20.720 kg ikan. Bahan lainnya yang digunakan dalam proses pemindangan ini yang juga penting adalah garam. Garam digunakan pada proses pemindangan ikan tongkol dan ikan layang. Banyaknya garam yang dibutuhkan dalam satu kali proses pengolahan kurang lebih sebanyak 50 kg sehingga dalam waktu satu bulan banyaknya garam yang diperlukan adalah 1400 kg.
58
5.2.4 Pengolah kulit ikan pari Industri pengolahan kulit ikan di PHPT terdiri dari 2 jenis yaitu industri pengolahan kulit untuk konsumsi dan industri pengolahan kulit untuk penyamakan. Industri pengolahan kulit ikan untuk konsumsi, juga mengolah tulang ikan untuk bahan pmbuatan kosmetik. 1) Industri pengolahan kulit ikan untuk konsumsi Jenis kulit ikan yang diolah yaitu kulit ikan pari (Dasyatis sp.) dan ikan cucut (Sphyma sp.). Pemenuhan kebutuhan bahan baku kulit dan tulang ikan diperoleh dari PPSMuara Baru dan cold storage Muara Angke. Persentase pembelian bahan baku kulit dan tulang ikan dari masing-masing lokasi yaitu PPS Muara Baru dan cold storage Muara Angke sebesar 70% dan 30%. Proses pembelian bahan baku kulit dan tulang ikan di PPS Muara Baru dilakukan seperti pembelian pada umumnya, pengolah kulit dan tulang ini datang langsung ke PPS Muara Baru dan melakukan transaksi pembelian kulit dan tulang ikan dengan pembayaran secara tunai. Bahan baku yang dibeli dari PPS Muara Baru biasanya sudah berbentuk lembaran-lembaran kulit ikan dan tulang-tulang yang sudah terpisah dari daging ikan sebagai sisa produksi industri pengolahan ikan yang mengolah daging ikan pari dan ikan hiu. Alat transportasi yang digunakan untuk mengangkut bahan baku dari PPS Muara Baru ke tempat produksi menggunakan mobil pick up. Kedua jenis bahan baku tersebut dimasukkan ke dalam keranjang dan ditempatkan di bak terbuka mobil tersebut. Hanya saja bak tersebut ditutupi dengan terpal plastik selama proses pengangkutan. Pembelian bahan baku ikan di cold storage PPI Muara Angke berupa bahan baku ikan yang masih utuh. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa proses pembelian bahan baku ikan dari cold storage PPI Muara Angke mengikuti ketentuan transaksi pembelian yang sudah ada dimana pembayaran dilakukan secara tunai. Kondisi ikan masih dalam keadaan beku pada saat dibeli karena dimasukkan ke dalam cold storage. Bahan baku ikan dari cold storage PPI Muara Angke diangkut menggunakan gerobak terbuka dimana ikan yang masih beku diwadahi dalam tris atau keranjang dan juga dibiarkan terbuka. Pembelian bahan baku kulit ikan ini lebih banyak di cold storage Muara Baru dikarenakan proses produksi yang menghasilkan kulit ikan sebagai limbah (sisa) produksi industri pengolahan ikan, lebih banyak ditemukan di PPS Muara Baru, sedangkan untuk pembelian bahan baku kulit dan tulang di cold storage Muara Angke yaitu berupa ikan utuh dimana daging ikan yang tidak digunakan dalam proses produksi akan dikonsumsi sendiri oleh keluarga pemilik. Bahan baku yang sudah diterima baik yang sudah berupa kulit dan tulang atau masih berbentuk ikan setelah diterima langsung diolah tanpa ada penyimpanan terlebih dahulu. Proses penyiapan bahan baku hanya untuk bahan baku yang masih berbentuk ikan, sedangkan bahan baku yang sudah berbentuk kulit dan tulang langsung dapat diolah. Bahan baku ikan utuh yang masih beku tersebut dicairkan terlebih dahulu agar dapat diolah. Bahan baku kulit ikan yang dibeli oleh industri pengolahan ikan dalam bentuk kulit didasarkan pada ukuran berat (kilogram). Jumlah bahan baku yang digunakan dalam satu kali proses pengolahan untuk jenis usaha pengolahan kulit
59
dan tulang ikan ini sebanyak 1.500 kg kulit ikan pari dan hiu dan 300-400 kg tulang ikan pari dan hiu. Lama 1 kali proses pengolahan untuk kulit ikan selama 1-2 hari dan proses pengolahan untuk tulang ikan pari selama 5 hari, sedangkan untuk tulang hiu selama 9 hari. Sehingga dalam 1 bulan, normalnya industri pengolahan kulit dan tulang ikan ini mampu melakukan proses produksi untuk pengolahan kulit ikan sebanyak 15 kali dan pengolahan tulang ikan sebanyak 3-6 kali dalam satu bulan. Akan tetapi proses pengolahan kulit dan tulang ikan inimaksimalnya dapat dilakukan hampir setiap hari atau sekitar 28 kali dalam satu bulan. Dalam waktu 1 bulan dapat menghabiskan 22.500 kg kulit ikan dan 18002400 kg tulang ikan dalam keadaan proses produksi normal, sedangkan untuk proses produksi maksimal yang dilakukan hampir setiap hari yaitu sebanyak 42.000 kg kulit ikan pari dan hiu dan 8.400-11.200 kg tulang ikan pari dan hiu. 2) Industri pengolahan kulit ikan untuk penyamakan Industri pengolahan kulit ikan untuk penyamakan biasanya menggunakan kulit ikan pari sebagai bahan bakunya. Pasokan kebutuhan bahan baku kulit biasanya diperoleh dari pasokan langganan daerah Lampung, Cirebon, Indramayu, dan TPI Muara Angke tapi persentasenya kecil serta ada juga nelayan yang membawa langsung kulit ikan pari ke tempat produksi dengan jumlah yang sedikit atau beberapa lembar saja. Kondisi bahan baku yang dibeli oleh usaha pengolahan kulit pari ini berupa lembaran-lembaran kulit ikan pari. Bahan baku tersebut dibawa langsung oleh pemasok langganan ke tempat pengolahan kulit ikan pari ini. Proses pengangkutan bahan baku menggunakan mobil pick up dimana kulit-kulit ikan pari tersebut telah dimasukkan ke dalam keranjang-keranjang terlebih dahulu agar tidak rusak. Bahan baku kulit yang dibeli oleh industri kulit untuk penyamakan dalam bentuk lembaran sehingga kulit dihitung berdasarkan panjang dan lebarnya. Penggolongan kulit ikan pari berdasarkan hasil pengukuran panjang dan lebar kulit dibedakan menjadi 4 yaitu kecil, sedang, besar dan super besar (Tabel 16).
Tabel 16 Penggolongan kulit ikan pari berdasarkan hasil pengukuran panjang dan lebar kulit Golongan Ukuran panjang (cm) Ukuran lebar (cm) 1. Kecil (C) 30-40 15-20 2. Sedang (B) 40-50 20-25 3. Besar (A) 50-60 25-30 4. Super Besar (Bs) >60 >30 Sumber: Purnomo (2002)
Alasan pembelian bahan baku dari tempat-tempat tersebut adalah karena pasokan bahan baku kulit tidak dapat terpenuhi apabila hanya mengandalkan dari PPI Muara Angke, selain itu pasokan bahan baku kulit lebih banyak diperoleh dari daerah-daerah dekat pantai. Bahan baku kulit ikan yang sudah diterima langsung mengalami proses penyiapan bahan baku yaitu kulit-kulit ikan dilapisi dengan garam kemudian
60
disusun di atas sebuah meja kayudan dapat disimpan hingga berbulan-bulan dan menunggu proses selanjutnya. Jumlah bahan baku kulit ikan yang diolah dalam satu kali proses sebanyak 500 lembar atau sekitar 125-250 kg kulit ikan. Lama satu kali proses pengolahan untuk kulit ikan yaitu 1-2 hari, sehingga dalam keadaan normal proses produksi yang dapat dilakukan industri pengolahan kulit pari ini sebanyak 15 kali dalam 1 bulan. Proses pengolahan kulit ikan pari maksimal yang dapat dilakukan oleh industri pengolahan kulit pari adalah hampir setiap hari atau 28 kali dalam 1 bulan, sehingga dalam 1 bulan diperlukan bahan baku kulit ikan dalam keadaan normal 7.500 lembar atau 3.2504.500 kg dan pada proses pengolahan maksimal kurang lebih sebanyak 14.000 lembar atau sekitar 7.000kg dalam waktu 1 bulan. Kebutuhan lainnya yang diperlukan dalam pengolahan kulit ikan pari ini adalah garam. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa garam digunakan untuk pengawetan bahan baku ikan pari yang belum akan diolah. Jumlah garam yang diperlukan untuk masing-masing usaha pengolahan kulit ikan pari sebanyak 1 ton per bulan.
5.3
Proses Produksi Industri Pengolahan Ikan
5.3.1 Industri pengolahan ikan asin Proses produksi ikan asin di PHPT Muara Angke meliputi beberapa tahapan, yang dapat dijelaskan seperti berikut: 1) Persiapan Tahap persiapan dimulai dengan penerimaan bahan baku ikan di bagian depan tempat produksi. Bahan baku ikan yang sudah diterima kemudian disortir berdasarkan jenis dan ukuran. Penyortiran berdasarkan ukuran yaitu membedakan ikan yang berukuran kecil seperti layang, cumi-cumi, dan lain-lain, ikan berukuran sedang seperti kembung, selar, dan lain-lain, dan ikan berukuran besar seperti tenggiri, manyung, tongkol, hiu dan lain-lain. Selanjutnya, pada tahap ini juga dilakukan penyediaan peralatan berupa bak berisi larutan air garam untuk merendam ikan. Tenaga kerja yang diperlukan dalam tahap persiapan ini kurang lebih 3 orang. 2) Penanganan, pencucian dan penyiangan ikan Ikan yang akan diolah terlebih dahulu dilakukan penyiangan dan atau pencucian. Ikan dicuci dari kotoran yang melekat pada tubuh bagian luar (kulit, sisik, dan sirip). Pelaksanaan penyiangan tergantung pada ukuran besar kecil ikan. (1) Ikan yang berukuran kecil: biasanya tidak dilakukan penyiangan dan tidak dicuci, tetapi langsung masuk ke tahap proses berikutnya yaitu direndam di dalam bak yang sudah berisi larutan garam. (2) Ikan yang berukuran sedang: biasanya dilakukan penyiangan berupainsang dan isi perutnya dibuang serta ikan dicuci. Proses pencucian dilakukan pada wadah baskom yang sudah diisi air dan ikan tersebut dicuci hingga bersih. (3) Ikan yang berukuran besar: biasanya dilakukan penyiangan dimulai dengan pembelahan dari arah punggung ke arah perut hingga tubuh ikan dapat dibuka. Selanjutnya bagian-bagian tubuh ikan seperti isi perut, insang, sisa-
61
sisa pembuluh darah selaput-selaput yang ada juga dibuang. Kemudian ikanikan tersebut dicuci dengan cara memasukkan ikan-ikan tersebut ke dalam baskom yang sudah diisi air. Pada saat pencucian, bagian luar tubuh ikan juga disikat agar menjadi lebih bersih. Tenaga kerja yang dibutuhkan pada tahap penanganan ini sebanyak kurang lebih 3-5 orang. Terutama untuk melakukan kegiatan penyiangan dan pencucian diperlukan tenaga kerja yang yang lebih banyak. 3) Perendaman Bahan baku ikan baik yang sudah disiangi dan dicuci maupun yang tidak disiangi dan tidak dicuci tersebut kemudian digarami. Ikan-ikan tersebut direndam di dalam bak yang sudah diisi dengan larutan garam. Metode penggaraman yang digunakan di PHPT PPI Muara Angke yaitu penggaraman basah (wet salting) dengan cara memasukkan bahan baku ikan ke dalam air yang telah dicampur dengan garam (larutan bergaram). Jumlah garam yang digunakan berbeda-beda berdasarkan jenis ikan, seperti dijelaskan pada Tabel 17.
Tabel 17 Jumlah garam yang dibutuhkan untuk penggaraman ketiga jenis ikan yang sering diasinkan di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 Jumlah garam untuk 100 kg ikan Jenis ikan (kg) 1. Manyung 50 2. Tenggiri 40 3. Cumi-cumi 60 Garam yang diperlukan untuk menggarami 100 kg pada usaha pengolahan ikan asin di PHPT PPI Muara Angke berkisar antara 30-60 kg.Komposisi air, garam, dan ikan untuk penggaraman di usaha pengolahan ikan asin yaitu untuk 1000 liter air perlu ditambahkan 300 kg garam agar dapat menggarami 600 kg ikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Adawyah (2007) bahwa penggaraman basah yang menggunakan larutan garam 30-50% (setiap 100 liter larutan garam berisi 30-50 kg garam). Lamanya waktu perendaman tergantung pada ukuran dan tebal ikan, serta derajat keasinan yang diinginkan. Umumnya lama penggaraman ikan di PHPT Muara Angke selama 1 malam hingga paling lama selama 2 hari. Tenaga kerja yang diperlukan dalam tahap ini lebih sedikit jika dibandingkan tahap penyiangan dikarenakan dalam tahap ini tugasnya tidak terlalu banyak yaitu sebanyak kurang lebih 2 orang. 4) Perebusan Metode perebusan merupakan pilihan bagi usaha pengolahan ikan asin di PHPT PPI Muara Angke. Metode perebusan digunakan oleh sebagian pengolah ikan asin dikarenakan permintaan pelanggan. Selain itu harga jual ikan asin yang telah direbus lebih mahal dan lebih tahan lama. Perebusan dilakukan pada bak yang berukuran 3x1 m2 dimana pada salah satu ujung bawah bak perebusan tersebut dibuat tungku api. Tempat perebusan tersebut mampu menampung hingga 100kg ikan. Ikan yang sudah mengalami penggaraman basah dimasukkan ke dalam keranjang-keranjang kecil dan selanjutnya dicelupkan ke dalam bak perebusan yang berisi larutan garam yang sudah mendidih. Lama proses
62
perebusan ini sekitar 5 menit. Setelah itu keranjang-keranjang ikan itu diangkat dan siap untuk dijemur. Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam proses perebusan ini cukup banyak sebanyak kurang lebih 3-4 orang karena tenaga kerja berperan dalam memasukkan ikan ke dalam keranjang-keranjang kecil, merebus dan mengangkat ikan-ikan yang sudah selesai direbus. 5) Penjemuran Ikan yang sudah melalui proses penggaraman kemudian dijemur (Gambar 10). Ikan dijemur menggunakan laha yaitu semacam tikar yang terbuat dari bambu berukuran 1x1 m2 dan diletakkandi atas para-para atau peladaran (tempat penjemuran ikan) dan hingga benar-benar kering.
Gambar10 Penjemuran ikan asin di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012
Cuaca panas di kawasan PHPT Muara Angke dimulai dari bulan Maret hingga bulan September. Apabila cuaca panas mencukupi maka dalam waktu 2-3 hari ikan asin sudah kering, tetapi apabila cuaca buruk 3-4 hari ikan asin baru bisa kering. Pada saat musim penghujan dan ikan yang dijemur belum kering maka ikan-ikan tersebut tetap dibiarkan berada di atas peladaran tetapi ditutup dengan plastik sehingga meskipun hujan tidak akan membasahi ikanikan tersebut. Ikan asin yang sudah dijemur dan benar-benar kering, dianginanginkan sebentar baru kemudian dikemas. Lamanya proses pengolahan ini juga dipengaruhi oleh kondisi cuaca, apabila cuacanya cerah (panas) maka 2 hari ikan asin tersebut sudah benarbenar kering dan sebaliknya apabila cuaca buruk (hujan) maka proses tersebut bisa sampai 3 hari bahkan lebih. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa lama 1 kali proses pengolahan ikan asin membutuhkan 2-3 hari, jika pengolah ikan asin harus menunggu 2-3 hari kemudian untuk mengolah bahan baku ikan yang baru, maka akan sangat tidak efektif. Oleh sebab itu, selama waktu tunggu tersebut para pengolah tetap melakukan proses produksi mulai dari mempersiapkan bahan baku, penyiangan ikan, pencucian ikan dan perendaman ikan. Industri pengolahan ikan asin di PHPT Muara Angke juga terhambat oleh keterbatasan lahan penjemuran sehingga sebagian dari ikan yang sudah direndam dalam larutan garam belum bisa dijemur dan harus menunggu lahan
63
penjemuran kosong kembali. Hal ini yang menyebabkan proses produksi ikan asin dapat dilakukan setiap hari. Tenaga kerja paling banyak diserap pada tahap penjemuran dikarenakan kegiatan penjemuran ikan yang dilakukan secara manual dan ikan-ikan tersebut perlu disusun di atas laha. Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam proses penjemuran yaitu sebanyak 3-10 orang. 6) Pengangin-anginan dan pengemasan Ikan asin yang sudah kering dijemur kemudian diangin-anginkan di dalam tempat pengemasan. Setelah itu ikan asin siap untuk dikemas. Dalam proses pengemasan ini tenaga kerja yang dibutuhkan kurang lebih 3 orang.
5.3.2 Industri pengolahan ikan asap Selain usaha pengolahan ikan asin di Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional PPI Muara Angke, terdapat juga usaha pengolahan tradisional lainnya yaitu usaha pengolahan ikan asap. Usaha pengolahan ikan asasp di PHPT PPI Muara Angke ini melakukan pengasapan panas untuk menghasilkan produk ikan asap pari dan cucut sedangkan pengasapan dingin untuk ikan layang. Menurut Hastuti et al. (1997) bahwa pengasapan adalah metode pengawetan yang meliputi kombinasi pengeringan, penggaraman, pemanasan dan pengasapan, yang akan menghasilkan produk dengan rasa dan aroma yang khas. Proses produksi pada usaha pengolahan ikan asap di PHPT PPI Muara Angke terdiri dari beberapa tahapan, yaitu: 1) Preparasi Tahap preparasi dimulai dengan penerimaan bahan baku di bagian depan rumah. Kemudian dilakukan penyiapan alat-alat yang akan digunakan seperti pisau, baskom, talenan berupa kayu atau papan serta penyiapan bahan-bahan yang diperlukan dalam pengolahan ikan asap ini seperti lidi, kunyit dan batok kelapa. 2) Penyiangan dan pencucian Bahan baku ikan pari dan ikan cucut yang sudah diterima selanjutnya disiangi (kulit, insang dan isi perut dibuang) sehingga tertinggal dagingnya saja dipotong-potong kecil sesuai ukuran yang akan dijual dan dicuci. Proses pencucian pada ikan pari dan ikan cucut dilakukan 2 kali agar bau amisnya dapat hilang. Pencucian pertama menggunakan air biasa yang diisi dalam baskom dan potongan-potongan tersebut direndam selama kurang lebih 15 menit dalam air tersebut. Pencucian kedua menggunakan air yang sudah diberi kunyit dan ditempatkan di dalam baskom. Potongan-potongan ikan yang sudah menerima pencucian pertama kemudian direndam kembali ke dalam air kunyit tersebut hingga kurang lebih 15 menit. Ikan yang telah dicuci dengan air kunyit kemudian dipersiapkan untuk pengasapan dan ditusukkan pada lidi untuk mempermudah proses pengasapan. Pada satu potong lidi dapat terdiri dari 1-3 potong ikan tergantung besar kecilnya potongan ikan.Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk tahap preparasi pengasapan ikan pari dan ikan cucut adalah sebanyak 3 orang dikarenakan pada tahap persiapan ini cukup banyak kegiatan yang dilakukan seperti penyiangan ikan, pemotongan ikan, pencucian ikan, dan menyusun daging ikan yang telah dipotong-potong pada lidi.
64
Proses penyiangan dan pencucian pada bahan baku ikan layang dibedakan berdasarkan kualitas. Ikan layang dengan kualitas sangat baik dan baik tidak dibuang isi perutnya, sedangkan ikan layang dengan kualitas rendah isi perut dan insangnya dibuang. Penentuan kualitas ini telah diketahui pengolah pada saat pembelian bahan baku ikan. Pada lokasi pembelian bahan baku telah dipisahkan ikan-ikan dengan kualitasnya masing-masing dan harganya juga berbeda. Ikan layang tersebut kemudian dicuci dalam baskom yang telah diisi dengan air. Setelah ikan-ikan tersebut dicuci, bagian perut ikan ditempeli kertas kuning agar lebih menarik dan mencegah isi perut ikan keluar. Untuk memudahkan proses pengasapan ikan layang tersebut ditusukkanpada lidi. Satu lidi terdiri dari seekor ikan layang. Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam proses preparasi pengsapan ikan layang ini cukup dengan 1-2 orang. 3) Pengasapan Ikan-ikan yang sudah disusun pada lidi-lidi tersebut baik ikan pari dan ikan cucut maupun ikan layang, kemudian disusun rapi di atas panggangan. Kemudian ikan mulai diasap di atas tungku (Gambar 10). Proses pengasapan di PHPT PPI Muara Angke menggunakan batok kelapa sebagai penghasil bara api dan asap pada proses pengasapan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengasapan ikan pari dan cucut menggunakan pengasapan panas (hot smoking), sedangkan ikan layang menggunakan pengasapan dingin (cool smoking). Pada proses pengasapan ikan pari dan cucut, panggangan yang di atasnya sudah disusun dengan ikan-ikan pari dan cucut diletakkan langsung di atas tungku pengasapan dengan bara api dengan nyala yang besar (Gambar 11a). Lama proses pengasapan ikan cucut dan ikan pari berlangsung selama 15 menit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kadir (2004) bahwa pada pengasapan panas (hot smoking), ikan yang diasapi diletakkan cukup dekat dengan sumber asap dan dilakukan dalam waktu yang singkat. Utomo et al.(2009) juga mengatakan bahwa pengasapan di Indonesia biasanya dilakukan menggunakan pengasapan panas dengan meletakkan ikan secara langsung di atas bahan bakaran (kayu, serabut kelapa, atau batok kelapa). Proses pengsapan ini memiliki beberapa kerugian sepertimenyebabkan polusi udara, kesulitan memproduksi ikan asap yang homogen dan produk ikan asap masih mengandung zat karsinogenik. Hastuti (1997) juga menjelaskan bahwa proses pengasapan panas menghasilkan produk yang lebih disukai konsumen karena rasanya yang mendekati produk olahan, namun daya awetnya lebih singkat. Pada proses pengasapan ikan layang, panggangan yang di atasnya sudah disusun ikan-ikan layang tidak diletakkan langsung di atas bara api pada tungku pengasapan akan tetapi diletakkan di atas 3-5 buah panggangan kosong sehingga panasnya bara api tidak langsung mengenai tubuh ikan (Gambar 11b). Bara api yang digunakan juga berasal dari batok kelapa. Pada proses pengasapan ikan layang ini juga cukup digunakan bara api kecil dan lebih memanfaatkan asapnya saja. Lama proses pengasapan ikan layang berlangsung selama 6 jam. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kadir (2004) bahwa pada pengasapan dingin (cool smoking), ikan yang diasapi diletakkan agak jauh dari sumber asap dan dilakukan dalam waktu yang lama.
65
(11a)
(11b)
Keterangan: (11a) = Pengasapan ikan pari dan ikan cucut (11b) = Pengasapan ikan layang
Gambar 11 Pengasapan ikan layang, ikan pari dan cucut pada industri pengasapan ikan di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 Tenaga kerja yang diperlukan dalam proses pengasapan ikan pari dan cucut adalah sebanyak 2 orang sedangkan pada proses pengasapan ikan layang hanya 1 orang dikarenakan jumlah produksi pada usaha pengolahan ikan asap pari dan cucut lebih banyak la dibandingkan produksi ikan asap layang. 4) Pengemasan Setelah pengasapan selesai, ikan-ikan asap tersebut dibiarkan dingin hingga sama dengan suhu ruangan (Gambar 12). Proses pendinginan ini bisa mencapai waktu 1-2 jam, setelah itu ikan asap baru dikemas, untuk ikan layang dikemas di dalam kardus dan untuk ikan pari atau ikan cucut biasanya dikemas dalam kantong plastik biasa. Daya tahan ikan asap pari dan cucut ini tidak begitu lama dan hanya dapat bertahan sekitar 3 hari, sedangkan ikan layang asap dapat bertahan hingga 1 minggu. Menurut Hastuti (1997) mengenai daya awet yang singkat pada ikan asap pari dan cucut ini disebabkan karena produk yang dihasilkan oleh pengasapan panas masih mempunyai kadar air yang cukup tinggi, sehingga memungkinkan pertumbuhan mikroorganisme (bakteri, kapang dan sebagainya).Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam pengemasan yaitu sebanyak 1-2 orang pada usaha pengolahan ikan asap di PHPT PPI Muara Angke.
Gambar 12 Ikan yang sudah mengalami proses pengasapan pada industri pengolahan ikan asap di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012
66
5.3.3 Industri pengolahan ikan pindang Seperti dijelaskan sebelumnya usaha pemindangan ikan di PHPT PPI Muara Angke mengolah tiga jenis ikan untuk menjadi ikan pindang. Pemindangan ikan di PHPT PPI Muara Angke menggunakan proses pemindangan pindang air garam untuk ikan tongkol dan ikan layang, sedangkan untuk ikan bandeng menggunakan proses pemindangan pindang presto. Hasil produk ikan pindang ini dapat langsung dimakan dan mempunyai cita rasa yang lezat serta tidak begitu asin jika dibandingkan ikan asin. Menurut Widiastuti (2005) bahwa pemindangan merupakan salah satu cara pengolahan dan pengawetan ikan secara tradisional. Dalam proses pemindangan, ikan atau udang diawetkan dengan cara mengukus atau merebusnya dalam lingkungan bergaram dan bertekanan normal. Hal ini bertujuan untuk menghambat aktivitas bakteri pembusuk maupun aktivitas enzim. Proses produksi ketiga jenis ikan pindang di PHPT PPI Muara Angke dijelaskan sebagai berikut: 1) Ikan tongkol Bahan baku ikan tongkol yang masih beku setelah diterima langsung dicuci dalam sebuah keranjang fiber hingga ikan tersebut bersih. Ikan tongkol kemudian dimasukkan ke dalam besek tanpa dilakukan pemotongan kepala atau penyiangan terlebih dahulu. Ikan-ikan tersebut disusun rapi dalam satu besek dimanasatu besek berisi kurang lebih 5 kg ikan tongkol. Besek-besek yang sudah berisi ikan tongkol tersebut juga disusun menjadi satu susunan yang terdiri dari 5 besek ke arah horizontal dan 10 baris ke arah vertikal. Metode pemindangan untuk ikan tongkol ini adalah merebus dengan air garam. Besek-besek yang telah berisi ikan tersebut langsung dimasukkan ke dalam tong yang sudah berisi larutan garam Hal ini sesuai dengan yang sudah mendidih dan direbus selama 2-3 jam. pernyataan Anonymous (1984) vide Widiastuti (2005), pindang air garam adalah suatu produk hasil teknik pengolahan dan pengawetan ikan, dimana ikan dan garam tersusun dalam wadah naya atau besek dicelupkan ke dalam larutan garam mendidih dan direbus dalam jangka waktu tertentu, kemudian dilakukan pengurangan kadar air sampai batas tertentu dengan jalan ditiriskan/dianginanginkan. Satu tong perebusan tersebut berisi 80 liter air dan 5 kg garam. Satu tong tempat pemindangan ikan mampu menampung 70 kg ikan tongkol. Ikan-ikan pindang yang sudah matang langsung didinginkan (Gambar 13). Setelah dingin, para tenaga kerja melakukan pemotongan kepala dan pembuangan isi perut pada ikan pindang yang sudah jadi. Selain itu, tenaga kerja juga melakukan pemotongan bagian tubuh ikan sesuai ukuran yang akan dijual. Daya awet ikan pindang menurut Wibowo (1996) tergolong pendek yaitu hanya dapat bertahan 2-3 hari, sedangkan pindang garam biasanya lebih awet yaitu sampai 2 minggu tanpa perubahan berarti. Hal ini disebabkan karena pada ikan pindang naya masih mempunyai aktivitas air yang relatif tinggi dan sesuai bagi pertumbuhan mikroorganisme, terutama bakteri pembentuk lendir dan kapang. Ikan pindang tongkol yang sudah dilakukan pemotongan kepala dan pembuangan isi perut dapat langsung dijual oleh para pekerja dan tidak perlu dilakukan proses pengemasan terlebih dahulu pada ikan pindang tongkol. Hal ini dikarenakan ikan pindang tersebut akan dijual secara eceran oleh para pekerja.
67
Gambar 13 Penempatan ikan pindang tongkol yang sudah matang di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 Tenaga kerja yang dibutuhkan pada proses pengolahan ikan pindang tongkol ini sebanyak 6 orang dengan pembagian tugas 3 orang pada tahap pencucian dan penyusunan ikan ke dalam besek dan 3 orang lagi pada tahap pemindangan. Tahap pemotongan kepala dan isi perut pada ikan pindang yang sudah matang dilakukan oleh masing-masing tenaga kerja sendiri menurut bagiannya masingmasing. 2) Ikan layang Proses produksi ikan pindang layang hampir sama dengan proses produksi pada ikan pindang tongkol hanya jenisnya ikan layang. Ikan layang setelah diterima langsung direndam dengan air agar ikannya mencair dan dicuci di dalam keranjang fiber, selanjutnya ikan-ikan tersebut disusunke dalam besek tanpa mengalami proses penyiangan. Besek yang digunakan untuk ikan layang lebih kecil dibandingkan dengan besek untuk ikan tongkol sehingga satu besek hanya berisi 2 ekor ikan layang. Kemudian besek-besek yang telah berisi ikan disusun menjadi 4 baris horizontal dan 10 baris vertikal (Gambar 14) atau kurang lebih 20 kg beratnya. Besek-besek tersebut lalu dimasukkan dalam tong perebusan yang berisi air garam yang sudah mendidih. Komposisi larutan garam pada proses pemindangan ini yaitu 80 liter air dan 5 kg garam. Ikan layang dipindang selama kurang lebih 5 menit.
Gambar 14 Susunan ikan layang dalam besek pada industri pengolahan ikan pindang di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012
Ikan pindang layang yang sudah jadi pun diangkat dan didinginkan untuk selanjutnya dapat dijual. Ikan layang dijual beserta beseknya sehingga tidak perlu dilakukan pembuangan isi perut maupun pemotongan bagian tubuhnya dan juga tidak perlu dilakukan pengemasan lagi.
68
Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam proses pengolahan ikan layang kurang lebih 4 orang yaitu 2 orang untuk proses pencucian dan penyusunan ikan ke dalam besek, dan 2 orang lainnya bertugas dalam pemindangan ikan layang. 3) Ikan bandeng Produk ikan bandeng presto merupakan produk yang paling sedikit diproduksi pada usaha pengolahan ikan pindang di PHPT PPI Muara Angke jika dibandingkan dengan produk ikan pindang tongkol dan ikan pindang layang. Proses pemindangan ikan bandeng juga berbeda dengan ikan tongkol dan layang, seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa ikan tongkol dan ikan layang menggunakan proses pemindangan air garam karena proses pemindangan ikan bandeng adalah pindang presto. Menurut Adawyah(2007) pengolahan bandeng presto menggunakan pemanasan dakam suasana bergaram sehingga disebut ikan pindang. Pengolahan bandeng presto juga menggunakan tekanan tinggi sehingga duri ikan menjadi lunak. Ikan yang paling sering dipresto adalah ikan bandeng meskipun ikan lain juga cocok untuk dibuat presto. Proses produksi ikan bandeng presto ini cukup sederhana. Mula-mula bahan baku ikan diterima, lalu ikan dibersihkan (isi perut dan insangnya dibuang) dan dicuci dalam ember plastik hingga bersih. Kemudian ke dalam perut ikan dimasukkan daun salam. Kemudian ikan bandeng tersebut dibumbui dengan bumbu halus yang terdiri dari kunyit, lengkuas, bawang dan daun salam. Ikan bandeng yang sudah dibumbui tersebut disusun ke dalam wadah yang terbuat dari logam (Gambar 15). Selanjutnya ikan-ikan bandeng tersebut juga ditaburi dengan garam. Setelah itu, ikan bandeng direbus selama 1 jam menggunakan kompor gas sehingga ikan bandeng presto benar-benar matang. Setelah matang ikan bandeng presto juga didinginkan. Ikan bandeng presto yang sudah dingin tidak perlu dikemas karena akan dijual secara eceran oleh para pekerja.
Gambar 15 Ikan bandeng presto di dalam wadah logam di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012
Dalam proses pengolahan ikan bandeng presto ini dibutuhkan kurang lebih 2-3 orang dalam proses penyiangan ikan dan pencucian ikan, 2 orang pekerja untuk membumbui ikan bandeng presto dan 1 orang pekerja untuk pemindangan ikan bandeng.
69
5.3.4 Industri pengolahan kulit ikan Industri pengolahan kulit ikan untuk konsumsi dan industri pengolahan kulit ikan untuk penyamakan memiliki metode pengolahan yang cukup berbeda. 1) Industri pengolahan kulit ikan untuk konsumsi Proses pengolahan kulit untuk dikonsumsi dan tulang cukup berbeda dimana proses pengolahan untuk: (1) Kulit ikan hiu dan ikan pari Proses produksi kulit ikan pari dan hiu lebih sederhana. Kulit ikan yang sudah diterima selanjutnya dibersihkan dari daging yang masih menempel dengan menggunakan pisau, setelah itu kulit ikan langsung dijemur (Gambar 16) tanpa dilakukan pencucian. Lama penjemuran kulit ikan pari dan hiu ini kurang lebih selama 1-2 hari. Apabila cuaca sedang buruk atau hujan, maka kulit ikan pari yang sedang dijemur terpaksa diangkat kembali untuk yang setengah kering, sedangkan yang masih basah disimpan di dalam sebuah bak dan ditaburi dengan garam kulit-kulit tersebut agar kulit tersebut tidak rusak. Kulit ikan yang sudah kering kemudian disimpan di dalam gudang. Apabila ada pembeli yang datang maka kulit-kulit ikan pari tersebut dimasukkan ke dalam karung sebagai kemasannya. Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam proses penyiangan kulit ikan pari dan hiu hingga proses penjemuran kulit ikan tersebut sebanyak kurang lebih 3 orang.
Gambar 16 Penjemuran kulit ikan pari dan hiu di industri pengolahan kulit dan tulang ikan di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 (2) Tulang ikan hiu dan pari Tulang ikan yang sudah diterima, selanjutnya disiangi terlebih dahulu yaitu melakukan pemisahan antara daging dan tulang. Tulang ikan yang sudah disiangi tersebut kemudian langsung direbus selama 8 jam dalam tong perebusan tanpa dilakukan pencucian. Setelah tulang ikan direbus, tulang ikan direndam kembali selama 1 hari dalam sebuah drum yang terbuat dari besi menggunakan obat pemutih. Obat pemutih tersebut digunakan untuk memutihkan tulang, hal ini disebabkan karena jika cuaca buruk tulang yang dijemur bisa menjadi bercakbercak hitam sehingga tidak akan laku bila dijual. Tulang ikan yang sudah direndam langsung dijemur. Lama penjemuran tulang pari hingga kering yaitu selama 3 hari dan lama penjemuran tulang hiu selama 1 minggu. Perbedaan lamanya waktu penjemuran disebabkan oleh ketebalan tulang yang berbeda (Gambar 17). Sama halnya seperti penjemuran ikan asin apabila cuaca sedang buruk atau hujan, tulang-tulang yang sedang dijemur akan ditutup menggunakan
70
plastik agar tidak basah akibat terkena air hujan. Tulang ikan yang sudah kering dipisah-pisahkan sesuai jenisnya misalnya tulang ekor, tulang punggung ataupun tulang kepala, kemudian tulang yang sudah dijemur, diangin-anginkan dan siap untuk dikemas di dalam karung sebagai wadah kemasannya.
27 cm
Gambar 17 Tulang ikan pari dan hiu yang sedang dijemur pada industri pengolahan kulit dan tulang ikan di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 Berdasarkan lama 1 kali proses pengolahan untuk kulit ikan yaitu sebanyak 1-2 hari dan proses pengolahan tulang ikan antara 5-9 hari maka normalnya industri pengolahan kulit dan tulang ikan ini hanya dapat memproduksi 15 kali kulit ikan dan 3-6 kali memproduksi tulang ikan dalam waktu satu bulan. Akan tetapi selama waktu tunggu hingga kulit dan tulang ikan kering, pengolah tetap melanjutkan proses produksi yaitu menyiapkan bahan baku baik kulit maupun, tulang ikan, merebus tulang ikan, dan merendam tulang ikan sehingga proses produksi menjadi lebih efektif yaitu hampir setiap hari atau 28 kali selama satu bulan. Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam pengolahan tulang ikan pari dan hiu ini yaitu 2 orang untuk melakukan proses pembersihan tulang, 1 orang dalam proses perebusan tulang, 1 orang untuk proses perendaman tulang dan 3 orang pekerja untuk proses penjemuran tulang ikan 2) Industri pengolahan kulit ikan untuk penyamakan Usaha pengolahan kulit ikan pari yang khusus mengolah kulit ikan pari di Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional PPI Muara Angke sebanyak 5 orang. Usaha pengolahan kulit ikan pari ini tidak hanya menjual produknya di dalam negeri saja tetapi sudah mengekspor hingga ke luar negeri. Produk yang dihasilkan berupa kulit ikan pari untuk penyamakan. Umumnya, kulit pari yang dapat digunakan dalam pembuatan barang-barang kerajinan adalah kulit pari dengan sisik bulat kecil. Menurut Purnomo (2002) bahwa tujuan penyamakan kulit adalah mengubah sifat kulit yang semula rentan atau mudah mengalami kerusakan baik oleh
71
serangan mikroorganisme, serangga, ataupun fisik dan kimia, menjadi tahan terhadap faktor-faktor penyebab kerusakan tersebut. Adapun proses produksi pada industri pengolahan kulit ikan pari untuk penyamakan yaitu sebagai berikut: 1) Penanganan bahan baku kulit ikan Bahan baku ikan yang sudah diterima, selanjutnya dilakukan penanganan yaitu dengan cara menggarami kulit ikan yang baru datang. Hal ini dilakukan untuk mengawetkan kulit ikan sehingga tidak cepat rusak, kulit ikan yang sudah digarami dapat tahan lama berbulan-bulan. Kulit ikan disusun berlapis setelah digarami di atas tempat penyimpanan yang berupa meja panjang. Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam penanganan bahan baku ini kurang lebih 2 orang. 2) Penyiangan Kulit ikan yang akan diproses selanjutnya dilakukan pembersihan atau pembuangan daging dan selaput-selaput putih yang menempel pada kulit menggunakan pisau. Kulit ikan pari yang sudah dibersihkan kemudian dicuci hingga bersih dengan cara disiram menggunakan air bersih. Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam penyiangan ini sebanyak 2-3 orang. 3) Penjemuran Kulit pari yang telah bersih selanjutnya dijemur (Gambar 18) selama 1-2 hari. Apabila cuaca sedang buruk atau hujan, maka kulit ikan pari yang sedang dijemur terpaksa diangkat kembali untuk yang setengah kering, sedangkan yang masih basah disimpan kembali di dalam tong dan ditaburi dengan garam agar kulit tersebut tidak rusak. Tenaga kerja yang dibutuhkan pada tahap penjemuran ini 23 orang. 50-60 cm
40-50 cm
30-40 cm
Gambar 18 Penjemuran kulit ikan pari pada industri pengolahan kulit ikan pari di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012
4) Pengemasan Kulit ikan yang sudah benar-benar kering kemudian diangin-anginkan dan siap untuk dikemas. Pengemasan kulit ikan pari untuk penyamakan biasanya ditempatkan dalam wadah kardus dan tong plastik agar tidak rusak. Harga kulit
72
ikan yang sudah kering juga ditentukan oleh jumlah sisik pada permukaan atas kulit pari, oleh sebab itu dalam proses pengolahan kulit ikan pari diperlukan ketelitian agar kulitnya tidak rusak dan sisiknya tidak hilang. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa lama 1 kali proses pengolahan untuk kulit ikan yaitu sebanyak 1-2 hari maka normalnya industri pengolahan kulit dan tulang ikan ini hanya dapat memproduksi 15 kali kulit ikan dalam waktu satu bulan. Akan tetapi selama waktu tunggu hingga kulit kering, pengolah tetap melanjutkan proses produksi yaitu menyiapkan bahan baku baik kulit dan membersihkannya dan mencuci sehingga proses produksi maksimalnya hampir setiap hari atau 28 kali selama satu bulan. Industri pengolahan ikan di PHPT PPI Muara Angke merupakan industriindustri pengolahan tradisional yang tergolong skala mikro dan masih melakukan proses pengolahan ikan secara sederhana tanpa menggunakan mesin, melainkan menggunakan tenaga manusia. Kebutuhan bahan baku ikan pada industri pengolahan ikan di PHPT Kawasan PPI Muara Angke per bulan masing-masing jenis industri pengolahan sebesar 28.000-84.000 kg untuk industri pengolahan ikan asin, 2.800-4.200 kg untuk industri pengolahan ikan asap, 630-740 kg untuk industri pengolahan ikan pindang, 42.000 kg kulit ikan pari dan 8.400-11.200 kg tulang ikan untuk industri pengolahan kulit ikan pari untuk konsumsi dan tulang ikan untuk kosmetik, 14.000 lembar atau kurang lebih 7.000 kg untuk industri pengolahan kulit ikan pari untuk penyamakan. Kebutuhan bahan baku ikan yang tersedia di TPI PPI Muara Angke secara keseluruhan belum mampu mencukupi kebutuhan bahan baku semua industri pengolahan ikan di PHPT PPI Muara Angke, sehingga tidak jarang pengolah yang memilih alternatif tempat pembelian bahan baku ikan di luar TPI Muara Angke.
6 PENGGUNAAN LAHAN INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN DI KAWASAN PPI MUARA ANGKE
73
6.1 Pengembangan kawasan PPI Muara Angke Berdasarkan rencana relokasi dan pengembangan PPI Muara Angke tahun 2011-2015, maka lahan PHPT yang semula seluas 5 ha akan dipindahkan ke sisi utara ke zona industri perikanan (Gambar 19) namun dengan luas yang lebih kecil yaitu 2,5 ha (Gambar 20). Alasan pemindahan dan penyempitan lahan PHPT ini dikarenakan adanya rencana relokasi dan pembangunan PHPT yang baru dimana PHPT tersebut akan dimodernisasi khususnya pada proses pengeringannya sehingga lahan yang dibutuhkan PHPT tersebut bisa lebih sedikit dan lebih efisien. Kawasan PPI Muara Angke direncanakan akan dikembangkan menjadi kawasan minapolitan Pelabuhan Perikanan Muara Angke. Kawasan minapolitan Pelabuhan Perikanan Muara Angke tersebut direncanakan terdiri dari beberapa zona yaituzona fasilitas umum (tempat kapal bersandar/berlabuh, bongkar muat ikan dan fasilitas penunjang lainnya), zona industri, zona eco marine, zona rumah susun, zona pelabuhan penyeberangan ke Kepulauan Seribu, zona pelabuhan perikanan dan BTPI, dan zona hunian (UPT. PKPP dan PPI, 2011b). Namun sampai saat penelitian dilaksanakan oleh peneliti, rencana pembangunan tersebut belum seluruhnya dilaksanakan. Pengembangan yang sudah dilakukan baru meliputi rehabilitasi tempat pelelangan ikan yaitu pembangunan tempat pelelangan ikan higienis, pembangunan kantor UPT PKPP dan PPI, dan rehabilitasi pasar grosir. Luas lahan kawasan minapolitan Pelabuhan Perikanan Muara Angke sama dengan luas lahan kawasan PPI Muara Angke yang lama yaitu 71,73 ha. Di dalam rencana pengembangan tersebut dilakukan penataan lokasi (relokasi), pembangunan fasilitas baru, dan lebih memoderenisir aktivitas yang ada. Keseluruhan rencana pengembangan terdapat pada Tabel 18.
74
Gambar 19 Overlay peta existing terhadap alokasi dan pengembangan lahan Kawasan PPI Muara Angke tahun 2011
74
75
2.5 Ha Lokasi baru
5 Ha
Gambar 20 Kondisi existing PHPT dan rencana pemindahan PHPT PPI Muara Angke tahun 2011
Tabel 18 Rencana pengembangan fasilitas di kawasan minapolitan Pelabuhan Perikanan Muara Angke tahun 2011-2015 Luas lahan Realisasi Rencana pengembangan fasilitas 2 (sudah/belum) (m ) (%) 1. Pembangunan dermaga 3.036,0 6,64 Belum 2. Rehab tempat pelelangan ikan atau 2.212,00 4,84 Sudah pembangunan TPI higienis 3. Rehabilitasi pasar grosir 3.915,00 8,56 Sudah 4. Relokasi dan pembangunan PHPT 2.500,00 5,47 Belum 5. Pembangunan kantor UPT. PKPP 136,00 0,30 Sudah dan PPI 6. Relokasi Pujaseri 2.040,00 4,46 Belum 7. Pembangunan gapura dan gerbang 6,40 0,01 Belum masuk pelabuhan Muara Angke 8. Penataan kawasan (jalan, trotoar 31.883,00 69,72 Belum dan taman Jumlah 45.728,40 100 Sumber: UPT PKPP dan PPI (2011b)
Berdasarkan Tabel 23 di atas dapat diketahui bahwa persentase lahan yang cukup besar dimanfaatkan untuk rehabilitasi pasar grosir (8,56%), pembangunan dermaga (6,64%) dan relokasi dan pembangunan PHPT (5,47%). Hal ini menunjukkan bahwa rencana pengembangan fasilitas di kawasan minapolitan Pelabuhan Perikanan Muara Angke tahun 2011-2015 fokus pada pemasaran, penyediaan bahan baku dan industri pengolahan ikan. Khususnya untuk industri
75
76
pengolahan ikan tradisional, dengan adanya rencana modernisasi tersebut menunjukkan adanya perencanaan efisiensi proses pengolahan dari industri pengolahan yang ada. Salah satu pelabuhan perikanan yang juga menganut konsep minapolitan adalah Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta (PPSNZJ).Zonasi kawasan PPS Muara Baru dijelaskan pada Tabel 19, sebagai berikut:
Tabel 19 Zonasi kawasan Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta tahun 2010 Luas lahan fasilitas (m2) (%) 1) Dermaga 27.584,70 7,24 2) Tempat pelelangan ikan 3.182,00 0,84 3) Pemasaran hasil tangkapan 9.856,00 2,59 4) Industri perikanan 339.151,00 89,03 5) Kantor pengelola 1.106,25 0,29 6) Gapura dan gerbang masuk pelabuhan Muara Baru 40,00 0,01 Jumlah 380.919,95 100 Sumber: Nurhalimah (2012)
Pemanfaatan lahan pada PPS Nizam Zachman Jakarta dimanfaatkan cukup besar untuk industri perikanan (89,03%), dermaga (7,24%), dan pemasaran hasil tangkapan (2,59%). Hal ini menunjukkan bahwa PPS Nizam Zachman Jakarta fokus kepada industri perikanan, penyediaan kebutuhan bahan baku dan pemasaran hasil tangkapan. Dengan demikian menunjukkan bahwa pelabuhan perikanan sebagai kawasan minapolitan sangat mengutamakan perkembangan industri pengolahan ikan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.08/MEN/2012 mengenai Kepelabuhanan Perikanan juga membahas klasifikasi pelabuhan perikanan di Indonesia. Peraturan tersebut menyatakan bahwa industri pengolahan ikan dan industri penunjang lainnya hanya terdapat pada pelabuhan perikanan tipe A (pelabuhan perikanan samudera), tipe B (pelabuhan perikanan nusantara), dan tipe C (pelabuhan perikanan pantai); sedangkan untuk pelabuhan perikanan tipe D atau pangkalan pendaratan ikan tidak memiliki kriteria operasional untuk memiliki industri pengolahan ikan dan industri penunjang lainnya. Hal ini berbeda dengan pendapat Pane (2012) yang tidak menyetujui gagasan dan menyatakan bahwa industri pengolahan ikan dan industri penunjang lainnya seharusnya juga ada di pelabuhan perikanan tipe D karena setiap pelabuhan perikanan memiliki potensi industry yang berbeda dan harus dikembangkan. Selanjutnya dikatakan bahwa untuk pelabuhan perikanan tipe D tidak perlu harus menunggu menjadi pelabuhan perikanan tipe A, B, atau C untuk mengembangkan industri pengolahan ikan dan industri penunjang lainnya di pelabuhan tersebut. Pihak pengelola pelabuhan telah membangun pasar grosir baru dengan 216 unit lapak untuk meningkatkan pelayanan kepada pedagang dan pembeli ikan.
77
Dengan demikian keseluruhan kedua lapak Pasar Grosir berjumlah 1086 unit lapak (Simarmata 2011). Selanjutnya Simarmata mengatakan guna memenuhi kebutuhan masyarakat tingkat menengah ke atas padatahun 2008 telah dibangun pasar pengecer higienis seluas 2.583 m2 yang lokasinya berada di sebelah barat pasar grosir lama (Simarmata 2011).
6.2 Lahan Industri Pengolahan Ikan dan Penggunaan Lahan Industri pengolahan ikan membutuhkan lahan yang cukup agar dapat melakukan proses produksi dan menunjang kegiatan produksinya. Kebutuhan akan lahan semakin terasa apabila jumlah industri pengolahan ikan meningkat dan skala produksinya semakin besar. Sebagaimana telah dikemukakan pada subbab 4.2.3, industri pengolahan ikan di kawasan Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke berada atau di bawah pengelolaan atau di lokasi Pengolahan Tradisional Hasil Perikanan PPI Muara Angke (PHPT PPI MA). Di PHPT PPI Muara Angke proses pengolahan masih melakukan secara manual dan tradisional sehingga lahan yang dibutuhkan menjadi lebih luas dibandingkan industri pengolahan yang lebih modern; seperti lahan penjemuran untuk proses produksi ikan kering asin.
6.2.1 Industri pengolahan ikan asin Industri pengolahan ikan asin, seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa industri jenis ini adalah jenis industri yang paling banyak di PHPT PPI Muara Angke dan memiliki ciri yang mencolok pada luasan lahan yang dimilikinya; yaitu memiliki lahan penjemuran ikan paling sedikit seluas 5x25 m2. Luas lahan yang ditentukan pihak PHPT PPI Muara Angke untuk setiap industri pengolahan ikan asin di PHPT PPI Muara Angke adalah 150 m2; meliputi lahan untuk bangunan 2 lantai seluas 25 m2 atau 5x5 m2 dan lahan penjemuran ikan seluas 125 m2 atau 5x25 m2. Pada hakekatnya pihak PHPT PPI Muara Angke telah menetapkan besaran luasan lahan per pengusaha pengolah, sebagaimana telah disebutkan di atas. Namun kemudian, besaran luasan lahan yang diperlukan oleh masing-masing pengusaha pengolahan ikan bertambah, karena kebutuhan luas lahan tersebut dipengaruhi oleh jumlah bahan baku, jenis dan ukuran bahan baku ikan yang digunakan. Jumlah bahan baku yang digunakan mempengaruhi kebutuhan; luasan lahan baik untuk lahan ruang produksi maupun untuk lahan penjemuran pada industri pengolahan ikan asin. Semakin banyak jumlah bahan baku yang digunakan pada proses produksi maka lahan yang dibutuhkan untuk ruang produksi terutama lahan penjemuran semakin banyak. Untuk sejumlah 191 pengusaha pengolah ikan asin (subbab 4.2.3), telah disediakan luasan lahan berjumlah 2,865 ha atau 28.650 m2.Pada saat ini luasan lahan untuk industri ikan asin telah penuh dan bila ada penambahan pengusaha pengolah ikan asin baru atau terdapat peningkatan produksi olahan ikan asin dan pengolah tersebut memerlukan lahan tambahan, maka tidak dapat dipenuhi oleh
78
pihak PHPT PPI Muara Angke; kecuali dilakukan pengembangan lahan yang baru. Selain jumlah kebutuhan bahan baku ikan yang mempengaruhi luasan lahan, jenis dan ukuran bahan baku ikan yang digunakan juga ikut mempengaruhi luasan lahan. Hal ini dikarenakan semakin kecil ukuran ikan atau termasuk ikan kecil yang diolah maka memerlukan luasan lahan penjemuran ikan semakin besar. Semakin kecilnya ukuran ikan juga akan memperbesar kemungkinan untuk ruang penyiangan dan pencucian ditiadakan; karena untuk jenis ikan kecil tidak perlu disiangi dan dicuci dalam proses pengolahannya tetapi dapat langsung direndam. Lahan penjemuran seluas 5 x 25 m2 jika dimanfaatkan untuk menjemur ikan yang berukuran kecil seperti ikan bulu ayam, ikan layang, cumi-cumi maka hanya dapat menampung 300400 kg, dan untuk ikan berukuran sedang seperti kembung, selar dan lain-lain dapat menampung 600700 kg ikan, sedangkan untuk ikan yang berukuran besar seperti manyung, tenggiri, tongkol, hiu dan lain-lain dapat menampung hingga 1000 kg. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran ikan menentukan luasan lahan penjemuran yang dibutuhkan. Luasan lahan tersebut dimanfaatkan untuk bangunan dan lahan penjemuran oleh industri pengolahan ikan asin. Seperti telah dijelaskan pada Bab 4 bahwa bangunan usaha pengolahan ikan asin merupakan bangunan 2 lantai dimana lantai 1 dimanfaatkan sebagai tempat produksi sedangkan lantai 2 sebagai tempat istirahat pemilik dan keluarganya. Ruang produksi yang berada di lantai 1 pada usaha pengolahan ikan asin di PHPT PPI Muara Angke meliputi ruang untuk penyiangan atau pembersihan ikan, tempat pencucian dan perendaman, lahan penjemuran serta tempat untuk mengangin-anginkan ikan asin setelah dijemur dan sebagai tempat pengemasan. Penyiangan dan pencucian dapat dapat dilakukan pada lokasi yang sama dan luasan lahan yang dibutuhkan untuk ruang ini adalah seluas 520 m2. Ruang perendaman membutuhkan lahan seluas 1030 m2. Ruang pengemasan membutuhkan lahan seluas 520 m2 dan untuk ruang perebusan bagi industri pengolahan ikan asin dengan perebusan seluas 15 m2. Lahan penjemuran seluas 125375 m2 (Gambar 21). Perbedaan luasan ruang-ruang produksi pada masingmasing usaha pengolahan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya adalah karena luasan tersebut dipengaruhi oleh jumlah, jenis dan ukuran bahan baku yang digunakan pada suatu usaha pengolahan ikan asin. Bangunan lantai 2 pada usaha pengolahan ikan asin di Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional PPI Muara Angke berukuran 25 m2 atau 5x5 m2 hingga 75 m2 atau 15x5 m2. Ruangan yang ada di lantai 2 bangunan tersebut seperti kamarkamar tidur untuk pemilik atau pekerja yang tinggal dengan pemilik dan juga ruang keluarga. Hanya saja bila dibandingkan dengan bangunan lantai 1, bangunan lantai 2 terlihat lebih sempit dikarenakan bangunan lantai 2 ini menyerupai rumah atap.
79
79
80
Ruang-ruang produksi pada semua industri pengolahan ikan asin di Pengolahan Tradisional Hasil Perikanan PPI Muara Angke masih dalam satu tempat dan tidak dipisah-pisahkan antar ruang produksi. Kegiatan penyiangan, pencucian, perendaman umumnya dilakukan pada bagian halaman samping rumah, sedangkan tempat pengemasan di dalam rumah bersama dengan ruang kerja pada lantai 1 bangunan rumah dan lahan penjemuran terletak di belakang rumah. Pemanfaatan ruang dan lahan terkait proses produksi digambarkan sebagai berikut (Tabel 20):
Tabel 20 Skema pemanfaatan ruang dan lahan pada proses produksi pengolahan ikan asin di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 Alur Proses Produksi 1. Persiapan
Bagian proses produksi a. Penerimaan bahan baku ikan b. Penyortiran
Pemanfaatan Ruang, Lahan dan Luas Ruang
Ruang penerimaan bahan baku Ruang penyortiran c. Persiapan Ruang peralatan penyiapan dan bahan peralatan baku dan bahan penunjang baku pengolahan penunjang Penyiangan Ruang dan pencucian penyiangan dan pencucian Perendaman Ruang bahan baku perendaman ikan dengan larutan garam Pengolahan Ruang ikan asin perebusan dengan metode perebusan Penjemuran Lahan ikan asin penjemuran
Bagian bangunan atau lahan (m2) Bagian depan bangunan (5)
Lantai 1
Bagian depan bangunan (5 s/d 20) Bagian samping bangunan (10 s/d 30)
1
Bagian depan bangunan (5 s/d 20)
1
Bagian samping bangunan (10 s/d 30)
1
Bagian belakang bangunan (45)
1
Bagian belakang bangunan (125 s/d 465 m2) 6. Pengangin- PenganginRuang Bagian depan anginan dan anginan dan penganginan bangunan (5 s/d 20 pengemas- pengemasan dan m2 ) an pengemasan
1
2. Penyiangan dan pencucian 3. Perendaman
4. Perebusan
5.
Lahan penjemuran
1
1
81
Alur kegiatan produksi terlihat satu arah, namun tata letak tempat produksi masih belum rapi karena belum terlihat pemisah-pemisah yang jelas antar ruang produksi. Hal ini dapat dikarenakan industri pengolahan ikan asin masih tergolong usaha mikro, masih menggunakan teknik-teknik pengolahan sederhana yang sudah turun menurun dari orang tua mereka dan proses pengolahan dilakukan secara manual tanpa mesin sehingga ruang-ruang produksi dirasa tidak terlalu dibutuhkan pada industri pengolahan ikan asin ini. Industri pengolahan ikan asin di Pengolahan Tradisional Hasil Perikanan PPI Muara Angke seperti telah dijelaskan sebelumnya pada Bab 5 bahwa masingmasing pengolah mempunyai kebutuhan bahan baku maksimal antara 28.00084.000 kg ikan per bulan bahkan untuk industri pengolahan ikan asin dengan metode perebusan membutuhkan kurang lebih 140.000 kg per bulannya. Untuk dapat mengolah bahan baku ikan dengan jumlah tersebut menjadi produk ikan asin maka masing-masing pengolah ikan asin di PHPT PPI Muara Angke membutuhkan lahan kurang lebih seluas 150 m2540 m2. Lahan dengan luas 150 m2540 m2tersebut di atas, dimanfaatkan para pengolah ikan asin dengan pembagian penggunaan lahan sebagai berikut: lahan seluas 2575 m2 untuk bangunan 2 lantai dan sisanya berupa lahan seluas 125465 m2dimanfaatkan untuk lahan penjemuran. Kekurangan lahan untuk proses produksi pengolahan ikan asin ini dipenuhi para pengolah ikan asin di PHPT PPI Muara Angke dengan berbagai cara yaitu melalui peminjaman lahan penjemuran kepada pengusaha pengolah ikan asin lainnya (tetangga pengolah, menyewa kios, menyewa lahan penjemuran di lapangan dekat pantai dan melakukan pembelian hak pakai lahan dan bangunan pengolah ikan asin (pengalihan hak pakai). Peminjaman lahan penjemuran ke tetangga pengolah merupakan kegiatan yang sering terjadi antar pengolah ikan asin di PHPT PPI Muara Angke. Peminjaman lahan penjemuran dapat dilakukan sebagai kegiatan timbal balik antar para pengolah, misalnya ketika pengolah ikan asin yang satu jumlah produksinya banyak maka akan meminjam kepada tetangganya yang produksinya lebih sedikit atau tidak sedang berproduksi sehingga lahan penjemurannya dapat dipinjamkan dan sebaliknya sehingga terjadi kegiatan timbal balik yang saling menguntungkan. Terdapat juga pengolah yang menyewakan lahan penjemurannya seluas 5x24 m2 dengan biaya Rp 100.000,00 untuk satu kali penjemuran (hingga ikan benar-benar kering). Menyewa kios dilakukan oleh pengolah ikan asin untuk memenuhi kebutuhan ruang dalam proses pengolahan ikan asin. Pihak yang mengelola penyewaan kios ini bukanlah pihak PHPT PPI Muara Angke meskipun pemilik resmi lahan tersebut sesungguhnya adalah PPI Muara Angke. Lahan yang masih berupa rawa-rawa yang berdekatan dengan lokasi pengolahan ikan asin dan tidak digunakan, dimanfaatkan oleh Ketua Rukun Tetangga (RT) setempat dengan membangun kios di atas lahan seluas 150 m2untuk disewakan. Kios tersebut berupa bangunan dengan satu lantai tanpa pintu dan lahan penjemuran seluas 5x25 m2 . Kebutuhan lahan juga dipenuhi para pengolah ikan asin dengan cara menyewa lahan penjemuran di lapangan dekat pantai. Lahan penjemuran tersebut dikelola oleh juragan setempat yang bukan merupakan PHPT PPI Muara Angke.
81
82
Lahan penjemuran tersebut disewakan dengan biaya Rp 100.000,00 per bulan untuk luasan lahan sebesar 90 m2. Alternatif lainnya yaitu membeli hak pakai lahan dan bangunan milik pengolah yang lain. Pemindahan alih hak ini sebenarnya tidak legal karena pihak PHPT PPI Muara Angke yang mengelola lahan untuk para pengolah di PHPT tersebut. Akan tetapi kegiatan ini masih dilakukan oleh beberapa pihak pengolah. Satu bangunan 2 lantai dan lahan penjemuran tersebut bisa dihargai Rp 45.000.000,00Rp 90.000.000,00. Bangunan dan lahan yang berasal dari pengalihan hak tersebut kemudian menjadi hak pakai pembelinya (pengolah ikan asin). Oleh pemilik hak pakai yang baru, tak jarang bangunan tersebut dibongkar dan dibangun kembali sesuai kehendak pemilik.
6.2.2 Industri pengolahan ikan asap Seperti telah dijelaskan sebelumnya pada subbab 4.2.3 juga bahwa usaha pengolahan ikan asap di Pengolahan Hasil Perikanan PPI Muara Angke berjumlah 6 unit. Luas lahan yang disediakan oleh pihak PHPT PPI Muara Angke untuk 6 unit pengolahan ikan asap tersebut adalah 900 m2 dan kepada masing-masing usaha pengolahan ikan asap diberikan lahan seluas 150 m2. Usaha pengolahan ikan asap tidak memerlukan lahan yang luas untuk lahan penjemuran seperti pada industri pengolahan ikan asin. Lahan seluas 150 m2tersebut dimanfaatkan untuk membangun bangunan 2 lantai. Lantai dasar dimanfaatkan sebagai tempat berlangsungnya kegiatan produksi dan lantai atas dimanfaatkan sebagai tempat tinggal para pekerja. Ruang produksi yang dibutuhkan oleh pengolah ikan asap adalah tempat penyimpanan, penyiangan, pencucian, perendaman, persiapan untuk pengasapan, pengasapan, pengangin-anginan dan pengemasan. Sama halnya dengan industri pengolahan ikan asin, industri pengolahan ikan asap ini juga memiliki satu ruang produksi dimana semua kegiatan pengolahan dilakukan dalam ruang yang sama. Ruang produksi untuk penyiangan, pencucian, perendaman, dan juga persiapan untuk pengasapan dilakukan pada tempat sama, sedangkan pengasapan dilakukan pada tungku pengasapan. Kondisi ruang produksi ini umumnya sama seperti bangunan rumah biasa hanya saja di dalam rumah terdapat tungku pengasapan berjumlah 2 buah dengan ukuran luas masing-masing tungku adalah 1x1 m2. Tempat penyimpanan ikan di industri pengolahan ikan asap berupa 2 buah bak yang terbuat dari fiber dan ditempatkan di dalam rumah dengan ukuran masing-masing bak adalah 3x1 m2. Bangunan pada lantai atas usaha pengolah ikan asap ini dimanfaatkan untuk ruang-ruang kamar tidur para pekerja. Lahan yang diperlukan untuk ruang penyiangan, pencucian dan perendaman ikan (ikan pari dan ikan cucut saja yang direndam) yaitu seluas 6x2 m2.Ruang untuk tempat penyimpanan bahan baku ikan membutuhkan lahan seluas 6x1 m2. Ruang pengasapan membutuhkan lahan seluas 5x1 m2 yang digunakan sebagai tempat meletakkan batok kelapa seluas 1x1 m2 dan menempatkan 2 buah tungku pengasapan seluas 3x1 m2. Ruang pengangin-anginan dan pengemasan ikan asap yang sudah matang seluas 16,5 m2 (Gambar 22).
83
83
84
Pemanfaatan ruang dan lahan terkait proses produksi digambarkan sebagai berikut (Tabel 21):
Tabel 21 Skema pemanfaatan ruang dan lahan pada proses produksi pengolahan ikan asap di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 Alur Proses Produksi
Bagian proses produksi
1. Persiapan a. Penerimaan bahan baku ikan b. Penyortiran c.
2.
Penyiangan dan pencucian
3. Pengasapan 4.
Penganginanginan dan pengemas-an
Pemanfaatan Ruang, Lahan dan Luas (m2) Ruang
Ruang penerimaan bahan baku Ruang penyortiran Persiapan Ruang peralatan dan penyiapan bahan baku peralatan penunjang dan bahan pengolahan baku penunjang Penyiangan, Ruang pencucian penyiangan (untuk ikan dan pari dan ikan pencucian hiu juga direndam dengan air kunyit) dan penyiapan pengasapan Pengasapan Ruang ikan pengasapan PenganginRuang anginan dan Penganginan pengemasan dan pengemasan
Bagian bangunan atau lahan Bagian depan bangunan (7; 5)
Lantai 1
Bagian tengah bangunan (12) Bagian tengah bangunan (12)
1
Bagian tengah bangunan (12)
1
Bagian depan (5)
1
Bagian depan bangunan (16; 5)
1
1
Semua kegiatan produksi pengolahan ikan asap dilakukan di dalam rumah pada lantai dasar. Sama halnya dengan alur produksi ikan asin, kegiatan produksi ikan asap juga terlihat satu arah, namun tata letak tempat produksi ikan asap masih belum rapi karena belum terlihat pemisah-pemisah yang jelas antar ruang produksi. Hal ini dapat dikarenakan industri pengolahan ikan asin masih tergolong usaha mikro, masih menggunakan teknik-teknik pengolahan yang sudah turun menurun dari orang tua mereka dan proses pengolahan dilakukan secara manual tanpa mesin sehingga ruang-ruang produksi dirasa tidak terlalu dibutuhkan pada industri pengolahan ikan asin ini.
84
85
Lahan yang diberikan oleh Pengolahan Tradisional Hasil Perikanan PPI Muara Angke seluas 150 m2 mencukupi kebutuhan usaha pengolahan ikan asap karena usaha pengolahan ikan asap memerlukan lahan seluas 47 m2 dengan pembagian ruang seperti di atas. Sisa lahan yang ada digunakan pemilik untuk membuat halaman dimana alat-alat produksi yaitu panggangan-panggangan diletakkan di halaman rumah tersebut, ruang keluarga, dapur, kamar tidur pemilik (lantai bawah), kamar tidur pekerja (lantai atas) dan toilet.
6.2.3 Industri pengolahan ikan pindang Pihak Pengolahan Tradisional Hasil Perikanan PPI Muara Angke menyediakan lahan seluas 150 m2 untuk kegiatan produksi usaha pengolahan ikan pindang. Lahan tersebut dimanfaatkan oleh pemilik sebagai tempat memproduksi ikan pindang tongkol, ikan pindang layang dan ikan bandeng presto, sebagai tempat tinggal pemilik dan pekerja, dan warung dagangan pemilik. Ruang produksi untuk pengolahan ikan pindang ini berada pada tiga tempat yang tidak berjauhan satu sama lain. Lokasi pertama yaitu tempat produksi ikan pindang tongkol dan pemindangan ikan layang, lokasi kedua sebagai tempat memproduksi bandeng presto, dan lokasi ketiga merupakan tempat penyiapan ikan layang sebelum dipindang. Lokasi pertama yang merupakan lokasi utama tempat pengolahan ikan pindang tongkol dan layang terdiri dari bangunan 2 lantai. Lantai dasar dimanfaatkan untuk ruang produksi, tempat tinggal pemilik, dan warung milik istri salah satu pekerja; sedangkan lantai atas dimanfaatkan sebagai tempat tinggal pekerja. Lantai dasar dengan luas 150 m2 atau 5x30 m2 dimanfaatkan untuk ruang produksi seluas100 m2atau 5x20 m2, tempat tinggal pemilik seluas 30 m2 atau 10x3 m2, dan warung pemilik seluas 20 m2 atau 10x2 m2. Ruang produksi terdiri dari tempat pemindangan seluas 9x3 m2, tempat penyimpanan kayu bakar seluas 5x2 m2, luas penyiapan bahan baku, pengangin-anginan bahan baku ikan yang sudah dipindang dan pembersihan kepala dan isi perut ikan pindang tongkol seluas 11x5 m2. Bangunan lantai atas pada usaha pengolahan ikan pindang ini adalah seluas 50 m2 atau 5x10 m2 yang dimanfaatkan untuk kamar-kamar tidur untuk 10 orang pekerjanya. Lokasi kedua sebagai tempat produksi ikan bandeng presto seluas 3x2 m2. Lokasi kedua ini memanfaatkan lahan di seberang jalan lokasi industri pengolahan ikan pindang yang tidak terpakai yang juga masih termasuk wilayah PHPT PPI Muara Angke. Lokasi ini digunakan sebagai tempat penyiangan, pencucian, pemberian bumbu pada ikan bandeng dan perebusan hingga pengangin-anginan bandeng presto yang sudah jadi. Luas lahan yang dibutuhkan untuk proses penyiangan, pencucian dan pemberian bumbu seluas 3x1 m2 dan lahan yang dibutuhkan untuk tempat pemindangan ikan bandeng seluas 1,5x1 m2. Lokasi ketiga merupakan lokasi tempat pencucian dan penyiapan bahan baku ikan layang seluas 3x2 m2 digunakan sebagai tempat untuk menerima bahan baku ikan layang dan menyusunnya ke dalam besek untuk selanjutnya dapat direbus. Lokasi ini terletak bersebelahan dengan lokasi produksi bandeng dan mengambil lahan yang tidak terpakai di pinggir jalan (Gambar 23).
86
Alur produksi pengolahan ikan pindang ketiga jenis ikan tersebut tergolong satu arah, akan tetapi tidak ada pembatas yang jelas antar ruang-ruang produksi bahkan tidak jarang beberapa kegiatan dalam produksi dilakukan pada tempat yang sama. Hal ini dikarenakan proses pengolahan masih dilakukan secara konvensional dan turun temurun sehingga pembagian ruang-ruang produksi masih kurang dibutuhkan. Lahan yang diberikan oleh PHPT PPI Muara Angke seluas 150 m2 cukup untuk mengolah ketiga jenis ikan pindang yang hanya membutuhkan lahan seluas 104 m2. Hanya saja, pemilik berinisiatif untuk memanfaatkan lahan kosong di pinggir jalan yang tidak termanfaatkan serta memanfaatkan sisa lahan yang dari lahan yang diberikan PHPT PPI Muara Angke untuk membuka warung makanan dan kebutuhan sehari-hari. Warung ini dibuka untuk memenuhi kebutuhan para pekerja industri pindang ikan ini dan sekaligus dapat menambah penghasilan pemilik.
87
Gambar 23 Denah ruang dan lahan pada industri pengolahan ikan pindang di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012
87
88
Pemanfaatan ruang dan lahan terkait proses produksi digambarkan sebagai berikut (Tabel 22) : Tabel 22 Skema pemanfaatan ruang dan lahan pada proses produksi pengolahan ikan pindang di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 Alur Proses Produksi 1. Persiapan
Bagian proses produksi a. Penerimaan bahan baku ikan b. Penyortiran
c. Persiapan peralatan dan bahan baku penunjang pengolahan 2. Penyiangan Penyiangan, dan dan pencucian pencucian dan penyiapan pemindangan
3.
Pemin- Pemindangan dangan ikan
4. Pengangin- Penganginanginan anginan
Pemanfaatan Ruang, Lahan dan Luas Bagian bangunan atau lahan (m2) Ruang Bagian tengah penerimaan bangunan lokasi 1, bahan baku bagian depan lokasi 2 dan 3 (55; 3; 3) Ruang Bagian tengah penyortiran bangunan lokasi 1, bagian depan lokasi 2 dan 3 (55; 3; 3) Ruang Bagian tengah penyiapan bangunan lokasi 1, peralatan dan lokasi 2 dan 3 bahan baku (55; 6; 6) penunjang Ruang
Ruang penyiangan, pencucian dan penyiapan pemindangan Ruang pemindangan
Ruang penganginanginan
Lantai 1
1
1
Bagian tengah bangunan lokasi 1, lokasi 2 dan 3 (55; 3; 3)
1
Bagian belakang bangunan 1 dan bagian belakang lokasi 2 (27; 1,5 m2) Bagian tengah bangunan lokasi 1 dan bagian depan lokasi 2 (55; 5)
1
1
6.2.4 Industri pengolahan kulit ikan pari Pihak Pengolahan Tradisional Hasil Perikanan PPI Muara Angke menyediakan lahan seluas 900 m2 untuk 6 unit usaha pengolahan kulit ikan pari seperti telah dijelaskan sebelumnya pada subbab 4.2.3 dengan luas lahan untuk masing-masing pengusaha adalah 150 m2. Pemanfaatan lahan oleh usaha pengolahan kulit ikan pari hampir sama seperti usaha pengolahan ikan asin yaitu lahan tersebut dimanfaatkan untuk bangunan 2 lantai dengan ukuran 5x5 m2 dan lahan penjemuran berukuran 5x25 m2. 88
89
Industri pengolahan kulit ikan pari yang terbagi menjadi 2 jenis seperti telah disebutkan sebelumnya yaitu industri pengolahan kulit ikan hiu dan pari untuk konsumsi yang sekaligus mengolah tulangnya dan industri pengolahan kulit ikan pari untuk penyamakan. Kedua jenis industri pengolahan kulit ikan pari ini mempunyai kebutuhan luasan lahan yang berbeda pula untuk melakukan proses produksinya. Industri pengolahan kulit ikan untuk konsumsi membutuhkan lahan yang lebih banyak jika dibandingkan dengan industri pengolahan kulit ikan pari untuk penyamakan. Hal ini dikarenakan industri pengolahan kulit ikan untuk konsumsi juga memproduksi tulang ikan dan hiu untuk dijadikan kosmetik dan kebutuhan lahan untuk penjemuran juga semakin banyak dikarenakan tulang ikan juga perlu untuk dijemur. 1) Industri pengolahan kulit ikan pari untuk konsumsi Lahan untuk industri pengolahan kulit ikan pari untuk konsumsi dan tulang ikan untuk kosmetik memiliki empat lokasi untuk memenuhi kebutuhan lahan tempat produksi (Lampiran 4). Lokasi pertama merupakan lahan yang secara resmi disediakan pihak PHPT PPI Muara Angke seluas 150 m2 terdiri dari bangunan 2 lantai 5x5 m2dan lahan penjemuran 5x25 m2. Bangunan lantai dasar yang berukuran 25 m2 atau 5x5 m2 dimanfaatkan untuk tempat pengemasan, ruang kerja dan toilet, sedangkan bangunan lantai atas yang juga seluas 25 m2 atau 5x5 m2 dimanfaatkan untuk kamar tidur pemilik dan keluarga, dan ruang keluarga. Ruang pengemasan seluas 5x1,25 m2. Ruang kerja seluas 2,5x2,5 m2 dan toilet seluas 2,5x1,25 m2. Lahan untuk lokasi kedua diperoleh pemilik melalui pembelian hak pakai lahan dan bangunan milik pengolah lain. Lokasi tersebut dibeli seharga Rp 45.000.000,00 dan kemudian dibangun kembali oleh pemilik yang baru sesuai dengan kebutuhan pemilik baru. Lokasi kedua merupakan tempat produksi untuk tulang dan kulit dari ikan hiu dan pari, hanya saja di tempat ini lebih banyak digunakan sebagai tempat memproduksi tulang ikan. Lokasi kedua ini hanya terdiri dari bangunan satu lantai berupa kios tanpa pintu berukuran 25 m2 atau 5x5 m2 dan lahan penjemuran 125 m2 atau 5x25 m2. Ruang-ruang produksi yang ada pada lokasi kedua ini yaitu tempat penyiangan tulang ikan seluas 8 m2 atau 2x4m2dan terdapat tempat perendaman tulang seluas 1x1m2 di tempat penyiangan tersebut, tempat perebusan tulang seluas 2 m2 atau 1x2 m2, gudang penyimpanan tulang yang sudah kering seluas 9 m2 atau 3x3 m2. Sama halnya dengan lokasi kedua, lokasi ketiga milik industri pengolahan kulit dan tulang ikan juga diperoleh dari pembelian hak pakai lahan dan bangunan milik pengolah lainnya. Lokasi ketiga ini juga dibeli seharga Rp 45.000.000,00 dan dibangun kembali menjadi bangunan yang sesuai dengan keinginan pemilik baru. Luas lahan untuk lokasi ketiga ini adalah 150 m2 terdiri dari bangunan kios satu lantai ukuran 5x5 m2 dan lahan jemuran ukuran 5x25 m2. Ruang produksi pada lokasi ketiga berupa tempat penyiangan ikan utuhuntuk selanjutnya diambil kulit dan tulangnya atau penyiangan bahan baku yang sudah berupa kulit ikanseluas 15 m2, tempat penyimpanan kulit ikan hiu dan pari yang sudah kering seluas 3x3 m2, dan bak berukuran 1x1 m2. Lokasi keempat hanya berupa lahan penjemuran berukuran 125 m2 atau 5x25 m2. Lahan penjemuran ini diperoleh pemilik industri pengolahan kulit dan
90
tulang ikan ini dengan cara menyewa kepada tetangga pengolah dengan biaya Rp 4.000.000,00 per tahun. Lahan penjemuran ini bisa digunakan untuk menjemur tulang atau kulit ikan (Gambar 24). Industri pengolahan kulit ikan pari dan hiu untuk konsumsi dan tulang ikan hiu dan pari untuk kosmetik membutuhkan lahan seluas 559,25m2 yang terdiri dari 59,25 m2 lahan bangunan dan 500 m2 lahan penjemuran. Lahan bangunan seluas 59,25 m2 tersebut digunakan sebagai ruang-ruang produksi seperti yang telah dijelaskan sebelumya, sedangkan lahan penjemuran digunakan untuk menjemur kedua jenis produk. Pemanfaatan ruang dan lahan terkait proses produksi digambarkan pada Tabel 23 dan 24. Alur proses produksi kulit dan tulang tersebut tidak satu arah akibat kegiatan produksi yang dilakukan pada berbagai tempat. Hal ini dikarenakan jumlah produksi yang cukup besar sehingga lahan yang disediakan PHPT PPI Muara Angke tidak mencukupi sehingga mengharuskan pengolah memilih alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan lahannya. Alternatif lokasi yang diperoleh tidak terlalu dekat antar lokasi pengolahan. Lahan produksi sementara yang disediakan Pengolahan Tradisional Hasil Perikanan PPI Muara Angke untuk memenuhi kebutuhan pengolahan hanya seluas 150 m2sehingga pemilik usaha menggunakan alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut yaitu dengan menyewa lahan penjemuran kepada tetangga pengolah dan melakukan pembelian hak pakai lahan dan bangunan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
91
Gambar 24 Denah ruang dan lahan produksi pada industri pengolahan kulit dan tulang ikan di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012
91
92
Gambar 24 lanjutan
93
Tabel 23 Skema pemanfaatan ruang dan lahan pada proses produksi pengolahan kulit ikan pari dan hiu untuk konsumsi di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 Alur Proses Produksi 1. Persiapan
2. Penyiangan 5.
Bagian proses produksi
Ruang
a. Penerimaan bahan baku ikan b. Penyortiran
Ruang penerimaan bahan baku Ruang penyortiran
c. Persiapan peralatan
Ruang penyiapan peralatan Ruang penyiangan Lahan penjemuran
Penyiangan
Lahan Penjemuran penjemuran kulit ikan pari
6. Penganginanginan dan penyimpanan kulit ikan pari yang sudah kering
Pemanfaatan Ruang, Lahan dan Luas
Penganginanginan dan penyimpanan kulit yang sudah kering
Ruang penganginanginan dan penyimpanan kulit yang sudah kering
Bagian bangunan atau lahan (m2) Bagian depan bangunan lokasi 3 (8) Bagian depan bangunan lokasi 3 (8) Bagian depan bangunan 3 (8) Bagian depan bangunan (8) Bagian belakang bangunan lokasi 3 dan lokasi 4 (125 s/d 250) Bagian belakang bangunan (6,25)
Lantai 1
1
1
1 1
1
2) Industri pengolahan kulit ikan pari untuk penyamakan Industri pengolahan yang secara khusus melakukan pengolahan kulit ikan pari untuk penyamakan di PHPT PPI Muara Angke berjumlah 5 industri dan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya juga bahwa masing-masing industri pengolahan kulit ikan pari di PHPT PPI Muara Angke ini diberikan fasilitas lahan 150 m2 dengan bangunan 2 lantai seluas 5x5 m2 dan lahan penjemuran seluas 5x25 m2. Lantai dasar pada bangunan tersebut dimanfaatkan untuk ruang-ruang produksi yaitu ruang penyiangan dan pencucian kulit ikan, tempat penyimpanan bahan baku kulit ikan pari, tempat penyimpanan bahan baku kulit ikan kering, tempat pengemasan, tempat penampungan air yang digunakan untuk mencuci kulit ikan pari. Lantai atas bangunan dimanfaatkan sebagai tempat tinggal pemilik dna keluarga. Lahan yang dibutuhkan pada usaha pengolahan ikan pari tersebut untuk ruang penyiangan dan pencucian seluas 2x3 m2, ruang untuk penyimpanan bahan baku seluas 2,5x1 m2, ruang untuk penyimpanan bahan baku kulit yang sudah kering seluas 8,5 x1 m2, ruang pengemasan kulit ikan pari seluas 7,5x10 m2, dan
94
tempat penampungan air seluas 2x1 m2. Lantai atas bangunan yang juga seluas 20x10 m2 dimanfaatkan untuk kamar tidur pemilik dan keluarga, dapur, dan ruang keluarga (Gambar 25). Tabel 24 Skema pemanfaatan ruang dan lahan pada proses produksi pengolahan tulang ikan untuk kosmetik di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 Alur Produksi
Proses
1. Persiapan
Bagian proses produksi a.
b. c.
Penerimaan bahan baku ikan Penyortiran Persiapan peralatan
2. Penyiangan
Penyiangan
3.
Perendaman tulang ikan
Perendaman tulang ikan
4.
Perebusan tulang
Perebusan tulang
5.
Lahan penjemuran
Penjemuran tulang ikan
6.
Penganginanginan dan penyimpanan tulang ikan yang sudah kering
Penganginanginan dan penyimpanan tulang ikan yang sudah kering
7.
Pengemasan tulang
Pengemasan tulang yang akan dijual
Pemanfaatan Ruang, Lahan dan Luas Ruang Ruang penerimaan bahan baku Ruang penyortiran Ruang penyiapan peralatan Ruang penyiangan Ruang perendaman tulang ikan Ruang perebusan tulang Lahan penjemuran
Ruang penganginanginan dan penyimpanan tulang ikan yang sudah kering Ruang pengemasan tulang
Bagian bangunan atau lahan (m2)
Lantai
Bagian depan bangunan lokasi 2 (8)
1
Bagian depan bangunan lokasi 2 (8) Bagian belakang bangunan (8)
1
Bagian depan bangunan (8) Bagian samping bangunan lokasi 2 (1)
1
Bagian belakang bangunan lokasi 2 (2)
1
Bagian belakang bangunan lokasi 1 dan bagian belakang bangunan lokasi 2 (125 s/d 250) Bagian belakang bangunan (9)
1
Bagian depan bangunan lokasi (6,25)
1
1
1
1
95
Pemanfaatan ruang dan lahan terkait proses produksi digambarkan sebagai berikut (Tabel 25):
Tabel 25 Skema pemanfaatan ruang dan lahan pada proses produksi pengolahan kulit ikan pari untuk penyamakan di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 Alur Produksi
Proses
1. Persiapan
Bagian proses produksi a.
b. c.
2.
3.
Penyiangan dan pencucian
Lahan penjemuran 4. Penyimpanan kulit ikan pari yang sudah kering 5. Penganginanginan dan engemasan
Penerimaan bahan baku ikan dan penyimpanan bahan baku Penyortiran cPersiapan peralatan
Penyiangan pencucian
dan
Penjemuran kulit ikan pari Penyimpanan kulit yang sudah kering Penganginanginan dan pengemasan kulit ikan pari
Pemanfaatan Ruang, Lahan dan Luas (m2) Ruang Ruang penerimaan bahan baku dan penyimpanan bahan baku Ruang penyortiran Ruang penyiapan peralatan Ruang penyiangan dan pencucian Lahan penjemuran Ruang penyimpanan kulit yang sudah kering Ruang penganginangnan kulit dan pengemasan
Bagian bangunan atau lahan
Lantai
Bagian belakang (6; 2,5)
samping bangunan
1
Bagian bangunan (6) Bagian bangunan (6)
belakang
1
belakang
1
Bagian bangunan (6)
belakang
1
Bagian belakang bangunan (180) Bagian belakang bangunan (8,5)
1
Bagian depan bangunan (25)
1
1
96
Gambar 25 Denah ruang dan lahan pada industri pengolahan kulit ikan pari di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012
97
Kegiatan produksi pada industri pengolahan kulit ikan pari untuk penyamakan dilakukan satu arah, hanya saja tata letak pada tempat produksi kulit ikan masih belum rapi karena belum terlihat pemisah-pemisah yang jelas antar ruang produksi. Hal ini dikarenakan proses produksi kulit ikan pari di PHPT PPI Muara Angke masih dilakukan secara konvensional. Kebutuhan lahan untuk satu industri pengolahan kulit ikan pari yaitu seluas 224 m2. Dari luas tersebut digunakan untuk membuat bangunan 2 lantai dan lahan penjemuran. Luas bangunan 2 lantai pada usaha pengolahan kulit ikan pari ini seluas 44 m2 dan lahan penjemuran seluas 180 m2. Kekurangan akan lahan ini dipenuhi oleh pemilik industri dengan cara membeli hak pakai lahan dan bangunan milik pengolah lainnya. Pengalihan hak pakai lahan dan bangunan tersebut dikenakan kepada pemilik baru dengan biaya sebesar Rp 90.000.000,00 untuk lahan seluas 150 m2. Kemudian bangunan alih hak tersebut dibongkar dan dibangun kembali sesuai keinginan pemilik yang baru. Industri pengolahan ikan di kawasan PPI Muara Angke merupakan salah satu sektor yang mulai dikembangkan oleh pihak PPI Muara Angke dilihat dari rencana relokasi PHPT PPI Muara Angke dan memodernisir kegiatan pengolahan pada industri-industri pengolahan ikan yang ada di PHPT PPI Muara Angke tersebut dalam rencana pengembangan kawasan minapolitan Pelabuhan Perikanan Muara Angke tahun 2011-2015. Lahan yang disediakan oleh PHPT PI Muara Angke untuk masing-masing industri seluas 150 m2, sedangkan per unit jenis industri pengolahan di PHPT PPI Muara Angke menggunakan luasan lahan masing-masing berkisar 150 m2-540 m2 untuk industri pengolahan ikan asin, 47 m2 untuk industri pengolahan ikan asap, 104 m2 untuk industri pengolahan ikan pindang, 559,25 m2 untuk industri pengolahan kulit ikan untuk konsumsi dan tulang ikan untuk kosmetik, dan 224 m2 untuk industri pengolahan kulit ikan untuk penyamakan (Tabel 26). Hal tersebut menunjukkan bahwa PHPT PPI Muara Angke hanya mencukupi kebutuhan luasan lahan untuk industri pengolahan ikan asap dan industri pengolahan ikan pindang, sedangkan kebutuhan lahan untuk industri pengolahan ikan asin, industri pengolahan kulit ikan untuk konsumsi dan tulang ikan untuk kosmetik, dan industri pengolahan kulit ikan untuk penyamakan tidak dapat dipenuhi oleh PHPT PPI Muara Angke. Pengolahpengolah yang tidak terpenuhi kebutuhan lahan untuk usaha pengolahannnya memilih alternatif lain untuk memenuhi kebutuhannya yaitu melakukan peminjaman lahan penjemuran kepada pengusaha pengolah ikan asin lainnya (tetangga pengolah, menyewa kios, menyewa lahan penjemuran di lapangan dekat pantai dan melakukan pembelian hak pakai lahan dan bangunan pengolah ikan asin (pengalihan hak pakai).
98
Tabel 26 Penggunaan lahan, bahan baku dan produksi per tahun, frekuensi produksi per bulan, dan kapasitas proses olahan per produsi pada industri pengolahan ikan di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 Jenis Industri Penggunaan Produksi Penggun Frekuensi Produksi per Pengolahan (m2) yang a-an produksi/ proses Ikan dihasilka bahan bulan produksi nper baku per (kali) tahun tahun (kg) (kg) 1. Industri pengolaha n ikan asin - Dengan 840.000 168.000 28 5.000 kg 150 540 perebusan - Tanpa 168.000- 336.00028 1.000-3.000 150 540 perebusan 504.000 1.008.00 kg 0 2. Industri 47 21.60033.60028 100-150 kg pengolaha 25.200 50.400 n ikan asap 3. Industri 104 105.840- 175.68028 630-740 kg pengolaha 124.320 248.640 n ikan pindang 4. Industri 28 pengolaha n kulit ikan - Industri 559,24 25.200 42.000 28 1.500 kulit pengolaha kulit ikan kulit ikan ikan pari dan n kulit pari dan pari dan hiu dan 300ikan untuk hiu, dan hiu, dan 400 tulang konsumsi 100.800- 100.800ikan pari dan dan tulang 134.400 134.400 hiu ikan untuk tulang tulang kosmetik ikan pari ikan pari dan hiu dan hiu - Industri 224 42.000 84.000 28 250 (500 pengolaha (168.000 (168.000 lembar) n kulit lembar) lembar) ikan untuk penyamakan Industri pengolahan ikan yang membutuhkan luasan lahan paling besar adalah indutri pengolahan kulit ikan untuk konsumsi dan tulang ikan untuk
99
kosmetik yaitu seluas 575 m2 dan industri pengolahan ikan yang membutuhkan luasan lahan terbesar kedua adalah industri pengolahan ikan asin yaitu seluas 150540 m2. Sehingga dalam perencanaan pembangunan industri pengolahan ikan indutri pengolahan kulit ikan untuk konsumsi dan tulang ikan dan industri pengolahan ikan asin perlu disediakan lahan yang cukup luas. Hal ini sesuai dengan pernyataan Budiyanto (2001) bahwa industri pengolahan ikan asin di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan dengan skala usaha > 3 ton/hari membutuhkan lahan seluas 320,25 m2 untuk masing-masing industri dan lahan seluas 92,3 m2 untuk setiap industri pengolahan ikan asin dengan skala usaha < 3 ton/hari.
100
7 ANALISIS USAHA INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN DI PHPT PPI MUARA ANGKE 7.1 Industri Pengolahan Ikan Asin Usaha industri pengolahan ikan asin di PHPT PPI Muara Angke saat ini dapat diduga berada pada kondisi menguntungkan bagi para pengusaha pengolah. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu kegiatan produksi yang cukup sederhana sehingga modal yang diperlukan tidak besar, biaya sewa lahan tergolong murah (hanya sebesar Rp 600.000,00 per tahunnya), dan usaha pengolahan ikan asin ini sudah memiliki pasar atau pelanggan tetap untuk pemasaran produknya. Analisis usaha industri pengolahan ikan asin ini dapat diketahui melalui biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pengusaha dan besaran penerimaan (omsetnya). Analisis usaha industri pengolahan ikan asin dihitung dengan menggunakan duacara, cara pertamaialah analisis usaha yang di dalam proses produksinya memakai metode perebusan dan dalam satu kali proses produksi menggunakan bahan baku ikan sebanyak 5.000 kg. Cara kedua ialah analisis usaha yang di dalam satu kali proses produksinya tanpa menggunakan metode perebusan dan dalam satu kali proses produksi memakai bahan baku ikan sebanyak 2.000 kg ikan. Dalam perhitungan analisis usaha tersebut digunakan satu tahun produksinya adalah 11 bulan.
7.1.1 Biaya investasi Biaya investasi pada usaha pengolahan ikan asin dengan metode perebusan adalah sebesar Rp 463.660.000,00 untuk masing-masing usaha industrinya. Biaya yang dikeluarkan tersebut adalah lebih banyak Rp 348.020.000,00 atau 301 % dibandingkan dengan kebutuhan investasi usaha pengolahan ikan asin tanpa metode perebusan. Biaya investasi tersebut di atas dikeluarkan untuk membeli bangunan awal, merenovasi dan menambah bangunan, membuat tempat perebusan, membuat bak perendaman, membeli ember fiber, membuat para-para, membeli gerobak dan mobil pick up, serta membuat surat izin usaha perdagangan (SIUP) dan surat izin penghunian (SIP). Masa SIUP berlaku selama usaha tersebut berlangsung, sedangkan SIP adalah selama pengusaha menempati dan memiliki usaha di PHPT PPI Muara Angke tersebut. Rincian biaya selengkapnya dijelaskan pada Lampiran 2. Biaya investasi untuk usaha industri pengolahan ikan asin tanpa metode perebusan di PHPT PPI Muara Angke adalah sebesar Rp 115.640.000,00. Biaya tersebut digunakan untuk membeli bangunan awal, merenovasi dan menambah bangunan, membuat bak perendaman, membeli ember fiber, membuat para-para, dan membuat SIUP dan SIP. Rincian biaya selengkapnya dijelaskan pada Lampiran 3.
100
101
7.1.2 Biaya usaha/pengeluaran Biaya usaha yang dikeluarkan oleh usaha industri pengolahan ikan asin di PHPT PPI Muara Angke terdiri dari biaya tetap, biaya tidak tetap (variabel), dan biaya penyusutan. Biaya tetap yang dikeluarkan industri pengolahan ikan asin dengan metode perebusan ini selama satu tahun adalah sebesar Rp 148.453.334,00. Biaya tetap tersebut dikeluarkan setiap tahunnya untuk biaya-biaya sewa lahan usaha (450 m2) ke PHPT PPI Muara Angke, sewa lahan penjemuran di lapangan dekat pantai, pembelian keranjang, perawatan-perawatan tempat perebusan, bak perendaman, ember fiber, gerobak, para-para, dan mobil pick up, upah tenaga kerja dan biaya-biaya penyusutan. Jumlah biaya penyusutan untuk usaha industri pengolahan ikan asin terdiri dari biaya-biaya penyusutan bangunan, bak perendaman ember fiber dan para-para. Rincian biaya selengkapnya dijelaskan pada Lampiran 2. Biaya tetap yang dikeluarkan untuk usaha industri pengolahan ikan asin tanpa perebusan di PHPT PPI Muara Angke selama satu tahun adalah Rp 80.113.333,00 atau lebih kecil Rp 68.320.001,00 dibanding biaya tetap usaha industri pengolahan ikan asin dengan perebusan. Biaya tetap tersebut dikeluarkan setiap tahunnya untuk biaya-biayamenyewa lahan usaha (150 m2) ke PHPT PPI Muara Angke, menyewa lahan penjemuran ke tetangga, perawatan bangunan, perawatan bak perendaman, perawatan ember fiber, dan perawatan para-para, upah tenaga kerja, dan biaya-biaya penyusutan. Penyusutan merupakan dana yang dicadangkan dalam setiap tahun proyek agar di akhir tahun proyek (tahun ke-30), pengusaha dapat membeli atau mengganti semua bangunan, lahan dan peralatan yang dapat dianggap habis atau masih ada di akhir tahun 30.Pada industri pengolahan ikan asin dengan menggunakan metode perebusan, biaya penyusutannya terdiri dari biaya-biaya penyusutan bangunan, tempat perebusan, bak perendaman, gerobak, para-para, dan biaya penyusutan mobil pick up. Rincian biaya selengkapnya dijelaskan pada Lampiran 3. Biaya tidak tetap yang dikeluarkan usaha pengolahan ikan asin dengan menggunakan metode perebusan adalah sebesar Rp 21.947.930.000,00 dan untuk usaha pengolahan ikan asin tanpa metode perebusan sebesar Rp 3.440.200.000,00. Biaya tidak tetap pada usaha industri pengolahan ikan asin dengan metode perebusan dikeluarkan untuk melakukan pembelian-pembelian bahan baku ikan, garam, pisau, kayu bakar, biaya bensin, upah tenaga kerja harian, biaya listrik, air, dan biaya kemasan (Lampiran 2), sedangkan pada usaha pengolahan ikan asin anpa metode perebusan biaya tidak tetap dikeluarkan untuk melakukan pembelian bahan baku ikan, garam, pembelian pisau, bensin, biaya listrik dan air, biaya kemasan, dan biaya angkutan (Lampiran 3). Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa besaran biaya usaha (jumlah biaya tetap, tidak tetap dan penyusutan) paling besar yang dikeluarkan oleh kedua jenis industri pengolahan ikan asin ini adalah biaya usaha industri pengolahan ikan asin dengan menggunakan metode perebusan yaitu Rp 22.096.383.334,00, sedangkan tanpa perebusan hanya 15,6% dari biaya usaha dengan metode perebusan. Sofia (2008) mengatakan bahwa untuk memperoleh keuntungan yang besar, cara yang paling umum digunakan oleh perusahaan atau industri adalah dengan menekan biaya produksi daripada menaikkan harga jual.
102
7.1.3 Penerimaan usaha Penerimaan usaha pengolahan ikan asin dengan menggunakan metode perebusan di PHPT PPI Muara adalah sebesar Rp 24.218.250.000,00 per tahun, sedangkan tanpa menggunakan metode perebusan adalah sebesar Rp 3.765.405.000,00 setiap tahunnya. Produk ikan asin oleh industri pengolahan ikan asin di PHPT PPI Muara tersebut dijual dalam satuan per kg dan per jenis ikan. Prasetyo (2010) mengatakan bahwa pengusaha industri pengolahan ikan asin dengan perebusan memiliki penerimaan usaha dalam sebulan bisa mencapai 2,5 miliar rupiah dan mendapatkan keuntungan tidak lebih dari 20%, sedangkan pengusaha industri pengolahan ikan asin tanpa perebusan memiliki penerimaan usaha sebesar 330 juta rupiah setiap bulannya. Secara umum penerimaan usaha pada kedua industri pengolahan ikan asin di PHPT PPI Muara Angke relatif berbanding lurus dengan jumlah bahan baku ikan yang digunakan dalam proses produksi. Semakin besar jumlah bahan baku yang diolah maka semakin besar juga penerimaan atau omset yang diterima industri pengolahan ikan asin tersebut. 7.1.4 Analisis usaha Berdasarkan analisis usaha seperti diterangkan pada Tabel 27, kedua jenis industri pengolahan ikan asin di PHPT PPI Muara Angke tergolong menguntungkan. Industri pengolahan ikan asin baik dengan atau tanpa perebusan dan juga industri pengolahan lainnya di PHPT PPI Muara Angke dikenakan biaya pajak. Tarif pajak yang dikenakan kepada Usaha Menengah Kecil dan Mikro sebesar 0,5% dari penerimaan untuk pelaku usaha dengan nilai penjualan hingga maksimal 300 juta rupiah, serta 2% untuk penjualan antara 300 juta rupiah hingga 4,8 miliar rupiah (Koran Jakarta 2012). Berdasarkan keuntungan kotor sebesar Rp 2.121.866.666,00 pada industri pengolahan ikan asin dengan perebusan di PHPT PPI Muara Angke dikenakan pajak sebesar 2%, sedangkan industri pengolahan ikan asin tanpa perebusan yang memiliki keuntungan kotor Rp 245.092.667,00 maka industri pengolahan ikan asin tersebut juga dikenakan pajak 2%. Keuntungan bersih atau penerimaan bersih sesudah pajak untuk industri pengolahan ikan asin dengan metode perebusan di PHPT PPI Muara Angke mencapai Rp 2.079.429.333,00 setiap tahun, sedangkan keuntungan bersih sesudah pajak untuk industri pengolahan ikan asin dengan metode perebusan setiap tahunnya sebesar Rp 240.189.834,00. Jumlah penerimaan usaha industri pengolahan ikan dengan metode perebusan adalah sebesar Rp 24.218.250.000,00 dan jumlah pengeluarannya adalah sebesar Rp 22.096.383.334,00 per tahun. Nilai R/C untuk industri pengolahan ikan asin dengan menggunakan metode perebusan ini yaitu 1,10 artinya setiap satu rupiah yang dikeluarkan mampu menghasilkan penerimaan sebesar Rp 1,10 dengan kata lain setiap satu rupiah yang dikeluarkan dapat menghasilkan keuntungan Rp 0,10. Karena nilai R/C >1 maka dapat diartikan bahwa industri pengolahan ikan asin dengan perebusan ini mendapat keuntungan dan layak. Hal ini sesuai dengan (Tampubolon et al. 2011) bahwa untuk melihat keadaan efisiensi suatu usaha, baik itu usaha dengan skala kecil maupun usaha dengan skala besar perlu dilakukan perhitungan Benefit Cost of Ratio (BCR) atau
103
rasio R/C, jika nilai BCR > 1 maka usaha tersebut layak diteruskan karena lebih menguntungkan, tetapi apabila nilai BCR < 1 maka usaha tersebut tidak layak untuk diteruskan karena mengalami kerugian.
Tabel 27 Analisis usaha pada industri pengolahan ikan asin dengan dan tanpa metode perebusan di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 Dengan Tanpa Biaya perebusan perebusan 463.660.000 115.640.000 1. Biaya investasi 2. Biaya usaha (pengeluaran) 2.1 Biaya tetap 148.453.334 80.113.333 2.2 Biaya tidak tetap 21.947.930.000 3.440.200.000 2.3 Jumlah biaya (2.1+2.2) 22.096.383.334 3.520.313.333 24.218.250.000 3.765.405.000 3. Penerimaan 4. Keuntungan 4.1 Keuntungan bersih sebelum pajak (32.3) 2.121.866.666 245.091.667 4.901.833 4.2 Pajak 42.437.333 4.3 Keuntungan bersih sesudah pajak (4.2240.189.834 2.4) 2.079.429.333
Berdasarkan jumlah keuntungan bersih sesudah pajak yang diperoleh industri pengolahan ikan asin dengan metode perebusan sebesar Rp 2.079.429.333,00 dan jumlah investasi sebesar Rp 463.660.000,00, maka diperoleh nilai ROI sebesar 448% yang artinya besar keuntungan yang dapat diambil dari industri pengolahan ikan asin ini yaitu sebesar 448% dalam satu tahun usaha. Nilai ini menunjukkan bahwa pada tahun pertama 448% (setelah dikurangi pajak) dari investasi bersih yang ditanamkan telah mampu dikembalikan pengusaha dalam waktu satu tahun. Nilai payback period (PP) untuk industri pengolahan ikan asin dengan metode perebusan ini adalah sebesar 0,22 artinya waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan investasi awal pada usaha industri pengolahan ikan asin dengan metode perebusan ini yaitu selama 0,22 tahun atau 2,64 bulan. Nilai PP pada industri pengolahan ini tergolong kecil. Menurut Ahmad (2000) vide Tampubolon et al. (2011) apabila semakin besar nilai PP maka semakin lama pengembalian modalnya, dan semakin kecil nilai PP, maka semakin cepat pengembalian modal dari usaha tersebut. Analisis usaha pada usaha pengolahan ikan asin tanpa metode perebusan di PHPT PPI Muara Angke memperoleh nilai R/C sebesar 1,07 berdasarkan jumlah penerimaan sebesar Rp 3.765.405.000,00 dan jumlah pengeluaran Rp 3.464.738.333,00 per tahun. Nilai ROI untuk usaha pengolahan ikan asin tanpa perebusan adalah sebesar 208% yang artinya besar keuntungan yang dapat diambil dari industri pengolahan ikan asin ini yaitu sebesar 254% dalam satu tahun usaha. Nilai PP sebesar 0,48 yang artinya waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan investasi awal yaitu selama 0,48 tahun atau 5,76 bulan.
104
7.2 Industri Pengolahan Ikan Asap Industri pengolahan ikan asap di PHPT PPI Muara Angke merupakan industri pengolahan ikan yang tergolong kecil jika dibandingkan dengan industri pengolahan ikan asin, ikan pindang dan pengolahan kulit ikan. Industri pengolahan ikan asap ini mengolahbahan baku dalam satu kali proses sebanyak 150 kg baik untuk jenis ikan layang maupun pari dan hiu. Jumlah bahan baku ikan yang diolah oleh industri pengolahan ikan asap dapat dikatakan sedikit jika dibandingkan dengan industri pengolahan ikan asin yang mengolah bahan baku 300-3.000 kg ikan dan industri pengolahan ikan pindang yang mengolah bahan baku ikan 740 kg dalam satu kali proses produksinya. Modal yang dibutuhkan oleh industri pengolahan ikan asap tidak begitu besar sehingga penerimaan usahanya pun tidak begitu besar. Untuk melihat besarnya omset atau penerimaan pada industri pengolahan ikan asap ini dilakukan analisis usaha meliputi R/C ratio, return of investement dan payback period. Dalam perhitungan analisis usaha pada industri pengolahan ikan asap ini digunakan satu tahun produksinya adalah 11 bulan.
7.2.1 Biaya investasi Biaya investasi usaha pengolahan ikan asap di PHPT PPI Muara Angke adalah sebesar Rp 113.300.000,00. Biaya tersebut digunakan untuk membelibangunan awal, merenovasi dan menambah bangunan, membuat panggangan sejumlah Rp 900.000,00, membuat tempat penyimpanan bahan baku ikan, membuat tungku pengasapan, membuat SIUP dan SIP.
7.2.2 Biaya usaha/pengeluaran Biaya usaha yang dikeluarkan usaha pengolahan ikan asap ini terdiri dari biaya tetap, biaya tidak tetap, dan biaya penyusutan. Biaya tetap yang dikeluarkan oleh industri pengolahan ikan asap ini selama satu tahun adalah sebesar Rp 45.786.667,00. Biaya tetap tersebut dikeluarkan untuk biaya-biaya sewa lahan usaha (150 m2) ke PHPT, pembuatan panggangan, pembelian ember plastik, perawatan bangunan, tempat penyimpanan bahan baku, tungku pengasapan, panggangan, upah tenaga kerja dan biaya-biaya penyusutan. Biaya-biaya penyusutan terdiri dari biaya penyusutan bangunan, tempat penyimpanan bahan baku, dan tungku pengasapan. Rincian biaya tetap selengkapnya dijelaskan pada Lampiran 4. Biaya tidak tetap untuk industri pengolahan ikan asap adalah sebesar Rp 661.906.667,00 per tahunnya. Biaya tersebut dikeluarkan untuk pembelianpembelian bahan baku ikan, lidi, batok kelapa, kertas minyak, transportasi, biaya listrik, air, dan biaya kemasan pada pengasapan ikan layang, sedangkan pada pengasapan ikan pari dan cucut biaya pembelian kertas minyak diganti dengan kunyit (Lampiran 4).
105
7.2.3 Penerimaan usaha Penerimaan usaha pada industri pengolahan ikan asap diperoleh dari hasil penjualan produk ikan asap baik ikan asap layang maupun ikan asap pari, dan hiu tergantung jenis bahan baku ikan yang diolah industri tersebut. Penerimaan usaha pada industri tersebut adalah sebesar Rp 705.600.000,00 setiap tahunnya untuk masing-masing usaha industri pengolahan ikan asap (Lampiran 4). Produk ikan asap oleh industri pengolahan ikan asap di PHPT PPI Muara Angke tersebut dijual per potong untuk jenis ikan asap pari dan hiu, sedangkan ikan asap layang dijual per ekor. Penerimaan usaha pada industri pengolahan ikan asap juga tergantung pada jumlah bahan baku ikan yang diolah. Semakin besar jumlah bahan baku ikan yang diolah, maka semakin besar pula omset atau penerimaan yang dapat diterima industri pengolahan ikan asin. Akan tetapi berbeda dengan produk ikan asin, produk ikan asap ini tidak tahan lama sehingga produk ikan asap tersebut harus dijual pada hari yang sama. Pemasaran produk ikan asap ini juga tergolong sempit yaitu hanya dipasarkan pada pasar lokal. Hal ini menyebabkan sulit untuk dilakukan peningkatan jumlah produksi pada industri pengolahan ikan asap yang kemudian berdampak pada penerimaan usahanya.
7.2.4 Analisis usaha Berdasarkan analisis usaha (Tabel 28) pada industri pengolahan ikan asap secara keseluruhan di PHPT PPI Muara Angke menguntungkan. Keuntungan bersih sesudah pajak untuk industri pengolahan ikan asap layang di PHPT PPI Muara Angke yaitu sebesar Rp 78.886.916,00 setiap tahunnya. Jumlah penerimaan usaha industri pengolahan ikan asap seperti telah dijelaskan sebelumnya adalah sebesar Rp 705.600.000,00 dan jumlah pengeluarannya sebesar Rp 661.906.667 per tahun sehingga diperoleh nilai R/C untuk usaha pengolahan ikan asap ini yaitu 1,13 yang artinya setiap satu rupiah yang dikeluarkan mampu menghasilkan penerimaan sebesar Rp 1,07 dengan kata lain setiap satu rupiah yang dikeluarkan dapat menghasilkan keuntungan Rp 0,38. Karena nilai R/C >1 maka dapat diartikan bahwa industri pengolahan ikan asap ini mendapat keuntungan. Berdasarkan nilai keuntungan bersih sesudah pajak dan jumlah investasi yang perlu dikeluarkan insutri pengolahan ikan asap ini diperoleh nilai ROI sebesar 38% yang artinya besar keuntungan yang dapat diambil dari industri pengolahan ikan asap ini yaitu sebesar 38% dalam satu tahun usaha. Nilai ini menunjukkan bahwa pada tahun pertama 38% (sesudah dikurangi pajak) dari investasi bersih yang ditanamkan telah mampu dikembalikan pengusaha dalam waktu satu tahun. Selanjutnya nilai PP untuk usaha pengolahan ikan pindang ini juga sebesar 2,61 artinya waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan investasi awal yaitu selama 2,61 tahun atau 31,32 bulan.
106
Tabel 28 Analisis usaha pada industri pengolahan ikan asap di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 Jumlah Biaya (rupiah) 113.300.000 1. Biaya investasi 2. Biaya usaha 45.786.667 2.1 Biaya Tetap 2.2 Biaya Tidak Tetap 616.120.000 661.906.667 2.3 JUMLAH BIAYA (2.1+2.2) 705.600.000 3. Penerimaan 4. Keuntungan 43.693.333 4.1 Keuntungan bersih sebelum pajak (3-2.3) 218.467 4.2 Pajak 43.474.866 4.3 Keuntungan bersih sesudah pajak (4.2-2.4)
7.3 Industri Pengolahan Ikan Pindang Industri pengolahan ikan pindang di PHPT PPI Muara Angke berdasarkan analisis usahanya yaitu R/C ratio, ROI, dan PP dapat digolongkan menguntungkan, sebagaimana akan dijelaskan pada subsubbab 7.3.4. Industri pengolahan ikan pindang yang mengolah bahan baku ikan sebanyak 740 kg dalam 1 kali proses produksinya. Industri pengolahan ikan pindang ini seperti telah dijelaskan pada subbab 5.1.3 tidak memberikan upah kepada para pekerjanya namun perusahaan hanya mengambil keuntungan Rp 2.000,00 untuk setiap produk yang dijual oleh para pekerjanya. Namun dalam perhitungan analisis usaha pada industri ini pengolahan ikan pindang tetap dihitung biaya yang dikeluarkan untuk upah tenaga kerja dan satu tahun produksi yang digunakan adalah 11 bulan.
7.3.1 Biaya investasi Biaya investasi untukusaha pengolahan ikan pindangdi PHPT PPI Muara Angkeadalah sebesar Rp 212.950.000,00. Biaya tersebut digunakan untuk membeli bangunan awal, merenovasi dan menambah bangunan, membeli tong perebusan, kompor gas, dan keranjang fiber, terpal plastik, dan mobil pick up, membuat meja kayu, dan membuat SIUP dan SIP. Rincian biaya lengkapnya dijelaskan pada Lampiran 5.
7.3.2 Biaya usaha/pengeluaran Biaya usaha pada usaha pengolahan ikan pindang ini terdiri dari biaya tetap, biaya tidak tetap dan biaya penyusutan. Biaya tetap yang dikeluarkan industri pengolahan ikan pindang ini selama satu tahun adalah sebesar Rp 183.263.333,00. Biaya tetap tersebut dikeluarkan untuk biaya-biaya sewa lahan (150 m2) ke PHPT,
107
perawatan bangunan, perawatan tong perebusan, perawatan kompor gas, perawatan keranjang fiber, perawatan meja kayu, perawatan terpal plastik, perawatan mobil pick up, upah tenaga kerja, dan biaya penyusutan. Biaya penyusutan tersebut terdiri dari biaya-biaya penyusutan bangunan, tong perebusan, kompor gas, keranjang fiber, meja kayu, terpal, dan mobil pick up. Biaya tetap selengkapnya dijelaskan pada Lampiran 5. Biaya tersebut dikeluarkan setiap tahunnya meskipun industri pengolahan ikan pindang tidak sedang melakukan kegiatan produksi. Biaya tidak tetap yang dikeluarkan industri pengolahan ikan pindang setiap tahunnya adalah sebesar Rp 2.473.924.100,00. Biaya tersebut digunakan untuk pembelian-pembelian bahan baku ikan, garam, pisau, besek, kayu bakar, gas, bensin, bumbu untuk bandeng presto, biaya listrik dan air (Lampian 5).
7.3.3 Penerimaan usaha Penerimaan usaha pada industri pengolahan ikan pindang adalah sebesar Rp 3.004.680.000,00 per tahun (Lampiran 5). Penerimaan tersebut diperoleh dari penjualan ikan pindang layang sebesar Rp 1.911.000.000,00, ikan bandeng presto Rp 882.000.000,00, dan ikan pindang tongkol sebesar Rp 211.680.000,00.
7.3.4 Analisis usaha Berdasarkan analisis usaha (Tabel 29) pada usaha industri pengolahan ikan pindang di PHPT PPI Muara Angke diketahui bahwa keuntungan bersih sesudah pajak yang dapat diperoleh industri ini adalah sebesar Rp 340.542.716,00. Berdasarkan analisis usaha juga diperoleh nilai R/C, ROI dan PP.
Tabel 29 Analisis usaha pada industri pengolahan ikan pindang di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 Biaya 1.
Biaya investasi
2.
Biaya usaha 2.1 Biaya tetap
Jumlah (rupiah) 212.950.000 183.263.333
2.2 Biaya tidak tetap
2.473.924.100
2.3Jumlah biaya (2.1+2.2)
2.657.187.433
3.
Penerimaan
3.004.680.000
4.
4. Keuntungan 4.1 Keuntungan bersih sebelum pajak (3-2.3) 4.2 Pajak
347.492.567 6.949.851
4.3 Keuntungan bersih sesudah pajak (4.2-2.4)
340.542.716
Jumlah penerimaan untuk industri pengolahan ikan pindang ini seperti telah dijelaskan sebelumnya adalah sebesar Rp 3.004.680.000,00 dan biaya operasional
108
yang dikeluarkan adalah sebesar Rp 2.657.187.433,00 per tahun sehingga diperoleh nilai R/C sebesar 1,13 artinya setiap satu rupiah yang dikeluarkan mampu menghasilkan penerimaan sebesar Rp 1,13 dengan kata lain setiap satu rupiah yang dikeluarkan dapat menghasilkan keuntungan Rp 0,13. Karena nilai R/C >1 maka dapat diartikan bahwa industri pengolahan ikan pindang ini mendapat keuntungan. Nilai ROI yang diperoleh sebesar 160% yang diperoleh dari pembagian keuntungan bersih sesudah pajak yaitu Rp 340.542.716,00 dengan jumlah investasi yang dikeluarkan Rp 212.950.000,00 setiap tahunnya. Besar keuntungan yang dapat diambil dari industri pengolahan ikan pindang ini yaitu sebesar 160% dalam satu tahun usaha. Nilai ini menunjukkan bahwa pada tahun pertama 160% (sebelum dikurangi pajak) dari investasi bersih yang ditanamkan telah mampu dikembalikan pengusaha dalam waktu satu tahun. Besarnya nilai ROI ini dikarenakan peralatan yang merupakan investasi pada industri pengolahan ikan pindang ini masih sederhana sehingga dapat menekan biaya investasi yang dikeluarkan dan memaksimalkan keuntungan yang bisa diperoleh. Nilai PP untuk usaha pengolahan ikan pindang ini adalah sebesar 0,63 artinya waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan investasi awal yaitu selama 0,63 tahun atau 8 bulan.
7.4 Industri Pengolahan Kulit Ikan Pari Industri pengolahan kulit ikan pari di PHPT PPI Muara Angke tergolong menguntungkan baik industri pengolahan kulit ikan pari untuk konsumsi dan tulang ikan untuk kosmetik maupun industri pengolahan kulit ikan untuk penyamakan, apabila dilihat dari analisis usahanya yang meliputi R/C ratio, ROI, dan PP; sebagaimana akan dijelaskan pada subsubbab berikut ini:
7.4.1 Biaya investasi Biaya investasi dikeluarkan baik oleh usaha pengolahan kulit ikan pari untuk konsumsi dan tulang ikan untuk kosmetik maupun usaha pengolahan kulit ikan pari untuk penyamakan. Biaya investasi yang dikeluarkan setiap tahunnya oleh setiap usaha pengolahan kulit ikan pari untuk konsumsi dan tulang ikan untuk konsumsi dengan skala produksi jumlah bahan baku yang digunakan sebanyak 400 kg tulang ikan dan 1.500 kulit ikan dalam 1 kali proses pengolahan adalah sebesar Rp 306.960.000,00. Biaya tersebut digunakan untuk membeli bangunan awal, merenovasi dan menambah bangunan, membuat bak penyimpanan bahan baku pada saat musim hujan, para-para, membeli tong perebusan, tempat perendaman dan mobil pick up, membuat SIUP dan SIP. Rincian biaya investasi selengkapnya dijelaskan pada Lampiran 6. Biaya investasi pada industri pengolahan kulit ikan pari untuk penyamakan dengan skala produksi yang mengolah bahan baku sebanyak 500 lembar kulit ikan pari dalam satu kali proses adalah sebesar Rp 380.330.000,00. Biaya tersebut dikeluarkan untuk membeli bangunan awal, membeli bangunan alih hak, merenovasi dan menambah bangunan, membuat bak penapungan air, meja tempat
109
penyimpanan bahan baku, dan para-para, membeli tong perebusan, tempat perendaman dan mobil pick up, membuat SIUP dan SIP. Rincian biaya selengkapnya dijelaskan pada Lampiran 7.
7.4.2 Biaya usaha/pengeluaran Biaya usaha kedua jenis usaha pengolahan kulit ikan pari di PHPT PPI Muara Angke ini terdiri dari biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap yang dikeluarkan usaha pengolahan kulit ikan untuk konsumsi dan tulang ikan untuk kosmetik di PHPT PPI Muara Angke adalah sebesar Rp 108.320.000,00 per tahun. Biaya tersebut digunakan untuk menyewa lahan dan bangunan kepada PHPT PPI Muara Angke, menyewa lahan penjemuran ke tetangga, perawatan bangunan, perawatan tong perebusan, perawatan tempat perendaman, perawatan bak penyimpanan bahan baku pada musim hujan, perawatan mobil pick up, perawatan para-para, upah tenaga, dan biaya penyusutan. Biaya penyusutan terdiri dari biaya-biaya penyusutan bangunan, tong perebusan, tempat perendaman, bak, para-para, dan mobil pick up (Lampiran 6). Pada industri pengolahan kulit ikan untuk penyamakan, biaya tetap yang dikeluarkan adalah sebesar Rp 103.479.999,00. Biaya tersebut dikeluarkan untuk menyewa lahan kepada PHPT PPI Muara Angke, perawatan tong, perawatan baskom, perawatan ember fiber, perawatan keranjang fiber, perawatan bak penampungan air, perawatan meja tempat penyimpanan bahan baku, perawatan para-para, perawatan mobil pick up, upah tenaga kerja, dan biaya penyusutan. Biaya penyusutan terdiri dari biaya-biaya penyusutan bangunan, tong sebagai tempat penyimpanan kulit ikan pari yang sudah kering, ember fiber, keranjang fiber, bak penampungan air, meja tempat penyimpanan bahan baku, mobil pick up, dan para-para sebesar (Lampiran 7). Biaya tidak tetap yang juga dikeluarkan oleh usaha pengolahan kulit pari untuk konsumsi dan tulang ikan untuk kosmetik membutuhkan biaya adalah sebesar Rp 6.081.075.000,00 (Lampiran 6), sedangkan usaha pengolahan kulit ikan pari untuk penyamakan mengeluarkan biaya tidak tetap sebesar Rp 1.783.079.999,00 (Lampiran 7).
7.4.3 Penerimaan usaha Penerimaan usaha industri pengolahan kulit ikan pari untuk konsumsi dan tulang ikan untuk kosmetik di PHPT PPI Muara Angke setiap tahunnya sebesar Rp 6.786.500.000,00 per tahun (Lampiran 6). Selanjutnya, penerimaan usaha pada industri pengolahan kulit ikan untuk penyamakan seluruhnya diperoleh sebanyak Rp 1.943.760.000,00 per tahun (Lampiran 7).
7.4.4 Analisis usaha Keuntungan bersih yang diperoleh industri pengolahan kulit ikan untuk konsumsi dan tulang ikan untuk kosmetik sebesar Rp 585.162.900,00 setiap
110
tahunnya (Tabel 30) dan keuntungan bersih sebesar Rp 241.964.101,00 per tahun (Tabel 31) untuk industri pengolahan kulit ikan pari untuk penyamakan.
Tabel 30 Analisis usaha pada industri pengolahan kulit ikan pari untuk konsumsi dan tulang ikan untuk kosmetik di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 Biaya 1.
Biaya investasi
2.
Biaya usaha 2.1 Biaya tetap
Jumlah (Rupiah) 306.960.000 108.320.000
2.2 Biaya tidak tetap
6.081.075.000
2.3 Jumlah biaya (2.1+2.2)
6.189.395.000
3.
Penerimaan
6.786.500.000
4.
Keuntungan 4.1 Keuntungan bersih sebelum pajak (3-2.3) 4.2 Pajak 4.3 Keuntungan bersih sesudah pajak (4.2-2.4)
597.105.000 11.942.100 585.162.900
Tabel 31 Analisis usaha industri pengolahan kulit ikan pari untuk penyamakan di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 Biaya 1.
Biaya investasi
2.
Biaya usaha 2.1 Biaya tetap
Jumlah (rupiah) 380.330.000 103.479.999
2.2 Biaya tidak tetap
1.679.600.000
2.3 Jumlah biaya (2.1+2.2)
1.783.079.999
3.
Penerimaan
1.943.760.000
4.
Keuntungan 4.1 Keuntungan bersih sebelum pajak (3-2.3) 4.2 Pajak 4.3 Keuntungan bersih sesudah pajak (4.2-2.4)
243.180.001 1.215.900 241.964.101
Analisis usaha pada usaha pengolahan kulit ikan pari untuk konsumsi dan tulang ikan untuk kosmetik ini diperoleh nilai R/C, ROI dan PP. Berdasarkan jumlah penerimaan sebesar Rp 6.786.500.000,00 dan jumlah investasi yang harus dikeluarkan sebesar Rp 306.960.000,00 setiap tahunnya maka diperoleh nilai R/C untuk usaha pengolahan kulit ikan pari untuk konsumsi dan tulang ikan untuk kosmetik ini adalah sebesar 1,10. Artinya setiap satu rupiah yang dikeluarkan mampu menghasilkan penerimaan sebesar Rp 1,10 dengan kata lain setiap satu rupiah yang dikeluarkan dapat menghasilkan keuntungan Rp 0,10. Karena nilai R/C >1 maka dapat diartikan bahwa industri pengolahan ikan kulit ikan pari untuk konsumsi dan tulang ikan untuk kosmetik ini mendapat keuntungan. Berdasarkan hasil pembagian jumlah keuntungan bersih sesudah pajak dan jumlah investasi per tahunnya pada industri pengolahan kulit ikan pari untuk
111
konsumsi dan tulang ikan untuk kosmetik ini diperoleh nilai ROI sebesar 191% yang artinya besar keuntungan yang dapat diambil adalah sebesar 191% dalam satu tahun usaha. Nilai ini menunjukkan bahwa pada tahun pertama 191% (sebelum dikurangi pajak) dari investasi bersih yang ditanamkan telah mampu dikembalikan pengusaha dalam waktu satu tahun. Nilai ROI yang besar pada industri pengolahan kulit ikan pari untuk penyamakan ini dapat disebabkan oleh kegiatan pengolahan ini telah berlangsung lama. Selain itu, jumlah bahan baku diolah dalam waktu satu tahun dalam jumlah yang banyak sehingga omset penerimaan juga besar. Alat produksi yang digunakan juga masih sederhana sehingga biaya yang dikeluarkan untuk investasi menjadi lebih sedikit. Selanjutnya nilai PP untuk usaha pengolahan kulit ikan untuk konsumsi dan tulang ikan untuk kosmetik ini juga sebesar 0,52 artinya waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan investasi awal yaitu selama 0,52 tahun atau 6bulan. Analisis usaha pada usaha pengolahan kulit ikan pari untuk penyamakan di PHPT PPI Muara Angke memperoleh nilai R/C sebesar 1,09 sehingga dapat diartikan bahwa industri pengolahan ikan kulit ikan pari untuk penyamakan ini mendapat keuntungan. Nilai ROI yang diperoleh adalah sebesar 64% dan nilai PP sebesar 1,57 yang artinya waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan investasi awal yaitu selama 1,57 tahun atau 19 bulan. Industri-industri pengolahan ikan di PHPT PPI Muara Angke tergolong menguntungkan dilihat dari analisis usaha pada keempat jenis industri tersebut. Analisis R/C ratio pada industri pengolahan ikan tersebut lebih besar dari 1 yaitu berkisar antara 1,07 hingga 1,10 dan nilai R/C paling besar adalah pada industri pengolahan ikan pindang dan industri pengolahan kulit pari untuk penyamakan (Tabel 32). Nilai ROI pada industri pengolahan ikan di PHPT PPI Muara Angke ini berkisar antara 64% hingga 448% dan nilai ROI atau keuntungan yang dapat diambil paling besar adalah pada industri pengolahan ikan asin dengan perebusan. Nilai PP pada keempat industri pengolahan ikan tersebut berkisar antara 0,22 hingga 2,61 dan industri pengolahan ikan yang memiliki nilai PP paling kecil atau pengembalian modal paling cepat adalah industri pengolahan ikan asin dengan perebusan. Semakin besar nilai ROI menunjukkan bahwa skala usaha yang semakin besar pula pada industri pengolahan ikan tersebut sehingga penggunaan lahan untuk kegiatan produksinya pun semakin banyak. Besarnya penerimaan atau keuntungan bersih industri pengolahan ikan di PHPT PPI Muara Angke dipengaruhi oleh jumlah bahan baku yang diolah dalam proses produksinya. Semakin banyak bahan baku yang diolah maka semakin besar pula modal yang harus dikeluarkan pengusaha, namun akan semakin besar pula keuntungan yang diperoleh pengusaha industri pengolahan ikan.
112
Tabel 32 Nilai R/C, ROI, dan PP pada empat jenis industri pengolahan ikan di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 Jenis industri pengolahan ikan R/C ROI PP 1. Industri pengolahan ikan asin - Dengan Perebusan 1,10 448% 0,22 - Tanpa perebusan 1,07 208% 0,48 2. Industri pengolahan ikan asap 1,07 38% 2,61 3. Industri pengolahan ikan 1,13 160% 0,63 pindang 4. Industri pengolahan kulit ikan - Industri pengolahan kulit ikan untuk konsumsi dan tulang ikan untuk kosmetik - Industri pengolahan kulit ikan untuk penyamakan
1,10
191%
0,52
1,09
64%
1,57
8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan
113
1) (1)
(2)
(3) 2) (1)
(2)
(3)
3) (1)
Terkait dengan penggunaan bahan baku ikan diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Industri pengolahan di PHPT Kawasan PPI Muara Angke menggunakan bahan baku ikan per bulan masing-masing sebesar 140.000 kg untuk industri pengolahan ikan asin dengan perebusan dan 28.000-84.000 kg untuk industri pengolahan ikan asin tanpa perebusan, 2.800-4.200 kg untuk industri pengolahan ikan asap, 630-740 kg untuk industri pengolahan ikan pindang, 42.000 kg kulit ikan pari dan 8.400-11.200 kg tulang ikan untuk industri pengolahan kulit ikan pari untuk konsumsi dan tulang ikan untuk kosmetik, 14.000 lembar atau kurang lebih 7.000 kg untuk industri pengolahan kulit ikan pari untuk penyamakan. Kebutuhan bahan baku ikan dari sisi jenis ikan, jumlah dan kualitas belum dapat dipenuhi oleh pasokan hasil tangkapan didaratkan atau yang disediakan TPI PPI Muara Angke. Pasokan kebutuhan bahan baku juga diperoleh pihak pengusaha industri pengolahan melalui ikan yang masuk dari jalur darat ke PPI Muara Angke dan pihak pengusaha industri pengolahan membeli ikan ke cold storage PPS Nizam Zachman Jakarta dan cold storage PPI Muara Angke. Proses produksi masing-masing jenis olahan di PHPT Kawasan PPI Muara Angke masih bersifat sederhana dan tradisional. Terkait dengan penggunaan lahan diperoleh kesimpulan sebagai berikut Setiap unit jenis industri pengolahan di PHPTPPI Muara Angke menggunakan luasan lahan masing-masing berkisar 150 m2-650 m2 untuk industri pengolahan ikan asin, 47 m2 untuk industri pengolahan ikan asap, 104 m2 untuk industri pengolahan ikan pindang, 559,25 m2 untuk industri pengolahan kulit ikan untuk konsumsi dan tulang ikan untuk kosmetik, dan 224 m2 untuk industri pengolahan kulit ikan untuk penyamakan. Besaran luasan lahan yang disediakan untuk masing-masing jenis industri pengolahan ikan di PHPT Kawasan PPI Muara Angke telah ditentukan luasnya, sehingga apabila terjadi peningkatan produksi pengolahan yang membutuhkan penambahan luasan lahan, maka pengusaha pengolahan tidak dapat menambah luasan areal pengolahannya ke PHPT. Penambahan luasan lahan hanya dapat dilakukan melalui: a) menyewa lahan ke pengusaha pengolahan lainnya b) membeli /mengalihkan hak pakai lahan dari pengusaha pengolahan lainnya Penggunaan tata ruang yang jelas pada proses produksi setiap jenis industri pengolahan di PHPT Kawasan PPI Muara Angke belum dilakukan. Terkait dengan gambaran usaha diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Berdasarkan analisis usaha pada keempat jenis usaha pengolahan ikan di PHPT PPI Muara Angke menguntungkan. Nilai R/C terbesar atau senilai 1,15 adalah pada industri pengolahan ikan pindang dan industri pengolahan kulit pari untuk penyamakan. Nilai ROI paling besar atau 448% adalah pada industri pengolahan ikan asin dengan perebusan. Nilai PP paling kecil atau senilai 0,22 adalah industri pengolahan ikan asin dengan perebusan.
114
(2)
Jumlah penerimaan usaha yang diterima industri pengolahan ikan di PHPT PPI Muara Angke berbanding lurus dengan jumlah bahan baku yang diolah. Semakin banyak bahan baku yang diolah dalam proses produksi maka semakin besar pula penerimaan usahanya.
8.2 Saran 1) Pihak pelabuhan perikanan diharapkan meningkatkan kemampuannya dalam menyediakan bahan baku ikan untuk industri pengolahan ikan di PPI Muara Angke 2) Perlu penambahan luasan lahan bagi industri pengolahan di PHPT Kawasan PPI Muara Angke terutama untuk mengatasi peningkatan produksi olahan yang membutuhkan penambahan luasan lahan 3) Perlu peningkatan efisiensi proses pengolahan yang dilakukan oleh para pengusaha pengolah di PHPT Kawasan PPI Muara Angke 4) Perlu pembinaan terkait proses produksi dan penggunaan tata letak ruang untuk produksi bagi para pengusaha pengolahan tersebut di atas 5) Perlu penanganan kebersihan pada lokasi industri pengolahan ikan yang ada di PHPT PPI Muara Angke
DAFTAR PUSTAKA
Adawyah R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
115
Anisah RN dan Indah S. 2007. Kajian Manajemen Pemasaran Ikan Pindang Layang di Kota Tegal. http://eprints.undip.ac.id/4385/1/1-Rifka-1sd18.pdf [8 November 2011] Aulia F. 2011. Kondisi Pelayanan dan Kebutuhan Fasilitas Kepelabuhanan Terkait Penanganan Hasil Tangkapan di Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke [Skripsi]. Bogor: Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Badan Pusat Statistik Kota Jakarta Utara. 2011. Badan Pusat Statistik Kota Administrasi Jakarta Utara.http://jakutkota.bps.go.id.6 Juni 2012] Badan Pusat Statistik. 2012. Jumlah keberangkatan penumpang di Pelabuhan Tanjung Priok. www.bps.go.id/aboutus.php?id_subyek=17&tabel=1&fl=3. 6 Juni 2012] Budiyanto. 2001. Analisis Kelayakan Usaha Pengolahan Ikan dalam Pemanfaatan Tata Ruang Lahan PPNP di Kota Pekalongan. [Tesis]. Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta. 2010. Statistik Perikanan Tangkap Provinsi DKI Jakarta. Jakarta : Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta El. 2011. Kompasiana. http://sosbud.kompasiana.com/2011/04/26/cerita-tukangojek-tentang-kereta-api-i/6 Juni 2012] Firdaus M. 2008. Manajemen Agribisnis. Jakarta: PT. BumiAksara. Hadiyanto RS.2004. Industri Perikanan dan Pengaruhnya terhadap Berbagai Aktivitas Kepelabuhanan Terkait dengan Hasil Tangkapan Di Pelabuhan Perikanan Samudera Jakarta. [Skripsi]. Bogor: Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan IlmuKelautan, Institut Pertanian Bogor. Hanafiah AM dan AM Saefuddin. 1983. Tata Niaga Hasil Perikanan. Jakarta: UI Press Jakarta. Hasibuan, N. 1993. Ekonomi Industri: Persaingan, Monopolidan Regulasi. LP3ES, Jakarta. Hastuti NR., Pipih S dan Winarti Z. 1997. Pengaruh Kondisi Pengemasan dan Suhu Penyimpanan terhadap Mutu dan Daya Awet Bandeng (Cahnos chanos Forskal) Asap. Buletin Teknologi Hasil Perikanan Vol. 111 No. 1: 16-22 Hernanto F. 1989. Ilmu Usaha Tani. Jakarta : Penebar Swadaya. 309 hal. Heruwati ES.2002. Pengolahan Ikan Secara Tradisional. (http://www.pustakadeptan.go.id) [8 November 2011] Ibrahim B. 2004. Pendekatan Penerapan Produksi Bersih pada Industri Pengolahan Hasil Perikanan. Buletin Teknologi Hasil Perikanan. Vol VII Nomor 1. Indonesian Investment Coordinating Board. 2010. Profil Singkat Komoditi Ikan Tangkap. http:// regionalinvestment.com/newsipid/userfiles/komoditi/1 /ikan_profilsingkat.pdf. [25 November 2011] Indrianto J. 2006. Pengelolaan Aktivitas dan Pengembangan Pelabuhan Perikanan Pantai Muara Ciasem, Kabupaten Subang Ditinjau dari Aspek Fasilitas dan Kualitas Pemasaran Hasil Tangkapan [Skripsi]. Bogor: Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
116
Irianta FXG. 2008. Kajian Dampak Perkembangan Industri terhadap Kondisi Lahan di Kawasan Bawen Kabupaten Semarang [Tesis]. Semarang: Program Pascasarjana Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro. Irianto HE, Giyatmi S. 2009.Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta: Universitas Terbuka Kadir L. 2004. Pengaruh Suhu dan Lama Penyimpanan terhadap Jumlah Kandungan Bakteri dan Kualitas Fisik Ikan Tongkol Asap (Euthynnusafinis). Jurnal Bina Praja Vol. 6 No. 2:79-84. Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Peraturan. 2012. Per.08/Men/2012.http://infohukum.kkp.go.id/files_permen/PER%2008%2 0MEN%202012.pdf. Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.. 2012. PER.18/MEN/2006. http://dfw.or.id/wp-content/uploads/2011/10/referensi /PERMEN-2006-18.pdf. [6 Juni 2012] Krisdiyanto D. 2007. Analisis Efisiensi Pendaratan dan Pendistribusian Hasil Tangkapan di PPI Camplong Kabupaten Sampang Madura.[Skripsi]. Bogor: Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Koran Jakarta. 2012. Pajak Usaha Kecil Tidak Rasional. http://koranjakarta.com/index.php/detail/view01/10382524 November 2012 Lubis E, Eko SWdan M. Nirmalanti. 2010. Penanganan Selama Transportasi terhadap Hasil Tangkapan Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudera. Jurnal Mangrove dan Pesisir Vol. X No. 1: 1-7. Lubis E. 2012. Pelabuhan Perikanan. Bogor: IPB Press. Malik JS. 2006. Kajian Distribusi Hasil Tangkapan Ikan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke, Jakarta Utara. [Skripsi]. Bogor: Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pane AB. 2002. Diktat “Industri Kepelabuhan Perikanan”. Bogor: Lab. Pelabuhan Perikanan. Jurusan PSP FPIK IPB (tidak dipublikasikan). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2006. http://www.anggaran.depkeu.go.id/peraturan/PP%2019%20-%202006% 20-%20DKP.pdf18 Desember 2012 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Kawasan Industri. 2009. http://www.setneg.go.id/index.php? option=com_perundangan&id=2214&task=detail&catid=3&Itemid=42&ta hun=2009 [29Januari 2013] Pesona Indonesia. 2011. Jakarta Utara. http://www.pesonaindonesia.info/aboutjakarta/jakartautara. PHPT PPI Muara Angke. 2011. Profil Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT) Muara Angke. Jakarta: UPT. PKPP dan PPI. Dinas Kelautandan Pertanian Provinsi DKI Jakarta. Prasetyo H. 2010. Manisnya Laba dari Bisnis Ikan Asin. http://peluangusaha.kontan.co.id/news/manisnya-laba-dari-bisnis-ikanasin.27 November 2012 Priyatno N. 2007. Potensi Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap untuk Pengembangan Industri Pengolahan Ikan. [Skripsi]. Bogor: Program Studi
117
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Purnomo E. 2002. Penyamakan Kulit Ikan Pari. Yogyakarta: Kanisius. Santoso KD. 2010. Mempelajari Penerapan Sanitasi dan Mutu Keamanan Pengolahan Pindang Ikan Tongkol (Euthynnusaffinis) Studi Kasus di Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT) Muara Angke Jakarta Utara. [Skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 74 halaman. Setiawan H. 2006. Analisis Pendaratan dan Pemasaran Hasil Tangkapan dan Dampaknya Terhadap Sanitasi di Pelabuhan Perikanan Samudera Jakarta, Muara Baru DKI Jakarta. [Skripsi]. Bogor: Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Sofia LA. 2008. Analisis Ekonomi Usaha Perikanan Tangkap di Perairan Laut Kabupaten Kotabaru. Ai’Ulum Vol. 35 No. 1. Hal: 16-22. Status Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta. 2010. Tekanan Terhadap Lingkungan. http://bplhd.jakarta.go.id/slhd2010/pdf.6 Juni 2012] Sumiati.2008. Kajian Fasilitas dan Produksi Hasil Tangkapan dalam Menunjang Industri Pengolahan Ikan di PPN Palabuhanratu Sukabumi.[Skripsi]. Bogor: Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Sunea M. 2010. Efisiensi Pendaratan dan Pendistribusian Hasil Tangkapan di PPI Muara Angke, Jakarta. [Skripsi]. Bogor: Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Tampubolon DM, Muchtar A, dan Nurmatias. 2011. Analisis Finansial Usaha Perikanan Yang Berbeda Pemasarannya. Jurnal Perikanan dan Kelautan 16,1. Hal 79-89. Tomasina SU. 2010. Kajian Tingkat Pemenuhan Bahan Baku Industri Pengolahan Ikan di Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari, Sulawesi Tenggara (Studi Kasus PT. Kelola Mina Laut) [Skripsi]. Bogor: Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. UPT PKPP dan PPI. 2008. Profil Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke. Jakarta: UPT Pegelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke. Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta. UPT PKPP dan PPI Muara Angke. 2011. Profil UPT Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke. Jakarta: UPT PKPP dan PPI Muara Angke. Utomo Bagus SB, Ismael Marasabessy and Rizal S. 2009. Quality of Liquid Smoked Tuna in Plastic Packaging During Storage at Ambient Temperature. Jounal of Marine and Fisheries Postharvest and Biotechnology Vol. 4: 51-58 Wibowo S. 1996. Industri Pemindangan Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya. Wibowo S. 2000. Industri Pemindangan Ikan. Depok: Penebar Swadaya. Wibowo S., Murdinah dan Yusro N. F. 1986. Petunjuk Mendirikan Usaha Kecil. Jakarta: Penebar Swadaya.
118
Widiastuti I. M. 2005. Bakteri Patogen pada Ikan Pindang dalam Kadar Garam Yang Berbeda. Jurnal Ilmiah Santina Vol.2 No. 3: 279-287. Witry SDB. 2010. Kajian Produksi Hasil Tangkapan Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Pantai Muncar Kabupaten Banyuwangi Sebagai Bahan Baku Industri Pengolahan. [Skripsi]. Bogor: Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 122 halaman.
119
LAMPIRAN
120
Lampiran 1
120
121
Lampiran 2 Analisis usaha pada industri pangolahan ikan asindengan metode perebusan di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 1. BIAYA INVESTASI Lama pakai (tahun)
Jumlah (satuan)
Biaya per satuan (rupiah)
30
3
51.000.000
153.000.000
30
3
60.000.000
180.000.000
15
2
3.000.000
6.000.000
15
20
1.000.000
20.000.000
3
4
840.000
3.360.000
3
2
500.000
1.000.000
10
1
100.000.000
100.000.000
selama usaha selama menempati dan berusaha
-
-
150.000
-
-
150.000
Jenis investasi 1. 2.
3. 4. 5. 6. 7.
Bangunan awal (unit) Renovasi dan penambahan bangunan (unit) Tempat perebusan (unit) Bak perendaman (unit) Para-para (unit)
8.
Gerobak (unit) Mobil pick up (unit) SIUP (surat izin)
9.
SIP (surat izin)
Sub jumlah
Jumlah (rupiah)
463.660.000
2. PENGELUARAN/ BIAYA USAHA 2.1 Biaya Tetap Jumlah kebutuhan per tahun (satuan)
Rerata biaya per satuan per tahun (rupiah)
3
600.000
1.800.000
1
100.000
1.050.000
100
10.000
1.000.000
5. Perawatan bangunan (unit)
3
166.667
500.000
6. Perawatan tempat perebusan (unit)
2
150.000
300.000
7. Perawatan bak perendaman (unit)
Jenis biaya tetap 1. Sewa lahan usaha ke PHPT (paket, 1 paket seluas 150 m2) 2. Sewa lahan penjemuran ke tetangga (unit, 1 unit = 96 m2) 3. Keranjang (unit)
Jumlah(rupiah)
20
250.000
5.000.000
8. Perawatan para-para (unit)
4
166.667
666.668
9. Perawatan gerobak (unit)
3
200.000
600.000
10. Perawatan mobil pick up (unit)
1
3.000.000
3.000.000
11. Penyusutan bangunan
3
11.100.000
12. Penyusutan tempat perebusan
2
400.000
13. Penyusutan bak perendaman
20
1.333.333
14. Penyusutan gerobak
4
333.333
15. Penyusutan para-para
2
1.120.000
16. Penyusutan mobil pick up 17. Upah tenaga kerja (orang)
1
10.000.000
Sub jumlah
7
15.750.000
110.250.000 148.453.334
121
122
Lampiran 2 lanjutan 2.2 Biaya Tidak Tetap Jenis biaya tidak tetap
Jumlah kebutuhan per bulan (satuan)
Jumlah kebutuhan per tahun (satuan)
Rerata biaya per satuan per tahun (rupiah)
140.000
1.470.000
14.700
21.609.000.000
29.095
305.500
700
213.850.000
-
3
66.667
200.000
9
90
650.000
58.500.000
1.524
16.000
500
8.000.000
300.000
3.150.000
300.000
3.150.000
200.000
2.100.000
2.100.000
2.100.000
560.000
5.880.000
560.000
5.880.000
3
3
15.750.000
47.250.000
1. Biaya bahan baku (kg) 2. Biaya garam (kg) 3. Pembelian pisau (unit) 4. Kayu bakar (ton) 5. Biaya kemasan (kardus) 6. Biaya air (rupiah) 7. Biaya listrik per bulan (rupiah) 8. Bensin (rupiah) 9. Upah tenaga kerja harian(orang)
Jumlah (rupiah
Sub jumlah
21.947.930.000
2.3 JUMLAH BIAYA (TC) (2.1+2.2)
22.096.383.334
3. PENERIMAAN (TR) Jenis produk
Harga Produk Rupiah
Jumlah Produk Volume (kg)
Nilai (rupiah)
1.
Ikan asin selar
10.000
73.500
735.000.000
2.
Ikan asin tembang
12.000
73.500
882.000.000
3.
Cumi-cumi kering
40.500
514.500
20.837.250.000
4.
Ikan asin layang
20.000
88.200
1.764.000.000
749.700
24.218.250.000
Sub jumlah 4. KEUNTUNGAN (∏) 4.1 Keuntungan bersih sebelum (3-2.3) 4.2 Pajak 2 % 4.3 Keuntungan bersih sesudah pajak (4.1-4.2)
2.121.866.666 42.437.333 2.079.429.333
5. R/C
1,10
6. ROI
4,48
7. PP
0,22
Keterangan: R/C = Return cost ratio ROI = Return of investment PP = payback period
123
Lampiran 3 Analisis usaha pada industri pangolahan ikan asin tanpa metode perebusan di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 1. INVESTASI Jenis
30
1
60.000.000
60.000.000
15
2
1.000.000
2.000.000
5
3
500.000
1.500.000
3
1
840.000
840.000
150.000
150.000
150.000
150.000
30
4. Ember fiber (unit) 5. Para-para (unit)
7. SIP (surat izin)
51.000.000
Jumlah (satuan)
1. Bangunan (unit) 2. Renovasi dan penambahan bangunan (unit) 3. Bak perendaman (unit)
6. SIUP (surat izin)
1
Biaya per satuan (rupiah) 51.000.000
Lama pakai (tahun)
selama usaha selama menempati dan berusaha
Sub jumlah
Jumlah (rupiah)
115.640.000
2. PENGELUARAN/ BIAYA USAHA 2.1 Biaya Tetap Jenis biaya tetap 1. 2. 4.
Sewa lahan usaha ke PHPT (paket, 1 paket seluas 150 m2) Lahan penjemuran ke tetangga (unit, 1 unit= 125 m2) Perawatan bangunan (unit)
Jumlah kebutuhan
Biaya per satuan per tahun (rupiah)
Jumlah (rupiah)
1
600.000
600.000
2
4.000.000
8.000.000
1
200.000
200.000
100.000
5.
Perawatan bak perendaman (unit)
2
6.
Perawatan ember fiber (unit)
1
7.
Perawatan para-para (unit)
3
8.
Penyusutan bangunan
1
3.700.000
9.
Penyusutan bak perendaman
1
133.333
10.
Penyusutan ember fiber
2
300.000
11.
Penyusutan para-para
3
280.000
12.
Upah tenaga kerja (orang)
4
Sub jumlah
200000 200.000
166.667
16500000
500.000
66.000.000 80.113.333
124
Lampiran 3 lanjutan 2.2 Biaya Tidak Tetap Jenis biaya tidak tetap
Jumlah kebutuhan bulan
per
Jumlah kebutuhan tahun
per
Biaya satuan (rupiah)
per
Nilai (rupiah per tahun)
1.
Biaya bahan baku (kg)
56.00
56000
60900
3.410.400.000
2.
Biaya garam (kg)
2.400
25200
700
17.640.000
10
40000
400.000
60
630
500
315.000
100.000
3.150.000
100.000
3.150.000
150.000
1.575.000
1.575.000
1.575.000
560.000
6.720.000
560.000
6.720.000
3. 4.
Pisau (unit) Biaya kemasan (kardus) 5. Biaya air per bulan (rupiah) 6. Biaya listrik (rupiah) 7. Biaya angkutan/gerobak (rupiah) Sub jumlah
3.440.200.000 3.520.313.333
2.3 JUMLAH BIAYA (TC) 3. PENERIMAAN (TR) Harga produk Jenis ikan
(rupiah)
Jumlah produk Volume Nilai (rupiah) (kg) 80.850 646.800.000
1. Tembang
8.000
2. Selar
6.500
48.510
315.315.000
12.000
95.550
1.146.600.000
32.000
41.160
1.317.120.000
7.000
48.510
339.570.000
314.580
3.765.405.000
3. Layang Jumbo 4. Manyung 5. Bilis Jumlah 4. KEUNTUNGAN (∏) 4.1 Keuntungan bersih sebelum pajak (3-2.3) 4.2 Pajak 2% 4.3 Keuntungan bersih sesudah pajak (4.1-4.2)
245.091.667 4.901.833 240.189.834
5. R/C
1,07
6. ROI
2,08
7. PP Keterangan: R/C = Return cost ratio ROI = Return of investment PP = payback period
0,48
125
Lampiran 4 Analisis usaha pada industri pangolahan ikan asap di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 1. INVESTASI Jenis investasi
Lama pakai (tahun)
1. Bangunan awal (unit) 2. Renovasi dan penambahan ruangan (unit) 3. Tempat penyimpanan bahan baku (unit) 4. Tungku pengasapan (unit) 5. SIUP (surat izin) 6. SIP (surat izin)
30
Jumlah (satuan) 1
30
1
60.000.000
60.000.000
5
2
500.000
1.000.000
15
2
500.000
1.000.000
1
150.000
150.000
1
150.000
150.000
selama usaha selama menempati dan berusaha
Biaya per satuan (rupiah) 51.000.000
Sub jumlah
Nilai (rupiah) 51.000.000
113.300.000
2. PENGELUARAN ATAU BIAYA USAHA 2.1 Biaya Tetap Jenis biaya tetap 1. Sewa lahan usaha ke PHPT (paket, 1 paket seluas 150 m2) 2. Panggangan (unit)
Jumlah kebutuhan
Rerata biaya per satuan per tahun (rupiah)
Jumlah (rupiah)
1
600.000
600.000
30
30.000
900.000
3. Ember plastik (unit)
3
40.000
120.000
4. Perawatan bangunan (unit) 5. Perawatan tempat penyimpanan bahan baku (unit) 6. Perawatan tungku pengasapan (unit)
1
200.000
200.000
2
100.000
200.000
2
100.000
200.000
7. Penyusutan bangunan 8. Penyusutan tempat penyimpanan bahan baku 9. Penyusutan tungku pengasapan 8. Upah tenaga kerja (orang) Sub jumlah
3.700.000 200.000 66.667 3
13.200.000
39.600.000 45.786.667
126
Lampiran 4 lanjutan 2.2 Biaya Tidak Tetap Jumlah kebutuhan per bulan 4.200
Jumlah kebutuhan per tahun 44.100
Rerata biaya per satuan per tahun (rupiah) 13.000
840.000
8.820.000
8.820.000
10
40.000
400.000
112
1.176
15.000
17.640.000
5. Biaya kemasan (rupiah)
280.000
2.940.000
2.940.000
2.940.000
6. Biaya air (rupiah) 7. Biaya listrik per bulan (rupiah) 8. Biaya angkutan/gerobak (rupiah) Sub jumlah
400.000
4.200.000
4.200.000
4.200.000
200.000
2.100.000
2.100.000
2.100.000
560.000
6.720.000
6.720.000
6.720.000
Jenis biaya tidak tetap 1. Biaya bahan baku (kg) 2. Biaya kertas minyak (rupiah) 3. Pembelian pisau 4. Batok kelapa (karung)
Nilai (rupiah per tahun) 573.300.000 8.820.000
616.120.000
2.3 JUMLAH BIAYA (TC) (2.1+2.2)
661.906.667
3. PENERIMAAN (TR) Jenis ikan
Harga Produk
Jumlah produk
(rupiah)
Volume (kg)
Nilai (rupiah)
1.
Ikan layang kecil
2.500
176400
441.000.000
2.
Ikan layang besar
3.000
88200
264.600.000
264600
705.600.000
Jumlah penerimaan 4. KEUNTUNGAN (∏) 4.1 Keuntungan bersih sebelum (3-2.3) 4.2 Pajak 0,5 % 4.2 Keuntungan bersih sesudah pajak (4.1-4.2)
43.693.333 218.467 43.474.866
5. R/C
1,07
6. ROI
0,38
7. PP
2,61
Keterangan: R/C = Return cost ratio ROI = Return of investment PP = payback period
127
Lampiran 5 Analisis usaha pada industri pengolahan ikan pindang di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 1. INVESTASI
30
1
Biaya per satuan (rupiah) 51.000.000
30
1
60.000.000
60.000.000
5
3
100.000
300.000
4. Kompor gas (unit)
5
1
500.000
500.000
5. Keranjang fiber (unit)
5
2
275.000
550.000
6. Meja kayu (unit)
3
1
100.000
100.000
10
1
100.000.000
100.000.000
2
1
200.000
200.000
selama usaha selama menempati dan berusaha
1
150.000
150.000
1
150.000
150.000
Lama pakai (tahun)
Jenis investasi 1. Bangunan awal (unit) 2. Renovasi dan penambahan bangunan (unit) 3. Tong perebusan (unit)
7. Mobil pick up (unit) 8. Terpal plastik (unit) 9. SIUP (surat izin) 10. SIP (surat izin)
Jumlah (satuan)
Sub jumlah 2. PENGELUARAN/BIAYA USAHA 2.1 Biaya Tetap Jenis biaya tetap 1.
Jumlah (rupiah) 51.000.000
212.950.000
Jumlah kebutuhan per tahun (satuan)
Rerata biaya per satuan per tahun (rupiah)
Jumlah(rupiah)
1
600.000
600.000
1
200.000
200.000
2.
Sewa lahan usaha ke PHPT (paket, 1 paket seluas 150 m2) Perawatan bangunan (unit)
3.
Perawatan tong perebusan (unit)
3
33.333
100.000
4.
Perawatan kompor gas (unit)
1
50.000
50.000
5.
Perawatan keranjang fiber (unit)
2
50.000
100.000
6.
Perawatan meja kayu (unit)
1
20.000
20.000
7.
Perawatan mobil pick up (unit)
1
3.000.000
3.000.000
8.
Perawatan terpal plastik (unit)
1
50.000
50.000
9.
Penyusutan bangunan
1
3.700.000
10. Penyusutan tong perebusan
3
100.000
11. Penyusutan kompor gas
1
100.000
12. Penyusutan keranjang fiber
2
110.000
13. Penyusutan meja kayu
1
33.333
14. Penyusutan mobil pick up
1
10.000.000
15. Penyusutan terpal
1
100.000
16. Upah tenaga kerja
10
Sub jumlah
16.500.000
165.000.000 183.263.333
128
Lampiran 5 lanjutan 2.2 Biaya Tidak Tetap Jenis biaya tidak tetap 1. 2. 3.
Biaya bahan baku (kg) Biaya garam (kg) Biaya bumbu bandeng (bungkus) 4. Biaya besek (rupiah) 5. Baskom (unit) 6. Pisau (unit) 7. Biaya kayu bakar (ton) 8. Biaya gas (kg) 9. Biaya air per bulan (rupiah) 10. Biaya listrik (rupiah) 11. Bensin (rupiah)
20.720 625
Jumlah kebutuhan per tahun (satuan) 217.560 6.563
28
Jumlah kebutuhan per bulan (satuan)
Rerata biaya per satuan per tahun (rupiah)
Jumlah (rupiah)
10.973 700
2.387.280.000 4.594.100
308
10.000
3.080.000
50.000 6 36
525.000 4 36 66 396
525.000 25.000 50.000 954.545 7.424
525.000 100.000 1.800.000 63.000.000 2.940.000
300.000
3.150.000
3.150.000
3.150.000
150.000
1.575.000
1.575.000
1.575.000
560.000
5.880.000
5.880.000
5.880.000
Sub jumlah
2.473.924.100
2.3 JUMLAH BIAYA (TC)
2.657.187.433
Jenis produk 1.
Layang
2.
Bandeng
3.
Tongkol
Jumlah penerimaan (TR) 4. KEUNTUNGAN (∏) 4.1 Keuntungan bersih sebelum pajak (3-2.3) 4.2 Pajak 2 % 4.2 Keuntungan bersih sesudah pajak (4.2-2.4)
Harga (rupiah)
Jumlah Produk
3.000
Volume 1.911.000 potong 294.000 besek
3.000
70.560 ekor
1.000
Nilai (rupiah) 1.911.000.000 882.000.000 211.680.000 3.004.680.000 347.492.567 6.949.851 340.542.716
5. R/C
1,13
6. ROI
1,60
7. PP
0,63
Keterangan: R/C = Return cost ratio ROI = Return of investment PP = payback period
129
Lampiran 6 Analisis usaha pada industri pengolahan kulit ikan pari untuk konsumsi dan tulang ikan untuk kosmetik di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 1. INVESTASI Jenis investasi 1. Bangunan awal (unit) 2. Bangunan alih hak (unit) 3. Renovasi dan menambah bangunan (unit) 4. Tong perebusan (unit) 5. Tempat perendaman (unit) 6. Bak penyimpanan bahan baku pada musim hujan (unit) 7. Para-para (unit) 8. Mobil pick up (unit) 9. SIUP (surat izin) 10. SIP (surat izin)
30
1
Biaya per satuan (rupiah) 51.000.000
30
2
45.000.000
90.000.000
30
1
60.000.000
60.000.000
3
1
300.000
300.000
3
1
1.000.000
1.000.000
15
1
1.000.000
1.000.000
3 10
4 1 1
840.000 100.000.000 150.000
3.360.000 100.000.000 150.000
1
150.000
150.000
Lama pakai (tahun)
selama usaha selama menempati dan berusaha
Jumlah (satuan)
Sub jumlah 2. PENGELUARAN ATAU BIAYA USAHA 2.1 Biaya Tetap
Jenis biaya tetap
1. Sewa lahan usaha ke PHPT (paket, 1 paket seluas 150 m2) 2. Lahan penjemuran ke tetangga (unit, 1 unit = 125 m2) 3. Perawatan bangunan (unit) 4. Perawatan tong perebusan (unit) 5. Perawatan tempat perendaman 6. Perawatan bak penyimpanan bahan baku pada saat musim hujan 7. Perawatan para-para 8. Perawatan mobil pick up 9. Penyusutan bangunan 10. Penyusutan tong perebusan 11. Penyusutan tempat perendaman (tong) 12. Penyusutan bak 13. Penyusutan para-para 14. Penyusutan mobil pick up 15.Upah tenaga kerja (orang) Sub jumlah
Jumlah (rupiah) 51.000.000
306.960.000
Jumlah kebutuhan per tahun (satuan)
Rerata biaya per satuan per tahun (rupiah)
Jumlah(rupiah)
3
600.000
1.800.000
1
100.000
400.000
1 1 1
1.000.000 100.000 100.000
1.000.000 100.000 100.000
1
100.000
100.000
1 4 1 1 1 1 4 1
1.000.000 750.000
1.000.000 3.000.000 6.700.000 100.000 333.333 66.667 1.120.000 10.000.000 82.500.000 108.320.000
5
16.500.000
130
Lampiran 6 lanjutan 2.2 Biaya Tidak Tetap
Jenis biaya tidak tetap
Jumlah kebutuhan per bulan (satuan)
1.
Biaya bahan baku (kg) 2. Biaya bahan lainnya atau O2 (liter) 3. Pisau (unit) 4. Biaya kayu bakar (kg) 5. Biaya air (rupiah) 6. Biaya listrik (rupiah) 7. Biaya kemasan (rupiah) 8. Bensin (rupiah) Sub jumlah 2.3 JUMLAH BIAYA (TC) 3. PENERIMAAN (TR)
Jumlah (rupiah)
48.000
505.400
11.913
6.020.700.000
168
1.680
21.429
36.000.000
3
40.000
120.000
1
10.500
650.000
6.825.000
300.000 300.000
3.150.000 3.150.000
3.150.000 3.150.000
3.150.000 3.150.000
500.000
5.250.000
5.250.000
5.250.000
560.000
5.880.000
5.880.000
5.880.000 6.081.075.000 6.189.395.000
Jenis produk 1. Kulit pari 2. Kulit hiu 3. Tulang hiu 4. Tulang pari Jumlah penerimaan 4. KEUNTUNGAN (∏) 4.1 Keuntungan bersih sebelum (3-2.3) 4.2 Pajak 2 % 4.2 Keuntungan bersih sesudah pajak (4.1-4.2) 5. R/C 6. ROI 7. PP Keterangan: R/C = Return cost ratio ROI = Return of investment PP = payback period
Rerata biaya per satuan per tahun (rupiah)
Jumlah kebutuhan per tahun (satuan)
Harga (rupiah) 65.000 25.000 25.000 45.000
Jumlah Produk Volume (kg) Nilai (rupiah) 22.050 1.433.250.000 198.450 4.961.250.000 5.600 140.000.000 5.600 252.000.000 231.700 6.786.500.000 597.105.000 11.942.100 585.162.900 1,10 1,91 0,52
131
Lampiran 7 Analisis usaha pada industri pangolahan kulit ikan pari untuk penyamakan di PHPT PPI Muara Angke tahun 2012 1. INVESTASI Jenis investasi 1.
Lama pakai (tahun)
Jumlah (satuan)
Biaya per satuan (rupiah)
30
1
51.000.000
51.000.000
30
1
90.000.000
90.000.000
30
2
35.000.000
70.000.000
5
1
2.750.000
2.750.000
Jumlah (rupiah)
4.
Bangunan awal (unit) Bangunan alih hak (unit) Renovasi dan penambahan bangunan (unit) Tong (unit)
5.
Baskom (unit)
3
10
30.000
300.000
Ember fiber (unit) Keranjang plastik besar (unit) 8. Bak penampungan air (unit) 9. Para-para (unit) 10. Meja kayu tempat penyimpanan bahan baku (unit) 11. Mobil pick up (unit)
5
2
1.250.000
2.500.000
3
4
250.000
1.000.000
15
2
1.000.000
2.000.000
3
2
840.000
1.680.000
5
1
1.000.000
1.000.000
10
1
100.000.000
100.000.000
selama usaha selama menempati dan berusaha
1
150.000
150.000
1
150.000
150.000
2. 3.
6. 7.
12. SIUP (surat izin) 13. SIP (surat izin) Sub jumlah
2. PENGELUARAN DAN BIAYA USAHA
380.330.000
132
Lampiran 7 lanjutan 2.1 Biaya Tetap Jumlah kebutuhan per tahun (satuan)
Jenis biaya tetap 1.
Rerata biaya per satuan per tahun (rupiah)
Jumlah (rupiah)
2.
Sewa lahan usaha ke PHPT (paket, 1 paket seluas 150 m2) Perawatan tong (unit)
3.
Perawatan baskom (unit)
10
10.000
100.000
4.
Perawatan ember fiber (unit)
2
50.000
100.000
5.
Perawatan keranjang plastik besar (unit)
4
25.000
100.000
6.
Perawatan bak penampungan air (unit)
2
50.000
100.000
7. 8.
Perawatan para-para (unit) Perawatan meja kayu tempat penyimpanan bahan baku (unit) Perawatan mobil pick up (unit)
2
100.000
200.000
1
100.000
100.000
1
3.000.000
3.000.000
9.
10. Penyusutan bangunan
2
600.000
1.200.000
1
500.000
500.000
2
11. Penyusutan tong
4.033.333
1
20.000
10
100.000
13. Penyusutan ember fiber
2
200.000
14. Penyusutan keranjang plastik besar
4
333.333
15. Penyusutan bak penampungan air
2
133.333
16. Penyusutan para-para 17. Penyusutan meja kayu tempat penyimpanan bahan baku 18. Penyusutan mobil pick up 19. Upah tenaga kerja (orang) Sub jumlah
2
560.000
1
200.000
1
10.000.000
12. Penyusutan baskom
5
16.500.000
82.500.000 103.479.999
2.2 Biaya Tidak Tetap Jenis biaya tidak tetap 1. 2. 3. 4.
Jumlah kebutuhan per bulan (satuan)
Biaya bahan baku (lembar) Biaya garam (ton)
10.500
700
7.350.000
10
50.000
500.000
400.000
4.200.000
4.200.000
4.200.000
600.000
6.300.000 42 blong dan 1890 kardus
6.300.000
6.300.000
3.000.000
31.500.000
2.500.000
26.250.000
26.250.000
6.
Biaya kemasan
7.
Biaya bahan bakar untuk pengiriman produk (Rp 2.500.000,- per bulan) Sub jumlah
105.000
1.000
Jumlah (rupiah 1.596.000.000
5.
10.000
Rerata biaya per satuan per tahun (rupiah) 15.200
Pisau (unit) Biaya air per bulan (rupiah) Biaya listrik (rupiah)
8.
Jumlah kebutuhan per tahun (satuan)
4 blong dan 180 kardus
1.679.600.000
133
Lampiran 7 lanjutan 2.3 JUMLAH BIAYA (TC)
1.783.079.999
3. PENERIMAAN (TR) Jenis produk
Harga
Jumlah Produk
(rupiah)
Volume (kg)
Nilai (rupiah)
1.
Kulit pari kecil jantan
13.000
9.450
122.850.000
2.
Kulit pari kecil betina
9.100
39.900
363.090.000
3.
Kulit pari sedang betina
27.300
39.900
1.089.270.000
4.
Kulit pari sedang jantan
39.000
9.450
368.550.000
98.700
1.943.760.000
Jumlah penerimaan 4. KEUNTUNGAN (∏) 4.1 Keuntungan bersih sebelum pajak (3-2.3) 4.2 Pajak 0,5 % 4.2 Keuntungan bersih sesudah pajak (4.2-2.4)
243.180.001 1.215.900 241.964.101
5. R/C
1,09
6. ROI
0,64
7. PP
1,57
134
Lampiran 8 Harga beli per jenis ikan basah untuk industri pengolahan ikan asin di PHPT PPI Muara Angke tahun 2011 Jenis ikan Harga rata-rata (rupiah/kg) 1. Bilis 2.000 2. Bloso 5.500 3. Bulu Ayam 6.000 4. Cucut 10.000 5. Cumi-cumi 19.000 6. Jambal roti/manyung 11.500 7. Japu 2.500 8. Kembung 11.000 9. Layang 6.500 10. Lesih 4.000 11. Lidah-lidah 4.000 12. Pari 8.400 13. Petek 2.500 14. Samge 6.000 15. Selar 3.000 16. Tembang 4.000 17. Tenggiri 17.000 18. Kurisi 2.500 19. Tongkol 4.000 20. Utik 8.000 21. Tongkol 7.500 22. Wais 6.500 23. Kurisi 2.000 24. Teri 6.500 Sumber: Laporan Bulanan PHPT PPI Muara Angke Bulan November 2011
135
Lampiran 9 Harga beli per jenis ikan basah untuk industri pengolahan ikan lainnya di PHPT PPI Muara Angke Tahun 2012 Industri Pengolahan Ikan Asap Jenis ikan Harga rata-rata (rupiah/kg) 1. Layang 13.000 2. Pari 9.000 3. Hiu/cucut 16.000 Industri Pengolahan Ikan Pindang Jenis ikan Harga rata-rata (rupiah/kg) 1. Tongkol 10.000 2. Layang 13.000 3. Bandeng 13.000 Industri Pengolahan Kulit Ikan Pari untuk Konsumsi dan Tulang Ikan untuk Kosmetik Jenis ikan Harga rata-rata (rupiah/kg) 1. Kulit pari 20.000 2. Kulit hiu 11.000 3. Tulang pari 12.000 4. Tulang hiu 12.000 Industri Pangolahan Kulit Ikan Pari untuk Penyamakan Jenis ikan Harga rata-rata (rupiah/kg) 1. Kulit pari kecil jantan 10.000 2. Kulit pari kecil betina 7.000 3. Kulit pari sedang betina 21.000 4. Kulit pari sedang jantan 30.000