KAJIAN PENDAPATAN NELAYAN DARI USAHA PENANGKAPAN IKAN DAN BAGIAN RETRIBUSI PELELANGAN IKAN DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) MUARA ANGKE
ANISSA YUSTIARANI
SKRIPSI
DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
SKRIPSI
Judul Skripsi
: Kajian Pendapatan Nelayan dari Usaha Penangkapan Ikan dan Bagian Retribusi Pelelangan Ikan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke
NamaMahasiswa
: Anissa Yustiarani
NRP
: C54104039
Program Studi
: Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Disetujui, Komisi Pembimbing,
DR. Ir. Ernani Lubis, DEA NIP. 131 123 999
Ir. Dinarwan, MS. NIP. 131 789 335
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131 578 799
Tanggal Lulus : 22 Agustus 2008
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
KAJIAN PENDAPATAN NELAYAN DARI USAHA PENANGKAPAN IKAN DAN BAGIAN RETRIBUSI PELELANGAN IKAN DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) MUARA ANGKE adalah benar merupakan hasil karya saya yang mana didalam proses penyusunannya sejak dimulai dari proposal sampai penulisan skripsi, diarahkan dan dibimbing secara penuh oleh komisi pembimbing. Skripsi ini belum pernah diajukan dalam bentuk apapun ke Perguruan Tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2008
ANISSA YUSTIARANI C54104039
ABSTRAK ANISSA YUSTIARANI. C54104039. Kajian Pendapatan Nelayan dari Usaha Penangkapan Ikan dan Bagian Retribusi Pelelangan Ikan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke. Dibimbing oleh ERNANI LUBIS dan DINARWAN Pelelangan ikan merupakan salah satu aktivitas penting sebagai awal dari pemasaran ikan di pelabuhan perikanan, sehingga para nelayan merasa diuntungkan dengan adanya aktivitas ini. Bagian dari retribusi yang dibayarkan oleh nelayan kepada pengelola pelelangan ikan adalah bagian dari pendapatannya yang sebagian akan kembali namun di banyak pelabuhan perikanan, nelayan tidak mendapatkannya. Biaya retribusi dari hasil pelelangan yang dilakukan di pelabuhan perikanan tersebut, sebesar 25% akan diberikan sebagai kontribusi terhadap tingkat kesejahteraan nelayan. PPI Muara Angke yang dalam memasarkan produksinya dengan menggunakan sistem lelang murni perlu pengkajian akan hal ini. Pengambilan data dilakukan dari bulan Maret sampai bulan April tahun 2008, dengan tempat penelitian di Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke Propinsi DKI Jakarta. Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian adalah purposive sampling untuk menentukan tingkat pendapatan nelayan usaha penangkapan ikan dan menganalisis hak-hak yang diterima nelayan sebagai kompensasi dari bagian retribusi pelelangan ikan. Rata-rata pendapatan bersih per trip pemilik kapal, nahkoda dan ABK terbesar adalah terdapat pada alat tangkap jaring cumi yaitu masing-masing sebesar Rp36.921.437,00; Rp7.384.287,40 dan Rp1.350.000,00. Rata-rata pendapatan bersih hasil tangkapan per trip dari ketiga alat tangkap dominan di PPI Muara Angke, purse seine Rp Rp25.443.777,39, bubu Rp2.556.964,10 dan jaring cumi Rp49.228.582,67. Terdapat perbedaan hak-hak yang diterima antara nelayan anggota Koperasi Mina Jaya dengan nelayan yang bukan anggota Koperasi Mina Jaya sebagai kontribusi retribusi pelelangan ikan. Hak-hak yang diterima nelayan yang merupakan anggota koperasi Mina Jaya adalah mendapatkan asuransi jiwa, mendapatkan dana paceklik, dapat menjadi anggota HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia), dapat meminjam modal usaha pada Koperasi Mina Jaya, dapat menghadiri RAT (Rapat Anggota Tahunan) dan mendapatkan SHU (Sisa Hasil Usaha) pada akhir tahunnya. Dalam kenyataan di lapangan, hak-hak tersebut semuanya memang telah didapatkan oleh para nelayan. Hak nelayan yang bukan merupakan anggota koperasi hanya mendapatkan asuransi jiwa dan mendapatkan dana paceklik. Kata kunci : pendapatan, retribusi, pelelangan ikan dan PPI Muara Angke
KAJIAN PENDAPATAN NELAYAN DARI USAHA PENANGKAPAN IKAN DAN BAGIAN RETRIBUSI PELELANGAN IKAN DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) MUARA ANGKE
Oleh : ANISSA YUSTIARANI C54104039
SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor Provinsi Jawa Barat pada tanggal 07 Januari 1986. Penulis adalah putri kedua dari tiga bersaudara dari Bapak Drh. Edy Setiarto, MS. dan Ibu Noorcahya, S.H. Pada tahun 1992 penulis memulai pendidikan formalnya di SD Bina Insani Bogor dan lulus pada tahun 1998. Setelah itu melanjutkan pendidikan di SLTPN 8 Kota Bogor dan lulus pada tahun 2001. Tahun 2001 penulis melanjutkan pendidikan di SMU Bina Insani Bogor dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan studi di Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah aktif sebagai anggota Masyarakat Pasir periode 2005-2006. Pada tahun berikutnya, 2006-2007 penulis menjadi bendahara Departemen Informasi dan Komunikasi di Himpunan Mahasiswa Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (HIMAFARIN). Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul “Kajian Pendapatan Nelayan dari Usaha Penangkapan Ikan dan Bagian Retribusi Pelelangan Ikan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke”.
KATA PENGANTAR
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Adapun judul skripsi ini adalah “Kajian Pendapatan Nelayan dari Usaha Penangkapan Ikan dan Bagian Retribusi Pelelangan Ikan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke” pada bulan Maret sampai April 2008. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pendapatan nelayan usaha penangkapan ikan di wilayah komunitas sekitar PPI Muara Angke dan Menganalisis hak-hak yang diterima nelayan sebagai kompensasi dari bagian retribusi pelelangan ikan. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan tulisan inidab diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis, pembaca dan pihak yang membutuhkan terutama bagi pengembangan pelabuhan perikanan di Indonesia.
Bogor, Agustus 2008
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH Kata pertama yang penulis sampaikan adalah rasa syukur yang sebesarbesarnya kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya yang diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “ Kajian Pendapatan Nelayan dari Usaha Penangkapan Ikan dan Bagian Retribusi Pelelangan Ikan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke ”. Skripsi ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak yang telah berperan langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini, terutama kepada : 1.
DR. Ir. Ernani Lubis, DEA dan Ir. Dinarwan, M.S. selaku dosen pembimbing atas bimbingannya selama penyelesaian skripsi ini;
2.
DR. Ir. Anwar Bey Pane, DEA, Ir. Wawan Oktariza, M.Si selaku dosen penguji tamu, serta kepada Prof. DR. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc selaku ketua departemen dan DR. Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si selaku komisi pendidikan atas kritikan, saran dan masukannya yang sangat membangun demi kesempurnaan skripsi ini;
3.
Kepala Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan, Bapak Drh. Edy Setiarto, M.S.;
4.
Kepala UPT. Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan, Bapak H. Riyadi, S. SOS, MM; Kepala Koperasi Perikanan Mina Jaya, Bapak H. M. Syarifudin Baso; Bapak Komar, Bapak Sumarsono selaku pengurus TPI, Bapak Mahyudin, Ibu Ria, Bapak Supri dan Mas Arif selaku pengurus koperasi perikanan Mina Jaya dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas bantuannya selama penelitian di PPI Muara Angke berlangsung hingga selesai;
5.
Kedua orangtua, kakak-kakak dan adikku serta Singgih Prihadi Aji, SPi yang selalu aku cintai yang senantiasa berdoa dan memotivasi penulis dalam penyelesaian skripsi;
6.
Rekan-rekan PSP’41 yang akan selalu ada di hati atas doa dan semangatnya kepada penulis selama menempuh pendidikan di IPB.
DAFTAR ISI Halaman
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix DAFTAR TABEL ............................................................................................ xi DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiv 1 PENDAHULUAN ...................................................................................... 1.1 1.2 1.3
1
Latar Belakang ......................................................................................... Tujuan ...................................................................................................... Manfaat ....................................................................................................
1 3 3
2 TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
4
2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6
Pelabuhan Perikanan ................................................................................ 4 Tempat Pelelangan Ikan .......................................................................... 5 Pelelangan Ikan ....................................................................................... 6 Retribusi .................................................................................................. 9 Pendapatan Nelayan ................................................................................ 11 Koperasi Unit Desa .................................................................................. 13
3 METODOLOGI ......................................................................................... 15 3.1 3.2 3.3 3.4
Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................. Bahan dan Alat Penelitian ........................................................................ Metode Penelitian dan Pengumpulan Data .............................................. Metode Analisis Data............................................................................... 3.4.1 Analisis pendapatan nelayan .......................................................... 3.4.2 Analisis persentase retribusi ...........................................................
15 15 15 17 17 19
4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ................................. 20 4.1 Keadaan Umum Kota Jakarta .................................................................. 4.1.1 Letak geografis dan topografi Jakarta Utara .................................. 4.1.2 Penduduk Kota Jakarta Utara ........................................................ 4.1.3 Kondisi perikanan tangkap Kota Jakarta Utara ............................. 4.2 Keadaan Umum PPI Muara Angke ......................................................... 4.2.1 Letak geografis dan topografi PPI Muara Angke........................... 4.2.2 Pengelolaan PPI Muara Angke ...................................................... 4.2.3 Kondisi perikanan tangkap PPI Muara Angke ..............................
20 20 21 22 29 29 31 34
x
4.2.4 Fasilitas Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke ............. 39 4.2.5 Profil Koperasi Perikanan Mina Jaya ............................................ 48
5 PENDAPATAN NELAYAN................................................................... 59 5.1 Nelayan Alat Tangkap Purse Seine ........................................................ 5.1.1 Pendapatan kotor hasil tangkapan ................................................... 5.1.2 Biaya pelelangan ikan ..................................................................... 5.1.3 Biaya operasional penangkapan ikan ............................................. 5.1.4 Pendapatan bersih hasil tangkapan ................................................. 5.2 Nelayan Alat Tangkap Bubu .................................................................. 5.2.1 Pendapatan kotor hasil tangkapan ................................................... 5.2.2 Biaya pelelangan ikan...................................................................... 5.2.3 Biaya operasional penangkapan ikan ............................................. 5.2.4 Pendapatan bersih hasil tangkapan ................................................. 5.3 Nelayan Alat Tangkap Jaring Cumi ....................................................... 5.3.1 Pendapatan kotor hasil tangkapan ................................................... 5.3.2 Biaya pelelangan ikan...................................................................... 5.3.3 Biaya operasional penangkapan ikan ............................................. 5.3.4 Pendapatan bersih hasil tangkapan .................................................
59 60 62 63 65 67 68 70 71 72 73 75 76 78 78
6 RETRIBUSI PELELANGAN IKAN .................................................. 82 6.1 Ketentuan Retribusi ................................................................................. 82 6.2 Pelaksanaan Pengambilan Retribusi......................................................... 83 6.3 Bagian Retribusi yang Diterima Nelayan................................................. 85
7 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 88 7.1 Kesimpulan............................................................................................... 88 7.2 Saran ......................................................................................................... 88
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 89 LAMPIRAN ....................................................................................................... 92
xi
DAFTAR TABEL Halaman
1. Armada perikanan tangkap di Kota Jakarta Utara, 2003-2007......................... 23 2. Perkembangan jumlah nelayan penetap dan pendatang di Wilayah Kota Jakarta Utara 2003-2007 ................................................................................... 25 3. Jenis-jenis ikan hasil tangkapan nelayan Kota Jakarta Utara, 2007 ................. 26 4. Jumlah produksi ikan di TPI dan PPI Kota Jakarta Utara, 2003-2007 .............. 27 5. Rekap kapal tambat di PPI Muara Angke, 2003-2007 ...................................... 35 6. Perkembangan jumlah alat tangkap yang dioperasikan nelayan PPI Muara Angke, 2003-2007 ............................................................................................. 36 7. Jumlah nelayan yang melakukan aktivitas bongkar muat dan sandar di PPI Muara Angke, 2001-2003 .................................................................................. 37 8. Data jumlah, nilai dan besarnya produksi dan retribusi perikanan di PPI Muara Angke, 2003-2006 .................................................................................. 39 9. Fasilitas-fasilitas yang terdapat di PPI Muara Angke........................................ 41 10. Anggota Koperasi Perikanan Mina Jaya............................................................ 49 11. Pengklasifikasian anggota Koperasi Perikanan Mina Jaya, 2006...................... 50 12. Bidang permodalan Koperasi Perikanan Mina Jaya, 2006 ................................ 51 13. Jenis-jenis usaha umum Koperasi Perikanan Mina Jaya, 2004-2006 ................ 52 14. Realisasi pinjaman periode 2001-2006 .............................................................. 53 15. Jenis-jenis kegiatan yang berasal dari retribusi pelelangan ikan ....................... 55 16. Dana yang telah dikeluarkan untuk kesejahteraan nelayan ............................... 55 17. Jenis-jenis hasil tangkapan purse seine per trip dan harga per kilogram di PPI Muara Angke, 2008............................................................................................ 61 18. Hasil penjualan ikan alat tangkap purse seine per trip beserta kontribusi bagi Pemda dan Koperasi Perikanan Mina Jaya, 2008..................................... 62 19. Pendapatan kotor melalui lelang pada alat tangkap purse seine per trip ........... 63 20. Besarnya biaya operasional usaha penangkapan ikan dari alat tangkap purse seine per trip....................................................................................................... 64 21. Pembagian retribusi tambat labuh kapal, 2008 .................................................. 65
xii
22. Pendapatan bersih nelayan alat tangkap purse seine per trip............................. 65 23. Jenis-jenis hasil tangkapan bubu dan harga per kilogram di PPI Muara Angke, 2008....................................................................................................... 69 24. Hasil penjualan ikan alat tangkap bubu per trip beserta kontribusi bagi Pemda dan Koperasi Perikanan Mina Jaya, 2008.............................................. 70 25. Pendapatan kotor melalui lelang pada alat tangkap bubu per trip..................... 71 26. Besarnya biaya operasional usaha penangkapan ikan dari alat tangkap bubu per trip................................................................................................................ 72 27. Pendapatan bersih nelayan alat tangkap bubu per trip....................................... 73 28. Jenis-jenis hasil tangkapan jaring cumi dan harga per kilogram di PPI Muara Angke, 2008....................................................................................................... 76 29. Hasil penjualan ikan alat tangkap jaring cumi per trip beserta kontribusi bagi Pemda dan Koperasi Perikanan Mina Jaya per trip........................................... 77 30. Pendapatan kotor melalui lelang pada alat tangkap jaring cumi per trip ......... 77 31. Besarnya biaya operasional usaha penangkapan ikan dari alat tangkap jaring cumi per trip ..................................................................................................... 78 32. Pendapatan bersih nelayan alat tangkap jaring cumi per trip ........................... 79 33. Resume pendapatan dan pengeluaran nelayan per trip dari usaha penangkapan ikan di PPI Muara Angke .......................................................... 81 34. Dana yang telah dikeluarkan untuk kesejahteraan nelayan................................ 85 35. Hak-hak yang diterima nelayan sebagai kompensasi dari retribusi pelelangan ikan .................................................................................................................... 86
xiii
DAFTAR GAMBAR Halaman
1. Pelaksanaan pelelangan ikan di TPI Muara Angke ...........................................
7
2. Mekanisme pelelangan ikan di Tempat Pelelangan Ikan PPI Muara Angke ...
8
3. Penetapan persentase pengenaan retribusi biaya penyelenggaraan pelelangan ikan oleh Koperasi Perikanan Mina Jaya .......................................................... 10 4. Struktur organisasi UPT PKPP dan PPI Muara Angke ..................................... 33 5. Kondisi tempat pelelangan ikan Muara Angke ................................................. 43 6. Kapal purse seine yang sedang bersandar di PPI Muara Angke ...................... 60 7. Hasil tangkapan dari alat tangkap purse seine................................................... 62 8. Kapal bubu yang sedang bersandar di PPI Muara Angke ................................. 68 9. Hasil Tangkapan dari alat tangkap bubu ........................................................... 70 10. Kapal jaring cumi yang berada di PPI Muara Angke ........................................ 75 11. Hasil tangkapan dari alat tangkap jaring cumi .................................................. 76
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1.
Jenis unit penangkapan, jumlah ABK, DPI, dan jumlah trip melaut menurut fungsi nelayan, 2008 ........................................................................................
93
Penerimaan hasil tangkapan alat tangkap purse seine per trip yang didaratkan di PPI Muara Angke........................................................................
94
3. Penerimaan hasil tangkapan alat tangkap bubu per trip yang didaratkan di PPI Muara Angke..............................................................................................
99
2.
4.
Penerimaan hasil tangkapan alat tangkap jaring cumi per trip yang didaratkan di PPI Muara Angke........................................................................ 104
5. Komponen biaya operasional penangkapan ikan per trip alat tangkap purse seine ................................................................................................................. 106 6. Komponen biaya operasional penangkapan ikan per trip alat tangkap bubu .... 108 7. Komponen biaya operasional penangkapan ikan per trip alat tangkap jaring cumi................................................................................................................... 111 8. Analisis pendapatan usaha penangkapan ikan (nelayan pemilik alat tangkap purse seine) ...................................................................................................... 114 9. Analisis pendapatan usaha penangkapan ikan (nelayan pemilik alat tangkap bubu) ................................................................................................................. 117 10. Analisis pendapatan usaha penangkapan ikan (nelayan pemilik alat tangkap jaring cumi) ...................................................................................................... 122 11. Kondisi kompensasi retribusi pelelangan ikan yang diterima oleh nelayan di PPI Muara Angke ............................................................................................. 127 12. Peta lokasi penelitian ....................................................................................... 128 13. Layout PPI Muara Angke ................................................................................. 129
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelabuhan perikanan adalah suatu lingkungan kerja yang salah satu fungsinya sebagai pusat pemasaran dan distribusi hasil tangkapan. Fungsi tersebut dapat diartikan bahwa hasil tangkapan yang didapat para nelayan dilelang di tempat pelelangan ikan agar mendapatkan suatu harga yang stabil. Jika hasil tangkapannya tidak melalui proses lelang, maka harga ikan tidak akan stabil, suatu saat akan meningkat atau akan menurun secara drastis. Dengan demikian nelayan-nelayan yang mendaratkan hasil tangkapannya, merasa sangat diuntungkan dengan adanya pelelangan ikan. Menurut Undang-undang No. 31 tahun 2004 tentang perikanan, pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan, berlabuh, dan atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan. Definisi yang sama disebutkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 16 tahun 2006 yang diberi batasan untuk wilayah daratan dan perairan di sekitarnya. Pendapatan nelayan perlu dikaji untuk melihat apakah tingkat pendapatannya sebanding dengan kebutuhan serta tenaga yang dikeluarkannya atau tidak, karena pendapatan nelayan tidak tetap, kadang mengalami keuntungan yang besar dan kadang mengalami kerugian. Kenaikan atau penurunan hasil penjualan nelayan akan sangat mempengaruhi nilai retribusi yang dibayarkan oleh nelayan kepada pengelola pelelangan ikan. Menurut Lubis (2006), bagian dari retribusi tersebut sering tidak diketahui oleh nelayan sehingga mustahil untuk didapatkannya kembali. Di banyak pelabuhan perikanan, nelayan sulit untuk mendapatkan bantuan dari pihak KUD sebagai pihak pengelola pelelangan ikan pada saat para nelayan membutuhkan biaya operasional melaut dan ketika musim paceklik. Seharusnya para nelayan dapat menerima bantuan
2
tersebut dari pihak KUD yang bersangkutan pada saat musim paceklik dan nelayan mendapatkan asuransi yang berasal dari biaya retribusi yang dikeluarkan oleh para nelayan dari transaksi pelelangan ikan bila terjadi suatu kecelakaan di laut maupun di darat. Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke adalah salah satu Pelabuhan Perikanan tipe D yang terdapat di Jakarta Utara yang memiliki potensi perikanan cukup besar dan memiliki potensi pemasaran yang cukup baik. Dalam kegiatannya, PPI Muara Angke tidak pernah lepas hubungannya dengan koperasi. Koperasi perikanan Mina Jaya adalah koperasi yang sangat berperan dalam penyelenggaraan pelelangan ikan di PPI Muara Angke dan berperan juga terhadap pengelolaan retribusinya. Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke dalam memasarkan produksinya dengan menggunakan sistem lelang murni, dimana juru lelang menyebutkan harga yang akan terus naik hingga hanya terdapat satu calon pembeli atau bakul yang setuju. Hasil pelelangan tersebut, bakul akan membayar biaya retribusi sebesar 2% dari nilai lelang dan nelayan yang telah mendapatkan uang hasil lelang akan membayar 3% dari nilai lelang kepada kantor urusan keuangan pelabuhan yang kemudian akan disalurkan ke Bank Pemerintah Daerah. Biaya retribusi dari hasil pelelangan yang dilakukan di pelabuhan perikanan tersebut, sebesar 25% akan diberikan kembali sebagai kontribusi terhadap tingkat kesejahteraan nelayan. Populasi armada perikanan tangkap di wilayah Muara Angke bervariasi jika dilihat dari ukuran kapal, maka secara teoritis besaran retribusi terhadap PPI yang dikeluarkan masing-masing variasi populasi yang ada juga berbeda. Oleh karena itu, pelayanan jasa yang diterima oleh masing-masing populasi dari kontribusi retribusi yang mereka berikan juga berbeda. Jika dilihat dari harga BBM yang setiap tahunnya cenderung meningkat, maka harga kebutuhan bahan pokok untuk melaut dan hargaharga input produksi pun meningkat. Dengan kata lain kondisi penangkapan ikan menjadi sulit sehingga akan menurunkan pendapatan nelayan. Kondisi seperti ini perlu dikaji secara mendalam, apakah realisasinya terjadi atau tidak. Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke sebagai salah satu pelabuhan tipe D yang terbesar di
3
Jakarta merupakan salah satu pelabuhan yang belum pernah melakukan pengkajian tingkat pendapatan nelayan dan retribusi pelelangan ikan. Oleh sebab itu, penulis mengambil judul penelitian tentang ”Kajian Pendapatan Nelayan dari Usaha Penangkapan Ikan dan Bagian Retribusi Pelelangan Ikan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke” agar dapat menganalisis pendapatan nelayan setiap melaut dan bagian retribusi yang diterima kembali oleh para nelayan pada saat nelayan tersebut membutuhkan. 1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini antara lain : 1) Menentukan tingkat pendapatan nelayan usaha penangkapan ikan di wilayah komunitas sekitar PPI Muara Angke 2) Menganalisis hak-hak yang diterima nelayan sebagai kompensasi dari bagian retribusi pelelangan ikan.
1.3 Manfaat Manfaat dari penelitian ini antara lain : 1) Sebagai bahan pertimbangan bagi Pemda terhadap kebijakan yang akan diterapkan untuk pemberian subsidi BBM 2) Memberikan informasi tentang bagian retribusi yang diterima nelayan 3) Sebagai bahan pertimbangan bagi Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan atas pengelolaan pembagian 40% bagian retribusi yang diterima oleh Koperasi Perikanan Mina Jaya.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pelabuhan Perikanan Pelabuhan perikanan merupakan pusat perpaduan antara aktivitas pendaratan, perdagangan dan pendistribusian ke daerah konsumen sehingga pelabuhan perikanan selain harus menjamin kebutuhan kapal-kapal yang berlabuh dan mendarat juga harus menjamin hasil tangkapan yang didaratkan agar tetap dalam kualitas baik (Lubis, 2006). Menurut
Keputusan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Nomor:
KEP.10/MEN/2004, pelabuhan perikanan diklasifikasikan menjadi : pelabuhan perikanan samudera (tipe A), pelabuhan perikanan nusantara (tipe B), pelabuhan perikanan pantai (tipe C) dan pangkalan pendaratan ikan (tipe D). Adapun kriteriakriteria pangkalan pendaratan ikan (tipe D), adalah sebagai berikut : 1) Melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di perairan pedalaman dan perairan kepulauan; 2) Memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurangkurangnya 3 Gross Tonnage (GT); 3) Panjang darmaga sekurang-kurangnya 50 m, dengan kedalaman kolam sekurangkurangnya minus 2 m; 4) Mampu menampung sekurang-kurangnya 20 kapal perikanan; 5) Jumlah ikan yang didaratkan rata-rata 10 ton per hari; 6) Memiliki lahan sekurang-kurangnya seluas 2 ha. Pengklasifikasian pelabuhan perikanan dimaksudkan untuk mempermudah dalam pengelolaan, dan pengembangan pelabuhan. Selain itu bertujuan untuk memperkirakan
besarnya
kebutuhan-kebutuhan
yang
berhubungan
dengan
pengembangannya, baik itu kebutuhan sarana dan prasarana maupun industri perikanan yang berada di sekitar wilayah pelabuhan guna mendukung aktivitas perikanan di pelabuhan tersebut (Lubis, 2006). Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1994) dalam Lubis (2006), kriteria pangkalan pendaratan ikan adalah sebagai berikut :
5
1) Tersedianya lahan seluas 10 ha; 2) Diperuntukkan bagi kapal–kapal perikanan kurang dari 30 Gross Tonnage (GT); 3) Melayani kapal–kapal perikanan 15 unit per hari; 4) Jumlah ikan yang didaratkan lebih dari sama dengan 10 ton per hari; 5) Tersedianya fasilitas pembinaan mutu, sarana pemasaran dan lahan kawasan industri perikanan. Berdasarkan pada kriteria-kriteria tersebut diatas, maka PPI Muara Angke masih memenuhi standar mutu pangkalan pendaratan ikan atau pelabuhan perikanan Tipe D. 2.2 Tempat Pelelangan Ikan Tempat pelelangan ikan adalah tempat untuk melelang ikan, dimana terjadi pertemuan antara penjual (nelayan atau pemilik kapal) dengan pembeli (pedagang atau agen perusahaan perikanan). Tempat pelelangan ikan merupakan tempat yang membantu nelayan dalam memasarkan ikan hasil tangkapan melalui pelelangan. Letak dan pembagian ruang di gedung pelelangan harus direncanakan supaya aliran produk (flow of product) berjalan dengan cepat. Hal ini dengan pertimbangan bahwa produk perikanan merupakan produk yang cepat mengalami penurunan mutu, sehingga apabila aliran produk ini terganggu, maka akan menyebabkan terjadinya penurunan mutu ikan (Lubis, 2006). Kegiatan yang biasanya dilakukan di gedung TPI antara lain (Anonymous, 2006): 1) Menyortir, membersihkan dan menimbang ikan-ikan yang dibongkar dan dipersiapkan untuk dilelang (ruang sortir); 2) Memperagakan dan melelang ikan (ruang lelang); 3) Mengepak ikan yang telah dilelang untuk siap didistribusikan (ruang pengepakan). Tempat pelelangan ikan mempunyai nilai strategis dalam upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan dan masyarakat yang berada di sekitarnya. Pemerintah Propinsi DKI Jakarta memberikan pelayanan lelang di TPI Muara Angke, sehingga diharapkan
6
harga yang terjadi dalam proses lelang tersebut merupakan harga optimal yang dapat diperoleh nelayan (Anonymous, 2006). Sesuai dengan tujuan pendiriannya, tempat pelelangan ikan mempunyai fungsi untuk (Anonymous, 2007) : 1) Melaksanakan aktivitas lelang yang dapat melindungi nelayan agar diperoleh harga penjualan yang wajar dan keamanan uang bagi hasil penjualan ikannya lebih terjamin; 2) Sumber informasi pasar yaitu untuk mengetahui perkembangan harga ikan harian maupun jenisnya; 3) Fungsi statistik dan produksi yaitu untuk mengetahui ketersediaan produksi ikan dalam rangka keamanan pangan Produksi hasil tangkapan nelayan tergantung pada faktor cuaca, musim dan jumlah kapal yang membongkar hasil tangkapannya di TPI. Sebagai Gambaran produksi ikan yang masuk ke DKI Jakarta dalam satu hari rata-rata mencapai 100-125 ton ikan (Anonymous, 2006).
2.3 Pelelangan Ikan Pelelengan ikan adalah proses dimana terjadinya kegiatan menjual dan membeli hasil tangkapan, dengan cara menaikkan harga hasil tangkapan terus-menerus sampai bertemunya suatu kesepakatan harga antara penjual dan pembeli (Anonymus, 2007). Berdasarkan UU No. 3 Pasal 5 menetapkan, penyelenggaraan pelelangan ikan harus memiliki izin dari gubernur. Pemberian izin dimaksudkan untuk pembinaan, pengendalian dan pengawasan penyelenggaraan pelelangan ikan. Izin diberikan kepada KUD Mina yang memenuhi syarat, yaitu yang memenuhi kriteria sehat pengurus, sehat organisasi dan sehat manajemen. Jika di lokasi TPI tidak terdapat KUD Mina yang memenuhi syarat, penyelenggaraan pelelangan ikan dapat diberikan kepada Dinas yang menangani perikanan pada kabupaten/kota setempat dan hanya bersifat sementara (http://www.google.co.id/search?hl=id&q=retribusi+pelelangan+ikan). Pemerintah daerah berdasarkan kewenangan yang ada, mengatur, mengurus, dan mengawasi pelelangan ikan dengan tujuan meningkatkan pendapatan, taraf hidup, dan kesejahteraan nelayan; mendapatkan kepastian pasar dan harga ikan yang layak
7
bagi nelayan maupun konsumen; memberdayakan koperasi nelayan; meningkatkan pengetahuan, dan kemampuan nelayan. Pada Gambar 1 dapat dilihat pelaksanaan pelelangan ikan di PPI Muara Angke.
Gambar 1 Pelaksanaan pelelangan ikan di TPI Muara Angke. Sistem lelang dalam pemasaran ikan hasil tangkapan nelayan dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan suatu harga yang wajar sehingga dapat menguntungkan baik bagi penjual maupun bagi pembeli. Oleh karena itu pemerintah menerbitkan Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Pelelangan Ikan di DKI Jakarta, yang diharapkan akan dapat dijadikan sebagai pedoman dalam pelaksanaan penjualan ikan oleh nelayan (Anonymous, 2006). Dalam sistem lelang, peserta lelang sangat beragam, baik yang membeli ikan untuk dijual kembali ke pasar-pasar, para pengumpul ikan untuk disetorkan ke restoran, para supplier ikan untuk hotel-hotel, juga para eksportir hasil perikanan. Beragamnya peserta lelang tersebut memberikan kemungkinan terjadinya persaingan penawaran secara ketat sehingga pada akhirnya akan diperoleh harga penawaran yang cukup optimal. Dalam mekanisme lelang, dilakukan penawaran harga ikan secara terbuka kepada para pembeli mulai dari harga standar pasar pada hari itu. Pada saat penawar masih lebih dari satu orang, akan terus dilakukan peningkatan harga sehingga penawar tinggal satu orang, dan penawar tertinggi itulah yang keluar sebagai
8
pemenang lelang atau pembeli ikan. Setelah memenangkan lelang, pembeli tersebut harus segera menyetorkan uang pembelian ikan kepada penyelenggara pelelangan ikan. Melalui mekanisme tersebut harga penjualan ikan relatif cukup tinggi dan keamanan uang hasil penjualan ikannya terjamin. Pelelangan ikan dilaksanakan setiap hari. Mekanisme pelelangan di PPI Muara Angke dapat mengakomodir kebutuhan para pelaku lelang, sehingga para pelaku lelang tidak ada yang merasa dirugikan. Umtuk kelancaran proses pelelangan di PPI Muara Angke ini, ketentuan yang jelas mengenai harga ikan akan menumbuhkan kepercayaan nelayan untuk mendaratkan hasil tangkapannya di PPI Muara Angke (Anonymous, 2006). Mekanisme pelelangan ikan di tempat pelelangan ikan PPI Muara Angke dapat dilihat pada Gambar 2. Nahkoda/ Pengurus Kapal
Pemilik Pengawas Kapal Perikanan (WASKI)
Ikan
Kasir
Melapor
• Meneri
Petugas Pelabuhan Perikanan/ WASKI
• Administrasi • Kedatang an Kapal
Dokumen Perizinan Pengecekan Alat Tangkap Pengecekan Jenis Ikan Pengecekan Fishing Ground Pengecekan Kapal Ikan Pengecekan ABK/Nahkoda Pemberian /Penerbitan STBLK
Bongkar Ikan • Sortir jenis ikan • Sortir mutu ikan • Pene mpatan dalam trays
TPI Penim
bangan Pembe rian Label (Penca tatan) • Nama Kapal • Volume Ikan
Le
lang
Peme nang Le lang
oleh
Juru Le lang Distri busi dan Pema saran
ma harga pembeli an ikan • Meneri ma pembaya ran Retribusi 2% dari pembeli • Meneri ma pembaya ran Retribusi 3% dari Pemilik Ikan
Menerima
Harga Penjual an Ikan setelah dipotong retribusi 3%
Bendahar awan Pembantu
Meneri ma Hasil Pungutan Retribusi 5% Menye torkan Hasil Pungut an ke Kas Daerah
Sumber : UPT PPI Muara Angke, 2006
Gambar 2 Mekanisme pelelangan ikan di Tempat Pelelangan Ikan PPI Muara Angke.
9
2.4 Retribusi Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Ada beberapa jenis retribusi, diantaranya : retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu. UndangUndang No. 34/2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Peraturan Pemerintah No. 66/2001 tentang Retribusi Daerah, maka retribusi TPI merupakan jenis dari retribusi jasa usaha (http://www.google.co.id/search?hl=id&q=retribusi+pelelangan+ikan). Dalam upaya peningkatan pendapatan, taraf hidup, dan kesejahteraan nelayan, serta untuk menciptakan harga yang layak bagi konsumen sekaligus meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), maka semua hasil penangkapan ikan di laut perlu dijual secara lelang di tempat pelelangan ikan (TPI). Dengan kata lain, pelaksanaan pelelangan ikan, selain dapat menciptakan kepastian pasar dan harga ikan yang layak bagi nelayan maupun konsumen, pada akhirnya akan meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan nelayan. Fungsi retribusi pelelangan ikan secara langsung adalah sebagai pemasukan pendapatan bagi kas daerah dan pendapatan bagi koperasi perikanan Mina Jaya yang berperan sebagai penyelenggara pelelangan ikan dan secara tidak langsung adalah untuk mensejahterakan para nelayan, karena pada saat nelayan melaksanakan pelelangan ikan, mereka membayar retribusi, dan retribusi itulah yang nantinya akan kembali lagi ke mereka dalam bentuk bantuan dana sosial. Pemerintah DKI Jakarta melalui Perda No. 5/2005 menetapkan tarif retribusi 5% dari harga nilai transaksi pelelangan ikan, yang masing-masing dibebankan 2% kepada pembeli/bakul dan 3% kepada nelayan/penjual. Berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertanian dan Menteri Koperasi dan Pengusaha Kecil tentang penyelenggaraan lelang, penggunaan retribusi pelelangan ikan diarahkan untuk (Anonymous, 2007) : 1) Penerimaan Pemerintah Daerah 2) Biaya Operasional Daerah 3) Biaya Lelang
10
Perda No. 5/2005 mengatur secara lebih rinci mengenai kewajiban dari wajib retribusi, antara lain : 1) Pembayaran retribusi harus dilakukan secara tunai; 2) Jika tidak membayar tepat pada waktunya, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% setiap bulan dari retribusi terutang; 3) Pengajuan penundaan pembayaran; 4) Setiap permohonan pembetulan, pengurangan ketetapan, penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi, pembatalan dan pengajuan keberatan atas SKRD (Surat Keterangan Retribusi Daerah) dan STRD (Surat Tagihan Retribusi Daerah), harus dilakukan secara tertulis; 5) Harus melunasi retribusi terhutang dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal surat teguran/peringatan/surat lain yang sejenis. Penetapan persentase pengenaan retribusi biaya penyelenggaraan ikan dapat dilihat pada Gambar 3. Penetapan Persentase Pengenaan Retribusi Pelelangan Ikan sebesar 5%
Nelayan/Pedagang 3% dari harga transaksi
Pembeli 2% dari harga transaksi
Setor ke Kasda
Pemda DKI Jakarta
Biaya Penyelenggaraan Lelang : Lelang 42,50% • Biaya Keamanan dan 5% Kebersihan • Biaya Pemb. dan Pengawasan 7,5% • Biaya
Koperasi Mina Jaya
Dana Sosial terdiri dari : Nelayan 7,5% • Dana Paceklik 7,5% • Tabungan nelayan 10% dan bakul • Asuransi
Biaya Adm. Perkantoran : Biaya Kantor 7,5% TAL 2,5% Biaya Pemeliharaan 10%
Gambar 3 Penetapan persentase pengenaan retribusi biaya penyelenggaraan pelelangan ikan oleh Koperasi Perikanan Mina Jaya.
11
2.5 Pendapatan Nelayan Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya. Orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring, mengangkut alat-alat atau perlengkapan ke dalam kapal atau perahu tidak termasuk dalam kategori nelayan (Monintja, 1989). Menurut curahan waktu kerja, nelayan di klasifikasikan sebagai berikut (Monintja, 1989) : 1) Nelayan Penuh yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan kegiatan operasi penangkapan ikan; 2) Nelayan Sambilan Utama yaitu nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan kegiatan operasi penangkapan ikan; 3) Nelayan Sambilan Tambahan yaitu nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan kegiatan operasi penangkapan ikan. Pendapatan dan penerimaan keluarga adalah seluruh pendapatan dan penerimaan yang diterima oleh seluruh anggota tumah tangga ekonomi. Pendapatan itu sendiri terdiri atas (BPS, 1998) : 1) Pendapatan dari upah atau gaji, yang mencakup upah atau gaji yang diterima seluruh rumah tangga ekonomi yang bekerja sebagai buruh dan imbalan bagi pekerjaan yang dilakukan untuk suatu perusahaan atau majikan atau instansi tersebut, baik uang maupun barang atau jasa. 2) Pendapatan dari hasil usaha seluruh anggota rumah tangga yang berupa pendapatan kotor, yaitu selisih nilai jual barang dan jasa yang diproduksi dengan biaya produksinya. 3) Pendapatan lainnya, yaitu pendapatan diluar upah atau gaji yang menyangkut usaha dari : (1) perkiraan sewa rumah milik sendiri ; (2) bunga, deviden atau royalti, sewa atau kontrak, gedung, bangunan, peralatan dan sebagainya; (3) buah hasil usaha (hasil usaha sampingan yang dijual); (4) pensiunan dan klim asuransi jiwa; (5) kiriman famili atau pihak lain secara rutin, ikatan dinas, beasiswa, dan sebagainya.
12
Pendapatan yang diterima oleh nelayan tergantung pada hasil tangkapan atau produksi dan harga yang berlaku, dimana teknologi akan sangat menentukan terhadap hasil usaha penangkapan diantaranya perlengkapan yang digunakan dalam operasi penangkapan seperti motor. Selain itu dipengaruhi oleh daerah penangkapan ikan (fishing ground), cuaca saat itu dan efektivitas alat tangkap yang digunakan (Hermanto 1986) Pendapatan nelayan berasal dari dua sumber, yaitu : pendapatan dari usaha penangkapan ikan dan pendapatan dari luar usaha penangkapan ikan. Sumber pendapatan utama bagi nelayan yaitu berasal dari usaha penangkapan ikan sedangkan pendapatan dari luar usaha penangkapan ikan, biasanya lebih rendah (Sayogyo 1996). Beberapa definisi yang berkaitan dengan pendapatan, yaitu (Soekartawi, 1986) : 1) Penerimaan tunai, yaitu nilai uang yang diterima dari penjualan produk; 2) Pengeluaran tunai, yaitu jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi industri; 3) Pendapatan tunai, yaitu selisih antar penerimaan tunai dengan pengeluaran tunai; 4) Penerimaan kotor, yaitu produksi total usaha dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual; 5) Pengeluaran total usaha, yaitu nilai semua masukan yang habis terpakai atau dikeluarkan dalam produksi termasuk biaya yang diperhitungkan; 6) Pendapatan bersih usaha, yaitu selisih antara penerimaan kotor dan pengeluaran total usaha. Menurut Sayogyo (1996) tingkat kemiskinan dibagi menjadi beberapa kategori antara lain : 1) Tidak miskin, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih besar dari nilai tukar 320 kg beras untuk daerah pedesaan atau lebih besar dari 420 kg beras untuk daerah perkotaan; 2) Miskin, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari nilai tukar 320 kg beras untuk daerah pedesaan atau lebih rendah dari 420 kg beras untuk daerah perkotaan;
13
3) Miskin sekali, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari nilai tukar 240 kg beras untuk daerah pedesaan atau lebih rendah dari 360 kg beras untuk daerah perkotaan; 4) Paling miskin, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari nilai tukar 180 kg beras untuk daerah pedesaan atau lebih rendah dari 270 kg beras untuk daerah perkotaan.
2.6 Koperasi Unit Desa Koperasi perikanan atau KUD Mina berfungsi sebagai pusat pelayanan berbagai perekonomian nelayan di desa-desa pantai. Usaha yang dilakukan didasarkan kepada sarana-sarana, jasa-jasa dan kemudahan yang diperlukan untuk usaha perikanan bagi para nelayan anggotanya (Departemen Koperasi, 2002). Koperasi perikanan didirikan untuk menyatukan dan menggabungkan usahausaha nelayan yang umumnya masih miskin dan belum begitu maju tingkat pengetahuannya. Dengan bersatu dan kerjasama dalam sebuah koperasi perikanan, para nelayan dapat mengumpulkan modal dan berusaha untuk memperbaiki usahanya dengan tidak menggantungkan nasibnya pada tengkulak atau kaum pemodal (Departemen Koperasi, 2002). Berdasarkan Undang-Undang No.25 Tahun 1992 Pasal 3 tentang pokok-pokok perkoperasian menyatakan bahwa tujuan KUD Mina sebagaimana tujuan koperasi pada umumnya, yaitu : 1) Memajukan kesejahteraan anggotanya; 2) Memajukan kesejahteraan masyarakat; 3) Turut serta dalam membangun tatanan perekonomian nasional. KUD juga berfungsi sebagai sarana informasi yang dapat menunjang pengambilan keputusan serta kebijakan dalam pengembangan. Selama ini banyak informasi yang telah tersedia, namun informasi tersebut masih tersebar dalam berbagai sumber seperti lembaran-lembaran pencatatan dan buku laporan. Hal ini menyebabkan penggunaan informasinya menjadi kurang efektif dan efisien (Kuswardani, 2007).
14
Koperasi perikanan mempunyai tiga manfaat utama bagi anggotanya antara lain manfaat ekonomi, sosial dan teknologi (Saefudin dalam Desiwardani, 2005). Manfaat ekonomi akan dirasakan oleh para anggotanya bila terjadi perbaikan ekonomi yang ditandai dengan peningkatan pendapatan anggota dibandingkan dengan bila tidak menjadi anggota koperasi. Adanya pemenuhan kebutuhan anggota akan sarana produksi yang murah, kepastian menjual hasil produksi dan kepuasan memperoleh harga jual dan harga beli produk serta pinjaman modal untuk menunjang kegiatan produksi (Departemen Koperasi, 2002). Selanjutnya dikatakan bahwa terdapat manfaat sosial yang dirasakan anggota apabila terjalin kerjasama antara anggota dan masyarakat dalam menjalankan kegiatan usahanya, serta terbuka peluang dan kesempatan kerja bagi anggota dan masyarakat dalam koperasi. Manfaat teknologi dapat dirasakan anggota melalui informasi teknologi, kegiatan pengenalan dan pengembangan bersangkutan.
teknologi
baru
yang
diselenggarakan
oleh
koperasi
yang
15
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan data dilakukan dari bulan Maret sampai bulan April tahun 2008, dengan tempat penelitian di Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke Propinsi DKI Jakarta.
3.2 Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan adalah data hasil wawancara dari berbagai pihak terkait. Alat yang digunakan di dalam penelitian ini adalah kuesioner.
3.3 Metode Penelitian dan Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan studi kasus tentang aspek pendapatan nelayan dari usaha penangkapan ikan dan tentang retribusi pelelangan ikan di PPI Muara Angke, yang sebagian akan kembali sebagai bagian dari pendapatan nelayan. Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling, yaitu metode dimana responden yang dipilih secara sengaja untuk menentukan tujuan tertentu, dengan mengandalkan logika atas kaidah-kaidah yang berlaku yang didasari semata-mata dengan tujuan peneliti (Fauzi, 2001). Purposive sampling yang dimaksud dalam penelitian ini bahwa jenis dan jumlah responden yang diambil pada saat penyebaran kuesioner telah mewakili tuhuan penelitian. Pada penelitian ini telah diambil sampel tiga alat tangkap terbanyak yang ada di PPI Muara Angke, yaitu jaring cumi, bubu dan purse seine. Dari ketiga macam alat tangkap tersebut, kemudian diambil lagi 5 responden per jenis alat tangkap agar maksud dan tujuan yang diinginkan terwakilkan dan tercapai. Keseluruhan responden yang diambil adalah sebanyak 15 responden.
16
Data yang telah dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan, pihak pengelola TPI, dan pihak KUD Mina Jaya dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Data primer dilakukan untuk mengetahui besarnya pendapatan nelayan dan juga mengetahui besarnya dana kompensasi dari retribusi pelelangan ikan yang diterima oleh nelayan pada saat nelayan membutuhkan. Data tersebut mencakup identitas responden, biaya operasional penangkapan ikan, volume jenis dan nilai hasil tangkapan yang diperoleh per trip, biaya retribusi yang dikeluarkan setiap melelang hasil tangkapannya, bagian retribusi yang kembali pada nelayan pada saat nelayan membutuhkan, lama trip, pendapatan bersih dan pendapatan kotor yang diterima, proses dan waktu pelelangan, retribusi pelelangan, persen retribusi yang dikenakan oleh nelayan dan penjual pada saat melakukan pelelangan ikan, persen retribusi yang diterima oleh pihak KUD, persen retribusi yang seharusnya dapat diterima oleh nelayan. Penyebaran kuesioner dan wawancara dilakukan pada beberapa pihak yang terkait, antara lain : 1)
Nelayan Nelayan yang diambil sebagai sampel adalah nelayan dengan jenis jumlah alat tangkap dominan di PPI Muara Angke pada tahun 2007 yang masingmasing adalah jaring cumi 621 unit, purse seine 488 unit dan bubu 211 unit. Masing-masing dari alat tangkap tersebut diambil 5 responden untuk diwawancara. Jenis nelayan yang diambil sebagai sampel adalah nelayan pemilik, nahkoda dan ABK.
Informasi yang diperoleh berupa biaya
operasional melaut, volume, jenis dan nilai hasil tangkapan yang diperoleh per trip, dan harga ikan per kilogram, biaya retribusi yang dikeluarkan tiap melelang hasil tangkapannya, jenis hasil tangkapan yang didaratkan, bagian retribusi yang kembali pada nelayan pada saat nelayan membutuhkannya, lama trip, pendapatan bersih dan kotor yang diterima.
17
2) Pihak Pengelola TPI Informasi yang diperoleh berupa data hasil tangkapan yang terjual pada saat lelang, proses pelelangan, lamanya pelelangan, jumlah keranjang dan retribusi pelelangan. Sampel yang diambil sebagai responden sebanyak lima orang. 3)
Pihak KUD Mina Jaya Informasi yang diperoleh pada saat wawancara antara lain persen retribusi yang dikenakan oleh nelayan dan penjual pada saat melakukan pelelangan ikan, persen retribusi yang diterima oleh pihak KUD, persen retribusi yang dikembalikan lagi oleh nelayan. Sampel yang diambil sebagai responden sebanyak tiga orang. Data sekunder diambil dari Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan DKI
Jakarta, dan UPT. Pengelola Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke berupa data yang berhubungan dengan kegiatan pelelangan ikan dan retribusi pelelangan ikan, yaitu data jenis hasil tangkapan, produksi hasil tangkapan lima tahun terakhir, dan pembagian retribusi yang telah ditetapkan oleh Keputusan Gubernur DKI Jakarta.
3.4 Metode Analisis Data 3.4.1 Analisis pendapatan nelayan Untuk menganalisis pendapatan nelayan di PPI Muara Angke, dilakukan analisis finansial. Analisis pendapatan nelayan terbatas dari usaha penangkapan ikan per trip ketika penelitian dilakukan atau pada musim paceklik. Pendapatan nelayan dapat dihitung dengan cara : 1) Total penerimaan per trip dihitung dengan mengalikan antara jumlah hasil tangkapan dengan harga ikan per kilogram; 2) Total penerimaan yang didapat tersebut, dikurangi biaya retribusi pelelangan ikan sebesar 3%; 3) Setelah pendapatan tersebut dipotong biaya retribusi, kemudian menghitung biaya operasional. Biaya operasional didapat dengan cara menjumlahkan semua
18
biaya yang dibutuhkan nelayan selama melaut, dan di darat yang terkait dengan kegiatan atau usaha penangkapan ikan. Biaya operasional merupakan penjumlahan dari seluruh biaya terkait yang dibutuhkan oleh nelayan dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut. Biaya operasional yang dibutuhkan antara lain bahan bakar (bensin, solar, minyak tanah, oli), air tawar, es, biaya administrasi (biaya untuk di darat, biaya untuk upah, pajak penghasilan, biaya retribusi-retribusi lelang), biaya perizinan (izin berlayar, biaya tambat labuh, biaya bongkar muat), biaya pembelian alat tangkap, biaya perawatan alat tangkap), biaya lain-lain untuk kebutuhan nelayan. 4) Untuk menghitung pendapatan bersih yang akan diterima nelayan, maka perlu dihitung selisih antara total penerimaan setelah dipotong biaya retribusi lelang dengan biaya-biaya operasional yang telah dihitung sebelumnya; 5) Pendapatan tersebut dibagikan kepada pemilik kapal, nahkoda dan para ABK yang ikut melaut dengan persentase yang telah ditentukan sebelumnya. Pendapatan bersih (π) nelayan dihitung berdasarkan selisih antara penerimaan total (total revenue/TR) dengan biaya total (total cost/TC) dengan rumus (Hernanto 1986 diacu dalam Purnomo, 1999) :
π = TR – TC Kriteria yang digunakan : π > 0 = untung, π < 0 = rugi
π
= Pendapatan bersih
TR = Total Revenue atau total penerimaan TC = Total Cost atau total biaya Contoh perhitungan ini bertujuan untuk mengetahui komponen-komponen input dan output yang terlibat di dalamnya dan besar keuntungan yang diperoleh dari usaha yang dilakukan.
19
3.4.2 Analisis persentase retribusi Persentase retribusi pelelangan ikan di PPI Muara Angke, dianalisis melalui metode deskriptif dengan cara mentabulasi perbandingan jenis atau bagian retribusi yang diterima nelayan dengan kenyataan di lapangan yang diterima oleh nelayan. Dari pendapatan nelayan akan dipotong untuk membayar biaya retribusi berdasarkan jenis retribusi yang telah ditentukan. Setiap selesai melelang hasil tangkapannya, nelayan harus membayar biaya retribusi pelelangan ikan. Biaya retribusi pelelangan ikan tersebut nantinya akan kembali lagi ke nelayan dalam bentuk asuransi nelayan, dana paceklik, dan dana sosial penanggulangan darurat kecelakaan di laut. Setelah mengetahui berapa biaya retribusi yang akan diterima kembali oleh nelayan, maka akan dilakukan perbandingan dengan biaya retribusi yang benar-benar diterima atau dirasakan oleh nelayan. Setelah itu, mencocokkan antara jawaban yang diberikan oleh nelayan dan jawaban yang diberikan oleh pihak KUD Mina Jaya. Pada kenyataannya, biaya retribusi yang akan diterima oleh para nelayan tidak sesuai dengan biaya retribusi yang telah ditetapkan oleh pemerintah, mungkin akan lebih kecil jumlahnya dari yang seharusnya diterima nelayan, atau bahkan nelayan tidak merasakan dan tidak mendapatkannya sama sekali dari KUD. Selanjutnya besaran persen retribusi yang diterima oleh nelayan akan dianalisis secara deskriptif.
4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kota Jakarta 4.1.1 Letak geografis dan topografi Jakarta Utara Wilayah Jakarta Utara yang merupakan bagian dari pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, ternyata pada abad ke-5 justru merupakan pusat pertumbuhan pemerintah Kota Jakarta yang tepatnya terletak di Muara Sungai Ciliwung di daerah Angke. Saat itu Muara Sungai Ciliwung merupakan Bandar Pelabuhan Kerajaan Tarumanegara di bawah pimpinan Raja Purnawarman. Betapa penting wilayah Jakarta Utara pada saat itu dapat dilihat dari perebutan silih berganti antara berbagai pihak, yang peninggalannya sampai kini dapat ditemukan di beberapa tempat di Jakarta Utara, seperti Kelurahan Tugu, Pasar Ikan dan lain sebagainya (Anonymous, 2007). Jakarta Utara mempunyai luas 139,56 km2, daratan Jakarta Utara membentang dari barat ke timur sepanjang kurang lebih 35 km, menjorok ke darat antara 4 sampai 10 km, dengan kurang lebih 110 pulau di Kepulauan Seribu. Ketinggian dari permukaan laut antara 0 sampai dengan 2 meter, di tempat tertentu ada yang berada di bawah permukaan laut yang sebagian besar terdiri dari rawa-rawa atau empang air payau. Wilayah ini merupakan pantai beriklim panas, dengan suhu rata-rata 28,50C, curah hujan setiap tahun rata-rata 115,12 mm dengan maksimal pada bulan Februari 317,10 mm sedangkan kelembaban udara rata-rata 72%, yang disapu angin dengan kecepatan sekitar 2,4 knot sepanjang tahun. Curah hujan tertinggi pada tahun 2007 lebih kecil dibanding tahun lalu yang mencapai 1381,40 mm. Daerah pantai dan tempat bermuaranya sembilan sungai, yaitu Sungai Ciliwung, Sungai Cisadane, Kali Pesanggrahan, Kali Angke, Kali Grogol, Kali Sunter, Kali Cakung, Kali Cipinang dan Kali Krukut serta dua banjir kanal, menyebabkan wilayah ini merupakan daerah rawan banjir, baik kiriman maupun banjir karena air pasang laut (Anonymous, 2007).
21
Batas wilayah Kota Jakarta Utara adalah sebagai berikut : 1) Sebelah Utara
: Laut Jawa koordinat 106029’00” BT - 015010’00” LS dan 106007’00” BT - 005010’00” LS
Berbatasan dengan wilayah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. 2) Sebelah Selatan : Berbatasan dengan wilayah Kota Jakarta Pusat dan Kota Jakarta Timur 3) Sebelah Barat
: Berbatasan dengan wilayah Kota Jakarta Barat dan
Kabupaten Tangerang Provinsi Banten 4) Sebelah Timur
: Berbatasan dengan Kota Jakarta Timur dan Kabupaten
Administratif Bekasi Provinsi Jawa Barat. Kota Jakarta Utara merupakan wilayah administratif sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 94 Tahun 1991 dan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1813 Tahun 1991 tentang sebutan Wilayah Administratif, Kepala Pemerintahan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1990 wilayah Jakarta Utara terdiri dari enam wilayah Kecamatan dengan 32 Kelurahan, yaitu : 1) Kecamatan Penjaringan meliputi 5 Kelurahan 2) Kecamatan Tanjung Priok meliputi 7 Kelurahan 3) Kecamatan Koja meliputi 7 Kelurahan 4) Kecamatan Kelapa Gading meliputi 3 Kelurahan 5) Kecamatan Cilincing meliputi 7 Kelurahan 6) Kecamatan Pademangan meliputi 3 Kelurahan. 4.1.2 Penduduk Kota Jakarta Utara Pada tahun 2006, jumlah penduduk di Jakarta Utara mencapai 1.180.967 jiwa yang terdiri dari 51,21% laki-laki dan 48,79% perempuan (BPS Kota Jakarta Utara, 2007). Berdasarkan data yang ada, diketahui bahwa jumlah nelayan Jakarta Utara pada tahun 2007 adalah 19.234 orang yang tersebar di beberapa wilayah. Nelayan tersebut tersebar di wilayah pesisir Kelurahan Kamal Muara, Kelurahan Pluit,
22
Kelurahan Pademangan, Kelurahan Tanjung Priok, Kelurahan Lagoa, Kelurahan Kalibaru, Kelurahan Cilincing, dan Kelurahan Marunda. Selain nelayan, juga terdapat pengolah, pedagang ikan, pembudidaya ikan hias, konsumsi maupun pelaku ekonomi di sektor perikanan banyak terdapat di Jakarta Utara. Selanjutnya disebutkan bahwa penduduk di Jakarta Utara juga bergerak di sektor peternakan. Para penduduk banyak berprofesi sebagai pembudidaya ternak seperti itik, ayam buras, burung puyuh, perkutut serta olahan hasil ternak (Anonymous, 2007). Berdasarkan data Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil 2007, jumlah penduduk Jakarta Utara sebanyak 1.180.967 jiwa, berada di tempat kedua terbanyak setelah Jakarta Timur sebanyak 2.166.390 jiwa. Padatnya penduduk menimbulkan berbagai masalah di Jakarta Utara, seperti perkelahian warga atau masalah ketenagakerjaan. Jumlah penduduk yang begitu banyak menyebabkan semakin tinggi angka pencari kerja, sedangkan lapangan kerja yang tersedia jumlahnya terbatas. Hal ini akan mengakibatkan tertekannya subsektor perikanan, yaitu banyaknya tenaga kerja yang masuk kedalam subsektor ini, dengan dibekali keahlian seadanya. Tenaga kerja yang masuk kedalam subsektor perikanan biasanya banyak yang menjadi buruh. Buruh tidak memerlukan keahlian khusus, karena hanya dengan mengandalkan tenaga dan kekuatan pun sudah dapat menjadi buruh. Hal inilah yang menyebabkan subsektor perikanan menjadi kurang maju. 4.1.3 Kondisi perikanan tangkap Kota Jakarta Utara 1) Unit Penangkapan Ikan (1) Armada Penangkapan dan Alat Tangkap Kegiatan usaha penangkapan ikan yang dilakukan oleh masyarakat di Jakarta Utara menggunakan berbagai alat tangkap seperti jaring payang, purse seine, rampus, gillnet, bagan, bubu, pancing. Alat tangkap jaring payang, purse seine, rampus, gillnet, bagan, bubu, pancing banyak dioperasikan oleh nelayan Muara Angke. Alat tangkap jaring rampus, payang, jaring kejer, bubu, dogol, trawl banyak dioperasikan oleh nelayan Cilincing. Alat tangkap jaring kejer, payang, bagan dan
23
sero banyak dioperasikan oleh nelayan di Kamal Muara. Alat tangkap gillnet dan pancing tuna longline banyak dioperasikan oleh nelayan di Muara Baru. Armada penangkapan yang digunakan nelayan di Jakarta Utara yaitu perahu tanpa motor, perahu motor tempel dan kapal motor. Perkembangan jumlah armada penangkapan yang paling banyak terdapat di Kecamatan Penjaringan kemudian disusul Kecamatan Cilincing dan Kecamatan Koja serta Kecamatan Pademangan. Jumlah armada perikanan tangkap di Kota Jakarta Utara dari tahun 2003 sampai 2007 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Armada perikanan tangkap di Kota Jakarta Utara, 2003-2007 Jenis Armada Motor Tempel (Unit) Perahu Tanpa Motor (Unit)
Kapal Motor (Unit)
Jumlah Armada (Unit)
0-5 GT 5-10 GT 10-20 GT 20-30 GT 30-50 GT >50 GT Jumlah
2003
2004
Tahun 2005
958
909
810
729
765
562
682
617
554
431
439 1.481 679 462 57 823 3.941
502 1.492 683 467 49 795 3.988
451 1.343 615 421 45 726 3.601
406 1.209 554 379 39 653 3.24
430 1.276 659 354 34 760 3.413
5.461
5.582
5.028
4.523
4.609
2006
2007
Sumber : Suku Dinas Peternakan Perikanan & Kelautan Jakarta Utara, Desember 2007
Berdasarkan Tabel 1 diatas, terlihat bahwa jumlah armada penangkapan di Jakarta Utara sejak tahun 2003 hingga tahun 2007 mengalami fluktuasi. Pada tahun 2004 jumlahnya mengalami kenaikan, kemudian menurun kembali pada tahun 2995. Pada tahun 2007, jumlahnye kembali meningkat. Dapat diketahui bahwa jumlah armada terbanyak terjadi pada tahun 2004 yaitu 5.582 unit yang terdiri atas 3.988 unit kapal motor, 685 unit perahu tanpa motor dan 909 motor temple. Jumlah armada terendah adalah pada tahun 2006, yaitu 4.523 unit yang terdiri atas 3.240 unit kapal motor, 554 unit perahu tanpa motor dan 729 unit motor temple (Anonymous, 2007).
24
Perkembangan jumlah nelayan dan armada penangkapan dari tahun 2003 hingga 2007 cenderung menurun dikarenakan beberapa hal : a. Makin jauhnya daerah penangkapan ikan (fishing ground) mengakibatkan biaya operasional lebih mahal sehingga sebagian nelayan tidak sanggup melaut; b. Naiknya harga bahan bakar minyak menyebabkan biaya operasional lebih mahal sehingga sebagian nelayan beralih profesi seperti menjadi pedagang, sopir dan buruh pabrik serta tukang ojek; c. Mahalnya biaya perawatan sehingga banyak kapal yang rusak tidak dapat beroperasi; d. Semakin sulitnya hidup di Jakarta dan banyak tempat tinggal mereka yang ditertibkan sehingga sebagian nelayan kembali ke daerah asalnya; e. Beralihnya fungsi kapal ikan menjadi kapal transportasi umum seperti kapal barang dan kapal penumpang. Daerah tujuan penangkapan ikan bagi nelayan-nelayan Jakarta Utara adalah : Bangka Belitung, Perairan Sumatera, Selat Karimata, Laut Jawa, Perairan Kalimantan Barat, Kepulauan Natuna,, Teluk Jakarta, Perairan Karawang, perairan Papua dan perairan Karimun Jawa. Jenis-jenis ikan yang tertangkap oleh nelayan Jakarta Utara dari berbagai daerah diantaranya adalah sotong, cumi-cumi, udang, pari, kerapu, bawal dan lain-lain (Anonymous, 2007). Pesatnya pertumbuhan Kota Jakarta sebagai daerah industri dan pariwisata diikuti pula dengan pertambahan penduduk yang begitu pesat. Tingginya tingkat pertambahan penduduk ini diikuti pula dengan kebutuhan akan konsumsi yang semakin tinggi. Salah satu komoditas unggulan dalam pemenuhan protein hewani masyarakat tersebut adalah komoditas perikanan. (2) Nelayan Usaha penangkapan ikan tidak akan berjalan baik apabila tidak dilengkapi dengan unit penangkapan ikan yang terdiri dari nelayan, alat tangkap dan kapal perikanan. Oleh karena itu, nelayan merupakan salah satu komponen yang berperan
25
penting dalam suatu operasi penangkapan ikan. Nelayan merupakan suatu unsur yang terlibat secara langsung dalam kegiatan penangkapan ikan. Jumlah nelayan di DKI Jakarta sampai tahun 2007 tercatat sebanyak 19.234 orang, yang terdiri dari nelayan pemilik 4.103 orang dan nelayan pekerja 15.131 orang. Berdasarkan status kependudukannya, dari 19.234 orang nelayan ini terdiri dari 12.027 orang nelayan penetap dan 7.207 orang nelayan pendatang. Apabila ditinjau dari status kepemilikan usaha, maka nelayan terbagi atas nelayan pemilik dan nelayan pekerja. Pada tahun 2007 jumlah nelayan pemilik berjumlah 4.103 orang dan nelayan pekerja berjumlah 15.131 orang. Perkembangan jumlah nelayan di Kota Jakarta dari tahun 2003 sampai tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Perkembangan jumlah nelayan penetap dan pendatang di Wilayah Kota Jakarta Utara 2003-2007 Tahun
Status Nelayan Nelayan penetap (orang)
Nelayan pendatang (orang)
Jumlah nelayan (orang)
2003
2004
2005
2006
2007
15.724
16.426
15.017
13.516
12.027
Pemilik
3.335
3.473
3.14
2.826
2.441
Pekerja
12.389
12.953
11.877
10.69
9.586
10.877
9.873
8.903
8.018
7.207
Pemilik
2.335
2.241
2.028
1.827
1.662
Pekerja
8.542
7.632
6.875
6.191
5.545
26.601
26.299
23.92
21.534
19.234
Pemilik
5.670
5.714
5.168
4.653
4.103
Pekerja
20.931
20.585
18.752
16.881
15.131
Sumber : Suku Dinas Peternakan Perikanan & Kelautan Jakarta Utara, Desember 2007
2) Produksi Hasil Tangkapan Perairan Pantai Utara Jakarta merupakan daerah penangkapan ikan khususnya oleh nelayan penduduk di sekitar Jakarta Utara. Jenis ikan yang ditangkap diantaranya adalah ikan baronang (Siganus sp), ikan kerapu (Ephinephelus sp), ikan belanak (Valamugil sp), ikan julung-julung (Hemirhampus dussumieri), cendro (Tylosurus sp), kerang hijau (Verna sp) dan lain-lain dapat dilihat pada Tabel 3.
26
Tabel 3 Jenis-jenis ikan hasil tangkapan nelayan Kota Jakarta Utara, 2007 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Jenis Ikan Cucut Tenggiri Tongkol Julung-julung Golot-golot Kembung Kuwe Layang Selar Tembang Teri Cendro atau Garfish Bawal Belanak Beloso Ekor Kuning Kakap Merah Kerapu Kuro Layur Manyung Pari Pepetek Pisang-pisang Cunang
Nama Latin Sphyma sp Scomberomorus commersoni Auxis thazard Hemirhampus dussumieri Chirocentrus spp Rastrelliger sp Caranx spp Decapterus ruselli Selaroides spp Sardinella gibbosa S. Frimbriata Stelophorus indicus S. Devisi Tylosorus crocodiles Fornio niger / Pampus argentus Mugil spp Saurida spp Caeso erytrogaster C. Cuning Lutjanus malabaricus Ephinephelus sp Polynemus Trichiurus spp Arius thalassinus Tigonidae Leiognathus spp Casio chrysozomus Muraenesex (Congresox) spp
Kelompok Pelagis Besar Pelagis Besar Pelagis Besar Pelagis Besar Pelagis Kecil Pelagis Kecil Pelagis Kecil Pelagis Kecil Pelagis Kecil Pelagis Kecil Pelagis Kecil Demersal Demersal Demersal Demersal Demersal Demersal Demersal Demersal Demersal Demersal Demersal Demersal Demersal Demersal
Sumber : Suku Dinas Peternakan Perikanan & Kelautan Jakarta Utara, Desember 2007
Jumlah produksi ikan di Jakarta Utara pada tahun 2007 sebanyak 31.763.259 kg.Jumlah ini merupakan produksi ikan yang didaratkan melalui darat dan laut. Ikan yang didaratkan di Jakarta Utara berasal dari enam pelabuhan, yaitu Muara Baru, Muara Angke, Pasar Ikan, Muara Kamal, Cilincing, dan Kali Baru. Muara Angke merupakan penyumbang terbesar produksi perikanan Jakarta Utara sebesar 17.111.209 kg (53,87%); disusul dengan Muara Baru sebesar 12.617.226 kg (39,72%); Pasar Ikan, Muara Kamal, Cilincing dan Kali Baru masing-masing sebesar 722.305 kg (2,27%), 521.280 kg (1,64%), 263.959 kg (0,83%) dan 527.240 kg (1,66%). Jumlah produksi ikan di TPI dan PPI Kota Jakarta Utara tahun 2003-2007 dapat dilihat pada Tabel 4.
27
Tabel 4. Jumlah produksi ikan di TPI dan PPI Kota Jakarta Utara, 2003-2007 Unit : Ton Lokasi PPI
TPI
Tahun 2003
2004
2005
2006
2007
Muara Angke
12.209,03
11.779,79
9.728,24
17.582,56
17.111,21
Pasar Ikan
765,69
743,19
638,05
688,22
722,32
Muara Baru
10.810,33
10.037,36
5.695,24
6.296,45
12.617,23
Kamal Muara
529,55
577,37
589,37
529,92
521,28
Kalibaru
240,58
326,72
326,80
424,14
527,24
Cilincing
0
422,77
318,29
341,39
263,96
24.553,17
23.887,19
17.295,99
25.862,67
31.763,26
Jumlah
Sumber : Suku Dinas Peternakan Perikanan & Kelautan Jakarta Utara, Desember 2007
Berdasarkan Tabel 4, produksi perikanan Jakarta Utara sejak tahun 2003 hingga 2007 mengalami peningkatan, tetapi pada tahun 2005 mengalami penurunan yang sangat drastis, tetapi kemudian meningkat kembali pada tahun 2006. Hal tersebut disebabkan karena cuaca yang tidak menentu di daerah Laut Jawa, peningkatan BBM yang sangat drastis pada tahun 2005 dan penurunan jumlah armada penangkapan ikan yang beroperasi sehingga jumlah ikan yang didaratkan pun menurun (Anonymous, 2007). Jumlah produksi ikan terbesar adalah pada tahun 2007 dengan total produksi ikan 31.763.259 kg, sedangkan jumlah produksi ikan terendah terjadi pada tahun 2005 dengan total produksi hasil tangkapan sebesar 17.295.993 kg. 3) Tempat pendaratan ikan (TPI) a. TPI Cilincing TPI Cilincing merupakan tempat pendaratan ikan di pantai Jakarta utara yang berkembang secara alami. Aktivitas pendaratan dan berlabuhnya armada perikanan di lokasi ini dapat berkembang mengingat adanya kemudahan bagi armada perikanan untuk berlabuh, baik untuk armada perahu motor maupun kapal motor berukuran kurang dari 5 GT. Berkembangnya TPI ini terutama dipacu oleh adanya akses yang
28
baik untuk mendapatkan alat dan bahan untuk melaut seperti air, es, dan bahan bakar serta alat-alat perikanan dan suku cadang kapal. b. TPI Kalibaru TPI Kalibaru terletak berdekatan dengan TPI Cilincing yaitu di sebelah baratnya dengan kondisi fisik maupun sosial ekonomi yang relatif sama dengan TPI Cilincing. Kegiatan budidaya kerang hijau dan pengolahan hasil perikanan/ ikan asin lebih banyak dilakukan oleh nelayan Kalibaru. Sebagian areal sekitar pemukiman digunakan untuk tempat penjemuran ikan. Luas TPI Kalibaru yaitu 2.084 m2 dengan fasilitas kantor 40 m2 , gedung pelelangan 200 m2 , tempat penjualan ikan 1.400 m2 , dermaga 35 m2 . jumlah armada 158 buah dengan bobot antara 1 GT sampai 5 GT. Alat tangkap yang digunakan yaitu jaring rampus, payang, bagan, pancing dan oboran. Jumlah lapak pengecer 100 buah. c. TPI Muara Baru-PPS Nizam Zachman TPI Muara Baru merupakan tempat pendaratan ikan yang terletak di Kelurahan Penjaringan. TPI ini sebagai tempat pendaratan kapal-kapal gillnet dan tuna longline. Disini terdapat perusahaan coldstorage skala besar. Ikan kualitas ekspor biasanya langsung masuk coldstorage. TPI Muara Baru luasnya sekitar 3.000 ha dan merupakan yang terbesar di Asia. d. TPI Kamal Muara TPI Kamal Muara terletak di Kelurahan Kamal Muara TPI ini sebagai tempat pendaratan kapal-kapal alat tangkap jaring kejer, payang, bagan dan sero. Kegiatan lain yang berkembang adalah pengolahan hasil perikanan yaitu ikan asin. e. TPI Muara Angke PPI Muara Angke terletak di wilayah Kelurahan Pluit Kecamatan Penjaringan Kota Jakarta Utara. Di sekitar kawasan terdapat sungai atau kali yang cukup besar yaitu Kali Adem. Perairan laut Muara Angke dapat dikatakan relatif dangkal dan datar. Pada jarak 300 m dari muara Kali Angke, kedalaman perairan mencapai 1 meter dan pada jarak 450 m dari muara, kedalamannya mencapai 1,5 m, semakin ke Timur kedalaman perairan semakin dalam.
29
Kondisi masyarakat di kawasan PPI Muara Angke tidak jauh berbeda dengan kondisi masyarakat pesisir lainnya dimana kebanyakan masyarakat berprofesi sebagai nelayan dan pelaku perikanan lainnya seperti pedagang ikan dan pengolah hasil perikanan. Sebagian besar nelayan yang ada di Muara Angke merupakan pendatang dari luar wilayah DKI Jakarta seperti Indramayu, Cirebon dan Tegal, demikian juga para pedagang ikan merupakan pendatang yang umumnya sudah berdagang di Muara Angke lebih dari 5 tahun. Muara Angke semula dibangun untuk nelayan kecil dan tradisional tetapi dalam perkembangannya kapal-kapal berukuran besar pun (diatas 50 GT) juga melakukan tambat labuh di pelabuhan tersebut. Keberadaan kapal-kapal besar ini akhirnya menggusur dan memaksa nelayan kecil dan tradisional untuk memilih tempat mendarat sendiri yaitu di sungai-sungai kecil sekitar Muara Angke. Mendaratnya perahu nelayan kecil dan tradisional di sungai-sungai menyebabkan penjualan hasil tangkapan nelayan tidak melalui proses lelang di TPI dan otomatis mengurangi pendapatan retribusi lelang. 4.2 Keadaan Umum PPI Muara Angke 4.2.1 Letak geografis dan topografi PPI Muara Angke Muara Angke dengan luas kurang lebih 65 ha, terletak di delta Muara Angke yang secara administratif terletak di Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Kota Jakarta Utara. Kawasan Muara Angke berbatasan dengan Kali Angke di sebelah Barat dan Selatan, terletak di Jalan Pluit yang dimanfaatkan untuk perumahan nelayan seluas 21,26 ha, dan berdekatan dengan Tambak Uji Coba Budidaya Air Payau seluas 9,12 ha; bangunan pangkalan pendaratan ikan serta fasilitas penunjangnya seluas 5 ha; hutan bakau seluas 8 ha; tempat pengolahan ikan tradisional seluas 5 ha; docking kapal seluas 1,35 ha; lahan kosong seluas 6,7 ha; pasar, bank dan bioskop seluas 1 ha; serta terminal seluas 2,57 ha dan lapangan sepak bola seluas 1 ha (UPT PPI Muara Angke, 2006).
30
Kawasan Muara Angke mempunyai kontur permukaan tanah datar, dengan ketinggian dari permukaan laut antara 0-1 meter. Geomorfologi kawasan pantainya lunak sehingga daya dukung tanah rendah dan proses intrusi air laut tinggi, sedimen dasar laut dominan oleh lumpur (lempung dan lanau). Pasang surut kawasan ini mempunyai sifat harian tunggal dan kisaran antara surut tertinggi dan terendah adalah 1,2 meter dan gerakan periodik ini walaupun kecil tetap berpengaruh pada kondisi pantai kawasan ini. Arus laut pada musim barat berkecepatan 1,5 knot dengan ketinggian gelombang dapat mencapai 1,5 sampai 2 meter (UPT PPI Muara Angke, 2006). Di kawasan tersebut pemerintah telah membangun tempat pelelangan ikan, gedung pasar grosir ikan, gedung pengecer ikan, kios, gudang, kantor yang dimanfaatkan oleh para pengusaha perikanan, kios pujaseri, tempat pengepakan ikan dan berbagai fasilitas penunjang lainnya. Fasilitas yang dibangun pemerintah pada umumnya dapat dimanfaatkan secara baik oleh para pengusaha dan memberikan manfaat luas terhadap masyarakat perikanan, baik berupa penyediaan lapangan kerja maupun keuntungan lainnya bagi masyarakat. Selain pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, sektor swasta juga diberikan kesempatan untuk bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan kawasan. Kesempatan yang ditawarkan pemerintah tersebut ditanggapi positif oleh para pengusaha. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya fasilitas-fasilitas penting bagi usaha perikanan seperti coldstorage, pabrik es, tempat-tempat penyimpanan ikan yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan sehingga mutu dan harga ikan tetap terjaga. Lokasi Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke terletak di daerah yang cukup strategis, aksesibilitas ke tempat ini sangat baik, kondisi jalan beraspal dengan sarana transportasi menuju ke tempat ini adalah bis dan angkutan kota. Dalam perkembangannya, secara fungsional Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke yang berstatus sebagai Pangkalan Pendaratan Ikan Daerah telah memiliki fasilitas sebagaimana dimiliki oleh pelabuhan perikanan nusantara. Hal ini dapat ditinjau dari
31
jumlah produksi hasil perikanan yang didaratkan dan dipasarkan, maupun fasilitas yang dimiliki (UPT PPI Muara Angke, 2006). 4.2.2 Pengelolaan PPI Muara Angke 1) Tugas UPT PKPP dan PPI Muara Angke Unit Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta di bidang pengelolaan kawasan pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan ikan. Sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 105 Tahun 2002 UPT. Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan mempunyai tugas sebagai berikut (UPT PPI Muara Angke, 2006) : (1) Mengatur, mengelola dan memelihara fasilitas pelabuhan perikanan, beserta sarana penunjangnya, (2) Mengelola pemukiman nelayan beserta fasilitas kelengkapannya, (3) Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban lingkungan kawasan pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan ikan. 2) Fungsi UPT PKPP dan PPI Muara Angke Sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 105 Tahun 2002 UPT. Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan mempunyai fungsi sebagai berikut (UPT PPI Muara Angke) : (1) Menyusun program dan rencana kegiatan operasional, (2) Perencanaan, pemeliharaan, pengembangan dan rehabilitasi dermaga dan pelabuhan, (3) Penertiban rekomendasi izin kapal perikanan yang masuk dan keluar pelabuhan perikanan dari aspek kegiatan perikanan, (4) Pelayanan tambat labuh dan bongkar muat kapal ikan, (5) Penyediaan fasilitas penyelenggaraan pelelangan ikan dan penyewaan fasilitas penunjang lainnya,
32
(6) Pengelolaan lahan yang diperuntukan bagi kegiatan usaha yang menunjang usaha perikanan, (7) Pengelolaan sarana fungsional, sarana penunjang dan pengusahaan barang dan atau pihak ketiga, (8) Pelayanan fasilitas sandar kapal, pasar grosir, pasar pengecer, pengolahan ikan, pengepakan ikan gudang hasil perikanan dan usaha pengolahan ikan, (9) Pengkoordinasian kegiatan operasional instansi terkait yang melakukan aktivitas di pelabuhan perikanan, (10) Penyelenggaraan keamanan, ketertiban dan kebersihan di kawasan pelabuhan perikanan, (11) Pengelolaan urusan ketatausahaan. 3) Organisasi UPT PKPP dan Instansi Lain di PPI Muara Angke (1) Organisasi UPT PKPP Sesuai keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 105 Tahun 2002 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Pelaksana Teknis di Lingkungan Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta, susunan UPT terdiri dari : a. Kepala Unit b. Subbagian Tata Usaha c. Subbagian Kepelabuhanan Perikanan d. Seksi Pelelangan Ikan e. Seksi Fasilitas Usaha f. Seksi Pemukiman Nelayan, Keamanan dan Ketertiban g. Sub. Kelompok Jabatan Fungsional Dalam upaya mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsinya di UPT PKPP dan PPI terdapat jabatan non struktural, tetapi juga ada fungsional yang keberadaannya ditetapkan oleh Dinas. Jabatan yang dimaksud yaitu : a. Kepala TPI Muara Angke b. Kepala TPI Muara Baru
33
c. Kepala Pasar Grosir Muara Angke d. Kepala Pasar Grosir Muara Baru e. Kepala Pasar Grosir Pasar Ikan f. Kepala Pengelolaan Hasil Perikanan Tradisional Struktur organisasi UPT PKPP dan PPI Muara Angke Jakarta dapat dilihat pada Gambar 4.
Kepala Unit
Subbag Tata Usaha
Subbag Kepelabuhanan Perikanan
Seksi Pelelangan
Kepala TPI M. Angke
Staf
Kepala TPI M. Baru
Staf
Seksi Fasilitas
Pasar Grosir M. Angke
Staf
Seksi Pemukiman Nelayan, Keamanan dan Ketertiban
Pasar Grosir M. Baru
Staf
Kepala Pasar Ikan
Staf
Kepala PHPT
Staf
Sumber : UPT PPI Muara Angke, 2006
Gambar 4 Struktur organisasi UPT PKPP dan PPI Muara Angke. 2) Instansi Lain yang Terdapat di PPI Muara Angke Dalam memenuhi pelaksanaan pelayanan terhadap masyarakat di kawasan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke, terdapat instansi pemerintah maupun kelembagaan yang terdiri dari (UPT PPI Muara Angke, 2006) : UPT Dinas Perhubungan Laut, Syahbandar dan (Dinas Perhubungan), DPD. HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia), Pos Polisi KP3 Muara Angke, Pos Kesehatan, Pos Pemadam Kebakaran dan Koperasi Perikanan Mina Jaya.
34
4.2.3 Kondisi perikanan tangkap PPI Muara Angke 1) Unit Penangkapan Ikan Unit
penangkapan
ikan
merupakan
salah
satu
faktor
yang
sangat
mempengaruhi perkembangan perikanan di suatu daerah termasuk di PPI Muara Angke. Satu unit penangkapan ikan terdiri dari kapal, alat tangkap dan nelayan. (1) Kapal Armada penangkapan ikan yang berbasis di PPI Muara Angke mencakup tiga jenis, yaitu perahu layar, motor tempel dan kapal motor. Perahu layar yang digunakan sebagai armada perikanan memiliki ukuran sedang sampai berukuran besar. Jumlah armada yang menggunakan perahu layar amat sedikit karena perahu layar merupakan armada perikanan tradisional. Perahu motor tempel banyak digunakan oleh nelayan kelas menengah. Jumlah yang paling banyak digunakan adalah kapal motor. Kapal motor digolongkan berdasarkan ukuran volume kapal menjadi 6 kelompok, yaitu masing-masing 5 GT, 10 GT, 20 GT, 30 GT, 50 GT dan diatas 50 GT (Novri, 2006). Selanjutnya dikatakan bahwa armada kapal perikanan yang terdapat di PPI Muara Angke didominasi oleh jenis kapal motor yang berukuran antara 30 GT sampai diatas 50 GT. Pada awalnaya, perahu layar dan perahu motor tempel melakukan bongkar muat di PPI Muara Angke, tetapi sekaran ini perahu-perahu tersebut melakukan bongkar muat di daerah Kali Adem. Kapal perikanan yang melakukan aktivitas tambat labuh maupun bongkar muat di PPI Muara Angke terdiri atas kapal dengan ukuran ≤30 GT dan >30 GT. Terdapat dua jenis kapal yang beraktivitas di PPI Muara Angke yaitu kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut, seperti terdapat pada Tabel 5. dibawah ini. Jumlah kapal yang melakukan tambat labuh di PPI Muara Angke periode 2003-2007, terbanyak adalah pada tahun 2005. Kapal-kapal ini terdiri atas kapal angkutan sebesar 28,18% dan kapal penangkap ikan sebanyak 71,82%. Berdasarkan ukurannya, kapal-kapal ini terbagi atas kapal berukuran ≤ 30 GT sebanyak 74,34% dan kapal berukuran >30 GT sebesar 25,66% pada tahun 2005.
35
Tabel 5 Rekap kapal tambat di PPI Muara Angke, 2003-2007 Tahun
Jumlah
GT
Jenis Kapal
Kapal
≤ 30
> 30
Pengangkut
Penangkap Ikan
2003
4.884
4.111
773
1.761
3.123
2004
4.930
3.884
1.046
1.407
3.523
2005
5.210
3.873
1.337
1.468
3.742
2006
4.892
3.701
1.191
1.006
3.886
2007
4.303
3.662
641
1.008
3.295
Sumber : UPT PPI Muara Angke 2008
Sementara itu, jumlah kapal terendah adalah pada tahun 2007 yaitu sebesar 15,81% dari semua jumlah total kapal dari tahun 2003 sampai tahun 2007. Kapalkapal ini terdiri atas kapal angkutan sebesar 23,43% dan kapal penangkap ikan sebesar 76,57%. Berdasarkan ukurannya, kapal-kapal ini terbagi atas kapal berukuran ≤ 30 GT sebesar 85,10% dan kapal berukuran >30 GT sebesar 14,27%. Jumlah kapal di PPI Muara Angke pada tahun 2007 menurun disebabkan karena banyak kapal yang berpindah tempat ke pelabuhan perikanan lain di daerah Jakarta Utara untuk membongkar hasil tangkapannya karena ketidakcocokkan harga atau harga lebih tinggi pada saat akan melelang hasil tangkapannya di pelabuhan lain yang ada di Jakarta. Kapal angkutan berfungsi untuk mengangkut hasil tangkapan yang akan didistribusikan ke tempat lain. (2) Alat Tangkap Terdapat berbagai jenis alat tangkap yang dioperasikan oleh nelayan di PPI Muara Angke. Jenis alat tangkap yang mendominasi antar lain purse seine, bukoami, jaring cumi, bubu, cantrang dan gillnet, sedangkan alat tangkap lainnya adalah muroami, fishnet, jaring tangsi, jaring nilon, payang, lampara, pancing dan liongbun. Perkembangan jumlah alat tangkap yang dioperasikan nelayan di PPI Muara Angke terdapat pada Tabel 6.
36
Tabel 6 Perkembangan jumlah alat tangkap yang dioperasikan nelayan PPI Muara Angke, 2003-2007 Tahun
Alat Tangkap Purse J.Cumi Gillnet Seine 316 823 516
Bukoami
Bubu
2003
622
634
2004
803
560
553
982
2005
931
426
572
2006
1.158
334
2007
1.619
211
Jumlah
Cantrang
Lainnya
0
212
3123
485
0
140
3523
982
391
287
153
3742
792
1.097
174
267
64
3.886
621
488
173
125
58
3.295
Sumber : UPT PPI Muara Angke, 2008
Alat tangkap yang paling banyak dioperasikan oleh nelayan-nelayan yang beraktivitas di PPI Muara Angke adalah bukoami yaitu sebesar 29,22% kemudian disusul oleh alat tangkap purse seine sebesar 24,88% kemudian alat tangkap jaring cumi sebesar 16,24% dan bubu sebesar 12,32%. Jenis alat tangkap lainnya seperti muroami, fishnet, jaring tangsi, jaring nilon, payang, lampara, pancing dan liongbun sebesar 3,57%. Jumlah alat tangkap terbanyak yang dioperasikan terdapat pada tahun 2006, yaitu sebesar 22,12% dan menurun pada tahun 2007 menjadi 18,75%. Penurunan jumlah alat tangkap seiring dengan penurunan jumlah armada penangkapan, hal tersebut diduga karena banyak kapal yang berpindah tempat ke pelabuhan lebih besar seperti PPS Nizam Zachman untuk membongkar hasil tangkapannya ke pelabuhan perikanan lain karena ketidakcocokkan harga pada saat akan melelang hasil tangkapannya. Jika dilihat pada Tabel 10 alat tangkap gillnet dari tahun 2003 hingga tahun 2007 mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan karena adanya peralihan alat tangkap yang semula gillnet berubah menjadi alat tangkap lain. Hal ini antara lain karena hasil tangkapan yang diperoleh dari alat tangkap gillnet tidak sebanyak hasil tangkapan yang diperoleh dengan menggunakan alat tangkap lain, dan terkadang mutu hasil tangkapannya pun tidak sebagus mutu hasil tangkapan dari bubu, purse seine atau bukoami.
37
(3) Nelayan Berdasarkan statusnya, nelayan yang memanfaatkan PPI Muara Angke sebagai tempat tambat labuh maupun bongkar muat terbagi atas nelayan penetap dan nelayan pendatang. Klasifikasi nelayan tersebut dapat terbagi lagi menjadi nelayan pekerja dan nelayan pemilik unit penangkapan ikan. Jumlah nelayan berdasarkan pembagian tersebut dapat dilihat pada Tabel 7. Berdasarkan Tabel 7, dapat terlihat bahwa jumlah nelayan PPI Muara Angke pada tahun 2001 hingga tahun 2003 mengalami fluktuasi. Pada tahun 2002 mengalami kenaikan tetapi pada tahun 2003 mengalami penurunanyang sangat drastis. Penurunan ini disebabkan karena makin jauhnya fishing ground atau daerah penangkapan ikan, naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) dan mahalnya biaya perawatan kapal. Tabel 7 Jumlah nelayan yang melakukan aktivitas bongkar muat dan sandar di PPI Muara Angke, 2001-2003 Status Nelayan
2001
Penetap (orang) Pemilik
2002
11.139 2.277
2003
14.682 2.979
2.663 1.873
Pekerja
8.862
11.703
790
Pemilik
12.802 1.324
11.671 1.813
10.837 1.690
Pekerja
11.478
9.858
9.140
Pemilik
23.941 3.601
26.353 4.792
13.500 9.147
Pekerja
20.340
21.561
4.353
Pendatang (orang)
Jumlah Nelayan (orang)
Sumber : UPT PPI Muara Angke, 2006
Berdasarkan Tabel 7, terlihat bahwa selama periode 2001-2003 jumlah nelayan terbanyak adalah nelayan penetap pekerja pada tahun 2002, yaitu sebanyak 11.703 orang. Jumlah nelayan paling sedikit adalah nelayan penetap pekerja dimana pada tahun 2003 jumlahnya 790 orang. Jika dibandingkan antara jumlah nelayan penetap dan pendatang, ternyata nelayan yang melakukan aktivitas bongkar muat dan sandar di PPI Muara Angke selama periode 2001-2003, yaitu lebih banyak nelayan
38
pendatang karena pendapatan di daerahnya tidak mencukupi untuk menghidupi keluarganya sehari-hari. Hal tersebut disebabkan karena harga ikan yang dilelang di daerah tidak setinggi harga ikan yang dilelang di Jakarta, sehingga dapat mempengaruhi pendapatan nelayan yang bekerja di suatu daerah. Menurut pihak UPT PPI Muara Angke, perkembangan jumlah nelayan mulai tahun 2004 hingga 2007 tidak didapatkan datanya. Hal ini disebabkan mulai dari tahun 2004, pihak UPT (Unit Pelaksana Teknis) PPI Muara Angke sudah tidak lagi melakukan rekapitulasi data nelayan. Rekapitulasi data nelayan dilakukan oleh pihak Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Muara Angke, sehingga pihak UPT PPI Muara Angke tidak lagi memiliki data nelayan yang melakukan tambat labuh di PPI Muara Angke. 2) Produksi dan Hasil Tangkapan Faktor lainnya yang merupakan indikator perkembangan perikanan di suatu daerah adalah jumlah dan nilai produksi perikanan. Jumlah dan nilai serta besarnya retribusi produksi perikanan di PPI Muara Angke pada tahun 2003-2006 dapat dilihat pada Tabel 8. Berdasarkan Tabel 8, dapat diketahui jumlah produksi perikanan PPI Muara Angke yang terbesar yaitu ada tahun 2006 sebesar 10.675,80 ton dengan nilai sebesar Rp35.768.829.845,00. Besarnya retribusi yang diperoleh pihak pelabuhan dari produksi perikanan yang didaratkan di PPI Muara Angke pada tahun 2006 adalah sebesar Rp1.788.426.492,00. Jumlah produksi perikanan PPI Muara Angke yang terendah terjadi pada tahun 2003 yaitu 8.162,70 ton dengan nilai produksi sebesar Rp32.305.832.805,00 dan besarnya retribusi yang diterima oleh pelabuhan perikanan PPI Muara Angke adalah sebesar Rp1.615.291.640,00. Secara umum volume produksi hasil tangkapan yang didaratkan dari tahun 2003 hingga tahun 2006 mengalami peningkatan, begitu pula dengan nilai produksi pada periode yang sama, mengalami peningkatan.
39
Tabel 8 Data jumlah, nilai dan besarnya produksi dan retribusi perikanan di PPI Muara Angke, 2003-2006 Tahun
Produksi (Ton)
Nilai (Rp)
Retribusi (Rp)
2003
8.162,70
32.305.832.805
1.615.291.640
2004
8.109,20
33.311.092.549
1.659.825.565
2005
9.728,20
36.586.381.510
1.729.319.075
2006
10.675,80
35.768.829.845
1.788.426.492
Sumber : UPT PPI Muara Angke 2006
Ikan yang didaratkan di PPI Muara Angke merupakan ikan yang berasal dari laut dan darat. Pasokan ikan dari darat biasanya berasal dari berbagai macam daerah seperti : Tuban dengan hasil tangkapan sebanyak 1,71%; Pekalongan 4,77%; Tegal 3,67%; Cilacap 0,59%; Labuan 1,18%; Bandung 6,73%; Bogor 0,59; Lampung 2,08%; Indramayu 8,79%; Rengasdengklok 0,11%; Serang 0,14%; Ciasem 0,48%; Pemalang 0,42%; Surabaya 9,01%; Rembang 1,24%; Juwana 0,25%; Binuangeun 2,26%; Eretan 1,47%; dan Losari 0,25% (UPT PPI Muara Angke, 2006). Hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Muara Angke sangat beragam. Komposisi produksi hasil tangkapan yang banyak didaratkan pada tahun 2006 adalah ikan bloso, cakalang, cucut, cumi-cumi, baby tuna, kembung, pari, kambing-kambing, lemuru, tembang, tenggiri dan tongkol (Laporan Tahunan PPI Muara Angke, 2006). Para nelayan dengan menggunakan armada penangkapan ikan yang berbasis di PPI Muara Angke melakukan operasi penangkapan ikan di daerah Perairan Bangka Belitung dengan hasil tangkapan 8,65%; Perairan Sumatera dengan hasil tangkapan 10,35%; Selat Karimata 13,41%; Laut Jawa sebanyak 11,60%; Perairan Kalimantan Barat 5,65%; Kepulauan Natuna 2,82% Teluk Jakarta dan Karawang 0,75% dan di Karimun Jawa dengan hasil tangkapan 1,41% (UPT PPI Muara Angke). 4.2.4 Fasilitas Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke Pembangunan dan pengembangan sentra perikanan dan kelautan Muara Angke pada hakekatnya bertujuan untuk mendorong peningkatan kehidupan nelayan agar lebih layak dan bergairah dalam menjalankan kegiatan usahanya. Dampak ekonomis
40
yang dirasakan adalah pertumbuhan sosial ekonomi masyarakat perikanan di Muara Angke yang cukup pesat (UPT PPI Muara Angke, 2006). Fasilitas, sarana, dan prasarana yang telah dibangun di PPI Muara Angke meliputi fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang. Fasilitas pokok pelabuhan terdiri fari kolam pelabuhan, dermaga, dan breakwater. Salah satu fasilitas fungsional adalah gedung TPI, pasar pengecer ikan dan cold storage. Fasilitas penunjang terdiri atas kantor pengawas pelabuhan, balai pertemuan nelayan dan MCK. Hal ini bertujuan untuk menunjang kegiatan operasional di kawasan PPI Muara Angke. Fasilitas-fasilitas tersebut disajikan pada Tabel 9. Pada kawasan tersebut telah dibangun Tempat Pelelangan Ikan (TPI), gedung pasar grosir ikan, gedung pengecer ikan, kios, gudang, kantor yang dimanfaatkan oleh para pengusaha perikanan, kios pujaseri, tempat pengepakan ikan, dan berbagai fasilitas penunjang lainnya. Fasilitas yang dibangun oleh pemerintah pada umumnya dapat dimanfaatkan secara baik oleh para pengusaha dan memberikan manfaat luas terhadap masyarakat perikanan, baik berupa penyediaan lapangan kerja maupun keuntungan lain bagi masyarakat. Selain pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, kepada sektor swasta juga diberikan kesempatan untuk bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan kawasan. Kesempatan yang ditawarkan pemerintah tersebut ditanggapi positif oleh para pengusaha. 1) Fasilitas Pokok Fasilitas pokok yang dimiliki oleh PPI Muara Angke adalah kolam pelabuhan, dermaga bongkar, dan tanggul pemecah (breakwater). Letak ketiga fasilitas pokok ini saling berdekatan. (a) Kolam Pelabuhan Luas kolam pelabuhan PPI Muara Angke adalah 63.993 m2. Kondisi kolam pelabuhan saat ini dirasakan cukup sempit, apalagi pada saat bulan terang karena kapal-kapal yang melakukan bongkar muat di PPI Muara Angke tidak terbatas pada kapal yang berukuran 30 GT kebawah saja. Sebagian besar kapal yang berlabuh
41
adalah yang berukuran 50 GT keatas, sehingga kapal-kapal kecil (< 5 GT) pindah ke Kali Adem karena sangat riskan untuk terjepit. Selain itu, kondisi kolam pelabuhan juga mengalami pendangkalan yang disebabkan sedimentasi dan sisa-sisa badan kapal yang rusak dan tidak diangkat (Novri, 2006). Tabel 9 Fasilitas-fasilitas yang terdapat di PPI Muara Angke No. I.
Jenis Fasilitas Fasilitas Pokok
Volume/Luas
1
Lahan PPI
65 ha
2
Dermaga
403 m2
3
Tanggul Pemecah Gelombang
1.700 m
4 II.
Kolam Pelabuhan
63.993 m2
1
Kantor UPT, PKPP & PPI
1 unit
2
Tempat Pelelangan Ikan
2.212 m2
3
Tempat Pengepakan Ikan
30 unit
4
Kios Gudang Kantor
40 unit
5
Pasar Grosir Ikan
870 kios
6
Pasar Pengecer Ikan
150 kios
7
Kios Ikan Bakar
24 unit
8
Workshop
8 unit
9
Gudang Alat-alat Perikanan
12 unit
Fasilitas Fungsional
10
Waduk Penampungan
1 unit
11
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
1 unit
12
Bengkel Alat Kapal Tradisional
5 unit
13
Cold storage
2 unit
14
SPBU Dwifungsi
1 unit
15
Pabrik Es
1 unit
16
Dock Tradisional
5 unit
17
Sarana Docking Kapal 30 GT
4 unit
18
Tiang Pengikat Kapal/Bolard
122 buah
19
Fender kayu
450 m
20
Tug Boat (KM. Baracuda Jaya II)
1 unit
21 III.
Ponton Keruk (KM. Baracuda Jaya III) Fasilitas Penunjang
1 unit
1
Kantor Pengawas Kapal Perikanan (WASKI)
1 unit
2
MCK
3 unit
Sumber : UPT PPI Muara Angke Tahun 2006
42
(b) Dermaga Bongkar Dermaga PPI Muara Angke memiliki ukuran panjang 403 meter yang terbuat dari beton. Dermaga masih berfungsi cukup baik, namun perlu dilakukan rehabilitasi secara rutin mengingat banyaknya kapal yang melakukan pembongkaran mencapai 15 kapal per hari (Novri, 2006). Fasilitas lain yang terdapat di dermaga adalah fender dan bolard. Fender berupa ban-ban yang digantungkan di dinding dermaga yang dimaksudkan untuk menahan dan mencegah terjadinya benturan antara badan kapal dengan dinding dermaga. Sedangkan bolard berfungsi sebagai tempat untuk mengikatkan tali saat menambatkan kapal dan biasanya berupa tiang bulat. Di PPI Muara Angke terdapat fender kayu sepanjang 450 m2 dan bolard (tiang pengikat kapal) sebanyak 122 buah (UPT PPI Muara Angke, 2006). (c) Tanggul Pemecah Gelombang (Breakwater) Tanggul pemecah gelombang (breakwater) yang berada di kawasan ini memiliki ukuran panjang 1.700 meter. Fasilitas ini tidak dilengkapi dengan lampulampu pelayaran dan terdapat kerusakan di beberapa bagian bangunan dan terdapat bangunan yang sudah terputus (UPT PPI Muara Angke, 2006). 2) Fasilitas Fungsional (a) Tempat Pelelangan Ikan Bangunan TPI secara fisik masih cukup baik, dengan saluran air yang masih berfungsi. Gedung TPI memiliki fasilitas air bersih yang cukup baik, namun kesadaran para pemilik ikan dan para pengguna TPI lainnya masih kurang dan jarang memanfaatkan fasilitas yang disediakan sehingga di sekitar TPI masih terlihat kurang baik. Kondisi Tempat Pelelangan Ikan di PPI Muara Angke dapat dilihat pada Gambar 5.
43
Gambar 5 Kondisi tempat pelelangan ikan Muara Angke. Tempat pelelangan ikan mempunyai nilai strategis dalam upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan. Produksi hasil tangkapan nelayan tergantung pada faktor cuaca, musim dan jumlah kapal yang membongkar hasil tangkapannya di TPI. Sebagai gambaran produksi ikan yang masuk ke DKI Jakarta dalam satu hari ratarata mencapai 100-125 ton (UPT PPI Muara Angke, 2006). (b) Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Dwi Fungsi Dalam upaya pemenuhan kebutuhan bahan bakar bagi para nelayan, pada tahun 1997 telah dibangun satu unit SPBU dwifungsi pada lahan seluas 2.212 m2. SPBU tersebut melayani kebutuhan bahan bakar baik untuk kapal nelayan maupun kendaraan umum. Fasilitas fungsional yang sangat dibutuhkan oleh para nelyan untuk operasional penangkapan adalah BBM (solar). Penyediaan bahan bakar ini dilayani oleh SPBU dwifungsi yaitu selain melayani kebutuhan kapal nelayan juga melayani kebutuhan masyarakat pengunjung menggunakan transportasi darat.
kawasan Muara Angke yang
44
Dalam satu harinya, SPBU ini melayani sekitar 10-25 kapal nelayan. Jumlah pompa pelayanan sebanyak 14 buah, terdiri dari 10 pompa solar, 3 pompa premium dan 1 pompa pertamax. Kapasitas tangki yang ada yaitu 180.000 liter untuk solar, 50.000 liter untuk premium, dan 20.000 liter untuk pertamax. Penjualan bahan bakar selama tahun 2004 adalah solar 4.581.978 liter, premium 4.680.879 liter dan pertamax 245.219 liter (UPT PPI Muara Angke, 2006). (c) Pasar Grosir Ikan Pasar grosir merupakan salah satu sarana mata rantai pemasaran hasil perikanan. Di pasar grosir tersebut tersedia 870 unit lapak yang menampung 275 pedagang grosir. Aktifitas pasar grosir ini rata-rata dilakukan pada malam hari. Dalam rangka peningkatan pelayanan untuk para pemakai fasilitas/pedagang ikan seperti grosir dan masyarakat pembeli ikan, maka telah dibangun penambahan atap grosir blok timur dan barat melalui APBD tahun anggaran 2003. Aktivitas pasar grosir ini rata-rata dilakukan pada malam hari. Ikan yang diperdagangkan selain dari hasil lelang di Muara Angke dan Muara Baru, juga didatangkan dari luar daerah seperti Tuban, Pekalongan, Tegal, Cilacap, Lampung, dan daerah lain. Dalam satu malam perputaran perdagangan ikan di pasar grosir rata-rata mencapai 35 ton (UPT PPI Muara Angke, 2006). (d) Pasar Pengecer Ikan Dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat yang memerlukan ikan dalam jumlah kecil, di Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke telah dibangun fasilitas pedagang pengecer. Luas pasar 1.260 m2 dengan jumlah 150 lapak, sedangkan jumlah pedagang pengecer 148 orang. Renovasi pasar pengecer khususnya panataan lapak dilakukan untuk menampung para pedagang yang berjalan di tepi jalan. Pada tahun 2006 telah dilaksanakan rehabilitasi total terhadap bangunan pasar melalui anggaran APBN. Pasar pengecer ini memenuhi kebutuhan konsumen dan para pengunjung yang akan mengkonsumsi ikan bakar di Pujaseri. Kegiatan di pasar
45
pengecer ikan dalam satu minggu mencapai 500 kg per pedagang, yang puncak keramaiannya sering terjadi pada hari Jumat, Sabtu dan Minggu. Semakin berkembangnya Muara Angke sebagai pusat pemasaran ikan di DKI Jakarta, menyebabkan bertambahnya pedagang ikan. Hal ini menyebabkan banyak pedagang ikan yang berjualan di pinngir jalan, sehingga membuat arus lalu lintas terganggu (UPT PPI Muara Angke, 2006). (e) Cold Storage Ikan merupakan suatu produk yang cepat sekali mengalami pembusukan apabila tidak ditangani secara baik. Kegiatan penanganan ikan semestinya dilakukan sejak
penangkapan,
baik
dengan
cara
pendinginan,
pembekuan
maupun
penggaraman. Pada tahun 2003 diatas lahan 3000 m2 di kawasan PPI Muara Angke dibangun satu unit cold storage oleh investor asing (PT. AGB Tuna) dengan kapasitas 1.000 ton untuk pembongkaran ikan. Pasokan ikan berasal dari nelayan Muara Angke, Palabuhanratu dan Muncar (UPT PPI Muara Angke, 2006). Jenis ikan yang disimpan atau didinginkan atau dibekukan adalah ikan layur, bawal, cumi dan tenggiri dengan besar biaya sewa penitipan Rp15,00/kg/hari. Mengingat kapasitas cold storage tersebut masih belum dapat memenuhi kebutuhan, maka pada tahun 2007, UPT, PKPP dan PPI merencanakan membangun lagi satu unit cold storage dengan kapasitas 1.000 ton. (f) Unit Pengepakan Ikan PPI Muara Angke merupakan salah satu pen-supply kebutuhan pasar ekspor hasil perikanan khususnya dalam bentuk ikan segar untuk memenuhi permintaan pasar luar negeri. Dengan produksi rata-rata setiap bulan 75 ton. Negara tujuan ekspor antara lain Singapura, Malaysia dan Hongkong. Jenis ikan yang diekspor meliputi : udang, bawal, ekor kuning, kakap merah, kerapu, tenggiri, dan lain-lain. Bahan baku ekspor ini didapat dari 40% Tempat Pendaratan Ikan Muara Angke dan 60% didatangkan dari daerah lain. Fasilitas yang disediakan untuk pengepakan ikan ekspor ini terdiri dari gedung pengepakan ikan sebanyak 30 unit dengan luas masing-
46
masing 50-200 m2, terdiri dari bangunan satu lantai dan dua lantai (UPT PPI Muara Angke, 2006). (g) Tangki Air Bersih Terdapat dua unit angki air bersih dengan total volume 20 m3 yang terletak di dermaga muat di pintu gerbang PPI. Air bersih ini banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan pembersihan dermaga bongkar dan tempat pelelangan ikan(UPT PPI Muara Angke, 2006). (h) Sarana Perbaikan Kapal dan Docking Sarana perbaikan kapal dan docking di PPI Muara Angke memiliki lua 16.000 m2 berupa winch house, slipway dan bengkel kapal yang masing-masing berjumlah 4 unit. Fasilitas ini dikelola oleh 3 perusahaan swasta dan sebuah koperasi karyawan Dinas Perikanan DKI Jakarta. Fasilitas ini memiliki kapasitas perbaikan sebanyak 60-90 kapal/bulan. Ukuran kapal yang mampu diperbaiki maksimal sampai 100 GT(UPT PPI Muara Angke, 2006). (i) Pabrik Es Guna memenuhi kebutuha nelayan, pada tahun 2004 telah dibangun 1 unit pabrik es dengan kapasitas 100.000 ton oleh PT. AGB ICE. Fasilitas yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan es sangat lengkap, yaitu sebuah pabrik dengan 4 buah bak dan mesin pembuat es yang dapat menghasilkan 4.700 balok es per harinya. Berdasarkan kapasitas produksi per harinya yang sangat besar, maka tidak ada sistem penjatahan es dari pihak penyedia, berapapun jumlah kebutuhan es nelayan akan dipenuhi. Harga es di PPI Muara Angke dianggap sangat memuaskan bagi nelayan, karena dinilai masih terjangkau dan wajar bagi belayan, yaitu seharga Rp14.000,00 per balok (UPT PPI Muara Angke, 2006).
47
3) Fasilitas Penunjang Beberapa fasilitas penunjang yang dimiliki oleh PPI Muara Angke diantaranya adalah Kantor Operasional Pangkalan Pendaratan Ikan, Fasilitas Pemukiman dan Sarana Umum, Pujaseri Masmurni dan Pusat Jajanan Ikan “Mirasih” (UPT PPI Muara Angke, 2006). (a) Kantor Operasional Pangkalan Pendaratan Ikan Sarana perkantoran berjumlah 12 unit tang tersebar di seluruh kompleks PPI dengan ukuran rata-rata 4x6 meter per unit. Kantor UPT, PKPPI dan PPI Muara Angke ini terletak di dekat pasar pengecer ikan, hanya berjarak 50 meter. Segala pusat administrasi PPI Muara Angke terlaksana di kantor ini. (b) Fasilitas Pemukiman dan Sarana Umum PPI Muara Angke dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengalokasikan lahan seluas 21,26 ha untuk dipergunakan sebagai komplek perusahaan nelayan dengan segala fasilitas pendukungnya seperti sekolah, mulai dari taman kanak-kanak sampai SMP, sarana ibadah berupa mushola dan masjid, puskesmas, rumah sakit paru-paru dan berbagai fasilitas kemasyarakatan lainnya. Rencana kedepan akan dibangun 2.500 unit rumah nelayan yang pelaksanaannya akan dilakukan secara bertahap. Sistem pengelolaan rumah pada umumnya sama dengan BTN maupun perumnas yakni dengan cara sewa-beli dengan jangka waktu antara 15-18 tahun. Jarak antara perumahan nelayan dengan dermaga sekitar 500 meter, sehingga nelayan
tidak
memerlukan
transportasi
untuk
mendatangi
pelabuhan
pemberangkatan. Demikian pila nelayan hanya memerlukan waktu singkat sekitar 10-15 menit untuk pulang ke rumahnya setelah melakukan operasi penangkapan ikan. (c) Pujaseri Masmurni Dalam rangka merangsang minat masyarakat untuk mengkonsumsi ikan, di Muara Angke dibangun Pusat Jajanan Serba Ikan (Pujaseri) Masmurni berupa fasilitas kios ikan bakar yang menampung 24 pedagang pengolah masakan ikan
48
dengan ukuran 5x17 m2. Pujaseri Masmurni ini dibangun pada tahun 1996 bertujuan untuk menciptakan peluang pasar produk hasil perikanan khususnya jenis-jenis ikan yang lazim di konsumsi dalam bentuk bakar. Selain itu, diharapkan agar semakin tumbuh kegemaran masyarakat untuk makan ikan dan menjadikan ikan sebagai lauk/konsumsi sehari-hari. Sesuai dengan Perda DKI Jakarta No. 1 Tahun 2006 setiap pemakaian fasilitas Pujaseri dikenakan biaya sewa sebesar 10.000/bulan per meter persegi. (d) Pusat Jajanan Ikan ”Mirasih” Di Muara Angke terdapat penyedia ikan yang bersih, terjaga mutunya dan siap saji (sudah di siangi) berikut kemasannya serta beberapa souvenir ikan. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki pelayanan kepada konsumen akhir serta memberikan alternatif pilihan jajanan bagi masyarakat. Fasilitas ini diberi nama Pujaseri Mirasih (Pusat Jajanan Serba Ikan Menyediakan Ikan Segar, Murah dan Bersih). Fasilitas ini memberikan kemudahan bagi konsumen dalam mengkonsumsi ikan. Para pengunjung biasanya memenuhi tempat ini pada hari Sabtu dan Minggu. 4.2.5 Profil Koperasi Perikanan Mina Jaya 1) Sejarah Singkat Koperasi Perikanan Mina Jaya Pada tahun 1960 di Jakarta hanya ada satu Koperasi Perikanan, yaitu Koperasi Perikanan di Kepulauan Seribu. Pada bulan November 1960 dilakukanlah gerakan pembentukan Koperasi di Jakarta Utara, masing-masing di Kamal Muara, Bintang Mas, Kalibaru dan Marunda, sehingga terdapat lima Koperasi Tingkat Primer. Pada bulan Desember 1960 kelima Koperasi Perikanan Primer tersebut membentuk Koperasi Pusat Perikanan Laut yang disingkat KPPL Djakarta Raya, yang diberi pengesahan Hak Badan Hukum pada tanggal 2 Maret 1963 Nomor 471/BH/I. Pada tanggal 14 Agustus 1968 Rapat Anggota untuk penyesuaian dengan Undang-undang No.12 tahun 1967 yang disahkan dengan Badan Hukum Nomor : 471/BH/I/12-67 pada tanggal 24 Oktober 1968 dengan nama Gabungan Koperasi Perikanan (GKP) Daerah Khusus Ibukota Djakarta (Anonymous, 2006c).
49
Pada tanggal 30 Desember 1974 diselenggarakan Rapat Anggota Khusus Gabungan Koperasi Perikanan DKI Jakarta yang hasilnya melakukan Amalgamasi (penggabungan) bagi seluruh Koperasi Perikanan di DKI Jakarta, sehingga merubah anggaran dasar Koperasi Perikanan “Mina Jaya” DKI Jakarta yang merupakan awal terbentuknya Koperasi Perikanan “Mina Jaya” DKI Jakarta yang disahkan dengan Hak Badan Hukum No. 471.a/BH/I/12-6 tanggal 9 Juni 1975. Pada tanggal 21 Desember 1995 Rapat Anggota Perubahan Anggaran Dasar untuk penyesuaian dengan Undang-undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian yang kemudian disahkan dengan Hak Badan Hukum No. 172/BH/PAD/KWK.9/VI/1996 dan tetap bernama Koperasi Perikanan “Mina Jaya” Provinsi DKI Jakarta. Sesuai Anggaran Dasar, daerah kerja Koperasi Perikanan “Mina Jaya” adalah meliputi Wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 2) Keanggotaan Koperasi Perikanan Mina Jaya Anggota Koperasi Mina Jaya DKI Jakarta terdiri dari Nelayan Pemilik, Pengolah Ikan, Pedagang Ikan, serta anggota masyarakat yang berkecimpung dalam kegiatan perikanan. Anggota Koperasi Perikanan Mina Jaya pada enam tahun terakhir (2001-2006), dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Anggota Koperasi Perikanan Mina Jaya Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Pria 1.687 1.706 1.987 1.922 1.952 1.968
Wanita 86 114 112 131 126 127
Jumlah 1.733 1.820 2.009 2.053 2.078 2.095
Sumber : Koperasi Perikanan Mina Jaya, 2007
Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa anggota Koperasi Perikanan Mina Jaya yang terbanyak adalah pada tahun 2006 yaitu sebanyak 2.095 orang. Jumlah anggota Koperasi Perikanan Mina Jaya dari tahun 2001 hingga tahun 2006 terus meningkat, hal ini disebabkan karena banyak nelayan yang baru menyadari keuntungan menjadi
50
anggota koperasi perikanan, khususnya nelayan penetap atau nelayan asli DKI Jakarta. Menurut pihak Koperasi Mina Jaya, awalnya para nelayan tidak menyadari keuntungan menjadi anggota koperasi perikanan, tetapi pengurus koperasi terus melakukan penyuluhan tentang pentingnya dan keuntungan menjadi anggota koperasi, sehingga dari tahun ke tahun anggota koperasi terus meningkat. Anggota Koperasi Perikanan Mina Jaya tersebut diklasifikasikan menjadi 9 kelompok (Tabel 11). Tabel 11 Pengklasifikasian anggota Koperasi Perikanan Mina Jaya, 2006 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis Kelompok Pemilik Jaring Gillnet Pemilik Jaring Rampus Pemilik Jaring Kembung Pemilik Alat Lainnya Nelayan ABK Bakul & Pemasaran Ikan Pengolah Ikan Pedagang Klontong Lain-lain Jumlah
Pria 162 182 129 90 435 389 405 80 94 1.968
Wanita 10 11 23 6 32 34 11 127
Jumlah 172 193 153 96 435 421 439 93 94 2.095
Sumber : Koperasi Perikanan Mina Jaya Tahun 2007
Jenis kelompok yang menjadi anggota Koperasi Perikanan Mina Jaya didominasi oleh pengolah ikan, nelayan ABK serta bakul. Hal tersebut disebabkan karena nelayan penetap atau nelayan asli DKI Jakarta lebih banyak yang bekerja menjadi ABK, pengolah ikan dan bakul. Koperasi Perikanan Mina Jaya memberikan jaminan berupa asuransi kepada para anggotanya yang lebih dipentingkan kepada nelayan domisili asli DKI Jakarta. 3) Bidang Permodalan Koperasi Perikanan Mina Jaya Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai koperasi perikanan, Koperasi Perikanan Mina Jaya mendapatkan modal dari banyak sumber, yaitu antara lain dapat dilihat pada Tabel 12.
51
Jika dilihat dari tabel 12, bidang permodalan yang paling besar dari tahun 2004 hingga tahun 2006 berasal dari cadangan. Jumlah modal berasal dari simpanan pokok dan simpanan wajib yang tersisa dari tahun sebelumnya, sehingga koperasi tersebut sudah mempunyai modal awal untuk kegiatannya. Simpanan wajib berasal dari para anggota yang baru bergabung menjadi anggota koperasi perikanan dan iuran per bulan yang harus dibayar para anggota dan diperoleh Rp 93.534.233,00 pada tahun 2006, sedangkan simpanan pokok berasal dari tabungan para anggota yang ingin menabung. Tabel 12 Bidang permodalan Koperasi Perikanan Mina Jaya, 2006 Keterangan
2004 (Rp)
2005 (Rp)
2006 (Rp)
Simpanan Pokok
30.007.500
30.871.500
31.777.500
Simpanan Wajib
83.064.221
88.914.221
93.534.221
Cadangan
102.150.000
152.887.697
203.086.233
Donasi
10.575.000
10.575.000
10.575.000
Jumlah Modal
225.796.721
283.194.418
338.972.954
SHU
169.125.658
167.328.455
191.951.449
Sumber : Profil Koperasi Perikanan Mina Jaya Tahun 2007
Cadangan berasal dari hasil usaha yang sedang berjalan yang disimpan untuk cadangan apabila akan ada suatu kegiatan, tetapi dananya tidak mencukupi. Modal cadangan digunakan jika sedang dalam keadaan darurat dan mendesak apabila modal lain sudah habis. Sisa Hasil Usaha (SHU) diperoleh dari sistem bunga jika ada anggota yang meminjam uang pada koperasi. Bunga tersebut dikumpulkan per tahun untuk keperluan anggota kembali. 4) Volume Usaha Koperasi Perikanan Mina Jaya Berbagai macam usaha yang dilakukan oleh Koperasi Perikanan Mina Jaya agar mendapatkan pendapatannya, antara lain usaha umum, unit simpan pinjam dan unit penyelenggaraan pelelangan ikan.
52
(1) Usaha umum Terdapat sembilan jenis usaha umum yang dilakukan oleh Koperasi Perikanan Mina Jaya untuk mendapatkan modalnya dalam menjalankan kegiatannya. Jenis usaha umum tersebut antara lain penyewaan tenaga kerja pelabuhan, penyewaan lapak, penyewaan gudang, pinjaman kredit, pemasukan dari wartel, penyewaan trays dan lain-lain. Jenis-jenis usaha umum lainnya dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Jenis-jenis usaha umum Koperasi Perikanan Mina Jaya, 2004-2006 No 1
2
Keterangan
2004 (Rp)
2005 (Rp)
2006 (Rp)
Unit Garam : Garam Pelabuhan
18.461.700
8.670.000
51.401.950
Garam PHPT
15.670.600
9.327.300
19.991.050
Pelabuhan
213.400.000
266.550.000
470.000.000
Dock PHPT
223.100.000 225.400.000
278.300.000 257.600.000
528.750.000 379.500.000
11.999.015
21.736.335
18.063.790
150.000
400.000
400.000
7.070.000
4.000.000
5.980.000
13.355.000
14.940.000
2.550.000
5.475.000
6.000.000
5.000.000
6.000.000
Gudang/rumah Lapak
8.400.000 12.000.000
14.075.000 12.150.000
14.525.000 11.000.000
Pinjaman Kredit
10.817.500
30.826.000
27.382.000
Giro/Tabungan Administrasi KTA
21.728.980 1.233.000
16.271.246 468.000
14.388.192 1.378.000
-
5.420.000
4.257.000
Wartel
1.233.000
800.000
992.865
Fee Pelayanan Kapal
1.050.000
2.550.000
24.392.000 18.086.074 823.575.869
23.642.000 9.896.800 983.587.681
Minyak Tanah :
Air PAM 3
Fiber
4
Oli
5
MCK
6
Abon/Ikan Asin
7
Pemasaran Ikan
8
Jasa :
9
Kerjasama KPNDP DKI
-
-
19.604.000
Tenaga Kerja Pelabuhan/ Tenaga Kerja BM
Fee Garam Pelabuhan/PHPT
Trays Lain-lain Jumlah Sumber : Profil Koperasi Perikanan Mina Jaya Tahun 2006
25.315.000 3.491.000 1.603.230.847
53
Pada tahun 2004 mendapatkan pemasukan dari penyewaan lapak sebesar Rp12.000.000,00, sedangkan pada tahun 2006 mengalami penurunan menjadi Rp11.000.000,00 disebabkan karena banyaknya lapak-lapak yang rusak karena tidak adanya perawatan dari pihak yang meminjam lapak tersebut. Pinjaman kredit pada tahun 2004 mendapatkan pemasukan sebesar Rp10.817.500,00 sedangkan pada tahun 2005 mengalami peningkatan menjadi Rp30.826.000,00. Hal tersebut disebabkan karena banyaknya para nelayan yang membutuhkan pinjaman dari pihak koperasi untuk modal usahanya (Anonymous, 2006). Dari sembilan jenis usaha tersebut, jenis usaha yang paling banyak mempengaruhi pemasukan untuk Koperasi Perikanan Mina Jaya adalah pemasukan dari dock dimana para pemilik kapal yang melakukan perbaikan atau perawatan kapal, uangnya akan masuk ke koperasi, karena docking kapal dikelola oleh koperasi. Pemasukan dari docking kapal dari tahun 2004 hingga 2006 mengalami peningkatan. Pada tahun 2006 mendapatkan pemasukan sebesar Rp528.750.000,00. (2) Unit simpan pinjam Swamitra Mina I Sebelumnya, pada tahun 2001 Unit Simpan Pinjam “Mina Jaya” telah bekerjasama dengan pihak ketiga (perorangan) untuk mengelola melalui sistem manual. Pada tahun 2003 tepatnya tanggal 11 Juli 2003 Unit Simpan Pinjam “Mina Jaya” bekerjasama dengan PT. Bank Bukopin dalam bentuk Unit Simpan Pinjam Swamitra Mina I yang peresmiannya dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dan Deputi VI Menteri Negara Koperasi & UKM Republik Indonesia, dengan pengelolaan sistem komputerisasi on line langsung dengan Swamitra yang ada di DKI Jakarta. Tabel 14 Realisasi pinjaman periode 2001-2006 No 1 2 3 4 5
Tahun 2003 2004 2005 2006 Jumlah
Sumber : Koperasi Perikanan Mina Jaya, 2007
Jumlah Pinjaman (Rp) 2.343.100.000 4.389.190.000 7.094.290.000 2.316.000.000 14.274.435.000
54
Tabel 14 menunjukkan nilai realisasi pinjaman periode 2001-2006 dimana sejak tahun 2001 sampai 2005 jumlah pinjaman terus mengalami kenaikan, hal ini karena kegiatan nelayan mengalami peningkatan mulai dari permintaan terhadap sumberdaya ikan konsumsi sampai dengan proses produksi. Pada tahun 2006 jumlah pinjaman mengalami penurunan karena pada tahun tersebut banyak nelayan yang gulung tikar akibat adanya kenaikan bahan bakar minyak sehingga modal untuk menjalankan produksinya mengalami kenaikan yang sangat tinggi. (3) Unit penyelenggara pelelangan ikan TPI (Tempat Pelelangan Ikan) yang ada di DKI Jakarta sebelumnya dikelola langsung oleh Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan, namun pada era reformasi TPI Muara Angke dikelola oleh Koperasi Perikanan Mina Jaya berdasarkan : a.
Perda nomor 3 tahun 1999;
b.
SK Gubernur DKI Jakarta nomor : 3 tahun 1999 tanggal 26 Januari 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Pelelangan Ikan oleh Koperasi Primer Perikanan di DKI Jakarta;
c.
SK Gubernur DKI Jakarta nomor : 3277/1999 tanggal 29 Juni 1999 tentang Penunjukkan
Koperasi
Perikanan
“Mina
Jaya”
DKI
Jakarta
sebagai
penyelenggara Pelelangan Ikan TPI Muara Angke; d.
SK Gubernur Provinsi DKI Jakarta nomor : 993/2002 tanggal 17 Juni 2002 tentang Penunjukkan Koperasi Perikanan “Mina Jaya” DKI Jakarta sebagai penyelenggara Pelelangan Ikan TPI Muara Angke; Bagian retribusi Koperasi Perikanan “Mina Jaya” digunakan untuk berbagai
jenis kegiatan yang dapat dilihat pada Tabel 15.
55
Tabel 15 Jenis-jenis kegiatan yang berasal dari retribusi pelelangan ikan No.
Jenis Kegiatan
1
Biaya Penyelenggaraan Lelang Biaya Lelang Biaya Keamanan dan Kebersihan Biaya Pembinaan dan Pengawasan
42,50% 5,00% 7,50%
0,85% 0,10% 0,15%
Dana Sosial Asuransi Nelayan Dana Paceklik Tabungan Nelayan dan Bakul
7,5% 7,5% 10,00%
0,15% 0,15% 0,20%
7,50% 2,50% 10,00%
0,15% 0,05% 0,20%
2
3
% dari Total Retribusi
Biaya Administrasi Perkantoran Biaya Kantor Telepon, Air, Listrik Biaya Pemeliharaan JUMLAH
% dari 2% Retribusi
100%
2,00%
Sumber : Koperasi Perikanan Mina Jaya, 2007
Koperasi Mina Jaya telah mengeluarkan dana dari pungutan retribusi TPI untuk mensejahterakan nelayan-nelayan yang beraktifitas di PPI Muara Angke. Dana tersebut tertera pada Tabel 16. Dana yang telah dikeluarkan untuk kesejahteraan nelayan paling banyak dialokasikan untuk asuransi nelayan. Asuransi tersebut antara lain, asuransi jika terjadi kecelakaan di laut maupun darat, asuransi jika ada nelayan yang meninggal dunia, dan asuransi-asuransi lainnya. Tabel 16 Dana yang telah dikeluarkan untuk kesejahteraan nelayan No 1 2 3 4
Uraian Tabungan Nelayan Tabungan Bakul Asuransi Dana Paceklik Jumlah
2003 (Rp) 31.273.142 3.627.860 15.519.400 9.228.400 59.648.802
2004 (Rp) 46.707.913 30.005.058 17.958.000 17.634.100 112.305.071
2005 (Rp) 39.835.858 27.593.104 25.829.437 21.150.410. 114.408.809
2006 (Rp) 28.185.601 42.278.402 80.386.150 77.885.150 228.735.303
Sumber : Koperasi Perikanan Mina Jaya, 2007
Dari tahun 2003 hingga tahun 2006, dana yang telah dikeluarkan mengalami kenaikan, karena jumlah nelayan yang menjadi anggota koperasi pun meningkat.
56
Sebanyak 25% dana yang telah dikeluarkan untuk kesejahteraan nelayan. Dana paceklik yang dikeluarkan oleh Koperasi Mina Jaya dalam bentuk sembako sebesar Rp77.885.150,00. Prestasi yang pernah diraih oleh Koperasi Perikanan Mina Jaya DKI Jakarta dalam pelaksanaan pelelangan ikan adalah a. Tahun 2001 menjadi anggota Dewan Koperasi Indonesia Tingkat Nasional dengan nomor anggota 09040025; b. Tahun 2002 juara I (pertama) Koperasi Berprestasi Tingkat Provinsi DKI Jakarta; c. Tahun 2002 mendapat penghargaan dari Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Kota Jakarta Utara, sebagai peserta Pameran Agribisnis dan Festival Hasil Hutan; d. Tahun 2005 mendapatkan penghargaan Adi Bhakti Mina Bahari dari Menteri Kelautan dan Perikanan, sebagai juara ketiga. 5) Program Kerja Tahun 2006-2010 Koperasi Perikanan Mina Jaya DKI Jakarta (1) Bidang Organisasi dan Manajemen a. Melaksanakan kegiatan konsolidasi organisasi, termasuk klasifikasi anggota yang berada di wilayah Kamal Muara; b. Melakukan pembinaan dan penyuluhan kepada anggota masing-masing kelompok guna meneruskan kelompok-kelompok usaha yang masih terbengkalai; c. Melaksanakan lokakarya, pendidikan/pelatihan yang berkaitan dengan masalah perkoperasian dan perikanan dengan melibatkan unsur anggota dan nelayan, dengan narasumber dari instansi terkait; d. Melakukan penyuluhan kepada anggota yang belum mengerti tentang perkoperasian sehingga nantinya akan menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran anggota perkoperasian yang baik;
57
e. Pada tahun 2006 Koperasi Perikanan Mina Jaya DKI Jakarta bekerjasama dengan DEKOPIN, KADIN, BUKOPIN dan IKPI serta lembaga lainnya mengadakan pendidikan dan
pelatihan manajemen untuk meningkatkan
sumberdaya manusia; f. Untuk menguatkan permodalan pada SWAMITRA MINA I diharapkan dana funding dari anggota dan nelayan dengan solusi melakukan sosialisasi kepada anggota dan nelayan untuk menabung serta mentaati kewajibannya; g. Kerjasama asuransi dengan PT.AJB Bumiputera 1912 dalam bentuk pertanggungan asuransi kecelakaan di laut dan di darat akan dipertahankan peranannya untuk anggota dan nelayan; h. Melakukan
pembinaan
kepada
seluruh
karyawan/karyawati
dalam
meningkatkan kemampuan kerja yang profesional. (2) Bidang Usaha a. Melakukan pemasaran es produksi PT. AGB ICE FISHERIES kepada anggota dan nelayan sebagai bentuk pelayanan kepada anggota; b. Mengembangkan pelayanan kepada anggota untuk kebutuhan garam, BBM, air bersih, ransum bahan alat perikanan (BAP); c. Dengan adanya rencana Departemen Kelautan dan Perikanan untuk membangun pabrik es dan cold storage di setiap pelabuhan perikanan dan TPI diharapkan Koperasi Perikanan Mina Jaya DKI Jakarta dapat dilibatkan dan sepanjang memungkinkan ditunjuk sebagai pelaksana; d. Berusaha membantu nelayan dengan membeli ikannya dari kapal dengan sistem tunai untuk dilelangkan di TPI sesuai harga yang disepakati; e. Untuk pelayanan kepada anggota dan masyarakat dalam pembayaran listrik, telepon dan air PAM, maka Koperasi Perikanan Mina Jaya DKI Jakarta melalui SWAMITRA MINA I akan mengadakan Payment Point dengan PT Bank BUKOPIN; f. Untuk melayani kebutuhan ikan segar bagi pasar swalayan maupun restoran, terus dirintis pemasaran ikan dari pelelangan Muara Angke. Melakukan
58
pemasaran ikan olahan produksi pengelola di PHPT dengan cara menjalin kerjasama dengan koperasi-koperasi di DKI Jakarta atau dengan pedagang ikan di luar DKI Jakarta; g. Melakukan rintisan usaha baru yang potensial dengan melibatkan anggota; h. Melayani kebutuhan sembako di pemukiman nelayan Muara Angke serta kebutuhan spare part kapal melalui toko Sarana Mina I. (3) Bidang Permodalan a. Mengadakan peningkatan modal Koperasi Perikanan Mina Jaya DKI Jakarta dari pelunasan simpanan pokok, simpanan wajib dan sukarela anggotanya kepada koperasi; b. Mencanangkan tabungan dan deposito melalui USP SWAMITRA MINA I serta dana penyertaan dari pemerintah; c. Berupaya memperoleh pinjaman dari BUMN atau dari lembaga keuangan lainnya untuk penguatan modal Koperasi Perikanan Mina Jaya DKI Jakarta maupun modal untuk anggota; d. Mencanangkan penagihan kepada anggota untuk membayar tunggakannya, khususnya piutang anggota yang sudah cukup lama; e. Meningkatkan pelayanan USP SWAMITRA MINA I kepada anggota masyarakat nelayan untuk memenuhi kebutuhan modal usaha anggotanya. (4) Sekretariat a. Merencanakan
pendidikan
yang
sesuai
dengan
bagiannya
bagi
karyawan/karyawati untuk memenuhi SDM yang handal dan proporsional; b. Melanjutkan pembuatan seragam pengurus, pengawas dan karyawan; c. Menyediakan sarana penunjang aktifitas kantor, dengan pengadaan kendaraan roda empat (mobil); d. Merenovasi kantor Koperasi Perikanan Mina Jaya DKI Jakarta khususnya ruang karyawan serta menata arsip-arsip dan dokumen untuk menciptakan suasana kerja yang nyaman.
59
5 PENDAPATAN NELAYAN 5.1 Nelayan Alat Tangkap Purse Seine Purse Seine merupakan alat tangkap kedua terbanyak setelah jaring cumi, dengan jumlah 488 unit yang dioperasikan oleh nelayan PPI Muara Angke pada tahun 2007 yang tertera pada Tabel 5. Para nelayan lebih banyak memilih purse seine daripada alat tangkap lainnya karena hasil tangkapannya cukup banyak, hasil tangkapannya pun beragam dan dapat dioperasikan kapan saja. Hasil tangkapannya dari alat tangkap purse seine tersebut disimpan di dalam palkah. Para nelayan mengusahakan agar hasil tangkapannya tetap segar, sehingga harganya tidak jatuh pada saat melakukan pelelangan ikan, tetapi menurut (Faubiany, 2008) mutu hasil tangkapannya masih dapat dikatakan baik, karena nilai organoleptik beberapa hasil tangkapan dari alat tangkap purse seine tersebut sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan hasil tangkapan dari alat tangkap gillnet. Alat tangkap purse seine hanya beroperasi sekitar 7-9 hari di laut. Daerah penangkapannya pun tidak terlalu jauh, hanya sekitar Laut Jawa, Pulau Seribu dan Lampung. ABK yang dibawa melaut rata-rata sekitar 33-36 orang, jarang sekali ditemukan nelayan asli yang berdomisili di Muara Angke, atau bahkan pada saat melakukan wawancara, hampir semua nelayan berasal dari luar Jakarta. Nelayan purse seine lebih banyak yang berasal dari Tegal, Cirebon dan daerah sekitarnya. Permasalahan yang biasa dihadapi oleh nelayan purse seine adalah angin kencang, ombak besar, arus kencang dan BBM tinggi. Nelayan menginginkan adanya subsidi BBM dari pemerintah agar dapat terus melaut, tetapi pemerintah seakan tidak memperdulikan nasib nelayan. Cara mengatasi cuaca buruk yang sering dihadapi para nelayan yaitu hanya dengan menepi ke pulau dan menunggu sampai cuacanya kembali baik. Pada saat musim baratlah para nelayan banyak yang tidak melaut, karena resiko yang sangat besar jika nelayan tetap melaut. Pada Gambar 6 dapat dilihat kapal purse seine yang terdapat di PPI Muara Angke.
60
Gambar 6 Kapal purse seine yang sedang bersandar di PPI Muara Angke.
5.1.1 Pendapatan kotor hasil tangkapan Jenis hasil tangkapan yang diperoleh nelayan purse seine setiap kali melaut beserta harga per kilogram pada saat melakukan pelelangan ikan dapat dilihat pada Tabel 19. Rata-rata hasil tangkapan nelayan purse seine selama musim barat atau musim paceklik adalah sebesar 6.487 kg per trip, sedangkan pada musim timur atau musim banyak ikan dapat mencapai 12-20 ton yang dapat dilihat pada Lampiran 8. Menurut pengalaman para nelayan, musim barat pada tahun ini berubah dan tidak dapat diprediksi karena setiap tahun pasti selalu terjadi
perubahan cuaca.
Musim barat pada tahun 2007 jatuh mulai bulan September dan sampai akhir Maret 2008 belum juga berakhir sehingga hasil tangkapannya tidak sebanyak hasil tangkapan pada musim timur, sehingga pada periode tersebut biasanya dikatakan musim paceklik. Harga ikan pada musim barat yang masuk ke tempat pelelangan ikan pun akan lebih tinggi dibandingkan harga ikan pada musim timur. Hal tersebut berpengaruh pada pendapatan nelayan yang rendah pada musim barat.
61
Rata-rata penerimaan yang didapat para nelayan dalam 1 trip melaut pada musim barat adalah sebesar Rp 48.464.700,00 (hasil perhitungan hasil tangkapan yang didaratkan dikalikan dengan harga jual) pada saat melakukan pelelangan ikan yang tertera pada Lampiran 8. Pada Gambar 7 dapat dilihat jenis hasil tangkapan dari alat tangkap purse seine.
Tabel 17 Jenis-jenis hasil tangkapan purse seine per trip dan harga per kilogram di PPI Muara Angke, 2008 Jenis Hasil Tangkapan
Harga (Rp)
Golok-golok (Chirocentrus dorab)
7.000
Tongkol (Auxis sp.)
5.000
Tembang (Clupea fimbriata)
5.000
Bawal (Stromateus cinereus)
27.000
Kembung bentong (Caranx crumenphthalmus)
12.000
Kembung banjar (Rastrelliger kanagurta)
15.000
Barakuda atau alu-alu (Sphyraena jello) Kembung perempuan (Rastrelliger neglegthus)
7.000 15.000
Selar (Selaroides leptolepis)
8.000
Layur (Trichiurus savala)
6.000
Japuh (Katsuwonus pelamis)
5.000
Bawal hitam (Stromateus niger)
8.000
Tenggiri (Scomberomous commersonii)
28.000
Pepetek (Leiognathus insidiator)
4.000
Tetengkek (Megalaspis cordyla)
7.000
Samgeh burung (Chrysochir areus)
8.000
Cumi (Loligo sp)
28.000
Ikan campur
5.000
Teros (Chirocentrus dorab)
5.000
Lemuru (Sardinella fimbriata)
2.500
Semar (Kurtus indicus)
3.000
Sumber : Juru Timbang di PPI Muara Angke,2008
Menurut juru timbang di PPI Muara Angke, harga per kilogram hasil tangkapan pada Tabel 17 tersebut sewaktu-waktu akan berubah tergantung dari musim yang
62
sedang terjadi. Jika sedang musim banyak ikan, maka harga ikan per kilogramnya akan lebih rendah dibandingkan dengan harga yang tertera pada Tabel 17.
Gambar 7 Hasil tangkapan dari alat tangkap purse seine.
5.1.2 Biaya pelelangan ikan Setiap kali para nelayan menjual hasil tangkapannya di tempat pelelangan ikan, para nelayan dikenakan biaya retribusi sebesar 3% dan kemudian akan masuk ke Pemerintah Daerah dan Koperasi Perikanan Mina Jaya sebagai penyelenggara pelelangan ikan. Hasil penjualan ikan kapal purse seine dan kontribusi yang diberikan kepada Pemda dan Koperasi Mina Jaya dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Hasil penjualan ikan alat tangkap purse seine per trip beserta kontribusi bagi Pemda dan Koperasi Perikanan Mina Jaya, 2008 No.
Responden Alat Tangkap Purse Seine
HasilPenjualan (Rp)
Kontribusi (Rp)
1
KM. Bangkit Bahari
51.311.500,00
1.539.345,00
2
KM. Gema Nusa Bahari
46.016.000,00
1.381.380,00
3
KM. Elang Raja
42.830.000,00
1.284.900,00
4
KM. Putri Purnama
48.594.000,00
1.457.820,00
5
KM. Valencia
53.542.000,00
1.606.260,00
Sumber : Data primer, 2008
Penghitungan hasil penjualan dan kontribusi bagi Pemda dan Koperasi Perikanan Mina Jaya, diperoleh kapal purse seine yang paling banyak mendapatkan
63
pendapatan dan memberikan kontribusi bagi Pemda dan Koperasi Perikanan Mina Jaya adalah KM. Valencia dengan kontribusi sebesar Rp 1.606.260,00 sedangkan yang paling kecil memberikan kontribusi bagi Pemda dan Koperasi Perikanan Mina Jaya adalah KM. Elang Raja sebesar Rp 1.284.900,00. Pendapatan kotor setelah lelang dapat dihitung dengan cara mencari selisih antara hasil penjualan yang didapat pada saat melakukan pelelangan ikan dengan retribusi yang dibayar ke tempat pelelangan ikan. Pendapatan kotor setelah lelang dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19 Pendapatan kotor melalui lelang pada alat tangkap purse seine per trip No. 1 2 3 4 5
Responden Alat Tangkap Purse Seine KM. Bangkit Bahari KM. Gema Nusa Bahari KM. Elang Raja KM. Putri Purnama KM. Valencia
Pendapatan Kotor Lelang (Rp) 49.772.155,00 44.664.620,00 41.545.100,00 47.136.180,00 51.935.740,00
Sumber : Data primer, 2008
5.1.3 Biaya operasional penangkapan ikan Setiap kali melaut, para nelayan akan membutuhkan biaya operasional untuk dapat melakukan penangkapan ikan dengan baik. Kebutuhan-kebutuhan tersebut harus dipenuhi jika menginginkan hasil tangkapan yang maksimal. Biaya operasional dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya variabel merupakan biaya yang berubah sesuai dengan perubahan intensitas volume kegiatan atau banyaknya produksi, sedangkan biaya yang jumlah totalnya tetap atau konstan, tidak dipengaruhi oleh perubahan intensitas volume kegiatan atau banyaknya produksi (Mardiana, 2005). Contoh biaya operasional tetap antara lain biaya izin berlayar, biaya Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), biaya tambat labuh kapal dan biaya penyusutan. Biaya operasional variabel antara lain es, solar (BBM), air, ransum (kebutuhan makan), dan minyak tanah. Besarnya biaya
64
operasional usaha penangkapan ikan alat tangkap purse seine dapat dilihat pada Tabel 20. Biaya operasional rata-rata yang dikeluarkan oleh nelayan purse seine adalah sebesar Rp21.566.981,00 per trip nya untuk dapat melakukan penangkapan ikan secara maksimal. Jika sedang musim paceklik, terkadang biaya operasional tidak akan tertutup dengan hasil tangkapan yang diperolehnya. Oleh karena itu, para nelayan mensiasatinya dengan cara menyisakan pendapatan bersihnya untuk perbekalan melaut yang khusus digunakan pada musim paceklik. Biaya operasional yang terbesar dikeluarkan oleh KM. Valencia sebesar Rp23.324.356,00.
Tabel 20 Besarnya biaya operasional usaha penangkapan ikan dari alat tangkap purse seine per trip No. 1 2 3 4 5 Rata-rata
Responden Alat Tangkap Purse Seine KM. Bangkit Bahari KM. Gema Nusa Bahari KM. Elang Raja KM. Putri Purnama KM. Valencia
Biaya Operasional (Rp) 20.293.034 22.761.034 20.795.241 20.661.241 23.324.356 21.566.981,61
Sumber : Diolah dari Lampiran 5
Biaya izin berlayar, Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan biaya tambat labuh telah ditetapkan oleh Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta. Setiap kapal yang akan berlayar, terlebih dahulu harus melapor ke kantor Pengawas Perikanan (WASKI). Dari pihak WASKI tersebut mengeluarkan surat izin berlayar yang berlaku hanya selama 24 jam. Setelah 24 jam, surat tersebut akan kadaluwarsa dan harus membuat kembali yang baru. Semua ukuran kapal yang akan berlayar dikenakan biaya Rp10.000,00 untuk pembuatan surat izin berlayar, sedangkan kapalkapal yang berlabuh dan membongkar hasil tangkapannya di dermaga PPI Muara Angke, harus membayar retribusi tambat labuhnya sesuai dengan ukuran kapal. Menurut Peraturan Daerah No.3 Tahun 1999 yang dikeluarkan oleh Dinas Peternakan
65
Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta, Retribusi Tambat Labuh Kapal dibagi menjadi 3 bagian, yaitu dapat dilihat pada Tabel 21 di bawah ini. Tabel 21 Pembagian retribusi tambat labuh kapal, 2008 No.
Ukuran Kapal
Biaya Tambat Labuh (Rp)
1 2 3
>21 GT 11 – 20 GT 5 – 10 GT
4.000,00 2.000,00 1.000,00
Sumber : UPT Pengelola Pelelangan Ikan DKI Jakarta, 2007
5.1.4 Pendapatan bersih hasil tangkapan kapal purse seine Setelah didapat pendapatan kotor dari hasil penjualan ikan pada saat dilelang dikurangi dengan retribusi pelelangan ikan dan total biaya operasional untuk melaut, nelayan baru akan merasakan pendapatan bersihnya. Tetapi pendapatan bersih ini pun masih akan dibagikan lagi dalam beberapa persen untuk pemilik kapal, nahkoda dan ABK. Rata-rata pendapatan bersih yang didapat para nelayan dalam per trip adalah sebesar Rp25.443.777,39. Satu trip penangkapan kapal purse seine adalah 7-9 hari. Pendapatan bersih nelayan purse seine dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22 Pendapatan bersih nelayan alat tangkap purse seine per trip
No. 1 2 3 4 5 Rata-rata
Responden Alat Tangkap Purse Seine KM. Bangkit Bahari KM. Gema Nusa Bahari KM. Elang Raja KM. Putri Purnama KM. Valencia
Pendapatan Pemilik (Rp) 11.791.648,21 8.761.434,28 8.299.943,45 10.589.975,45 11.444.553,47 10.177.510,96
Pendapatan Nahkoda (Rp) 4.421.868,08 3.285.537,83 3.112.478,79 3.971.240,79 4.291.707,55 3.992.588,56
Pendapatan per ABK (Rp) 122.829,67 93.872,51 86.457,74 120.340,63 126.226,69 109.945,45
Sumber : Diolah dari Lampiran 9
Dari pendapatan bersih secara keseluruhan tersebut, 40% untuk pemilik kapal, 30% untuk nahkoda dan ABK (15% nahkoda dan 15% ABK) dan sisa 30% dialokasikan untuk perbekalan melaut pada saat nelayan tidak ada modal untuk
66
melakukan penangkapan ikan atau pada saat musim paceklik, perbaikan kapal dan perbaikan alat tangkap. Pendapatan bersih pemilik dan nahkoda terbesar diperoleh dari KM. Bangkit Bahari yang masing-masing sebesar Rp11.791.648,21 dan Rp4.421.868,08, sedangkan pendapatan ABK terbesar diperoleh dari KM. Valencia sebesar Rp126.226,69. Rata-rata pendapatan yang diterima oleh pemilik kapal per trip adalah sebesar Rp10.177.510,96, sedangkan yang diterima oleh nahkoda sebesar Rp3.992.588,56 dan pendapatan per ABK adalah sebesar Rp109.945,45 per tripnya.
5.2 Nelayan Alat Tangkap Bubu Alat tangkap bubu merupakan alat tangkap ketiga terbanyak yang dioperasikan oleh nelayan PPI Muara Angke setelah alat tangkap purse seine. Dari data yang diperoleh pada tahun 2007 yang tertera pada Tabel 8, jumlah alat tangkap bubu yang dioperasikan sebanyak 211 unit. Bubu merupakan alat tangkap yang dioperasikan di dasar perairan dengan menyimpannya beberapa lama agar ikan-ikan masuk dan terperangkap di dalamnya. Biasanya ikan-ikan hasil tangkapan dari alat tangkap bubu merupakan hasil tangkapan yang bernilai ekonomis tinggi, sehingga tidak hanya dijual pada saat lelang tetapi juga diekspor, oleh karena itu banyak nelayan yang beralih dari alat tangkap lain ke alat tangkap bubu. Hasil tangkapannya sama seperti alat tangkap purse seine, disimpan di dalam palkah yang diberi es. Menurut (Faubiany, 2008) mutu hasil tangkapannya dari alat tangkap bubu dapat dikatakan baik, karena nilai organoleptik beberapa hasil tangkapan dari alat tangkap bubu tersebut lebih baik jika dibandingkan dengan hasil tangkapan dari alat tangkap purse seine karena tujuan ekspor tersebut, sehingga penanganannya pun sedikit berbeda dengan alat tangkap lainnya. Tripnya lebih lama daripada purse seine, sekitar 20 hari, sehingga perbekalan es yang dibawa untuk melautnya pun lebih banyak, karena untuk menjaga kualitas hasil tangkapan yang berekonomis tinggi. Jika hasil tangkapannya bernilai ekonomis tinggi, maka hasil tangkapan tersebut dipasarkan untuk ekspor, sehingga tidak masuk ke pelelangan ikan. Oleh karena itu, walaupun alat tangkap bubu merupakan alat tangkap tiga terbanyak yang dioperasikan oleh nelayan di PPI Muara Angke, tetapi agak sulit juga
67
menemukan kapal yang mendaratkan hasil tangkapannya untuk dilelang di TPI Muara Angke. Perbedaan hasil tangkapan yang akan diekspor dengan hasil tangkapan yang akan dilelang terletak pada jenis ikan yang didaratkan. Kebanyakan ikan-ikan yang akan diekspor, begitu turun dari kapal, ikan-ikan tersebut sudah terbungkus dengan plastik dan cara penyimpanan ke dalam keranjangnya pun tidak dengan cara dibanting, tetapi disimpan dengan baik. Jika penyimpanannya dengan cara dibanting maka akan mempengaruhi mutu ikan sehingga banyak ikan yang gagal masuk ekspor. Lama melaut kapal bubu ini rata-rata 20 hari, daerah penangkapannya ada yang sampai Lampung, Laut Karimata, dan yang dekat di Kepulauan Seribu, dan Laut Jawa. Mutu hasil tangkapan yang masuk ke pelelangan juga dapat dikatakan baik, sehingga harganya tidak akan turun ketika dilelang. ABK yang dibawa melaut adalah 6 orang. Rata-rata nelayan bubu sama seperti nelayan purse seine, berasal dari luar Jakarta, atau bahkan banyak juga yang berasal dari luar Pulau Jawa sehingga mereka dikatakan sebagai nelayan pendatang. Hambatan yang sering dihadapi adalah selain masalah cuaca, angin kencang, badai, arus kencang, tingginya harga BBM, juga banyaknya bubu yang hilang pada saat sedang setting. Jika nelayan pergi melaut dengan menebar bubu sebanyak 100 buah bubu, maka selesai melaut ketika kembali ke pelabuhan, maka sisanya hanya 90 buah bubu atau bahkan hanya tersisa 80 buah bubu. Menurut para nelayan, hal tersebut disebabkan karena adanya orang-orang yang mencuri bubu pada saat bubu tersebut ditinggal. Ada juga bubu yang hilang karena adanya kapal trawl yang melintas pada koordinat yang sama tempat bubu dioperasikan. Trawl tersebut menyeret dasar laut, sehingga banyak bubu yang terbawa pada saat kapal trawl beroperasi. Pengoperasian jarak dari bubu yang satu ke bubu yang lain, biasanya tidak begitu jauh karena agar mudah dalam pengontrolannya. Pada Gambar 8 dapat dilihat Kapal Bubu yang terdapat di PPI Muara Angke.
68
Gambar 8 Kapal bubu yang sedang bersandar di PPI Muara Angke.
5.2.1 Pendapatan kotor hasil tangkapan kapal bubu Hasil tangkapan yang beragam menyebabkan beragam pula pendapatan yang diperoleh para nelayan. Hasil tangkapan yang rata-rata bernilai ekonomis tersebut menyebabkan banyaknya permintaan dari pasar luar negeri dan dapat meningkatkan pula pendapatan nelayan. Rata-rata hasil tangkapan yang diperoleh setiap kali melaut sebanyak 2003,2 kg yang tetera pada Lampiran 9. Hal ini sangat jauh berbeda dengan hasil tangkapan yang diperoleh oleh nelayan alat tangkap purse seine. Banyak kapal bubu yang tidak beroperasi ketika sedang musim barat, karena resiko kecelakaan yang tinggi. Penerimaan yang diperoleh nelayan bubu rata-rata sebesar Rp42.166.400,00 disajikan pada Lampiran 9. Jenis-jenis ikan yang tertangkap dengan menggunakan bubu dapat dilihat pada Tabel 25. Hasil tangkapan bubu banyak yang bernilai ekonomis tinggi dengan harga yang lumayan tinggi. Dari tabel diatas dapat dilihat jenis ikan yang tinggi harga perkilogramnya antara lain kakap, baronang dan kakap lodi (Plectropoma maculatum). Dari ketiga jenis ikan tersebut yang paling tinggi harganya adalah ikan kakap lodi (Plectropoma maculatum), mencapai Rp50.000,00 jika masuk ke tempat pelelangan ikan. Jika dilelang oppow, ikan kakap lodi (Plectropoma maculatum) tersebut dapat mencapai harga Rp70.000,00/kg.
69
Lelang oppow adalah penjualan ikan langsung ke pemilik kapal untuk diekspor keluar negeri. Retribusi lelang oppow dengan lelang murni berbeda. Pada lelang murni penjual ikan hanya dikenakan retribusi sebesar 3%, sedangkan lelang oppow, pemilik ikan dikenakan retribusi sebesar 5%, karena pemilik ikan selain sebagai penjual, tetapi juga sebagai pembeli. Pada Gambar 9 dapat dilihat jenis hasil tangkapan dari alat tangkap bubu.
Tabel 23 Jenis-jenis hasil tangkapan bubu dan harga per kilogram di PPI Muara Angke, 2008 Jenis Hasil Tangkapan Kambing-kambing (Pomacanthus acuminatus)
Harga (Rp) 17.000
Utik (Arius thalassinus)
6.000
Cucut tokek (Hemigaleus balfouri)
6.000
Pari kecil (Trigon sp)
7.000
Cucut (Carcharis macloti)
6.500
Gabus (Ophiucephalus striatus)
8.000
Manyung (Arius leiotocephalus)
10.500
Bawal karang (Latax orbicularis)
5.000
Kupas-kupas (Aluterus secriptus)
3.000
Ekor kuning (Caesio cuning)
17.000
Kakap (Lutjanus sp)
27.000
Kakatua (Scarus sp)
16.000
Kuwe (Caranx melampygus)
15.000
Lencam (Letharinus lencam)
13.000
Kuniran (Upeneus vittatus)
9.000
Kerapu beloso (Epinephelus corallicola)
16.000
Lori (Cheilinus fasciatus)
15.500
Kakap tanda-tanda (Lutjanus fulviflamma)
15.500
Baronang (Siganus canaliculatus)
25.000
Kakap sawo (Ephinephelus surinamensis)
25.000
Kaci-kaci (Plectorhynchus pictus)
5.000
Kakap telisi (Lobates surinamentes)
22.000
Kerapu lodi (Plectropoma maculatum)
50.000
Kerapu merah (Lutjanus argentimaculatus)
29.000
Kakap bongkok (Epinephelus lanceolatus)
33.000
Kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus)
24.000
Sumber : Juru Timbang di PPI Muara Angke, 2008
70
Menurut juru timbang di PPI Muara Angke, harga per kilogram hasil tangkapan pada Tabel 23 tersebut sewaktu-waktu akan berubah tergantung dari musim yang sedang terjadi. Jika sedang musim banyak ikan, maka harga ikan per kilogramnya akan lebih rendah dibandingkan dengan harga yang tertera pada Tabel 23.
(a)
(b)
Gambar 9 Hasil Tangkapan dari alat tangkap bubu (a) kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) ; (b) bawal karang (Latax orbicularis) dan kupas-kupas (Aluterus secriptus).
5.2.2 Biaya pelelangan ikan Biaya retribusi pelelangan ikan yang dikeluarkan oleh pemilik ikan adalah sebesar 3%. Retribusi tersebut dibayar ketika pelelangan sudah selesai dilakukan. Retribusi pelelangan ikan tersebut, akan masuk ke kas daerah sebagai kontribusi bagi Pemda dan Koperasi Perikanan Mina Jaya.
Tabel 24 Hasil penjualan ikan alat tangkap bubu per trip beserta kontribusi bagi Pemda dan Koperasi Perikanan Mina Jaya, 2008 No. 1 2 3 4 5
Responden Alat Tangkap Bubu KM. Jaya Mahe KM. Sinar Mulia KM. Sinar Harapan KM. Gema Utama Jaya KM. Bintang Kejora
Sumber : Data primer, 2008
Hasil Penjualan (Rp)
Kontribusi (Rp)
47.173.000,00 41.212.500,00 41.591.000,00 38.908.000,00 41.947.500,00
1.415.190,00 1.236.375,00 1.247.730,00 1.167.240,00 1.258.425,00
71
Kontribusi terbesar yang diterima oleh Pemda dan Koperasi Perikanan Mina Jaya adalah berasal dari kapal bubu KM. Jaya Mahe sebesar Rp1.415.190.000,00 dengan hasil penjualan hasil tangkapan sebesar Rp47.173.000,00. Kontribusi terkecil yang diterima oleh Pemda dan Koperasi Perikanan Mina Jaya adalah berasal dari kapal bubu KM. Gema Utama Jaya sebesar Rp1.167.240,00 dengan hasil penjualan hasil tangkapan sebesar Rp38.908.000,00. Pendapatan kotor yang diperoleh setelah lelang dapat dilihat pada Tabel 25.
Tabel 25 Pendapatan kotor melalui lelang pada alat tangkap bubu per trip No.
Responden Alat Tangkap Bubu
Pendapatan Kotor Lelang (Rp)
1
KM. Jaya Mahe
45.757.810,00
2
KM. Sinar Mulia
39.976.125,00
3
KM. Sinar Harapan
40.343.270,00
4
KM. Gema Utama Jaya
37.740.760,00
5
KM. Bintang Kejora
40.689.075,00
Sumber : Data primer, 2008
5.2.3 Biaya operasional penangkapan ikan Setiap kali melaut, para nelayan pasti membutuhkan biaya operasional untuk dapat melakukan penangkapan ikan dengan baik. Kebutuhan-kebutuhan tersebut harus dipenuhi jika menginginkan hasil tangkapan yang maksimal. Biaya operasional dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu biaya operasional tetap dan biaya operasional variabel. Besarnya biaya operasional usaha penangkapan ikan dari alat tangkap bubu dapat dilihat pada Tabel 26. Biaya operasional rata-rata yang dikeluarkan oleh nelayan bubu adalah sebesar Rp38.344.443,90 per trip nya untuk dapat melakukan penangkapan ikan secara maksimal. Pengeluaran untuk upah ABK dihitung per hari. Per hari nya ABK diberi upah Rp15.000,00 dikalikan dengan banyaknya hari ABK tersebut melaut. Nelayan alat tangkap bubu melaut sekitar 20 hari sehingga upah yang diberikan adalah upah per hari dikalikan dengan 20 hari, kemudian dikalikan lagi dengan jumlah ABK yang
72
dibawa melaut sehingga biaya yang dikeluarkan untuk upah ABK sebanyak 6 orang adalah Rp1.800.000,00. Setiap kali melaut, para nelayan akan membutuhkan biaya operasional untuk dapat melakukan penangkapan ikan dengan baik. Kebutuhan-kebutuhan tersebut harus dipenuhi jika menginginkan hasil tangkapan yang maksimal. Biaya operasional dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu biaya tetap dan biaya variabel .
Tabel 26 Besarnya biaya operasional usaha penangkapan ikan dari alat tangkap bubu per trip
1
Responden Alat Tangkap Bubu KM. Jaya Mahe
2
KM. Sinar Mulia
37.320.049
3
KM. Sinar Harapan
38.048.041
4
KM. Gema Utama Jaya
35.707.041
5
KM. Bintang Kejora
39.437.049
No.
Rata-rata
Biaya Operasional (Rp) 41.210.041
38.344.443,90
Sumber : Diolah dari Lampiran 5
5.2.4 Pendapatan bersih hasil tangkapan Setelah didapat penerimaan dari hasil penjualan ikan pada saat lelang, kemudian dikurangi dengan retribusi pelelangan ikan dan total biaya operasional untuk melaut, nelayan baru akan merasakan pendapatan bersihnya. Pendapatan bersih ini pun masih akan dibagikan lagi dalam beberapa persen untuk pemilik kapal, nahkoda dan ABK. Rata-rata pendapatan bersih yang didapat para nelayan per trip adalah sebesar Rp2.556.964,10. Pendapatan bersih nelayan alat tangkap bubu dapat dilihat pada Tabel 27.
73
Tabel 27 Pendapatan bersih nelayan alat tangkap bubu per trip
1
Responden Alat Tangkap Bubu KM. Jaya Mahe
Pendapatan Pemilik (Rp) 3.410.827,01
Pendapatan Nahkoda (Rp) 682.165,40
Pendapatan per ABK (Rp) 300.000,00
2
KM. Sinar Mulia
1.992.057,16
398.411,43
300.000,00
3
KM. Sinar Harapan
1.721.422,01
344.284,40
300.000,00
4
KM. Gema Utama Jaya
1.525.289,51
305.057,90
300.000,00
5
KM. Bintang Kejora
939.019,66
187.803,93
300.000,00
1.917.723,07
1.917.723,07
300.000,00
No.
Rata-rata Sumber : Diolah dari Lampiran 9
Pendapatan bersih secara keseluruhan tersebut dibagikan pada pemilik kapal, nahkoda dan ABK yang masing-masing sebesar 75% untuk pemilik kapal, 15% untuk nahkoda, sedangkan ABK dengan sistem upah dan sisa 10% dialokasikan untuk perbaikan kapal dan alat tangkap. Upah yang diberikan kepada para ABK sebesar Rp15.000,00 per hari, dikalikan dengan 20 hari para ABK bekerja, maka didapat upah sebesar Rp300.000,00 per orangnya. Pendapatan bersih pemilik dan nahkoda terbesar diperoleh dari KM. Jaya Mahe yang masing-masing sebesar Rp3.410.827,01 dan Rp682.165,40. Rata-rata pendapatan yang diterima oleh pemilik kapal per trip adalah sebesar Rp1.917.723,07 sedangkan yang diterima oleh nahkoda per trip sebesar Rp383.544,61.
5.3 Nelayan Alat Tangkap Jaring Cumi Alat tangkap jaring cumi merupakan alat tangkap yang paling dominan yang dioperasikan oleh nelayan PPI Muara Angke. Pada tahun 2007, jumlah alat tangkap jaring cumi mencapai 621 buah kapal. Para nelayan banyak yang beralih dari alat tangkap lain menjadi alat tangkap jaring cumi, karena walaupun hasil tangkapannya tidak bervariasi seperti alat tangkap purse seine dan bubu, tetapi alat tangkap jaring cumi dapat menjanjikan jumlah hasil tangkapannya. Pengoperasian alat tangkap ini hanya musiman, tidak seperti alat tangkap purse seine dan bubu, karena alat tangkap ini dioperasikan hanya pada musim gelap bulan. Berhubung cumi hidup didaerah remang-remang, bermigrasi secara vertikal malam hari dan mempunyai sifat
74
fototaksis positif, maka cumi hanya keluar dan hanya dapat ditangkap apabila ada cahaya yang meneranginya. Jika tidak ada cahaya, maka cumi tidak akan keluar karena jika pada saat terang bulan, cahaya akan menyebar di semua tempat dan ikanikan atau cumi tidak akan berkumpul pada satu tempat, sehingga sulit untuk menangkapnya. Maka dari itu, salah satu ciri dari kapal penangkap cumi ditandai dengan banyaknya lampu yang berada di atas kapalnya. Pada saat terang bulan, para nelayan kembali ke pelabuhan untuk membongkar hasil tangkapannya dan setelah itu, para nelayan libur melaut hingga musim gelap bulan datang lagi. Nelayan mengetahuinya hanya dengan menggunakan pengalaman mereka selama melaut. Cumi merupakan hasil tangkapan yang mempunyai harga jual yang stabil dan musim penangkapan yang stabil pula, tidak akan berubah-ubah. Selain itu, sudah banyak kapal penangkap cumi yang tidak menggunakan palkah lagi untuk menyimpan hasil tangkapannya, melainkan menggunakan freezer agar mutu hasil tangkapannya tetap baik dan tetap beku. Selain mempengaruhi mutu hasil tangkapannya, keuntungan lain menggunakan freezer adalah memperkecil biaya operasional untuk perbekalan es karena pengeluarannya tidak terlalu mahal jika dibandingkan dengan menggunakan es. Lama melaut kapal cumi ini rata-rata 90 hari, dengan daerah penangkapan ikan di Kalimantan, Indramayu, Kepulauan Seribu, Pontianak dan Cirebon. Karena menggunakan freezer, maka daerah penangkapannya pun agak sedikit lebih jauh dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. ABK yang ikut melaut hanya 10 orang. Rata-rata nelayan alat tangkap jaring cumi sama seperti nelayan purse seine dan bubu, berasal dari luar Jakarta, atau bahkan banyak juga yang berasal dari luar Pulau Jawa ada juga yang berasal dari Riau, Kalimantan, Sumatera sehingga mereka dikatakan sebagai nelayan pendatang. Permasalahan yang biasa dihadapi oleh nelayan alat tangkap jaring cumi adalah angin kencang, ombak besar, arus kencang dan BBM tinggi. Cara mengatasi cuaca buruk yang sering dihadapi para nelayan yaitu hanya dengan menepi ke pulau dan menunggu sampai cuacanya kembali baik. Pada saat musim baratlah para nelayan banyak yang tidak melaut, karena resiko yang sangat besar di laut jika nelayan tetap
75
melaut. Pada Gambar 10 dapat dilihat Kapal Jaring Cumi yang terdapat di PPI Muara Angke.
Gambar 10 Kapal jaring cumi yang berada di PPI Muara Angke.
5.3.1 Pendapatan kotor hasil tangkapan Rata-rata hasil tangkapan yang diperoleh setiap kali melaut sebanyak 6.313,40 kg yang tertera pada Lampiran 10. Hasil tangkapan dari alat tangkap jaring cumi tidah banyak macamnya, dan hasil tangkapannya hanya terdiri dari cumi ukuran besar, sedang dan kecil, tenggiri dan semampar (sejenis gurita). Walaupun hasil tangkapannya tidak beragam, namun pendapatan yang dihasilkannya jauh lebih menguntungkan dari alat tangkap purse seine dan bubu, karena harga jual cumi, tenggiri dan semampar sangat tinggi. Sama halnya seperti alat tangkap bubu, alat tangkap jaring cumi pun hasil tangkapannya banyak yang di ekspor, sehingga sangat jarang kapal jaring cumi yang mendaratkan hasil tangkapannya untuk di lelang di tempat pelelangan ikan. Hasil tangkapan yang diperoleh dari alat tangkap jaring cumi beserta harga masing-masing hasil tangkapan per kilogramnya dapat dilihat pada Tabel 28 dibawah ini.
76
Tabel 28 Jenis-jenis hasil tangkapan jaring cumi dan harga per kilogram di PPI Muara Angke, 2008 Jenis Cumi Besar Cumi Sedang Cumi Kecil Tenggiri Semampar (sejenis gurita)
Harga (Rp) 30.000 17.000 15.000 28.000 25.000
Sumber : Juru Timbang di PPI Muara Angke, 2008
Rata-rata penerimaan yang diperoleh dari penjualan hasil tangkapan alat tangkap jaring cumi adalah sebesar Rp145.812.800,00 dapat dilihat pada Lampiran 10. Walaupun hasil pendapatannya tidak sebanyak pendapatan alat tangkap purse seine dan bubu, tetapi para nelayan lebih banyak memilih mengoperasikan alat tangkap jaring cumi daripada yang lainnya, karena harganya yang stabil. Pada Gambar 11 dapat dilihat jenis hasil tangkapan dari alat tangkap jaring cumi.
(a) (b) Gambar 11 Hasil tangkapan dari alat tangkap jaring cumi (a) cumi; (b)semampar. 5.3.2 Biaya pelelangan ikan Setiap kali para nelayan menjual hasil tangkapannya di tempat pelelangan ikan, para nelayan dikenakan biaya retribusi sebesar 3% dan kemudian akan masuk ke Pemerintah Daerah dan
Koperasi Perikanan Mina Jaya sebagai penyelenggara
pelelangan ikan. Hasil penjualan ikan pada alat tangkap jaring cumi dan kontribusi yang diberikan kepada Pemda dan Koperasi Mina Jaya dapat dilihat pada Tabel 29.
77
Tabel 29 Hasil penjualan ikan alat tangkap jaring cumi per trip beserta kontribusi bagi Pemda dan Koperasi Perikanan Mina Jaya per trip
1
Responden Alat Tangkap Bubu KM. Elang Laut
2
KM. Bintang Sukses Makmur
151.286.000,00
4.538.580,00
3
KM. Pratama Mandiri
152.871.000,00
4.586.130,00
4
KM. Samudera Indah
154.216.000,00
4.626.480,00
5
KM. Anugerah Laut
118.466.000,00
3.553.980,00
No.
Hasil Penjualan (Rp)
Kontribusi (Rp)
152.225.000,00
4.566.750,00
Sumber : Data primer, 2008
Dari hasil penghitungan kontribusi dari alat tangkap jaring cumi, yang paling banyak mendapatkan pendapatan dan memberikan kontribusi bagi Pemda dan Koperasi Perikanan Mina Jaya adalah KM. Samudera Indah dengan kontribusi sebesar Rp4.626.480,00 sedangkan yang paling kecil memberikan kontribusi bagi Pemda dan Koperasi Perikanan Mina Jaya adalah KM. Anugerah Laut sebesar Rp3.553.980,00. Pendapatan kotor setelah lelang dapat dihitung dengan cara mencari selisih antara hasil penjualan yang didapat pada saat melakukan pelelangan ikan dengan retribusi yang dibayar ke tempat pelelangan ikan. Pendapatan kotor setelah lelang dapat dilihat pada Tabel 30.
Tabel 30 Pendapatan kotor melalui lelang pada alat tangkap jaring cumi per trip No.
Responden Alat Tangkap Bubu
Pendapatan Kotor Lelang (Rp)
1
KM. Elang Laut
147.658.250,00
2
KM. Bintang Sukses Makmur
146.747.420,00
3
KM. Pratama Mandiri
148.284.870,00
4
KM. Samudera Indah
149.589.520,00
5
KM. Anugerah Laut
114.912.020,00
Sumber : Data Primer, 2008
78
5.3.3 Biaya operasional penangkapan ikan Setiap kali melaut, para nelayan akan membutuhkan biaya operasional untuk dapat melakukan penangkapan ikan dengan baik. Biaya operasional merupakan komponen penting yang dibutuhkan dalam melakukan penangkapan ikan Kebutuhankebutuhan tersebut harus dipenuhi jika menginginkan hasil tangkapan yang maksimal. Biaya operasional dibagi menjadi dua bagian, biaya tetap dan biaya variabel. Biaya operasional dan harga kebutuhan tersebut dapat dilihat pada Tabel 31.
Tabel 31 Besarnya biaya operasional usaha penangkapan ikan dari alat tangkap jaring cumi per trip No. 1
Responden Alat Tangkap Bubu KM. Elang Laut
Biaya Operasional (Rp) 88.265.389
2
KM. Bintang Sukses Makmur
93.633.167
3
KM. Pratama Mandiri
93.624.278
4
KM. Samudera Indah
97.816.500
5
KM. Anugerah Laut
87.709.833
Rata-rata
92.209.833,33
Sumber : Diolah dari Lampiran 5
Biaya operasional rata-rata yang dikeluarkan oleh nelayan jaring cumi adalah sebesar Rp92.209.833,33 per trip nya untuk dapat melakukan penangkapan ikan secara maksimal. Pengeluaran untuk upah ABK dihitung per hari. Per hari nya ABK diberi upah Rp15.000,00 dikalikan dengan banyaknya hari ABK tersebut melaut. Nelayan alat tangkap jaring cumi melaut sekitar 90 hari, sehingga upah yang diberikan adalah upah per hari dikalikan dengan 90 hari, kemudian dikalikan lagi dengan jumlah ABK yang dibawa melaut sehingga biaya yang dikeluarkan untuk upah ABK sebanyak 10 orang adalah Rp13.500.000,00. Biaya operasional yang terbesar dikeluarkan oleh KM. Samudera Indah sebesar Rp97.816.500,00 5.3.4 Pendapatan bersih hasil tangkapan Setelah didapat penerimaan dari hasil penjualan ikan pada saat dilelang dikurangi dengan retribusi pelelangan ikan dan total biaya operasional untuk melaut,
79
nelayan baru akan merasakan pendapatan bersihnya. Pendapatan bersih ini pun masih akan dibagikan lagi dalam beberapa persen untuk pemilik kapal, nahkoda dan ABK. Rata-rata pendapatan bersih yang didapat para nelayan per trip adalah sebesar Rp49.228.582,67. Pendapatan bersih nelayan alat tangkap jaring cumi dapat dilihat pada Tabel 32.
Tabel 32 Pendapatan bersih nelayan alat tangkap jaring cumi per trip
1
Responden Alat Tangkap Bubu KM. Elang Laut
Pendapatan Pemilik (Rp) 44.544.645,83
Pendapatan Nahkoda (Rp) 8.908.929,17
Pendapatan per ABK (Rp) 1.350.000,00
2
KM. Bintang Sukses Makmur
39.835.690,00
7.967.138,00
1.350.000,00
3
KM. Pratama Mandiri
40.995.444,17
8.199.088,83
1.350.000,00
4
KM. Samudera Indah
38.829.765,00
7.765.953,00
1.350.000,00
5
KM. Anugerah Laut
20.401.640,00
4.080.328,00
1.350.000,00
36.921.437,00
7.384.287,40
1.350.000,00
No.
Rata-rata Sumber : Diolah dari Lampiran 9
Pendapatan bersih secara keseluruhan tersebut, kemudian dibagikan 75% untuk pemilik kapal, 15% untuk nahkoda, sedangkan ABK dengan sistem upah dan sisa 10% dialokasikan untuk perbaikan kapal dan alat tangkap. Upah yang diberikan kepada para ABK sebesar Rp15.000,00 per hari, dikalikan dengan 90 hari para ABK bekerja, sehingga didapat upah per trip sebesar Rp1.350.000,00 per orangnya. Pendapatan bersih pemilik dan nahkoda terbesar diperoleh dari KM. Elang Laut yang masing-masing sebesar Rp44.544.645,83dan Rp8.908.929,17. Rata-rata pendapatan yang diterima oleh pemilik kapal per trip adalah sebesar Rp36.921.437,00 sedangkan rata-rata yang diterima oleh nahkoda per trip sebesar Rp7.384.287,40. Pendapatan bersih dari ketiga jenis alat tangkap, alat tangkap purse seine, bubu dan jaring cumi, rata-rata pendapatan bersih yang terbesar per trip nya terdapat pada alat tangkap jaring cumi sebesar Rp49.228.582,67 karena harga cumi yang relatif tinggi dan harga pada saat lelang relatif konstan. Hal tersebut disebabkan karena sistem penanganan hasil tangkapan pada alat tangkap jaring cumi sudah menggunakan freezer, sehingga mutu hasil tangkapan tetap terjaga. Rata-rata
80
pendapatan bersih alat tangkap purse seine per trip sebesar Rp25.443.777,39 dan ratarata pendapatan bersih terkecil adalah pada alat tangkap bubu sebesar Rp2.556.964,10. Hal tersebut dikarenakan pada musim paceklik tidak banyak ikan, tetapi biaya operasional yang dikeluarkan relatif tinggi sehingga pendapatannya rendah. Walaupun pendapatan yang diterimanya rendah, tetapi usaha penangkapan ikan tersebut masih mengalami keuntungan. Jika dilihat dari resume pendapatan dan pengeluaran nelayan usaha penangkapan ikan di PPI Muara Angke pada Tabel 33, maka dapat terlihat bahwa rata-rata pendapatan bersih yang diterima oleh pemilik, nahkoda dan ABK kapal diperoleh dari alat tangkap jaring cumi. Masing-masing rata-rata tersebut adalah Rp36.921.437,00; Rp7.384.287,40 dan Rp1.350.000,00. Hal ini disebabkan hasil bagi usaha yang diterima oleh pemilik kapal jaring cumi adalah 75% dari pendapatan bersih penjualan hasil tangkapannya, sedangkan bagi usaha yang diterima oleh pemilik kapal purse seine hanya sebesar 30% dari pendapatan bersih penjualan hasil tangkapannya. Selain dari itu, jumlah trip melaut yang dilakukan oleh nelayan jaring cumi sebanyak 90 hari. Biaya operasional yang terbesar dikeluarkan oleh alat tangkap jaring cumi, karena jumlah trip melaut yang dilakukan oleh nelayan alat tangkap jaring cumi sebanyak 90 hari dan banyak membutuhkan perbekalan. Rata-rata biaya operasional yang dikeluarkan oleh nelayan jaring cumi sebesar Rp92.209.833,33. Komponen biaya operasional yang paling besar dikeluarkan adalah untuk pembelian bahan bakar, karena untuk dapat melakukan operasi penangkapan ikan yang relatif lama, membutuhkan bahan bakar yang banyak. Harga bahan bakar pun setiap tahunnya relatif meningkat. Jika sedang musim paceklik, sering kali biaya operasional tersebut tidak tertutup oleh pendapatan yang diterima, artinya usaha penangkapan ikan mengalami kerugian, sedangkan pada musim banyak ikan, biaya operasional tersebut akan tertutup oleh pendapatan yang diterima, artinya usaha penangkapan ikan tersebut mengalami keuntungan. Hasil tangkapan yang diperoleh pun akan lebih banyak.
82
6 RETRIBUSI PELELANGAN IKAN 6.1 Ketentuan Retribusi Ketentuan retribusi yang diberlakukan pihak TPI adalah sebesar 5% yang dipungut dari pihak nelayan sebesar 3% dan pihak bakul 2%. Penggunaan atau rincian hasil pungutan retribusi sebesar 5% tersebut digunakan untuk banyak keperluan, yang terdapat pada Tabel 15, antara lain untuk kegiatan penyelenggaraan pelelangan ikan sebesar 55% yang di dalamnya terdiri atas biaya lelang (42,50%), biaya keamanan dan kebersihan (5%), dan biaya pembinaan dan pengawasan (7,5%). Dana sosial terdiri dari asuransi nelayan (7,5%), dana paceklik (7,5%), dan tabungan nelayan dan bakul (10%). Biaya administrasi perkantoran terdiri dari biaya kantor (7,5%), pembayaran telepon, air dan listrik (2,5%) serta biaya pemeliharaan (10%). Menurut Ketua Koperasi Perikanan Mina Jaya, pada tahun 2008 retribusi pelelangan ikan di TPI Muara Angke yang sebesar 5% tersebut jika diasumsikan sebagai 100% maka yang akan dibagikan kepada Pemerintah Daerah adalah 60% dan untuk kebutuhan Koperasi Perikanan Mina Jaya 40%. Nilai dari 40% tersebut, masih akan digunakan untuk kebutuhan lain sebesar 20%, sehingga Koperasi Perikanan Mina Jaya hanya mendapatkan bagian 20% dari retribusi pelelangan ikan. Sistem perkoperasian di Jawa Tengah berbeda dengan di DKI Jakarta. Koperasi-koperasi Mina di Jawa Tengah memiliki rekening bank untuk keperluan pembayaran pembagian
retribusi pelelangan ikan. Dari hasil bagian retribusi
pelelangan ikan, masing-masing dapat langsung dibagikan dan dimasukkan ke rekening masing-masing, sehingga begitu selesai pelelangan ikan, pihak TPI menghitung berapa bagian yang akan dibagikan kepada Koperasi Mina, dan berapa bagian yang akan masuk untuk Pemerintah Daerah. Hal tersebut tidak membutuhkan waktu yang lama dan birokrasi yang panjang dan berbelit-belit. Berbeda dengan sistem yang dilakukan di DKI Jakarta. Koperasi-koperasi Perikanan di DKI Jakarta tidak memiliki rekening bank, sehingga hasil retribusi yang berasal dari pelelangan ikan, akan dimasukkan dahulu ke kas daerah. Dari kas daerah, kemudian baru akan
83
dibagikan kepada Pemerintah Daerah dan Koperasi Perikanan. Hal tersebut membutuhkan waktu yang lama dan birokrasi yang panjang dan berbelit-belit. Dari hasil wawancara dengan Ketua Koperasi Perikana Mina Jaya, sejak bulan September 2007, 40% bagian retribusi yang seharusnya menjadi bagian Koperasi Perikanan Mina Jaya, tetapi hingga bulan Maret 2008 kemarin belum turun juga. Padahal Koperasi Perikanan Mina Jaya sudah sangat membutuhkan dana tersebut untuk keperluan operasionalnya. Koperasi Perikanan Mina Jaya merupakan koperasi nelayan yang tertua di DKI Jakarta. Koperasi tersebut sudah berusia 33 tahun. Koperasi Perikanan Mina Jaya tersebut sudah banyak membantu para nelayan dalam hal asuransi. Asuransi yang digunakan oleh Koperasi Perikana Mina Jaya adalah Asuransi Jiwa Bumi Putera Syariah. Sejak berdirinya Koperasi Perikana Mina Jaya, aturan tentang pelelangan ikan masih dikelola oleh Dinas Perikanan DKI Jakarta. Dahulunya, sejak retribusi pelelangan ikan dikelola oleh Dinas Perikanan, hampir seluruh nelayan tidak dapat merasakan keuntungan apapun dari adanya retribusi, sehingga retribusi pelelangan ikan sempat dihilangkan, karena bertolak belakang antara pihak nelayan dan Pemda yang mengelola pelelangan ikan tersebut. Nelayan hanya merasa dibebani dengan adanya aturan yang mewajibkan para nelayan membayar retribusi pelelangan ikan, tetapi mereka tidak merasakan timbal baliknya sehingga retribusi pelelangan ikan sempat dihilangkan. Sejak tahun 1999, retribusi pelelangan ikan mulai diadakan kembali dan pihak TPI memberikan penyuluhan kepada para nelayan, bahwa retribusi ikan yang mereka keluarkan akan dirasakan manfaatnya oleh para nelayan. Pada tahun 2000, retribusi pelelangan ikan berganti alih, dikelola oleh Koperasi Perikanan Mina Jaya, dan koperasi tersebut mengurus semua keperluan dan membantu para nelayan dalam hal asuransi dan dana sosial. 6.2 Pelaksanaan Pengambilan Retribusi Jumlah retribusi pelelangan ikan yang dihasilkan oleh ke-15 kapal yang diambil sebagai responden adalah Rp35.466.585,00 dengan rincian jumlah retribusi dari 5 alat tangkap purse seine sebesar Rp7.269.705,00; jumlah 5 alat tangkap bubu sebesar
84
Rp6.324.960,00 dan jumlah 5 alat tangkap jaring cumi sebesar Rp21.871.920,00. Jumlah retribusi yang paling banyak yaitu berasal dari alat tangkap jaring cumi sebesar Rp21.871.920,00, sedangkan retribusi yang terkecil diperoleh dari alat tangkap bubu yaitu sebesar Rp6.324.960,00. Jika dilihat dari rata-rata retribusi yang dikalikan dengan masing-masing jumlah alat tangkap yang mendaratkan hasil tangkapannya di PPI Muara Angke pada tahun 2007, maka rata-rata yang diperoleh oleh alat tangkap purse seine sebesar Rp709.523.208,00, alat tangkap bubu sebesar Rp266.913.312,00 dan alat tangkap jaring cumi sebesar Rp2.716.492.464,00. Rata-rata jumlah retribusi yang didapat paling banyak yaitu berasal dari alat tangkap jaring cumi sebesar Rp2.716.492.464,00 karena alat tangkap jaring cumi merupakan alat tangkap dominan yang berada di PPI Muara Angke. Retribusi yang terkecil diperoleh dari alat tangkap bubu sebesar Rp266.913.312,00. Pelaksanaan pengambilan retribusinya langsung diatur oleh pihak TPI, dimana setelah selesai melakukan pelelangan ikan, para pemilik ikan yang melakukan pelelangan ikan, langsung menyetor pada kasir TPI Muara Angke sebesar 3% dari penjualan hasil tangkapan. Pihak TPI akan mengecek apabila ada pemilik ikan yang belum menyetorkan retribusi pelelangan ikannya ke kasir TPI Muara Angke. Hubungan antara pendapatan nelayan dengan retribusi pelelangan ikan adalah bagian pendapatan nelayan dari hasil penjualan hasil tangkapan di TPI yang terambil untuk retribusi dan seharusnya kembali kepada nelayan. Semakin banyak hasil tangkapan yang diperoleh, akan banyak pula retribusi yang dibayarkan. Kenaikan atau penurunan hasil penjualan nelayan akan sangat mempengaruhi nilai retribusi. Selain dari itu, retribusi akan mempengaruhi kesejahteraan nelayan, karena dari hasil retribusi yang diperoleh dari pelelangan ikan tersebut, sebesar 25% akan dikeluarkan untuk dana sosial yang antara lain untuk kesejahteraan nelayan dan warga sekitarnya. Dana sosial tersebut terutama diperuntukkan bagi nelayan yang merupakan anggota koperasi perikanan tersebut sisanya akan dialokasikan untuk warga sekitar yang membutuhkannya.
85
6.3 Bagian Retribusi yang Diterima Nelayan Dana yang telah dikeluarkan oleh Koperasi Perikanan Mina Jaya untuk dana sosial nelayan dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 34 Dana yang telah dikeluarkan untuk kesejahteraan nelayan No
Uraian
2003 (Rp)
2004 (Rp)
2005 (Rp)
2006 (Rp)
1
Tabungan Nelayan
31.273.142
46.707.913
39.835.858
28.185.601
2
Tabungan Bakul
3.627.860
30.005.058
27.593.104
42.278.402
3
Asuransi
15.519.400
17.958.000
25.829.437
80.386.150
4
Dana Paceklik
9.228.400
17.634.100
21.150.410.
77.885.150
Jumlah
59.648.802
112.305.071
114.408.809
228.735.303
Sumber : Koperasi Perikanan Mina Jaya, 2007
Tabungan nelayan dan tabungan bakul berlaku untuk nelayan-nelayan penetap yang merupakan anggota koperasi perikanan Mina Jaya. Rata-rata nelayan yang mendaratkan hasil tangkapannya di PPI Muara Angke merupakan nelayan pendatang dari luar DKI Jakarta, sehingga mereka tidak ada yang menabung di Koperasi Perikanan Mina Jaya dan hanya akan merasakan dana sosial berupa asuransi dan dana paceklik yang dikeluarkan oleh Koperasi Perikanan tersebut namun mereka menabung di daerah asal mereka. Hanya terdapat 3 pemilik kapal yang berasal dari Jakarta dan sekitarnya. Walaupun demikian ketiga pemilik kapal tersebut tidak ada yang merupakan anggota koperasi karena rata-rata yang menjadi anggota koperasi merupakan nelaya-nelayan kecil, artinya mereka bekerja di kapal yang berukuran kecil, dengan ukuran kapal dibawah 20 GT. Penelitian dilakukan pada musim barat, sehingga kapal-kapal yang melaut adalah kapal-kapal berukuran besar (>20 GT), artinya kapal-kapal kecil tidak ditemukan di PPI Muara Angke, sehingga dari ketiga alat tangkap terbanyak tersebut, hanya ditemukan kapal-kapal yang berukuran diatas 25 GT. Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas Koperasi Perikanan Mina Jaya, bahwa jarang sekali ada nelayan-nelayan purse seine, bubu dan cumi yang
86
merupakan anggota koperasi, karena nelayan-nelayan tersebut berasal dari luar DKI Jakarta yang seharusnya menjadi anggota koperasi di daerah mereka tinggal. Berdasarkan kesepakatan pengurus HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) dan para pengurus Koperasi Mina Jaya, maka hak-hak yang diterima nelayan yang merupakan anggota koperasi Mina Jaya antara lain mendapatkan asuransi jiwa, mendapatkan dana paceklik, dapat menjadi anggota HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia), dapat meminjam modal usaha pada Koperasi Mina Jaya, dapat menghadiri RAT (Rapat Anggota Tahunan) dan mendapatkan SHU (Sisa Hasil Usaha) pada akhir tahunnya. Sisa hasil usaha tersebut berasal dari sistem bagi hasil jika ada anggota yang meminjam modal pada koperasi. Bagi hasil tersebut dikumpulkan, kemudian akan diberikan kepada para anggota setiap akhir tahunnya pada saat RAT (Rapat Anggota Tahunan). Semakin banyak pinjaman yang diberikan, maka akan semakin banyak pula SHU yang terkumpul dan SHU yang akan diterima oleh para anggota koperasi tiap tahunnya. Hak nelayan yang bukan merupakan anggota koperasi hanya mendapatkan asuransi jiwa dan mendapatkan dana paceklik. Dana tersebut dikeluarkan oleh Koperasi Mina Jaya melalui pemilik atau pengurus kapal, sehingga yang bertanggung jawab penuh terhadap nelayan yang bukan anggota Koperasi Mina Jaya adalah pemilik atau pengurus kapal. Jumlah yang diberikan pun tidak sebanyak dana yang diberikan kepada nelayan yang merupakan anggota koperasi. Tabel 35 Hak-hak yang diterima nelayan sebagai kompensasi dari retribusi pelelangan ikan No
Hak-hak yang Seharusnya Diterima Oleh Nelayan
Hak-hak yang Nyata Diterima Nelayan Nelayan Nelayan Bukan Anggota Koperasi Anggota Koperasi
1
Asuransi kecelakaan jiwa
√
√
2
Dana paceklik
√
√
3
Menjadi anggota HNSI
√
4
Simpan pinjam modal usaha
√
5
Diundang pada saat RAT
√
6
Mendapatkan SHU
√
Sumber : Koperasi Perikanan Mina Jaya, 2007
87
Hampir semua nelayan alat tangkap purse seine, bubu dan cumi tidak merasakan dana sosial yang dikeluarkan oleh Koperasi Perikanan Mina Jaya dalam bentuk uang, melainkan dalam bentuk sembako. Jika santunan diberikan dalam bentuk uang, para nelayan berpeluang akan menghambur-hamburkan uang tersebut untuk hal yang tidak penting dan untuk kepentingan pribadi, sedangkan jika diberikan dalam bentuk sembako, kebutuhan tersebut akan dirasakan oleh keluarganya. Mereka hanya diberikan bantuan uang pada saat paceklik oleh pemilik kapal yang merupakan tempat mereka bekerja. Menurut hasil wawancara yang dilakukan kepada petugas koperasi dan para nelayan, pihak Koperasi Mina Jaya memang telah memberikan dana sosial tersebut kepada para nelayan yang membutuhkan, dan para nelayan di lapangan pun mengakui, hak-hak tersebut semuanya memang telah diterima. Menurut hasil wawancara yang dilakukan kepada para nelayan, asuransi kecelakaan jiwa memang diberikan jika terjadi kecelakaan baik di laut maupun di darat dan jika ada yang meninggal dunia. Para nelayan pun mendapatkan dana paceklik pada saat terjadi paceklik yang sangat panjang kemarin berupa sembako, tetapi sembako tersebut diberikan langsung kepada keluarganya.
88
7 KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 KESIMPULAN 1) Rata-rata pendapatan bersih per trip pemilik kapal, nahkoda dan ABK terbesar adalah terdapat pada alat tangkap jaring cumi yaitu masing-masing sebesar Rp36.921.437,00; Rp7.384.287,40 dan Rp1.350.000,00. Rata-rata pendapatan bersih hasil tangkapan per trip dari ketiga alat tangkap dominan di PPI Muara Angke (purse seine, bubu dan jaring cumi) yaitu purse seine Rp25.443.777,39, bubu Rp2.556.964,10 dan jaring cumi Rp49.228.582,67. 2) Hak-hak yang diterima nelayan yang merupakan anggota koperasi Mina Jaya adalah mendapatkan asuransi jiwa, mendapatkan dana paceklik, dapat menjadi anggota HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia), dapat meminjam modal usaha pada Koperasi Mina Jaya, dapat menghadiri RAT (Rapat Anggota Tahunan) dan mendapatkan SHU (Sisa Hasil Usaha) pada akhir tahunnya. Dalam kenyataan di lapangan, hak-hak tersebut semuanya memang telah didapatkan oleh para nelayan. Hak nelayan yang bukan merupakan anggota koperasi hanya mendapatkan asuransi jiwa dan mendapatkan dana paceklik. Dana tersebut dikeluarkan oleh Koperasi Mina Jaya melalui pemilik atau pengurus kapal, sehingga yang bertanggung jawab penuh terhadap nelayan yang bukan anggota Koperasi Mina Jaya adalah pemilik atau pengurus kapal. Jumlah yang diberikan pun tidak sebanyak dana yang diberikan kepada nelayan yang merupakan anggota koperasi.
7.2 SARAN 1)
Perlu diadakan sosialisasi kepada para nelayan tentang manfaat yang didapat jika menjadi anggota koperasi, tempat dimana para nelayan bekerja.
2)
Perlu adanya keterbukaan dari pihak Koperasi Perikanan Mina Jaya pada saat pemberian dana bantuan sosial kepada para nelayan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 1979. Buku Pedoman Pengenalan Sumber Perikanan Laut Bagian 1. Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian : Jakarta Anonymous. 2006a. Potensi Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke Jakarta. Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta. UPT. Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke 2006. 35 hlm Anonymous.2006b.(http://www.google.co.id/search?hl=id&q=retribusi+pelelangan +ikan) Anonymous.2006c. Profil Koperasi Perikanan Mina Jaya Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Gedung Mina Jaya Lantai II Muara Angke Jakarta Utara Anonymous.2006d. Laporan Tahunan Unit Pelaksana Teknis Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke Jakarta. Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta. UPT. Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke 2006 Anonymous. 2007a. http://www.dkp.go.id Anonymous. 2007b. Pedoman Pelaksanaan Pelelangan Ikan di tempat pelelangan ikan Muara Angke. Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta, Unit Pelaksana Teknis Pengelolaan Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan. 136 hlm Anonymous. 2007c. Data Potensi Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara. Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kotamadya Jakarta Utara BPS. 1998. Statistik Kesejahteraan Rakyat. Jakarta : Biro Pusat Statistik. 180 hal. Burhanuddin, A.D dan A.S. Genisa. 1998. Nama-nama Daerah Ikan Laut di Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Bagian Proyek Pengembangan Keanekaragaman Nirhayati : Jakarta Departemen Koperasi. 2002. UU RI No. 25 Tahun 1995. Jakarta [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2004. Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan. Nomor : KEP.10/MEN/2004 tentang Pelabuhan Perikanan. Jakarta. 15 hal.
90
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2004. Undang-undang No.31 Tahun 2004. Tentang Perikanan. Jakarta Faubiany, V. 2008. Kajian Sanitasi di Tempat Pendaratan dan Tempat Pelelangan Ikan Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke serta Pengaruhnya Terhadap Kualitas Ikan Didaratkan [Skripsi]. Bogor : Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Fauzi A. 2001. Prinsip-prinsip Penelitian Sosial Ekonomi : Panduan Singkat. Bogor : IPB, Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Pp 28 Hermanto. 1986. Analisis Pendapatan dan Pencurahan Tenaga Kerja Nelayan di Desa Pantai (Studi Kasus di Muncar Banyuwangi). Bogor : Pusat Penelitian Agroekonomi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Kuswardani, O.H. 2007. Sesain Sistem Informasi Manajemen Koperasi Unit Desa Misaya Mina di PPP Eretan, Kabupaten Indramayu [Skripsi]. Bogor : Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Lindawati. 2005. Optimalisasi Faktor Produksi Usaha Budidaya Pembesaran Ikan Mas pada Kolam Air Deras di Desa Situ Daun Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat [Skripsi]. Bogor : Departemen Sosial Ekonomi Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Lubis, E. 2006. Buku I: Pengantar Pelabuhan Perikanan. Bogor: Laboratorium Pelabuhan Perikanan, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Monintja, D. 1989. Pengantar Perikanan Tangkap di Indonesia. Bogor : Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Mulyadi, M.D. 2007. Analisis Pendaratan dan Penanganan Hasil Tangkapan serta Fasilitas Terkait di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pekalongan [Skripsi]. Bogor : Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Nazir, M. 1999. Metodologi Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia Novri, F. 2006. Analisis Hasil Tangkapan dan Pola Musim Penangkapan Ikan Tenggiri(Scomberomorus spp.) di Perairan Laut Jawa Bagian Barat Berdasarkan Hasil Tangkapan yang Didaratkan di PPI Muara Angke, Jakarta Utara [Skripsi].
91
Bogor : Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Purnomo, H. 1999. Tingkat Kesejahteraan Keluarga Nelayan di Desa Sungaibuntu, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang [Skripsi]. Bogor : Departemen Manajemen Bisnis dan Ekonomi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Schuster. W. H. and R. Rustami Djayadiredja. 1952. Local Common Names of Indonesian Fishes. Bandung : W. Van Hoeve Soekartawi. 1986. Ilmu Usaha Tani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Jakarta : UI Press Sajogyo. 1996. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. Yogyakarta : Aditya Media. 11 hal
Tabel 33 Resume pendapatan dan pengeluaran nelayan per trip dari usaha penangkapan ikan di PPI Muara Angke
Penerimaan
Pengeluaran
1
51.311.500
20.293.034
Keterangan Pendapatan Pendapatan bersih per trip pemilik 29.479.120,51 11.791.648,20
2
46.046.000
22.761.034
21.903.585,51
3
42.830.000
20.795.241
20.749.858,62
8.299.943,44
3.112.478,79
86.457,74
4
48.594.000
20.661.241
26.474.939
10.589.975,44
3.971.240,79
120.340,63
5
53.542.000
23.324.356
28.611.384
11.444.553,47
4.291.707,55
126.226,69
48.464.700,00
21.566.981,61
25.443.777,39
10.177.510,96
3.992.588,56
109.945,45
1
47.173.000
41.210.041
4.547.769,35
3.410.827,01
682.165,40
300.000,00
2
41.212.500
37.320.049
2.656.076,22
1.992.057,16
398.411,43
300.000,00
3
41.591.000
38.048.041
2.295.229,35
1.721.422,01
344.284,40
300.000,00
Alat Tangkap
Purse Seine
Rata-rata
Bubu
Rata-rata
Pendapatan ABK 122.829,66
8.761.434,20
3.285.537,82
93.872,50
4
38.908.000
35.707.041
2.033.719,35
1.525.289,51
305.057,90
300.000,00
5
41.947.500
39.437.049
1.252.026,22
939.019,66
187.803,93
300.000,00
42.166.400,00
38.344.443,90
2.,556.964,10
1.917.723,07
383.544,61
300.000,00
1
152.225.000
88.265.389
59.392.861,11
44.544.645,83
8.908.929,17
1.350.000,00
2
151.286.000
93.633.167
53.114.253,33
39.835.690,00
7.967.138,00
1.350.000,00
3
152.871.000
93.624.278
54.660.592,22
40.995.444,17
8.199.088,83
1.350.000,00
4
154.216.000
97.816.500
51.773.020,00
38.829.765,00
7.765.953,00
1.350.000,00
5
118.466.000
87.709.833
27.202.186,67
20.401.640,00
4.080.328,00
1.350.000,00
145.812.800,00
92.209.833,33
49.228.582,67
36.921.437,00
7.384.287,40
1.350.000,00
Rata-rata
Jaring Cumi
Pendapatan nahkoda 4.421.868,07
Sumber : Diolah dari Lampiran 8, 9, 10
81