PENGEMBANGAN MUTU SUMBER DAYA MANUSIA NELAYAN: KASUS NELAYAN KECIL DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN MUARA ANGKE PROVINSI DKI JAKARTA
WILDANI PINGKAN SURIPURNA HAMZENS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: PENGEMBANGAN MUTU SUMBER DAYA MANUSIA NELAYAN: KASUS NELAYAN KECIL DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN MUARA ANGKE PROVINSI DKI JAKARTA
Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Juni 2007
Wildani Pingkan Suripurna Hamzens NRP 061020111
i
ABSTRACT Wildani Pingkan Suripurna Hamzens, 2007: FISHERMAN RESOURCE QUALITY ENHANCEMENT: CASE SMALL FISHERMAN AT MUARA ANGKE FISHERY PORT PROVINCE DKI JAKARTA. (Under a Team of Advisors with Sumardjo as Chairman; Margono Slamet, Prabowo Tjitropranoto, as members).
From generation to generation fisherman has been making a live for himself and family mainly by fishing from the sea. However, development has yet been able to make a significant change in their life. Fisherman resource quality is still low, which is reflected on low generated income of fishing from the sea. As the consequences, they ability to suffice their own and family needs also low. The objectives of this research are: (1) to analyze several fisherman characteristic and environmental factors; to see how is it related with competence, as well as to find out which factors that determine fisherman competence formation; (2) to explain and analyze, condition of fisherman resources based on competence, ability to fulfill consumer’s need, income, and ability to suffice their own and their family need and (3) to formulized effective fisherman resource quality enhancement strategy. Research finding has shown that: (1) feature of fisherman is characterized by: (a) individual characteristic(low education, new comer fisherman, low intrinsic motivation toward development, even though they appreciate their own profession); (b) effort characteristic that are: client-patron pattern (owner-worker-investor serve as main customer as weell), various capture equipment, various sharing return, most of them has more than 10 years experience as fisherman, and the main reason to become a fisherman is coming from fisherman family; Low environmental support toward formation of fisherman competence; Internal related factor towards competence formation are: (a) age; (b) number of dependant; (c) monthly expense and (d) experience as a fisherman. Experience is the most influential factor on fisherman competence formation. External factor that related to fisherman competence formation is fisherman institution; (2) Low qualiy of fisherman resource, reflected on: low competence, low ability to fulfill needs, low income, low ability to suffice their own and their family needs for living; (3) Fisherman resource quality enhancement strategy divided on: (a) internal strategy, by applying social inovation through continuous non formal education (extension) and (b) external strategy by increasing environment supports for fisherman effort according to their need. Key words: Fisherman Resource Quality Enhancement, Competence, Social Inovation, Continuous non Formal Education (extension).
ii
RINGKASAN Wildani Pingkan Suripurna Hamzens, 2007. PENGEMBANGAN MUTU SUMBER DAYA MANUSIA NELAYAN: KASUS NELAYAN KECIL DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN MUARA ANGKE PROVINSI DKI JAKARTA. Komisi Pembimbing: Sumardjo (Ketua), Margono Slamet dan Prabowo Tjitropranoto (Anggota). Pembangunan belum mampu mengubah secara nyata kehidupan nelayan yang secara turun temurun telah menjadikan usaha menangkap ikan di laut sebagai mata pencaharian utama untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Mutu sumber daya manusia nelayan masih rendah, ini dapat dilihat dari masih rendahnya penghasilan yang diperoleh dari hasil usaha menangkap ikan di laut, sehingga rendah juga kemampuan nelayan memenuhi berbagai kebutuhan hidup, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis karakteristik individu nelayan dan faktor-faktor lingkungan, untuk melihat bagaimana hubungannya dengan kompetensi, serta untuk mengetahui faktor-faktor mana yang paling menentukan dalam membentuk kompetensi nelayan; (2) menguraikan dan menganalisis bagaimana kondisi mutu SDM nelayan berdasarkan: kompetensi, kemampuan memenuhi kebutuhan konsumen, penghasilan, dan kemampuan memenuhi kebutuhan diri dan keluarga (kebutuhan hidup) dan (3) merumuskan strategi pengembangan mutu sumber daya manusia nelayan yang efektif. Hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa: (1) Karakteristik nelayan dicirikan dengan: (a) karakteristik individu: pendidikan rendah, nelayan pendatang, motivasi intrinsik untuk maju rendah, namun demikian, nelayan menghargai profesinya; (b) karakteristik usaha, yaitu: pola patron-klien (pemilik-pekerja-pemodal merangkap konsumen utama), alat tangkap bervariasi, pola bagi hasil bervariasi, sebagian besar berpengalaman sebagai nelayan > 10 tahun, dan alasan utama menjadi nelayan karena berasal dari keluarga nelayan; Dukungan lingkungan terhadap terbentuknya kompetensi nelayan rendah; Faktor-faktor internal yang berhubungan dengan terbentuknya kompetensi adalah: (a) usia; (b) jumlah tanggungan; (c) pegeluaran setiap bulan dan (d) pengalaman sebagai nelayan, dan yang paling mempengaruhi terbentuknya kompetensi nelayan adalah pengalaman. Faktor eksternal yang berhubungan dengan terbentuknya kompetensi nelayan adalah kelembagaan nelayan; (2) mutu sumber daya manusia nelayan masih rendah, diperlihatkan dengan: rendahnya kompetensi, rendahnya kemampuan memenuhi kebutuhan konsumen, rendahnya penghasilan, dan rendahnya kemampuan memenuhi kebutuhan diri dan keluarga (kebutuhan hidup) dan (3) strategi pengembangan mutu sumber daya manusia nelayan dibagi atas: (a) strategi internal, dilakukan dengan cara penerapan inovasi sosial melalui kegiatan pendidikan non formal (penyuluhan) secara berkelanjutan dan (b) strategi eksternal dengan cara meningkatkan berbagai dukungan lingkungan pada usaha nelayan, sesuai kebutuhan. Kata kunci: Pengembangan Mutu SDM Nelayan, Kompetensi, Inovasi Sosial, Penyuluhan yang Berkelanjutan.
iii
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, dan mikrofilm, dan sebagainya
iv
PENGEMBANGAN MUTU SUMBER DAYA MANUSIA NELAYAN: KASUS NELAYAN KECIL DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN MUARA ANGKE PROVINSI DKI JAKARTA
WILDANI PINGKAN S. HAMZENS
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
v
Judul Disertasi
Nama NRP
: Pengembangan Mutu Sumber Daya Manusia Nelayan: Kasus Nelayan Kecil di Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke Provinsi DKI Jakarta : Wildani Pingkan Suripurna Hamzens : P 061020111
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sumardjo, M.S Ketua
Dr. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc. Anggota
Prof. Dr. H. R. Margono Slamet, M.Sc Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Dr. Ir. Amri Jahi M.Sc
Tanggal Ujian: 22 Mei 2007
Tanggal Lulus: 27 Juni 2007 vi
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Siti Amanah Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Pang S. Asngari, M.Ed 2. Dr. Sudirman Saad, SH.M.Hum
PRAKATA Puji Syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T, Tuhan Seru Sekalian Alam, karena hanya dengan ijinNya penelitian ini dapat selesai sesuai waktu yang direncanakan. Penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada yang terhormat, Komisi Pembimbing Disertasi: (1) Dr. Ir. Sumardjo, M.S, sebagai Ketua Komisi Pembimbing Disertasi dan Anggota Komisi Akademik, yang telah dengan tekun, teliti serta penuh kesabaran membimbing penelitian ini; (2) Prof. Dr. H. R. Margono Slamet, M.Sc sebagai anggota Komisi Pembimbing Disertasi juga sebagai Ketua Komisi Akademik yang telah membimbing penulis sejak awal studi, dan (3) Dr. H. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc, sebagai anggota Komisi Pembimbing Disertasi dan Anggota Komisi Pembimbing Akademik, yang telah membimbing minat penelitian sejak awal perkuliahan. Terima kasih kepada Dr. Ir. Amri Jahi, M.Sc sebagai ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan (P.S Ilmu PPN) dan juga anggota Komisi Pembimbing Akademik, atas bimbingan selama studi, juga atas saran yang diberikan pada Ujian Tetutup. Kepada Dr. Ir. Siti Amanah sebagai Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup, dan Dr. Ir. Titik Sumarti M.C. M.S, Wakil Dekan Fakultas Ekologi Manusia, penulis mengucapkan terima kasih atas saran-saran pada saat Ujian Tertutup. Kepada Prof. Dr. Pang S.Asngari, penulis menyampaikan terima kasih atas bimbingan selama menjadi anggota Komisi Pembimbing Akademik, juga terima kasih atas masukan saat menjadi Penguji Luar Komisi di Ujian Terbuka. Kepada Dr. Sudirman Saad, SH. M.Hum, Direktur Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, yang bertindak sebagai Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka, penulis menyampaikan terima kasih atas kesediaan menguji juga atas saran-saran yang diberikan. Terima kasih kepada Rektor IPB dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, juga kepada Dekan Fakultas Ekologi Manusia, Prof. Dr. Ir. Hardinsyah atas saran pada Ujian Terbuka. Kepada seluruh staf administrasi Sekolah Pascasarjana IPB, terima kasih atas berbagai dukungan sehingga seluruh kegiatan administrasi akademik di Sekolah Pascasarjana IPB dapat berjalan dengan baik. Kepada seluruh staf pengajar di P.S Ilmu PPN Sekolah Pascasarjana IPB terima kasih atas ilmu yang telah diberikan. Kepada vii
Rekan-rekan selama belajar di P.S Ilmu PPN, terima kasih atas kebersamaannya. Semoga perjuangan membentuk dan merubah pola perilaku manusia Indonesia menjadi manusia yang lebih berkualitas dapat kita wujudkan bersama-sama. Kepada staf administrasi P.S Ilmu PPN terima kasih atas berbagai dukungan sehingga kegiatan administrasi akademik di P.S Ilmu PPN berjalan dengan baik. Kepada Rektor Universitas Tadulako, Sahabudin Mustafa, S.E, Msi; Dekan F.T Universitas Tadulako Ir. Muh. Ghalib Ishak, M.S; Ir. T.A.M. Tilaar, M.S, sebagai mantan Ketua Lembaga Penelitian Universitas Tadulako, saat ini Pembantu Rektor IV Universitas Tadulako; Rekan-rekan di Universitas Tadulako, dan Staf Administasi Universitas Tadulako, terima kasih atas semua dukungan yang telah diberikan. Kepada Ir. Maulidin Labalo, S.Sos, Msi sebagai Kepala Balitbangda Provinsi Sulawesi Tengah; Pemda Provinsi DKI Jakarta; Rekan-rekan di Konsultan Perencanaan dan Desain serta Pusat Penelitian dan Perencanaan Pembangunan Labdawara, penulis menyampaikan terima kasih atas kerjasama, serta kesempatan dan kebebasan untuk mengembangkan diri. Kepada Ayah, A. Fikri Hamzens, dan Ibu Elvire Sylvia, penulis menyampaikan terima kasih atas motivasi, kepercayaan, dan berbagai dukungan yang telah diberikan dengan sangat tulus. Terima kasih yang tulus juga disampaikan kepada Ibu Hendro dan Keluarga di Bogor, serta adik-adikku dan keluarganya masing-masing. Kepada saudara-saudara Nelayan di Muara Angke, dan Nelayan di berbagai tempat yang pernah dikunjungi, penulis menyampaikan terima kasih, karena tanpa bantuan dan penerimaan yang baik, penelitian ini tidak pernah ada. Kepada seluruh hadirin yang telah meluangkan waktunya mengikuti Ujian Terbuka, penulis juga menyampaikan terima kasih atas kehadiran dan perhatian selama berlangsungnya ujian. Terakhir, kepada semua yang telah mendukung penelitian ini namun belum disebutkan satu persatu, penulis menyampaikan banyak terima kasih. Harapan penulis, semoga Allah SWT memberikan kemudahan mencapai kemajuan bagi nelayan Indonesia khususnya, dan bagi seluruh Bangsa Indonesia. Amiin. Saran dan masukan sangat diharapkan guna perbaikan, dan untuk semua saran yang diberikan, penulis menyampaikan terima kasih. Bogor, Juni 2007
viii
RIWAYAT HIDUP Penulis adalah putri pertama dari empat bersaudara keluarga Bapak A. Fikri Hamzens dan Ibu Elvire Sylvia, lahir di Manado 19 Oktober 1967. Riwayat pendidikan: TK di Manado, SD Negeri 3 Palu, SMP Negeri 1 Palu, dan SMA Negeri 3 Semarang. Penulis menempuh dan menyelesaikan S1 di Jurusan Arsitektur Universitas Diponegoro Semarang, lulus sebagai Arsitek tahun 1993. S2 Magister Perencanaan Kota dan Daerah, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, lulus sebagai Perencana Kota dan Daerah tahun 1999. Penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan di Sekolah Pascasarjana IPB, pada September 2002 dan mulai mengikuti kuliah sebagai mahasiswa PS Ilmu PPN IPB mulai Februari tahun 2003. Selama pendidikan formal penulis mengikuti kegiatan kesiswaan yaitu OSIS, dan kegiatan kemahasiswaan seperti: Keluarga Mahasiswa, Senat Mahasiswa, dan Badan Perwakilan Mahasiswa. Setelah menyelesaikan S1, penulis mendirikan Konsultan Perencanaan dan Desain, yang menangani perencanaan gedung, lansekap, tata ruang, kawasan khusus, dan perencanaan pembangunan. Dilanjutkan dengan mendirikan Lembaga Riset, dan Pelatihan Sumber Daya Manusia (SDM), yang menangani penelitian dalam bidang pembangunan, melayani kebutuhan informasi rencana pembangunan, serta memberikan advokasi dan pelatihan SDM. Menjadi staf pengajar di Fakultas Teknik Universitas Tadulako sejak tahun 1994. Menyadari pentingnya meningkatkan mutu SDM di tanah air, mengantarkan penulis menjadi mahasiswa Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Sekolah Pascasarjana IPB.
Bogor, Juni 2007
ix
DAFTAR ISI Halaman PERNYATAAN ……………………….…………………………………………….…i ABSTRACT …………………………………………………………………………..….ii RINGKASAN ...………………………………………………………………………..iii HALAMAN HAK CIPTA .........................................................................................iv HALAMAN JUDUL .................................................................................................. v HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................................vi PRAKATA .............................……………….................………………………….. .vii RIWAYAT HIDUP ………………………….............................................................ix DAFTAR TABEL ………………………………………………………………..…..xiv DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………...………xvi DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................................xviii PENDAHULUAN ......................................................................................................1 Latar Belakang ......................................................................................................1 Masalah Penelitian ............................................................................................... 4 Tujuan Penelitian ................................................................................................ 4 Kegunaan Penelitian ............................................................................................. 4 Definisi Istilah ...................................................................................................... 6 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 14 Nelayan ............................................................................................................ 14 Nelayan dan Peluang yang Ada .................................................................. 14 Karakteristik Nelayan ................................................................................. 14 Penggolongan Nelayan ................................................................................ 14 Kemiskinan Nelayan ................................................................................... 17 Akar Permasalahan Kemiskinan Nelayan ......................................................19 Pengentasan Kemiskinan Nelayan melalui Pembangunan Perikanan ............ 19 Posisi Nelayan dalam Pengelolaan Sumber Daya Perikanan di Beberapa Negara ...................................................................................... 21 Posisi Nelayan Jepang dalam Pengelolaan Sumber Daya Perikanan ............. 21 Posisi Nelayan Kanada dalam Pengelolaan Sumber Daya Perikanan ............ 23 Posisi Nelayan Norwegia dalam Pengelolaan Sumber Daya Perikanan ......... 25 Posisi Nelayan Filipina dalam Pengelolaan Sumber Daya Perikanan ............ 26 Posisi Nelayan Belanda dalam Pengelolaan Sumber Daya Perikanan ........... 27 Posisi Nelayan Amerika Serikat dalam Pengelolaan Sumber Daya Perikanan ...................................................................................................... 28 Posisi Nelayan Indonesia dalam Pengelolaan Sumber Daya Perikanan ......... 29
x
Konsep Mutu ...................................................................................................... 31 Sejarah .......................................................................................................... 31 Definisi Mutu ............................................................................................... 32 Membangun Sistem Mutu ............................................................................. 32 Manajemen Mutu Terpadu (MMT)................................................................ 33 Manfaat Data dalam MMT .......................................................................... 42 Sumber Daya Manusia Nelayan ………………………………………………… 43 Pandangan tentang Sumber Daya Manusia ………..………………………. .. 45 Pengembangan Sumber Daya Manusia ......................................................... 45 Pengembangan Sumber Daya Manusia Nelayan ......................................... 45 Peranan Ilmu Penyuluhan Pembangunan dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia Nelayan ...................................... 47 Ilmu Penyuluhan Pembangunan dan Perubahan Perilaku .............................. 47 Mengubah Perilaku dan Membangun Kompetensi Nelayan .......................... 48 Motivasi ........................................................................................................ 49 Sikap ............................................................................................................. 52 Wirausaha .................................................................................................... 54 Tujuan Pendidikan ........................................................................................ 54 Pengalaman Belajar ...................................................................................... 55 Mutu dalam Penyuluhan Pembangunan ................................................................... 56 Jasa Penyuluhan Pembangunan ..................................................................... 57 Sifat-sifat Pokok Mutu Jasa Penyuluhan Pembangunan ................................ 57 Ciri-ciri Mutu Pelayanan .............................................................................. 57 Proses Penyuluhan......................................................................................... 58 Tantangan Pelaksanaan MMT di Lembaga Penyuluhan Pembangunan ........ 58 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS ....................................................... 59 Kerangka Berpikir ............................................................................................. 59 Mengubah Pola Perilaku Nelayan ................................................................. 59 Area Kerja Pengembangan Mutu SDM Nelayan ........................................... 59 Pelanggan-pelanggan Nelayan dan Kebutuhannya ........................................ 60 Paradigma Pola Perilaku Nelayan Bermutu .................................................. 63 Kualitas Perilaku Ideal Nelayan Berdasarkan Jenis Pelanggannya ................ 67 Hubungan Sebab Akibat Rendahnya Mutu SDM Nelayan ............................ 73 Alur Pikir Proses Penelitian, dan Hubungan antar Variabel ......................... 76 Hipotesis ............................................................................................................ 80 Hipotesis 1 .................................................................................................... 80 Hipotesis 2 .................................................................................................... 80 Hipotesis 3 .................................................................................................... 81 Hipotesis 4 .................................................................................................... 81
xi
Hipotesis 5 .................................................................................................... 81 Hipotesis 6 .................................................................................................... 82 Hipotesis 7 .................................................................................................... 82 Hipotesis 8 .................................................................................................... 82 METODE PENELITIAN ........................................................................................83 Populasi dan Sampel .......................................................................................... 83 Populasi ........................................................................................................ 83 Sampel .......................................................................................................... 83 Rancangan Penelitian ......................................................................................... 84 Data dan Instrumentasi ................................................................................. 85 Peubah dan Pengukuran................................................................................ 88 Pengumpulan Data ....................................................................................... 96 Analisis Data ............................................................................................... 96 HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………………………...98 Hasil .................................................................................................................98 Orientasi Wilayah Penelitian ........................................................................ 98 Nelayan Kecil di Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke, Provinsi DKI Jakarta .................................................................................... 98 Karakteristik Nelayan ................................................................................. 100 Karakteristik Individu ...............................................................................100 Karakteristik Usaha ...................................................................................108 Kekondusifan Lingkungan .......................................................................... 118 Kelembagaan Nelayan ............................................................................ 118 Kesempatan ..............................................................................................127 Ketersediaan Informasi .............................................................................122 Penyuluhan ...............................................................................................123 Sarana Prasarana .......................................................................................124 Mutu Sumber Daya Manusia Nelayan ........................................................... 124 Kompetensi Nelayan ............................................................................... 124 Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen.......................... 132 Penghasilan Nelayan ............................................................................... 138 Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Hidup ................................ 142 Strategi Pengembangan Mutu Sumber Daya Manusia Nelayan .......................... 150 Variabel-variabel yang Mempengaruhi Mutu SDM Nelayan …............... 150 Strategi Internal: Inovasi Sosial untuk Pengembangan Mutu SDM Nelayan..........................................................................................153 Strategi Eksternal: Memberikan Dukungan Lingkungan yang Kondusif untuk Mencapai Kesejahteraan Nelayan ..........................................................172 Menciptakan Dukungan Lingkungan yang Kondusif untuk Mencapai Kesejahteraan Nelayan .....................................................................................191
xii
Perpaduan Strategi Internal dan Strategi Eksternal: Satu Strategi Internal + Dua Belas Strategi Eksternal = Strategi Inovasi Sosial Pengembangan SDM Nelayan Secara Komprehensif .......................... 203 Pembahasan ........................................................................................................... 206 Kondisi Umum.................................................................................................... 206 Karakteristik Nelayan......................................................................................... 207 Karakteristik Individu ...............................................................................207 Karakteristik Usaha ...................................................................................210 Kekondusifan Lingkungan .......................................................................... 213 Kelembagaan Nelayan ............................................................................ 213 Kesempatan ..............................................................................................213 Ketersediaan Informasi .............................................................................214 Penyuluhan ...............................................................................................215 Sarana Prasarana .......................................................................................216 Mutu Sumber Daya Manusia Nelayan ........................................................... 216 Kompetensi Nelayan ............................................................................... 216 Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen.......................... 222 Penghasilan Nelayan ............................................................................... 228 Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Hidup ................................ 232 Strategi Pengembangan Mutu Sumber Daya Manusia Nelayan .......................... 236 Variabel-variabel yang Mempengaruhi Mutu SDM Nelayan …............... 237 Pemilihan Pola Dasar Intervensi Penyuluhan untuk Pengembangan Mutu SDM Nelayan ........................................................................................ 239 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 241 Kesimpulan ............................................................................................ 241 Saran ...................................................................................................... 245 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................247 LAMPIRAN .................................................................................................................. 253
xiii
DAFTAR TABEL Halaman 1. Sifat-sifat Pokok Mutu Jasa ................................................................................. 35 2. Ukuran Mutu .........................................................................................................36 3. Pelanggan Internal Nelayan dan Kebutuhannya ................................................... 61 4. Pelanggan Eksternal Nelayan dan Kebutuhannya ................................................. 62 5. Arah Pergeseran Paradigma Menuju Nelayan Bermutu ........................................ 64 6. Kualitas Perilaku Ideal Nelayan Berdasarkan Jenis Pelanggannya ....................... 67 7. Kisaran P Value Hasil Uji Korelasi antara Variabel Utama Penelitian ................ 87 8. Karakteristik Individu Nelayan ...........................................................................101 9. Sikap terhadap Profesi ....................................................................................... 107 10. Motivasi Intrinsik untuk Menjadi Nelayan Maju .............................................. 108 11. Jenis Alat Tangkap dan Hasil Tangkapan ..........................................................109 12. Jenis Alat Tangkap dan Variasi Berat Tangkapan (Kg) .................................... 111 13. Jenis Alat Tangkap dan Pola Pembagian Hasil ................................................. 114 14. Pengalaman Nelayan (Tahun) ...........................................................................115 15. Alasan Menjadi Nelayan ...................................................................................117 16. Kondisi Kekondusifan Lingkungan ...................................................................118 17. Kesempatan Pengembangan Usaha yang Diperoleh Nelayan ........................... 120 18. Dukungan Informasi Usaha yang Diperoleh Nelayan ....................................... 122 19. Dukungan Penyuluhan bagi Nelayan ................................................................ 123 20. Dukungan Sarana Prasarana yang Diperoleh Nelayan ...................................... 124 21. Kompetensi Nelayan ........................................................................................ 125 22. Hubungan Kompetensi Nelayan dengan Sub-sub Variabelnya ..........................131 23. Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen ...................................133 24. Nilai Hubungan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen dengan Sub-sub Variabelnya .............................................................................134 25. Pola Bagi hasil, Jumlah Personil Melaut dan Penghasilan Rata-rata Perbulan ...136
xiv
26. Penghasilan Nelayan Perbulan (Rp) .................................................................138 27. Pengeluaran Nelayan Perbulan (Rp) .................................................................139 28. Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Hidup ..........................................143 29. Pola Kebiasaan Makan Nelayan Setiap Hari .................................................... 144 30. Pola Pemenuhan Kebutuhan Pakaian (Tahun) ...................................................144 31. Kondisi Kesehatan Nelayan ............................................................................. 145 32. Kemampuan Memenuhi Kebutuhan Pendidikan Formal ................................... 146 33 Kemampuan Memenuhi Kebutuhan Listrik (Bulan) .......................................... 146 34. Kemampuan Memenuhi Kebutuhan Air Bersih (Bulan) ……………..…………147 35. Kemampuan Memenuhi Kebutuhan Rekreasi (Tahun) …………………………148 36. Tingkat Perasaan Dihargai ………………………………………………………148 37. Nilai Hubungan Variabel Penghasilan Nelayan dan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Hidup ..............................................................149 38. Nilai Hubungan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Diri dan Keluarga (Kebutuhan Hidup) dengan Sub-Variabelnya ..............................150 39. Pola Penyelenggaraan Penyuluhan Bidang Perikanan dan Kelautan Untuk Nelayan ...................................................................................................169 40. Jenis Jasa yang Diberikan oleh Lembaga Penyuluhan Bidang Perikanan dan kelautan bagi Nelayan .................................................................................171 41. Rangkuman Strategi Dukungan Lingkungan Eksternal untuk Pengembangan Kompetensi Nelayan .............................................................192 42. Rangkuman Strategi Dukungan Lingkungan Eksternal untuk Peningkatan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen ..........196 43. Rangkuman Strategi Dukungan Lingkungan Eksternal untuk Peningkatan Penghasilan Nelayan dan untuk Peningkatan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Hidup ............................................... 200
xv
DAFTAR GAMBAR Halaman
1. Proses Pemecahan Masalah .................................................................................. 41 2. Tujuan Pendidikan pada Tiga Kawasan ................................................................ 55 3. Konsep Inovasi Sosial ...........................................................................................60 4. Hypothetical Model Diagram Ishikawa (Diagram Sebab- Akibat) Rendahnya Mutu SDM Nelayan ............................................................................74 5.Alur Pikir dan Proses Penelitian Pengembangan Mutu Sumber Daya Manusia Nelayan ................................................................... 77 6. Pola Hubungan antar Variabel dalam Penelitian Pengembangan Mutu Sumber Daya Manusia Nelayan ..........................................78 7. Model Hubungan pada Hipotesis 1 ...................................................................... 80 8. Model Hubungan pada Hipotesis 2 ...................................................................... 80 9. Model Hubungan pada Hipotesis 5 ...................................................................... 81 10. Model Hubungan pada Hipotesis 7 .................................................................... 82 11. Pola Hubungan Karakteristik Nelayan dan Kekondusifan Lingkungan (Kelembagaan Nelayan) dengan Kompetensi Nelayan .......................................132 12. Pola Hubungan Karakteristik Nelayan dengan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen .......................137 13. Pola Hubungan Kekondusifan Lingkungan dengan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen ......................138 14. Pola Hubungan Kompetensi dengan dengan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen .....................................................................138 15. Pola Hubungan Karakteristik Nelayan dan Kekondusifan Lingkungan dengan Penghasilan Nelayan .............................................................................140 16. Pola Hubungan Kompetensi dengan Penghasilan Nelayan ................................141 17. Pola Hubungan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen dengan Penghasilan Nelayan .............................................................................142 18. Hasil Analisis Jalur Faktor-faktor yang saling Mempengaruhi Mutu SDM Nelayan (Gabungan NPm-NPk) ....................................................151 19. Hasil Analisis Jalur Faktor-faktor yang saling Mempengaruhi Mutu SDM pada Nelayan Pemilik (NPm) .........................................................152 xvi
20. Hasil Analisis Jalur Faktor-faktor yang saling Mempengaruhi Mutu SDM pada Nelayan Pekerja (NPk) ...........................................................153 21. Lingkaran Inovasi Sosial Strategi Pengembangan Mutu SDM Nelayan ..........................................................................................154 22. Diagram Sebab-Akibat Rendahnya Kompetensi Nelayan ..................................156 23. Lingkaran Sheward: Proses Pemecahan Masalah Rendahnya Kompetensi Nelayan .........................................................................................165 24. Diagram Sebab Akibat Rendahnya Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Hidup ............................................................................173 25. Diagram Hubungan Sebab-Akibat Rendahnya Mutu SDM (Analisis Manusia) .......................................................................................... 175 26. Diagram Hubungan Sebab-Akibat Rendahnya Mutu SDM (Analisis Materi) ...............................................................................................179 27. Diagram Hubungan Sebab-Akibat Rendahnya Mutu SDM (Analisis Metode) ...........................................................................................182 28. Diagram Hubungan Sebab-Akibat Rendahnya Mutu SDM (Analisis Perlengkapan ) ................................................................................. 185 29. Diagram Hubungan Sebab-Akibat Rendahnya Mutu SDM (Analisis Lingkungan) ..................................................................................... 188 30. Strategi Inovasi Sosial Pengembangan SDM Nelayan secara Komprehensif ..........204
xvii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Strategi Dukungan Lingkungan Eksternal untuk Peningkatan dan Pengembangan Kompetensi Nelayan .................................................................................................254 2. Strategi Dukungan Lingkungan Eksternal untuk Peningkatan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen ............................................................................255 3. Strategi Dukungan Lingkungan Eksternal untuk Peningkatan Penghasilan Nelayan dan untuk Peningkatan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Hidup ..........256 4. Pelaksanaan Strategi Dukungan Lingkungan Eksternal untuk Peningkatan dan Pengembangan Kompetensi Nelayan........................................................................257 5. Pelaksanaan Strategi Dukungan Lingkungan Eksternal untuk Peningkatan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen .........................................258 6. Pelaksanaan Strategi Dukungan Lingkungan Eksternal untuk Peningkatan Penghasilan Nelayan dan untuk Peningkatan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Hidup ......................................................................................................259 7. Contoh Industri Tradisional yang ada di Asia Tenggara ..........................................260 8. Negara Penghasil Terbesar pada Penangapan Perikanan Laut dan Perikanan Darat ..........................................................................................261 9. Penyerapan Kredit Perbankan pada Usaha Perikanan Tahun 2005 ....................261 10. Realisasi Pinjaman Tahun 2001-2004 Unit Simpan Pinjam Swamitra Mina I ................................................................................................262 11. Laporan Bulanan Per 30 September 2003 Kelompok Tani Nelayan Rampus Jaya .....................................................................................................262 12. Realisasi Retribusi Lelang Ikan 2001-2004 Koperasi Perikanan Mina Jaya ......263 13. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditas Perikanan 1997-2002 .........................................................................................................263 14. Pertumbuhan Pembangunan Kelautan dan Perikanan Tahun 2004 .....................264 15. Potensi Perikanan Tangkap di Perairan Laut Indonesia .....................................265
xviii
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian tentang pengembangan mutu sumber daya manusia nelayan sangat penting dilakukan. Penyelenggaraan pembangunan belum mampu mengubah secara nyata kehidupan nelayan yang secara turun temurun telah menjadikan usaha menangkap ikan di laut sebagai mata pencaharian utama untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mutu sumber daya manusia nelayan masih rendah. Hal ini diperkirakan dapat dilihat dari rendahnya: (1) kompetensi; (2) kemampuan memenuhi kebutuhan konsumen; (3) penghasilan dan (4) kemampuan memenuhi kebutuhan hidup. Nelayan yang secara turun temurun telah menjadikan kegiatan menangkap ikan di laut sebagai mata pencaharian utama, masih sulit mengembangkan diri untuk menjadi nelayan yang lebih maju. Nelayan berpendidikan rendah, bahkan putus sekolah. Kesempatan yang diberikan oleh pemerintah diperkirakan masih kurang atau tidak sesuai dengan kebutuhan usaha nelayan untuk berkembang menjadi nelayan yang lebih maju. Waktu yang lebih banyak dihabiskan di laut, menyebabkan nelayan mengalami kesulitan belajar secara normal seperti warga masyarakat lainnya yang bekerja di darat. Akibatnya nelayan kehilangan banyak waktu untuk memikirkan dan melakukan berbagai hal untuk meningkatkan mutu kehidupannya dan mutu kehidupan keluarganya. Indonesia adalah negeri maritim yang dikaruniai lautan yang luasnya kira-kira dua per tiga wilayah Indonesia. Diibandingkan dengan potensi maritim Indonesia yang besar, nelayan masih belum mampu secara optimal mengelola sumber daya laut Indonesia dengan baik dan bertanggung jawab. Padahal, nelayan yang sudah secara turun temurun menggantungkan hidupnya pada usaha menangkap ikan, selayaknya merupakan stakeholder pertama yang memiliki peluang besar untuk meningkatkan dirinya menjadi nelayan yang maju. Mereka berhak untuk hidup lebih sejahtera secara berkelanjutan melalui mata pencaharian di sektor perikanan dan kelautan.
2 Untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi nelayan, dan agar nelayan dapat bangkit menjadi nelayan yang lebih maju, nelayan perlu meningkatkan mutu sumber daya manusianya. Ditinjau dari konsep mutu, semakin tinggi mutu sumber daya manusia yang dimiliki nelayan, maka akan semakin besar kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan pelanggan-pelanggannya. Misalnya saja, untuk dapat memenuhi kebutuhan pelanggan internal nelayan, yaitu dirinya sendiri dan keluarganya, nelayan membutuhkan penghasilan yang memadai. Persaingan usaha di bidang perikanan tangkap di laut, menuntut nelayan kecil harus mampu mengembangkan dirinya menjadi nelayan yang lebih mampu menyesuaikan diri sesuai dengan tuntutan usahanya saat ini. Namun, melihat mutu sumber daya manusia nelayan yang belum sepenuhnya adaptif dengan perubahan lingkungan yang cepat, maka perubahan kondisi nelayan tradisional, atau nelayan kecil menjadi nelayan yang lebih maju membutuhkan proses perubahan yang terencana dengan baik. Kebutuhan konsumen akan hasil-hasil perikanan kini tidak murni bergantung pada nelayan tradisional atan nelayan kecil. Pengusaha-pengusaha perikanan telah menjadi pesaing utama nelayan kecil dalam mengisi pasar hasil-hasil perikanan dan kelautan. Dengan peralatan tangkap yang canggih, para pengusaha perikanan dapat melaut hingga laut lepas, dan mencari area yang potensial sumber daya perikanannya tanpa terlalu tergantung pada musim. Harga jual hasil tangkapan para pengusaha perikanan juga tidak tergantung pada tengkulak ataupun perantara. Mereka dapat menentukan harga pasar. Pelanggan nelayan dibagi atas pelanggan internal, yaitu nelayan dan keluarganya dan pelanggan eksternal, terutama konsumen yang membeli produk-produk hasil tangkapan. Nelayan yang bermutu akan selalu berusaha memberikan produk yang menyamai atau melebihi kebutuhan atau harapan para pelanggannya. Nelayan mendapat imbalan yang dapat digunakan untuk dipertukarkan membeli berbagai kebutuhan hidupnya dari konsumen. Karenanya, kesejahteraan nelayan secara
3 individu dan kesejahteraan keluarganya akan sangat tergantung dari kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan atau harapan konsumennya. Terdapat kondisi yang telah berubah pada nelayan tradisional, nelayan kecil, atau nelayan yang sejak turun temurun telah menjadikan kegiatan melaut sebagai mata pencaharian utama. Saat ini pekerjaan melaut tidak lagi dilakukan sekedar berorientasi memenuhi kebutuhan keluarga. Nelayan telah makin menyadari nilai ekonomis yang tinggi dari sumber daya laut, khususnya sumber daya perikanan. Namun, masih banyak hambatan yang dihadapi nelayan untuk maju dan memanfaatkan peluang pasar perikanan, baik pada skala lokal maupun ekspor. Nelayan tradisional perlu membenahi sistem usahanya, dan memiliki kompetensi yang sesuai untuk dapat memanfaatkan peluang usaha yang terbuka. Nelayan tradisional harus menjadi nelayan yang maju dalam menjalankan usahanya, sehingga dapat memainkan peran aktif dan ikut menentukan dalam pasar perikanan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dengan sistem usaha yang tepat dan kesempatan yang terbuka luas serta kompetensi yang memadai, diharapkan nelayan dapat menjalankan usahanya dengan baik, sehingga mampu memenuhi kebutuhan konsumennya. Kompetensi nelayan yang selalu ditingkatkan dan dikembangkan diharapkan dapat berakibat makin meningkatnya mutu sumber daya manusia nelayan. Namun, meningkatnya kompetensi nelayan perlu didukung dengan kesempatan berusaha, dan sistem usaha yang tepat bagi nelayan. Kondisi yang saling mendukung, akan mempengaruhi peningkatan pendapatan nelayan. Selanjutnya, nelayan dapat lebih baik lagi memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan keluarganya, dan akhirnya nelayan dapat menjalankan kewajibannya yang lebih luas lagi sebagai warga negara Indonesia, yaitu mampu membayar pajak penghasilan dengan baik pada negara. Mengingat kondisi kehidupan nelayan tradisional atau nelayan kecil masih jauh tertinggal dibanding peluang usaha perikanan yang terbuka luas, maka perlu dilakukan berbagai perubahan yang bertujuan meningkatkan mutu sumber daya manusia nelayan. Untuk alasan inilah penelitian ini dilakukan.
4 Masalah Penelitian Beberapa masalah penelitian yang perlu dijawab dalam penelitian ini, yaitu: (1) Bagaimana karakteristik nelayan, faktor-faktor lingkungan, dan faktor mana yang determinan dalam pembentukan kompetensi nelayan? (2) Bagaimana mutu sumber daya nelayan, dilihat dari: kompetensi, kemampuan memenuhi kebutuhan pelanggan eksternal (konsumen), penghasilan, dan kemampuan memenuhi kebutuhan pelanggan internal (diri dan keluarga)? (3) Bagaimana strategi pengembangan mutu sumber daya manusia nelayan yang efektif?
Tujuan Penelitian Masyarakat nelayan kecil adalah suatu sistem sosial yang perlu mendapat perhatian agar makin meningkat mutu kehidupannya. Untuk mencapai mutu kehidupan yang baik, nelayan perlu memiliki kompetensi yang berorientasi pada keberhasilan usahanya, sehingga dapat mendukung peningkatan penghasilan dan peningkatan kesejahteraannya. Berdasarkan pertimbangan di atas dan terkait dengan masalah-masalah yang perlu di jawab, maka tujuan penelitian ini adalah: (1) Menganalisis karakteristik individu nelayan dan faktor-faktor lingkungan, serta melihat faktor determinan dalam pembentukan kompetensi nelayan. (2) Menguraikan dan menganalisis kondisi mutu sumber daya manusia, dilihat dari: kompetensi, kemampuan memenuhi kebutuhan pelanggan eksternal (konsumen), penghasilan, dan kemampuan memenuhi kebutuhan pelanggan internalnya, dirinya dan keluarga (kebutuhan hidup). (3) Merumuskan strategi pengembangan mutu sumber daya manusia nelayan yang efektif.
Kegunaan Penelitian Nelayan kecil diperkirakan belum memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Mereka belum mampu secara mandiri memenuhi kebutuhan
5 pelanggan-pelanggannya, juga belum mampu secara cepat beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang cepat. Ketidakmampuan beradaptasi ini memperlihatkan bahwa nelayan memiliki berbagai keterbatasan untuk menjadi nelayan yang maju dalam usahanya, sehingga nelayan belum mampu hidup sejahtera sesuai jamannya. Seperti dirumuskan dalam permasalahan dan tujuan, penelitian ini berusaha mengungkap kondisi mutu sumber daya manusia nelayan, yaitu dengan cara membuktikan apakah keterbatasan dalam hal: (a) kemampuan memenuhi kebutuhan konsumen; (b) penghasilan dan (c) pemenuhan kebutuhan hidup, dipengaruhi oleh karakteristik individu, karakteristik lingkungan, dan kompetensi. Pola pikir ini mengantarkan penulis pada pemahaman perlunya penelitian pengembangan mutu sumber daya manusia nelayan dilakukan. Penelitian ini memiliki beberapa kegunaan, baik dalam area teoritis maupun praktis, yaitu: (1) Dalam area teoritis (a) Pengidentifikasian karakteristik nelayan dan faktor-faktor lingkungan yang dipilih. Hal ini akan memungkinkan hadirnya penjelasan yang memadai tentang keterkaitan karakteristik individu dan faktor-faktor lingkungan, dengan kompetensi nelayan. Hasil penelitian dapat menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya, terkait dengan pengembangan mutu sumber daya manusia nelayan kecil, agar selalu memiliki kompetensi yang diperlukan. (b) Penelitian ini tidak sekedar mengarahkan nelayan kecil pada satu kompetensi khusus yang diperlukan secara situasional. Namun berupaya menghadirkan strategi pengembangan mutu sumber daya manusia nelayan yang efektif dan dapat berlaku dalam jangka waktu yang lama. (2) Dalam area praktis (a) Bagi nelayan kecil di Indonesia. Dalam rangka upaya penyadaran, yaitu: agar nelayan mengetahui mutu sumber daya manusia yang dimilikinya, aggar nelayan memiliki keinginan dan kemampuan untuk meningkatkan dan mengelola sumber dayanya, dan agar nelayan memiliki kompetensi yang sesuai sehingga dapat memenuhi
6 kebutuhan konsumennya, memperoleh penghasilan yang layak, dan dapat mencapai peningkatan kesejahteraan hidup. (b) Bagi pemerintah Sebagai panduan dalam menentukan program pengembangan mutu sumber daya manusia nelayan. (c) Bagi wakil rakyat. Sebagai
rekomendasi
dalam
penentuan
kebijakan
dan
pengawasan
penyelenggaraan pembangunan perikanan, khususnya dalam pengembangan mutu sumber daya manusia nelayan. (d) Bagi lembaga penyuluhan. Strategi yang ada dapat digunakan sebagai panduaan penyelenggaraan kegiatan penyuluhan yang bertujuan memberikan penyadaran pada nelayan akan pentingnya mutu, yaitu: agar nelayan mau mengubah perilakunya, mengetahui, mau dan mampu memenuhi kebutuhan konsumennya secara mandiri, dan agar nelayan selalu meningkatkan dan mengembangkan kompetensinya agar usahanya dapat berkembang dengan baik. (e) Bagi swasta Agar dapat berpartisipasi dengan tepat sasaran, dan mampu menyesuaikan program-program kemitraan yang sesuai kebutuhan nelayan kecil untuk maju, dengan prinsip kerja sama yang benar-benar adil dan berkelanjutan.
Definisi Istilah Untuk keperluan penelitian ini, digunakan beberapa istilah yang penting diketahui maknanya. Dengan adanya definisi istilah yang jelas, diharapkan dapat memperoleh data dan informasi yang tepat, sesuai kebutuhan penelitian. (1) Nelayan menunjuk pada individu, yang mata pencaharian utamanya adalah menangkap ikan di laut. (2) Nelayan tradisional adalah nelayan yang secara turun temurun menjadikan kegiatan menangkap ikan sebagai mata pencaharian utama, dan pada saat ini
7 masih menggunakan armada, dan pola kebiasaan berusaha yang diwariskan dari keluarga. (3) Nelayan kecil menunjuk pada usaha nelayan tradisional. (4) Nelayan pemilik (NPm), menunjuk pada individu, pemilik kapal tradisional/ perahu dan pemilik peralatan penangkapan ikan. (5) Nelayan pekerja (NPk), menunjuk pada individu, yang bekerja pada nelayan pemilik kapal/ perahu (NPm). (6) Pemodal, menunjuk pada seseorang yang memberikan modal pada nelayan untuk keperluan menangkap ikan. (7) Perikanan tangkap adalah kegiatan yang berhubungan dengan penangkapan ikan di laut. (8) Karakteristik nelayan adalah faktor-faktor internal dan spesifik yang dimiliki nelayan, terdiri dari: (a) karakteristik individu dan (b) karakteristik usaha. (9) Kekondusifan lingkungan adalah faktor-faktor lingkungan yang spesifik di luar diri nelayan. (10) Mutu adalah paduan sifat-sifat barang dan jasa atau kombinasi keduanya yang dihasilkan nelayan, yang menunjukkan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan pelanggan-pelanggannya (pelanggan yang memberikan imbalan/ konsumen), baik kebutuhan yang dinyatakan maupun yang tersirat. (11) Mutu sumber daya manusia nelayan adalah kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan para pelanggannya, baik pelanggan internal maupun pelanggan eksternal. (12) Nelayan bermutu adalah nelayan yang dapat memenuhi kebutuhan pelangganpelanggannya, menyamai atau bahkan melebihi kebutuhan dan harapan pelanggan-pelanggannya. (13) Pelanggan nelayan adalah orang-orang atau pihak-pihak yang harus dipenuhi kebutuhannya oleh nelayan. (14) Pelanggan internal nelayan adalah nelayan dan keluarganya. (15) Pelanggan eksternal nelayan adalah orang-orang atau pihak-pihak di luar diri nelayan dan keluarganya yang harus dipenuhi kebutuhannya oleh nelayan.
8 (16) Pelanggan eksternal primer nelayan adalah pihak-pihak yang harus dipenuhi kebutuhannya oleh nelayan, dalam bentuk produk hasil tangkapan (ikan dan sejenisnya), jasa yang terkait, atau kombinasi dari keduanya. Pelanggan eksternal primer ini memberi bayaran pada nelayan sebagai imbalan dipenuhi kebutuhan ikannya oleh nelayan. (18) Pada penelitian ini, pelanggan eksternal primer disebut pelanggan eksternal saja atau konsumen. (19) Pelanggan eksternal sekunder dari nelayan adalah pemerintah, merupakan pihak yang mengharapkan dapat dipenuhi kebutuhannya oleh nelayan dalam bentuk setoran pajak pendapatan sebagai dukungan terhadap penyelenggaraan pembangunan daerah dan pembangunan nasional. (20) Pelanggan eksternal tersier dari nelayan adalah negara, merupakan pihak yang mengharapkan dipenuhi kebutuhannya oleh nelayan dalam bentuk: terwujudnya kesejahteraan nelayan sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, pendapatan negara yang berasal dari pajak pendapatan nelayan, dukungan terhadap kesehatan masyarakat Indonesia dengan cara memenuhi kebutuhan gizi masyarakat Indonesia yang berasal dari hasil laut Indonesia. (21) Kebutuhan pelanggan adalah barang atau jasa yang dibutuhkan oleh pihak-pihak yang harus dipenuhi kebutuhannya oleh nelayan. (22) Kompetensi adalah kecakapan yang memadai yang harus dimiliki nelayan, yang dibutuhkan nelayan untuk dapat bertindak melakukan tugas-tugasnya dengan baik sesuai zamannya. (23) Nelayan yang kompeten adalah nelayan yang memiliki kecakapan yang dibutuhkan dengan tingkat yang memadai untuk dapat menjalankan pekerjaannya dengan baik. (24) Mutu sumber daya manusia nelayan adalah kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan-pelanggannya. (25) Pengembangan mutu sumber daya manusia nelayan adalah upaya meningkatkan kapasitas individu nelayan agar selalu adaptif sehingga dapat melakukan pekerjaannya dengan baik .
9 (26) Kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan pelanggan eksternal memperlihatkan kecakapan nelayan dalam hal: (a) ketanggapan menyediakan produk; (b) ketanggapan melayani konsumen; (c) produktivitas dan (d) keberlanjutan usaha. (27) Penghasilan nelayan adalah besarnya uang yang diperoleh nelayan dalam menjual hasil tangkap (dalam rupiah) selama satu bulan. (28) Kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan pelanggan internal adalah tingkat terpenuhinya kebutuhan hidup nelayan dan keluarganya, bagi nelayan yang telah menikah, dan tingkat terpenuhinya kebutuhan dirinya sendiri, bagi yang belum menikah. Secara rinci definisi istilah masing-masing sub peubah dari keenam peubah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1)
Karakteristik nelayan (X1) Karakteristik individu: - Pendidikan (X1.1) Adalah pendidikan formal terakhir yang pernah ditempuh nelayan hingga saat penelitian. - Usia (X1.2) Adalah umur nelayan yang dihitung dari saat lahir sampai saat dilakukannya penelitian, dan dibulatkan dalam jumlah tahun terdekat apabila terdapat selisih bulan. - Status diri (X1.3) Adalah kedudukan individu nelayan di masyarakat, terkait dengan ikatan pernikahan, yaitu: (a) Menikah dan (b) Tidak Menikah. - Daerah asal (X1.4) Adalah lokasi asal nelayan sebelum berusaha di Provinsi DKI Jakarta. - Jumlah tanggungan (X1.5) Adalah banyaknya orang yang kebutuhan hidupnya dipenuhi oleh nelayan.
10 - Status tempat tinggal (X1.6) Adalah status kepemilikan hunian yang ditempati nelayan. - Pengeluaran setiap bulan (X1.6) Adalah jumlah dana dalam rupiah yang dibelanjakan nelayan setiap bulan untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan kebutuhan orang lain yang menjadi tanggungannya. - Sikap terhadap profesi (X1.8) Adalah respon nelayan terhadap pernyataan-pernyataan terkait dengan pekerjaannya sebagai nelayan. - Motivasi intrisik untuk maju (X1.9) Adalah besarnya dorongan dari dalam diri nelayan untuk maju melalui pekerjaannya sebagai nelayan. Karakteristik usaha: - Status nelayan (X1.10) Adalah kedudukan nelayan dalam sistem usahanya pada saat penelitian yang terkait dengan kepemilikan kapal dan alat tangkap, terdiri dari: (a) Nelayan Pemilik (NPm) dan (b) Nelayan Pekerja (NPk). - Jenis peralatan tangkap yang digunakan (X1.11) Menunjuk pada macam alat tangkap/ teknologi yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan di laut. - Pola pembagian hasil (X1.12) Adalah sistem bagi hasil usaha antara pemilik dan pekerja. - Pengalaman sebagai nelayan (X1.13) Menunjuk pada lamanya responden menjadi nelayan (dalam tahun), dihitung sejak pertama kali melaut hingga saat penelitian dilakukan. - Alasan menjadi nelayan (X1.14) Adalah sebab yang menjadi dasar responden memilih pekerjaan sebagai nelayan.
11 (2) Kekondusifan lingkungan (X2) - Kelembagaan nelayan (X2.1) Adalah besarnya dukungan kelompok nelayan dan koperasi nelayan untuk kemajuan usaha nelayan. - Kesempatan (X2.2) Adalah peluang yang diberikan oleh pihak luar bagi nelayan untuk berkembang menjadi nelayan yang memiliki usaha yang maju dan untuk memperoleh hidup yang sejahtera. - Ketersediaan informasi (X2.3) Adalah tingkat kesiapan data yang dibutuhkan nelayan dalam berusaha. - Penyuluhan (X2.4) Adalah pendidikan non formal yang pernah diperoleh nelayan, yang bertujuan merubah perilaku nelayan dalam berusaha, untuk dapat mengubah dirinya dari nelayan tradisional menjadi nelayan maju. - Sarana prasarana (X2.5) Adalah besarnya dukungan faktor-faktor penentu terselenggaranya usaha nelayan, seperti: (a) ketersediaan bahan bakar untuk melaut; (b) kemudahan mendapatkan bahan bakar; (c) keterjangkauan harga bahan bakar dan (d) dukungan pasar . (3) Kompetensi nelayan (X3) -
Kemampuan merencanakan usaha (X3.1) Adalah kehandalan nelayan dalam menyiapkan kegiatan usahanya.
-
Kemampuan menyediakan modal (X3.2) Adalah kehandalan nelayan mendapatkan dana yang diperlukan bagi pengembangan usahanya.
-
Kemampuan menangkap ikan (X3.3) Adalah kehandalan nelayan mendapatkan ikan pada periode sekali melaut.
-
Kemampuan menangani hasil tangkapan (X3.4) Adalah kehandalan nelayan memperlakukan hasil tangkapan agar tetap segar ataupun tetap hidup sampai pada pembeli.
12 -
Kemampuan memasarkan hasil tangkapan (X3.5) Adalah kehandalan nelayan menjual hasil tangkapnya.
- Kemampuan daya tawar harga jual ikan (X3.6) Adalah kehandalan nelayan dalam menentukan harga jual hasil tangkapan, dan kelayakan harga jual dengan pengeluaran. -
Kemampuan memecahkan masalah usaha (X3.7) Adalah kehandalan nelayan keluar dari berbagai masalah usaha.
-
Kemampuan memanfaatkan penghasilan (X3.8) Adalah kehandalan nelayan dalam memanfaatkan penghasilan.
(4) Kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen (X4) - Ketanggapan menyediakan produk bermutu (Y1.1) Adalah kesangupan nelayan menyediakan produk ikan yang sesuai dengan harapan konsumen. -
Ketanggapan melayani pelanggan (Y1.2), Adalah kesanggupan nelayan memberikan jasa sesuai kebutuhan konsumen.
-
Produktivitas Adalah kesanggupan nelayan menyiapkan produk, dihitung dalam kilogram (kg) pada periode satu kali melaut.
- Tingkat keberlanjutan usaha (Y1.4), Adalah kesanggupan nelayan untuk mempertahankan usahanya dalam kurun waktu tertentu. (5) Penghasilan nelayan (Y2), Adalah besarnya penghasilan nelayan yang diperoleh nelayan setiap bulan yang dihitung dalam mata uang rupiah. (6) Kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup (diri dan keluarga) (Y3) - Pemenuhan kebutuhan makan sehari-hari(Y3.1) Adalah kesanggupan nelayan memenuhi kebutuhan pangan setiap hari.
13 -
Pemenuhan kebutuhan pakaian (Y3.2) Adalah kesanggupan nelayan memenuhi kebutuhan pakaian untuk dirinya dan keluarganya dalam hitungan tahun.
-
Pemenuhan kebutuhan kesehatan (Y3.3) Adalah kesanggupan nelayan dalam menjaga dan mempertahankan kondisi fisiknya dan keluarganya, serta kesanggupan berobat apabila sakit.
-
Pemenuhan kebutuhan pendidikan (Y3.4) Adalah kesanggupan nelayan membiayai pendidikan formal.
-
Pemenuhan kebutuhan listrik (Y3.5) Adalah kesanggupan nelayan memenuhi kebutuhan listrik setiap bulan yang dilihat dari ketepatan waktu membayar tagihan listrik.
-
Pemenuhan kebutuhan air (Y3.6) Adalah kesanggupan nelayan memenuhi kebutuhan air bersih setiap bulan.
-
Pemenuhan kebutuhan rekreasi (Y3.7) Adalah kesanggupan nelayan memanfaatkan waktu luang untuk bersantai, dalam satu tahun.
-
Pemenuhan kebutuhan dihargai (Y3.8) Adalah kepuasan nelayan atas perlakuan keluarga dan lingkungannya terhadap dirinya, dilihat dari: tingkat rasa dihargai nelayan oleh keluarga dan lingkungan.
14
TINJAUAN PUSTAKA Nelayan Nelayan dan Peluang yang Ada Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001), nelayan didefinisikan sebagai orang yang mata pencaharian utamanya adalah menangkap ikan di laut. Menurut Rokhmin Dahuri (2004), potensi kelautan dan perikanan di Indonesia adalah yang terbesar di dunia. Dari perikanan tangkap saja dapat diperoleh 15,1 miliar dolar AS pertahun. Berdasarkan gambaran potensi ekonomi ini, maka nelayan atau orang yang secara turun temurun telah menggantungkan pemenuhan kebutuhan hidupnya melalui usaha menangkap ikan di laut, memiliki peluang besar untuk mengelola ikan dan potensi sumber daya laut lainnya yang dapat dikonsumsi manusia. Pintu kesejahteraan bagi nelayan Indonesia sebenarnya terbuka luas.
Karakteristik Nelayan Menurut Arif Satria dkk (2002), masyarakat nelayan pesisir menghadapi sumber daya yang hingga kini masih bersifat open access yang menyebabkan nelayan harus berpindah-pindah untuk memperoleh hasil maksimal. Dengan demikian, elemen resiko menjadi sangat tinggi. Kondisi sumber daya yang beresiko tersebut menyebabkan nelayan memiliki karakter: (1) keras, (2) tegas dan (3) terbuka.
Penggolongan Nelayan Nelayan dibedakan dalam dua kelompok yaitu: (1) large scale (nelayan besar); dan (2) small fishermen (nelayan kecil). Perbedaan keduanya dijelaskan oleh Pollnac dalam Arif Satria dkk (2002). Ciri-ciri perikanan skala besar adalah: (1) diorganisasi dengan cara-cara yang mirip dengan perusahaan agroindustri di negara-negara maju; (2) relatif lebih padat modal; (3) memberikan pendapatan yang lebih tinggi daripada perikanan sederhana bagi pemilik maupun awak perahu dan (4) menghasilkan produk ikan kaleng dan ikan beku berorientasi ekspor.
15 Nelayan skala besar dicirikan dengan besarnya kapasitas teknologi maupun jumlah armada. Berorientasi pada keuntungan dan melibatkan buruh nelayan sebagai anak buah kapal dengan organisasi kerja yang kompleks. Menurut Pollnac dalam Arif Satria dkk (2002), perikanan skala kecil beroperasi di daerah yang tumpang tindih dengan kegiatan budidaya dan bersifat padat karya. Nelayan kecil juga dapat dilihat dari kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada) maupun budaya yang keduanya sangat terkait satu sama lain. Seorang nelayan yang belum menggunakan alat tangkap maju biasanya lebih berorientasi pada subsistensi atau pemenuhan kebutuhan sendiri sehingga sering disebut sebagai peasant-fisher. Alokasi hasil tangkapan yang dijual lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari
(khususnya
pangan)
dan
bukan
diinvestasikan
kembali
untuk
pengembangan skala usaha. Menurut Firth dalam Arif Satria dkk (2002), ciri-ciri komunitas masyarakat nelayan pesisir yaitu: (1) sifat usahanya berskala kecil; (2) peralatan sederhana; dan (3) organisasi pasar yang sederhana. Eksploitasi yang mereka lakukan sering berkaitan dengan masalah kerjasama. Sebagian besar menyandarkan diri pada produksi yang bersifat subsistensi. Komunitas nelayan sangat rentan secara ekonomi terhadap timbulnya ketidakpastian yang berkaitan dengan musim-musim produksi. Arif Satria dkk (2002) mengemukakan berkembangnya motorisasi perikanan menjadikan nelayan berubah dari peasant-fisher menjadi post peasant-fisher yang dicirikan dengan penggunaan teknologi penangkapan lebih maju seperti motor tempel atau kapal motor. Pengguasaan sarana perahu motor tersebut semakin membuka peluang bagi nelayan untuk menangkap ikan di wilayah perairan lebih jauh, bahkan hingga laut lepas dan memungkinkan mereka memperoleh surplus dari hasil tangkapan itu karena mempunyai daya tangkap yang lebih besar. Arif Satria dalam Arif Satria dkk (2002) mengatakan bahwa meskipun terjadi perubahan armada yang selanjutnya mengubah status nelayan menjadi post-peasant, secara sosial nelayan masih memiliki karakter yang relatif sama. Karakteristik itu dilihat antara lain: sistem pengetahuan, sistem kepercayaan, struktur sosial, dan posisi nelayan.
16 Karakter sistem pengetahuan tentang teknik penangkapan ikan umumnya didapatkan dari warisan orang tua atau pendahulu mereka berdasarkan pengalaman empiris. Kuatnya pengetahuan lokal menjamin kelangsungan hidup mereka sebagai nelayan. Pengetahuan lokal merupakan kekayaan intelektual mereka yang hingga kini terus dipertahankan. Pada karakter sistem kepercayaan, memperlihatkan nelayan masih percaya bahwa laut memiliki kekuatan magis sehingga diperlukan pelakuan-perlakuan khusus dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan agar keselamatan dan hasil tangkapan semakin terjamin. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi dengan meningkatnya tingkat pendidikan atau intensitas pendalaman terhadap nilai-nilai agama, upacara-upacara tersebut bagi sebagian kelompok nelayan hanyalah sebuah ritualisme. Sebagai tradisi yang dilangsungkan hanya sebagai satu instrumen stabilitas sosial dalam komunitas nelayan. Karakter struktur sosial memperlihatkan kuatnya ikatan patron-klien sebagai institusi jaminan sosial ekonomi. Hal ini terjadi karena hingga saat ini nelayan belum menemukan alternatif institusi yang mampu menjamin kepentingan sosial ekonomi mereka. Karakter struktur sosial memperlihatkan kebanyakan nelayan memiliki status yang relatif rendah. Sebagai contoh, nelayan di India seperti yang dikemukakan oleh Pollnack dalam Arif Satria dkk (2002) pada umumnya nelayan berkasta rendah. Di Jepang, menurut Arif Satria dalam Arif Satria dkk (2002) saat ini posisi nelayan mengalami degradasi status, sehingga Jepang mengalami problem regenerasi nelayan karena sedikitnya kalangan muda yang mau menjadi nelayan meskipun dijanjikan akan memperoleh berbagai fasilitas subsidi dari pemerintah. Menurunnya jumlah nelayan di Jepang diindikasikan juga oleh menurunnya minat wanita Jepang untuk mendapat suami seorang nelayan. Salah satu ciri nelayan kecil lainnya adalah ketidakmampuan nelayan memberi pengaruh pada kebijakan publik karena nelayan ada dalam posisi dependen dan marjinal. Dengan demikian, wujud ketertinggalan nelayan, tidak lain sebagai konskuensi karakteristik sosial tersebut.
17 Kemiskinan Nelayan Isu-isu tentang kemiskinan nelayan di Indonesia membuktikan bahwa peluang sumber daya laut yang dimiliki tidak diimbangi dengan kemampuan sumber daya manusia nelayan yang memadai. Mutu sumber daya manusia nelayan masih sangat lemah. Menurut Kusnadi (2004), jika diamati secara seksama kemiskinan nelayan disebabkan oleh faktor-faktor yang kompleks yang saling terkait satu sama lain. Faktor-faktor tersebut dapat dikategorikan ke dalam faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan sumber daya manusia nelayan dan aktivitas kerja mereka, meliputi: (1) keterbatasan kualitas sumber daya manusia; (2) keterbatasan kemampuan modal usaha dan teknologi penangkapan; (3) hubungan kerja (pemilik perahu-nelayan buruh) dalam organisasi penangkapan yang dianggap kurang menguntungkan nelayan; (4) kesulitan melakukan diversifikasi usaha penangkapan; (5) ketergantungan yang tinggi terhadap okupasi melaut dan (6) gaya hidup yang kurang berorientasi ke masa depan. Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi di luar diri dan aktivitas kerja nelayan, meliputi: (1) masalah kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi pada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional, parsial dan tidak memihak nelayan tradisional; (2) sistem pemasaran hasil perikanan yang lebih menguntungkan pedagang perantara; (3) kerusakan ekosistem pesisir dan laut karena pencemaran dari wilayah darat; (4) praktek penangkapan dengan bahan kimia, perusakan terumbu karang, dan konversi hutan bakau di kawasan pesisir; (5) penggunaan peralatan tangkap yang tidak ramah lingkungan; (6) terbatasnya pengolahan teknologi pengolahan hasil tangkapan pasca tangkap; (7) terbatasnya peluang-peluang kerja di sektor non perikanan yang tersedia di desa-desa nelayan; (8) kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun dan (9) isolasi geografis desa nelayan yang mengganggu mobilitas barang, jasa, modal, dan manusia. Menurut Rencana Strategis Departemen Kelautan dan Perikanan 2005-2009, jumlah nelayan Indonesia pada tahun 2004 sebanyak 3.400.000 orang. Sedangkan masyarakat pesisir yang kehidupannya bersumber dari sumber daya kelautan dan
18 perikanan berjumlah 16.420.000 jiwa yang hidup di 8.090 desa pesisir, dan sebagian masih tergolong miskin. Kodisi ini tergambar dalam Poverty Headcount Index SMERU 2002, sebesar 32 %, Renstra 2005-2009 Dirjen Kelautan, Pesisir dan PulauPulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan (2006). Menurut Raymond Firth dalam Sutawi dan David Hermawan (2004), kemiskinan nelayan paling tidak dicirikan oleh lima karakteristik, yaitu: (1) pendapatan nelayan bersifat harian dan jumlahnya sulit ditentukan, selain itu pendapatannya sangat tergantung pada musim dan status nelayan, sebagai juragan pemilik alat produksi atau nelayan buruh; (2) tingkat pendidikan nelayan atau anakanak nelayan pada umumnya rendah. Kondisi demikian mempersulit mereka dalam memilih atau memperoleh pekerjaan lain, selain meneruskan pekerjaan orang tuanya sebagai nelayan, sedangkan anak-anak nelayan yang berhasil mencapai pendidikan tinggi, maupun sarjana perikanan, enggan berprofesi sebagai nelayan, karena menganggap profesi nelayan sebagai lambang ketidakmapanan; (3) sifat produk yang mudah rusak dan harus segera dimusnahkan, menimbulkan ketergantungan yang besar dari nelayan kepada pedagang. Hal ini menyebabkan harga ikan dari nelayan dikuasai pedagang; (4) bidang perikanan membutuhkan investasi cukup besar dan cenderung mengandung resiko yang besar dibandingkan sektor usaha lainnya. Karena itu nelayan cenderung menggunakan peralatan tangkap yang sederhana, ataupun hanya menjadi anak buah kapal dan (5) kehidupan nelayan yang miskin diliputi kerentanan, ditunjukkan oleh terbatasnya anggota keluarga yang secara langsung dapat ikut dalam kegiatan produksi dan ketergantungan nelayan yang sangat besar pada satu mata rantai pencaharian, yaitu menangkap ikan. Kelima faktor di atas merupakan faktor internal, selanjutnya dari sumber yang sama disebutkan bahwa kesulitan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, seperti: (1) makin terbatasnya potensi sumber daya laut yang bisa dimanfaatkan nelayan; (2) persaingan yang semakin intensif; (3) irama musim; (4) mekanisme pasar; (5) keadaan infrastrukur pelabuhan dan (6) kebijakan pengentasan kemiskinan nelayan yang kurang tepat.
19 Akar Permasalahan Kemiskinan Nelayan Menurut Akhmad Fauzi (2005), sejak lama para ahli menduga penyebab utama kemiskinan nelayan adalah karena sifat sumber daya perikanan yang dimiliki bersama yang kemudian diperburuk dengan rezim yang bersifat akses terbuka. Namun lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam derajat tertentu permasalahan kemiskinan nelayan lebih disebabkan karena kurang tepatnya kebijakan yang diarahkan pada peningkatan pendapatan yang merupakan turunan dari kurangnya pemahaman masalah kemiskinan nelayan itu sendiri. Selain itu kemiskinan nelayan juga dipengaruhi oleh masalah finansial, misalnya kurangnya modal serta sulitnya akses untuk masuk ke lembaga keuangan. Pengentasan Kemiskinan Nelayan melalui Pembangunan Perikanan Menurut Edy Susilo (2004), dalam kurun waktu 1975 sampai saat ini, pemerintah telah menggunakan tujuh pendekatan pembangunan perikanan di Indonesia, yaitu: (1) pendekatan orientasi produksi, yang ditandai dengan adanya modernisasi dan motorisasi pada bidang penangkapan ikan; (2) pendekatan pemasaran rantai dingin, yang berusaha menghadirkan ikan segar ke konsumen; (3) pengembangan kelembagaan, dengan mengembangkan Koperasi Unit Desa Mina (KUD Mina) dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) untuk mendongkrak masalah permodalan dan pemasaran; (4) pendekatan Intensifikasi Tambak (INTAM); (5) pendekatan agribisnis, dengan memperbaiki model yang parsial menjadi lebih holistik (dari hulu sampai dengan hilir); (6) Program Peningkatan Ekspor Hasil Perikanan (Protekan) yang bertumpu pada kegiatan budidaya perikanan dan (7) pendekatan holistik empat dimensi, yang berusaha mengintegrasikan unsur ekologi, ekonomi, sosial-politik dan hukum, serta kelembagaan. Selanjutnya disampaikan bahwa pembangunan telah mampu meningkatkan produksi, devisa, dan tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia. Akan tetapi pembangunan perikanan nasional masih belum berhasil dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan, terutama nelayan tradisional dan buruh nelayan.
20 Menurut Kusnadi (2004), Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) telah merintis upaya penguatan keberadaan lembaga keuangan mikro. Untuk pemberdayaan masyarakat pesisir, dilakukan Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) yang dilakukan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Penyaluran dana PEMP disampaikan langsung pada masyarakat dengan fokus pada peningkatan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, berbasis pada sumber daya lokal, berorientasi pada masa depan dan berkelanjutan, bertumpu pada pengembangan sumber daya manusia, dan penguatan kelembagaan lokal yang bersifat partisipatif. Program PEMP tahun 2003 didanai melalui Program Kompensasi Pengurangan Subsisi BBM dan dilaksanakan di 126 kabupaten/kota. Menurut Bagong Suyanto (2004), tak terhitung lagi berapa banyak program pemberdayaan ekonomi rakyat yang telah digulirkan, tetapi hasilnya hingga kini belum seperti yang diharapkan, atau bahkan gagal meningkatkan kesejahteran masyarakat. Program PEMP juga dibayangi kekhawatiran akan bernasib sama dengan program-program pemberdayaan ekonomi masyarakat lainnya. Nikijuluw (2002) mengatakan pembangunan perikanan di Indonesia didasari atas desentralisasi pembangunan ekonomi, bukan diakibatkan tuntutan masyarakat nelayan (tuntutan internal), namun karena tuntutan nasional mendesentralisasikan sebagian besar fungsi dan tugas pemerintahan, telah
menempatkan masyarakat
(nelayan) pada posisi yang lemah karena tidak memiliki kemampuan, tanggung jawab, serta wewenang dalam mengelola atau mengatur pemanfaatan sumber daya yang ada. Wewenang dan tanggung jawab masyarakat telah beralih ke pemerintah atau pengusaha, terutama sejak berkembangnya investasi asing di Indonesia serta adanya tuntutan eksploitasi sumber daya alam secara cepat guna membiayai pembangunan sektor atau bidang lain.
21 Posisi Nelayan dalam Pengelolaan Sumber Daya Perikanan di Beberapa Negara Posisi Nelayan Jepang dalam Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Arif Satria dkk (2002) menjelaskan posisi nelayan Jepang dalam pengelolaan sumber daya perikanan di Jepang sebagai berikut: (a) Pola pengelolaan sumber daya perikanan Dimulai sejak pemerintahan Edo, dengan mekanisme user rights dan fishing rights. Hadirnya paket kebijakan yang dinamakan Urahou yang mengatur masyarakat nelayan dalam melakukan kegiatan perikanan. Dua konsep dasar penerapannya: (1) daerah penangkapan di wilayah pesisir seharusnya digunakan hanya oleh komunitas yang tinggal di wilayah tersebut dan (2) daerah penangkapan laut lepas bersifat terbuka bagi nelayan manapun (Hirasawa et al. 1991). Kebijakan ini memperlihatkan pemerintah memberikan rights (hak-hak) kepada nelayan lokal yang merujuk pada soyu atau communal ownership dari masyarakat desa nelayan berdasarkan hukum adat (Matsuda, 1991). Dengan fishing rights masyarakat desa dan nelayan memiliki hak mengelola dan menangkap ikan di wilayahnya, dan masyarakat dari luar wilayah tersebut tidak diizinkan. Di wilayah pesisir terjadi pengkaplingan dan menjurus pada property rights terhadap wilayah perairan. Setelah Restorasi Meiji tahun 1868, terjadi perubahan kebijakan kelautan. Hak-hak semacam soyu, pada tahun 1874 dihilangkan dan semuanya dikembalikan pada pemerintah pusat baru. Namun di tingkat nelayan, kebijakan baru tersebut justru memunculkan konflik-konflik nelayan yang dulu pernah muncul sebelum dikeluarkan Urahou. Akibatnya nelayan kembali mendesak Pemerintah Meiji untuk mengembalikan fishing rights kepada nelayan. Pada tahun 1875 Meiji memenuhi permintaan nelayan dan nelayanpun kembali memiliki communal ownership/fishing rights tersebut. Meski demikian ada beberapa catatan penting yang dikeluarkan Meiji, khususnya yang berkaitan
22 dengan penghapusan sisa-sisa feodalisme yang dibangun pemerintahan Edo, melalui pembentukan fisheries union/association, merupakan cikal bakal koperasi perikanan di Jepang. Asosiasi ini mengatur pengelolaan fishing rights yang pada masa pemerintahan Edo yang dilakukan raja-raja lokal sebagai kaki tangan rezim Edo. Semua yang dibangun Meiji merupakan landasan bagi dimantapkannya Undang-undang Perikanan atau Fisheries Law tahun 1949. Undang-undang itu memuat: (1) fishing rights hanya diberikan pada nelayan yang aktif; (2) pelarangan jual beli atau praktik leasing arrangement dan (3) administratur yang menangani fishing rights adalah koperasi perikanan atau Fisheries Cooperative Association (FCA). Undang-undang tersebut mengalami perkembangan dan fishing rights pun berkembang. Berdasarkan undang-undang perikanan yang telah direvisi tahun 1994, fishing rights di Jepang dikategorikan dalam tiga tipe: (1) hak yang diberikan kepada nelayan melalui koperasi perikanan untuk melakukan kegiatan perikanan di wilayah pesisir atau coastal dengan batas wilayah pengelolaan kirakira 2-3 mil dari garis pantai; (2) hak penangkapan ikan dengan menggunakan jaring tancap atau set net pada kedalaman lebih dari 27 meter dengan wilayah tertentu sesuai hak, umumnya untuk menangkap ikan yang bermigrasi dan (3) hak untuk melakukan kegiatan budidaya ikan laut atau marine culture di perairan pesisir yang seringkali berbentuk jaring apung. Hanya nelayan anggota koperasi perikanan yang berhak atas fishery rights tersebut. Untuk memperoleh hak, nelayan wajib membayar fee kepada koperasi pada awal investasi dan beberapa tipe diwajibkan membayar rutin setiap tahun yang dibayarkan sekian persen dari keuntungan. Fishing rights dikeluarkan pemerintah propinsi kepada koperasi perikanan yang umumnya dimiliki setiap daerah. Di dalam koperasi perikanan terdapat komisi pengelola fishing rights yang mengatur administrasi dan manajemen fishing rights. Komisi ini berhubungan intensif dengan komisi koordinasi perikanan regional yang terdiri dari 15 anggota, yaitu: 9 wakil nelayan; 4 wakil ahli perikanan yang mengetahui dan berpengalaman dalam pengelolaan perikanan regional yang ditunjuk
23 pemerintah; dan 2 orang wakil dari kepentingan publik lainnya. Komisi berfungsi mengembangkan perencanaan, pemanfaatan sumber daya perikanan, memberi masukan kepada gubernur tentang peraturan perikanan wilayah, serta memberi sanksi kepada nelayan yang melanggar peraturan, sekaligus menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi pada wilayah berlakunya fishing rights. (b) Posisi nelayan Berdasarkan uraian di atas terlihat posisi nelayan Jepang dalam desentralisasi pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan sangat kuat. Praktik teritorial user rights di Jepang menghasilkan pengkaplingan laut sampai sekarang masih berlaku, dan membawa beberapa dampak positif: (1) konflikkonflik antar nelayan di perairan menjadi semakin berkurang seiring dengan jelasnya batas-batas yuridiksi usaha perikanan; (2) pendapatan nelayan meningkat karena memperoleh jaminan wilayah usaha dan dapat menikmati kekayaan alam di wilayahnya sendiri dan (3) dengan adanya fishing rights, nelayan bertanggung jawab terhadap masa depan wilayah perairannya sehingga mereka tidak akan sembarang memakai alat tangkap yang merusak lingkungan. Semua ini terjadi karena pengelolaan sumber daya perikanan berbasis pada kepentingan masyarakat, dan nelayan lokal benar-benar sebagai subyek dalam perencanaan, implementasi, dan pengawasan pengelolaan sumber daya perikanan. Posisi Nelayan Kanada dalam Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Nikijuluw (2002) menjelaskan posisi nelayan Kanada dalam pengelolaan sumber daya perikanan di Kanada sebagai berikut: (a) Pola pengelolaan sumber daya perikanan Perikanan pantai di perairan Atlantik, Kanada, mengikuti sistim delegasi. Sebelum tahun 1976, proses pengambilan keputusan tentang pengelolaan perikanan pantai telah melibatkan nelayan. Namun, setelah tahun 1976 kedudukan nelayan dalam pengambilan keputusan diganti suatu dewan. Dewan bekerja mengumpulkan pendapat dan gagasan nelayan dan kemudian diajukan sebagai bahan kebijakan. Meskipun demikian, dewan tidak terlibat dalam
24 pengambilan keputusan, model ini disebut dengan ko-manajemen. Nelayan bersama-sama dengan pemerintah mengelola perikanan, mengambil alih pengelolaan sumber daya perikanan di daerahnya, mengembangkan investasi, menjalankan usaha perikanan, melakukan negosiasi pasar, dan menjadi mitra yang sama derajatnya dengan mereka yang berusaha di industri pemasaran dan pengolahan ikan. Konsep ko-manajemen dirancang untuk mencapai dua tujuan utama: (1) mendelegasikan sebagian tanggungjawab kepada nelayan, khususnya dalam hal menyusun kebijakan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya ikan dengan mempertimbangkan kebutuhan setempat dan (2) mengadili atau menyelesaikan pertentangan yang timbul karena pemanfaatan sumber daya perikanan. Meski sudah ada pendelegasian wewenang seperti ini, ternyata proses desentralisasinya tidak berjalan dengan baik. Sistem pengelolaan sumber daya perikanan saat ini dilakukan bertujuan memaksimumkan rente ekonomi dan melestarikan sumber daya ikan. Untuk mewujudkan hal ini, di Kanada diterapkan user fee atau fishing fee, yang intinya mengatakan over–exploitation sumber daya perikanan dapat dikurangi dengan menerapkan user fee atau pungutan. Pada tahun 1995, melalui Departemen Perikanan dan Kelautan, ditetapkan struktur fishing fee. Sistem fee perikanan dibedakan berdasarkan tipe pengusahaan perikanan (antara pegusaha perikanan kompetitif dan perikanan industri dengan kuota) dan berdasarkan jenis fee yang harus dibayar. Jenis fee terdiri dari: (1) access fee, pada perikanan kompetitif diberlakukan secara flat rate, sedangkan pada perikanan industri diberlakukan fee yang proporsional terhadap nilai tangkap dan (2) cost recovery fee, perhitungannya sedikit kompleks karena bervariasi terhadap kekuatan kapal, lokasi, dan potensi rente ekonomi sumber daya. Dengan struktur fee semacam ini, pembayaran yang dilakukan setiap pelaku perikanan sangat beragam. Dengan sistem ini diharapkan adanya dana untuk pemeliharaan dan pengelolaan sumber daya perikanan.
25 (b) Posisi masyarakat nelayan Posisi nelayan Kanada dalam pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan tadinya cukup kuat. Namun, dengan digantinya peran nelayan dalam pengambilan keputusan oleh dewan yang bekerja mengumpulkan pendapat dan gagasan nelayan, dan keputusan akhir berada ditangan pemerintah, (Menteri Perikanan dan Lingkungan), maka posisi dan peran nelayan menjadi lebih lemah dari sebelumnya. Eksploitasi sumber daya perikanan dan kelautan cenderung diarahkan pada kepentingan penerimaan negara dan peningkatan ekonomi makro. Posisi Nelayan Norwegia dalam Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Menurut Nikijuluw (2002), posisi nelayan Norwegia dalam pengelolaan sumber daya perikanan di Norwegia sebagai berikut: (a) Pola pengelolaan sumber daya perikanan Di Norwegia, berlaku sistem devolusi yang memberikan solusi atas kejadian penangkapan ikan secara berlebihan yang disebabkan banyak masuknya nelayan di wilayah perikanan sebagai tempat persinggahan terakhir atau bagi banyaknya tenaga kerja baru yang tidak menemukan pekerjaan di sektor lain. Mereka masuk ke sektor perikanan, sehingga sumber daya perikanan mengalami pemanfaatan secara berlebihan. Pemerintah
Norwegia
secara
formal
memberikan
tanggung
jawab
pengaturan perikanan kepada nelayan setempat. Nelayan yang menggunakan alat tangkap yang sama membentuk kelompok masing-masing. Setiap utusan kelompok nelayan dihimpun dalam suatu komite yang bertugas menetapkan waktu penangkapan ikan, jenis alat tangkap ikan yang diizinkan, dan daerah penangkapan ikan yang dipergunakan untuk alat tangkap tertentu. Untuk menjalankan peraturan yang ditetapkan, komite memilih dan menentukan beberapa nelayan yang bertugas untuk mengawasi, selain lembaga pemerintah lokal yang juga melakukan pengawasan dan penegakan hukum. Sistem ini masih berlangsung sampai saat ini, dinilai berhasil dan pemerintah
26 Norwegia tidak merencanakan untuk mengubah atau mengambil alih manajemen perikanan ini. (b) Posisi nelayan Berdasarkan uraian di atas, terlihat posisi nelayan di Norwegia dalam pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan terlihat menguntungkan nelayan. Pemerintah Norwegia secara formal memberikan tanggung jawab pengaturan perikanan kepada nelayan setempat. Nelayan memiliki kelompok masing-masing, yang dihimpun dalam satu komite, dan komite memilih serta menentukan beberapa nelayan yang bertugas untuk mengawasi disamping adanya pengawasan dari lembaga pemerintah lokal. Posisi Nelayan Filipina dalam Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Menurut Nikijuluw (2002), posisi nelayan Filipina dalam pengelolaan sumber daya perikanan, sebagai berikut: (a) Pola pengelolaan sumber daya perikanan Pemerintah Filipina pada tahun 1991 menetapkan semacam Undang-undang Pemerintahan Daerah atau Local Government Code atau LGC yang merupakan dasar proses desentralisasi fungsi dan pelaksanaan pemerintahan di tingkat lokal atau daerah. Pemerintah kabupaten/kota melalui Local Government Unit atau LGU diberikan sejumlah kekuasaan dan wewenang pengelolaan perairan pesisir, kuasa dan wewenang yang diberikan pengelolaannya untuk pemerintah daerah sejauh 15 km dari garis pantai. LGU boleh membangun usaha patungan atau bentuk kerja sama lainnya dengan organisasi masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat dalam hal memasok atau menyuplai kebutuhan dasar yang diperlukan, melaksanakan proyek pembangunan masyarakat, pengembangan kapasitas, dan mendirikan perusahaan lokal yang memusatkan usahanya pada diversifikasi perikanan. LGU dan masyarakat lokal diberi hak istimewa untuk beberapa hal khusus dalam kaitannya dengan pembangunan perikanan, seperti penetapan pajak, biaya, serta retribusi. Dalam hubungannya dengan hak penangkapan ikan, organisasi dan
27 koperasi nelayan lokal memiliki hak untuk mengelola perairan di sekitar lokasi mereka dalam bentuk pembangunan terumbu karang buatan dan pemasangan rumpon tanpa harus membayar biaya atau pungutan pemerintah. (b) Posisi nelayan Nelayan Filipina cukup memiliki andil dalam menentukan pembangunan perikanan, seperti penetapan pajak, biaya, serta retribusi, juga mengelola perairan di sekitar lokasi mereka dalam bentuk pembangunan terumbu karang buatan dan pemasangan rumpon tanpa harus membayar biaya atau pungutan pemerintah. Namun demikian, masyarakat masih tergantung pada LGU dalam hal pemenuhan berbagai kebutuhan dasar dan untuk pengembangan kapasitasnya sendiri. Posisi nelayan Belanda dalam Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Menurut Nikijuluw (2002), posisi nelayan Belanda dalam pengelolaan sumber daya perikanan di Belanda sebagai berikut: (a) Pola pengelolaan sumber daya perikanan Selama 20 tahun terakhir, pemerintah Belanda mengembangkan sistem kuota individu berdasarkan kuota nasional. Pada awal tahun 1990-an, pemerintah pusat melalui Direktorat Perikanan menilai mereka terlalu banyak terlibat dalam pengelolaan dan pembangunan perikanan, dan menyadari perlu memberikan tanggung jawab yang lebih besar pada nelayan dalam mengelola sumber daya perikanan. Pada tahun 1992, suatu kelompok kerja yang terdiri dari utusan pemerintah, nelayan, serta industri pengolahan dan pemasaran ikan mengembangkan sistem pengelolaan, yang tanggung jawab pengelolaan kuota tahunannya diserahkan pada nelayan melalui kelompoknya yang disebut kelompok manajemen. Tujuan kelompok manajemen adalah mengendalikan dan mengawasi kuota anggotanya dengan cara yang fleksibel dan ekonomis. Nelayan secara bersama-sama membuat rencana alokasi kuota. Rencana tersebut harus disetujui kelompok manajemen.
28 (b) Posisi nelayan Meskipun nelayan Belanda sebagai pihak swasta memiliki peranan besar dalam pengelolaan sumber daya perikanan melalui sistem kuota, pengawasan dan pengendalian terakhir tetap berada di tangan pemerintah. Pemerintah tetap bertanggung
jawab
menentukan
kuota
nasional,
mengimplementasikan
kesepakatan kebijakan Uni Eropa, serta memfasilitasi aktivitas kelompok manajemen di tingkat nelayan. Posisi Nelayan Amerika Serikat dalam Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Menurut Nikijuluw (2002), posisi masyarakat nelayan dalam pengelolaan sumber daya perikanan di Amerika Serikat sebagai berikut: (a) Pola pengelolaan sumber daya perikanan Melalui Akta Pengelolaan dan Konservasi Perikanan atau Fishery Conservation and Management Act atau FCMA tahun 1977, delapan dewan pengelolaan perikanan regional dibentuk
mencakup perairan atau daerah
penangkapan ikan utama di Amerika Serikat. FCMA yang lebih dikenal dengan nama Akta Magnuson dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk rezim komanajemen perikanan karena sebagian dari wewenang pemerintah federal (pusat) untuk mengelola sumber daya perikanan diserahkan kepada dewan regional. Melalui dewan regional dibentuk sistem pembagian wewenang dalam hal pengelolaan dan konservasi sumber daya perikanan antara pemerintah, nelayan, dan pemegang kepentingan lainnya. Fungsi utama dewan regional adalah mengembangkan, memantau, dan mengevaluasi rencana pengelolaan untuk berbagai tipe perikanan yang perlu dikonservasi dan/atau dikelola di daerah, yang berada di bawah tanggung jawab mereka. Rencana tersebut harus disetujui pemerintah federal sebelum diimplementasikan. Selama proses perencanaan, dewan regional mengadakan pertemuan dan dengar pendapat dengan publik dalam rangka mendapat input yang benar. Dewan ini terdiri dari individu-individu yang memiliki pengetahuan tentang sumber daya dan industri perikanan. Anggota dewan juga harus memiliki komitmen untuk
29 membangun perikanan dengan memperhatikan prinsip dan kaedah pembangunan berkelanjutan. Dewan regional adalah representasi dari nelayan sebagai produsen, konsumen, pedagang, industri pengolahan ikan, serta pemerhati lingkungan. Anggota dewan dipilih melalui seleksi yang sangat ketat dan sangat berbau politik karena berbagai kepentingan yang terlibat. Calon anggota dewan dinominasi gubernur tiap negara bagian dan dilantik melalui surat keputusan Menteri Perdagangan yang bertanggung jawab atas pembangunan perikanan. Dengan adanya FCMA, otoritas pengelolaan perikanan yang pada mulanya berada di tangan pemerintah pusat didekonsentrasikan ke negara bagian. Pelaksanaan otoritas pengelolaan perikanan di negara bagian di tangan dewan regional. (b) Posisi nelayan Masa depan nelayan di Amerika Serikat tergantung pada kinerja dewan regional yang terdiri dari individu-individu yang memiliki pengetahuan tentang sumber daya dan industri perikanan. Walaupun anggota dewan regional merupakan representasi dari nelayan sebagai produsen, namun anggota dewan regional juga beranggotakan konsumen, pedagang, industri pengolahan ikan, serta pemerhati lingkungan yang pemilihannya melalui seleksi sangat ketat dan sangat berbau politik karena adanya berbagai kepentingan. Posisi Nelayan Indonesia dalam Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Menurut Nikijuluw (2002), posisi nelayan Indonesia dalam pengelolaan sumber daya perikanan di Indonesia sebagai berikut: (a) Pola pengelolaan sumber daya perikanan Pembangunan
perikanan
di
Indonesia
didasari
atas
desentralisasi
pembangunan ekonomi. Berdasarkan Undang-undang 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan pada pasal 2 dan 3, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten, dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah.
30 Selanjutnya pada pasal 18 ayat 1 sampai 6, disebutkan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut; daerah mendapat bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan; kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut meliputi: (1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kelayaan laut; (2) pengaturan administratif; (3) pengaturan tata ruang; (4) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; (5) ikut serta dalam pemeliharaan keamanan dan (6) ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi, dan 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Apabila wilayah laut antara 2 provinsi kurang dari 24 mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud. Nelayan kecil, yaitu masyarakat tradisional yang menggunakan bahan dan alat penangkapan ikan secara tradisional, tidak dikenakan surat ijin usaha dan bebas pajak, serta bebas menangkap ikan diseluruh wilayah Republik Indonesia. (b) Posisi nelayan Desentralisasi pembangunan perikanan di Indonesia bukan diakibatkan tuntutan masyarakat nelayan Indonesia (tuntutan internal), namun karena tuntutan nasional
untuk
mendesentralisasikan
sebagian
besar
fungsi
dan
tugas
pemerintahan. Posisi nelayan lemah, karena pembangunan daerah lebih mendapat perhatian, dan pembangunan perikanan sebagai salah satu sektor ekonomi yang melekat dengan rakyat dan menyangkut nafkah orang banyak diserahkan pada pemerintah daerah. Kekuatan nelayan belum mampu bangkit secara optimal, maka masalah masalah pembangunan perikanan seperti ketidakadilan, kemiskinan nelayan,
31 sumber daya perikanan yang terancam kerusakan, serta kurang efektifnya pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan sampai saat ini menjadi realitas yang dihadapi nelayan dan belum dapat dipecahkan. Nelayan tidak memiliki wewenang sepenuhnya dalam mengelola atau mengatur pemanfaatan sumber daya yang ada. Tanggung jawab masyarakat telah beralih ke pemerintah atau pengusaha, terutama sejak berkembangnya investasi asing di Indonesia serta adanya tuntutan eksploitasi sumber daya alam secara cepat guna membiayai pembangunan sektor atau bidang lain.
Konsep Mutu Sejarah Vincent Gazpersz (2001) mengatakan kebangkitan Jepang dalam bidang industri setelah kekalahan dalam Perang Dunia II dimulai dengan pembangunan sistem kualitas modern. Hal ini dipicu oleh Dr. Deming (1950), seorang statisikawan berkebangsaan Amerika Serikat dan seorang pakar kualitas ternama yang mengajarkan pada Jepang tentang konsep pengendalian kualitas. Keberhasilan yang dramatis industri Jepang dalam meningkatkan kualitas menjadi pusat perhatian berbagai negara di dunia. Dari hasil studi tentang keberhasilan
perusahaan-perusahaan
industri
kelas
dunia
yang
berhasil
mengembangkan konsep kualitas dalam perusahaan, lahirlah apa yang disebut Manajemen Kualitas Terpadu atau Total Quality Management (TQM). Proses industri harus dipandang sebagai suatu perbaikan kualitas secara terus menerus, yang dimulai dari sederet siklus sejak: (1) adanya ide untuk menghasilkan suatu produk; (2) pengembangan produk; (3) proses produksi; sampai dengan (4) distribusi kepada pelanggan. Berdasarkan informasi sebagai umpan balik yang dikumpulkan dari pelanggan, dikembangkan ide-ide untuk menciptakan produk baru atau untuk meningkatkan kualitas produk lama beserta proses produksi yang ada saat ini.
32 Definisi Mutu Tampubolon (1996) mendefinisikan mutu sebagai paduan sifat-sifat barang atau jasa, yang menunjukkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan pelanggan, baik kebutuhan yang dinyatakan maupun yang tersirat. Selanjutnya Margono Slamet (2004) mengatakan pada setiap obyek melekat mutu tertentu, mutu bisa tinggi, bisa pula rendah. Mutu berawal dari diri kita sendiri, baik dalam menghasilkan mutu atau menilai mutu. Menurut Vincent Gazpersz (2001), mutu atau yang disebutnya dengan kualitas selalu berfokus pada pelanggan. Suatu produk baik barang maupun jasa yang dihasilkan baru dapat dikatakan berkualitas apabila sesuai dengan keinginan pelanggan, dapat dimanfaatkan dengan baik, serta diproduksi dengan cara yang baik dan benar. Vincent Gazpersz (2001) juga menyampaikan definisi mutu menurut ISO 8402. Kualitas didefinisikan sebagai totalitas karakteristik suatu produk yang menunjang kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang dispesifikasikan atau ditetapkan, produk disebut sebagai hasil dari aktivitas atau proses. Suatu produk dapat tangible (berbentuk), atau intangible (tak berbentuk), atau kombinasi keduanya. Menurut American Society for Quality Control (Render dan Heizer, 1995), mutu didefinisikan sebagai totalitas bentuk dan karakteristik barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan yang tampak jelas maupun yang tersembunyi. Tampubolon (1996) menyampaikan bahwa ukuran mutu adalah kebutuhan pelanggan. Pelanggan pada hakekatnya ikut menentukan mutu. Kebutuhan pelanggan berubah dari waktu ke waktu, dengan demikian mutu juga berubah. Mutu yang didasari atas kebutuhan pelanggan adalah mutu dalam arti relatif.
Membangun Sistem Mutu Untuk membangun sistem mutu yang modern diperlukan transformasi menuju kondisi perbaikan secara terus menerus. Transformasi ini diringkas ke dalam 14 Butir Prinsip Manajemen Deming, dalam Render dan Heizer (1995), yaitu: (1) ciptakan
33 konsistensi tujuan; (2) arahkan untuk perubahan yang lebih baik; (3) realisasikan mutu ke dalam produk; hentikan ketergantungan pada pemeriksaan yang menemukan masalah; (4) ciptakan hubungan jangka panjang yang berdasarkan kinerja sebagai ganti dari pemberian penghargaan pada bisnis yang berdasarkan ukuran harga; (5) lakukan perbaikan terus menerus baik pada produk maupun jasa; (6) mulailah pelatihan karyawan; (7) tekankan kepemimpinan; (8) hilangkan ketakutan; (9) hilangkan hambatan-hambatan antar departemen; (10) hindari memberikan nasihat yang tak perlu pada karyawan; (11) dukung, bantu, dan perbaiki; (12) hilangkan perasaan bangga pada pekerjaannya; (13) bentuk berbagai program pendidikan dan pengembangan diri dan (14) usahakan agar setiap orang di perusahaan bekerja dalam kegiatan perubahan perusahaan.
Manajemen Mutu Terpadu Vincent Gazpersz (2001) mengemukakan tentang Manajemen Mutu Terpadu (MMT) sebagai berikut: pada dasarnya Quality Management atau Total Quality Management= TQM (Manajemen Kualitas Terpadu) adalah suatu cara meningkatkan performansi secara terus menerus pada setiap level operasi atau proses, dalam setiap area fungsional dari suatu organisasi, dengan menggunakan semua sumber daya manusia dan modal yang tersedia. Menurut Render dan Heizer (1995), MMT membutuhkan proses tanpa akhir yang disebut perbaikan yang terus menerus, di mana kesempurnaan tidak pernah diperoleh, tetapi selalu di cari. Masyarakat Jepang menggunakan kata Kaizen untuk menggambarkan proses perbaikan yang berkelanjutan ini. Masyarakat Amerika menggunakan kata MMT, zero defects (tanpa kerusakan produk), dan six sigma untuk menggambarkan usaha perbaikan yang berkelanjutan. Benchmarking Render dan Heizer (1995) menyebut benchmarking sebagai pembandingan kinerja, yang mencakup seleksi standar kinerja yang ada, yang mewakili kinerja proses atau kegiatan terbaik lain yang sangat serupa dengan proses atau kegiatan pihak lain. Inti dari pembandingan kinerja adalah pengembangan target yang akan
34 dicapai, untuk kemudian mengembangkan suatu standart atau tolok ukur tertentu agar kita dapat mengukur kinerja sendiri (lewat pembandingan antara berbagai kinerja, dengan prestasi kinerja sendiri). Sumardjo (2004) menyebut benchmarking sebagai suatu proses menuju mutu, dilakukan dengan cara membandingkan dan mengukur operasi suatu organisasi atau proses internalnya dengan operasi atau proses dari yang berkinerja terbaik dalam kelas yang berasal dari dalam atau dari luar industrinya. Secara konsep, benchmark mencakup dua organisasi yang telah sepakat sebelumnya untuk berbagi informasi tentang proses atau informasi. Dengan benchmark biaya yang dikeluarkan lebih sedikit untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan dengan tujuan menemukan rahasia keberhasilan dan selanjutnya menyesuaikan dan memperbaiki aplikasi dalam organisasinya sendiri. Render dan Heizer (1995) menyampaikan langkah untuk pengembangan tolok ukur sebagai berikut: (1) tentukan apa yang akan dibandingkan; (2) bentuk kelompok penentu tolok ukur; (3) lakukan identifikasi atas kinerja pihak lain; (4) kumpulkan dan analisis informasi mengenai kinerja tersebut dan (5) ambil tindakan untuk menyesuaikan atau melebihi kinerja pihak lain tersebut. Just-in-Time Render dan Heizer (1995) mengatakan filsafat yang mendasari just-in-time adalah perbaikan yang terus menerus dan pemecahan masalah yang cepat. Cara tersebut memaksa terciptanya mutu, baik pada pemasok maupun pada setiap tahap proses manufaktur dan jasa, karena tidak ada persediaan yang dapat menyerap variasinya. Sistem harus memproduksi mutu yang tinggi. Karena teknik tersebut menghilangkan kemungkinan adanya variasi, tidak ada lagi sisa material, pengerjaan ulang, investasi persediaan, dan kegiatan tidak perlu dalam produksi/jasa. Hubungan just-in-time dengan mutu sangat kuat, keduanya berhubungan dalam tiga hal : (1) just-in-time mengurangi biaya pemerolehan mutu yang baik; (2) just-intime meningkatkan mutu dan (3) just-in-time mengarahkan pada mutu yang konsisten, mengurangi semua biaya yang berkaitan dengan persediaan.
35 Sifat-sifat Mutu Barang dan Jasa Tenner dan De Toro dalam Tampubolon (1996) menyampaikan perbedaan sifatsifat yang paling pokok yang membedakan mutu barang dan jasa, yaitu: (1) mutu barang: objektif, konkrit, berukuran metrik, mengutamakan perhitungan waktu pencapaian, terbuat dari materi, dan dapat dihitung dengan angka sedangkan (2) mutu jasa: subjektif, tak selalu konkrit, umumnya berukuran afektif, mengutamakan kepemerhatian, terutama terdiri dari non materi (reputasi, sikap, tatakrama, dan lainlain), dan umumnya tak dapat dihitung dengan angka, tapi dengan perasaan, keyakinan, dan lain-lain. Sifat-sifat pokok mutu jasa sering disingkat dengan RATER (reliability, assurance, tangibility, empathy dan responsiveness) atau K2PK2 (keterpercayaan, keterjaminan, penampilan, kepemerhatian, dan ketanggapan). Tabel 1 memperlihatkan sifat pokok mutu jasa. Tabel 1. Sifat-sifat Pokok Mutu Jasa Keterpercayaan (Reliability)
Keterjaminan (Assurance)
Penampilan (Tangibility)
Kepemerhatian (Empathy)
Ketanggapan (Responsiveness)
* Jujur
* Kompeten
* Bersih
* Penuh perhatian terhadap pelanggan
* Tanggap terhadap kebutuhan pelanggan
* Aman
* Percaya diri
* Sehat
* Melayani dengan ramah dan menarik
* Cepat memberi responsi terhadap permintaan pelanggan
* Tepat waktu
* Meyakinkan
* Buatan baik
* Memahami aspirasi pelanggan
* Cepat memperhatikan dan mengatasi kebutuhan pelanggan
* Tersedia
* Obyektif
* Teratur dan rapi * Berpakaian rapi dan harmonis * Cantik / indah
* Berkomunikasi dengan baik dan benar * Bersikap penuh simpati
Sumber : Tennner De Toro, dalam Tampubolon (1996)
Menurut Triguno (2004), mutu selalu dipadukan dalam manajemen.Untuk pemaduannya ada tiga fokus perhatian utama, yaitu: (1) memahami kebutuhan pelanggan dengan sebaik-baiknya; (2) menerjemahkan kebutuhan pelanggan ke
36 dalam perencanaan dan pemrosesan untuk menghasilkan produk dan (3) memadukan partisipasi aktif semua pihak terkait dalam usaha peningkatan mutu terus menerus, yang mengimplikasikan keharusan memberdayakan seluruh SDM organisasi dan adanya kepemimpinan yang andal. Triguno (2004) mengklasifikasikan ukuran mutu atas: (1) mutu sumber daya manusia; (2) mutu proses (cara kerja) dan (3) mutu produk (barang dan jasa). Tabel 2 memperlihatkan ukuran mutu yang dikutip dari Triguno (2004). Tabel 2. Ukuran Mutu Sumber Daya Manusia
Proses (Cara Kerja)
Iman, Taqwa, Moral, Trampil, Profesional, Tanggung jawab, Sopan Ramah, Membantu Menghormati/mengharga i orang lain, Ingin maju, Tanggap Tanggon, Trengginas, Rasa ikut memiliki/bertanggung jawab/mawas diri, Disiplin, Semangat/ulet, Proaktif, Mandiri, Positif, Bersih, Berwibawa, Jujur Tidak memeras Integritas, Lain-lain
Cepat, Tepat, Urut, Murah, Hemat, Efektif, Efisien, Optimal, Aman Sinergistik, Gotong royong Kerjasama, Koordinatif, Konsensus, Menyenangkan Profesional, Pasti, Teknologi tepat guna, Kepemimpinan dengan keteladanan/motivasi/dele gasi wewenang (ing ngarsa sung tulodo, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani) Dengan jaminan, Lainlain
Produk Barang Kuat sesuai performance, Konformitas, Desain menarik, Pemeliharaan mudah, Murah, Awet Teknologi tinggi/tepat, Warna menarik Packaging bagus Aman, Dengan jaminan Lain-lain
Jasa Pasti Cepat Tepat Urut Menyenangkan Sejuk Nyaman Aman Pelayanan lain Murah Dipercaya Profesional Tanpa pungli Dengan jaminan Lain-lain
Sumber: Triguno (2004)
Pelanggan Menurut Tampubolon (1996), pelanggan adalah pihak yang menerima barang atau jasa yang sesuai dengan kebutuhannya, memahami dan menghayati barang atau jasa itu, mempergunakan barang atau jasa itu secara langsung atau tidak langsung serta memberikan imbalan sewajarnya kepada pihak yang menyediakan barang atau jasa itu. Dalam hal ini hubungan saling membutuhkan adalah yang paling mendasar, dan tidak ada alasan untuk bersikap paternalistik atau birokratis kaku, apalagi bersikap
37 feodal, karena semuanya adalah mitra. Hubungan kemitraan ini harus dikembangkan, dengan prinsip utama saling melayani dan saling memahami. Standar Mutu Tampubolon (1996) mengatakan standar mutu ialah paduan sifat-sifat barang atau jasa, termasuk sistem manajemennya, yang relatip mantap dan sesuai dengan kebutuhan pelanggan yang luas baik lokal dan nasional maupun internasional. Standar mutu dipergunakan sebagai tolok ukur mutu. Barang atau jasa, dengan sistem manajemennya, dan dikatakan bermutu jika mutunya sesuai standar. Render dan Heizer (1995) menyampaikan implikasi internasional dengan adanya standar mutu internasional juga mendorong beberapa standar internasional yang dikembangkan oleh Jepang, Amerika, dan Masyarakat Ekonomi Eropa. Masyarakat Jepang telah mengembangkan suatu spesifikasi bagi manajemen mutu terpadu. Di Jepang dipublikasikan dalam Industrial Standard Z8101-1981. Standar tersebut menyatakan, penerapan pengendalian kualitas secara efektif mengharuskan kerja sama semua pihak dalam perusahaan. Melibatkan manajemen puncak, manajer, penyelia, dan pekerja di berbagai tingkatan perusahaan misalnya: penelitian pasar, penelitian dan pengembangan, perencanaan rancangan produk, persiapan produksi, pembelian, manajemen penjualan pada industri, produksi, pemeriksaan, penjualan, layanan purna jual, demikian juga pengendalian keuangan, administrasi personalia, serta pendidikan dan pelatihan. Masyarakat Eropa (ME) telah mengembangkan standar mutu yang disebut: ISO 9000, 9001, 9002, 9003, dan 9004. Fokus dari standar ME ini adalah untuk mendorong pembentukan prosedur manajemen yang baku bagi perusahaan yang berbisnis di wilayah ME. Proses internasionalisasi mutu yang berlangsung terus menerus hingga saat ini tercermin jelas dengan pengembangan ISO 14000 oleh ME. ISO 14000 merupakan standar manejemen lingkungan yang mengandung lima elemen inti. Kelima elemen inti tersebut adalah: (1) manajemen lingkungan; (2) auditing; (3) evaluasi kinerja; (4) pemberian label dan (5) penentuan siklus hidup. Standar baru ini dapat memberikan beberapa keuntungan: (1) terbentuknya citra perusahaan yang positif pada masyarakat dan menurunnya kemungkinan terjadinya
38 pertanggungjawaban atas produk dan uang yang dihasilkan; (2) pendekatan sistematis yang baik dalam rangka pencegahan polusi melalui minimasi dampak ekologis produk pada kegiatan produksi; (3) kesesuaian dengan syarat-syarat peraturan dan kesempatan untuk memperoleh keunggulan bersaing dan (4) berkurangnya kebutuhan audit berganda. Standar ini atau beberapa variasi dari standar ini, kemungkinan besar akan segera diterima oleh seluruh dunia. Amerika telah lama memiliki spesifikasi militer untuk kontrak-kontrak pertahanan nasionalnya dan bahkan dalam tahun-tahun terakhir American Quality Control Society telah mengembangkan spesifikasi yang sesuai dengan standar ME. Spesifikasi tersebut adalah: Q90, Q91, Q92, Q93, dan Q94. Triguno (2004) mengatakan mutu merupakan standar yang harus dicapai oleh seseorang/kelompok/lembaga/organisasi mengenai: (1) mutu sumber daya manusia; (2) mutu cara kerja, atau proses dan (4) mutu hasil kerja atau produk yang berupa barang dan jasa. Dengan demikian, menurut konsep mutu, sangat nyata bagi nelayan ada standar mutu sumber daya manusia yang harus dicapai agar nelayan mampu menghasilkan produk yang dapat menunjukkan paduan sifat-sifat yang mampu memenuhi kebutuhan para pelanggannya. Alat-alat Mutu Berikut disampaikan enam alat mutu menurut uraian Render dan Heizer (1995), yaitu: Penyebaran Fungsi Mutu Penyebaran Fungsi Mutu merupakan istilah yang dipakai untuk: (1) menentukan rancangan fungsional yang dapat memuaskan konsumen dan (2) mewujudkan keinginan konsumen ke dalam suatu target rancangan. Sejak awal proses produksi teknik ini harus digunakan agar dapat ditentukan di mana usaha peningkatan mutu harus dilakukan. Penyebaran Fungsi Mutu dilakukan dengan membuat House of Quality (Bangunan Mutu), yaitu teknik untuk mendefinisikan hubungan antara keinginan
39 konsumen ke dalam atribut-atribut barang atau jasa. Dengan mendefinisikan hubungan ini secara tepat, seorang manajer operasi dapat menciptakan produk dan proses sesuai dengan yang diinginkan konsumen. Untuk membangun House of Quality ada enam langkah dasar yang harus dilakukan, yaitu: (1) menentukan keinginan konsumen; (2) mengidentifikasikan atribut-atribut barang/jasa (anggap atribut produk sebagai cara barang/jasa memenuhi keinginan konsumen); (3) membuat
hubungan
antara
keinginan
konsumen
dengan
cara
barang/jasa
memenuhinya; (4) mengevaluasi produk-produk saingan; (5) mengembangkan spesifikasi kinerja atas cara barang/jasa memenuhi keinginan konsumen tersebut dan (6) menerapkan cara-cara tersebut pada tahap-tahap transformasi (pengubahan input menjadi output) yang tepat. Metode Taguchi Merupakan suatu teknik peningkatan mutu yang khusus ditujukan untuk peningkatan rancangan dan proses produksi. Ada 3 konsep penting untuk memahami pendekatan Metode Taguchi, yaitu: (1) quality robustness (ketegaran mutu produk), produk-produk yang tegar mutunya adalah adalah produk-produk yang dapat diproduksi seragam dan konsisten dalam manufaktur dan lingkungan yang tidak terlalu ideal kondisinya. Taguchi mengemukakan bahwa lebih mudah menghilangkan akibat, daripada menghilangkan penyebab, dalam memproduksi produk yang tegar mutunya, tindakan tersebut lebih efektif. Dengan cara demikian, variasi-variasi kecil dalam bahan-bahan dan proses tidak akan mengurangi mutu produk; (2) quality loss function / QLF (Fungsi kehilangan mutu), mengidentifikasi semua biaya yang berhubungan dengan rendahnya mutu dan menunjukkan bagaimana biaya-biaya tersebut meningkat seiring dengan semakin jauhnya produk dari apa yang diinginkan konsumen. Biaya-biaya tersebut mencakup bukan hanya ketidakpuasan konsumen tetapi juga biaya-biaya garansi dan layanan, biaya-biaya pemeriksaan internal, perbaikan, dan sisa material, serta biaya-biaya yang secara tepat dapat dideskripsikan sebagai biaya-biaya yang ditanggung masyarakat dan (3) spesifikasi target/ nilai target, merupakan filsafat mengenai peningkatan mutu yang berkelanjutan untuk memproduksi produk yang benar-benar sesuai target.
40 Diagram Pareto Merupakan metode untuk mencari sumber kesalahan, untuk membantu memfokuskan diri pada usaha-usaha pemecahannya. Diagram ini didasarkan pada hasil kerja Alfredo Pareto, ahli ekonomi pada abad-19. Joseph M. Juran mempopulerkan akibat kerja Pareto ini saat ia mengemukakan bahwa 80 persen masalah-masalah yang dihadapi perusahaan merupakan akibat dan hanya 20 persen dari penyebabnya. Analisis Pareto mensyaratkan masalah-masalah mana yang jika ditangani akan memberikan manfaat balik terbesar. Diagram proses Diagram proses dirancang untuk membantu memahami serangkaian kejadian dengan membuat diagram alir dari proses yang dilalui produk. Diagram proses membuat grafik atas tahap-tahap proses dan memperlihatkan hubungan antara tahaptahap tersebut. Jenis analisis ini dapat: (1) membantu mengidentifikasi lokasi pengumpulan data terbaik; (2) mengisolasi dan melacak asal-usul terjadinya masalah; (3)
mengidentifikasi
tempat
pemeriksaan
proses
yang
terbaik
dan
(4)
mengidentifikasi kemungkinan melakukan pengurangan jarak tempuh produk. Diagram proses dapat menjadi alat analisis yang berguna dalam berbagai aplikasi, membantu memahami perpindahan manusia atau bahan baku. Dengan cara ini, proses dapat dibuat lebih efisien. Diagram Sebab-Akibat (Diagram Tulang Ikan) Diagram Sebab-Akibat, merupakan salah satu dari banyak alat yang dapat membantu mengidentifikasi lokasi yang mungkin dapat terjadinya masalah-masalah mutu dan lokasi pemeriksaan, disebut juga Diagram Ishikawa atau Diagram Tulang Ikan. Cara untuk memulai suatu Diagram sebab-Akibat adalah dengan menggunakan empat ketegori, yang disebut dengan “sebab” 4 M yaitu: (1) material (bahan-bahan untuk produksi); (2) mesin/peralatan; (3) tenaga kerja/man; (4) metode kerja dan diagram sebab-akibat ini biasanya dilengkapi dengan (5) lingkungan.
41 Proses Pemecahan Masalah dan Perbaikan Mutu - PDCA Proses pemecahan masalah dan perbaikan mutu dalam MMT diperkenalkan oleh Sheward dalam Margono Slamet (2004), yang diperlihatkan pada Gambar 1. Plan
P A Act
D C
Do
Check
Gambar 1. Proses Pemecahan Masalah (Lingkaran Sheward) Sumber: Margono Slamet (2004)
Lingkaran Sheward ini disingkat dengan PDCA (Plan, Do, Check, Act), merupakan suatu proses sirkuler, yang berputar sesuai dengan arah jarum jam. (1) plan (rencanakan); (2) do (lakukan); (3) check (evaluasi apakah yang dilakukan sesuai rencana, sesuai yang diinginkan, dan sesuai target) dan (4) act (bertindak lebih lanjut, jika telah menghasilkan apa yang diinginkan, tindak lanjutnya: teruskan. Jika belum sesuai dengan yang diinginkan: pelajari, mengapa?). Pedoman PDCA merupakan tujuan dari MMT, yaitu continous quality improvement (perbaikan terus menerus). Perbaiki sedikit demi sedikit, dan apa yang dikerjakan selalu hal yang baru, yang ditujukan pada perbaikan yang terus menerus, dengan prinsip-prinsip: (1) pelanggan dan kebutuhannya; (2) sistem dan proses produksi jasa dan (3) perpaduan partisipasi aktif semua pihak.
42 Pengembangan fungsi mutu (QFD – Quality Function Development) Sumardjo (2004), menjelaskan bahwa Pengembangan Fungsi Mutu atau Quality Function Development yang disingkat QFD mulai dirintis dan dikembangkan tahun 1960-an di Jepang yang budayanya sangat memperhatikan pelanggan. Inilah yang menyebabkan Jepang unggul di dunia. QFD adalah suatu pendekatan yang membawa pelanggan ke dalam rancangan proses, menerjemahkan apa yang diinginkan pelanggan ke dalam apa yang diproduksi/ dilayani oleh organisasi. Manfaat QFD adalah perbaikan terus menerus yang: (1) fokus pada pelanggan; (2) efisiensi waktu; (3) kerja tim dan (4) orientasi dokumentasi. Informasi dari pelanggan terdiri dari dua kategori, yaitu: (1) masukan, diberikan sebelum fakta (pada awal sekali pada siklus pengembangan produk) dan (2) umpan balik, diberikan sesudah fakta. QFD mengidentifikasikan kebutuhan dan tuntutan pelanggan, dengan demikian proses digerakkan oleh apa yang diinginkan pelanggan, bukan inovasi dalam teknologi. Konsekuensinya akan lebih banyak usaha yang dilibatkan dalam mendapatkan informasi penting untuk memastikan apa yang benar-benar diinginkan pelanggan. Survei dapat disusun sebelum dan sesudah implementasi mutu, dan merupakan bagian integral program mutu dimana pelanggan dijadikan mitra.
Manfaat Data dalam MMT Menurut Margono Slamet (2004), data sangat penting dalam MMT, karenanya keputusan dan tindakan perlu berdasar fakta yang dibuktikan dengan data. Data menghilangkan emosionalisme dari proses perbaikan. Selain itu, data menjadi dasar bersama untuk membangun pengertian, dan menunjukkan apa yang harus diperbaiki, dan apakah usaha telah berhasil. Data juga menunjuk adanya keragaman dan penggunaan metoda statistik, juga memungkinkan menggunakan Lingkaran Shewart: plan (merencanakan) dengan memanfaatkan analisis SWOT, do (lakukan), check (evaluasi), dan act (bertindak lebih lanjut), yaitu suatu proses sirkuler (proses pemecahan masalah dan perbaikan mutu). Data membantu menentukan apa saja yang sebenarnya dikehendaki oleh para pelanggan.
43 Sumber Daya Manusia Nelayan Pandangan tentang Sumber Daya Manusia Soebagio Atmodiwirio (2002) mengungkapkan beberapa definisi sumber daya manusia dari berbagai sumber: (1) Sumber daya manusia adalah tenaga kerja yang tersedia, termasuk jumlah dan pengetahuan mereka, keterampilannya, dan kemampuannya, Kamus Manajemen (1994). (2) Sumber daya manusia adalah sejumlah peran dan keterampilan yang dibutuhkan oleh manusia, Dugan Laird (1985). (3) Sumber daya manusia adalah kekuatan daya pikir dan berkarya manusia yang masih tersimpan dalam dirinya yang perlu dibina dan digali, serta dikembangkan untuk dimanfatkan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan kehidupan manusia, Y.S. Almadi dalam Soebagio Atmodiwirio (2002). Sumber daya manusia yang unggul merupakan modal dasar keunggulan nasional suatu negara. Hasil-hasil pembangunan yang dilakukan selama ini belum memperlihatkan pemerataan dalam peningkatan mutu sumber daya seluruh manusia Indonesia. Sebagai contoh, mutu sumber daya manusia manusia nelayan tradisional terlihat masih tertinggal walaupun pembangunan perikanan dan kelautan terus menerus dilakukan. Berdasarkan pengertian dan uraian-uraian sebelumnya, maka mutu sumber daya manusia nelayan dapat diartikan sebagai kemampuan nelayan menghasilkan produk barang atau jasa atau kombinasi keduanya yang menunjukkan paduan sifat-sifat yang mampu memenuhi kebutuhan para pelanggannya. Rachmat Pambudy (2003) mengatakan sebagian besar ekonom moderen sepakat bahwa sumber daya manusia merupakan faktor yang paling menentukan karakter dan kecepatan pembangunan sosial dan ekonomi bangsa yang bersangkutan. Seperti yang dinyatakan Profesor Frederick Harbinson dari Princenton University, dalam Todaro (2000), bahwa sumber daya manusia merupakan modal dasar dari kekayaan suatu bangsa.
44 Modal fisik dan sumber daya alam hanya faktor produksi yang pada dasarnya bersifat pasif, manusialah agen-agen aktif yang akan mengumpulkan modal, mengekploitasi sumber-sumber alam, membangun berbagai macam organisasi sosial, ekonomi dan politik, serta melaksanakan pembangunan nasional. Jelaslah bahwa jika suatu negara tidak segera mengembangkan keahlian dan pengetahuan rakyatnya dan tidak memanfaatkan potensi mereka secara efektif dalam pembangunan dan pengelolaan ekonomi, maka untuk selanjutnya negara tersebut tidak akan mengembangkan apapun. Cara yang paling efektif dalam mengembangkan sumber daya manusia adalah meningkatkan pengetahuan rakyatnya melalui pemberian layanan pendidikan, dan kesehatan yang sebaik-baiknya. Mencakup pendidikan formal, dan pendidikan non formal. Djoko Susanto (2003) mengatakan modal sosial yang landasan utamanya adalah akal-budi manusia dan system thinking, merupakan komponen utama untuk mewujudkan masyarakat madani. Modal sosial merupakan cerminan sejauh mana masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang bersifat unik mampu mengembangkan hubungan-hubungan, interaksi dan transaksi sosial sehingga terwujud struktur sosial. Munurut Coleman dalam Djoko Susanto (2003), terdapat empat jenis modal yang dapat memberi kontribusi dalam proses pembangunan secara umum, yaitu: (1) modal fisikal, berupa mesin-mesin dan alat-alat produksi yang digunakan untuk melakukan perubahan-perubahan untuk membangun atau membentuk fasilitas produksi; (2) modal manusia, dibentuk melalui perubahan pada manusia untuk menciptakan keterampilan-keterampilan dan kemampuan-kemampuan baru yang menyebabkan orang-orang tersebut melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu dengan cara-cara baru; (3) modal alamiah, merupakan potensi-potensi sumber daya alam, flora, fauna, tanah, air dan udara yang dapat didaya-gunakan dengan menerapkan ilmu dan teknologi yang tidak mengganggu kelestarian alam dan keseimbangan ekosistem namun berhasil dan berdaya guna bagi kesejahteraan masyarakat dan (4)
45 modal sosial, melalui perubahan-perubahan perilaku dan hubungan (interaksi) antar anggota-anggota masyarakat atau pelaku-pelaku sosial yang memfasilitasi perubahan.
Pengembangan Sumber Daya Manusia Menurut Soebagio Atmodiwirio (2002), pengembangan sumber daya manusia telah berkembang menjadi suatu konsep dalam upaya membangun/membentuk kineja. Elemen yang penting dalam pengembangan sumber daya manusia adalah: (1) penilaian terhadap kebutuhan kompetensi yang sedang berjalan; (2) kegiatan untuk mengisi kebutuhan tersebut dan (3) evaluasi untuk menentukan apakah maksud yang diinginkan telah tercapai. Pengembangan sumber daya manusia merujuk kepada penyiapan melalui kegiatan belajar sumber daya manusia untuk pekerjaan sekarang, untuk penanganan kerja yang akan datang seperti halnya peningkatan individu. Menurut Leonard Nadler dalam Soebagio Atmodiwirio (2002), pengembangan sumber daya manusia menekankan pada pengalaman belajar untuk peningkatan kinerja. Pengembangan sumber daya manusia adalah pengalaman belajar yang terorganisasikan untuk waktu tertentu dan di desain untuk meningkatkan terjadinya pada perubahan perilaku manusia. Pengalaman belajar adalah pengalaman yang terencana yang terus menerus, dan bukan terjadi yang insidential. Agus M. Hardjana (2001) mengatakan pengembangan sumber daya manusia mempunyai tiga kegiatan belajar sebagai berikut: (1) kegiatan belajar untuk meningkatkan kinerja pekerja dalam pekerjaan yang mereka emban (training); (2) kegiatan belajar untuk pengembangan diri pekerja secara umum dan menyeluruh, tanpa dikaitkan dengan tugas khusus yang mereka lakukan (pengembangan) dan (3) kegiatan belajar untuk menyiapkan pekerja untuk mengemban tugas baru dalam waktu dekat (pendidikan).
Pengembangan Sumber Daya Manusia Nelayan Pengembangan sumber daya manusia nelayan fokus pada faktor-faktor internal nelayan, seperti yang diuraikan oleh Kusnadi (2004), bahwa pembangunan mutu sumber daya nelayan harus memperlihatkan adanya upaya merubah perilaku nelayan
46 seperti: (1) adanya upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia nelayan, meliputi pengetahuan, sikap, keterampilan, dan kepribadian; (2) adanya usaha-usaha yang secara nyata dilakukan dalam hal memperluas kemampuan modal usaha dan teknologi penangkapan; (3) adanya usaha meningkatkan hubungan kerja, pemilik perahu-nelayan buruh dalam organisasi penangkapan yang saling menguntungkan nelayan-buruh; (4) adanya upaya nyata diversifikasi usaha penangkapan; (5) adanya upaya mengurangi ketergantungan terhadap okupasi melaut dan (6) adanya upaya membuka wawasan ke depan menuju kehidupan yang lebih baik dengan cara meningkatkan aspirasi dan cara pandang nelayan agar selalu optimis dan berorientasi ke masa depan. Upaya mengembangkan sumber daya nelayan perlu dilakukan, upaya ini tidak boleh lepas dari pembangunan perikanan dan kelautan, bahkan pembangunan perikanan dan kelautan harus berorientasi pada tercapainya kesejahteraan nelayan Indonesia secara berkelanjutan. Soebagio Atmodiwirio (2002) mengungkapkan bahwa ada tiga komponen penting dalam pengembangan SDM, yaitu: (1) pengembangan pribadi; (2) pengembangan profesional dan (3) pengembangan organisasi. Menurut Suseno (2007), pendekatan SDM dalam pengelolaan perikanan tangkap secara berkelanjutan, terutama dalam mengatasi terjadinya krisis SDM dapat dilakukan dengan cara: (1) pendidikan formal, melalui penyediaan beasiswa, agar anak nelayan tetap memiliki akses pendidikan walaupun pendapatan orang tua mereka terbatas. Selain untuk mencapai target program wajib belajar 9 tahun, juga memberikan kesempatan pada anak nelayan melanjutkan ke pendidikan tinggi dan (2) pendidikan luar sekolah, dapat dilakukan dengan mengadakan pelatihan/diklat, magang, studi banding, dan penyuluhan.
47 Peran Ilmu Penyuluhan Pembangunan dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia Nelayan Ilmu Penyuluhan Pembangunan dan Perubahan Perilaku Ilmu penyuluhan pembangunan dapat merupakan bidang ilmu yang menjadi dasar bagi penyelenggaraan proses belajar menuju perubahan perilaku usaha dan kehidupan nelayan, seperti yang didefinisikan oleh Margono Slamet (1995): ”Ilmu penyuluhan pembangunan merupakan suatu disiplin ilmu yang mempelajari bagaimana pola perilaku manusia pembangunan terbentuk, bagaimana perilaku manusia dapat berubah atau diubah sehingga mau meninggalkan kebiasaan lama dan menggantinya dengan perilaku yang baru yang berakibat kualitas kehidupan orang yang bersangkutan menjadi lebih baik”. Pengembangan mutu sumber daya manusia nelayan, berarti upaya menuju kondisi kapasitas diri nelayan agar lebih bermutu. Untuk itu perhatian terhadap kebutuhan nelayan dalam berusaha merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Intervensi penyuluhan dalam pengembangan mutu sumber daya manusia nelayan menggunakan prinsip-prinsip ilmu penyuluhan pembangunan sebagai bidang keilmuan yang dipilih dalam proses belajar untuk merubah perilaku nelayan. Pemilihan ini dilakukan dengan alasan: (1) sebagai suatu disiplin ilmu, penyuluhan pembangunan merangkum konsep-konsep ilmiah dari berbagai disiplin ilmu yang relevan, seperti ilmu pendidikan, psikologi, antropologi, sosiologi, psikologi sosial, dan manajemen (pendekatan interdisiplin), yang sangat diperlukan untuk terjadinya perubahan
perilaku
dan
(2)
kegiatan
penyuluhan
pembangunan
selalu
menitikberatkan pada perbaikan kualitas kehidupan manusia, lahir dan batin. Kegiatan penyuluhan erat dengan ilmu-ilmu lain yang juga dibutuhkan untuk perbaikan kualitas kehidupan manusia seperti ilmu ekonomi, pertanian, peternakan, perikanan, kesehatan, maupun ilmu-ilmu kesejahteraan sosial lainnya. Sejalan dengan hal-hal diuraikan di atas, sangat nyata yang diungkapkan oleh Margono Slamet (1995), bahwa ilmu penyuluhan pembangunan dapat digunakan sebagai alat rekayasa pembangunan sosial sehingga berkemampuan untuk membentuk pola perilaku tertentu masyarakat, dalam jangka waktu tertentu, sebagai
48 syarat untuk dapat memperbaiki kehidupan rakyat. Apabila kegunaan ilmu penyuluhan pembangunan dapat dimengerti dan digunakan dengan baik, maka pembangunan akan mampu menghadapi berbagai tantangan, terutama tantangan untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia.
Mengubah Perilaku dan Membangun Kompetensi Nelayan Soesarsono (2002) mengatakan selain dari beberapa segi seperti agama, pendidikan dan kecerdasan, mutu SDM juga dapat dilihat dari segi kompetensi. Menurutnya, kompetensi adalah karakteristik mendalam pada seseorang yang terkait dan menyebabkan pemenuhan bahkan melampaui efektivitas kriteria kinerja pada situasi maupun tugas kerja. Kompetensi yang meliputi pengetahuan dan keterampilan seseorang condong terlihat dan relatif berada dipermukaan. Karena itu, lebih mudah dikembangkan. Menurut Keputusan Mendiknas RI No. 045/U/2002 dalam Johana Soewono (2002), kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung jawab, yang dimiliki oleh seseorang sebagai syarat untuk mengerjakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu. Suparno (2001) mengatakan kompetensi merupakan kecakapan yang memadai untuk melakukan suatu tugas. Untuk itu seseorang memerlukan pengetahuan khusus, keterampilan, proses dan sikap. Menurut Suprodjo Pusposutardjo dalam Johana Soewono (2002), seseorang dianggap kompeten apabila telah memenuhi persyaratan: (1) landasan kemampuan mengembangkan kepribadian; (2) kemampuan penguasaan ilmu dan keterampilan; (3) kemampuan berkarya; (4) kemampuan mensikapi dan berperilaku dalam berkarya sehingga dapat mandiri, menilai dan mengambil keputusan secara bertanggung jawab dan (5) dapat hidup bermasyarakat dengan bekerjasama, saling menghormati dan menghargai nilai-nilai pluralisme, dan kedamaian. Paul Suparno (2002) memaknai kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang telah menjadi cara bertindak dan berpikir seseorang. Dengan kata
49 lain, suatu kemampuan yang sungguh telah menjadi bagian hidup seseorang sehinga langsung dapat digunakan dalam menghadapi permasalahan dalam bertindak. Menurut Ratna Sayekti Rusli (2002), kompetensi dapat diartikan sebagai ciri pokok seseorang yang punya hubungan sebab-akibat dengan kinerjanya yang efektif atau unggul dalam suatu pekerjaan. Kompetensi dapat berupa motivasi, ciri pembawaan, konsep diri, sikap atau nilai, pengetahuan isi, atau keterampilan kognitif atau keterampilan perilaku. Bowden dalam A.B. Susanto (2002) mengemukakan konsep sistem pendidikan berbasis kompetensi bukanlah konsep baru, karena sejak akhir 1960 telah diperkenalkan di AS yang dimulai dengan pendidikan guru. Kemudian berkembang untuk program pendidikan profesional lainnya di AS pada tahun 1970, kemudian dimanfatkan untuk program pelatihan kejuruan di Inggris dan Jerman pada tahun 1980, serta untuk pelatihan kejuruan serta pengenalan keterampilan profesional di Australia pada tahun 1990. Selanjutnya, dari sumber yang sama, disampaikan bahwa salah satu tujuan pendidikan berbasis kompetensi adalah cara mengekspresikan keluaran dari proses pendidikan secara eksplisit, berupa kinerja nyata yang dapat diobservasi dalam pekerjaanya. Untuk itu harus diperlukan kompetensi yang memang dibutuhkan oleh sebuah pekerjaan, dan kompetensi ini harus benar-benar terbukti dapat memberi kontribusi terhadap performansi dalam dunia kerja. Pendidikan berbasis kompetensi berusaha untuk membawa dunia pendidikan masuk ke dalam dunia kerja secara lebih dekat.
Motivasi Menurut Wursanto (2003), tingkah laku manusia pada dasarnya mempunyai motif tertentu. Motif merupakan penggerak, alasan, dorongan yang ada dalam diri manusia yang menyebabkan orang itu berbuat sesuatu. Oleh karena itu, motif memberi tujuan dan arah pada perilaku seseorang. Menurut Winardi (2001), istilah motivasi berasal dari perkataan bahasa latin, yakni movere yang berarti menggerakkan. Ada macam-macam rumusan untuk istilah
50 motivasi seperti yang disampaikan oleh Mitchell dalam Winardi (2001), bahwa motivasi mewakili proses-proses psikologikal yang menyebabkan timbulnya, diarahkannya, dan terjadinya persistensi kegiatan-kegiatan sukarela yang diarahkan ke arah tujuan tertentu. Steven P. Roben dan Mary Coulter dalam Winardi (2001) merumuskan motivasi sebagai kesediaan untuk melaksanakan upaya tinggi untuk mencapai tujuan-tujuan keorganisasian, yang dikondisi oleh upaya demikian, untuk memenuhi kebutuhan individual. Robbins et al. dalam Winardi (2001) merumuskan motivasi sebagai hasil sejumlah proses, yang bersifat internal, atau eksternal bagi seseorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap entusiasme dan persistensi, dalam hal melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu. Selanjutnya dari sumber yang sama disebutkan bahwa konsep motivasi, merupakan sebuah konsep penting dalam studi tentang kinerja kerja individual. Dengan kata lain, motivasi merupakan sebuah determinan penting bagi kinerja individual. Winardi
(2001)
mengatakan
bahwa
teori
motivasi
manusia
pertama
dikembangkan oleh Maslow, yang mengemukakan hal-hal penting tentang perilaku manusia, yaitu: (1) manusia merupakan makhluk yang serba berkeinginan; (2) sebuah kebutuhan yang dipenuhi, bukanlah sebuah motivator perilaku dan (3) kebutuhan manusia diatur dalam suatu seri tingkatan, suatu bilangan hirarki menurut pentingnya masing-masing kebutuhan. Maslow memandang motivasi seseorang individu, sehubungan dengan suatu urutan kebutuhan, yang masing masing memiliki peringkatnya sendiri-sendiri, bukan dalam bentuk daftar rangsangan-rangsangan sederhana, yang tidak terorganisasi. Konsep pemikiran Maslow tentang hirarki kebutuhan manusia dibagi atas: (1) kebutuhan fisiologikal; (2) kebutuhan keamanan; (3) kebutuhan-kebutuhan sosial; (4) kebutuhan penghargaan dan (5) kebutuhan aktualisasi diri. Herbert G. Hicks tahun 1972 dalam Winardi (2001) mengatakan Teori Maslow tentang kebutuhan-kebutuhan manusia harus kita anggap sebagai teori yang memiliki penerapan umum, tetapi bukan yang bersifat khusus. Pada umumnya dapat dikatakan
51 bahwa sewaktu seorang individu meningkat dewasa, maka kreativitas, independensi, otonomi, diskresi dan ekspresi kepribadian semuanya makin penting saja. Akan tetapi mengingat pula bahwa kedewasaan mengandung implikasi adanya suatu tingkat penyesuaian, terhadap kondisi apapun juga yang dihadapkan oleh kehidupan, maka boleh dikatakan bahwa tidak ada orang-orang yang dewasa sempurna, hanya orangorang dalam proses menuju kedewasaan. Winardi (2001) mengatakan kondisi-kondisi demikian terus menerus mengalami perubahan, dan penyesuaian yang terjadi harus berupa sebuah proses yang berkelanjutan. Maka kedewasaan merupakan sebuah konsep dinamik, dan bukan statik, dan pola-pola perilaku idividual tergantung pada tingkat kebutuhan yang akan dipenuhi, pada susunan kepribadian individu yang bersangkutan, dan pada berbagai macam stimuli. Menurut Murry dan Maslow dalam Sahlan Asnawi (2002), needs/ wants adalah suatu disposisi potensial yang harus direspon, atau ditanggapi, atau dipenuhi sesuai dengan sifat, intensitas, dan jenisnya. Apabila needs tersebut belum direspon maka ia selalu potensial untuk selalu muncul sampai dengan terpenuhinya yang dimaksud dengan needs tersebut. Selanjutnya bagi Murry, Maslow dan McClelland, needs dianggap sebagai motive bahkan sebagai motivasi. McClelland mengatakan motive muncul karena munculnya emosi, tanpa adanya unsur emosi, maka needs, motive, atau motivasi sulit untuk muncul kepermukaan. Menurut Teevan dan Smith dalam Sahlan Asnawi (2002), ada dua macam motif dalam diri manusia, yaitu: (1) motif yang tidak dipelajari, atau disebut motif primer; dan (2) motif yang dipelajari melalui pengalaman serta interaksi dengan orang lain atau motif sekunder. Menurut Isnanto Bachtiar Senoadi, motif ini disebut pula sebagai motif sosial, yaitu: (1) motif berprestasi; (2) motif berafiliasi dan (3) motif berkuasa. Menurut McClelland dalam Sahlan Asnawi (2002), motif yang ada dalam diri manusia dipelajari dari lingkungan sosial. Banyak ahli yang berpendapat sama, diantaranya Kolb, Rubin, dan McIntyre, yang menyatakan bahwa pada hakekatnya manusia dalam memuaskan kebutuhannya adalah kebutuhan sosial atau bahwa kerangka kerja McClelland dalam membahas motivasi manusia menitikberatkan pada
52 pemuasan kebutuhan sekunder yang bersifat sosial. Dalam kehidupan sehari-hari, semua orang mempunyai ketiga motif tersebut (berprestasi, berafiliasi, dan berkuasa), hanya saja kekuatan dan intensitasnya tidak sama antara orang satu dengan orang lainnya.
Sikap Menurut Saifudin Azwar (2005), secara historis istilah sikap digunakan pertama kali oleh Spencer tahun 1862 yang diartikan sebagai status mental seseorang. Di masa-masa awal, penggunaan konsep sikap sering dikaitkan dengan konsep mengenai postur fisik atau posisi tubuh seseorang. Pada tahun 1888 Lange menggunakan istilah sikap dalam bidang eksperimen mengenai respon untuk menggambarkan kesiapan subjek dalam menghadapi stimulus yang datang tiba-tiba. Menurut Lange, sikap tidak hanya merupakan aspek mental semata melainkan mencakup pula aspek respon fisik. Berikut ini disampaikan pandangan-pandangan tentang sikap yang dirangkum oleh SaifudinAnwar (2005).
Kerangka Pemikiran Tradisional (1) Menurut Thurstone, Likert, dan Osgood, sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak pada objek tersebut. Thurstone sendiri memformulasikan sikap sebagai derajat afek positif atau afek negatif terhadap suatu objek psikologis. (2) Menurut Chave, Bogardus, LaPierre, Mead, dan Allport, sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Dapat dikatakan bahwa kesiapan yang dimaksudkan merupakan kecenderungan potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respons. LaPierre mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi, untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan.
53 (3) Menurut kelompok yang berorientasi pada skema triadik, sikap merupakan kontelasi komponen-komponen kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu objek. Para ahli yang berada pada kelompok ini adalah Secord dan Backman, yang mendefinisikan sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya.
Kerangka Pemikiran Mutakhir (1) Pendekatan pertama memandang sikap sebagai reaksi afektif, perilaku, dan kognitif terhadap suatu objek (Breckler, Katz dan Stotland, Rajecki). Ketiga komponen tersebut secara bersama mengorganisasi sikap individu. Pendekatan ini pada kerangka pemikiran tradisional disebut dengan skema triadik, sedangkan pada pendekatan mutakhir disebut dengan pendekatan tiga komponen. Katz dan Stotland, serta Smith menganggap bahwa konsepsi respons-respons sikap yang bersifat kognitif, afektif, dan konatif, bukan sekedar cara klasifikasi definisi sikap melainkan suatu telaah yang lebih dalam. (2) Pendekatan kedua timbul karena adanya ketidakpuasan atas penjelasan mengenai inkonsistensi yang terjadi antara kognitif, afektif, dan perilaku dalam bentuk sikap. Oleh karena itu, pengikut pendekatan ini memandang perlu untuk membatasi konsep sikap hanya pada aspek afektif saja. Definisi yang diajukan adalah: sikap tidak lain adalah afek atau penilaian positif atau negatif terhadap suatu objek. Pengikut pemikiran ini diantaranya: Fishbein dan Ajzen, Oskamp, Petty dan Cacioppo. Cacioppo dalam definisinya lebih menekankan aspek evaluatif atau penilaian sebagai karakteristik sikap yang lebih menentukan, Petty dan Cacioppo secara lengkap mengatakan sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, objek, atau isu-isu. (3) Para ahli lain mendefinisikan konstrak kognisi, afeksi, dan konasi sebagai tidak menyatu langsung ke dalam konsepsi mengenai sikap. Pandangan ini disebut tripartite model, yang dikemukakan oleh Rosenberg dan Hovland. Model ini
54 menempatkan ketiga komponen afeksi, kognisi, dan konasi sebagai faktor jenjang pertama dalam suatu model hirarkis. Ketiganya didefenisikan tersendiri dan kemudian dalam abstaksi yang lebih tinggi membentuk konsep sikap sebagai faktor tunggal ke jenjang kedua.
Wirausaha Soesarsono (2002) mengatakan, wirausaha adalah sifat-sifat keberanian, budi luhur, keteladanan yang dimiliki untuk melakukan usaha. Wirausaha mencakup unsur-unsur: (1) daya pikir; (2) keterampilan; (3) sikap mental dan (4) kewaspadaan. Mutu seorang wirausahawan dapat dilihat dari seberapa jauh dia memiliki semangat juang yang tercermin dari kemampuannya menghadapi hal yang tidak jelas atau tidak pasti. Modal dasar seorang wirausahwan dapat berupa: (1) benda fisik, uang atau bukan uang; (2) akal; (3) karsa; (4) semangat; (5) kesempatan; (6) waktu; (7) pendidikan dan (8) pengalaman.
Tujuan Pendidikan Setiap kegiatan pendidikan mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Margono Slamet (1975) mengatakan tujuan yang ingin dicapai adalah merupakan suatu situasi yang lebih baik dari sekarang. Situasi sekarang dan situasi yang lebih baik yang ingin dicapai, seolah-olah menimbulkan suatu perbedaan. Berdasarkan perbedaan inilah dilakukan program untuk memperkecilnya. Penyusunan kurikulum dimaksudkan untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam kurikulum tercantum berbagai pengalaman belajar yang memungkinkan tercapainya situasi yang ingin dicapai. Bloom berhasil menyusun taksonomi tujuan pendidikan, seperti yang disampaikan kembali oleh Soedijanto Padmowihardjo (1999), sebagai berikut: (1) kawasan pengetahuan (terdiri dari: pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi); (2) kawasan psikomotor (terdiri dari: peniruan, penggunaan, ketepatan, perangkaian, dan naturisasi) dan (3) kawasan afektif (pengenalan,
55 pemberian respon, penghargaan terhadap nilai, pengorganisasian, dan pengamalan). Gambar 2 memperlihatkan Tujuan Pendidikan pada Tiga Kawasan
1 Kawasan Pengetahuan Terdiri dari: Pengetahuan Pemahaman Aplikasi Analisis Sintesis Evaluasi
2 Kawasan Psikomotor Terdiri dari: Peniruan Penggunaan Ketepatan Perangkaian Naturisasi
3 Kawasan Afektif Terdiri dari: Pengenalan Pemberian Respon Penghargaan terhadap nilai Pengorganisasian Pengamalan
Tujuan Pendidikan Bloom
Gambar 2. Tujuan Pendidikan pada Tiga Kawasan Sumber: Disarikan dari Soedijanto Padmowihardjo (1999)
Pengalaman Belajar Berikut ini disampaikan hal-hal penting tentang pengalaman belajar, seperti yang diutarakan oleh Margono Slamet (1975): (1) Pengalaman belajar adalah interaksi antara orang yang sedang belajar dengan lingkungannya, sehingga orang tersebut dapat memberikan reaksi kepada lingkungannya. Pengalaman belajar berbeda dengan metode belajar yang berorientasi kepada sasaran yang diajarkan. Pengalaman belajar telah disesuaikan dengan kegiatan yang diajarkannya. Pada pengalaman belajar berlaku konsep stimulus respon, dan respon mutlak diperlukan. (2) Dalam proses pendidikan yang penting bukan hal-hal yang ditujukan kepada orang yang diajar, tetapi kegiatan dari orang yang belajar dalam hal menerima stimulus dan memberi respon. Fungsi penyuluh adalah menciptakan dan membuat suasana belajar, di mana orang-orang yang belajar, diajar untuk menerima stimulus dan memberi respon. Pengalaman belajar dapat terjadi dari: (1) field trip: mendengarkan, melihat demplot, diskusi; (2) melihat film:
56 melihat, berdiskusi, mengambil kesimpulan dari film dan (3) ceramah: aktivitas penceramah, pengikut ceramah berdiskusi. (3) Satu macam pengalaman belajar bisa dicapai untuk lebih dari satu tujuan pendidikan (misalnya melalui proyek percontohan kecil, bisa dicapai tujuan pendidikan psikomotor, kognitif, dan afektif); dan satu macam tujuan pendidikan dapat dicapai melalui beberapa pengalaman belajar (misalnya: kognitif, perubahan perilakunya dapat dicapai melalui kuliah, membaca, pekerjaan rumah). Semakin banyak pengalaman belajar, hasil belajar akan semakin baik. (4) Setelah pemilihan pengalaman belajar, maka pengalaman belajar tersebut perlu diorganisasikan, yaitu: (a) urutannya, harus jelas urutannya dan bukan diberikan sekaligus, misalnya: mula-mula ceramah, demonstrasi, diskusi, kemudian field trip; (b) kontinuitas, apa yang dipelajari sebelumnya akan berguna pada hal yang dipelajari sesudahnya dan (c) integrasi: apa yang dipelajari sebelumnya seyogianya harus memperkuat apa yang dipelajari sebelumnya. Atau apa yang dipelajari berhubungan satu dengan yang lain.
Mutu dalam Penyuluhan Pembangunan Menurut Margono Slamet (2004), penyuluhan pembangunan dilakukan karena ada orang-orang yang memerlukan. Penyuluhan pembangunan adalah industri jasa yang juga memiliki dimensi mutu. Penyuluhan akan bermutu jika dapat memenuhi atau melebihi kebutuhan dan harapan orang-orang yang menerimanya dan yang berhak menilai bermutu atau tidak adalah orang-orang yang menerimanya, ditandai oleh tanggapannya apakah anjuran penyuluhan itu diikuti atau tidak. Kalau orangorang spontan mengikuti anjuran itu artinya penyuluhan itu bermutu. Penyuluhan yang tidak bermutu tidak akan diikuti dan akan ditinggalkan oleh orang-orang yang menjadi sasaran. Penyuluhan harus direncanakan dengan baik dan berhati-hati, bermutu tinggi agar diikuti oleh masyarakat sasaran.
57 Jasa Penyuluhan Pembangunan Menurut Margono Slamet (2004), suatu Lembaga Penyuluhan Pembangunan minimal melayani jasa-jasa sebagai berikut : (1) jasa pelatihan (JP); (2) jasa uji coba lokal (JU); (3) jasa pelayanan masyarakat (JPM); (4) jasa informasi (JI); (5) jasa administrasi (JA) dan (6) jasa kebijakan umum (JKU).
Sifat-sifat Pokok Mutu Jasa Penyuluhan Pembangunan Margono Slamet (2004) menyampaikan bahwa suatu Lembagaan Penyuluhan Pembangunan minimal memiliki sifat-sifat pokok mutu jasa sebagai berikut: (1) reliability (keterpercayaan: jujur, aman, tepat waktu, tersedia, konsisten); (2) assurance (keterjaminan: kompeten, percaya diri, meyakinkan, obyektif, dan adanya alat pendukung); (3) tangibility (penampilan: bersih, sehat, buatan baik, teratur dan rapi, berpakaian rapi dan harmonis, cantik); (4) empathy (pemerhatian: penuh perhatian terhadap pelanggan, melayani dengan ramah dan menarik, memahami keinginan pelanggan, berkomunikasi dengan baik dan benar, bersikap penuh empati dan (5) responsiveness (ketanggapan: tanggap terhadap kebutuhan pelanggan, cepat memberi respons terhadap permintaan pelanggan, cepat memperhatikan dan mengatasi keluhan pelanggan).
Ciri-ciri Mutu Pelayananan Terkait dengan mutu penyuluhan pembangunan, Margono Slamet (2004) menyampaikan ciri-ciri mutu pelayanan, yaitu: (1) ketepatan waktu pelayanan; (2) akurasi pelayanan; (3) kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan; (4) tanggung jawab: tentang mutu jasa/produk, menangani keluhan pelanggan; (5) kelengkapan pelayanan: lingkup pelayanan, ketersediaan sarana, pelayanan komplementer; (6) kemudahan mendapatkan pelayanan; (7) variasi bentuk pelayanan: inovasi pelayanan, penyesuaian dengan kebutuhan/masalah/selera pelanggan; (8) pelayanan pribadi: fleksibel, penanganan khusus; (9) kenyamanan dalam memperoleh pelayanan: berhubungan dengan lokasi/ruangan tempat pelayanan, fasilitas
58 pelayanan, ketersediaan informasi dan petunjuk-petunjuk lain dan (10) atribut pendukung pelayanan: lingkungan, kebersihan, ruang tunggu, A.C dan lain-lain.
Proses Penyuluhan Margono Slamet (2004), menyampaikan 2 (dua) jenis proses penyuluhan, yaitu: (1) proses penyuluhan yang bersifat linier dan (2) proses penyuluhan yang bersifat sirkuler. Proses penyuluhan yang bersifat linier, terdiri dari urutan: masukan, proses, dan keluaran serta implikasinya pada masyarakat. Pada proses penyuluhan yang bersifat sirkuler, lembaga
penyuluhan
pembangunan memberikan jasa penyuluhan pembangunan pada pelanggan primernya (misalnya petani) yang akan berdampak pada pelanggan sekunder (pemerintah) dan pelanggan tersier (masyarakat), selain itu LPP juga dapat menerima masukan dan memberikan informasi langsung dari dan kepada pelanggan sekunder (pemerintah) dan pelanggan tersier (masyarakat).
Tantangan Pelaksanaan MMT di Lembaga Penyuluhan Pembangunan Terkait pelaksanaan manajemen mutu terpadu di Lembaga Penyuluhan Pembangunan (LPP), Margono Slamet (2004) menyampaikan beberapa tantangan yang dihadapi saat ini oleh LPP, yaitu: (1) LPP dituntut lebih bermutu; (2) MMT menjanjikan mutu; (3) tantangan/situasi pembangunan: kebutuhan SDM bermutu; (4) kebutuhan IPTEK, yang mendukung pembangunan; (5) globalisasi: mampu bersaing; dan (6) tuntutan batiniah seluruh warga negara. Selanjutnya, untuk memperbaiki mutu, diperlukan: (1) komitmen; (2) koordinasi dan (3) kompetensi, dikenal dengan istilah 3K. Kemudian dikenal juga paradigma pengembangan mutu LPP, terdiri dari: (1) SDM; (2)sarana prasarana; (3) pengembangan institusi; (4) proses kerja; (5) suasana kondusif dan (6) mutu.
59
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Mengubah Pola Perilaku Nelayan Untuk menjadi nelayan yang memiliki sumber daya manusia yang bermutu, maka pola perilaku nelayan harus mengalami perubahan yang mendasar, yaitu: (1) Dari tidak sadar mutu menjadi sadar akan pentingnya mutu dalam aspek kehidupan. (2) Dari tidak tahu, tidak mau, dan tidak mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan; menjadi tahu, mau dan mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan. (3) Dari tidak atau kurang memiliki kompetensi yang dibutuhkan menjadi memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan usahanya agar dapat melayani para pelanggan dengan baik. (4) Dari yang tidak tahu, tidak mau dan tidak mampu melakukan perbaikan terus menerus dalam bekerja; menjadi tahu, mau dan mampu, melakukan perbaikan terus menerus dalam usahanya agar dapat memenuhi kebutuhan dan harapan para pelanggannya secara mandiri.
Area Kerja Pengembangan Mutu SDM Nelayan Prabowo Tjitropranoto (2005) menggambarkan area kerja penyuluhan yang disebut sebagai area inovasi sosial. Area ini terletak pada diri klien (pada kasus ini, nelayan). Area digambarkan dengan tiga lapis lingkaran, yaitu: (1) lapisan lingkaran terluar merupakan kawasan pengetahuan, keterampilan, dan persepsi; (2) lapisan lingkaran tengah merupakan kawasan sikap dan (3) lapisan lingkaran terdalam adalah kawasan kepribadian (semangat, percaya diri, kemauan, ulet, mandiri, kompeten, berpikir positif, kreatif, rasional). Melalui kegiatan penyuluhan dilakukan inovasi sosial pada kawasan ini. Tujuannya adalah terjadinya perubahan perilaku klien, sesuai yang diharapkan. Pada Gambar 3 disampaikan konsep inovasi sosial yang merupakan pemikiran Prabowo Tjitropranoto (2005).
60
PENYULUHAN SEBAGAI INOVASI SOSIAL
PENGETAHUAN KETERAMPILAN PERSEPSI SIKAP
K
KEPRIBADIAN ● Semangat ● Percaya Diri ● Kemauan ● Ulet ● Mandiri ● Kompeten ● Berpikir Positif ● Kreatif ● Rasional
LINGKUNGAN BUDAYA TRADISI
Gambar 3. Konsep Inovasi Sosial Sumber: Prabowo Tjitropranoto (2005)
Pada Gambar 3 terlihat penyuluhan sebagai inovasi sosial merupakan kegiatan yang berasal dari luar diri klien yang berfungsi mengembangkan potensi yang ada pada diri klien. Penyuluhan berfungsi membantu terjadinya perubahan perilaku pada diri klien agar ia dapat menolong dirinya sendiri.
Pelanggan-pelanggan Nelayan dan Kebutuhannya Untuk memenuhi kebutuhan para pelanggannya, nelayan wajib mengetahui para pelanggannya dan kebutuhannya. Profil pelanggan nelayan dibagi atas: (1) Pelanggan internal, yaitu nelayan dan keluarganya. (2) Pelanggan eksternal, yaitu orang-orang atau pihak-pihak di luar diri nelayan dan keluarganya, terdiri dari: (1) pelanggan eksternal primer: masyarakat (rumah tangga) untuk konsumsi langsung, pedagang makanan matang, pengusaha industri
61 perikanan, pengumpul hasil perikanan; (2) pelanggan eksternal sekunder: pemerintah dan (3) pelanggan eksternal tersier: negara. Berdasarkan tinjauan pustaka dan studi pendahuluan, pada Tabel 3 disampaikan hasil kajian analitik pelanggan internal nelayan dan kebutuhannya. Tabel 3. Pelanggan Internal Nelayan dan Kebutuhannnya Jenis Pelanggan Internal Individu Nelayan (diri sendiri) dan Keluarga
Jenis Kebutuhan Produk Barang/Jasa/Lainnya Kebutuhan hidup nelayan dan keluarga
Uraian
Finansial (1) Fisik (2) Non fisik
Non Finansial
Untuk pemenuhan kebutuhan: pangan yang cukup dan bergizi, sandang yang layak, tempat tinggal yang memenuhi syarat Pemenuhan kebutuhan keuangan untuk pembayaran: listrik, air, pendidikan, kesehatan, rekreasi, transportasi, komunikasi, tabungan untuk kebutuhan mendadak, dan jaminan hari tua Uraian Rasa aman, hubungan sosial, penghargaan, aktualisasi diri
Kebutuhan Nelayan dalam Profesi Informasi/finansial/alat/kebijakan
Uraian
(1) Manajemen
Produksi, pemasaran, keuangan
(2) Pasar
(6) Kelembagaan
Pemasaran dan jalur distribusi: lokal, nasional, ekspor Pemenuhan kebutuhan: pembelian peralatan kerja, meningkatkan usaha perikanan Peningkatan kompetensi: di mana memperoleh tambahan pendidikan kenelayanan, siapa yang harus dicari, materi-materi terkini tentang kenelayanan Teknologi tepat guna untuk: penangkapan, penanganan, dan pengolahan hasil tangkapan Pengembangan kelompok dan organisasi nelayan
(7) Usaha
Berbagai diversifikasi usaha perikanan
(8) Peraturan / kebijakan
Berbagai peraturan perundang-undangan
(3) Modal kerja/lembaga keuangan (4) Pengembangan SDM nelayan
(5) Teknologi
62 Tabel 3 memperlihatkan bahwa pelanggan internal nelayan adalah dirinya dan keluarga. Kebutuhan pelanggan internal beragam, dan berdasarkan jenis pelanggan dibagi atas: (1) kebutuhan nelayan (pribadi dan profesi) dan (2) kebutuhan keluarga. Pada Tabel 4 disampaikan hasil kajian analitik pelanggan eksternal nelayan dan kebutuhannya. Tabel 4. Pelanggan Eksternal Nelayan dan Kebutuhannnya Jenis Pelanggan Eksternal Primer (konsumen) Masyarakat untuk konsumsi rumah tangga.
Pedagang makanan matang sea food untuk dimasak dan dijual Para pengusaha industri perikanan untuk diolah dan dijual dalam bentuk yang telah diawetkan, skala lokal dan ekspor. Para pengumpul hasil perikanan sebagai agen, distributor pemasok restoran, supermarket, skala lokal dan ekspor. Sekunder
Jenis Kebutuhan Produk Barang/Jasa/Lainnya
Uraian
(1) Barang: produk perikanan (2) Jasa: layanan dalam penjualan
Barang: Produk yang aman, keanekaragaman produk, jumlah produk Jasa/suasana ketersediaan barang, kejujuran, harga terjangkau, layanan cepat, tempat jual beli yang tetap, mudah dicapai, aman dan menyenangkan
(1) Barang: produk perikanan (2) Jasa: layanan dalam penjualan
Barang Produk yang aman, keanekaragaman produk, jumlah produk Jasa/suasana ketersediaan barang, kejujuran, harga bersaing, cepat, tempat jual beli yang tetap, mudah dicapai, aman dan memadai
(1) Produksi
Kestabilan stok ikan dan pemenuhan kebutuhan produk perikanan. Kelancaran setoran pajak pendapatan yang berasal dari sektor perikanan dan kelautan, sebagai dukungan penyelenggaraan pembangunan daerah dan pembangunan nasional.
Pemerintah
(2) Finansial
Tersier Negara
(1) Kesejahteraan bangsa
Kesehatan masyarakat melalui pemenuhan makanan bergizi (hasil laut Indonesia). Nelayan yang sejahera sebagai bagian dari bangsa Indonesia
63 Berdasarkan Tabel 4, pelanggan eksternal nelayan terdiri dari: (1) pelanggan eksternal primer: para konsumen; (2) pelanggan eksternal sekunder: pemerintah dan (3) pelanggan eksternal tersier: negara. Untuk mendapat imbalan layak, nelayan harus mampu berusaha memenuhi kebutuhan para pelanggan ekternal primernya, atau konsumennya. Caranya dengan menyediakan produk yang menyamai atau melebihi kebutuhan atau harapan konsumen. Kesejahteraan nelayan dan keluarga sangat tergantung dari kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan atau harapan para konsumennya, dengan didukung faktor-faktor lingkungan.
Paradigma Pola Perilaku Nelayan Bermutu Berdasarkan tinjauan pustaka dan hasil studi pendahuluan, pada Tabel 5 disampaikan perbandingan paradigma perilaku nelayan bermutu (maju) dan kondisi objektif nelayan. (1) Aspek-aspek arah pergeseran paradigma menuju nelayan bermutu meliputi: (1) sikap terhadap pelanggan; (2) wawasan usaha; (3) kemampuan jaringan usaha; (4) komitmen terhadap sumber daya; (5) komitmen terhadap lingkungan; komitmen terhadap etika usaha; tujuan usaha; (6) pengembangan usaha dan (7) kepribadian. (2) Nelayan bermutu merupakan kondisi masa depan yang diharapkan terjadi pada diri nelayan, dan menggambarkan mutu SDM nelayan yang diharapkan. (3) Kondisi objektif nelayan memperlihatkan nelayan memerlukan berbagai perubahan dalam hidupnya. Tabel 5 memperbandingkan kondisi nelayan yang bermutu, dengan kondisi objektif yang terjadi terjadi saat ini. Proses ini disebut sebagai arah pergeseran paradigma menuju nelayan bermutu.
64 Tabel 5. Arah Pergesaran Paradigma Menuju Nelayan Bermutu Nelayan Bermutu
Kondisi Objektif Nelayan
(1) Sikap terhadap pelanggan
Aspek-aspek
(1) Mengetahui dan peduli pada perkembangan kebutuhan dan harapan pelanggan (eksternal dan internal) (2) Dapat memenuhi kebutuhan jenis dan jumlah ikan sesuai kebutuhan konsumen (3) Melayani konsumen dengan cepat, tepat, dan efisien (4) Selalu memperbaiki cara kerja
(1) Tidak terlalu peduli pekembangan harapan dan kebutuhan pelanggan (eksternal dan internal) (2) Jenis ikan sesuai hasil tangkapan (3) Jumlah ikan sesuai hasil tangkapan (4) Cara kerja tradisional (5) Kurang memperhatikan efisiensi kerja, dan memiliki cara kerja yang tetap
(2) Wawasan usaha
(1) Pengetahuan diperoleh secara turun (1) Memiliki sikap mau mencari temurun, berdasarkan pengalaman, pengetahuan baru tentang merupakan warisan keluarga kenelayanan. (2) Tidak mau atau sukar mengubah (2) Memiliki sikap terbuka dan mau cara kerja, pola kerja yang telah menyesuaikan diri dengan cara kerja berlaku turun temurun baru yang lebih sesuai dan sehingga (3) Terbatasnya pengetahuan nilai tidak tergantung musim ekonomis berbagai jenis sumber (3) Tahu nilai ekonomis berbagai jenis daya perikanan sumber daya perikanan (4) Tidak atau kurang mengetahui (4) Mengetahui peraturan-peraturan peraturan terkait dengan terkait dengan kenelayanan dan kenelayanan dan perikanan perikanan (5) Tidak peduli pada peraturan(5) Memiliki sikap setuju atau tidak peraturan terkait dengan setuju pada peraturan-peraturan kenelayanan dan perikanan terkait dengan kenelayanan dan (6) Pasrah pada ikatan patron-klien perikanan sebagai institusi jaminan sosial (6) Menyetujui hadirnya institusi baru, ekonomi, sangat tergantung pada yang mampu menjamin kepentingan patronnya sosial ekonomi, nelayan dapat ikut menentukan peran sosial ekonominya (7) Kurang modal, padat karya (8) Usaha pada penangkapan saja (7) Padat modal (9) Tidak mampu/lambat menyesuaikan (8) Adanya diversifikasi usaha diri atas perubahan lingkungan (9) Mampu menyesuaikan diri dengan yang cepat cepat atas perubahan lingkungan (10) Rentan secara ekonomi, usaha yang sangat cepat pendapatan harian, tidak (10)Ekonomi kuat, memiliki kemampuan menabung, kurang mampu mencari menabung dan sanggup mencari modal usaha modal usaha (11) Kurang mampu memperbaiki atau (11) Selalu mampu segera memperbaiki mengganti peralatan yang rusak atau mengganti peralatan yang usang
(3) Kemampuan jaringan usaha
(1) Aktifnya kelompok/ organisasi nelayan yang berorientasi jangka panjang (2) Kelompok/ organisasi nelayan mampu memberikan masukan sampai level kebijakan dan terwakilkan secara politik
(1) Kelompok/ organisasi cenderung pasif (2) Kelompok/ organisasi nelayan tidak mampu memberikan masukan sampai level kebijakan dan tidak dapat mewakili nelayan secara politik
65 Tabel 5 ( lanjutan) Aspek-aspek
(4) Komitmen terhadap sumber daya (5) Komitmen terhadap lingkungan (6) Komitmen terhadap etika usaha
(7) Tujuan usaha
(8) Pengembangan usaha
(9) Kepribadian
Nelayan Bermutu
Kondisi Objektif Nelayan
(3) Jaringan usaha luas untuk pemenuhan pasar pada berbagai skala, dari lokal hingga ekspor (4) Memiliki pembeli tetap, pembeli baru, dan bersifat jangka panjang (1) Mengetahui dan menjaga kondisi stok dan keberlanjutan sumber daya perikanan (1) Menjaga kelestarian lingkungan menggunakan peralatan ramah lingkungan (1) Memperbaharui kompetensi yang dibutuhkan (2) Produk aman, ada upaya agar tetap segar, dan tidak mudah rusak (3) Penggunaan bahan pengawet ikan yang aman bagi kesehatan
(3) Jaringan usaha terbatas, disalurkan untuk kebutuhan konsumsi masyarakat setempat dan bersifat lokal (4) Pembeli adalah pemodal (1) Kurang pengetahuan, dan pasrah terhadap kondisi stok sumber daya perikanan yang makin berkurang (1) Masih ada praktek-praktek mencari ikan dengan merusak lingkungan
(1) Hasil tangkapan untuk pemenuhan kebutuhan konsumen, berorientasi pasar, dari pasar lokal hingga pasar eksport (2) Hasil usaha untuk kesejahteraan hidup keluarga nelayan secara berkelanjutan (3) Jangka panjang dan berkelanjutan (1) Bekerja tidak tergantung pada okupasi melaut (2) Menggunakan teknologi tepat guna yang sesuai dengan zamannya. (3) Lokasi tangkapan luas, dari pesisir hingga laut lepas (4) Skala usaha bervariasi (kecil sampai besar) (1) Percaya diri atas kesuksesannya (2) Kemauan keras menjadi nelayan maju (3) Ulet memperjuangkan masa depan (4) Mandiri dalam memenuhi kebutuhan pelanggan-pelanggannya (5) Kompeten dalam bekerja (6) Berpikir positif (7) Kreatif, mau dan mampu melakukan berbagai perubahan dalam bekerja (8) Motivasi intrinsik untuk maju tinggi
(1) Tidak mempedulikan kompetensi (2) Kurang memperhatikan mutu produk, bisa kurang aman, kurang segar, dan mudah rusak, (3) Tidak mempertimbangkan penggunaan keamanan bahan pengawet bagi kesehatan (1) Hasil tangkapan prioritas pada kebutuhan hidup sendiri dan keluarga, atau pasar skala lokal, belum orientasi ekspor (2) Hasil usaha hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (3) Jangka pendek (1) Ketergantungan tinggi terhadap okupasi melaut (2) Teknologi tradiosional, peralatan sederhana dan turun temurun (3) Lokasi tangkapan terbatas, di daerah pesisir, tumpang tindih dengan kegiatan budidaya (4) Skala usaha kecil (1) Rendah diri (2) Pasrah pada kondisi yang ada (3) Masa depan tidak mampu digambarkan (4) Kebutuhan konsumen tergantung pada pengusaha non nelayan (pengusaha perikanan) (5) Cara kerja sesuai dengan kebiasaan (6) Pesimis (7) Bekerja sesuai kebiasaan, pola kerja tidak berubah (8) Motivasi intrinsik rendah
66 Nelayan bermutu digambarkan dengan kondisi nelayan yang dinamis, percaya diri, dan tanggap terhadap perubahan, dapat dilihat dari aspek-aspek: (1) sikap terhadap pelanggan: (2) wawasan usaha; (3) kemampuan jaringan usaha; (4) komitmen terhadap sumber daya; (5) komitmen terhadap lingkungan; (6) komitmen terhadap etika usaha; (7) tujuan usaha; (8) pengembangan usaha dan (9) kepribadian. Kondisi objektif memperlihatkan bahwa nelayan belum berada pada kondisi mutu SDM yang baik. Nelayan masih melihat konsumen pada lingkup yang sangat sederhaha. Konsumen seakan-akan tidak berkembang, baik keinginan konsumen, dan skala konsumen, maupun lokasi konsumen. Nelayan tradisional cenderung melayani konsumen yang sama dari waktu ke waktu, dan di lokasi yang sama. Cara berusahanya juga tidak berkembang, baik dari penggunaan armada, alat tangkap, teknologi tangkap, maupun dari wawasa usaha. Cara berusaha yang masih jauh tertinggal dibandingkan dengan yang dilakukan nelayan-nelayan maju. Hal ini memberikan kenyataan kondisi usaha nelayan yang memprihatinkan dan diperkirakan berdampak secara langsung pada kehidupan nelayan yang jauh dari sejahtera. Nelayan yang maju dicirikan dengan: (1) memiliki sikap peduli pada peluangpeluang pasar yang ada, sebagai konsekuensinya ia akan merespon peluang-peluang tersebut; (2) selalu memperluas wawasan usaha; (3) memiliki jaringan usaha yang luas untuk memfasilitasi berbagai kepentingan nelayan, tidak hanya dalam hal pemanfaata teknologi tangkap dan pemasaran produk, namun juga jaringan yang dapat menyentuh level kebijakan, sehingga tercipta kepedulian negara pada usaha dan kesejahteraan nelayan; (4) komitmen terhadap kelestarian sumber daya perikanan tinggi, dan menjaga lingkungan agar tetap lestari, ditandai dengan tidak melakukan tangkap lebih, tidak menangkap dengan cara-cara merusak lingkungan laut, dan tidak mengambil terumbu karang untuk diperjual belikan; (5) memiliki tujuan usaha yang jelas, dan bersifat jangka panjang; (6) selalu mengembangkan usahanya dan (7) mampu bekerja keras untuk mecapai tujuan-tujuan hidup dan tujuan usahanya.
67 Kualitas Perilaku Ideal Nelayan Berdasarkan Jenis Pelanggannya Berdasarkan hasil kajian pustaka dan studi pendahuluan, berikut disampaikan tujuan pendidikan terkait dengan kualitas perilaku ideal nelayan yang diharapkan. Tabel 6. Kualitas Perilaku Ideal Nelayan Berdasarkan Jenis Pelanggannya Kualitas Perilaku Ideal Nelayan Kawasan Kognitif
Kemampuan Pelanggan Internal
Kemampuan Pelanggan Eksternal
(1) Pengetahuan
(1) Mengidentifikasi pelanggan Internal (diri dan keluarga) (2) Mengidentifikasi maksud perolehan pendapatan (3) Mengidentifikasi kebutuhan individu dan keluarga (4) Mengidentifikasi kebutuhan individu/ profesi
(1) Mengidentifikasi para pelanggan eksternal (konsumen) (2) Mengidentifikasi pengetahuan tentang kenelayanan baik yang diperoleh secara turun temurun atau yang dipelajari karena kebutuhan (3) Mengidentifikasi informasi yang dibutuhkan (4) Mengidentifikasi potensi sumber daya perikanan (5) Menyebutkan berbagai peralatan dan teknologi yang digunakan (6) Mendeskripsikan skala usaha (7) Mendeskripsikan kelompok/organisasi nelayan (8) Mendeskripsikan pasar dan peluang-peluang usaha (9) Menyebutkan peraturan-peraturan terkait dengan kenelayanan (10) Mendeskripsikan perihal kelestarian lingkungan
(2) Pemahaman
(1) Menerangkan kebutuhan diri dan keluarga (kebutuhan hidup) (2) Menerangkan cara memperoleh pendapatan (3) Menerangkan cara memenuhi kebutuhan individu dan keluarga (4) Menerangkan cara memenuhi kebutuhan individu/profesi
(1) Menerangkan kebutuhan konsumen (2) Menerangkan fungsi pengetahuan baru tentang kenelayanan baik yang diperoleh secara turun temurun atau yang dipelajari karena dibutuhkan (3) Menerangkan manfaat informasi yang diperlukan (4) Menerangkan manfaat sumber daya perikanan bagi kehidupan manusia (5) Menerangkan fungsi berbagai peralatan dan teknologi yang digunakan (6) Menerangkan berbagai skala usaha (7) Menerangkan manfaat kelompok/ organisasi nelayan (8) Menerangkan manfaat mengetahui pasar/ peluang usaha (9) Menerangkan fungsi peraturan-peraturan yang terkait dengan kenelayanan (10) Menerangkan manfaat kelestarian lingkungan
(3) Aplikasi
(1) Menemukan cara memenuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarga (2) Menghasilkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan individu dan keluarga (3) Menemukan cara memenuhi kebutuhan individu dan keluarga (4) Menemukan cara memenuhi kebutuhan individu dan keluarga
(1) Menyiapkan kebutuhan konsumen (2) Menyiapkan pengetahuan yang dibutuhkan (3) Menyiapkan informasi sesuai kebutuhan (4) Menyiapkan sumber daya perikanan sesuai kebutuhan pasar (5) Menyiapkan peralatan dan teknologi yang digunakan (6) Memilih skala usaha yang sesuai (7) Menyiapkan kelompok/ organisasi nelayan (8) Menyiapkan pasar dan peluang usaha (9) Mantaati/ tidak mentaati peraturan-peraturan yang terkait dengan kenelayanan (10) Menyiapkan upaya menjaga kelestarian lingkungan
68 Tabel 6 (Lanjutan) Kualitas Perilaku Ideal Nelayan Kawasan Kognitif
Kemampuan Pelanggan Internal
Kemampuan Pelanggan Eksternal
(4) Analisis
(1) Membedakan berbagai kebutuhan diri dan keluarga (2) Memilih prioritas a lokasi pendapatan untuk pemenuhan kebutuhan (3) Membedakan jenis kebutuhan Individu dan keluarga (4) Membedakan berbagai jenis kebutuhan individu/ profesi
(1) Membedakan berbagai kebutuhan konsumen (2) Membedakan berbagai manfaat pengetahuan (3) Memilih berbagai informasi sesuai kebutuhan (4) Memilih sumber daya perikanan bernilai ekonomis (5) Membedakan dan memilih berbagai peralatan dan teknologi yang akan digunakan (6) Membedakan berbagai skala usaha (7) Memilih tujuan kelompok/organisasi nelayan (8) Memilih pasar dan peluang usaha (9) Merinci peraturan-peraturan yang mendukung atau tidak mendukung profesi nelayan (10) Merinci kondisi kelestarian lingkungan saat ini
(5) Sintesis
(1) Membuat rencana pemenuhan kebutuhan diri dan keluarga (2) Membuat rencana perolehan pendapatan (3) Membuat rencana pemenuhan kebutuhan individu dan keluarga (4) Membuat rencana pemenuhan kebutuhan individu/ profesi
(1) Membuat rencana pemenuhan kebutuhan konsumen (2) Mengkategorisasi pengetahuan kenelayanan, baik yang diperoleh secara turun temurun atau yang dipelajari (3) Membuat rencana penggunaan informasi (4) Membuat rencana pemasaran hasil tangkapan (5) Memodifikasi berbagai peralatan dan teknologi sesuai kebutuhan (6) Membuat rencana usaha nelayan sesuai kebutuhan (7) Menjelaskan kelompok/ organisasi nelayan sesuai kebutuhan (8) Membuat rencana memasuki pasar peluang usaha (9) Menjelaskan peraturan kenelayanan yang dibutuhkan (10) Menjelaskan hal-hal yang merusak kelestarian lingkungan dan bagaimana mengatasinya
(6) Evaluasi
(1) Menilai apakah kebutuhan diri dan keluarga dapat dipenuhi? (2) Menilai apakah pendapatan cukup? (3) Menilai apakah pemenuhan kebutuhan individu dan keluarga dapat dipenuhi? (4) Menilai apakah pemenuhan kebutuhan individu/profesi dapat dipenuhi?
(1) Menilai apakah kebutuhan konsumen dapat dipenuhi secara mandiri? (2) Menilai apakah pengetahuan kenelayanan yang dimiliki telah memadai? (3) Menilai apakah informasi yang diperoleh telah memadai? (4) Menilai apakah hasil produksinya telah memenuhi kebutuhan para pelanggan? (5) Menilai apakah berbagai peralatan dan teknologi dapat dimanfaatkan dan beroperasi sesuai kebutuhan? (6) Menilai apakah usaha yang ada telah memadai? (7) Menilai apakah kelompok/ organisasi nelayan dapat mencapai tujuan? (8) Menilai apakah pasar dan peluang usaha telah dapat dimasuki? (9) Menilai apakah peraturan-peraturan terkait dengan kenelayanan cukup mendukung kepentingan nelayan untuk mengubah kehidupannya untuk menjadi nelayan yang bermutu? (10) Menilai apakah dirinya telah ikut menjaga kelestarian lingkungan?
69 Tabel 6 (Lanjutan) Kualitas Perilaku Ideal Nelayan Kawasan Afektif
Kemampuan Pelanggan Internal
Kemampuan Pelanggan Eksternal
(1) Pengenalan
(1) Peduli pada dirinya dan keluarga (2) Sadar bahwa perolehan pendapatan dari pekerjaan sebagai nelayan adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarga (3) Peduli pada kebutuhan individu dan keluarga (4) Peduli pada kebutuhan individu dalam berprofesi
(1) Peduli pada para konsumennya (2) Sadar pentingnya pengetahuan tentang kenelayanan (3) Ingin mencari informasi yang dibutuhkan (4) Ingin memanfaatkan potensi sumber daya perikanan secara ekonomis (5) Sadar bahwa dibutuhkan berbagai peralatan dan teknologi untuk memenuhi kebutuhan pelanggan (6) Sadar bahwa perlu menentukan usaha kenelayanan dan skala usahannya (7) Sadar perlunya kelompok/ organisasi nelayan (8) Sadar perlu mengenal pasar dan peluang (9) Sadar bahwa ada peraturan-peraturan yang terkait dengan kenelayanan (10) Sadar akan pentingnya kelestarian lingkungan
(2) Pemberian respon
(1) Aktif bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup (2) Aktif mengatur perolehan pendapatan dari pekerjaan sebagai nelayan benar-benar untuk memenuhi kebutuhan pelanggan internalnya (dirinya dan keluarganya) (3) Aktif memenuhi kebutuhan individu dan keluarga (4) Aktif memenuhi kebutuhan individu/ profesi
(1) Aktif bekerja memenuhi kebutuhan konsumen (2) Aktif mengembangkan diri dan mencari pengetahuan tentang kenelayanan (3) Aktif mencari informasi yang dibutuhkan (4) Berpartisipasi memanfaatkan potensi sumber daya perikanan secara ekonomis (5) Aktif melengkapi diri dengan berbagai peralatan dan teknologi (6) Aktif dalam melakukan usaha kenelayaan (7) Aktif sebagai anggota/pengurus kelompok/orgnisasi nelayan (8) Aktif mencari pasar, peluang serta mempertahankan pasar yang telah dimiliki (9) Aktif berdiskusi dengan sesama nelayan tentang peraturan-peraturan yang terkait dengan kenelayanan (10) Berpartisipasi dalam menjaga kelestarian lingkungan
(3) Penghargaan terhadap nilai
(1) Menerima konsekuensi kehidupan bahwa ia bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya (2) Memiliki komitmen bahwa perolehan pendapatan dari pekerjaan sebagai nelayan akan dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan dirinya dan keluarganya (pelanggan internalnya) (3) Memiliki komitmen untuk selalu berupaya memenuhi kebutuhan individu dan keluarga (4) Memiliki komitmen untuk selalu berupaya memenuhi kebutuhan individu/profesi
(1) Memegang teguh prinsip ingin memenuhi kebutuhan dan harapan konsumen secara mandiri (2) Menerima konsekuensi atas keinginan menjadi nelayan yang bermutu, dengan selalu mau meningkatkan pengetahuan tentang kenelayanan (3) Menerima konsekuensi atas keinginan menjadi nelayan yang bermutu dengan selalu mencari informasi yang dibutuhkan (4) Menerima konsekuensi atas keinginan menjadi nelayan bermutu dengan selalu mempelajari potensi sumber daya perikanan (5) Menerima konsekuensi atas keinginan menjadi nelayan bermutu dengan selalu mau mengikuti perkembangan berbagai peralatan dan teknologi terbaru (6) Menerima konsekuensi menjalankan usaha kenelayanan dengan serius (7) Menerima konsekuensi membentuk kelompok nelayan dan aktif sebagai anggota/pengurus kelompok/ organisasi nelayan tersebut (8) Menerima konsekuensi untuk selalu aktif mencari, mempertahankan pasar dan peluang (9) Menerima konsekuensi peraturan-peraturan terkait kenelayanan yang mendukung dan ada yang tidak mendukung upaya menjadi nelayan bermutu
70 Tabel 6 (Lanjutan) Kualitas Perilaku Ideal Nelayan Kawasan Afektif
Kemampuan Pelanggan Internal
Kemampuan Pelanggan Eksternal (10) Memegang teguh prinsip menjaga kelestarian lingkungan
(4) Pengorganisasian
(1) Menghubungkan tujuan berprofesi sebagai nelayan dengan komitmen tinggi memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya. (2) Menghubungkan perolehan pendapatan dari profesi sebagai nelayan dengan komitmen untuk di alokasikan bagi pemenuhan kebutuhan dirinya dan keluarganya (3) Menghubungkan tingkat terpenuhinya kebutuhan individu dan keluarga dengan tanggung jawab mencapai kesejahteraan hidup (4) Menghubungkan tingkat terpenuhinya kebutuhan individu/profesi dengan tanggung jawab meningkatkan kemampuan diri
(1) Menghubungkan profesi sebagai nelayan dengan komitmen terhadap mutu, berupaya memenuhi kebutuhan dan harapan para konsumen secara mandiri (2) Menghubungkan pengetahuan tentang kenelayanan dengan komitmen terhadap mutu (3) Menghubungkan informasi yang diperoleh dengan komitmen terhadap mutu (4) Menghubungkan kemampuan mendapatkan sumber daya perikanan dengan kebutuhan pelanggan (5) Menghubungkan berbagai peralatan dan teknologi terbaru untuk dimanfaatkan bagi pepenuhan kebutuhan pelanggan (6) Menghubungkan jenis dan skala usaha dengan kebutuhan pelanggan (7) Menghubungkan kelompok/organisasi nelayan dengan kebutuhan pelanggan (8) Menghubungkan kemampuan memasuki pasar dan peluang usaha dengan kebutuhan pelanggan (9) Menghubungkan peraturan-peraturan terkait dengan kenelayanan, yang mendukung dan yang tidak mendukung upaya menjadi nelayan bermutu (10) Menghubungkan prinsip menjaga kelestarian lingkungan dengan komitmen menjadi nelayan bermutu
(5) Pengamalan
(1) Pola hidup bermutu, selalu berupaya memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya secara mandiri (2) Pola hidup yang yang konsekuen, di mana perolehan pendapatan dari pekerjaan sebagai nelayan akan dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya
(1) Menerapkan pola hidup sebagai nelayan bermutu, berupaya selalu memenuhi kebutuhan dan harapan konsumen secara mandiri (2) Memiliki rasa ingin tahu, selalu mencari dan mengembangkan pengetahuan tentang kenelayanan (3) Dinamis dan haus informasi (4) Menyesuaikan sumber daya perikanan dengan kebutuhan pelanggan (5) Selalu mencari informasi teknologi terbaru (6) Efektif dan efisien dalam mengelola usaha (7) Memiliki kelompok/organisasi nelayan yang efektif (8) Memiliki pelanggan yang loyal, tepat memilih pasar (9) Selalu mempelajari peraturan terkait dengan kenelayanan sehingga mengetahui peraturan yang mendukung dan yang tidak mendukung upaya menjadi nelayan bermutu (10) Menjaga kelestarian lingkungan sebagai bagian dari pola hidup nelayan bermutu
71 Tabel 6 (Lanjutan) Kualitas Perilaku Ideal Nelayan Kawasan Psikomotor
Kemampuan Pelanggan Internal
Kemampuan Pelanggan Eksternal
(1) Peniruan
(1) Meniru cara-cara nelayan maju memenuhi kebutuhan hidup bagi diri nya dan keluarga (2) Meniru cara nelayan maju mengelola pendapatannya (3) Meniru cara nelayan maju mengatur pemenuhian kebutuhan hidup dirinya dan keluarga (4) Meniru cara nelayan maju memenuhi kebutuhan individu/ profesi
(1) Meniru cara-cara nelayan maju memenuhi kebutuhan para pasar/ konsumennya (2) Mengikuti pengetahuan yang dimiliki nelayan maju (3) Mengikuti apa-apa yang didapatkan dari informasi terkait dengan usaha kenelayanan yang maju (4) Meniru cara-cara nelayan maju mendapatkan sumber daya perikanan yang sesuai kebutuhan pasar (5) Meniru cara penggunaan berbagai peralatan dan teknologi tepat guna terkini sesuai kebutuhan (6) Meniru usaha-usaha nelayan yang maju dan berhasil (7) Meniru cara-cara moderen membangun dan mengelola kelompok/organisasi nelayan dengan prinsip benchmarking (8) Meniru cara-cara moderen dalam memenangkan pasar dan peluang-peluang usaha (9) Mengikuti hanya peraturan yang mendukung peningkatan kesejahteraan nelayan pesisir (10) Meniru berbagai teknik yag direkomendasikan untuk menjaga kelestarian lingkungan
(2) Penggunaan
(1) Menggunakan cara-cara moderen menangani kebutuhan hidup diri sendiri dan keluarga (2) Menggunakan cara-cara moderen mengelola pendapatan (3) Menggunakan cara-cara moderen memenuhi kebutuhan hidup (4) Menggunakan cara-cara moderen memenuhi kebutuhan diri terkait dengan profesi
(3) Ketepatan
(1) Melakukan pemenuhan kebutuhan hidup diri dan keluarga dengan cara yang tepat (2) Mengelola perolehan pendapatan dengan cara yang tepat (3) Memenuhi kebutuhan individu dan keluarga dengan cara yang tepat (4) Memenuhi kebutuhan individu /profesi dengan cara yang tepat
(1) Menggunakan cara-cara nelayan maju dalam memenuhi kebutuhan konsumen, seperti: cepat, tepat, urut, efektif, efisien, bekerja secara optimal, aman dan terjamin, sinergi, gotong royong, koordinatif, melayani pelanggan dengan profesional. (2) Menggunakan informasi terkini (3) Menggunakan sumber daya perikanan secara tepat (4) Menggunakan teknologi tepat guna yang murah (5) Menggunakan prinsip kerjasama dalam mengelola usaha (6) Menggunakan kelompok/organisasi dengan cara-cara moderen sebagai alat mencapai tujuan bersama (7) Menggunakan cara-cara profesional dan moderen dalam memenangkan pasar dan meraih peluang usaha (8) Mengopimalkan penerapan peraturan yang mendukung peningkatan kesejahteraan nelayan pesisir (9) Menggunakan prinsip keberlanjutan dan kelestarian lingkungan hidup dalam mengelola sumber daya alam (1) Melakukan pemenuhan kebutuhan konsumen dengan cara yang tepat (2) Tepat menggunakan pengetahuan kenelayanan (3) Tepat cara menggunakan informasi (4) Tepat memanfaatkan potensi sumber daya perikanan (5) Tepat cara menggunakan peralatan dan teknologi (6) Tepat cara menjalankan usaha (7) Tepat cara mengelola kelompok/organisasi nelayan (8) Tepat cara memanfaatkan pasar dan peluang usaha (9) Bekerja sama dan teliti mengkaji peraturan yang tidak mendukung kesejahteraan nelayan pesisir (10) Tepat cara dalam menjaga kelestarian lingkungan
72 Tabel 6 (Lanjutan) Kualitas Perilaku Ideal Nelayan Kawasan Psikomotor
Kemampuan Pelanggan Internal
Kemampuan Pelanggan Eksternal
(4) Perangkaian
(1) Memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarga secara cepat dan berkesinambungan (2) Mendapatkan pendapatan dari pekerjaan sebagai nelayan secara cepat dan berkesinambungan (3) Memenuhi kebutuhan individu dan keluarga secara cepat dan berkesinambungan (4) Mampu memenuhi kebutuhan individu /profesi dengan secara cepat dan berkesinambungan
(1) Pemenuhan kebutuhan konsumen secara cepat dan berkesinambungan (2) Menggunakan pengetahuan tentang kenelayanan dengan urut, cepat dan berkesinambungan (3) Menggunakan informasi optimal dan kotinyu (4) Memanfaatkan potensi sumber daya perikanan secara optimal, efektif, efisien, dan berkesinambungan (5) Merangkai dan menggunakan peralatan, teknologi sesuai kebutuhan secara berkesinambungan (6) Merangkai berbagai cara yang efektif dan efisien menjalankan usaha yang berkesinambungan (7) Bekerjasama mengelola kelompok/organisasi nelayan secara berkeisinambungan (8) Bekerjasama yang berkesinambungan memanfaatkan pasar dan peluang usaha (9) Bekerja sama merangkai usulan perbaikan peraturan kenelayanan (10) Berkesinambungan menjaga kelestarian lingkungan
(5) Naturalisasi
(1) Terampil memenuhi kebutuhan hidup bagi dirinya dan keluarga (2) Memperoleh pendapatan tetap dari pekerjaan sebagai nelayan (3) Terampil memenuhi kebutuhan individu dan keluarga (4) Terampil memenuhi kebutuhan individu /profesi
(1) Terampil memenuhi kebutuhan konsumen (2) Terampil menggunakan pengetahuan tentang kenelayanan (3) Terampil menggunakan informasi yang diperoleh (4) Terampil memanfaatkan potensi sumber daya perikanan (5) Terampil menggunakan peralatan dan teknologi (6) Terampil menjalankan usaha dengan efisien (7) Terampil bekerjasama mengelola kelompok/organisasi nelayan (8) Terampil memanfaatkan pasar dan peluang usaha (9) Bertindak secara wajar atas peraturan yang masih kontroversi dan upaya pemecahan masalah (10) Menjadikan upaya melestarikan lingkungan sebagai bagian dari kebiasaan hidup
Tabel 6 memperlihatkan uraian yang rinci tentang kualitas perilaku nelayan ideal, yang dilihat dari jenis pelanggannya. Kualitas prerilaku nelayan terhadap pelanggannya dirinci bedasarkan kawasan-kawasan kognitif, afektif dan psikomotor. Untuk dapat melayani pelanggan internal dan ekternal dengan baik, nelayan harus mampu menunjukkan kualitas perilaku yang memadai, baik secara kognitif, afektif maupun psikomotor. Tercapainya kualitas perilaku ideal merupakan tujuan pendidikan nelayan. Pendidikan berfungsi sebagai proses untuk mentransformasi perilaku usaha dari nelayan tradisional menjadi nelayan yang maju.
73 Hubungan Sebab Akibat Rendahnya Mutu SDM Nelayan Kondisi objektif yang disampaikan pada Tabel 5 memperlihatkan mutu SDM nelayan masih jauh dari yang diharapkan. Dengan mutu sumber daya manusia yang rendah, sangat berat bagi nelayan memenangkan persaingan dalam iklim ekonomi pasar, baik persaingan pada lingkup lokal, regional, maupun persaingan global. Kebutuhan konsumen akan hasil-hasil perikanan tidak sepenuhnya bergantung pada nelayan. Sifat sumber daya perikanan yang dimiliki bersama, dengan akses terbuka menyebabkan berbagai pihak yang memiliki kepentingan ekonomi dan memiliki kemampuan untuk melakukannya, dapat ikut mengeksplorasi, mengelola dan memanfaatkan sumber data perikanan. Pengusaha-pengusaha perikanan dalam dan luar negeri merupakan pesaing utama nelayan pesisir dalam mengisi pasar hasil-hasil perikanan tangkap. Nelayan yang bermukim di daerah pesisir diperkirakan tidak memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan zamannya. SDMnya rendah, sehingga tidak mampu secara mandiri memenuhi kebutuhan konsumen. Ketidakmampuan ini memperlihatkan bahwa nelayan memiliki berbagai keterbatasan yang harus segera dicarikan jalan keluar untuk mengatasinya. Untuk dapat mengatasi keterbatasannya, nelayan perlu mengubah pola perilakunya daam berusaha, bahkan dalam memandang kehidupan, agar lebih optimis meraih masa depan yang lebih baik. Nelayan harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Berdasarkan kajian pustaka dari studi pendahuluan, pada Gambar 4, dengan Diagram Ishikawa disampaikan Hypothetical Model hubungan sebab akibat rendahnya mutu SDM nelayan.
74 Orang (Nelayan) Kesadaran pentingnya mutu rendah
Materi
Metode
Pendidikan rendah
Kurang orientasi pelanggan
Kemandirian usaha rendah
Motivasi intrinsik rendah
Pesimis terhadap masa depan nelayan pesisir
Kompetensi rendah (dilakukan analisis khusus)
Tingkat ketergantungan pada okupasi melaut
Harga bahan bakar mahal Harga perbekalan mahal
Cara kerja turun temurun Orientasi tangkap-jual di tempat
Area kerja terbatas Kurang tanggap terhadap perubahan
Tidak mampu diversirvikasi usaha
Sebab
Kurang inovasi alat
Peralatan
Pola bagi hasil menguntungkan satu pihak
Pola hubungan kerja patron-klien (NPm-NPk-Pemodal)
Dukungan modal kurang
Kapal dan alat tangkap mahal
Kemampuan alat tangkap terbatas
Jumlah perbekalan terbatas
Mutu alat tidak baku Armada tradisional
Kurang informasi potensi SDA/lingkungan Dukungan Kebijakan nasional Kurang informasi pembangunan Tidak ada keterwakilan perikanan / kelautan politik Tidak ada media khusus kenelayanan Persaingan dengan Tidak ada penyuluhan pengusaha yang berkelanjutan perikanan
Lingkungan
RENDAHNYA KEMAMPUAN NELAYAN MEMENUHI KEBUTUHAN KONSUMEN
RENDAHNYA PENGHASILAN NELAYAN
RENDAHNYA KEMAMPUAN NELAYAN MEMENUHI KEBUTUHAN HIDUP
Akibat Gambar 4. Hypothetical Model Diagram Ishikawa (Diagram Sebab - Akibat) Rendahnya Mutu SDM Nelayan
75 Gambar 4 merupakan analisis sebab akibat yang dibuat berdasarkan informasi yang diperoleh dari kajian pustaka dan penelusuran awal. Analisis ini kemudian menjadi model hipotesis, yang akan ditelusuri lebih mendalam pada penelitian ini, untuk kemudian dianalisis kembali sehingga dapat menggambarkan kondisi yang sesungguhnya. Pada analisis sebab akibat Gambar 4 terlihat: (1) Rendahnya mutu sumber daya manusia manusia dilihat dari faktor-faktor: (a) orang (nelayan); (b) materi; (c) metode; (d) peralatan dan (e) lingkungan. (2) Rendahnya kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup (kebutuhan diri dan keluarga) disebabkan penghasilan yang rendah, karena: (a) rendahnya kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen dan (b) rendahnya kompetensi nelayan. Analisis faktor orang (nelayan) memperlihatkan: (1) rendahnya kesadaran pentingnya mutu; (2) motivasi intrinsik rendah; (3) kompetensi rendah; (4) pendidikan rendah; (5) pesimis terhadap masa depan; (6) tidak mampu diversifikasi usaha dan (7) kurangnya ketanggapan terhadap perubahan. Analisis materi memperlihatkan: (1) harga bahan bakar mahal; (2) harga perbekalan mahal dan (3) jumlah perbekalan terbatas. Analisis metode memperlihatkan: (1) kurang orientasi pelanggan; (2) cara kerja turun temurun; (3) area kerja terbatas; (4) pola bagi hasil hanya menguntungkan satu pihak; (5) tergantung pada okupasi melaut (pada musim baik); (6) orientasi tangkap dan jual langsung di tempat dan (7) pola hubungan kerja patron-klien (NPmNPk-Pemodal). Analisis perlengkapan memperlihatkan: (1) kurang inovasi alat tangkap; (2) kemampuan alat tangkap terbatas; (3) kapal dan alat tangkap mahal; (4) mutu alat tidak baku dan (5) armada tradisional. Analisis lingkungan memperlihatkan: (1) dukungan modal kurang; (2) dukungan kebijakan nasional untuk menjadi nelayan maju kurang; (3) tidak ada keterwakilan politik; (4) persaingan dengan pengusaha perikanan; (5) kurang informasi potensi SDA; (6) kurang informasi pembangunan perikanan/kelautan; (7) tidak ada media khusus kenelayanan dan (8) tidak ada penyuluhan berkelanjutan. Penelitian ini secara khusus menelusuri besarnya pengaruh kompetensi pada: (1) kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen; (2) penghasilan nelayan dan (3) kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup. Dengan mengetahui kondisi kompetensi nelayan dan besar pengaruhnya, akan lebih memudahkan menyusun strategi pengembangan mutu SDM nelayan, dan menentukan pihak-pihak yang akan berperan dalam pelaksanaan strategi ini nantinya.
76 Alur Pikir Proses Penelitian, dan Pola Hubungan antar Variabel Alur pikir pada proses penelitian ini adala sebagai berikut: (1) Nelayan bermutu adalah nelayan yang setidaknya memenuhi kriteria: (a) mampu memenuhi kebutuhan konsumennya dan (b) mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. (2) SDM nelayan saat ini masih rendah, karena itu diperlukan upaya khusus untuk mengembangkan SDM nelayan. (3) Nelayan perlu menyesuaikan dan meningkatkan kompetensi yang dimilikinya agar: (a) dapat menjalankan usahanya dengan baik; (b) mendapat keuntungan dan penghasilan yang baik dan (c) usahanya dapat berkelanjutan. (4) Penelitian ini berupaya menghadirkan strategi pengembangan SDM nelayan yang efektif. Alur pikir di atas mengarahkan dan menuntun penulis menyusun proses penelitian ini. Gambar 5 memperlihatkan alur pikir dan proses penelitian pengembangan sumber daya manusia nelayan, yang dilanjutkan dengan Gambar 6, yaitu pola hubungan antar variabel dalam penelitian ini.
77
LINGKUNGAN INTERNAL NELAYAN
Tuntutan Memenuhi Kebutuhan Pelanggan Internal (Diri sendiri dan Keluarga) ● Fisik ● Keamanan ● Sosial ● Penghargaan ● Aktualisasi diri ● Modal ● Manajemen ● Pasar ● Akses informasi
KARAKTERISTIK NELAYAN Karakteristik Individu Nelayan ● Pendidikan ● Usia ●Status diri ●Daerah asal ●Jumlah tanggungan ●Status tempat tinggal ●Pengeluaran perbulan ● Sikap terhadap Profesi ● Motivasi intrinsik untuk menjadi nelayan maju Karakteristik Usaha Nelayan ● Status nelayan ●Jenis peralatan yang digunakan ● Pola pembagian hasil ● Pengalaman sebagai nelayan
TUNTUTAN SUMBER DAYA MANUSIA NELAYAN YANG BERMUTU Tuntutan agar dapat memenuhi kebutuhan (1) pelanggan internal (kebutuhan hidup: diri sendiri dan keluarga) (2) pelanggan eksternal (konsumen)
MUTU SDM NELAYAN SAAT INI SDM rendah, tidak kompeten, tidak mampu memenuhi kebutuhan para pelanggan secara mandiri
MUTU SDM NELAYAN YANG DIHARAPKAN Memiliki kompetensi yang memadai untuk memenuhi kebutuhan para pelanggan secara mandiri
ANALISIS DEDUKTIF Kajian teori Hasil pengamatan Masukan para ahli
MODEL HIPOTESIS PENGEMBANGAN MUTU SUMBER DAYA MANUSIA NELAYAN Pola Lama : Pembangunan perikanan yang kurang memperhatikan perkembangan kemampuan SDM nelayan kecil/ tradisional untuk menjadi nelayan mandiri, maju, dan sejahtera. Pola Baru : Pembangunan perikanan yang melibatkan peran nelayan kecil/tradisional, dan bertujuan: meningkatkan SDM nelayan, agar nelayan mampu memenuhi kebutuhan konsumen secara mandiri, agar menjadi nelayan maju dan sejahtera
LINGKUNGAN EKSTERNAL NELAYAN
KEKONDUSIFAN LINGKUNGAN Faktor-faktor lingkungan ● Kelembagaan Nelayan ● Kesempatan ● Ketersediaan informasi ● Penyuluhan ● Sarana prasarana
Tuntutan Memenuhi Kebutuhan Pelanggan Eksternal Primer (Konsumen): ● Masyarakat/rumah tangga ● Pedagang makanan ● Pengumpul/Distributor ● Pengusaha industri Sekunder : Pemerintah Tersier: Negara
STRATEGI PENGEMBANGAN MUTU SDM NELAYAN
KOMPETENSI MENINGKAT
KEMAMPUAN MEMENUHI KEBUTUHAN KONSUMEN MENINGKAT
PENGHASILAN MENINGKAT ANALISIS INDUKTIF Pengujian hipotesis ● Survei ● Wawancara mendalam ● Diskusi fokus group ● Analisis data sekunder ● Uji statistik
KEMAMPUAN MEMENUHI KEBUTUHAN HIDUP MENINGKAT
KESEJAHTERAAN MENINGKAT
Gambar 5. Alur Pikir dan Proses Penelitian Pengembangan Mutu Sumber Daya Manusia Nelayan
78
KARAKTERISTIK NELAYAN (X1) Karakteristik Individu ● Pendidikan (X1.1) ● Usia (X1.2) ● Status diri (X1.3) ● Daerah asal (X1.4) ● Jumlah tanggungan (X1.5) ● Status tempat tinggal (X1.6) ● Pengeluaran setiap bulan (X1.7)● Sikap terhadap profesi (X1.8) ● Motivasi intrinsik untuk menjadi nelayan maju (X1.9) Karakteristik Usaha ● Status nelayan (X1.10) ● Jenis peralatan yang digunakan (X1.11) ● Pola pembagian hasil (X1.12) ● Pengalaman sebagai nelayan (X1.13) ● Alasan menjadi nelayan (X1.14)
KOMPETENSI NELAYAN (X3) ● Kemampuan merencanakan usaha (X3.1) ● Kemampuan menyediakan modal (X3.2) ● Kemampuan menangkap ikan (X3.3) ● Kemampuan menangani hasil tangkapan (X3.4) ● Kemampuan memasarkan hasil tangkapan (X3.5) ● Kemampuan daya tawar harga jual ikan (X3.6) ● Kemampuan memecahkan masalah usaha (X3.7) ● Kemampuan memanfaatkan penghasilan (X3.8)
KEKONDUSIFAN LINGKUNGAN Faktor-faktor lingkungan (X2) ● Kelembagaan nelayan (X2.1) ● Kesempatan (X2.2) ( Dari: pemerintah, wakil rakyat, dan masyarakat) ● Ketersediaan informasi (X2.3) (SDA, kelestarian lingkungan, pembangunan perikanan dan kelautan) ● Penyuluhan (X2.4) ● Sarana prasarana (X2.5)
KEMAMPUAN NELAYAN MEMENUHI KEBUTUHAN KONSUMEN (Y1) ● Ketanggapan menyediakan produk bermutu (Y1.1) ● Ketanggapan melayani pelanggan (Y1.2) ● Produktivitas (Y1.3) ● Keberlanjutan usaha (Y1.4)
PENGHASILAN NELAYAN
(Y2)
KEMAMPUAN NELAYAN MEMENUHI KEBUTUHAN HIDUP (Y3)
KESEJAHTERAAN NELAYAN DAN KELUARGA
Gambar 6. Pola Hubungan antar Variabel dalam Penelitian Pengembangan Mutu Sumber Daya Manusia Nelayan
79 Alur pikir dan proses penelitian pengembangan sumber daya manusia nelayan yang disampaikan pada Gambar 5 memperlihatkan adanya proses penelitian sebagai berikut: (1) analisis kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup dan kompetensi nelayan dalam bekerja, akan memberikan jawaban kondisi mutu SDM nelayan saat ini. (2) analisis terhadap karakteristik nelayan akan menunjukkan kondisi individu nelayan dan usahanya, sehingga akan terlihat pola perilaku berusaha. (3) analisis terhadap lingkungan akan menunjukkan dukungan lingkungan terhadap pengembangan diri, usaha, dan kesejahteraan nelayan. (4) analisis deduktif dilakukan untuk memberikan model hipotesis (berasal dari kajian teori, hasil pengamatan, dan masukan para ahli) (5) dalam pelaksanaan penelitian dilakukan analisis induktif untuk menguji hipotesa yang dibangun (survei, wawancara mendalam, diskusi fokus group, analisis data skunder, dan uji statistik). (6) hasil akhir dari penelitian ini adalah dirumuskannya strategi pengembangan SDM nelayan. Gambar 6 memperlihatkan pola hubungan antar variabel dalam pengembangan mutu SDM nelayan, diasumsikan: (1) karakteristik nelayan (X1) mempengaruhi: (1) kompetensi nelayan (X3); (2) kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen (Y1); (3) penghasilan nelayan (Y2) dan (4) kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup (Y3). (2) karakteristik lingkungan (X2) mempengaruhi: (1) kompetensi nelayan (X3); (2) kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen (Y1); (3) penghasilan nelayan (Y2) dan (4) kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup (Y3). (3) kompetensi mempengaruhi: (1) kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen (Y1); (2) penghasilan nelayan (Y2) dan (3) kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup (Y3).
80 Hipotesis Hipotesis 1 Kompetensi (X3) dipengaruhi karakteristik nelayan (X1) dan kekondusifan lingkungan (X2). Karakteristik Nelayan
(X1)
Kompetensi Nelayan
(X3) Kekondusifan Lingkungan
(X2) Gambar 7. Model Hubungan pada Hipotesis 1 Uji statistik yang digunakan: (1) Korelasi Pearson; (2) Korelasi Jenjang Kendall dan (3) Analisis Regresi Linier Berganda.
Hipotesis 2 Kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen secara nyata dipengaruhi oleh kompetensi, yang didukung oleh karakteristik nelayan dan kekondusifan lingkungan. Karakteristik Nelayan (X1)
Kompetensi nelayan
(X3)
Kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen
(Y1) Kekondusifan Lingkungan (X2)
Gambar 8. Model Hubungan pada Hipotesis 2
81 Uji statistik yang digunakan: (1) Korelasi Pearson; (2) Regresi Linier Berganda dan (3) Analisis Path.
Hipotesis 3 Terdapat perbedaan kompetensi antara nelayan pemilik (NPm) dan Nelayan Pekerja (NPk). Uji statistik yang digunakan: T-Test Mann-Whitney Test.
Hipotesis 4 Terdapat perbedaan yang nyata tentang kemampuan nelayan dalam memenuhi kebutuhan konsumen, antara nelayan pemilik (NPm) dan nelayan Pekerja (NPk). Uji statistik yang digunakan: T-Test dan Mann-Whitney Test.
Hipotesis 5 Penghasilan nelayan dipengaruhi secara nyata oleh: (1) kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen; (2) kompetensi nelayan; (3) karakteristik nelayan dan (4) kekondusifan lingkungan. Karakteristik Nelayan (X1)
Kompetensi nelayan (X3)
Kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen
(Y1)
Penghasilan nelayan
(Y2)
Kekondusifan Lingkungan (X2)
Gambar 9. Model Hubungan pada Hipotesis 5 Uji statistik yang digunakan: Korelasi Pearson; (2) Korelasi Jenjang Kendall; (3) Analisis Regresi Berganda dan (4) Analisis Path.
82 Hipotesis 6 Terdapat perbedaan penghasilan nelayan secara nyata antara nelayan pemilik (NPm) dan nelayan Pekerja (NPk). Uji statistik yang digunakan: T-Test dan Mann Whitney Test.
Hipotesis 7 Kemampuan memenuhi kebutuhan hidup dipengaruhi secara nyata oleh: penghasilan nelayan, kemampuan memenuhi kebutuhan konsumen, dan kompetensi.
Kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen
Penghasilan nelayan
(Y1)
(Y2)
Kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup
(Y3) Kompetensi nelayan
(X3)
Gambar 10. Model Hubungan pada Hipotesis 7 Uji statistik yang digunakan: (1) Korelasi Pearson, (2) Analisis Regresi Linier Berganda dan (3) Analisis Path.
Hipotesis 8 Terdapat perbedaan yang nyata kemampuan nelayan dalam memenuhi kebutuhan hidup (diri sendiri dan keluarga), antara nelayan pemilik (NPm) dan nelayan Pekerja (NPk). Uji statistik yang digunakan: T-Test dan Mann-Whitney Test
83
METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel Populasi Populasi penelitian adalah nelayan kecil di Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke, Pesisir Pantai Jakarta Utara, Provinsi DKI Jakarta. Jumlah populasi sebesar 584 orang. Lokasi dipilih dengan alasan sebagai berikut: (1) Berdasarkan minat dan pengalaman peneliti sebelumnya, dalam melakukan penelitian di daerah perkotaan, khususnya di Provinsi DKI Jakarta. (2) Nelayan kecil di Kawasan Muara Angke adalah kelompok masyarakat nelayan yang sengaja dikondisikan dengan maksud agar mudah dalam penyelenggaraan pembinaan. (3) Ingin melihat, apakah dengan dikondisikan di suatu lokasi khusus, mutu sumber daya manusia nelayan dapat berkembang dengan baik sesuai jamannya? Kajian selain melihat faktor-faktor internal nelayan yang mempengaruhi terbentuknya kompetensi nelayan, juga melihat faktor-faktor eksternal yang berperan terhadap pembentukan kompetensi nelayan. Faktor-faktor ini diperkirakan akan mempengaruhi mutu sumber daya manusia nelayan, yang pada penelitian ini diukur dari : (1) kompetensi nelayan; (2) kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen; (3) penghasilan nelayan dan (4) kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan keluarganya (kebutuhan hidup). Dengan dilakukannya penelitian di Provinsi DKI Jakarta, diharapkan akan diperoleh informasi yang lebih akurat tentang distribusi mutu sumber daya manusia nelayan kecil yang beraktivitas di pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke, Kotamadya Jakarta Utara, Provinsi DKI Jakarta. Hal ini akan bermanfaat bagi upaya pengembangan mutu sumber daya manusia nelayan agar dapat menjadi nelayan yang selalu adaptif terhadap cepatnya perubahan lingkungan, dan dapat hidup lebih sejahtera.
Sampel Survei dilakukan dengan mengambil sampel dari populasi nelayan yang ada. Penentuan sampel dilakukan dengan teknik stratified random sampling, pengambilan sampel secara proporsional dengan mempertimbangkan perbandingan jumlah NPm dan
84 NPk. Maka dipilih sampel sub grup dari populasi, dengan perbandingan 1 Nelayan Pemilik (NPm): 4 Nelayan Pekerja (NPk), dengan total 150 responden, dengan mempertimbangkan variasi alat tangkap yang digunakan. Data pokok dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuesioner, dilanjutkan dengan diskusi fokus grup dan wawancara mendalam terhadap nelayan, dan para informan, yaitu: pemuka masyarakat, dinas terkait, pengurus kelompok, pengurus koperasi, dan pengurus organisasi profesi. Pendekatan analisis yang digunakan adalah deskriptif, secara kuantitatif maupun kualitatif, selanjutnya dilakukan uji statistik korelasi, regresi, uji beda dan analisis jalur. Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder. Menurut Ida Bagoes Mantra dan Kasto (1995), suatu metode pengambilan sampel yang ideal mempunyai sifat-sifat: (1) Dapat menghasilkan gambaran yang dapat dipercaya dari seluruh populasi yang diteliti. (2) Dapat menentukan presisi dari hasil penelitian dengan menentukan penyimpangan baku dari taksiran yang diperoleh. (3) Sederhana sehingga mudah dilaksanakan. (4) Dapat memberikan keterangan sebanyak mungkin dengan biaya serendahrendahnya.
Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian survei yang melihat hubungan variabel-variabel. Karenanya, mensyaratkan adanya hipotesa penelitian, yang akan diuji melalui penelitian. Data pokok dikumpulkan dari responden yang menjadi sampel dan mewakili populasi dengan menggunakan kuesioner, dilanjutkan dengan wawancara mendalam dan diskusi fokus group. Unit analisis yang digunakan adalah nelayan. Karena penelitian survei ini bermaksud menjelaskan hubungan antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesis, maka penelitian ini dapat disebut sebagai penelitian pengujian hipotesis atau explanatory research (penelitian penjelasan). Pendekatan analisis yang digunakan adalah: (1)
85 deskriptif; (2) membandingkan; (3) memodelkan hubungan dan pengaruh dan (4) dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif berdasarkan data dan fakta yang diperoleh.
Data dan Instrumentasi Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden, meliputi: (1) Karakteristik nelayan yang terdiri dari (a) karakteristik individu nelayan, yang unsur-unsurnya adalah: pendidikan, usia, status diri, daerah asal, jumlah tanggungan, status tempat tinggal, pengeluaran setiap bulan, sikap terhadap profesi, dan motivasi intrinsik untuk menjadi nelayan maju; dan (b) karakteristik usaha nelayan, yang unsur-unsurnya adalah: status nelayan, jenis peralatan yang digunakan, pola pembagian hasil, pengalaman sebagai nelayan, dan alasan menjadi nelayan. (2) Kekondusifan lingkungan, unsur-unsurnya meliputi: kelembagaan nelayan, kesempatan (pemerintah, wakil rakyat, dan masyarakat), ketersediaan informasi (sumber daya alam perikanan dan kelautan, kelestarian lingkungan, pembangunan perikanan dan kelautan), penyuluhan, dan sarana prasarana. (3) Kompetensi nelayan, meliputi: kemampuan merencanakan usaha, kemampuan menyediakan modal, kemampuan menangkap ikan, kemampuan menangani hasil tangkapan, kemampuan memasarkan hasil tangkapan, kemampuan daya tawar harga
jual
ikan,
kemampuan
memecahkan
masalah,
dan
kemampuan
memanfaatkan penghasilan. (4) Kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen, meliputi: ketanggapan menyediakan produk bermutu, ketanggapan melayani konsumen, produktivitas, dan keberlanjutan usaha. (5) Penghasilan nelayan, yang menggambarkan variasi penghasilan nelayan di lokasi penelitian, dihitung dalam rupiah. (6) Kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup, meliputi: kemampuan memenuhi kebutuhan: makan, pakaian, kesehatan, listrik, air, rumah, rekreasi, dan penghargaan.
86 Data sekunder, merupakan data yang telah tersedia sebelumnya, namun demikian peneliti tetap mencari data yang tepat sehingga benar-benar bermanfaat untuk penelitian. Data ini dapat diperoleh dari kantor pemerintah, perpustakaan, buku, ataupun internet, media masa, serta sumber lainnya. Data sekunder yang diperlukan meliputi: keadaan umum daerah penelitian, seperti geografis, iklim, demografi, sosial ekonomi, budaya, politik, iptek, potensi sumber daya dan ekologi; perundang-undangan dan kebijakan yang terkait dengan kenelayanan, perikanan, dan kelautan; rencana strategis pembangunan daerah; peta lokasi penelitian; jenis ikan dan sumber daya kelautan yang bernilai ekonomis; teknik dan peralatan penangkapan dan penanganan ikan, dan manajemen bisnis perikanan. Instrumentasi Validitas Instrumen Menurut Irawan Soehartono (2000), alat ukur yang dibuat harus dapat mengukur variabel yang dimaksudkan untuk diukur, bukan variabel lain. Suatu alat ukur atau skala pengukuran dikatakan valid jika skala pengukuran tersebut mengukur sesuatu yang dimaksudkan untuk diukur. Pengujian terhadap hipotesis penelitian memerlukan data yang memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi. Validitas menunjukkan tingkat suatu alat pengukur mengukur sesuatu yang diukur. Jika peneliti menggunakan kuesioner dalam pengumpulan datanya, maka kuesioner tersebut harus valid mengukur variabelvariabel yang digunakan dalam penelitian Menurut Ancok (1995), langkah-langkah cara menguji validitas adalah sebagai berikut: (1) mendefinisikan secara operasional konsep yang akan diukur; (2) melakukan uji coba skala pengukur pada sejumlah responden; (3) mempersiapkan tabel tabulasi jawaban dan (4) menghitung korelasi antara masing-masing pernyataan. Tabel 7 memperlihatkan kisaran P-value, yaitu peluang untuk menyatakan bahwa tidak ada korelasi antara dua variabel pada tingkat signifikan 0.05. Jika P-value > 0.5 = tidak ada korelasi antar pertanyaan dalam variabel tersebut. Jika P-value < 0.5 = korelasi signifikan = ada korelasi. Kuesioner yang terandalkan diperlihatkan dengan adanya korelasi antar pertanyaan dalam variabel-variabelnya.
87 Tabel 7. Kisaran P-Value Hasil Uji Korelasi antara Variabel Utama Penelitian Variabel Utama
Kisaran P-Value
Kekondusifan SDM Nelayan (X1)
0.00 s/d 0.457
Kekondusifan Lingkungan (X2)
0.00 s/d 0.481
Kompetensi Individu Nelayan (X3)
0.00 s/d 0.489
Tingkat Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen (Y1)
0.00 s/d 0.497
Tingkat Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Hidup (Y3)
0.00 s/d 0.486
Reliabilitas Instrumen Menurut Ancok (1995), reliabilitas adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulangi dua kali atau lebih. Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Bila suatu alat pengukur dipakai dua kali untuk mengukur gejala yang sama dan hasil pengukuran yang diperoleh relatif konsisten, maka alat pengukur tersebut raliabel. Dengan kata lain reliabilitas menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur di dalam mengukur gejala yang sama. Pengujian terhadap suatu hipotesis penelitian memerlukan data yang memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi. Validitas menunjukkan tingkat mana suatu alat ukur mengukur sesuatu yang ingin diukur.
Jika peneliti menggunakan kuesioner dalam
pengumpulan datanya, maka kuesioner tersebut harus valid mengukur variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian. Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan tingkat mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Dalam penelitian yang menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul datanya, maka reliabilitas ini menunjukkan kekonsistenan dari kuesioner yang digunakan. Reliabilitas mengukur kekonsistenan internal dari pengukuran satu ke pengukuran lainnya. Nilai pengamatan Y dibagi menjadi dua komponen, yaitu nilai pengukuran yang
88 sebenarnya (T) dan nilai kesalahan pengukuran (E). Secara matematis, dapat ditunjukkan dengan persamaan berikut : Y =T +E
Koefisien reliabilitas merupakan kuadrat dari korelasi antara nilai pengamatan (Y) dengan nilai sebenarnya, didapat dari persamaan berikut :
rY2,T = [V (T ) / V (Y )] V(T) merupakan ragam dari nilai sebenarnya dan V(Y) merupakan ragam dari nilai pengamatan. V(T) didapat dari pengukuran yang diulang pada orang yang sama, pengulangan ini tidak perlu dilakukan karena nilai V(T) dapat diduga. Batas bawah koefisien reliabilitas ini dapat diduga dengan koefisien cronbach apha yang didapat dari persamaan: j ⎛ p ⎞⎜ ∑ j ⎟ ⎟⎟ 1 − α = ⎜⎜ ⎜ V (YD ) ⎟ ⎝ p −1⎠
Keterangan
⎛
V (Y ) ⎞
⎝
⎠
p : banyaknya pertanyaan dalam kuesioner Yj : score pengamatan ke-j YD : total score pengamatan
Koefisien cronbach alpha merupakan batas bawah dari koefisien reliabilitas. Kuesioner dikatakan reliable jika koefisien ini bernilai besar. Uji reliabilitas dilakukan pada pertanyaan yang memberikan jawaban beragam. Koefisien cronbach alpha yang dihasilkan adalah 0.9, nilai ini menunjukan bahwa kuesioner yang akan digunakan reliable/konsisten. Teknik analisis pengujian reliabilitas ini menggunakan software SPSS v.13.
Peubah dan Pengukuran Peubah Penelitian ini berupaya menjelaskan hubungan dan pengaruh antar peubah. Peubah yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Karakteristik nelayan (X1) Karakteristik Individu
89 Terdiri dari: pendidikan (X1.1); usia (X1.2); status diri (X1.3); daerah asal (X1.4); jumlah tanggungan (X
1.5);
status tempat tinggal (X1.6); pengeluaran setiap bulan
(X1.7); sikap terhadap profesi (X1.8) dan motivasi intrinsik untuk menjadi nelayan maju (X1.9) Karakteristik Usaha Terdiri dari: status nelayan (X 1.10); jenis peralatan yang digunakanl (X1.11); pola pembagian hasil (X1.12); pengalaman sebagai nelayan (X1.13) dan alasan menjadi nelayan (X1.14) (2) Kekondusifan lingkungan (X2) Terdiri dari: kelembagaan nelayan (X2.1); kesempatan (X2.2); ketersediaan informasi (X2.3); penyuluhan (X2.4) dan sarana prasarana (X2.5) (3) Kompetensi nelayan (X3) Terdiri dari: kemampuan merencanakan usaha (X3.1); kemampuan menyediakan modal (X3.2); kemampuan menangkap ikan (X3.3); kemampuan menangani hasil tangkapan (X3.4); kemampuan memasarkan hasil tangkapan (X3.5); kemampuan menentukan harga (X3.6) dan kemampuan memecahkan masalah usaha (X3.7) (4) Kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen (Y1) Terdiri dari: ketanggapan menyediakan produk bermutu(Y1.1); ketanggapan melayani pelanggan (Y1.2); produktivitas (Y1.3) dan keberlanjutan usaha (Y1.4) (5) Penghasilan nelayan (Y2) (6) Kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup (diri dan keluarga) (Y3) Terdiri dari: kemampuan memenuhi kebutuhan makan sehari-hari (Y3.1); kemampuan memenuhi kebutuhan pakaian (Y3.2); kemampuan menjaga kesehatan (Y3.3); kemampuan memenuhi kebutuhan pendidikan (Y3.4); kemampuan memenuhi kebutuhan listrik (Y3.5); kemampuan memenuhi kebutuhan air (Y3.6); kemampuan memenuhi kebutuhan rekreasi (Y3.7) dan tingkat rasa dihargai (Y3.8). Pengukuran (1) Karakteristik nelayan (X1) Karakteristik individu: - Pendidikan (X1.1)
90 Diukur dari pendidikan formal terakhir yang pernah ditempuh nelayan hingga saat penelitian, yang dikategorikan atas: (a) Tidak Sekolah; (b) Sekolah Dasar atau Sekolah Rakyat; (c) SMP dan SMA dan (d) Perguruan Tinggi (PT). - Usia (X1.2) Diukur dari umur nelayan saat ini, dihitung dari saat lahir sampai saat dilakukannya penelitian, dan dibulatkan dalam jumlah tahun terdekat apabila terdapat selisih bulan. - Status diri (X1.3) Dilihat dari kedudukan individu nelayan di masyarakat, terkait dengan ikatan pernikahan pada saat dilakukan penelitian, yaitu: (a) Menikah dan (b) Tidak Menikah. - Daerah asal (X1.4) Ditinjau dari tempat atau daerah asal nelayan. - Jumlah tanggungan (X1.5) Dihitung dari banyaknya orang yang kebutuhan hidupnya dipenuhi oleh responden pada saat penelitian berlangsung, yaitu: (a) Istri; (b) Anak dan (c) lain-lain. - Status tempat tinggal (X1.6) Dilihat dari kepemilikan hunian, dikaitkan dengan tempat tinggalnya saat penelitian berlangsung, misalnya di: (a) Kapal; (b) Orang Tua; (c) Kos; (d) Kontrak dan (e) Milik Sendiri. - Pengeluaran setiap bulan (X1.6) Dihitung dari jumlah uang dalam rupiah yang dibelanjakan nelayan setiap bulan untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan kebutuhan orang lain yang menjadi tanggungannya, misalnya istri dan anak-anaknya. - Sikap terhadap profesi (X1.8) Mengukur tingkat respon nelayan dalam bentuk: tidak setuju, kurang setuju, setuju, dan sangat setuju dalam hal: (a) keinginan melaut dengan jarak lebih jauh dari saat ini; (b) keinginan melaut walau telah atau kelak memiliki kapal sendiri dan (c) kebahagiaan menjalankan profesi sebagai nelayan.
91 - Motivasi intrisik untuk maju (X1.9) Mengukur tingkat dorongan dari dalam diri individu nelayan untuk maju, dilihat dari: (a) frekuensi nelayan menanyakan program pemerintah yang terkait dengan upaya meningkatkan kesejahteraan hidupnya; (b) frekuensi individu nelayan membaca buku, majalah, atau informasi tentang pengembangan usaha perikanan laut dan (c) frekuensi nelayan berdiskusi dengan sesama nelayan atau dengan nelayan yang lebih maju mengenai pengembangan usaha perikanan laut. Karakteristik usaha: - Status nelayan (X1.10) Memperlihatkankedudukan individu nelayan terkait dengan kepemilikan kapal dan alat tangkap, terdiri dari: (a) Nelayan Pemilik (NPm) dan (b) Nelayan Pekerja (NPk). - Jenis peralatan tangkap yang digunakan (X1.11) Memperlihatkan macam alat tangkap yang digunakan responden. - Pola pembagian hasil (X1.12) Memperlihatkan sistem bagi hasil usaha. - Pengalaman sebagai nelayan (X1.13) Memperlihatkan lamanya responden menjadi nelayan (dalam tahun), dihitung sejak pertama kali melaut hingga saat penelitian dilakukan. Pengukuran dibagi atas: (a) s/d 4 tahun; (b) 5- 10 tahun dan (c) > 10 tahun - Alasan menjadi nelayan (X1.14) Menjelaskan sebab responden memilih pekerjaan sebagai nelayan. (2) Kekondusifan lingkungan (X2) - Kelembagaan nelayan (X2.1) Memperlihatkan tingkat dukungan kelompok nelayan dan koperasi nelayan untuk kemajuan usaha nelayan, yang diukur dari: (a) keberadaan kelompok dan koperasi nelayan; (b) kesertaan individu nelayan dalam kelompok dan koperasi nelayan dan (c) kesesuaian program yang telah dan sedang dijalankan oleh kelompok dan koperasi nelayan dibandingkan dengan tujuan didirikannya kelompok dan koperasi nelayan.
92 - Kesempatan (X2.2) Memperlihatkan besarnya peluang yang diberikan oleh pihak luar bagi nelayan untuk berkembang menjadi nelayan yang maju dan sejahtera, terdiri atas: (a) kesempatan yang diperoleh dari pemerintah melalui peluang nelayan mengetahui kebijakan pemerintah terkait dengan usaha perikanan, seperti undang-undang perikanan, peluang nelayan memperoleh tambahan modal usaha dan perlengkapan melaut melalui program pembangunan perikanan, dan tingkat dukungan aparatur terhadap usulan kebutuhan nelayan; (b) kesempatan yang diperoleh dari wakil rakyat dalam bentuk keterwakilan di panggung politik, seperti: keberadaan partai politik atau anggota partai politik yang mewakili nelayan kecil, dan tingkat kemudahan menghubungi partai politik/ atau orang yang mewakili nelayan kecil dan (c) kesempatan yang diperoleh responden dari pihak swasta dalam bentuk kemitraan usaha perikanan. - Ketersediaan informasi (X2.3) Memperlihatkan tingkat dukungan data yang dibutuhkan nelayan dalam melakukan usahanya, terdiri dari informasi: (a) sumber daya perikanan dan kelautan; (b) kelestarian lingkungan kelautan dan (c) pembangunan perikanan dan kelautan. - Penyuluhan (X2.4) Memperlihatkan tingkat dukungan pendidikan non formal yang pernah diperoleh nelayan, yang bertujuan merubah perilaku nelayan dalam berusaha dari nelayan tradisional menjadi nelayan maju, terdiri dari: (a) frekuensi penyuluhan dalam tiga tahun terakhir; (b) tingkat kemudahan menghubungi penyelenggara penyuluhan atau penyuluhnya; (c) tingkat kesesuaian materi penyuluhan dengan kebutuhan nelayan; (d) tingkat kemudahan memahami materi penyuluhan dan (e) manfaat penyuluhan bagi kemajuan usaha. - Sarana prasarana (X2.5) Memperlihatkan tingkat dukungan faktor-faktor penentu terselenggaranya usaha nelayan, terdiri dari: (a) ketersediaan bahan bakar yang digunakan untuk melaut; (b) kemudahan mendapakan bahan bakar; (c) keterjangkauan harga bahan bakar dan (d) pasar .
93 (3) Kompetensi nelayan (X3) - Kemampuan merencanakan usaha (X3.1) Memperlihatkan tingkat kehandalan nelayan dalam menyiapkan kegiatannya usahanya, diukur dari: (a) frekuensi merencanakan kegiatan sejak dari persiapan melaut, hingga pemasaran dan (b) frekuensi merencanakan jumlah hasil tangkapan yang harus diperoleh setiap melaut. - Kemampuan menyediakan modal (X3.2) Memperlihatkan kehandalan individu nelayan mendapatkan dana yang diperlukan bagi pengembangan usahanya, diukur dari: (a) kemampuan menyisihkan penghasilan untuk modal usaha; (b) kemampuan mendapatkan modal usaha dengan cara meminjam pada seseorang; (c) kemampuan mengembalikan pinjaman pada orang tersebut tepat waktu; (d) frekuensi meminjam modal usaha dari pinjaman perorangan; (e) kemampuan mendapatkan dana untuk modal usaha dari koperasi atau lembaga keuangan sesuai kebutuhan/harapan; (g) kemampuan mengembalikan pinjaman pada kopeasi atau lembaga keuangan lain secara tepat waktu dan (h) frekuensi mendapatkan modal usaha dari koperasi atau lembaga keuangan. - Kemampuan menangkap ikan (X3.3) Memperlihatkan kehandalan indvidu nelayan mendapatkan ikan di laut, diukur dari: (a) kemampuan mengetahui dengan pasti lokasi yang banyak hasil tangkapannya; (b) tingkat penggunaan bahan kimia atau bahan peledak dalam menangkap ikan; (c) tingkat kekompakan personil dalam menangkap ikan dan (d) tingkat kemampuan menangkap ikan sesuai rencana. - Kemampuan menangani hasil tangkapan (X3.4) Memperlihatkan kehandalan individu nelayan memperlakukan hasil tangkapan agar tetap segar ataupun tetap hidup sampai pada pembeli, diukur dari: (a) kehandalan menangani hasil tangkapan agar selalu dalam kondisi baik dan segar ketika dibeli dan (b) jenis pengawet yang digunakan. - Kemampuan memasarkan hasil tangkapan (X3.5) Memperlihatkan kehandalan individu nelayan menjual hasil tangkapnya, diukur dari: (a) adanya langganan dari berbagai skala usaha; (b) tingkat
94 terjualnya setiap hasil tangkapan; (c) tingkat kemudahan mencari pembeli baru dan (d) peningkatan penjualan dalam tiga tahun terakhir . - Kemampuan daya tawar harga jual ikan (X3.6) Memperlihatkan tingkat kemampuan individu nelayan menentukan harga jual hasil tangkapan, dan layaknya harga jual dengan pengeluaran,diukur dari: (a) kemampuan individu nelayan menentukan sendiri harga jual ikan dan (b) kesepadanan harga jual dengan harapan. - Kemampuan memecahkan masalah usaha (X3.7) Memperlihatkan kehandalan individu nelayan keluar dari berbagai masalah yang terkait dengan usahanya, diukur dari: (a) kemampuan menyiapkan alternatif usaha keluarga bidang perikaan untuk meningkatkan penghasilan dan (b) kemampuan memiliki alternatif memenuhi kebutuhan hidup pada musim paceklik. - Kemampuan memanfaatkan penghasilan (X3.8) Memperlihatkan tingkat kehandalan individu nelayan dalam memanfaatkan penghasilan, yang diukur dari:(a) kemampuan memenuhi kebutuhan hidup; (b) kemampuan menabung dan (c) kemampuan menambah modal usaha. (4) Kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen (X4) - Ketanggapan menyediakan produk bermutu (Y1.1) Memperlihatkan tingkat kehandalan nelayan menyediakan produk ikan yang sesuai dengan harapan pelanggan, yang diukur dari: (a) kemampuan menyediakan produk sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan konsumen; (b) kemampuan meyediakan produk sesuai dengan jenis yang dibutuhkan Konsumen dan (c) kemampuan menyediakan produk ikan segar. -
Ketanggapan melayani pelanggan (Y1.2), Memperlihatkan tingkat kehandalan individu nelayan memberikan jasa sesuai kebutuhan pelanggan, diukur dari: (a) kecepatan menyediakan jenis produk yang dibutuhkan; (b) kecepatan menyediakan jumlah produk yang dibutuhkan dan (c) kecepatan melayani pembeli.
95 -
Produktivitas Memperlihatkan tingkat kemampuan nelayan menyiapkan produk, dihitung dalam kilogram (kg) pada periode satu kali melaut.
- Tingkat keberlanjutan usaha (Y1.4), Memperlihatkan tingkat kemampuan individu nelayan untuk mempertahankan usaha yang sama dalam kurun waktu tertentu, diukur dari:(a) kemampuan melanjutkan usaha dalam jangka pendek, satu tahun ke depan; (b) kemampuan melanjutkan usaha dalam jangka menengah (lima tahun) dan (c) kemampuan melanjutkan usaha dalam jangka panjang (sepuluh tahun). (5) Penghasilan nelayan (Y2), Memperlihatkan besarnya penghasilan nelayan yang diperoleh nelayan setiap bulan, dihitung dalam mata uang rupiah. (6) Kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup (diri dan keluarga) (Y3) - Pemenuhan kebutuhan makan sehari-hari(Y3.1) Memperlihatkan tingkat kehandalan nelayan memenuhi kebutuhan pangan setiap hari, diukur dari frekuensi makan setiap hari. - Pemenuhan kebutuhan pakaian (Y3.2) Memperlihatkan tingkat kehandalan nelayan memenuhi kebutuhan pakaian, untuk dirinya dan keluarganya, diukur dari frekuensi nelayan dan keluarganya membeli pakaian dalam satu tahun. - Kesehatan (Y3.3) Memperlihatkan tingkat kondisi fisik nelayan dan keluarganya, diukur dari: Sering tidaknya nelayan dan keluarganya sakit. - Pemenuhan kebutuhan pendidikan (Y3.4) Memperlihatkan tingkat kehandalanan nelayan dan keluarganya mendapatkan pendidikan formal, yaitu: (a) jika belum menikah diukur dari kemampuan membiayai pendidikan formalnya sendiri dan (b) jika sudah menikah diukur dari kemampuan membiayai pendidikan anak-anaknya. - Pemenuhan kebutuhan listrik (Y3.5) Memperlihatkan tingkat kehandalan nelayan memenuhi kebutuhan listrik, diukur dari ketepatan waktu membayar tagihan listrik setiap bulan.
96 - Pemenuhan kebutuhan air (Y3.6) Memperlihatkan tingkat kehandalan nelayan memenuhi kebutuhan air bersih setiap bulan, diukur dari: (a) ketepatan membayar tagihan air dan (b) kemampuan membeli air (jika tidak menggunakan PAM) - Pemenuhan kebutuhan rekreasi (Y3.7) Memperlihatkan sering tidaknya nelayan memanfaatkan waktu luang untuk bersantai, diukur dari frekuensi rekreasi nelayan dan keluarga dalam satu tahun. - Pemenuhan kebutuhan dihargai (Y3.8) Memperlihatkan tingkat kepuasan nelayan atas perlakuan keluarga dan lingkungannya terhadap dirinya, diukur dari tingkat rasa dihargai nelayan oleh: (a) keluarga sendiri dan (b) lingkungan.
Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang dibutuhkan, digunakan teknik: (1) Pengamatan langsung, yaitu mengumpulkan data secara langsung di objek penelitian. (2) Wawancara, yaitu tanya jawab dengan responden yang menjadi sampel penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara terstruktur dalam bentuk kuesioner yang telah disiapkan sebelumnya. (3) Dokumentasi, yaitu mencatat data yang telah tersedia di kantor-kantor pemerintahan, perpustakaan, buku, ataupun sumber lainnya. (4) Wawancara mendalam, dilakukan pada responden terpilih untuk menggali informasi lebih mendalam mengenai hal-hal yang spesifik. (5) Focus group discussion (FGD), yaitu data yang diperoleh dengan cara membentuk kelompok diskusi yang terarah. Data diambil dari responden terpilih. Tujuannya adalah untuk menggali informasi lebih rinci, sehingga permasalahan makin jelas, dan alternatif pemecahan masalah akan tepat guna.
Analisis Data Menurut Sofian Effendi dan Chris Manning (1995), analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih muda dibaca dan di interpretasikan. Dalam proses ini seringkali digunakan statistik. Salah satu fungsi pokok statistik adalah
97 menyederhanakan data penelitian yang amat besar jumlahnya menjadi informasi yang lebih sederhana dan lebih mudah dipahami. Jenis analisis disesuaikan dengan tujuan dan hipotesis penelitian. Jenis analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Hipotesis 1 untuk menjawab Tujuan Penelitian 1. Untuk menganalisis karakteristik individu nelayan dan faktor-faktor lingkungan digunakan analisis deskriptif; untuk melihat faktor manakah yang paling menentukan dalam membentuk kompetensi nelayan dilakukan analisis korelasi pearson, korelasi jenjang kendall, dan analisis regresi linier berganda. (2) Hipotesis 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 untuk menjawab Tujuan Penelitian 2. Untuk menguraikan dan menganalisis kondisi mutu sumber daya manusia nelayan berdasarkan: kompetensi, kemampuan memenuhi kebutuhan pelanggan eksternal (konsumen), tingkat penghasilan, dan kemampuan memenuhi kebutuhan pelanggan internalnya, dirinya dan keluarga (kebutuhan hidup), digunakan analisis deskriptif, analisis korelasi pearson, korelasi jenjang kendall, regresi linier berganda, uji beda dan analisis path. (3) Hipotesis 7 dan 8 sebagai dasar untuk menjawab Tujuan Penelitian 3. Selanjutnya untuk menetapkan secara detail strategi pengembangan mutu sumber daya manusia nelayan yang efektif, digunakan analisis path, dan analisis hubungan sebab-akibat dengan diagram tulang ikan.
98
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Orientasi Wilayah Penelitian Penelitian dilaksanakan di Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke, terletak di Kawasan Pemukiman Muara Angke, Kelurahan Pluit. Secara geografis wilayah ini berada di Teluk Jakarta, Wilayah Pemerintahan Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara. Ketinggian daratan di wilayah ini berkisar 1 sampai 1, 5 meter di bawah permukaan air laut, sehingga pada kurun waktu tertentu ada bagian lingkungan yang tergenang air laut pada saat pasang, seperti di lingkungan Pemukiman Nelayan yang berada pada Rukun Warga 1 dan Rukun Warga 11. Secara keseluruhan wilayah Kelurahan Pluit merupakan daerah rawan banjir. Lingkungan Pemukiman Nelayan Muara Angke saat ini telah sangat padat. Pada Tahun 2005, di RW 1 tercatat jumlah penduduk sebanyak 5062 jiwa, dengan 874 KK, sedangkan di RW 11 jumlah penduduk sebesar 3734 jiwa dengan 651 KK, Pemerintahan Kelurahan Pluit (2005). Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke merupakan daerah transit para nelayan, diwarnai dengan berbagai aktivitas nelayan, diantaranya: (1) kegiatan persiapan melaut; (2) bongkar muat hasil tangkapan; (3) beristirahat; dan memperbaiki alat tangkap sambil menunggu waktu melaut. Ikan yang disalurkan melalui pelabuhan ini pada tahun 2005 sebesar 24.241,796 ton, UPT Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke, Jakarta Utara (2005).
Nelayan Kecil di Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke Provinsi DKI Jakarta Sejarah Tempat tinggal nelayan kecil di Provinsi DKI Jakarta pada awalnya tersebar dan bercampur
dengan
pemukiman
masyarakat
pada
umumnya.
Menyebarnya
konsentrasi perumahan nelayan tersebut dirasakan cukup menyulitkan bagi pemerintah untuk melakukan pembinaan, khususnya bagi nelayan kecil. Pemerintah
99 kemudian berupaya menyatukan perumahan nelayan tersebut di satu lokasi yaitu di Muara Angke. Mulai tahun 1976 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melaksanakan rencana tersebut. Saat ini kawasan ini dikenal dengan Kawasan Pemukiman Nelayan Muara Angke. Kondisi Umum Kawasan Muara Angke seluas 65 hektar. Pemukiman nelayan dibangun pada lahan seluas ± 21,69 hektar. Hingga tahun 2004 telah dibangun sebanyak 1130 unit rumah. Menurut Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke (2005, yang disebut sebagai nelayan dan yang berhak untuk menempati rumah di pemukiman nelayan adalah: (1) nelayan pemilik; (2) nelayan pekerja; (3) pedagang ikan; (4) pengolah ikan dan (5) buruh nelayan. Namun, kelima kelompok yang disebut sebagai nelayan lebih tepat disebut sebagai kelompok masyarakat yang bergerak di sektor perikanan, atau masyarakat perikanan. Karena yang dimaksud dengan nelayan secara spesifik sebenarnya hanya menunjuk pada orang yang benar-benar melakukan kegiatan mencari ikan di laut. Rumah yang di bangun di Pemukiman Nelayan Muara Angke ditempati oleh 1321 KK dan 6298 jiwa. Hasil penelusuran lapangan yang dilakukan pada bulan Februari hingga bulan Mei tahun 2006 menunjukkan bahwa jumlah nelayan pemilik kapal semakin menyusut. Fakta ini diperkuat dengan informasi yang diperoleh dari pengurus organisasi profesi nelayan di Muara Angke. Di RW 1 tidak ada lagi nelayan pemilik kapal yang mengoperasikan kapal. Saat ini kapal-kapal hanya disandarkan di pelabuhan. Mahalnya harga bahan bakar minyak telah memicu kenaikan kebutuhan ransum menangkap ikan. Biaya operasional melaut menjadi sangat besar dan kondisi ini tidak diimbangi dengan kenaikan harga ikan. Para pemilik kapal akhirnya memutuskan tidak melakukan aktivitas melaut. Mereka memilih bekerja sebagai pedagang atau agen ikan. Ikan diperoleh dari kapal-kapal yang berlabuh di pelabuhan pendaratan ikan. Menurut Ketua Rukun Wilayah (RW) 1, para nelayan pekerja atau anak buah kapal tidak menempati rumah di Kawasan Pemukiman Nelayan. Nelayan pekerja umumnya pendatang dan tinggal di kapalnya masing-masing yang ditambatkan di
100 area sekitar pelabuhan. Di wilayah RW 11, menurut pengurus kelompok nelayan tradisional di wilayah ini, para nelayan penghuni RW 11 yang memiliki kapal pada tinggal sekitar 20 orang. Hal ini diperkuat dengan data yang diperoleh dari Laporan Tahunan UPT Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke tahun 2005. Sejak kenaikan harga bahan bakar minyak pada tahun 2005 yang tidak diimbangi dengan kenaikan harga ikan, telah menyebabkan sebagian nelayan tidak memberangkatkan kapalnya ke laut. Nelayan menambatkan kapalnya di kolam pelabuhan. Tahun 2005 terdapat sebanyak 75 kapal yang dibiarkan oleh pemiliknya di kolam pelabuhan, dan ada yang dihuni oleh masyarakat sebagai tempat tinggal.
Karakteristik Nelayan Karakteristik nelayan menggambarkan ciri-ciri spesifik nelayan, secara individu maupun secara usaha, merupakan faktor-faktor internal dan spesifik yang dimiliki nelayan. Karakteristik nelayan yang diamati adalah: (1) karakteristik individu nelayan dan (2) karakteristik usaha nelayan. Karakteristik Individu Karakteristik individu yang diamati adalah: (1) pendidikan; (2) usia; (3) status diri; (4) daerah asal; (5) jumlah tanggungan; (6) status tempat tinggal; (7) pengeluaran setiap bulan; (8) sikap terhadap profesi dan (9) motivasi intrinsik untuk maju. Tabel 8 memperlihatkan karakteristik individu nelayan, yang menggambarkan profil responden di lokasi penelitian.
101 Tabel 8. Karakteristik Individu Nelayan Di Pelabuhan Pendaratan Ikan Muara Angke, Tahun 2006 Karakteristik Individu Nelayan
NPm
NPk
NPm+NPk
Frek
%
Urutan
Frek
%
Urutan
Fek
% Rata-rata
Urutan Sebaran
Tidak Sekolah
3
10
3
5
4.2
3
8
5
3
SR/SD
21
70
1
91
75.8
1
112
75
1
SMP/SMA
6
20
2
24
20
2
30
20
2
30
100
120
100
150
100
< 30 Tahun
7
23.3
2
82
68.3
1
89
59.3
1
30 s/d 50
19
63.3
1
34
28.3
2
53
35.3
2
> 50
4
13.3
3
4
3.3
3
8
5.3
3
30
100
120
100
150
100
Menikah
25
83.3
1
51
42.5
2
76
51
1
Tidak Menikah
5
16.6
2
69
57.5
1
74
49
2
30
100
120
100
150
100
DKI Jakarta
11
37
2
0
0
-
11
7.3
4
Indramayu
15
50
1
91
75.8
1
106
70.6
1
Subang
3
10
3
13
10.8
3
16
10.6
3
Lain-lain
1
3
4
16
13.3
2
17
11.3
2
30
100
120
100
150
100
0 Orang
5
16.6
3
67
55.8
1
72
48
1
1-2 Orang
6
20
2
22
18.3
2
28
18.6
3
3-4 Orang
8
26.6
1
21
17.5
3
29
19.3
2
5-6 Orang
8
26.6
1
6
5
4
14
9.3
4
> 6 Orang
3
10
4
4
3.3
5
7
4.6
5
30
100
120
100
150
100
1. Pendidikan
Total 2. Usia
Total 3. Status diri
Total 4. Daerah asal
Total 5. Jumlah tanggungan
Total
102
Tabel 8 (lanjutan) Karakteristik Individu Nelayan
NPm
NPk
NPm+NPk
Frek
%
Urutan
Frek
%
Urutan
Fek
% Rata-rata
Urutan Sebaran
Kapal
1
3.3
4
0
0
-
1
0.6
4
Orang tua
6
20
2
92
76.6
1
98
65.3
1
Kos
0
0
-
1
0.8
4
1
0.6
4
Kontrak
2
6.6
3
3
2.5
3
5
3.3
3
Milik Sendiri
21
70
1
24
20
2
45
30
2
Total 7. Pengeluaran per-bulan (Rp)
30
100
120
100
150
100
s/d 1.000.000
14
46.6
1
110
91.6
1
124
82.6
1
1.000.001 s/d 2.500.000
11
36.6
2
10
8.3
2
21
14
2
> 2.500.000
5
16.6
3
0
0
-
5
3.33
3
30
100
120
100
150
100
6. Status tempat tinggal
Total
Rata-rata (Rp)
1.688.333
412.083
667.333
Mode (Rp)
1.500.000
300.000
100.000
Median (Rp)
1.200.000
300.000
300.000
Maks (Rp)
11.200.000
1.400.000
11.200.000
50.000
50.000
Min (Rp) 100.000 Keterangan: NPm=Nelayan Pemilik, NPk= Nelayan Pekerja
Pendidikan Nelayan berpendidikan formal rendah. Sekolah Dasar atau Sekolah Rakyat merupakan bagian terbesar dari jenjang pendidikan yang pernah ditempuh. Setamat sekolah dasar, anak-anak nelayan cenderung langsung dilibatkan orang tuanya dalam kegiatan mencari ikan di laut. Uraian yang disampaikan pada Kasus 1 menggambarkan alasan anak-anak nelayan, tidak melanjutkan pendidikan.
103 Kasus 1: Tidak MelanjutkanPendidikan Formal Karena Tenaganya Dibutuhkan Orang Tua dan Karena Orang Tua Tidak Mampu Membiayai Pendidikan AR adalah seorang NPm berasal dari keluarga nelayan, yang saat ini berusia 58 tahun. AR menjelaskan bahwa setelah menyelesaikan Sekolah Rakyat ia segera membantu orang tua menangkap ikan di laut. AR merasa sangat penting untuk membantu usaha orang tuanya mencari nafkah. Orang tua membutuhkan tenaganya untuk bekerja, dan tidak mampu membayar biaya pendidikan. Pada tahun 1960, AR mengikuti kepindahan orang tua ke Jakarta dan bermukim di Tanjung Priok. Setelah menikah, pada tahun 1980 sejalan dengan program pemerintah untuk menangani pemukiman nelayan di Jakarta, AR pindah ke Muara Angke membawa keluarganya. AR menyadari pendidikan sangat penting bagi masa depan. Ia kini memiliki alat tangkap jaring milenium dan satu kapal. Dengan kerja keras sebagai nelayan, dan juga memiliki pekerjaan lain sebagai pedagang ikan yang dibantu isterinya, AR mampu menyekolahkan anak-anaknya. Dari empat orang anak, dua telah menjadi sarjana dan satu orang sedang menyelesaikan pendidikan tinggi. Anak pertama hanya sampai sekolah menengah dikarenakan kemampuannya yang terbatas pada saat-saat awal bekerja secara mandiri sebagai nelayan. Menurut AR, di masa muda ketika masih bersama orang tua, ia tidak memikirkan adanya alternatif ataupun pilihan lain untuk mencari nafkah selain melaut. Karena itu, dapat melaut sedini mungkin merupakan keinginannya. AR ingin segera berperan membantu ekonomi keluarga. Menurutnya, pendidikan formal yang sepenuhnya dilakukan di darat bertolak belakang dengan aktivitas nelayan yang sebagian besar waktunya dihabiskan di laut. Karenanya jika bersekolah berarti ia tidak melaut. Selain tidak memiliki biaya, tenaga anak-anak nelayan sangat diperlukan untuk membantu menopang perekonomian keluarga dengan cara membantu orang tua iku melaut. WD adalah seorang NPk berusia 20 tahun. Dengan kerja keras orang tua, WD sanggup menamatkan pendidikan formal hingga Sekolah Menengah Pertama. Bahkan sempat meneruskan ke Sekolah Menengah Atas. Sayang sekali krisis ekonomi melanda keluarganya pada saat WD hampir menamatkan Sekolah Menengah Atas. Akhirnya WD memutuskan berhenti sekolah. WD mengambil keputusan untuk membiayai hidupnya sendiri. Agar tidak merepotkan orang tua, ia menjadi nelayan pekerja. Cita-cita melanjutkan ke sekolah penerbang sirna karena ketidakmampuan menamatkan pendidikan menengah atas. Hingga saat ini, WD telah 2 tahun lebih menjadi NPk, mengikuti pemilik alat tangkap yang merupakan kenalannya satu kampung. Jika memungkinkan, WD masih ingin menamatkan sekolah menengah atasnya dan masuk sekolah penerbang.
Usia Berdasarkan status usaha/status kepemilikan alat, NPk sebagian besar (68.3 %) berada pada usia muda yaitu < 30 tahun, sedangkan NPm sebagian besar (63.3 %) berada pada golongan usia dewasa yaitu 30 s/d 50 tahun. Uraian yang disampaikan pada Kasus 2 menggambarkan alasan nelayan melaut sejak usia muda.
104 Kasus 2: Menjadi Nelayan Sejak Usia Muda Karena Tidak Mampu Membiayai Pendidikan UD berusia 19 tahun, seorang NPk yang berasal dari keluarga nelayan. Tidak menamatkan Sekolah Dasar karena kemampuan ekonomi keluarganya yang terbatas untuk membiayai pendidikan. Sejak kecil UD telah melaut. Setelah memasuki usia remaja, karena ingin mendapatkan pengalaman di luar kampung halaman, maka pada usia 17 tahun UD mengikuti kenalannya seorang nelayan satu kampung merantau di Jakarta. Saat ini telah lebih dari 2 tahun UD menjadi nelayan pekerja di Jakarta. UD bekerja pada kapal dengan alat tangkap jaring milenium milik nelayan Indramayu yang dijalankan bersama 5 orang lainnya. Demikian juga yang diungkapkan SH seorang NPm berusia 32 tahun, yang mengoperasionalkan alat tangkap jaring kakap. SH berasal dari keluarga nelayan, sejak usia 10 tahun ia telah membantu orang tua melaut. Alasannya menjadi nelayan pada usia yang masih muda karena menyadari tenaganya sangat dibutuhkan orang tua. SH dengan sukarela membantu orang tua melaut, akibatnya SH tidak dapat menamatkan sekolah dasarnya. Sejak usia dini SH telah mengenal laut, dan merasa di lautlah tempatnya mencari nafkah.
Status Diri Jika dilihat menurut status usaha atau status kepemilikan kapal dan alat tangkap, sebagian besar (83.3%) NPm berstatus menikah. Mereka berada pada golongan usia dewasa. Sebagian besar (57.5 %) NPk berstatus tidak atau belum menikah. NPk terbanyak berada pada golongan usia muda (68.3%). Mereka mempertimbangkan ingin mencari pengalaman bekerja dan memastikan masa depan usahanya terlebih dahulu sebelum menikah. Daerah Asal Nelayan-nelayan dari Provinsi Jawa Barat khususnya Indramayu, merupakan daerah asal sebagian besar responden (70.6 %). Diikuti oleh nelayan yang berasal dari Subang Provinsi Banten dan nelayan DKI Jakarta. Setelah dilakukan penelusuran lebih mendalam terhadap responden nelayan yang kini menjadi penduduk DKI Jakarta, ternyata mereka pada awalnya merupakan nelayan migran. Mereka menjadi warga DKI Jakarta setelah pindah dari tempat tinggal sebelumnya di daerah Tanjung Priok ke Pemukiman Nelayan Muara Angke. Berikut ini disampaikan Kasus 3 yang memperlihatkan hal-hal yang mendorong kepindahan nelayan di Jakarta.
105 Kasus 3: Pindah ke Jakarta Karena Hasil Tangkapan Mudah Laku, Adanya Keluarga di Jakarta, dan Karena Jarak dari Daerah Asal ke Jakarta Tidak Jauh
WY adalah seorang NPm berusia 46 tahun berasal dari Indramayu. WY menjelaskan, nelayan yang telah lebih dahulu berada di Jakarta memberi informasi kepada keluarga di kampung, bahwa hasil tangkapan di Jakarta lebih mudah laku dibanding di daerah asalnya. Hal ini merupakan pendorong utama nelayan lain mengadu nasib di Jakarta. Para nelayan yang telah lebih dahulu berada di Jakarta siap menolong jika nelayan yang baru datang di Jakarta membutuhkan pertolongan. WY berasal dari keluarga nelayan dan telah 18 tahun menjadi nelayan di Jakarta. Menurutnya, kekerabatan nelayan dari sesama daerah asal cukup baik. Bahkan seorang tetua nelayan tradisional asal Indramayu kini menjadi salah seorang tokoh nelayan tradisional. Alasan yang sama juga diungkapkan nelayan lainnya seperti AM (50 tahun) NPm berasal dari Tegal, dan IM (21 tahun) NPk dari Brebes. Bagi nelayan-nelayan migran ini, peluang memasarkan hasil tangkapan di Jakarta sangat besar. Seluruh hasil tangkapan dapat habis terjual setiap sampai di pangkalan pendaratan. Selain itu jarak dari daerah asal ke Jakarta dianggap tidak terlalu jauh untuk dicapai dari daerah asalnya.
Jumlah Tanggungan Sebagian besar (63.2 %) NPm memiliki tanggungan > 3 orang, sedangkan sebagian besar (74.1 %) NPk memiliki tanggungan < dari 3 orang. Status Tempat Tinggal Sebagian besar (70%) NPm telah memiliki tempat tinggal sendiri, dan sebagian besar (79.9%) NPk masih kesulitan memiliki rumah, walau di daerah asal masingmasing. Bagi yang telah menikah namun belum memiliki rumah, tinggal di tempat orang tua, kos, kontrak, bahkan tinggal di kapal yang telah ditinggalkan pemiliknya dan ditambatkan di pangkalan pendaratan ikan, menjadi alternatif pilihan tempat tinggal. Selain memanfatkan kapal sebagai tempat tinggal, nelayan juga memanfatkan kapal sebagai tempat usaha yaitu membuka warung. Pengeluaran Setiap Bulan Pengeluaran nelayan per bulan terbanyak (82.6%) dikisaran s/d Rp. 1.000.000. Pengeluaran per bulan terendah Rp.50.000 berada pada kelompok NPk. Pada kelompok NPm, pengeluaran per bulan di bawah Rp.1.000.000 ada pada NPm pengguna alat tangkap bubu dan jaring plastik, yaitu sebesar Rp.100.000.
106 Pengeluaran NPm pengguna alat lainnya per bulan pada kisaran Rp.1.000.001 s/d 2.500.000 (36.6 %). Ada juga yang mencapai Rp.11.200.000, yaitu NPm pengguna jaring milenium. Pada kelompok NPk pengeluaran terbesar sebanyak RP.1.400.000, yaitu NPk pada kapal dengan alat tangkap jaring nilon 4 inch. Kasus 4 memperlihatkan alasan terjadinya perbedaan jumlah pengeluaran antar nelayan.
Kasus 4: Pengeluaran Berbeda Disebabkan Perbedaan Jumlah Tanggungan (NPm Memiliki Usaha Lain) WY adalah NPm dengan alat tangkap jaring milenium, status menikah dan tidak memiliki anak. Ia mengeluarkan biaya yang besar setiap bulannya dibandingkan NPm lainnya. WY dan istri mengelola usaha industri otak-otak. Sehingga, selain pengeluaran rumah tangga setiap bulan yang meliputi konsumsi keluarga setiap hari, cicilan rumah, air minum, listrik, dan telepon, WY dan istri juga mengeluarkan dana untuk pengeluaran rutin usahanya termasuk membayar gaji para pekerja di industri otak-otak yang berjumlah 6 orang. Total pengeluaran setiap bulannya sebesar Rp. 11.200.000. Jumlah sebesar ini dapat diperolehnya dari gabungan penghasilan melaut dan penjualan otakotak, kadang-kadang WY sempat menabung. AR nelayan berstatus menikah, hidup dengan istri dengan 4 orang anak. Walaupun AR seorang NPm dengan alat tangkap yang sama dengan WY, setiap bulan AR mengeluarkan lebih sedikit dana dari WY, yaitu sekitar Rp.4.000.000, khusus untuk keperluan rutin rumah tangga. AR memiliki tanggungan istri dan 4 orang anak, serta masih ada yang membutuhkan dana pendidikan. Pengeluaran rutin dibiayai dari hasil melaut dan hasil berdagang ikan. Walaupun sama-sama NPm, pengeluaran setiap bulan ST (34 tahun), berbeda jauh jika dibandingkan dengan kedua NPm di atas. ST mengoperasionalkan bubu untuk menangkap rajungan. ST berstatus menikah dan memiliki seorang istri dan 1 orang anak yang tinggal di daerah asalnya. Setiap bulan ia mengeluarkan dana sebesar kurang lebih Rp.800.000 untuk pengeluaran rutin rumah tangga, termasuk untuk mencicil rumah sebesar Rp.90.000/ bulan di kampung. Setiap hari ST menabung dan tiap 20 hari sekali ia pulang kampung menyerahkan biaya keperluan rumah tangga. Penghasilan hanya diperoleh murni dari hasil penjualan rajungan. Pengeluaran NPk dengan status menikah berbeda dengan NPk yang belum menikah. AT (35 tahun) adalah NPk yang bekerja pada kapal dengan alat tangkap jaring nilon 4 inch. AT berstatus menikah dengan tanggungan 1 istri dan 3 orang anak. Pengeluaran rutin setiap bulannya minimal Rp.1.400.000. Penghasilan diperoleh hanya dari melaut. NPk yang belum menikah, seperti KH (23 tahun) dan KM (22 tahun), mereka mengoperasionalkan alat tangkap bubu. Tinggal di kapal, dan hanya menanggung dirinya sendiri. Kebutuhan konsumsi sehari-hari ditanggung pemilik kapal, sehingga tidak memerlukan pengeluaran penting untuk kebutuhan pokoknya. Pengeluaran Rp.200.000 setiap bulan untuk tambahan jajan dan rokok.
107 Sikap terhadap Profesi Hasil pengukuran sikap nelayan terhadap profesi adalah baik dalam hal: (1) keinginan melaut dengan jarak lebih jauh; (2) keinginan tetap melaut walau memiliki kapal dan (3) pengakuan nelayan terhadap profesi. Tabel 9 memperlihatkan sikap nelayan terhadap profesi. Tabel 9. Sikap terhadap Profesi Nelayan Di Pelabuhan Pendaratan Ikan Muara Angke, Tahun 2006 Sikap Terhadap Profesi 1. Keinginan melaut dengan jarak lebih jauh dari saat ini 2. Keinginan tetap melaut walau memiliki kapal 3. Pengakuan terhadap profesi sebagai nelayan Skor Rata-rata Kategori Modus Median Maks Min Std. Dev.
NPm Skor Rata-rata
Kategori
NPk Skor Rata-rata
Kategori
NPm+NPk Skor Rata-rata
Kategori
81.7
Tinggi
86.15
Tinggi
85.83
Tinggi
77.5
Sedang
84.85
Tinggi
84.5
Tinggi
87.9 84.19 Tinggi 75 100 100 25 16.66
Tinggi
80.57 83.19 Tinggi 75 75 100 25 21.40
Sedang
82 84.11 Tinggi 75 75 100 25 13.36
Tinggi
Keterangan: N=150; NPm=Nelayan Pemilik (n1= 30), NPk=Nelayan Pekerja (n2= 120); Kategori: Skor < 60= Rendah, 60-80= Sedang, 81 s/d 100=Tinggi
Kasus 5 memperjelas sikap nelayan terhadap profesinya. Kasus 5: Bangga menjadi nelayan, dan Merasa Menjadi Nelayan Merupakan Jalan Hidup RH 39 tahun seorang NPm yang telah memulai usaha sebagai nelayan sejak 17 tahun yang lalu. RH adalah anak dari keluarga nelayan yang mampu memberikan pendidikan hingga bisa menamatkan Sekolah Menengah Atas. Sikap RH terhadap profesinya tergolong baik. Awalnya RH membantu usaha orangtua sebagai nelayan. Selanjutnya karena ingin mandiri, RH mencoba memulai usahanya sendiri. Pada awalnya RH menangkap rajungan. Karena ingin meningkatkan penghasilan, RH mencoba jenis alat tangkap lain. Saat ini RH memiliki alat tangkap jaring nilon dan jaring milenium. RH jarang melaut karena ingin menjaga agar modal melaut berkelanjutan. RH melakukan pekerjaan lain seperti membantu usaha keluarga membuat otak-otak, dan berdagang ikan. RH merasakan menjadi nelayan adalah jalan hidupnya, ia merasa bangga menjadi nelayan. Menjadi nelayan dianggap sebagai jalan hidup yang diwariskan orang tuanya. RH seperti juga nelayan lainnya, mencantumkan pekerjaan sebagai nelayan di kartu tanda penduduknya.
108 Motivasi Intrinsik untuk Maju Untuk menjadi nelayan yang maju dan dapat menjalankan usahanya dengan baik, nelayan perlu memiliki motivasi yang tinggi agar selanjutnya dapat mengembangkan kemampuan yang telah dimiliki dan diperoleh secara turun temurun. Motivasi intrinsik nelayan untuk maju masih rendah. Tabel 10 memperlihatkan hasil pengukuran motivasi intrinsik yang dimiliki responden untuk menjadi nelayan maju. Tabel 10. Motivasi Intrinsik untuk Maju Nelayan Kecil di Pelabuhan Pendaratan Ikan Muara Angke, Tahun 2006 Motivasi Intrinsik untuk Maju
1. Frekuensi mencari tahu programprogram pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan 2. Frekuensi membaca buku, majalah, atau informasi tentang bagaimana mengembangkan usaha perikanan laut. 3. Frekuensi diskusi dengan sesama nelayan atau dengan nelayan yang lebih maju .
NPm Skor Rata-rata
Kategori
NPk Skor Rata-rata
Kategori
NPm+NPk Skor Rata-rata
Kategori
32.75
Rendah
25.25
Rendah
26.83
Rendah
27.50
Rendah
25.00
Rendah
25.5
Rendah
59.25
Rendah
30.75
Rendah
36.5
Rendah
Skor Rata-rata
39.83
27.06
29.61
Kategori
Rendah
Rendah
Rendah
Modus
25
25
25
Median
25
25
25
Maks
75
50
75
Min
25
25
25
Std.Dev.
18.85
6.89
11.54
Keterangan: N=150; NPm=Nelayan Pemilik (n1= 30), NPk= Nelayan Pekerja (n2= 120) Kategori : Skor < 60= Rendah, 60-80= Sedang, 81 s/d 100=Tinggi
Karakteristik Usaha Status Nelayan Nelayan kecil yang beraktivitas di Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke terdiri dari: (1) nelayan penduduk dan (2) nelayan pendatang. Berdasarkan status usaha atau kepemilikan alat, nelayan di bagi atas: (1) nelayan pemilik kapal (NPm) dan (2) nelayan pekerja (NPk). NPm sering berperan dalam penentuan: (1) jenis alat
109 tangkap; (2) modal usaha; (3) pemasaran dan (4) pola pembagian hasil. NPk lebih banyak berperan dalam: (1) mempersiapkan keberangkatan melaut; (2) penangkapan ikan; (3) penanganan hasil tangkapan; (4) perbaikan alat tangkap dan (5) pembongkaran hasil tangkapan ketika sampai di darat. Jenis Peralatan Tangkap Jenis peralatan tangkap bervariasi. Tabel 11 memperlihatkan jenis alat tangkap, dan hasil tangkap yang diperoleh. Tabel 11. Jenis Alat Tangkap dan Hasil Tangkap Nelayan Di Pelabuhan Pendaratan Ikan Muara Angke, Tahun 2006 Jenis Alat Tangkap
Hasil
Tangkap
Rajungan Baronang Tenggiri Tongkol Tembang Bawal
Kembung Cunang Manyung Kakap
Bubu J. Plastik Pancing J. Senar J. Tembang J. Payang J. Lampara J. Nilon 2 Inch J. Nilon 3 Inch J. Nilon 4 Inch J. Milienium J. Kakap
Terdapat beberapa jenis peralatan tangkap yang saat ini digunakan. Bubu merupakan alat tangkap pertama yang digunakan nelayan asal Indramayu, sebelum mereka mencoba peralatan tangkap lainnya. Alat ini digunakan untuk menangkap rajungan. Para nelayan rajungan dalam perkembangannya mencoba alat tangkap lain. Saat ini alat tangkap dominan yang digunakan nelayan adalah jaring nilon 2 inch, dengan hasil tangkapan ikan kembung. Nelayan memiliki alasan khusus mengapa
110 menggunakan jenis alat tangkap tertentu. Kasus 6 memberikan penjelasan alasan nelayan memilih jenis alat tangkap tertentu.
Kasus 6: Memilih Jenis Alat Tangkap karena Hasil Tangkapan dengan Alat Tangkap tersebut Laku, dan Karena Pesanan dari Pemodal untuk Menangkap Jenis Ikan Tertentu. AM adalah seorang NPm asal Tegal yang berusia 50 tahun. Jenis alat tangkap yang digunakannya adalah jaring nilon 2 inch, dengan hasil tangkapan utama ikan kembung. AM memilih menggunakan alat tangkap jaring nilon 2 inch karena pertimbangan ekonomi. Ikan kembung merupakan jenis ikan yang laku di pasaran saat ini. Karenanya ia memutuskan menggunakan jaring nilon 2 inch sebagai alat tangkap. Demikian pula dengan TR seorang NPm (30 tahun) asal Subang, adanya pesanan dari pemodal yang merangkap sebagai agen dan pengumpul ikan untuk menangkap ikan baronang, menyebabkan ia memutuskan menggunakan alat tangkap jaring senar yang dibuat khusus untuk menangkap ikan jenis baronang. Begitu masuk di pangkalan, hasil tangkapan segera diantarkan pada agen ikan sebagai pemodal dan konsumen tetapnya. Alasan nilai ekonomis, juga menyebabkan SH (32 tahun), NPm asal Indramayu memilih menggunakan jaring kakap dalam usaha penangkapan ikan. Demikian juga dengan CA (50 tahun), TD (32 tahun), dan NPk asal Indramayu. mereka menggunakan jaring tembang karena adanya pesanan ikan tembang, yang sudah pasti pasarannya, begitu sampai di darat hasil tangkapan langsung di pasok ke pedagang ikan asin yang juga merupakan pemodalnya. .
Berat hasil tangkapan bervariasi dari 5 kilogram hingga 1000 kilogram. Walaupun menggunakan alat tangkap yang sama, dan berangkat pada waktu yang sama, nelayan bisa mendapatkan hasil yang berbeda. Misalnya: (1) jenis alat tangkap bubu, variasi berat hasil tangkapan berkisar 5-10 kilogram; (2) pancing jaring senar berkisar 300-800 kilogram; (3) jaring tembang berkisar 300-1000 kilogram; (4) jaring nilon 2 inch berkisar 45-400 kilogram; (5) jaring nilon 4 inc berkisar 50-100 kilogram dan (6) jaring milenium 70-1000 kilogram. Tabel 12 merinci berat hasil tangkapan dan jenis alat tangkap.
111 Tabel 12. Jenis Alat Tangkap dan Variasi Berat Tangkapan (Kg) Nelayan di Pelabuhan Pendaratan Ikan Muara Angke, Tahun 2006 Berat Tangkapan (Kg)
Jenis J. Pc.J. Bubu Plastik Senar
Alat
J.Tem J. J. bang Payang Lampara
Tangkap J.Nl 2 Inch
J.Nl 3 Inch
J.Nl 4 J. Inch Mileni J. um Kakap
F
%
5
1
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
1.37
6
3
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
4
2.61
8
4
-
-
-
-
-
-
-
-
-
4
2.61
10
14
-
-
-
-
-
-
-
-
-
14
9.15
45
-
-
-
-
-
1
-
-
-
-
1
0.65
50
-
-
-
-
-
14
1
2
-
-
17
11.11
60
-
-
-
-
15
3
-
-
-
-
18
11.76
70
-
-
-
-
-
5
-
4
1
-
10
6.53
100
-
-
-
-
-
13
-
1
-
-
14
9.15
200
-
-
-
-
-
2
-
-
-
2
4
2.61
300
-
5
11
6
-
-
-
-
-
-
22
14.37
400
-
3
-
-
-
1
-
-
-
-
4
2.61
600
-
7
-
-
-
-
-
-
1
-
8
5.22
800
-
1
-
-
-
-
-
-
-
-
1
0.65
900
-
-
-
-
-
-
-
1
9
-
10
6.53
1000
-
-
5
-
-
-
5
1
8
-
19
12.41
F
23
16
16
6
15
39
6
9
19
2
153
100
2
Responden=150, F= Frekuensi; Total F=153, karena ada 3 Responden NPm yang memiliki 2 alat tangkap.
Walau menggunakan peralatan yang sama, dan berangkat pada periode melaut yang sama, nelayan tidak selalu menghasilkan hasil tangkapan dengan jumlah dan berat yang sama. Kasus 7 memberikan gambaran, alasan terjadi perbedaan hasil tangkapan antar nelayan.
112 Kasus 7: Hasil Tangkapan Berbeda Karena Perbedaan Pengalaman Nahkoda
WY dan RH adalah kakak beradik sama-sama NPm yang memiliki alat tangkap jaring milenium. Pada waktu tangkap yang sama, hasil tangkapan WY dan RH yang menggunakan alat tangkap yang sama bisa berbeda (WY sekitar 70 kg dan RH 900 kg). Padahal WY dan RH sama-sama tidak memiliki peralatan untuk mendeteksi keberadaan ikan. Menurut WY, selain faktor alam, dalam hal ini cuaca, maka pada kondisi normal, memiliki nahkoda yang berpengalaman merupakan kunci keberhasilan penangkapan ikan. Menurut WY, nahkoda adiknya yaitu nakhoda RH jauh lebih berpengalaman dibandingkan nahkodanya. Nahkoda RH memiliki kemampuan mengetahui lokasi tangkapan dengan cepat. Kemampuan nahkoda RH mengetahui dengan cepat lokasi tangkapan, berakibat pada kecepatan proses penangkapan ikan. Kapalnya tidak perlu lama berada di laut, dan ini sangat menghemat BBM dan perbekalan. Selain itu, sesampai di darat produk cepat dapat dipasarkan, para nelayan dapat beristirahat untuk kemudian segera menyiapkan keperluan melaut untuk periode berikutnya.
Pola Pembagian Hasil Pola pembagian hasil antara nelayan pemilik dan nelayan pekerja bervariasi. Berikut ini diuraikan pola bagi hasil yang terjadi pada sampel di lokasi penelitian. (1) Bagi Hasil Murni Penjualan hasil tangkapan (dalam rupiah) dikurangi modal, kemudian dibagi dua. Biasa disebut dengan pola bagi dua. Jumlah bagian yang pertama untuk nelayan pemilik, sedangkan jumlah bagian yang kedua untuk nelayan pekerja. Pola ini diterapkan oleh kelompok nelayan yang hanya melaut dengan dua personil, misalnya nelayan rajungan dengan alat bubu dan jaring plastik. (2) Bagi Hasil Bertingkat Hasil jual tangkapan (dalam rupiah) dikurangi modal, kemudian dibagi dua. Jumlah bagian yang pertama untuk nelayan pemilik, sedangkan jumlah bagian yang kedua dibagi lagi sebanyak jumlah nelayan pekerja. Pola ini sering diterapkan oleh nelayan yang kapalnya berawak lebih dari 2 orang, misalnya: pola bagi hasil 2/4; pola bagi hasil 3/4 dan seterusnya. Bagi hasil 3/4 digunakan oleh nelayan yang menggunakan alat tangkap: (1) pancing dengan jaring senar; (2) jaring nilon 2 inch dan (3) jaring nilon 4 inch.
113 Bagi hasil 2/4 digunakan oleh nelayan yang menggunakan alat tangkap: (1) jaring nilon 2 inch dan (2) jaring nilon 4 inch. Angka empat menunjukkan jumlah personil yang melaut. Bagi hasil 2/5 digunakan oleh nelayan yang menggunakan alat tangkap: (1) pancing jaring senar dan (2) jaring nilon 3 inch. Angka lima menunjukan jumlah personil yang melaut. Bagi hasil 2/6 digunakan oleh nelayan yang menggunakan alat tangkap: (1) jaring nilon 2 inch; (2) jaring nilon 3 inch dan (3) jaring milenium. Angka enam menunjukan jumlah personil yang melaut. Bagi hasil 2/7 digunakan oleh nelayan yang menggunakan alat tangkap jaring payang. Angka tujuh menunjukan jumlah personil yang melaut. (3) Bagi Hasil Bertingkat dengan Menyisihkan Penghasilan untuk Nahkoda Setelah hasil penjualan diterima, dikurangi besarnya modal (dalam rupiah). Nahkoda mendapat bagian khusus sekitar 5-10 persen. Selanjutnya dibagi 2 (bagian pertama untuk nelayan pemilik dan bagian kedua untuk nelayan pekerja yang besarnya masing-masing nelayan dibagi sesuai jumlah nelayan pekerja pada kapal tersebut ). Pola ini ditemukan pada nelayan yang menggunakan alat tangkap jaring tembang. (4) Bagi Hasil Bertingkat dengan Sistem Persentase Setelah hasil penjualan produk (dalam rupiah) diterima, dikurangi modal. 40 persen hasil penjualan diperuntukkan bagi nelayan pemilik, dan 60 persen diperuntukkan bagi masing-masing nelayan pekerja dibagi sejumlah nelayan pekerja pada satu kapal. Bagi hasil 10% nahkoda/2/12 digunakan oleh nelayan yang menggunakan alat tangkap jaring tembang. Angka dua belas menunjukkan jumlah personil yang melaut. Bagi hasil 40:60/16 digunakan oleh nelayan yang menggunakan alat tangkap jaring lampara. Angka enam belas menunjukkan banyaknya personil yang melaut. Bagi hasil 5% nahkoda/2/7 digunakan oleh nelayan yang menggunakan alat tangkap jaring tembang. Angka tujuh menunjukkan jumlah personil yang melaut.
114 Tabel 13 memperlihatkan pola pembagian hasil dan jenis alat tangkap. Tabel 13. Jenis Alat Tangkap dan Pola Pembagian Hasil Nelayan di Pelabuhan Pendaratan Ikan Muara Angke, Tahun 2006
Pola Pembagian Hasil Bagi 2
Jenis Bubu
F=23
Alat Tangkap J. Pancing Plastik J. Senar
J. Tem bang
J. Pa yang
J. Lam Para
J. Nl 3Inch
J. Nl J. J. 4Inch Mileni Kakap um
F=2
Bagi 3/4
F=11
Bagi 2/4 Bagi 2/5
F=20
F=3
F=15
F=6
F=5
F=5
Bagi 2/6 Bagi 2/7
F=4
F=1
F=2 F=19
F=6
10%N/2/12
F=11
40:60/16 5%N/2/7 Total F= 153
J.Nl 2 Inch
F=15 F=5 23
%= 100 15.03
2
16
16
6
15
39
6
9
19
2
1.37
10.45
10.45
3.92
9.80
25.49
3.92
5.88
12.41
1.30
Keterangan: N = Nahkoda; Responden=150, F = Frekuensi; Total F =153, karena ada 3 Responden Nelayan Pemilik (NPm) masing-masing memiliki 2 alat tangkap; % = Persentase pengguna alat tangkap berdasarkan pola bagi hasilnya
Pengalaman sebagai Nelayan Pengalaman sebagai nelayan dihitung dalam tahun, berdasarkan lamanya setiap respoden menjadi nelayan. NPm lebih berpengalaman di banding NPk. Tabel 14 memperlihatkan pengalaman nelayan di lokasi penelitian.
115 Tabel 14. Pengalaman Nelayan di Pelabuhan Pendaratan Ikan Muara Angke, Tahun 2006 Pengalaman Nelayan (tahun)
NPm
NPm + NPk
NPk
Frek
%
Frek
%
Frek
%
1
3.3
45
37.5
46
30.6
33.3 63.3 100
35 40 120 9.48 2 7 40 0.1
29.1 33.3 100
45 59 150 10.95 6 8 42 0.1
30 39.3 100
Rata-rata Modus Median Maksimum Minimum
10 19 30 16.83 6 15 42 5
Std. Dev.
10.75
s/d 4 Tahun 5 s/d10 Tahun > 10 Tahun
8.06
9.11
Keterangan: NPm=Nelayan Pemilik, NPk= Nelayan Pekerja s/d 4 Tahun= Kurang Berpengalaman; 5 s/d 10 Tahun= Cukup Berpengalaman; > 10 Tahun= Sangat Berpengalaman
Secara keseluruhan NPm maupun NPk berada pada kategori sangat berpengalaman, dengan lama > 10 tahun menjadi nelayan (39.3 %). Pengalaman terendah seorang NPm adalah menjadi nelayan selama 5 tahun. Ia adalah seorang NPm dengan alat tangkap jaring lampara. Pengalaman tertinggi seorang NPm adalah menjadi nelayan selama 42 tahun. Hanya satu orang, berusia 58 tahun, dan memiliki satu kapal dengan alat tangkap jaring milenium. Pengalaman terendah seorang NPk menjadi nelayan adalah 0.1 tahun atau sekitar 1.2 bulan. Ia adalah NPk berusia 22 tahun yang bekerja pada kapal dengan alat tangkap jaring milenium. Pengalaman tertinggi seorang NPk adalah menjadi nelayan selama 40 tahun. Hanya satu orang, berusia 60 tahun dan telah menjadi nelayan sejak usia 20 tahun, saat ini bekerja pada kapal dengan alat tangkap jaring milenium. Berikut ini disampaikan Kasus 8 yang menjelaskan alasan NPm lebih berpengalaman dibandingkan para NPk.
116 Kasus 8: NPm Lebih Berpengalaman dari NPk Karena Lebih Lama Melaut Hasil Focused Group Discussion (FGD) pada NPm dan NPk di Kapal MS (alat tangkap jaring nilon 4 inch) dan Kapal BS (alat tangkap pancing dengan jaring senar) memperlihatkan NPm di kedua kapal memiliki pengalaman sebagai nelayan di atas 10 tahun. Kedua NPm tergolong sangat berpengalaman dalam menjalankan profesinya. Mereka mengambil keputusan memiliki kapal dan alat tangkap sendiri setelah benarbenar merasa cukup mampu secara pengalaman kemudian didukung oleh ketersediaan modal. Untuk mencapai pengalaman yang memadai sebagai pemilik kapal membutuhkan waktu. Makin lama melaut, nelayan makin berpengalaman. Walaupun pengalaman para NPk di kedua kapal ini ada ada kisaran 2-6 tahun dan belum tergolong memiliki pengalaman melaut seperti NPm. Bagi NPk, kondisi awal melaut sama halnya dengan NPm. Pengalaman melaut rata-rata telah dimulai sejak usia dini. Kondisi keuangan keluarga yang tidak mencukupi bagi anak-anak nelayan untuk melanjutkan pendidikan, dan kebutuhan orang tua akan tenaga kerja murah yang dapat membantu mereka di laut menyebabkan nelayan pada usia anak-anak telah mulai melaut. Menurut NPm dan NPk di kedua kapal ini, pengalaman yang diperoleh secara alamiah selama menjadi nelayan adalah: (1) pengenalan kondisi dan gejala-gejala alam, khususnya laut;, (2) cara-cara menangkap ikan berdasarkan kebiasaan, pengalaman orang tua, atau sanak keluarga, teman, yang juga nelayan; (3) cara menangani hasil tangkapan; (4) cara memasarkan hasil tangkapan; (5) cara memecahkan masalah usaha, apabila terjadi musim paceklik dan (6) cara memanfaatkan penghasilan agar tetap dapat melaut pada periode berikutnya.
Alasan menjadi Nelayan Alasan para responden memilih pekerjaan sebagai nelayan bervariasi. Alasan terbanyak nelayan memilih profesinya sebagai nelayan adalah kerena berasal dari keluarga nelayan (78%). Diikuti alasan lain, seperti: (1) ikut teman (16.6%); (2) mencari kehidupan yang lebih baik (3.3%); (3) tidak ada pekerjaan lain (1.3%) dan (4) karena alasan hasilnya kadang memuaskan (0.6%). Banyaknya alasan menjadi nelayan karena berasal dari keluarga nelayan, mengindikasikan bahwa profesi sebagai nelayan adalah profesi yang diwariskan secara turun temurun. Tabel 15 memperlihatkan berbagai alasan responden memilih pekerjaan sebagai nelayan.
117 Tabel 15. Alasan Menjadi Nelayan Nelayan di Pelabuhan Pendaratan Ikan Muara Angke, Tahun 2006 Alasan menjadi nelayan
Keluarga Nelayan Ikut teman Tdk ada pekerjaan lain Cari kehidupan lebih baik Hasilnya kdg memuaskan Alasan menjadi nelayan
NPm
NPm+ NPk Frek
NPk
%
Urutan Sebaran
117
78
1
16.6
25
16.6
2
1
0.8
2
1.3
4
6.6
3
2.5
5
3.3
3
1
3.3
0
0
1
0.6
5
30
100
120
100
150
100
Frek
%
Frek
%
21
70
96
80
5
16.6
20
1
3.3
2
NPm=Nelayan Pemilik, NPk= Nelayan Pekerja
Kasus 9 mengungkapkan alasan memilih profesi sebagai nelayan.
Kasus 9: Alasan Berprofesi sebagai Nelayan karena dari Keluarga Nelayan,Ikut Teman, Cari Kehidupan yang Lebih Baik,dan karena Tidak Memiliki Pekerjaan Lain
Berdasarkan hasil Focused Group Discussion (FGD) pada NPm dan NPk di Kapal GR, Kapal MS, dan Kapal BS, terungkap bahwa para nelayan memilih profesi sebagai nelayan karena berasal dari keluarga nelayan. Selanjutnya, karena pergaulan dikalangan anak-anak muda nelayan dan anak-anak muda bukan nelayan di satu desa terjalin cukup baik maka beberapa orang NPk yang bukan dari keluarga nelayan memutuskan mengikuti temannya melaut. Ikatan sosial yang kuat antar anak muda di daerah asal merupakan salah satu alasan mengapa responden yang sebelumnya bekerja sebagai pedagang, petani, bahkan belum pernah bekerja menyatakan mereka menjadi nelayan karena mengikuti temannya yang telah bekerja sebagai nelayan. Pada FGD juga terungkap bahwa pekerjaan melaut dilakukan karena tidak memiliki kemampuan lain, hal ini disampaikan oleh ED (NPm) Kapal BS. Sedangkan para NPk di Kapal BS menginginkan dapat bekerja di darat, namun mereka juga menyadari tidak memiliki keterampilan lain, karenanya tetap memilih profesi sebagai nelayan. SD NPm Kapal GR mengatakan, hasil yang diperoleh dari pekerjaan sebagai nelayan cukup menjanjikan penghasilan yang baik jika dilakukan dengan serius, dan didukung oleh permodalan, teknologi, dan pemasaran yang baik.
118 Kekondusifan Lingkungan Kekondusifan lingkungan adalah dukungan faktor-faktor di sekitar nelayan, yang terkait dengan usaha nelayan, disebut juga faktor-faktor lingkungan atau faktorfaktor eksternal nelayan. Analisis kekondusifan lingkungan meliputi analisis: (1) dukungan kelembagaan nelayan; (2) kesempatan; (3) dukungan informasi; (4) dukungan penyuluhan dan (5) dukungan sarana prasarana. Tabel 16 memperlihatkan hasil pengukuran kekondusifan lingkungan. Tabel 16. Kondisi Kekondusifan Lingkungan Nelayan di Pelabuhan Pendaratan Ikan Muara Angke, Tahun 2006 Dukungan Lingkungan
1. Dukungan kelembagaan nelayan 2.Kesempatan (dari pemerintah, wakil rakyat, swasta/ masyarakat) 3. Dukungan informasi 4. Dukungan penyuluhan 5. Dukungan sarana dan prasarana
NPm NPk Skor Skor Rata-rata Kategori Rata-rata Kategori
NPm+NPk Skor Rata-rata
38.36
Rendah
26.96
Rendah
29.16
Rendah
42.39
Rendah
35.39
Rendah
36.35
Rendah
37.39
Rendah
30.71
Rendah
32.11
Rendah
34.48
Rendah
30.88
Rendah
31.42
Rendah
70.58
Sedang
73.35
Sedang
73.12
Sedang
Skor Rata-rata
46.85
41.98
42.99
Kategori
Rendah
Rendah
Rendah
Modus
25
25
25
Median
50
50
25
Maks
100
100
100
Min
25
25
25
Std.Dev.
23.26
25.43
25.12
Kategori
Keterangan: NPm=Nelayan Pemilik, NPk= Nelayan Pekerja Kategori: Skor < 60= Rendah, 60-80= Sedang, 81 s/d 100=Tinggi
Kelembagaan Nelayan Di lokasi penelitian terdapat dua lembaga yang seharusnya dapat memberikan andil yang berarti dalam pengembangan usaha nelayan, yaitu: (1) kelompok nelayan dan (2) koperasi. Kelompok nelayan yang ada tidak berfungsi dengan baik. Kegiatan
119 terakhir kelompok nelayan berlangsung pada tahun 2003, sedangkan koperasi belum dirasakan perannya pada usaha nelayan. Menurut informasi pengurus koperasi, anggota koperasi perikanan terdiri dari nelayan pemilik alat perikanan, pengolah ikan, pemasar ikan, serta anggota masyarakat yang berkecimpung dalam kegiatan perikanan. Koperasi mempunyai beberapa usaha yaitu: (1) usaha umum terdiri dari: unit garam, minyak tanah, air PAM, fiber, olie, MCK, abon/ ikan asin, pemasaran ikan dan jasa-jasa; (2) simpan pinjam dan (3) penyelenggaraan pelelangan ikan di TPI. Dari lelang ikan koperasi menarik retribusi sebesar lima persen. Dipungut dari nelayan tiga persen, dan dari bakul tiga persen. Bagian koperasi sebesar dua persen dari lima persen retribusi yang diterima. Pada Kasus 10 disampaikan penjelasan alasan kelembagaan nelayan pasif.
Kasus 10: Kelompok Nelayan Pasif karena Kesibukan Anggotanya pada Usaha Masing-masing, Anggota Tidak Disiplin, dan karena Tidak Ada Pembinaan
Hasil FGD pada pengurus dan anggota Kelompok Nelayan RJ yaitu kelompok nelayan tradisional yang berada di lokasi penelitian, memperlihatkan pada tahun 2003 tercatat kelompok nelayan ini beranggota 124 orang. Kelompok nelayan tersebut kini pasif. Tidak ada satupun program yang berjalan. Kegiatan kelompok yang terakhir dilakukan adalah simpan pinjam, dan kini tidak berlanjut. Alasan utama tidak berjalannya kegiatan kelompok nelayan adalah kesibukan anggotanya dengan urusan mencari nafkah. Pada saat penelitian berlangsung, pembinaan kelompok nelayan sama sekali tidak ada. Satu-satunya kegiatan pembinaan kelompok adalah pelatihan membuat pembukuan yang dilakukan pada tahun 2002. Kemajuan usaha yang dirasakan nelayan melalui kelompok belum optimal. Sulitnya mengatur waktu mengelola kelompok, dan sulitnya menegakkan kedisiplinan anggota, terutama dalam menunaikan kewajiban pada kegiatan simpan pinjam, membuat kegiatan kelompok tidak dapat berkesinambungan. Namun demikian, kegiatan simpan pinjam dianggap cukup membantu nelayan. Menurut para pengurus dan anggota kelompok, pemerintah perlu melakukan pembinaan terhadap kelompok mereka, agar kelompok tersebut dapat memberi dukungan nyata terhadap usaha mereka sebagai nelayan. Mereka menginginkan kelompoknya segera mendapatkan pembinaan agar dapat memberikan manfaat nyata bagi kegiatan usaha sehari-hari. Mereka merasa kelompoknya saat ini membutuhkan bimbingan dalam hal memilih dan mengembangkan program-program kelompok agar sesuai dan mendukung kemajuan usahanya. Kelompok juga memerlukan bantuan akses agar dapat mengembangkan usaha anggota-anggotanya.
120 Kesempatan Nelayan belum memperoleh kesempatan yang baik untuk dapat mengembangkan usahanya. Keberlangsungan usaha nelayan lebih cenderung karena inisiatif nelayan sendiri dan karena melihat adanya peluang memasarkan dengan cepat di Jakarta. Kesempatan untuk mengembangkan usaha masih rendah dan belum sesuai dengan harapan nelayan. Nelayan belum mendapatkan dukungan yang serius dalam memperoleh modal dan teknologi tangkap yang lebih maju. Kesempatan untuk mengakses pasar pada skala yang lebih besar dari sekarang atau pada pasar lainnya belum ada. Bentuk kerja sama dengan pola usaha yang saling menguntungkan antara NPm dan NPk juga belum berlangsung. Nelayan menganggap pola usaha yang berlangsung saat ini belum sesuai harapan. Tabel 17 merinci hasil pengukuran kesempatan pengembangan usaha yang diperoleh nelayan. Tabel 17. Kesempatan Pengembangan Usaha yang Diperoleh Nelayan di Pelabuhan Pendaratan Ikan Muara Angke, Tahun 2006
Kesempatan Pengembangan Usaha
NPm Skor Ratarata
Kategori
NPk NPm+NPk Skor RataSkor rata Kategori Rata-rata Kategori
Rendah
34.29 Rendah
35.58
Rendah
Rendah
29.54 Rendah
35.73
Rendah
Sedang
50.41 Rendah
52.66
Rendah
42.67
35.99
36.75
Rendah
Rendah
Rendah
Modus
50
25
25
Median
50
50
25
Maks
75
75
75
Min
25
25
25
15.44
15.26
15.55
1. Kesempatan dari pemerintah 39.08 2. Kesempatan dari wakil rakyat 38.36 3. Kesempatan dari swasta 62.06 Skor Rata-rata Kategori
Std.Dev.
Keterangan: NPm=Nelayan Pemilik, NPk= Nelayan Pekerja Kategori: Skor < 60= Rendah, 60-80= Sedang, 81 s/d 100=Tinggi
121 Para anggota partai politik hanya datang pada saat menjelang pemilihan umum untuk promosi agar dirinya dan partainya dipilih. Kesempatan kerja sama atau kemitraan dengan pihak swasta tidak ada yang melakukannya dengan tata niaga menguntungkan. Kerja sama yang terjadi adalah dengan pemilik modal. Bentuk kerja sama berlangsung dalam hal memberi modal usaha dan menampung hasil tangkapan atau sebagai tempat pemasaran utama nelayan. Kasus 11 menjelaskan pendapat nelayan tentang kondisi kesempatan usaha yang mereka peroleh.
Kasus 11: Nelayan Tidak Mendapatkan Kesempatan Mengembangkan Usaha
Hasil FGD pada NPm dan NPk di Kapal JP, EM, SJ, dan MS, memperlihatkan bahwa nelayan: (1) tidak merasa adanya kesempatan nyata yang diberikan pemerintah untuk kemajuan usaha mereka, hal ini terlihat dari sulitnya mereka memperoleh modal usaha, harga BBM yang mahal, dan sulitnya mendapatkan akses pemasaran lain; (2) nelayan tidak merasakan kebijakan yang diambil pemerintah saat ini memberikan dukungan secara nyata pada peningkatan usahanya, ini dibuktikan dengan tidak adanya program pembangunan yang langsung berdampak pada perubahan usaha dan kepedulian akan kesejahteraan mereka dan (3) nelayan tidak merasa dampak positif dari kehadiran Undang-undang Perikanan. Undang-undang perikanan dirasakan tidak memberi dukungan pada pengembangan usaha mereka, hal ini dibuktikan dengan masih beroperasinya trawl dan banyaknya kapal-kapal milik pengusaha besar dan kapal-kapal asing yang menjadi pesaing utama nelayan tradisional. Nelayan tidak mempunyai wakil secara politik sehingga: (1) aspirasi mereka untuk bangkit dan menjadi nelayan yang maju tidak dapat disalurkan dengan baik dan (2) tidak ada satu partai politikpun bahkan tidak ada seorangpun anggota partai politik yang mereka kenal, mewakili nelayan pada tingkat legislatif. Anggota partai politik hanya mengunjungi mereka saat menjelang pemilihan umum untuk promosi diri dan partai kemudian, memasang bendera partai di perahu mereka. Namun setelah pemilihan umum, para anggota partai politik tersebut tidak pernah kembali lagi. Kesempatan dari pihak pengusaha swasta tidakdapat di akses langsung oleh nelayan. Nelayan mrngakses jaringan usaha melalui pihak lain yang terkait hubungan sosial dengan nelayan, seperti pemodal dan penjamin kebutuhan nelayan dan pedagang ikan atau agen ikan. Pihak lain inilah yang mempunyai jalur dengan pengusaha atau eksportir hasil perikanan, misalnya rajungan. Para pedagang atau agen dan distributor ikan, serta pengolah ikan adalah pihak yang memegang andil cukup besar dalam usaha nelayan. Mereka merupakan bagian penting dari mata rantai keberlangsungan usaha nelayan saat ini.
122 Ketersediaan Informasi Dukungan informasi yang diperoleh nelayan adalah masih rendah. Tabel 18 merinci hasil pengukuran dukungan informasi bagi usaha nelayan. Tabel 18. Dukungan Informasi yang Diperoleh Nelayan di Pelabuhan Pendaratan Ikan Muara Angke, Tahun 2006 Dukungan Informasi 1. Informasi sumber daya alam 2. Informasi kelestarian lingkungan 3. Informasi pembangunan perikanan dan kelautan Skor rata-rata Kategori Modus Median Maksimum Minimum Std. Dev.
NPm Skor Rata-rata 37.93
Kategori Rendah
NPk Skor Rata-rata 30.99
Kategori Rendah
NPm+NPk Skor Rata-rata 32.33
Kategori Rendah
37.93
Rendah
30.57
Rendah
32
Rendah
37.93 37.93 Rendah 50 50 50 25 12.56
Rendah
30.57 30.71 Rendah 25 25 75 25 10.83
Rendah
32 32.11 Rendah 25 25 75 25 11.53
Rendah
Keterangan: NPm=Nelayan Pemilik, NPk= Nelayan Pekerja Kategori: Skor < 60= Rendah, 60-80= Sedang, 81 s/d 100=Tinggi
Kasus 12 memperlihatkan kondisi kelangkaan informasi bagi nelayan. Kasus 12: Kondisi Kelangkaan Informasi yang Dialami Nelayan
AS (34 tahun) NPk, nahkoda dan IM (21 tahun) NPk, RH(39 tahun) dan NPm WY (46 tahun) mengatakan tidak mendapat informasi daerah penangkapan ikan dan tidak mengetahui adanya peta daerah penangkapan ikan hasil penginderaan satelit. Melalui NPm dan NPk Di Kapal EM yang mengoperasionalkan alat tangkap jaring nilon 2 inch, dan NPm serta NPk di Kapal AN yang mengoperasionalkan alat tangkap jaring lampara, terlihat kelestarian lingkungan di sadari oleh nelayan. Walau tidak mendapatkan informasi tentang bahaya zat kimia dan bahan peledak, tidak satupun nelayan menggunakan bahan-bahan ini untuk menangkap ikan. Apa yang diungkapkan NPm dan NPk rajungan memprihatinkan. Mereka mengatakan, perubahan warna air laut adalah petunjuk bahwa laut di Teluk Jakarta telah tercemar. Menurut mereka, pencemaran adalah penyebab menurunnya jumlah rajungan di Teluk Jakarta. Nahkoda dan para NPm di Kapal MS yang mengoperasikan jaring nilon 4 inch, mengeluhkan masih beroperasinya trawl di sekitar perairan Teluk Jakarta. Penggunaan alat tangkap trawl yang dilarang, dianggap penyebab cepat menurunnya jumlah tangkapan, selain itu saat ini makin banyak kapal besar yang beroperasi.Para nelayan mengatakan mereka membutuhkan penjelasan dari pemerintah, mengapa hal ini terjadi, dan menginginkan pemerintah mengambil tindakan yang tepat agar potensi sumber daya perikanan di Teluk Jakarta dapat kembali normal.
123 Penyuluhan Tingkat intervensi kegiatan penyuluhan dalam pengembangan mutu sumber daya manusia nelayan adalah rendah. Tabel 19 memperlihatkan hasil pengukuran dukungan penyuluhan pada usaha responden. Tabel 19. Dukungan Penyuluhan bagi Usaha Nelayan di Pelabuhan Pendaratan Ikan Muara Angke, Tahun 2006 Dukungan Penyuluhan
1. Frekuensi kegiatan penyuluhan tiga tahun terakhir 2. Kedinamisan hubungan nelayan dan lembaga penyuluhan Skor rata-rata Kategori Modus Median Maksimum Minimum Std. Dev.
NPm Skor Rata-rata
Kategori
NPk Skor Rata-rata
NPm+NPk Skor Rata-rata
Kategori
36.20
Rendah
27.68
Rendah
29.33
Rendah
32.75 34.48 Rendah 25 25 50 25 12.23
Rendah
34.09 30.75 Rendah 25 25 50 25 10.63
Rendah
33.83 31.58 Rendah 25 25 50 25 11.02
Rendah
Kategori
Keterangan:NPm=Nelayan Pemilik, NPk= Nelayan Pekerja; Kategori: Skor < 60= Rendah, 60-80= Sedang, 81 s/d 100=Tinggi
Berikut ini disampaikan Kasus 13, untuk memperjelas kondisi kegiatan penyuluhan di lokasi penelitian.
Kasus 13: Nelayan Membutuhkan Penyuluhan
Hasil FGD pada pengurus dan anggota Kelompok Nelayan RJ memperlihatkan dalam tiga tahun terakhir, kegiatan penyuluhan tidak pernah dilakukan. Satu-satunya kegiatan penyuluhan yang pernah dilakukan, terjadi pada tahun 2002 melalui Kelompok Nelayan RJ dalam bentuk pelatihan penyusunan pembukuan. Walaupun materi pelatihan mudah dipahami, nelayan menganggap apa yang dilatihkan tidak memberikan manfaat yang berarti bagi kemajuan usahanya. ST (34 tahun) NPm rajungan yang mengopersionalkan alat tangkap bubu mengatakan pernah mengikuti kegiatan penyuluhan di daerah asalnyanya sekitar dua tahun yang lalu. Namun ST tidak dapat merinci lagi materi yang pernah disampaikan. Setelah penyuluhan, nelayan kesulitan menghubungi lembaga penyuluhan ataupun penyuluhnya. ST menganggap penyuluhan penting bagi kemajuan usahanya apabila materi yang diberikan sesuai kebutuhan usaha. Materi-materi yang dianggap perlu diantaranya: (1) perkenalan peralatan tangkap mutakhir, cara pengoperasiannya; (2) pengenalan teknologi penangkapan ikan, dan cara memperoleh teknologi tersebut dan (3 )pemasaran.
124 Sarana Prasarana Walau bahan bakar selalu tersedia dan cukup mudah diperoleh di lokasi usaha, harganya dianggap sangat mahal oleh nelayan. Harga bahan bakar naik tidak berarti harga ikan juga otomatis naik. Hal ini menyebabkan adanya nelayan yang tidak mampu melaut. Tabel 20 merinci dukungan sarana dan parasarana di lokasi penelitian. Tabel 20. Dukungan Sarana Prasarana yang Diperoleh Nelayan di Pelabuhan Pendaratan Ikan Muara Angke, Tahun 2006 Dukungan Sarana Prasarana
NPm NPk Skor Skor Rata-rata Kategori Rata-rata
Kategori
NPm + NPk Skor Rata-rata Kategori
1.Ketersediaan bahan bakar 90.51
Tinggi
89.87
Tinggi
90.00
Tinggi
81.03
Tinggi
85.95
Tinggi
85.00
Tinggi
35.34
Rendah
31.81
Rendah
32.50
Rendah
74.13 70.25 Sedang 100 100 25 29.47
Sedang
86.96 73.65 Sedang 100 100 25 29.93
Tinggi
85.00 73.125 Sedang 100 100 25 29.80
Tinggi
2.Kemudahan mendapatkan bahan bakar 3. Keterjangkauan harga bahan bakar 4. Ketersediaan sarana prasarana ekonomi Skor rata-rata Kategori Modus Maksimum Minimun Std. Dev.
Keterangan: NPm=Nelayan Pemilik, NPk= Nelayan Pekerja; Kategori: Skor < 60= Rendah, 60-80= Sedang, 81 s/d 100=Tinggi
Dari Tabel 20, selain masalah harga bahan bakar yang dianggap mahal, tingkat dukungan sarana dan prasarana ekonomi dianggap baik oleh responden,
yaitu
pelabuhan ikan dan pasar yang ada dianggap cukup layak untuk usaha saat ini.
Mutu Sumber Daya Manusia Nelayan Kompetensi Nelayan Analisis kompetensi dilakukan terhadap sub variabel-sub variabel kompetensi. Hasil analisis memperlihatkan adanya variasi pada jawaban responden dengan nilai yang beragam. Kompetensi nelayan secara umum adalah rendah. Tabel 21 menggambarkan kondisi kompetensi nelayan.
125 Tabel 21. Kompetensi Nelayan di Pelabuhan Pendaratan Ikan Muara Angke, Tahun 2006 Kompetensi
NPm
NPk
NPm+NPk
Skor Rata-rata
Kategori
Skor Rata-rata
Kategori
Skor Rata-rata
Kategori
68.10
Sedang
54.33
Rendah
61.3
Sedang
76.93
Sedang
76.29
Sedang
70.6
Sedang
66.37
Sedang
56.09
Rendah
62.3
Sedang
55.45
Rendah
52.47
Rendah
60.2
Sedang
48.27
Rendah
28.20
Rendah
40.2
Rendah
75.28
Sedang
40.90
Rendah
58.1
Rendah
1. Kemampuan merencanakan usaha 2. Kemampuan menyediakan modal 3. Kemampuan menangkap ikan 4. Kemampuan memasarkan hasil tangkapan 5. Kemampuan memecahkan masalah usaha 6.Kemampuan memanfaatkan penghasilan dari profesi nelayan
Skor rata-rata Kategori Modus Median Maksimum Minimum Std. Dev.
66.59
53.91
51.67
Sedang 100 75 100 25
Rendah 25 50 100 25 31.38
Rendah 25 50 100 25 28.19
30.77
Keterangan: NPm=Nelayan Pemilik, NPk= Nelayan Pekerja; Kategori: Skor < 60= Rendah, 60-80= Sedang, 81 s/d 100=Tinggi
Kemampuan Merencanakan Usaha Nelayan merencanakan usahanya secara sederhana. Kemampuan NPm merencanakan usaha lebih baik dibanding NPk. NPm lebih berpengalaman merencanakan usahanya dibandingkan NPk dalam hal: (1) menentukan jumlah NPk yang akan melaut; (2) mencari modal melaut dan (3) pemasaran. Adapun NPk lebih cenderung melakukan pekerjaan operasional dibandingkan pekerjaan perencanaan, misalnya: (1) mempersiapkan bahan ransum untuk melaut; (2) menangkap ikan; (3) menangani hasil tangkapan di kapal; (4) bongkar muat di pangkalan pendaratan ketika kapal masuk dan (5) memeriksa peralatan dan memperbaiki alat tangkap. Berikut ini disampaikan Kasus 14 yang menjelaskan lebih rinci kemampuan nelayan dalam merencanakan usaha.
126 Kasus 14: NPm Merencanakan Usaha dengan Sederhana
Hasil FGD pada Kapal TM yang mengoperasionalkan alat tangkap jaring nilon 2 inch memperlihatkan bahwa kegiatan perencanaan usaha sangat sederhan, tidak tertulis dan tidak ada perencanaan jangka panjang. RO (55 tahun) sebagai pemilik kapal merencanakan kegiatan melaut. Kapal dan peralatan yang digunakan, seperti alat tangkap selalu diperiksa sebelum berangkat, ia juga menentukan kapan kapalnya siap berangka melautt. Cadangan bahan bakar dan bekal lauk pauk untuk konsumsi selama di laut disiapkan dalam jumlah yang telah diperkirakan cukup untuk pergi dan pulang. NPknya lebih banyak melakukan apa yang telah diputuskan oleh RO sebagai NPm. Hasil FGD pada nelayan yang memiliki orientasi objek tangkapan khusus rajungan dengan alat tangkap bubu, memperlihatkan hasil yang sama. Kegiatan perencanaan usaha dilakukan oleh NPm. DS (41 tahun) dan ST (34 tahun), sebagai NPm mereka merencanakan waktu melaut dan mengkoordinir NPk untuk membuat alat tangkap dan memperbaikinya apabila rusak. KH (23 tahun) dan (SR 68 tahun), sebagai NPk lebih banyak berperan membantu apa yang telah direncanakan NPm.
Kemampuan Menyediakan Modal Kemampuan nelayan menyediakan modal belum seimbang dengan kebutuhan modal usaha. Sumber modal usaha diperoleh nelayan dari dua sumber utama, yaitu: (1) dari NPm dan (2) dari pemodal dan penjamin hidup di Jakarta. Kemampuan menyediakan modal lebih di dominasi oleh NPm, bahkan modal selalu berasal dari NPm atau dari pemodal perorangan. Hasil uji beda mendukung kesimpulan adanya perbedaan kemampuan NPm dan NPk dalam menyediakan modal. Modal yang digunakan untuk usaha, sepenuhnya merupakan modal perorangan, tidak ada lembaga permodalan yang dapat diakses oleh nelayan dan tidak ada lembaga permodalan yang membantu nelayan mendapatkan modal usaha, baik untuk membeli peralatan tangkap, teknologi penangkapan, ataupun untuk membeli perbekalan melaut. Berikut ini disampaikan Kasus 15, merupakan hasil penelusuran secara kualitatif tentang kemampuan nelayan dalam menyediakan modal usaha.
127 Kasus 15: Kemampuan Nelayan Menyediakan Modal
Melakukan usaha lain sebagai sumber modal untuk melaut AR, WY, dan RH, NPm warga DKI Jakarta memiliki alternatif usaha lain agar tetap mampu memenuhi kebutuhan usahanya menangkap ikan di laut. AR bersama istri berdagang ikan, WY dan istri membuka usaha otak-otak, sedangkan RH berdagang ikan dan membantu usaha keluarga berdagang. Mereka mengatakan, menangkap ikan laut tidak pasti hasilnya, karenanya mereka melakukan usaha lain. Tanpa usaha yang saat lain, sangat sulit bagi mereka mempertahankan kemampuan menyediakan modal melaut.Usaha yang dijalankan saat ini juga sangat membantu ketika masa paceklik tiba. Menurut mereka, saat ini tidak ada lembaga yang membantu mendapatkan modal usaha, koperasipun tidak dapat diharapkan membantu permodalan usahanya. Modal melaut berasal dari pemilik kapal dan dari hasil melaut sebelumnya AT (35 tahun), KR (35 tahun), dan RS (37 tahun), NPk yang bekerja pada NPm asal Jakarta mengatakan modal selalu disiapkan oleh NPm. Sedangkan nelayan pendatang WD (20 tahun) NPk, dengan NPmnya SH (32 tahun) memperoleh modal melaut dari hasil melaut sebelumnya. Sebagai NPm pendatang, SH tidak memiliki mata pencaharian lain, baik di daerah asal maupun di Jakarta.Bantuan modal usaha tidak pernah diperolehnya.Jika sedang kekurangan modal, SH cenderung tidak melaut atau meminjam uang pada saudaranya di kampung. Modal melaut berasal dari pemodal di Jakarta SA (31 tahun) dan RA (27 tahun) NPk pendatang, mengatakan modal mereka sangat tergantung dari pemodal di Jakarta. Mereka tidak mampu menyediakan modal melaut sendiri. Mereka menyediakan pemenuhan keperluan melaut dengan cara: (1) menyisihkan modal melaut untuk periode berikutnya dari hasil melaut sebelumnya dan (2) memiliki pemodal di Jakarta yang juga menjadi penjamin hidup selama di Jakarta. Pemodalnya di Jakarta adalah pedagang ikan, dan berperan sebagai konsumen yang membeli hasil tangkapan mereka. Para NPk pendatang ini tidak memiliki mata pencaharian lainnya. NPmnya sendiri tidak ikut melaut, dan tinggal di daerah asal mereka.
Kemampuan Menangkap Ikan Ini artinya kemampuan yang ada belum cukup optimal dibandingkan kebutuhan produksi. Kemampuan yang dimiliki merupakan keterampilan yang dimiliki nelayan turun temurun. Kemampuan ini berkembang secara alamiah dari waktu ke waktu, tanpa intervensi pihak lain untuk pengembangannya. Hasil analisis deskriptif memperlihatkan kemampuan menangkap ikan NPm lebih baik dibandingkan dengan NPk. Hal ini didukung oleh hasil uji beda, yang memperlihatkan adanya perbedaan kemampuan NPm dan NPk dalam menangkap ikan. Melalui Kasus 16 yang merupakan hasil penelusuran secara kualitatif pada beberapa nelayan, memberikan
128 penjelasan lebih lanjut mengenai faktor penentu kemampuan nelayan menangkap ikan. Kasus 16: Faktor Penentu Kemampuan Nelayan Menangkap Ikan
Cuaca Hasil wawancara mendalam dengan para NPm: AR (usia 58 tahun, pengalaman 40 tahun menjadi nelayan), WY (usia 46 tahun, pengalaman 18 tahun menjadi nelayan), RH (usia 39 tahun, pengalaman 17 tahun menjadi nelayan), TR (usia 30 tahun, pengalaman 15 tahun menjadi nelayan), SD (usia 40 tahun, pengalaman 23 tahun menjadi nelayan), mereka mengatakan, kendala utama yang dihadapi nelayan kecil dalam menangkap ikan adalah masalah cuaca buruk, disusul terbatasnya kemampuan menentukan lokasi tangkapan, dan kemampuan menyediakan perbekalan melaut dalam jangka waktu panjang. Jika cuaca buruk, jumlah hasil tangkapan selalu menurun. Selain menunda keberangkatan melaut, belum ada solusi yang lebih baik untuk mengatasinya. Menurut mereka, waktu efektif melaut dalam satu tahun maksimal selama 7 bulan. Lambannya kemampuan inovasi alat tangkap Menurut WY, perkembangan penggunaan alat dan teknologi tangkap yang lebih maju tidak berlangsung cepat. Jika nelayan telah terbiasa menggunakan satu alat tangkap, ia cenderung tetap menggunakannya dalam jangka waktu lama. Hingga pada suatu saat ia mendapat informasi baru dari sesama nelayan tentang alat tangkap baru dan keunggulankeunggulannya. Menurut WY, sebagian besar nelayan yang berasal dari Indramayu mengawali kegiatan melaut dengan menggunakan peralatan tangkap bubu dan orientasi tangkapan rajungan. Dalam perkembangannya, melalui diskusi dengan sesama nelayan, mereka kemudian mengenal alat tangkap lainnya. Jaring milenium merupakan jenis alat tangkap terbaru, yang digunakan dua tahun terakhir. Jaring yang berwarna putih terang, membuat nelayan dapat meletakkan jaring di lokasi tangkapan pada siang hari, karena ikan kurang dapat mendeteksi keberadaan jaring yang berwarna bening. Lain halnya dengan jaring nilon yang berwarna biru, biasanya di letakkan pada lokasi tangkapan di malam hari. Dengan mencoba alat tangkap baru, kemampuan menangkap ikan berkembang. Nelayan dapat menangkap jenis ikan lainnya. Namun karena pengetahuan dan keterampilan penguasaan alat tangkap terjadi secara alamiah, maka perkembangan pengetahuan dan keterampilan nelayan berjalan lambat. Dapat dikatakan inovasi alat tangkap tidak berkembang baik di kalangan nelayan. Kapal dan peralatan yang sederhana, serta perbekalan yang terbatas Jarak melaut merupakan salah satu kendala yang dihadapi nelayan. Dengan kapal kayu, mesin dengan daya yang rendah, serta peralatan yang sederhana, tidak memungkinkan bagi nelayan untuk melaut hingga ke tengah, untuk beroperasi di luar jarak 12 mill, apalagi melaut hingga zona ekonomi eksklusif hingga laut lepas. TR mengatakan, terbatasnya kemampuan membeli perbekalan melaut, juga menjadi kendala nelayan dalam menangkap ikan. JikaBBM dan berbagai pebekalan telah menipis, nelayan harus segera kembali ke pangkalan walaupun hasil tangkapan kurang atau tidak sesuai harapan.
129 Lanjutan Kasus 16
Lemahnya kemampuan membeli teknologi penunjang penangkapan dan pengalaman nahkoda Sebagai NPm, TR memutuskan kapalnya menggunakan peralatan penentu lokasi tangkapan dengan bantuan satelit seperti GPS (global possition system). Dengan alat ini, ia memiliki kesempatan merencanakan lokasi tangkapan, jumlah dan jenis tangkapan. Waktu melautnya menjadi lebih pendek, dan hasil tangkapan dapat mendekati atau sesuai harapan. Dengan memiliki peralatan ini, TR dapat menentukan lokasi tangkapan, dan dengan cepat dapat mengatur armada dan alat tangkapnya untuk berada pada lokasi tersebut. Menurut WY, jika tidak memiliki GPS, maka nahkoda yang berpengalaman memegang peran penting pada keberhasilan penangkapan ikan. Nahkoda yang berpengalaman dapat menentukan lokasi tangkapan dengan cepat. Untuk meningkatkan hasil tangkap, WY, RH, AR, dan SD menginginkan memiliki GPS agar dapat mencapai lokasi tangkap dalam waktu singkat. Namun karena keterbatasan permodalan, belum memungkinkan bagi mereka melengkapi peralatan ini pada kapalnya.
Kemampuan Menangani Hasil Tangkapan Kemampuan nelayan menangani hasil tangkapan adalah rendah. Uji beda memperlihatkan tidak ada perbedaan kemampuan NPm dan NPk dalam menangani hasil tangkapan. Prosedur penanganan hasil tangkapan masih sederhana. Ikan yang lebih dulu ditangkap segera dimasukkan ke dalam palka, yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan hasil tangkapan. Es balok digunakan untuk menjaga kesegaran ikan. Ada yang menambahinya dengan garam. Keduanya merupakan bahan yang umum digunakan nelayan untuk menjaga kondisi ikan agar tetap segar, dari laut hingga sampai ke pangkalan pendaratan. Bagi nelayan rajungan, pengumpul hasil tangkapan rajungan memberi syarat, rajungan yang diterima harus berada dalam kondisi segar dan belum terkena es. Karena itu tidak membutuhkan penanganan hasil tangkap yang rumit. Segera setelah sampai di darat, rajungan segera serahkan pada pengumpul rajungan. Kemampuan Memasarkan Hasil Tangkapan Kemampuan nelayan memasarkan hasil tangkapan masih terbatas pada pasar di Kawasan Muara Angke. Karena itu dapat dikatakan struktur pasar yang ada masih tertutup. Kondisi ini terjadi karena ketergantungan nelayan pada pemodal yang juga
130 merupakan penduduk Kawasan Pemukiman Muara Angke. Berdasarkan hasil uji beda, tidak terdapat perbedaan kemampuan memasarkan antara NPm dan NPk. Pada Kasus 17 disampaikan hasil penelusuran lebih lanjut, tentang kemampuan nelayan memasarkan hasil tangkapan.
Kasus 17: Lingkup Pemasaran yang Sempit dan Ketergantungan pada Pemodal Hasil FGD pada nelayan rajungan terungkap bahwa nelayan terikat pada pemodalnya atau pemberi jaminan hidup. Nelayan rajungan memiliki konsumen khusus yang menampung hasil tangkapan. Ada perjanjian yang tidak tertulis dan mengikat, mereka harus menjual hasil tangkapan hanya pada pemberi modal atau pemberi hutang atau penjamin hidup selama berada di Jakarta. Karenanya sangat sulit bagi nelayan rajungan memperluas akses pasar. Kecuali mendapatkan pihak lain yang dapat melunasi hutang-hutangnya dan menjadi pemodal barunya. Hasil FGD pada nelayan ikan tembang, memperlihatkan ada saat-saat di mana mereka menghasilkan tangkapan yang banyak. Konsumennya adalah pedagang ikan asin. Walaupun pasar yang ada mampu menyerap dengan baik seluruh hasil tangkapan tersebut, namun mereka mampu memperluas area pemasarannya. Nelayan tidak memiliki jaringan pemasaran lain selain yang ada di Kawasan Muara Angke. Hasil FGD pada nelayan baronang yang mengoperasikan alat tangkap pancing dengan jaring senar memperlihatkan kondisi yang mirip dengan nelayan rajungan. Konsumennya adalah pemodalnya, hasil tangkapan selalu dijual pada pemodalnya, yaitu pedagang ikan di Kawasan Muara Angke.
Kemampuan Menentukan (Daya Tawar) Harga Jual Ikan Daya tawar nelayan untuk harga jual ikan adalah rendah. Padahal, produk hasil tangkapan selalu laku terjual dan permintaan tetap besar. Bahkan ketika harga perbekalan melaut naik, seperti pada saat kenaikan harga bahan bakar, harga ikan tidak otomatis naik. Penjualan langsung pada masyarakat di pasar eceran sebenarnya lebih disukai nelayan. Di pasar eceran harga bisa lebih baik. Namun hal ini hanya bisa dilakukan oleh NPm yang mampu memodali kegiatan melautnya sendiri, sehingga tidak tergantung pada pemodal dalam pemasaran. Kemampuan Memecahkan Masalah Usaha Kemampuan nelayan memecahkan masalah usaha adalah rendah. Namun demikian, hasil uji beda memperlihatkan adanya perbedaan kemampuan NPm dan
131 NPk dalam memecahkan masalah usaha. NPm yang berdomisili di DKI Jakarta memiliki tingkat kemampuan memecahkan masalah usaha lebih baik dari NPk dan NPm yang berasal dari daerah lain. Kemampuan Memanfaatkan Penghasilan dari Profesi Nelayan Kemampuan nelayan memanfaatkan penghasilannya dari profesi sebagai nelayan umumnya adalah rendah. Namun, berdasarkan hasil uji beda terdapat perbedaan kemampuan antara NPm dan NPk dalam memanfaatkan penghasilan. Nelayan pemilik yang berdomisili di DKI Jakarta dapat lebih optimal memanfaatkan penghasilan dibandingkan NPm yang berasal dari daerah lain, juga jika dibandingkan dengan NPk. Hubungan Kompetensi Nelayan dengan Sub-sub Variabelnya Hasil uji korelasi sub-sub variabel kompetensi terhadap kompetensi di perlihatkan pada Tabel 22 . Tabel 22. Hubungan Kompetensi Nelayan dengan Sub-sub Variabelnya Variabel Sub-Variabel
Kompetensi Nelayan (X3) Koefisien Korelasi
Kemampuan merencanakan usaha (X3.1)
0.453**)
Kemampuan menyediakan modal (X3.2)
0.305**)
Kemampuan menangkap ikan (X3.3)
0.312*)
Kemampuan memasarkan hasil tangkapan (X3.5)
0.282**)
Kemampuan memecahkan masalah usaha (X3.7)
0.493**)
Kemampuan memanfaatkan penghasilan (X3.8)
0.748**)
Keterangan: **) Hubungan sangat nyata pada level 0.01; *) Hubungan nyata pada level 0.05
Pada Tabel 22 terlihat kompetensi berhubungan positif dengan sub-sub variabel kompetensinya. Kemampuan memanfaatkan penghasilan memiliki hubungan yang paling besar dengan kompetensi dibandingkan sub variabel yang lain. Semakin besar kemampuan nelayan memanfaatkan penghasilan menandakan semakin baik kompetensi yang dimilikinya.
132 Hubungan Karakteristik Nelayan, Kekondusifan Lingkungan, dengan Kompetensi Nelayan Berdasarkan hasil uji korelasi ditemukan hubungan positif antara karakteristik nelayan (X1), kekondusifan lingkungan (X2), dengan kompetensi nelayan (X3). Gambar 11 memperlihatkan bahwa kompetensi yang dimiliki nelayan dapat dijelaskan melalui faktor: (1) usia; (2) jumlah tanggungan; (3) pengeluaran setiap bulan; (4) pengalaman sebagai nelayan dan (5) kelembagaan nelayan. Karakteristik Nelayan (X1) Usia (X1.2) 0.218**)
0.241**)
Jumlah tanggungan (X1.5)
0.237**)
0.291**) 0.737**)
0.231**)
Pengeluaran setiap bulan (X1.7)
0.415**)
Kompetensi Nelayan (X3)
0.183*)
Pengalaman sebagai nelayan (X1.13)
Kelembagaan nelayan (X2.1)
0.211*) Keterangan: Angka menunjukkan nilai korelasi *) Nyata pada α 0.05 **) Sangat nyata pada α 0.01
Kekondusifan Lingkungan (X2)
Gambar 11: Pola Hubungan Karakteristik Nelayan dan Kekondusifan Lingkungan (Kelembagaan Nelayan) dengan Kompetensi Nelayan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen Hasil pengamatan memperlihatkan: (1) tingkat ketanggapan menyediakan produk adalah rendah; (2) tingkat ketanggapan melayani pelanggan adalah rendah;
133 (3) tingkat produktivitas ada pada kategori sedang, artinya produktivitas yang dihasilkan masih belum sesuai harapan dan (4) tingkat keberlanjutan usaha adalah rendah. Hasil pengukuran kemampuan nelayan dalam memenuhi kebutuhan konsumen dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Kemampuan Memenuhi Kebutuhan Konsumen Nelayan di Pelabuhan Pendaratan Ikan Muara Angke, Tahun 2006 Kemampuan Memenuhi Kebutuhan Konsumen Skor
Frek
%
Urutan Sebaran
< 60
71
47.33
2
60-80
79
52.66
1
< 60
54
36
2
60-80
96
64
1
Rendah
< 60
108
72.99
1
Sedang
60-80
11
7.33
3
81-100
31
20.66
2
Rendah
< 60
90
60
1
Sedang
60-80
17
11.33
3
Tinggi
80-100
43
28.66
2
Rekapitulasi Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen
Modus
Maks
Min
Std.Dev
NPm
75
100
25
27.05
NPk
75
100
25
24.45
NPm+NPk
75
100
25
25.67
1. Ketanggapan menyediakan produk (Y1.1) Rendah Sedang 2. Ketanggapan melayani konsumen (Y1.2) Rendah Sedang 3. Produktivitas
Tinggi 4. Keberlanjutan usaha
Keterangan: N=150, NPm=Nelayan Pemilik, NPk=Nelayan Pekerja Kategori: Skor < 60= Rendah, 60-80= Sedang, 821 s/d 100=Tinggi
Hubungan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen dengan Sub-sub Variabelnya Berikut ini disampaikan Tabel 24 yang memperlihatkan nilai hubungan antar variabel tingkat kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen dengan sub variabel-sub variabelnya.
134 Tabel 24. Nilai Hubungan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen dengan Sub-sub Variabelnya Variabel
Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen (Y1)
Sub-Variabel Koefisien Korelasi 0.553**)
Ketanggapan menyediakan produk (Y1.1) Ketanggapan melayani konsumen (Y1.2)
0.480**)
Produktivitas (Y1.3)
0.796*)
Keberlanjutan usaha (Y1.4)
0.366**)
Keterangan: **) Hubungan sangat nyata pada level 0.01 *) Hubungan nyata pada level 0.05
Seluruh variabel yang mendukung kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen berhubungan positif dengan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen. Produktivitas merupakan sub variabel yang paling berhubungan dengan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen. Produktivitas nelayan masih rendah, kondisi ini berdampak pada sub-variabel lainnya, seperti pada: (1) ketanggapan menyediakan produk; (2) ketanggapan melayani konsumen dan (3) keberlanjutan usaha. Semakin rendah produktivitas nelayan, maka semakin rendah juga ketanggapan nelayan dalam menyediakan produk, melayani konsumen, dan nelayan makin pesimis akan keberlanjutan usahanya. Jika produktivitas nelayan tinggi, maka akan makin tinggi juga ketanggapan nelayan dalam menyediakan produk, ketanggapan melayani konsumen, dan selanjutnya nelayan akan merasa optimis akan keberlanjutan dan masa depan usahanya. Hubungan Karakteristik Nelayan dengan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen Berdasarkan hasil uji korelasi, beberapa variabel karakteristik nelayan berhubungan dengan tingkat kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen. Variabel-variabel
karakteristik
nelayan
yang
berhubungan
dengan
tingkat
kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen adalah: (1) usia; (2) jumlah tanggungan; (3) pengeluaran setiap bulan dan (4) pengalaman sebagai nelayan. Pola
135 hubungan karakteristik nelayan, dengan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen diperlihatkan pada Gambar 12.
Usia (X1.2)
Jumlah tanggungan (X1.5)
0.238**)
0.306**) 0.624**)
Pengeluaran setiap bulan (X1.7) 0.355**)
0.200*)
Pengalaman nelayan (X1.13)
0.737**)
0.301**)
Kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen (Y1)
Keterangan: Angka menunjukkan nilai korelasi *) Nyata pada α 0.05 **) Sangat nyata pada α 0.01
Gambar 12. Pola Hubungan Karakteristik Nelayan dengan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen. Uraian-uraian berikut merupakan analisis lebih lanjut yang menggambarkan hubungan kondisi karakteristik nelayan dan kemampuannya memenuhi kebutuhan konsumen, yaitu: (1) Kemampuan memenuhi kebutuhan konsumen berhubungan dengan daerah asal nelayan. Nelayan asal Indramayu dan Subang cenderung tinggi kemampuannya memenuhi kebutuhan pelanggan dibandingkan nelayan dari daerah lainnya. (2) Status tempat tinggal berhubungan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan konsumen. Nelayan yang telah memiliki tempat tinggal sendiri lebih tinggi kemampuannya memenuhi kebutuhan konsumen dibandingkan nelayan yang status tempat tinggalnya masih kontrak, kos, tinggal pada orang tua, atau tinggal di kapal yang telah ditinggal pemiliknya
136 (3) Jenis alat tangkap yang digunakan nelayan berhubungan dengan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen. Nelayan dengan alat tangkap jaring milenium, pancing/jaring senar, dan jaring tembang, cenderung memiliki kemampuan menangkap yang lebih tinggi dibandingkan dengan nelayan yang menggunakan alat tangkap lain. (4) Penentuan pola bagi hasil merupakan kesepakatan antara NPm dan NPk. Banyaknya personil yang melaut, berdampak pada pembagian penghasilan. Tabel 25 memperlihatkan pola bagi hasil, jumlah personil yang melaut, dan penghasilan rata-rata. Tabel 25. Pola Bagi Hasil, Jumlah Personil yang Melaut, dan Penghasilan Rata-rata Perbulan (Rp), Nelayan di Pelabuhan Pendaratan Ikan Muara Angke, Tahun 2006 Variasi Penghasilan s/d 200.000 500.001 2.500.001 > Penghasilan 200.000 s/d s/d 1.000.001 s/d 5.000.000 Rata-rata 500.000 1.000.000 s/d 5.000.000 perbulan 2.500.000 (Rp) Pola bagi hasil Bagi 2 Bagi 3/4 Bagi 2/4 Bagi 2/5 Bagi 2/6 Bagi 2/7 10%N/2/12 40:60/16 5%N/2/7
NPm NPm=NPk NPk NPk
NPm NPm NPm NPm
NPk NPk NPk NPk NPk NPk
NPm NPm NPm NPm
Jumlah personil yang melaut (orang) NPk
800.000 800.000 3.800.000 1.200.000 6.000.000 1.100.000 7.000.000 800.000 9.000.000 1.500.000 3.500.000 500.000 2.400.000 200.000 1.600.000 500.000 2.100.000 300.000
Keterangan: N=150, NPm=Nelayan Pemilik, NPk= Nelayan Pekerja
Hubungan Kekondusifan Lingkungan dengan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen Kekondusifan lingkungan, yaitu: (1) kelembagaan nelayan dan (2) sarana prasarana berhubungan positif dengan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen. Gambar 13 memperlihatkan hubungan kekondusifan lingkungan dengan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen.
2 5 4 6 6 7 12 16 7
137
Kelembagaan nelayan (X2.1)
Sarana prasarana (X2.5)
0.211**)
Kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen
0.452*)
Keterangan: Angka menunjukkan nilai korelasi *) Nyata pada α 0.05 **) Sangat nyata pada α 0.01
Gambar 13. Pola Hubungan Kekondusifan Lingkungan dengan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen Hubungan Kompetensi Nelayan dengan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen Berdasarkan hasil uji korelasi, kompetensi berhubungan positif dengan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen. Artinya semakin tinggi kompetensi yang dimiliki nelayan, maka nelayan akan semakin mampu memenuhi kebutuhan konsumennya. Jenis kompetensi nelayan yang behubungan dengan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen adalah: (1) kemampuan merencanakan usaha (X3.1); (2) kemampuan menangkap ikan (X3.3); (3) kemampuan memasarkan hasil tangkapan (X3.5); (4) kemampuan memecahkan masalah usaha (X3.7) dan (5) kemampuan memanfaatkan penghasilan (X3.8). Gambar 14 memperlihatkan pola hubungan kompetensi nelayan dengan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen.
138 Kompetensi (X3) Kemampuan merencanakan usaha (X3.1) 0.182*)
Kemampuan menangkap ikan (X3.3)
0.225*)
Kemampuan memasarkan hasil tangkapan (X3.5)
Kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen (Y1)
0.394**) 0.248**) *
Kemampuan memecahkan masalah usaha (X3.7)
0.449**)
Kemampuan memanfaatkan penghasilan (X3.8)
Keterangan: Angka menunjukkan nilai korelasi *) Nyata pada α 0.05 **) Sangat nyata pada α 0.01
Gambar 14. Pola Hubungan Kompetensi dengan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen. Penghasilan Nelayan Penghasilan nelayan adalah bervariasi. Tabel 26 memperlihatkan variasi penghasilan nelayan perbulan. Tabel 26. Penghasilan Nelayan Di Pelabuhan Pendaratan Ikan Muara Angke, Perbulan (Rp), Tahun 2006 Penghasilan perbulan (Rp)
NPm
NPk
NPm+NPk
s/d 1.000.000 1.000.001 s/d 2.500.000 > 2.500.000 Total Rata-rata
Frek 9
% 29.99
Frek 80
% 66.66
Frek 89
% 59.32
Kriteria Rendah
Sebaran 1
3 18 30 4.800.000
10 59.99 100
40 0 120 889.583
33.33 0 100
43 18 150 1.607.666
28.66 12 100
Sedang Tinggi
2 3
Modus Median
5.000.000 4.300.000
1.000.000 1.000.000
1.000.000 1.000.000
Maksimum Minimum Std. Dev
14.000.000 200.000 3.696.424
2.000.000 200.000 463.360
14.000.000 200.000 2.215.062
Keterangan: N=150, NPm=Nelayan Pemilik, NPk=Nelayan Pekerja Kriteria Penghasilan: < Rp.1.000.000= Rendah Rp.1.000.001 s/d Rp.2.500.000= Sedang, > Rp2.500.000= Tinggi Hasil Uji Beda pada α 0.05, menunjukkan adanya perbedaan penghasilan NPm-NPk
139
Semakin besar penghasilan nelayan, maka semakin besar pengeluarannya. Tabel 27 memperlihatkan pengeluaran nelayan perbulan. Tabel 27. Pengeluaran Nelayan Di Pelabuhan Pendaratan Ikan Muara Angke, Perbulan (Rp), Tahun 2006 Pengeluaran perbulan (Rp)
NPm
NPk
NPm+NPk
Frek
%
Frek
%
Frek
%
Kriteria
Sebaran
s/d 1.000.000
14
46.66
110
91.66
124
82.6
Rendah
1
1.000.001 s/d 2.500.000
11
36.66
10
8.33
21
14
Sedang
2
> 2.500.000
5
16.66
0
-
5
3.33
Tinggi
3
Total Rata-rata Modus Median Maksimum Minimum Std. Dev
30 1.668.333 1.500.000 1.200.000 11.200.000 100.000 2.085.569
100
120 412.083 300.000 300.000 1.400.000 50.000 343.853
100
150 667.333 100.000 300.000 11.200.000 50.000 1.096.975
100
Keterangan: N=150; NPm=Nelayan Pemilik, NPk=Nelayan Pekerja
Kriteria Pengeluaran: < Rp.1.000.000= Rendah Rp.1.000.001 s/d Rp.2.500.000= Sedang, > Rp2.500.000= Tinggi
Hubungan Karakteristik Nelayan, Kekondusifan Lingkungan dengan Penghasilan Nelayan Berdasarkan hasil uji korelasi, terlihat penghasilan nelayan berhubungan positif dengan beberapa karakteristik nelayan dan kekondusifan lingkungan (kelembagaan nelayan). Pola hubungan yang terjadi memperlihatkan penghasilan nelayan berhubungan dengan: (1) karakteristik nelayan: usia, jumlah tanggungan, pengeluaran setiap bulan, pengalaman sebagai nelayan dan (2) kekondusifan lingkungan, yaitu: kelembagan nelayan.Gambar 15 memperlihatkan pola hubungan karakteristik nelayan dan kekondusifan lingkungan dengan penghasilan nelayan.
140
Usia
Karakteristik Nelayan (X1)
(X1.2) 0.354**)
Jumlah tanggungan (X1.5) 0.450**)
Pengeluaran setiap bulan (X1.7)
0.630
**)
Penghasilan nelayan (Y2)
0.325**)
Pengalaman sebagai nelayan (X1.13)
Kelembagaan nelayan (X2.1)
0.376**)
Kekondusifan Lingkungan (X2) Keterangan: Angka menunjukkan nilai korelasi **) Sangat nyata pada α 0.01
Gambar 15. Pola Hubungan Karakteristik Nelayan dan Kekondusifan Lingkungan dengan Penghasilan Nelayan Hubungan Kompetensi Nelayan dengan Penghasilan Nelayan Berdasarkan hasil uji korelasi, penghasilan nelayan berhubungan positif dengan kompetensi nelayan. Pola hubungan yang terjadi memberikan gambaran, bahwa kondisi penghasilan nelayan, yaitu tinggi atau rendahnya penghasilan nelayan berhubungan positif dengan kompetensi nelayan. Artinya, semakin kompeten seorang nelayan dalam melaksanakan pekerjaannya, maka penghasilannya akan makin meningkat. Ini memberikan makna, jika nelayan hendak maju, seirama antara peningkatan usaha dan peningkatan kesejahteraan hidup, maka kompetensi nelayan harus selalu dikembangkan dan disesuaikan dengan kebutuhan nelayan dalam menjalankan pekerjaannya. Gambar 16 memperlihatkan pola hubungan kompetensi nelayan dengan penghasilan nelayan.
141
Kompetensi (X3) Kemampuan merencanakan usaha (X3.1)
Kemampuan menangkap ikan (X3.3)
0.377**) 0.220**)
Kemampuan memasarkan hasil tangkapan (X3.5)
0.485**) 0.519**)
Kemampuan memecahkan masalah usaha (X3.7)
Penghasilan Nelayan (Y2)
*
0.816**)
Kemampuan memanfaatkan penghasilan (X3.8) Keterangan: Angka menunjukkan nilai korelasi **) Sangat nyata pada α 0.01
Gambar 16. Pola Hubungan Kompetensi dengan Penghasilan Nelayan
Hubungan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen dengan Penghasilan Nelayan Berdasarkan hasil uji korelasi, penghasilan nelayan berhubungan positif dengan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen yaitu dengan: (1) ketanggapan melayani konsumen; (2) produktivitas dan (3) keberlanjutan usaha. Gambar 17 memperlihatkan pola hubungan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen dengan penghasilan nelayan.
142 Kemampuan memenuhi kebutuhan konsumen (Y1)
Ketanggapan melayani konsumen (Y1.2) 0.207*)
Produktivitas (Y1.3)
0.427**)
Penghasilan Nelayan (Y2)
0.404**) Keberlanjutan usaha (Y1.4) Keterangan: Angka menunjukkan nilai korelasi *) Nyata pada α 0.05 **) Sangat nyata pada α 0.01
Gambar 17. Pola Hubungan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen dengan Penghasilan Nelayan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Hidup Pindahnya nelayan dan usahanya dari daerah asalnya ke Jakarta, tidak otomatis meningkatkan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup. Hasil pengukuran kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup memperlihatkan: (1) kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan pangan adalah rendah; (2) kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan pakaian adalah rendah; (3) kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan kesehatan nelayan adalah tinggi; (4) kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan pendidikan formal adalah rendah; (5) kemampuan memenuhi kebutuhan listrik adalah rendah; (6) kemampuan memenuhi kebutuhan air adalah rendah; (7) kemampuan memenuhi kebutuhan rekreasi adalah rendah dan (8) kemampuan memenuhi kebutuhan penghargaan adalah rendah. Tabel 28 memperlihatkan hasil pengukuran kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup.
143 Tabel 28. Kemampuan Memenuhi Kebutuhan Hidup Nelayan di Pelabuhan Pendaratan Ikan Muara Angke, Tahun 2006 Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Hidup 1.Kebutuhan pangan Rendah Sedang 2.Kebutuhan sandang Rendah Sedang Tinggi 3.Kondisi kesehatan Rendah Sedang Tinggi 4.Kebutuhan pendidikan Rendah Sedang Tinggi 5.Kebutuhan listrik Rendah Sedang Tinggi 6.Kebutuhan air Rendah Sedang Tinggi 7. Kebutuhan rekreasi Rendah 8. Kebutuhan dihargai Rendah Sedang Tinggi Rekapitulasi Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Hidup Skor Rata-rata Kriteria Modus Median Maks Min Std. Dev
Skor
NPm Frek
%
NPk Frek
%
NPm+NPk T.Frek
%
Urutan
< 61 61-81
12 18
40 60
120 0
100 0
132 18
88 12
1 2
< 60 60-80 81-100
9 7 14
30 23.33 46.66
120 0 0
100 0 0
129 7 14
90.66 4.66 9.33
1 3 2
< 60 60-80 81-100
0 17 13
0 56.66 43.33
7 32 81
5.83 26.66 67.5
7 49 94
4.66 32.66 62.66
3 2 1
< 60 60-80 81-100
6 8 16
20 26.66 53.33
96 21 3
80 17.5 2.5
102 29 19
68 19.33 12.66
1 2 3
< 60 60-80 81-100
9 2 19
30 6.66 63.33
87 23 10
72.5 19.16 8.33
96 25 29
64.1 16.66 19.33
1 3 2
< 60 60-80 81-100
3 9 18
10 30 60
67 46 7
55.83 38.83 5.83
70 55 25
46.66 36.66 16.66
1 2 3
< 60
30
100
120
100
150
100
1
< 60 60-80 81-100
9 4 17
30 13.33 56.66
108 8 4
90.8 6.66 3.33
117 12 21
77.99 8 14
1 4 3
NPm 69.71 Sedang 100 75 100 25 27.84
NPk 46.177 Rendah 25 25 100 25 25.91
NPm+NPk 50.43 Rendah 25 50 100 25 27.89
Keterangan: N=150 (30 NPm+120 NPk); NPm=Nelayan Pemilik, NPk= Nelayan Pekerja; Kategori Skor: < 60= Rendah, 60-80= Sedang, 81 s/d 100=Tinggi; Uji Beda pada α 0.05 menunjukkan perbedaan nyata antara kemampuan NPm dan NPk dalam memenuhi kebutuhan hidup
144 Kemampuan Memenuhi Kebutuhan Makan Kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan pangan adalah rendah. Hal ini dapat dilihat dari pola kebiasaan makan setiap hari yang disampaikan pada Tabel 29. Tabel 29. Pola Kebiasaan Makan Nelayan Setiap Hari Nelayan di Pelabuhan Pendaratan Ikan Muara Angke, Tahun 2006 Frekuensi Makan dalam Sehari 2 kali (%) 3 kali (%) Total % Skor Terbanyak Rata-rata Kriteria Modus Median Maks Min Std. Dev
NPm 40 60 100 60-80 64.65 Sedang 75 75 75 50 12.53
NPk 100 100 <60 50 Rendah 50 50 50 50 0
Keterangan: N=150 (30 NPm+120NPk); NPm=Nelayan Pemilik, NPk= Nelayan Pekerja Kriteria Skor: < 60= Rendah, 60-80= Sedang, 81 s/d 100=Tinggi; Uji Beda pada pada α 0.05 menunjukkan perbedaan yang signifikan kemampuan NPm dan NPk memenuhi kebutuhan pangan
Kemampuan Memenuhi Kebutuhan Pakaian Kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan pakaian adalah rendah. Hal ini dapat dilihat dari pola pemenuhan kebutuhan pakaian setiap tahun pada Tabel 30. Tabel 30. Pola Pemenuhan Kebutuhan Pakaian (Tahun) Nelayan di Pelabuhan Pendaratan Ikan Muara Angke, Tahun 2006 Frekuensi membeli pakaian dalam setahun <2 kali (%) 2 kali (%) > 2 kali (%) Total % Skor terbanyak Skor rata-rata Kriteria Modus Median Maks Min Std. Dev
NPm
NPk
30 23.3 44.66 100 60-80 54.31 Rendah 75 50 75 25 22.22
100 100 <60 30.57 Rendah 25 25 50 25 10.45
Keterangan: N=150 (30 NPm+120NPk) ; NPm=Nelayan Pemilik, NPk= Nelayan Pekerja Skor: < 60= Rendah, 60-80= Sedang, 81 s/d 100= Tinggi; Uji Beda pada pada α 0.05 menunjukkan perbedaan nyata kemampuan NPm dan NPk dalam memenuhi kebutuhan pakaian
145 Kemampuan Memenuhi Kebutuhan Kesehatan Kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan kesehatan adalah tinggi. Kesehatan nelayan adalah baik, hal ini diperlihatkan dengan kondisi kesehatan rata-rata nelayan. Tabel 31 memperlihatkan kondisi kesehatan nelayan. Tabel 31. Kondisi Kesehatan Nelayan di Pelabuhan Pendaratan Ikan Muara Angke, Tahun 2006 Kondisi kesehatan nelayan Sering sakit (%) Kadang-kadang sakit (%) Tidak pernah sakit (%) Total % Skor terbanyak Rata-rata Kriteria Modus Median Maks Min Std. Dev
NPm
NPk
56.66 44.33 100 60-80 86.20 Tinggi 75 75 100 75 12.65
5.83 26.66 67.5 100 81 s/d 100 90.70 Tinggi 100 100 100 50 14.83
Keterangan: N=150 (30 NPm+120NPk) ; NPm=Nelayan Pemilik, NPk= Nelayan Pekerja Skor: < 60= Rendah, 60-80= Sedang, 81 s/d 100= Tinggi Uji Beda pada pada α 0.05 menunjukkan tidak ada perbedaan kondisi kesehatan NPm dan NPk
Kemampuan Memenuhi Kebutuhan Pendidikan Seperti telah disampaikan pada Tabel 8, sebagian besar nelayan (80%) berpendidikan rendah. Namun demikian, terdapat perbedaan kemampuan NPm dan NPk dalam memenuhi kebutuhan pendidikan formal. NPm lebih mampu memenuhi kebutuhan pendidikan formal dibandingkan dengan NPk. Hal ini diperlihatkan dengan besarnya (80%) NPk yang selalu tidak mampu memenuhi kebutuhan biaya pendidikan, dan lebih kecilnya persentase (20%) NPm yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pendidikan. Tabel 32 memperlihatkan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan pendidikan formal.
146 Tabel 32. Kemampuan Memenuhi Kebutuhan Pendidikan Formal Nelayan di Pelabuhan Pendaratan Ikan Muara Angke, Tahun 2006 Kemampuan Memenuhi Kebutuhan Pendidikan Formal Selalu tidak mampu (%) Kadang-kadang tidak mampu (%) Selalu mampu (%) Total % Skor terbanyak Rata-rata Kriteria Modus Median Maks Min Std. Dev
NPm
20 26.66 53.33 100 81-100 79.31 Sedang 100 100 100 25 26.78
NPk
80 17.5 25 100 <60 39.04 Rendah 25 25 100 25 21.13
Keterangan: N=150 (30 NPm+120NPk) ; NPm=Nelayan Pemilik, NPk= Nelayan Pekerja Kriteria Skor: < 60= Rendah, 60-80= Sedang, 81 s/d 100= Tinggi Uji Beda pada pada α 0.05 menunjukkan perbedaan nyata kemampuan NPm dan NPk dalam memenuhi kebutuhan pendidikan formal
Kemampuan Memenuhi Kebutuhan Listrik Kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan listrik adalah rendah. Tabel 33 memperlihatkan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan listrik. Tabel 33. Kemampuan Memenuhi Kebutuhan Listrik (Bulan) Nelayan di Pelabuhan Pendaratan Ikan Muara Angke, Tahun 2006 Kemampuan memenuhi kebutuhan listik (ditinjau dari kemampuan nelayan membayar tagihan listrik setiap bulan) Selalu terlambat (%) Kadang-kadang terlambat (%) Selalu tepat waktu (%) Total % Skor terbanyak Rata-rata Kriteria Modus Median Maks Min Std. Dev
NPm
NPk
30 6.66 63.33 100 81 s/d 100 77.58 Sedang 100 100 100 25 31.58
72.5 19.16 8.33 100 <60 44.83 Rendah 25 25 100 25 26.20
Keterangan: N=150 (30 NPm+120NPk) ; NPm=Nelayan Pemilik, NPk= Nelayan Pekerja Kriteria Skor: < 60= Rendah, 60-80= Sedang, 81 s/d 100= Tinggi; Hasil Uji Beda pada α 0.05 menunjukkan perbedaan nyata kemampuan NPm dan NPk dalam memenuhi kebutuhan listrik
147 Kemampuan Memenuhi Kebutuhan Air Air bersih merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Selain buat minum, memasak, air bersih juga dibutuhkan untuk mencuci, dan mandi, serta keperluan lainnya. Kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan air bersih adalah rendah. Tabel 34 memperlihatkan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan air bersih. Tabel 34. Kemampuan Memenuhi Kebutuhan Air Bersih (Bulan) Nelayan di Pelabuhan Pendaratan Ikan Muara Angke, Tahun 2006 Kemampuan memenuhi kebutuhan air bersih (bulan) Rendah (%) Sedang (%) Tinggi (%) Total % Skor terbanyak Rata-rata Kriteria Modus Median Maks Min Std. Dev
NPm
NPk
10 30 60 100 81 s/d 100 84.48 Tinggi 100 100 100 25 23.54
53.83 38.33 5.83 100 <60 48.96 Rendah 25 25 100 25 27.46
Keterangan: N=150 (30 NPm+120NPk) ; NPm=Nelayan Pemilik, NPk= Nelayan Pekerja Kriteria Skor: < 60= Rendah, 60-80= Sedang, 81 s/d 100= Tinggi; Hasil Uji Beda pada α 0.05 menunjukkan perbedaan nyata antara kemampuan NPm dan NPk dalam memenuhi kebutuhan air
Kemampuan Melakukan Rekreasi Rekreasi bukanlah merupakan kegiatan yang penting bagi nelayan, baik bagi NPm maupun NPk. Kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan rekreasi adalah rendah. Dapat dikatakan nelayan jarang bahkan tidak pernah melakukan kegiatan rekreasi. Tabel 35 memperlihatkan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan rekreasi.
148 Tabel 35. Kemampuan Memenuhi Kebutuhan Rekreasi(Tahun) Nelayan di Pelabuhan Pendaratan Ikan Muara Angke, Tahun 2006 Frekuensi Rekreasi Rendah (%) Total % Skor terbanyak Rata-rata Kriteria Modus Median Maks Min Sd. Dev
NPm
NPk
100 100 <60 33.62 Rendah 25 25 50 25 12.09
100 100 <60 26.65 Rendah 25 25 50 25 6.23
Keterangan: N=150 (30 NPm+120NPk) ; NPm=Nelayan Pemilik, NPk= Nelayan Pekerja Kriteria Skor: < 60= Rendah, 60-80= Sedang, 81 s/d 100= Tinggi.
Pemenuhan Kebutuhan Dihargai Perasaan dihargai NPm, baik oleh keluarga dan lingkungan lebih baik dibandingkan NPk.Tabel 36 memperlihatkan tingkat perasaan dihargai yang dimiliki nelayan. Tabel 36. Tingkat Perasaan Dihargai Nelayan Di Pelabuhan Pendaratan Ikan Muara Angke, Tahun 2006 Perasaan Dihargai Rendah (%) Sedang (%) Tinggi (%) Total % Skor terbanyak Rata-rata Kriteria Modus Median Maks Min Std. Dev
NPm
NPk
30 13.33 56.66 100 81-100 77.58 Sedang 100 75 100 25 28.61
90.83 5.83 3.33 100 <60 38.63 Rendah 25 25 100 25 19.89
Keterangan: N=150 (30 NPm+120NPk) ; NPm=Nelayan Pemilik, NPk= Nelayan Pekerja Kriteria Skor: < 60= Rendah, 60-80= Sedang, 81 s/d 100= Tinggi Hasil Uji Beda pada α 0.05 menunjukkan perbedaan nyata NPm dan NPk dalam perasaan dihargai
149 Hubungan Penghasilan Nelayan dan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Hidup Nelayan belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan hidup. Ini terlihat dari rendahnya kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan: (1) makan; (2) pakaian; (3) pendidikan; (4) listrik; (5) air; (6) rekreasi dan (7) rendahnya penghargaan. Kondisi ini berhubungan denga penghasilan nelayan. Tabel 37 memperlihatkan hasil uji korelasi, nilai hubungan penghasilan nelayan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan hidup. Tabel 37. Nilai Hubungan Penghasilan dengan Kemampuan Memenuhi Kebutuhan Hidup, Nelayan Di Pelabuhan Pendaratan Ikan Muara Angke, Tahun 2006 Variabel Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Hidup (Y3) Tk.Pemenuhan kebutuhan makan (Y3.1)
Penghasilan Nelayan (Y2) Koefisien Korelasi 0.762**) 0.843**)
Tk.Pemenuhan kebutuhan pakaian (Y3.2)
0.807**)
Tk.Pemenuhan kebutuhan pendidikan (Y3.4)
0.609**)
Tk.Pemenuhan kebutuhan listrik (Y3.5)
0.607**)
Tk.Pemenuhan kebutuhan air (Y3.6)
0.553**)
Tk. Pemenuhan kebutuhan dihargai (Y3.8)
0.662**)
Keterangan: Hasil Uji Korelasi **) Hubungan sangat nyata pada α 0.01
Dari Tabel 37 terlihat penghasilan nelayan berhubungan positif dengan kemampuan nelayan memenuhi berbagai kebutuhan hidup. Artinya, semakin tinggi penghasilan nelayan, semakin tinggi juga kemampuannya memenuhi kebutuhan hidup. Selanjutnya dilakukan uji korelasi variabel kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup dengan sub-sub variabelnya. Nilai hubungan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup dengan sub variabel-sub variabelnya dapat dilihat pada Tabel 38.
150 Tabel 38. Nilai Hubungan Kemampuan Memenuhi Kebutuhan Hidup dengan Sub-Variabelnya, Nelayan di Pelabuhan Pendaratan Ikan Muara Angke, Tahun 2006 Variabel Sub-Variabel
Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Hidup Koefisien Korelsi
Tk.Pemenuhan kebutuhan pangan (Y3.1)
0.770**)
Tk.Pemenuhan kebutuhan pakaian (Y3.2)
0.693**)
Tk.Pemenuhan kebutuhan pendidikan (Y3.4)
0.769**)
Tk.Pemenuhan kebutuhan listrik (Y3.5)
0.842**)
Tk.Pemenuhan kebutuhan air (Y3.6)
0.764**)
Tk. Pemenuhan kebutuhan dihargai (Y3.8)
0.861**)
Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Hidup (Y3)
1.000**)
Keterangan: Hasil Uji Korelasi **) Hubungan nyata pada α 0.05
Tabel 38 memperlihatkan hubungan antar sub variabel pada variabel kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan diri dan keluarga saling berhubungan positif. Jika setiap sub variabel meningkat, berarti meningkat juga kemampuan nelayan secara keseluruhan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Strategi Pengembangan Mutu Sumber Daya Manusia Nelayan Variabel-variabel yang Mempengaruhi Mutu SDM Nelayan Hasil Analisis Jalur 1: Faktor-faktor yang Saling Mempengaruhi Terbentuknya Mutu SDM Nelayan (Gabungan NPm dan NPk) Gambar 18 memperlihatkan hasil analisis jalur faktor-faktor yang saling mempengaruhi terbentuknya mutu SDM nelayan (Gabungan NPm dan NPk).
151 1.00
Pengalaman (X1.13) 0.19 0.17
0.16
0.97
Kompetensi (X3)
0.23
0.47
Kemampuan memenuhi kebutuhan konsumen (Y.1)
0.16
Penghasilan (Y.2)
0.20 R=0.78
Kelembagaan (X2.1) 1.00
R=0.46
0.56
0.41
Kemampuan memenuhi kebutuhan hidup (Y.3)
R=0.31
0.42
Keterangan: Angka=Koefisien Jalur Nyata pada α 0.05 R= Residual
Gambar 18. Hasil Analisis Jalur Faktor-faktor yang saling Mempengaruhi Mutu SDM Nelayan (Gabungan NPm dan NPk) Model yang didapat dengan Z skor normal untuk masing-masing variabel, adalah: ● ZX3 = 0.16ZX1.13 ● ZY1 = 0.47ZX3 ● ZY2 = 0.17ZX1.13 +0.20ZX2.1+0.56ZX3 + 0.16ZY1 ● ZY3 = 0.19ZX1.13 +0.42ZX3+0.41ZY2 Hasil analisis jalur faktor-faktor yang saling mempengaruhi mutu SDM Nelayan (NPm dan NPk) memperlihatkan: (1) kompetensi nelayan (merencanakan usaha, menangkap ikan, memasarkan, memecahkan masalah usaha, dan memanfaatkan penghasilan), berasal dari pengalaman menjadi nelayan; dan (2) kompetensi memiliki pengaruh langsung terhadap: (a) kemampuan memenuhi kebutuhan konsumen; (b) penghasilan dan (c) kemampuan memenuhi kebutuhan hidup. Hasil Analisis Jalur 2: Faktor-faktor yang Saling Mempengaruhi Terbentuknya Mutu SDM Nelayan (NPm) Berikut ini disampaikan hasil analisis variabel-variabel yang mempengaruhi mutu SDM NPm. Kompetensi NPm terlihat dipengaruhi oleh usia. Gambar 19 memperlihatkan hasil lengkap dari analisis jalur faktor-faktor faktor-faktor yang saling mempengaruhi mutu SDM pada NPm.
152 1.00
Usia (X1.2) 0.25 0.44
0.81
Kompetensi (X3)
Kemampuan memenuhi kebutuhan konsumen (Y.1)
0.61
0.29
0.65
Penghasilan (Y.2)
R=0.58
0.33
0.33
Kemampuan memenuhi kebutuhan hidup (Y.3)
R=0.27
0.38
R=0.62
1.00
Sarana Prasarana (X2.5)
Keterangan: Angka=Koefisien Jalur Nyata pada α 0.05 R= Residual
Gambar 19. Hasil Analisis Jalur Faktor-faktor yang saling Mempengaruhi Mutu SDM pada Nelayan Pemilik (NPm) Model yang didapat dengan Z skor normal untuk masing-masing variabel, adalah: ● ZX3 = 0.44ZX1.2 ● ZY1 = 0.61ZX3 ● ZY2 = 0.65ZY1 ● ZY3 = 0.25ZX1.2+0.33ZX2.5+0.38ZX3+0.33ZY2 Hasil analisis jalur faktor-faktor yang saling mempengaruhi mutu SDM Nelayan (NPm) memperlihatkan: (1) kompetensi nelayan (merencanakan usaha, menangkap ikan, memasarkan, memecahkan masalah usaha, dan memanfaatkan penghasilan), berasal dari usia; dan (2) kompetensi memiliki pengaruh langsung terhadap: (a) kemampuan memenuhi kebutuhan konsumen dan (b) kemampuan memenuhi kebutuhan hidup. Hasil analisis jalur 3: Faktor-faktor yang Saling Mempengaruhi Terbentuknya Mutu SDM Nelayan (NPk) Kompetensi NPk berhubungan dengan usia. Gambar 20 memperlihatkan hasil analisis jalur faktor-faktor yang saling mempengaruhi mutu SDM pada NPk.
153
1.00
Usia (X1.2) 0.25 0.17
0.08
1.00
Kemampuan memenuhi kebutuhan konsumen (Y.1.3)
Kompetensi (X3.5)
0.17
Penghasilan (Y.2)
0.37
Kemampuan memenuhi kebutuhan hidup (Y.3)
R=0.77 0.38
R=0.86
0.34
0.20
R=0.67
Keterangan: Angka=Koefisien Jalur Nyata pada α 0.05 R= Residual
Gambar 20. Hasil Analisis Jalur Faktor-faktor yang saling Mempengaruhi Mutu SDM pada Nelayan Pekerja (NPk) Model yang didapat dengan Z skor normal untuk masing-masing variabel, adalah: ● ZX3 = -0.28ZX1.8-0.10ZX2.5 ● ZY1 = -0.10ZX1.8+ + 0.26ZX2.5+0.69ZX3 ● ZY2 = 0.08ZX2.5 – 0.10ZX3+0.03ZY1 ● ZY3 = 0.91ZY2 Hasil analisis jalur faktor-faktor yang saling mempengaruhi mutu SDM Nelayan (NPk) memperlihatkan: (1) kompetensi nelayan (memasarkan) berhubungan dengan usia dan (2) kompetensi memiliki pengaruh langsung terhadap: (a) kemampuan memenuhi kebutuhan konsumen; (b) penghasilan dan (c) kemampuan memenuhi kebutuhan hidup. Strategi Internal: Inovasi Sosial untuk Pengembangan Mutu SDM Nelayan Berdasarkan pemilihan analisis jalur gabungan NPm dan NPk dirancang strategi internal yang dibangun dari diri nelayan. Strategi ini disebut strategi inovasi sosial. Pengembangan mutu SDM nelayan. Gambar 21 memperlihatkan lingkaran inovasi sosial strategi pengembangan mutu SDM nelayan.
154
● Penyuluhan ● Interaksi dengan sesama nelayan ● Partisipasi dalam kegiatan pembaharuan ● Dsb
Pengalaman Belajar
Kompetensi
Kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen meningkat
Sikap thd Profesi
Motivasi Maju
Penghasilan nelayan meningkat
Kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup meningkat
Dukungan Lingkungan yang Kondusif
Kesejahteraan nelayan dan keluarga meningkat
Feedback
Proses pengembangan Mutu SDM Nelayan secara berkelanjutan
Gambar 21. Lingkaran Inovasi Sosial Strategi Pengembangan Mutu SDM Nelayan
Keterangan: Proses langsung: kegiatan penyuluhan, dukungan lingkungan, dan hasilnya. Proses kontrol: hasil penyuluhan dan dukungan lingkungan (feedback) untuk perbaikan SDM nelayan secara berkelanjutan. Area Inovasi Sosial pada diri Nelayan
Lingkaran inovasi sosial menggambarkan lokasi area penyuluhan yaitu kawasankawasan yang ada pada diri nelayan dan disebut dengan area inovasi sosial. Area ini digambarkan dalam bentuk lingkaran yang komponennya adalah: (1) kompetensi; (2)
155 sikap terhadap profesi dan (3) motivasi untuk maju. Kegiatan penyuluhan dilakukan bertujuan untuk: (1) meningkatkan, mengembangkan, dan menyesuaikan kompetensi nelayan; (2) mengembangkan sikap-sikap positif yang telah dimiliki nelayan dan (3) meningkatkan motivasi intrinsik nelayan untuk maju. Adapun hasil dari peningkatan, pengembangan, dan penyesuaian tersebut adalah peningkatan kemampuan nelayan dalam hal: (1) memenuhi kebutuhan konsumen; (2) mendapatkan penghasilan dan (3) kemampuan memenuhi kebutuhan hidup. Hubungan Sebab-Akibat Rendahnya Kompetensi Nelayan Pada Gambar 22 disampaikan Diagram Ishikawa yang dibuat berdasarkan hasil analisis data primer yang telah diuji secara statistik, dilengkapi dengan wawancara mendalam, dan FGD. Analisis ini dilakukan untuk mencari hubungan sebab akibat rendahnya kompetensi nelayan, meliputi: (1) manusia; (2) materi; (3) metode; (4) perlengkapan dan (5) lingkungan. Diagram ini berfungsi untuk memberikan jawaban mengapa kompetensi nelayan rendah, untuk kemudian dicarikan solusinya.
156
157 Berdasarkan hasil analisis hubungan sebab-akibat dengan Diagram Ishikawa yang disampaikan pada Gambar 22, ditemukan bahwa penyebab rendahnya kompetensi nelayan sangat kompleks, yaitu: (1) Manusia, meliputi: nelayan, wakil rakyat, dan pemerintah. -
Nelayan: kompetensi nelayan tidak sesuai kebutuhan usaha saat ini. Nelayan tidak menyadari pentingnya kompetensi untuk mengembangkan usahanya. Kompetensi berasal dari pengalaman secara turun temurun, tidak ada intervensi pendidikan untuk meningkatkan kompetensi nelayan. Alternatif solusi: Berikan pendidikan untuk meningkatkan kompetensi nelayan (merencanakan usaha, menyediakan modal, menangkap ikan, memasarkan, memecahkan masalah usaha, dan memanfaatkan penghasilan). Hal ini dilakukan agar kompetensi yang telah dimiliki makin berkembang dan selalu dapat disesuaikan dengan kebutuhan usaha. Metode yang dianggap efektif adalah magang ke nelayan yang lebih maju. Dengan cara ini diharapkan nelayan dapat membandingkan usaha yang telah dilakukannya dengan usaha nelayan lain yang lebih maju. Selanjutnya diharapkan nelayan mampu manyadari bahwa mereka memang perlu bangkit untuk menjadi nelayan yang maju. Dengan magang, diharapkan terjadi perubahan perilaku usaha nelayan dalam waktu yang tidak terlalu lama.
-
Wakil Rakyat: tidak memberikan dukungan hadirnya kebijakan-kebijakan dan tidak menghimbau pemerintah agar mendorong terjadinya upaya nyata peningkatan mutu SDM nelayan, khususnya peningkatan kompetensi. Nelayan sendiri, merasa tidak terwakili secara politik, namun nelayan juga tidak tertarik pada urusan politik. Urusan politik dianggap membuang waktu dan mengganggu pekerjaannya, serta tidak memberi manfaat nyata bagi peningkatan kesejahteraan mereka. Alternatif solusi: Membangkitkan kepedulian wakil rakyat pada stakeholder pembangunan, dalam hal ini nelayan. Mengusulkan keterwakilan kepentingan nelayan pada
158 lembaga legislatif, sehingga kegiatan politik dapat memberikan dampak nyata kepada pemenuhan kebutuhan nelayan, sebagai salah satu stakeholder pembangunan. Cara yang lebih konkrit adalah meningkatkan kepedulian para politikus untuk menyuarakan kemajuan nelayan sebagai salah satu stakeholder pembangunan, dan juga mempertimbangkan peran nyata organisasi profesi nelayan agar membela kepentingan nelayan di kancah politik. -
Pemerintah: tidak fokus pada peningkatan kompetensi nelayan, hal ini dapat dilihat dari orientasi pembangunan perikanan dan kelautan. SDM nelayan yang kompeten, dan sejahtera bukan prioritas pembangunan perikanan. Pembangunan perikanan dan kelautan lebih mengutamakan peningkatan produksi perikanan, bukan pada peningkatan kompetensi nelayan. Pembangunan perikanan belum berorientasi pada peningkatan kesejahteraan nelayan. Alternatif solusi: Mengubah orientasi pembangunan perikanan dan kelautan, dari orientasi produksi menjadi orientasi pengembangan SDM dan usaha nelayan untuk mencapai kesejahteraan.
(2)
Materi, meliputi: keterbatasan daya beli bahan bakar (BBM), dan keterbatasan kemampuan menyediakan bekal. - Keterbatasan daya beli BBM disebabkan harga BBM yang dianggap mahal, dibandingkan harga jual ikan hasil tangkapan. Nelayan kurang mampu mencari modal usaha, dan tidak adanya lembaga yang menyediakan modal usaha, atau yang menangani kemudahan nelayan memperoleh BBM dengan harga terjangkau.. Alternatif solusi: Pengaturan harga BBM khusus untuk pengembangan usaha nelayan tradisional, sebagai masa transisi menuju nelayan maju. Mengadakan lembaga yang mengatur penyediaan dan penyaluran BBM tersebut, agar mudah diperoleh nelayan dan dengan harga yang lebih realistis.
159 - Keterbatasan kemampuan nelayan menyediakan perbekalan melaut disebabkan daya beli yang terbatas karena keterbatasan kemampuan nelayan mencari modal usaha. Selain itu, tidak ada lembaga yang menangani pemberian modal usaha, khususnya yang menangani ketersediaan perbekalan melaut. Alternatif solusi: Mengatur keberadaan lembaga yang mengatur penyediaan perbekalan melaut, agar mudah diperoleh nelayan dan dengan harga yang realistis. (3)
Metode, meliputi: orientasi kerja nelayan, cara kerja tidak berkembang (tergantun pada okupasi melaut), dan pola hubungan kerja patron-klien. - Orientasi kerja nelayan saat ini adalah melaut untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya agar ketika di jual mendapatkan penghasilan yang memadai. Sebenarnya nelayan dari waktu ke waktu telah beorientasi kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun belum berorientasi pada pemenuhan kebutuhan konsumennya. Hal ini disebabkan nelayan tidak mengenal dengan baik siapa saja yang potensial menjadi konsumennya, sehingga ketika bekerja, ia hanya memperhatikan tuntutan konsumen yang ada saat itu. Nelayan juga tidak berupaya mengetahui konsumen lain dan kemudian tidak berupaya memenuhi kebutuhan konsumen lain tersebut, selain yang ada saat ini. Pemerintah tidak pernah mengadakan pembinaan melalui pendidikan dengan maksud agar terjadi proses penyadaran bagi nelayan bahwa mereka memiliki konsumen yang variatif. Pendidikan yang terkait dengan hal ini sebenarnya cukup banyak diselenggarakan oleh pihak swasta, seperti kewirausahaan, namun nelayan tidak mengikutinya, karena kurangnya informasi dan tidak disadari manfaatnya. Selain itu, harga mengikuti kursus-kursus yang diselenggarakan pihak swasta cenderung mahal. Alternatif solusi: Penyelenggaraan pendidikan manajemen usaha yang berorientasi pada terbentuknya kemampuan manajerial nelayan untuk mengetahui variasi
160 konsumen potensial, serta memilih pasar atau memilih konsumen yang akan dilayaninya. - Cara kerja nelayan tidak berkembang, mereka masih tergantung pada okupasi melaut. Kondisi ini terjadi karena terbatasnya sumber daya untuk mengubah cara kerja dan tidak adanya pembinaan untuk mengembangkan cara kerja agar lebih efisien. Alternatif solusi: Memberikan dukungan agar nelayan mudah memperoleh armada, alat tangkap, teknologi penangkapan, modal usaha, yang juga disertai bimbingan yang terarah untuk mengubah dan mengembangkan cara kerja . - Pola hubungan kerja patron-klien masih mendominasi usaha nelayan Alternatif solusi: Pengaturan tata niaga usaha nelayan, sehingga nelayan tidak tergantung pada pemodal perorangan (melakukan reformasi tata niaga hasil perikanan tangkap). Kondisi ini menuntut kehadiran lembaga permodalan bagi usaha nelayan, sehingga nelayan dengan mudah memperoleh modal usaha. Selain itu perlu diatur pola bagi hasil usaha dengan pertimbangan saling menguntungkan, baik NPm maupun NPk, sehingga kegiatan usaha dapat menguntungkan semua pihak. Cara konkritnya dengan mengaktifkan kelompok nelayan yang substansinya adalah nelayan dengan berbagai kelompok usaha bersama. Jika seluruh nelayan terlibat pada penyertaan modal usaha, akan memungkinkan pola bagi hasil yang lebih adil. (4) Perlengkapan, meliputi: armada, mesin, alat tangkap, dan teknologi penunjang. - Armada yang digunakan nelayan adalah armada tradisional. Hal ini terlihat dari jenis kapal dan perahu yang digunakan, yaitu kapal dan perahu dari kayu, yang dibuat di kampung halaman nelayan dengan cara yang sederhana. Tidak berubahnya pemilihan penggunaan armada tangkap karena nelayan masih sulit mengubah kebiasaannya dalam berusaha, mereka hanya mau menggunakan armada yang biasa dipakai secara turun temurun. Tidak
161 adanya intervensi pendidikan, dan lemahnya arus informasi tentang kemajuan armada tangkap menyebabkan nelayan tidak terbiasa melihat dan mengetahui perkembangan armada tangkap, sehingga mereka masih sulit menerima modernisasi armada. Contoh konkrit, ketika ditawarkan armada baru, nelayan menolaknya karena tidak mampu menggunakannya. Alternatif solusi: Pengenalan armada-armada baru yang lebih baik kualitasnya, disertai pelatihan cara menggunakannya. Lakukan studi kerja ke nelayan-nelayan yang telah lebih dahulu menggunakan armada yang lebih baik dan lebih maju. Kemudian bantu nelayan agar dapat dengan mudah memperoleh armada yang dikehendakinya. - Daya mesin kecil, sehingga nelayan tidak sanggup melaut ketengah. Keterbatasan dana dan tidak adanya lembaga pemberi modal usaha, atau yang melayani kredit usaha, menyebabkan nelayan kesulitan memperoleh mesin kapal dengan daya yang lebih baik. Alternatif solusi: Membantu nelayan memperoleh mesin sesuai harapannya, misalnya melalui kredit mesin, kemudian memberikan kemudahan nelayan mendapatkan pelatihan penggunaan mesin tersebut. - Inovasi alat tangkap berlangsung lama. Kondisi ini sama halnya dengan armada, pergaulan nelayan yang homogen menyebabkan lambatnya inovasi alat tangkap. Selain itu nelayan kurang memiliki akses yang mendukung percepatan inovasi alat tangkap. Satu jenis alat tangkap, cenderung digunakan nelayan dalam jangka waktu yang lama. Alternatif solusi: Lakukan pelatihan, dan demonstrasi berbagai macam alat tangkap, juga studi kerja ke nelayan-nelayan yang lebih maju. Kemudian, biarkan nelayan sendiri yang memilih, alat tangkap mana yang akan digunakan. Bantu nelayan memperoleh alat tangkap tersebut, diantaranya melalui kredit peralatan tangkap.
162 - Kemampuan nelayan membeli teknologi penunjang penangkapan seperti GPS, radio komunikasi, peralatan keselamatan kerja, dan lain-lainnya, masih lemah. Nelayan juga belum mempertimbangkan perlunya peralatan keselamatan kerja, seperti pelampung. Alternatif solusi: Lakukan pelatihan dan demonstrasi berbagai macam alat penunjang penangkapan dan peralatan keselamatan kerja. Bantu nelayan memperoleh alat-alat tersebut dengan cara memberikan kemudahan perolehan, misalnya melalui sistem kredit usaha. (5) Lingkungan, meliputi: kelembagaan nelayan, informasi, kebijakan pemerintah untuk pengembangan SDM nelayan dan pengaturan usaha nelayan, serta jasa penyuluhan. - Kelembagaan nelayan tidak berfungsi dengan baik. Kelompok nelayan dalam kondisi pasif dan tidak ada kegiatan. Koperasi, tidak memberikan dukungan usaha, terutama tidak menyediakan modal dan perlengkapan penangkapan. Koperasi tidak memberikan dukungan ketersediaan teknologi penangkapan sesuai harapan nelayan. Koperasi juga belum berperan aktif dalam tata niaga perikanan. Ini terlihat dari pemasaran hasil tangkap di mana yang menjadi konsumen utama dari nelayan adalah para pemodal perseorangan. Organisasi profesi tidak dapat dijangkau oleh nelayan, dan perannya tidak diketahui nelayan. Alternatif solusi: (a) Mengaktifkan kelompok nelayan. Melakukan pembinaan kelompok, dengan tujuan membantu peningkatan usaha nelayan. Membentuk kelompok-kelompok usaha bersama, yang merupakan bagian dari kelompok nelayan. Kelompok usaha bersama dapat dispesifikasi berdasarkan penggunaan alat tangkap. Tujuannya adalah terselenggaranya usaha bersama para nelayan, dengan modal yang dicari nelayan secara bersama-sama. Sehingga pola pembagian hasil dapat lebih adil bagi seluruh nelayan.
163 (b) Meningkatkan peran koperasi, sebagai wadah usaha nelayan. Peran koperasi nelayan diharapkan dapat lebih fokus pada penyediaan berbagai kebutuhan nelayan, sehingga koperasi dapat memfasilitasi kegiatan nelayan untuk peningkatan usahanya. Misalnya sebagai lembaga penyedia modal, tempat nelayan memperoleh dan berbelanja peralatan dan teknologi tangkap, juga perbekalan melaut. Selain itu, koperasi juga dapat berperan sebagai tempat nelayan mendapatkan informasi pemasaran. (c) Organisasi profesi nelayan perlu didekatkan dengan nelayan. Pendataan jumlah nelayan dan apa saja kebutuhan nelayan untuk meningkatkan profesionalismenya perlu dilakukan. Tujuan organisas profesi harus jelas dan mengarah pada peningkatan profesionalisme nelayan. Pelatihan-pelatihan profesi dapat diselenggarakan oleh organisasi profesi secara terprogram. - Informasi yang terkait dengan usaha nelayan sama sekali tidak ada. Alternatif solusi: Mengaktifkan peran unit pelaksana teknis yang ada di lokasi, sebagai pusat informasi nelayan. Pada unit pelaksana teknis, diharapkan nelayan mendapatkan berbagai informasi yang dibutuhkannya, misalnya: kondisi sumber daya perikanan, kondisi lingkungan, cuaca, keamanan, pemasaran, kebijakan-kebijakan pemerintah, bahkan pembelian dan perbaikan peralatan tangkap. Radio komunitas perlu diadakan sebagai sarana komunikasi dengan dan antar nelayan, terutama ketika sedang melaut. - Pemerintah belum fokus mengangkat kebijakan untuk pengembangan SDM nelayan (terutama bagi nelayan yang turun temurun telah menjadikan nelayan sebagai profesi). Alternatif solusi: Menjadikan lokasi pemukiman nelayan sebagai kawasan pembinaan SDM nelayan. Sehingga, kegiatan pendidikan untuk nelayan, seperti penyuluhan berada di lokasi binaan ini. Pengaturan ijin usaha melaut perlu dilakukan,
164 misalnya hanya memberikan ijin usaha kepada nelayan yang benar-benar aktif melaut. Dengan demikian, persaingan tidak sehat dapat direduksi. - Jasa penyuluhan tidak ada. Tidak ada agenda resmi untuk kegiatan penyuluhan. Alternatif solusi: Mengagendakan kegiatan penyuluhan sebagai kegiatan pendidikan yang berkelanjutan. Menyiapkan sarana prasarana penyuluhan, dan sumber daya manusia penyuluh. Materi penyuluhan disesuaikan dengan kebutuhan nelayan dari waktu ke waktu. Tujuan utamanya adalah terjadinya perubahan perilaku berusaha bagi nelayan secara berkelanjutan. Langkah Pengembangan Mutu Sumber Daya Manusia Nelayan Langkah awal dalam satu pengembangan mutu SDM nelayan dilakukan dengan membuat proses pemecahan masalahnya. Permasalahan yang dihadapi nelayan untuk maju sangatlah kompleks. Untuk dapat memecahkan masalah dengan baik, diperlukan fokus penanganan satu demi satu masalah yang dihadapi. Lingkaran Sheward merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah. Lingkaran Sheward disingkat dengan PDCA (Plan, Do, Check, Act), merupakan suatu proses sirkuler, yang berputar sesuai dengan arah jarum jam. Untuk memecahkan masalah rendahya kompetensi nelayan, dengan Lingkaran Sheward akan terlihat proses dan urutan langkah pemecahan masalah rendahnya kompetensi nelayan tersebut. Gambar 23 berikut memperlihatkan aplikasi Lingkaran Sheward untuk menangani masalah rendahnya kompetensi nelayan.
165
Plan Prioritas masalah: rendahnya kompetensi nelayan, tidak sesuai kebutuhan usaha. Sebab: bekerja karena kebiasaan turun temurun, berdasarkan pengalaman, tidak menyadari pentingnya mengembangkan kompetensi. Masalah yang paling berpengaruh: sulit mengubah kebiasaan bekerja. Langkah perbaikan: mengubah kebiasaan kerja dengan cara mengembangkan dan meningkatkan kompetensi. Act (1) Selalu mengembangkan kompetensi (2) Garap masalah selanjutnya.
Check Apakah dengan do kompetensi berkembang?. Periksa: (1) apakah terjadi peningkatan kemampuan memenuhi kebutuhan konsumen?; (2) apakah terjadi peningkatan penghasilan?; dan (3) apakah terjad peningkatan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup?
P A
D C
Do Lakukan perubahan kebiasaan kerja, tingkatkan dan kembangkan kompetensi melalui penyuluhan, dengan cara: (1) Magang ke nelayan yang lebih maju (2) Pelatihan kewirausahaan (3) Adakan program siaran pendidikan melalui radio komunitas. (4) Penyebaran brosur di kapal-kapal nelayan
Gambar 23. Lingkaran Sheward: Proses Pemecahan Masalah Rendahnya Kompetensi Nelayan Hal-hal yang digambarkan pada Gambar 23 adalah proses pemecahan masalah rendahnya kompetensi nelayan dengan menggunakan Lingkaran Sheward. Langkah 1: Plan, pada langkah pertama ditentukan: (1) prioritas masalah; (2) sebab terjadinya masalah; (3) masalah yang paling berpengaruh dan (4) langkah perbaikan.
166 Prioritas masalah: Rendahnya kompetensi nelayan, sehingga tidak sesuai kebutuhan usaha. Sebab: Nelayan bekerja karena kebiasaan turun temurun dan berdasarkan pengalaman. Nelayan tidak menyadari pentingnya untuk mengembangkan kompetensi agar selalu sesuai dengan kemajuan zaman. Tidak dilakukannya pendidikan ataupun pembinaaan SDM pada nelayan menyebabkan lambatnya terjadi perubahan kebiasaan kerja. Kebiasaan kerja yang dimaksud adalah: pergi melaut dan pulang membawa hasil, sesampai di darat langsung dijual, kemudian pergi melaut lagi pada periode berikutnya untuk menangkap ikan. Masalah yang paling berpengaruh: Sulitnya mengubah kebiasaan kerja. Nelayan cenderung merasa apa yang dilakukan selama ini adalah yang seharusnya dilakukan. Akibatnya ancaman eksternal seperti kenaikan harga BBM, dan persaingan usaha tidak mampu dihadapi dengan baik. Langkah perbaikan: Mengubah kebiasaan kerja dengan menyesuaikan dan meningkatkan kompetensi melalui penyuluhan. Langkah 2: Do, pada langkah kedua mulai di lakukan penyuluhan dengan tujuan terjadinya perubahan kebiasaan kerja melalui penyesuaian, pengembangan, dan peningkatan kompetensi. Caranya adalah: (1) magang ke nelayan yang lebih maju; (2) pelatihan kewirausahaan; (3) membuat program pendidikan bagi nelayan melalui radio komunitas dan (4) penyebaran brosur di kapal-kapal nelayan. Langkah 3: Check, merupakan kegiatan pemeriksaan untuk melihat apakah dengan do yang dilakukan melalui penyuluhan. Melihat apakah kompetensi nelayan telah sesuai kebutuhan, berkembang, dan meningkat?. Kegiatan pemeriksaan dilakukan untuk melihat: (1) apakah terjadi peningkatan kemampuan memenuhi kebutuhan konsumen dari sebelumnya?; (2) apakah terjadi peningkatan penghasilan dari sebelumnya? dan
167 (3) apakah terjadi peningkatan kemampuan memenuhi kebutuhan hidup dari sebelumnya?. Langkah 4: Act, yaitu bertindak lebih lanjut, jika telah menghasilkan apa yang diinginkan. Tindak lanjut yang dimaksud adalah teruskan memecahkan masalah yang lain (garap masalah selanjutnya), dan jaga agar kompetensi nelayan selalu dapat berkembang sesuai kemajuan zaman. Jika belum sesuai dengan yang diinginkan: pelajari mengapa?, dan lakukan proses perbaikan ulang sesuai input yang baru. Fokus Kegiatan Penyuluhan Fokus kegiatan penyuluhan adalah kondisi nelayan yang kompeten, atau nelayan yang bermutu. Untuk itu, peningkatan kompetensi nelayan melalui kegiatan penyuluhan dirancang untuk: (1) mempersiapkan agar nelayan mampu menghadapi tantangan dalam kehidupannya dan dalam usahanya dan (2) meyakinkan nelayan bahwa ia dapat hidup sejahtera dari pekerjaan yang ditekuninya. Karena dasar dari penyelenggaraan kegiatan penyuluhan adalah konsep mutu yang fokus pada terpenuhinya kebutuhan pelanggan, maka nelayan baru dapat dikatakan bermutu apabila produk yang dihasilkannya mampu memenuhi atau melebihi kebutuhan dan harapan pelanggan-pelanggannya. Nelayan memiliki dua produk utama, yaitu: (1) produk hasil tangkapan yang disalurkan pada konsumen (pelanggan eksternal primer) dan (2) produk dalam bentuk penghasilan yang dibutuhkan oleh dirinya sendiri dan keluarganya (pelanggan internal) untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Dari nelayan konsumen mengharapkan: (1) nelayan tanggap menyediakan produk bermutu (produk yang jenis dan jumlahnya sesuai kebutuhan, serta diterima dalam kondisi sehat dan segar); (2) nelayan tanggap melayani konsumen (ditandai dengan produk yang sampai pada konsumen tepat waktu); (3) tingkat produktivitas yang baik dan stabil, sehingga konsumen dapat merencanakan pemanfaatan produk untuk kebutuhannya sesuai waktu yang diharapkannya, dan dengan jumlah tertentu dan (4) keberlanjutan usaha, sehingga konsumen mempunyai kepastian ketersediaan produk.
168 Keluarga nelayan dan diri nelayan sendiri, mengharapkan penghasilan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kegiatan penyuluhan merupakan kegiatan yang berfungsi sebagai sarana transformasi diri dan usaha nelayan, dari nelayan tradisional dan kurang mengenal pelanggan-pelanggannya, menjadi nelayan maju yang kompeten dan mengenal pelanggan-pelanggannya. Rancangan Pola Penyelenggaraan Penyuluhan Rancangan pola penyelenggaraan penyuluhan bidang perikanan dan kelautan untuk meningkatkan kompetensi nelayan mencakup: (1) sasaran penyuluhan; (2) rincian kebutuhan klien; (3) materi penyuluhan; (4) metode/ teknik penyuluhan dan (5) media yang digunakan. Sasaran penyuluhan atau klien dalam penyuluhan yaitu: (1) nelayan pemilik; (2) nelayan pekerja (NPk) dan (3) keluarga nelayan. Kebutuhan
nelayan
untuk
pengembangan
kompetensi
adalah
untuk
meningkatkan dan mengembangkan: (1) kemampuan merencanakan usaha; (2) kemampuan menangkap ikan; (3) kemampuan memasarkan; (4) kemampuan memecahkan masalah usaha dan (5) kemampuan memanfaatkan penghasilan. Materi penyuluhan yang dibutuhkan untuk meningkatkan kompetensi nelayan terdiri dari: (1) kewirausahaan, untuk membangkitkan motivasi dan sikap kemandirian berusaha; (2) teknologi penangkapan, untuk menambah pengetahuan dan keterampilan menggunakan alat; (3) keamanan bekerja, agar mengetahui dan mampu menggunakan peralatan keselamatan kerja; (4) manajemen usaha, agar trampil merencanakan dan mengendalikan usaha; (5) tata niaga, agar memiliki kemampuan memasarkan; (6) pemecahan masalah usaha, agar taktis menghadapi berbagai persoalan usaha dan (7) diversifikasi usaha untuk menambah penghasilan. Penyuluhan menggunakan berbagai metode/ teknik, yaitu: (1) magang pada nelayan yang lebih maju; (2) diskusi; (3) latihan; (4) demonstrasi; (5) pemecahan masalah; (6) siaran pendidikan pada radio komunitas dan (7) siaran pendidikan pada program televisi, dan juga pemanfaatan beberapa media. Tabel 39 memperlihatkan pola penyelenggaraan penyuluhan bidang perikanan dan kelautan untuk nelayan.
169
Tabel 39. Pola Penyelenggaraan Penyuluhan Bidang Perikanan dan Kelautan untuk Nelayan Subjek Pengembangan (1) Kemampuan merencanakan usaha
(2) Kemampuan menangkap dan menangani hasil tangkapan (3) Kemampuan memasarkan
Materi Perencanaan usaha: Jangka panjang Jangka menengah Jangka pendek (1) Armada; (2) Alat tangkap; (3) Mesin; (4) Teknologi penangkapan ikan; (5) Teknologi penanganan hasil tangkapan (1) Pemasaran (2) Tata niaga perikanan
(4) Kemampuan memecahkan masalah usaha
Pemecahan masalah usaha
(5) Kemampuan memanfaatkan penghasilan
Pengelolaan keuangan
(6) Kemampuan menjaga keselamatan dalam bekerja
Menjaga keselamatan di laut
(7) Motivasi berusaha
Menjadi nelayan maju dan sejahtera
(8) Sikap wirausaha
(1) Kewirausahaan (2) Team Building
Metode/ Teknik (1) Diskusi dan latihan membuat rencana usaha: jangka panjang, jangka menengah, jangka pendek, serta menetapkan kemajuan usaha dan (2) Diskusi dengan lembaga permodalan (1) Magang pada nelayan yang lebih maju atau praktek di kapal pendidikan; (2) Diskusi dengan nelayan maju dan (3) Diskusi dengan produsen peralatan Diskusi dengan mendatangkan: (1) konsumen perikanan dari berbagai skala (2) nelayan maju dan (3) ahli dan praktisi pemasaran. Diskusi dan latihan: (1) memecahkan masalah permodalan; (2) masa paceklik; (3) pola bagi hasil; (4) tata niaga dan (5) mengelola kelompok usaha. Diskusi dan latihan: (1) alokasi penggunaan penghasilan untuk hal-hal produktif; (2) menabung dan (3) investasi. Diskusi dan praktek mengatasi dan menyelamatkan diri kecelakaan di laut dalam bentuk: (1) tabrakan; (2) terbakar; (3) kandas; (4) bocor dan tenggelam (praktek: dikapal pendidikan). (1) Diskusi: menjadi nelayan sukses (2) Permainan untuk meningkatkan motivasi (3) Siaran pada radio komunitas (1) Diskusi: perilaku usaha nelayan maju (2) Permainan untuk meningkatkan sikap wirausaha dan menciptakan team building (3) Siaran pada radio komunitas
Media (1) Media visual: slide, komputer dan LCD Projector dan (2) Media cetak: buku panduan dan (3) Alat tulis dan buku kerja (1) Peralatan: Armada, alat tangkap, alat penunjang penangkapan, alat serta bahan untuk menangani hasil tangkap dan (2) Media visual: slide dan film (1) Media visual: slide, komputer dan LCD Projector, film dan (2) Media cetak: buku panduan. (1) Media visual: slide, komputer dan LCD Projector; (2) Media cetak: buku panduan dan (3) Alat tulis dan buku kerja. (1) Media visual: slide, komputer dan LCD Projector; (2) Media cetak: buku panduan dan (3) Alat tulis dan buku kerja (1) Peralatan keselamatan kerja, diantaranya: pelampung dan pakaian cebur dan (2) Media visual: slide dan film (1) Media visual: slide, film; (2) Media cetak: brosur, buku panduan; (3) Kertas dan alat tulis dan (4) Radio komunitas (1) Media visual: slide, film (2) Media cetak: brosur, buku panduan (3) Kertas dan alat tulis (4) Radio komunitas
170 Pola penyelenggaraan penyuluhan bidang perikanan dan kelautan yang disampaikan pada Tabel 39 dilakukan untuk nelayan. Sedangkan untuk keluarga nelayan diberikan penyuluhan tentang diversifikasi usaha perikanan. Penyuluhan tentang diversifikasi usaha dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga nelayan dengan cara membangkitkan produktivitas keluarga. Caranya ialah dengan memberikan berbagai keterampilan pada keluarga nelayan agar dapat menghasilkan produk industri rumah tangga berupa olahan hasil perikanan. Keluarga nelayan yang tidak hanya menggantungkan mata pencahariannya pada usaha melaut, ternyata lebih mampu melanjutkan kegiatan melaut. Sedangkan nelayan yang tidak memiliki usaha lain, lebih kesulitan mencari modal usaha pada masa paceklik. Kemampuan memenuhi kebutuhan hidup nelayan yang keluarganya memiliki usaha lainpun lebih baik dibandingkan dengan nelayan yang hanya menggantungkan sumber penghasilannya dari menangkap ikan. Potensi diversifikasi usaha cukup besar, karena sembilan puluh persen ibu rumah tangga nelayan menganggur. Jenis keterampilan yang mungkin diajarkan antara lain pembuatan: ikan asin, kecap ikan, terasi, petis, nugget ikan, bakso ikan, kerupuk ikan, dan abon ikan. Selain itu perlu diajarkan tentang kewirausahaan untuk menumbuhkan kemandirian keluarga nelayan dalam melakukan industri rumah tangga. Peran Lembaga Penyuluhan Sesuai dengan kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kompetensi nelayan, maka kehadiran lembaga penyuluhan bidang perikanan dan kelautan yang mampu memberikan layanan jasa seperti yang disebutkan di atas sangat mendesak. Selain tuntutan harus mampu menyelenggarakan jasa-jasa tersebut, lembaga penyuluhan juga harus mempunyai program kerja yang berkelanjutan dan bukan sekedar proyek tahunan. Keberadaan lembaga penyuluhan di lokasi usaha merupakan syarat mutlak, hal ini dilakukan agar nelayan mudah berkomunikasi tentang hal-hal yang dibutuhkannya, dan agar nelayan mudah mendapatkan pembinaan. Pada Tabel 40 diuraikan jenis jasa yang harus dimiliki oleh lembaga penyuluhan bidang kelautan dan perikanan, yang dikembangkan dari konsep Margono Slamet (2004).
171 Tabel 40. Jenis Jasa yang Diberikan Oleh Lembaga Penyuluhan Bidang Perikanan dan Kelautan bagi Nelayan No
Jenis Jasa
Tujuan
Tindakan
1
Jasa pelatihan
(1) Mengembangkan sumber daya (1) Pelatihan dasar: menumbuhkan manusia nelayan agar memiliki motivasi, menumbuhkan sikap motivasi untuk menjadi nelayan profesional dalam berusaha, yang maju, dan memiliki menumbuhkan kewirausahaan kompetensi yang sesuai dengan (2) Pelatihan lanjutan: peningkatan kebutuhan. kompetensi: merencanakan (2) Mengembangkan usaha-usaha usaha, menangkap ikan, lain (diversifikasi usaha) bidang memasarkan, memecahkan perikanan dan kelautan masalah usaha, memanfaatkan penghasilan, keselamatan kerja. (3) Pelatihan tambahan: diversifikasi usaha (untuk keluarga nelaya) Mengembangkan hasil-hasil Misalnya: penelitian (alat dan metode baru, (1) Uji coba armada cara berusaha) untuk kepentingan (2) Uji coba alat tangkap peningkatan usaha nelayan. (3) Uji coba pola usaha
2
Jasa uji coba lokal
3
Jasa pelayanan masyarakat
Membuka layanan konsultasi usaha untuk nelayan.
Memecahkan berbagai masalah usaha nelayan.
4
Jasa informasi
(1) Menyediakan informasiinfomasi yang dibutuhkan nelayan. (2) Nelayan terbiasan menerima informasi baru terkait dengan usahanya
Jenis informasi: pembangunan perikanan dan kelautan, kondisi sumber daya perikanan dan kelautan, kelestarian lingkungan, perkembangan usaha (kondisi pasar, konsumen, dan modal), dll.
5
Jasa administrasi
Membuka layanan bimbingan pengelolaan administrasi usaha bagi nelayan dan kelompok usahanya.
6
Jasa kebijakan umum
Membimbing nelayan dan kelompok usahanya agar dapat melakukan administrasi yang baik, dan tertib administrasi dalam menjalankan usaha. Menyediakan saluran yang aspiratif Membangun komunikasi antar bagi nelayan untuk menyampaikan nelayan, antar kelompok nelayan, permasalahan yang harus diangkat di dan organisasi profesi nelayan; tingkat kebijakan. menjadi fasilitator pertemuanpertemuan penting dengan pemerintah, wakil rakyat, dan pihakpihak yang terkait dalam usaha nelayan.
Jasa-jasa yang disampaikan pada Tabel 40, metode pelaksanaannya dan jenis jasa yang diberikan dapat berkembang sesuai kebutuhan nelayan.
172 Strategi Eksternal: Memberikan Dukungan Lingkungan yang Kondusif untuk Mencapai Kesejahteraan Nelayan Keberhasilan pengembangan kompetensi nelayan tidak hanya ditentukan oleh keberhasilan penyuluhan, namun juga ditentukan oleh berbagai faktor lingkungan. Demikian juga dengan upaya peningkatan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen, peningkatan penghasilan, dan peningkatan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup, semuanya membutuhkan dukungan lingkungan. Untuk itu perlu dihadirkan strategi eksternal, yang berfungsi menentukan dukungan lingkungan apa saja yang harus ada. Muara dari berbagai dukungan lingkungan ini mengarah pada peningkatan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup, atau pada kesejahteraan nelayan. Hubungan Sebab-Akibat Rendahnya Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Hidup Untuk dapat menghadirkan strategi eksternal, dilakukan analisis hubungan sebab akibat dalam bentuk Diagram Ishikawa. Analisis dibuat berdasarkan olahan data primer yang telah diuji secara statistik, dilengkapi dengan wawancara mendalam, dan FGD. Hubungan sebab akibat rendahnya kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup, dilihat dari: (1) manusia; (2) materi; (3) metode; (4) perlengkapan dan (5) lingkungan. Hasil analisis akan memperlihatkan faktor-faktor mana saja yang lemah, dan apa yang menyebabkannya terjadi, untuk kemudian dicarikan solusinya. Dengan menemukan hubungan sebab akibat alasan kemampuan nelayan dalam memenuhi kebutuhan hidup rendah, akan memudahkan dalam: (1) menentukan pihak-pihak yang berperan dan mendukung terpenuhinya lingkungan yang kondusif dan (2) peran yang apa yang harus dilakukan oleh pihak-pihak tersebut. Pada Gambar 24 disampaikan hasil analisis hubungan sebab akibat rendahnya kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup.
173
174 Hasil analisis hubungan sebab-akibat menampilkan faktor-faktor utama penyebab rendahnya kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidupnya. (1) Manusia (Nelayan) Faktor-faktor: (a) motivasi intrinsik untuk maju rendah; (b) kompetensi merencanakan usaha rendah; (c) kompetensi menyediakan modal usaha rendah; (d) kompetensi menangkap ikan rendah; (e) kompetensi memasarkan ikan rendah; (f) kompetensi memecahkan maalah usaha rendah dan (g) kompetensi memanfaatkan penghasilan rendah. (2) Materi/ Bahan Baku Faktor-faktor: (a) perbekalan terbatas; (b) keterbatasan daya beli BBM; (c) penanganan hasil tangkap masih sederhana (es batu) dan (d) tidak mengalokasikan bahan baku untuk diversifikasi usaha. (3) Metode Faktor-faktor: (a) ketergantungan pada okupasi melaut; (b) bekerja tidak berorientasi konsumen; (c) pola usaha patron-klien merugikan nelayan dan (d) tidak ada kerja sama usaha dengan pihak lain. (4) Perlengkapan Faktor-faktor: (a) armada tradisional; (b) daya mesin kecil; (c) lambatnya adopsi inovasi alat tangkap dan (d) minimnya penggunaan teknologi penunjang penangkapan, misalnya GPS. (5) Lingkungan Faktor-faktor: (a) dukungan modal usaha rendah; (b) dukungan informasi rendah; (c) dukungan politik rendah; (d) kelembagaan nelayan tidak berfungsi; (e) kesempatan mengembangkan usaha rendah dan (f) dukungan penyuluhan rendah. Akar Permasalahan Rendahnya Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Hidup (1) Manusia Gambar 25 memperlihatkan analisis hubungan sebab akibat rendahnya kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup ditinjau dari unsur manusia.
175 Manusia Motivasi maju rendah
Kompetensi merencanakan usaha rendah
Tidak diprogramkan Tidak ada bimbingan kewirausahaan Tidak tahu melakukan tata niaga yang menguntungkan untuk jangka panjang
Tidak merasakan manfaat pembangunan
Tidak ada aset untuk agunan memenuhi persyaratan perolehan modal pada lembaga keuangan formal
Kompetensi menyediakan modal usaha rendah
Pesimis masa depan
Program pembangunan tidak berdampak pada kesejahteraan
Ketergantungan pada pemodal Tidak ada lembaga alternatif penyedia modal usaha yang dapat diakses
Kompetensi memasarkan rendah
Kompetensi menangkap ikan rendah Kemampuan menangkap tidak berkembang
Ketergantungan menjual pada pemodal Tidak ada program peningkatan pemasaran
Lemahnya akses pemasaran
Tidak ada pelatihan Lambatnya adopsi inovasi alat tangkap
Kompetensi memanfaatkan penghasilan rendah
Kompetensi memecahkan masalah usaha rendah Tidak mampu memecahkan berbagai masalah usaha
Tidak ada program pembinaan usaha nelayan
Penghasilan rendah
Tidak diprogramkan
Tidak ada pembinaan
Sebab
Akibat
Gambar 25. Diagram Hubungan Sebab - Akibat Rendahnya Mutu SDM Nelayan (Analisis Manusia) Sumber: Hasil Analisis Data Primer, Wawancara Mendalam, dan FGD
176 Hasil analisis hubungan sebab-akibat dengan Diagram Ishikawa yang disampaikan pada Gambar 25, menampilkan faktor-faktor penyebab rendahnya kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup dilihat dari unsur manusia. Berikut ini diuraikan satu persatu faktor-faktor tersebut, akar permasalahan, dan solusinya. (1) Motivasi intrinsik untuk maju rendah, disebabkan: (a) Nelayan pesimis akan masa depannya sebagai nelayan. (b) Nelayan tidak merasakan manfaat dari pembangunan. Akar permasalahan: Program pembangunan tidak berdampak pada kesejahteraan nelayan. Alternatif solusi: Mengubah orientasi pembangunan, dari pembangunan yang tidak memperhatikan kebutuhan nelayan sebagai stakeholder pembangunan menjadi pembangunan yang berorientasi pada tercapainya kesejahteraan nelayan. Bentuk konkritnya: (a) Hadirnya pendidikan kenelayanan pada kurikulum pendidikan formal yang diterapkan melalui muatan lokal (untuk daerah-daerah yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian nelayan) (b) Diselenggarakannya penyuluhan untuk meningkatkan kompetensi (c) Adanya penyedia kredit usaha bagi nelayan, seperti lembaga kredit mikro, atau lembaga penyedia modal usaha alternatif. (d) adanya kredit rumah yang bisa diakses nelayan. (2) Kompetensi merencanakan usaha rendah, disebabkan: (a) Nelayan tidak tahu melakukan tata niaga yang menguntungkan untuk jangka (b) Tidak ada bimbingan kewirausahaan. Akar permasalahan: Tidak ada program bimbingan kewirausahaan bagi nelayan. Alternatif solusi: Adanya program bimbingan kewirausahaan untuk meningkatkan kemampuan nelayan merencanakan usaha.
177 Bentuk konkritnya: (a) Diselenggarakan penyuluhan (b) Bimbingan profesi oleh organisasi profesi (3) Kompetensi menyediakan modal usaha rendah, disebabkan: (a) Ketergantungan pada pemodal (b) Nelayan tidak memiliki aset agunan untuk memenuhi persyaratan perolehan modal pada lembaga keuangan formal. Akar permasalahan: Tidak ada lembaga alternatif penyedia modal usaha yang dapat diakses nelayan. Alternatif solusi: Hadirnya lembaga alternatif penyedia modal usaha yang dapat diakses nelayan. (4) Kompetensi menangkap ikan rendah, disebabkan: (a) Kemampuan menangkap tidak berkembang (b) Lambatnya adopsi inovasi alat tangkap. Akar permasalahan: Tidak ada pelatihan untuk meningkatkan kemampuan nelayan menangkap ikan. Alternatif solusi: Melakukan program pelatihan untuk meningkatkan kemampuan nelayan menangkap ikan. (5) Kompetensi memasarkan rendah, disebabkan: (a) Lemahnya akses pemasaran (b) Ketergantungan pada pemodal. Akar permasalahan: Tidak ada program peningkatan pemasaran bagi nelayan Alternatif solusi: Melakukan program peningkatan kemampuan memasarkan bagi nelayan (6) Kompetensi memanfaatkan penghasilan rendah, disebabkan: (a) Penghasilan nelayan yang rendah (b) Tidak mampu memecahkan berbagai masalah usaha.
178 Akar permasalahan: Tidak ada program pembinaan usaha bagi nelayan Alternatif solusi: Melakukan program pembinaan usaha bagi nelayan (7) Kompetensi memecahkan masalah usaha rendah, disebabkan nelayan sangat sulit memecahkan berbagai masalah usaha, seperti: (a) Lemahnya permodalan (b) Tidak adanya penghasilan pada musim buruk untuk melaut (c) Persaingan usaha dengan nelayan asing, nelayan besar (d) Masih beroperasinya trawl. Akar permasalahan: Tidak ada program peningkatan kemampuan nelayan memecahkan masalah usahanya Alternatif solusi: Mengadakan diskusi dengan nelayan, dan memberikan solusi pemecahan masalah. Bentuk konkrit: (a) Mengatasi masalah permodalan dengan menyiapkan lembaga permodalan dengan persyaratan yang dapat dipenuhi nelayan, misalnya memperbolehkan nelayan membayar dengan persentase penjualan hasil tangkapan (b) Mengatasi tidak adanya penghasilan pada musim buruk untuk melaut, dengan memberi kemudahan bagi nelayan untuk memiliki peralatan yang lebih baik dan memberikan pelatihan penggunaannya, serta memberikan keterampilan pada keluarga nelayan untuk diversifikasi usaha (c) Mengatasi persaingan usaha dengan nelayan asing dan nelayan besar, dengan menjaga keamanan di laut dari beroperasinya kapal-kapal ilegal, dan mengatur kembali ijin melaut hanya diberikan pada nelayan yang aktif (d) Mencegah beroperasinya trawl dan memberi tindakan hukum pada pihak-pihak yang masih mengoperasikan trawl. (2) Materi/ Bahan Baku Gambar 26 memperlihatkan analisis hubungan sebab akibat rendahnya kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup ditinjau dari unsur materi/ bahan baku.
179 Materi/Bahan Baku
Keterbatasan daya beli BBM
Perbekalan terbatas
Tidak ada lembaga penyedia modal usaha yang dapat diakses Modal kurang
Tidak ada lembaga penyedia modal usaha yang dapat diakses
Harga BBM dianggap mahal Keterbatasan modal untuk menyediakan bekal
Penanganan hasil tangkap masih sederhana (es batu) Tidak ada lembaga penyedia modal usaha yang dapat diakses
Tidak mengalokasikan bahan baku untuk diversifikasi usaha Tidak ada lembaga penyedia modal usaha yang dapat diakses
Ketergantungan harus menjual pada pemodal
Modal kurang
Tidak ada bimbingan Diversifikasi usaha keluarga
Tidak mampu membeli teknologi penanganan hasil tangkap modern
Tidak diprogramkan Seluruh hasil tangkap langsung dijual
Tidak memikirkan adanya nilai tambah dari pengolahan hasil tangkap
Sebab
Akibat
Gambar 26. Diagram Hubungan Sebab - Akibat Rendahnya Mutu SDM Nelayan (Analisis Materi) Sumber: Hasil Analisis Data Primer, Wawancara Mendalam, dan FGD
180 Hasil analisis hubungan sebab-akibat pada Gambar 26, menampilkan faktor-faktor penyebab rendahnya kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidupnya yang dilihat dari unsur materi. Berikut ini diuraikan satu persatu faktor-faktor tersebut, akar permasalahan, dan solusinya. (1) Keterbatasan daya beli nelayan akan BBM disebabkan: (a) Harga BBM yang dianggap mahal, dibanding harga jual ikan hasil tangkapan (b) Terbatasnya modal (modal kurang). Akar permasalahan: Tidak ada lembaga yang menyediakan modal usaha, khususnya yang menangani kebutuhan BBM bagi nelayan. Alternatif solusi: Hadirnya lembaga alternatif penyedia modal usaha yang dapat diakses nelayan, sehingga nelayan mampu mengatasi pemenuhan kebutuhan BBM. (2) Keterbatasan kemampuan nelayan menyediakan perbekalan melaut disebabkan: keterbatasan modal untuk menyediakan bekal Akar permasalahan: Tidak ada lembaga penyedia modal usaha yang menangani pemberian modal usaha, khususnya yang menangani ketersediaan perbekalan melaut. Alternatif solusi: Hadirnya lembaga alternatif penyedia modal usaha yang dapat diakses nelayan, atau hadirnya pola pengelolaan usaha penyediaan perbekalan melaut (bisa melalui koperasi nelayan, atau melalui kegiatan kelompok nelayan). (3) Penanganan hasil tangkap masih sedehana (es batu) untuk menangani hasil tangkapan. Karena bahan mudah cair, nelayan tidak bisa lama melaut. Nelayan juga tidak sanggup membeli teknologi penanganan hasil tangkap modern karena kurangnya modal. Akar permasalahan: Nelayan tidak sanggup membeli teknologi penanganan hasil tangkap modern.
181 Alternatif solusi: Memberikan kemudahan bagi nelayan dalam bentuk kredit armada yang dilengkapi dengan mesin pendingin. (3) Tidak mengalokasikan bahan baku untuk diversifikasi usaha, karena: (a) Seluruh hasil tangkap langsung dijual (b) Tidak memikirkan adanya nilai tambah dari pengolahan hasil tangkap (c) Tidak ada bimbingan diversifikasi usaha keluarga di bidang perikanan (d) ketergantungan harus menjual pada pemodal Akar permasalahan: (a) Tidak ada lembaga yang menyediakan modal usaha yang dapat diakses nelayan (b) Tidak ada program pembinaan dan pelatihan untuk diversifikasi usaha keluarga di bidang perikanan Alternatif solusi: (a) Hadirnya lembaga yang menyediakan modal usaha yang dapat diakses nelayan (b) Adanya program pembinaan dan pelatihan diversifikasi usaha keluarga di bidang perikanan (3) Metode Gambar 27 memperlihatkan analisis hubungan sebab akibat rendahnya kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup ditinjau dari unsur metode.
182 Metode
Bekerja tidak berorientasi konsumen
Ketergantungan pada okupasi melaut
Tidak diprogramkan Tidak mendapat pendidikan kewirausahaan
Sumber daya terbatas untuk mengurangi ketergantungan
Tidak mengenal berbagai konsumen potensial
Tidak ada pembinaan untuk mengembangkan cara kerja
Lemahnya peran Kelompok Nelayan
Cara melaut tidak berkembang Pola usaha patron-klien merugikan nelayan
Tidak ada kerjasama usaha dengan pihak lain
Tidak ada program pembinaan kelompok nelayan
Pola bagi hasil merugikan nelayan
Ketergantungan pada pemodal
Harus menjual hasil tangkap pada pemodal
Lemahnya peran kelembagaan nelayan
Tidak ada program pembinaan kelembagaan nelayan
Sistem usaha tidak tertata
Belum ada lembaga keuangan yang menggantikan peran pemodal perorangan
Sebab
Akibat
Gambar 27. Diagram Hubungan Sebab - Akibat Rendahnya Mutu SDM Nelayan (Analisis Metode) Sumber: Hasil Analisis Data Primer, Wawancara Mendalam, dan FGD
183 Hasil analisis hubungan sebab-akibat dengan Diagram Ishikawa yang disampaikan pada Gambar 27, menampilkan faktor-faktor penyebab rendahnya kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidupnya yang dilihat dari unsur metode. Berikut ini diuraikan satu persatu faktor-faktor tersebut, akar permasalahan, dan solusinya. (1) Orientasi kerja nelayan adalah melaut untuk menangkap ikan sebanyak- banyaknya agar segera dijual untuk mendapatkan penghasilan. Terlihat nelayan belum: (a) Berorientasi pada pemenuhan kebutuhan konsumen. (b) Mengenal dengan baik siapa saja yang konsumen potensialnya, sehingga ketika bekerja, ia hanya memperhatikan tuntutan konsumen yang ada saat itu (pemodal). (c) Mendapatkan pendidikan kewirausaan yang bermaksud agar terjadi proses penyadaran bagi nelayan bahwa mereka memiliki konsumen dari berbagai tempat, yang dapat mereka akses dan dapat bekerja sama dalam jual beli hasil tangkap Akar permasalahan: Tidak ada program pendidikan kewirausahaan Alternatif solusi: Penyelenggaraan pendidikan kewirausahaan, yang berorientasi pada terbentuknya kemampuan manajerial nelayan untuk mengetahui: (a) variasi konsumen potensial, serta (b) membantu nelayan memilih dan mengakses konsumen mana yang dikehendaki untuk dilayani. (2) Ketergantungan pada okupasi melaut, karena: (a) Cara melaut tidak berkembang (b) Terbatasnya sumber daya untuk mengubah cara kerja Akar permasalahan: Tidak adanya pembinaan untuk mengembangkan cara kerja agar lebih efisien. Alternatif solusi: Berikan dukungan bagi kemudahan nelayan memperoleh: (a) Armada, alat tangkap (b) Teknologi penangkapan (c) Modal usaha (d) Menyelenggarakan pembinaan untuk mengembangkan cara kerja
184 (3) Pola hubungan kerja patron-klien masih mendominasi usaha nelayan, karena: ketergantungan pada pemodal, akibatnya: (a) Harus menjual hasil tangkap pada pemodal (b) Pola pembagian hasil tangkap yang merugikan nelayan. (c) Peran kelompok nelayan untuk pengaturan hubungan kerja, sangat lemah. Akar permasalahan: (a) Belum ada lembaga keuangan yang dapat menggantikan pemodal perorangan (b) Tidak ada program pembinaan kelompok nelayan. Alternatif solusi: Melakukan reformasi tata niaga hasil perikanan tangkap, terutama untuk memberi dukungan permodalan dan dukungan akses pemasaran yang lebih luas bagi nelayan, sehingga nelayan tidak tergantung pada pemodal perorangan. Kondisi ini menuntut: (a) Kehadiran lembaga permodalan yang dapat diakses nelayan, sehingga nelayan mudah memperoleh modal usaha (b) Kehadiran pusat informasi pemasaran bagi nelayan (c) Pengaturan pola bagi hasil usaha dengan pertimbangan saling menguntungkan, semua pihak; untuk bagi hasil yang lebih baik, cara konkritnya dapat dilakukan dengan keterlibatan seluruh nelayan pada penyertaan modal usaha bersama, sehingga memungkinkan pola bagi hasil dapat lebih adil bagi semua pihak. (d) Kerja sama usaha (pemasaran) dengan pihak luar karena: sistem usaha tidak tertata baik, dan masih lemahnya peran kelompok nelayan. Akar permasalahan: Tidak ada program pembinaan kelembagaan nelayan. Alternatif solusi: Program pembinaan kelembagaan nelayan yang terkait dengan usaha nelayan seperti: kelompok nelayan, koperasi nelayan, dan organisasi profesi nelayan. (4) Perlengkapan Gambar 28 memperlihatkan analisis hubungan sebab akibat rendahnya kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup pada unsur perlengkapan.
185
Armada tradisional
Sebab
Akibat
Sulit menerima modernisasi armada
Tidak ada pelatihan Pergaulan homogen
Pergaulan homogen
Tidak ada program pembinaan penggunaan armada yang lebih baik
Tidak ada program membuka akses ke nelayan yang lebih maju Lambatnya adopsi inovasi alat tangkap
Daya mesin kecil Daya beli terbatas
Tidak ada akses ke nelayan maju
Daya beli terbatas Tidak ada penyedia kredit teknologi penunjang penangkapan
Tidak ada penyedia kredit mesin Minim penggunaan teknologi penunjang penangkapan (misal: GPS)
Perelengkapan
Gambar 28. Diagram Hubungan Sebab - Akibat Rendahnya Mutu SDM Nelayan (Analisis Perlengkapan) Sumber: Hasil Analisis Data Primer, Wawancara Mendalam, dan FGD
186 Hasil analisis hubungan sebab-akibat dengan Diagram Ishikawa yang disampaikan pada Gambar 28, menampilkan faktor-faktor penyebab rendahnya kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidupnya, dilihat dari unsur perlengkapan. Berikut ini diuraikan satu persatu faktor-faktor tersebut, akar permasalahan, dan solusinya. (1) Nelayan masih menggunakan armada tradisional, yaitu kapal dan perahu dari kayu, yang dibuat di kampung mereka. Tidak berubahnya pemilihan penggunaan armada tangkap karena nelayan masih sulit mengubah kebiasaannya dalam berusaha, (sulit menerima modenisasi armada), pergaulan yang homogen menyebabkan nelayan hanya mau menggunakan armada yang telah biasa dipakai oleh keluarganya secara turun temurun. Akar permasalahan: Tidak ada program pembinaan penggunaan armada yang lebih baik Alternatif solusi: Pengenalan armada-armada baru yang lebih baik kualitasnya, disertai pelatihan cara menggunakannya. Untuk lebih cepat terjadinya transformasi pola usaha, lakukan: (a) Magang ke nelayan-nelayan yang telah lebih dahulu menggunakan armada yang lebih baik dan lebih maju (b) Bantu nelayan agar dapat dengan mudah memperoleh armada yang dikehendakinya. (2) Daya mesin kecil, nelayan tidak sanggup melaut ketengah. Daya beli terbatas karena keterbatasan dana, menyebabkan nelayan kesulitan memperoleh mesin kapal dengan daya yang lebih besar. Akar permasalahan: Tidak adanya lembaga pemberi modal usaha, atau yang melayani kredit usaha bagi nelayan Alternatif solusi: Membantu nelayan memperoleh mesin sesuai harapannya, melalui kredit mesin, dan memberikan pelatihan penggunaan mesin tersebut (dapat melalui magang).
187 (3) Adopsi inovasi alat tangkap berlangsung lambat, karena: (a) Pergaulan nelayan yang homogen dan hanya berkisar diantara nelayan dari asal yang sama menyebabkan lambatnya inovasi alat tangkap (b) Tidak ada akses ke nelayan maju yang dapat mendukung percepatan adopsi inovasi alat tangkap. Akar permasalahan: Tidak ada program: (a) Pengenalan dan pelatihan penggunaan alat tangkap yang lebih efisien (b) Membuka akses ke nelayan yang lebih maju Alternatif solusi: Pelatihan, dan demonstrasi berbagai macam alat tangkap, juga studi kerja atau magang ke nelayan-nelayan yang lebih maju. Kemudian, biarkan nelayan sendiri yang memilih, alat tangkap mana yang akan digunakan. Bantu nelayan memperoleh alat tangkap tersebut, diantaranya melalui kredit peralatan tangkap. (4) Kemampuan nelayan menggunakan teknologi penunjang penangkapan masih rendah, ini disebabkan karena kemampuan/ daya beli nelayan untuk membeli alat tangkap baru, teknologi penunjang penangkapan seperti GPS, radio komunikasi, peralatan keselamatan
kerja,
dan
lain-lainnya,
masih
lemah.
Nelayan
mempertimbangkan perlunya peralatan keselamatan selama
juga
belum
bekerja, seperti
pelampung. Akar permasalahan: Tidak adanya penyedia kredit teknologi penunjang penangkapan. Aternatif solusi: Lakukan pelatihan, dan demonstrasi berbagai macam alat penunjang penangkapan dan peralatan keselamatan kerja. Bantu nelayan memperoleh alat-alat itu dengan mudah, misalnya melalui sistem kredit usaha. (5) Lingkungan Gambar 29 memperlihatkan analisis hubungan sebab akibat rendahnya kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup ditinjau dari unsur lingkungan.
188
Dukungan modal usaha rendah
Sebab
Tidak dapat memanfaatkan lembaga formal penyedia modal
Penyuluhan tidak berkelanjutan
Akibat
Tidak ada program penyuluhan
Tidak ada aset untuk agunan
Dukungan penyuluhan rendah
Tidak ada lembaga alternatif penyedia modal usaha
Dukungan pemerintah untuk mengembangkan usaha rendah Dukungan informasi rendah
Orientasi pembangunan pada produksi, bukan pada pengembangan SDM nelayan dan usahanya
Tidak ada penyedia informasi usaha
Dukungan politik rendah
Lemahnya dukungan kelembagaan bagi usaha nelayan
Tidak terwakili secara politik
Kesempatan mengembangkan usaha rendah
Tidak ada pembinaan
Kelembagaan nelayan tidak berfungsi
Lingkungan
Gambar 29. Diagram Hubungan Sebab - Akibat Rendahnya Mutu SDM Nelayan (Analisis Lingkungan) Sumber: Hasil Analisis Data Primer, Wawancara Mendalam, dan FGD
189 Hasil analisis hubungan sebab-akibat dengan Diagram Ishikawa yang disampaikan pada Gambar 29, menampilkan faktor-faktor penyebab rendahnya kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup yang dilihat dari unsur lingkungan. Berikut ini diuraikan satu persatu faktor-faktor tersebut, akar permasalahan, dan solusinya. (1) Dukungan modal usaha rendah, nelayan tidak dapat memanfaatkan lembaga formal penyedia modal karena tidak memiliki aset untuk agunan. Akar permasalahan: Tidak ada lembaga alternatif penyedia modal usaha yang dapat diakses nelayan Alternatif solusi: Hadirnya lembaga permodalan yang dapat diakses nelayan, sehingga nelayan dengan mudah memperoleh modal usaha, (2) Informasi yang terkait dengan usaha nelayan sama sekali tidak ada. Akar permasalahan: Tidak ada penyedia informasi usaha Alternatif solusi: Mengaktifkan peran: (a) koperasi; (b) unit pelaksana teknis yang ada di lokasi; (c) organisasi profesi dan (d) kelompok nelayan sebagai pusat informasi nelayan. Menyediakan informasi yang dibutuhkan nelayan, misalnya informasi: (a) kondisi sumber daya perikanan; (b) kondisi lingkungan; (c) cuaca; (d) keamanan; (e) pemasaran; (f) kebijakan-kebijakan pemerintah dan (g) pembelian dan perbaikan peralatan tangkap. Radio komunitas perlu diadakan sebagai sarana komunikasi pemerintah, pihak-pihak yang akan mengadakan kerja sama dengan nelayan, maupun antar nelayan ketika sedang melaut. (3) Tidak memiliki akses politik, sehingga kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan tidak sesuai dengan kebutuhan nelayan untuk meningkatkan SDM dan memajukan usahanya. Akar permasalahan: Tidak terwakili secara politik Alternatif solusi: Membangun keterwakilan stakeholder pembangunan seperti nelayan dalam
190 bidang politik (misalnya: melalui partai yang mampu menyuarakan aspirasi murni dari nelayan), sehingga terbentuk akses politik bagi nelayan yang dapat mencapai level kebijakan. Secara konkrit, partai diminta untuk menentukan sikap: stakeholder mana yang diwakilinya secara politik. Dengan demikian, stakeholder pembangunan seperti nelayan mengetahui siapa yang memperjuangkan kemajuan dan kesejahteraannya pada level kebijakan (dalam kesempatan ini diusulkan juga untuk keterwakilan keseluruhan stakeholder pembangunan, seperti: petani, peternak, guru, dan lainnya) (4) Kelembagaan nelayan tidak berfungsi dengan baik, karena : (a) Kelompok nelayan tidak melakukan aktivitas (b) Organisasi profesi belum memberikan dukungan nyata pada peningkatan profesionalisme nelayan dan kegiatannya tidak diketahui nelayan (c) Koperasi belum memberikan dukungan modal dan belum optimal membantu usaha nelayan dalam memperoleh perlengkapan dan teknologi penangkapan, ataupun berbagai kebutuhan usaha nelayan, koperasi juga belum berperan aktif dalam tata niaga perikanan. Akar permasalahan: Tidak ada pembinaan untuk peningkatan peran kelembagaan nelayan pada usaha nelayan Alternatif solusi: (a) Melakukan pembinaan kelompok nelayan, untuk membantu peningkatan usaha nelayan. Membentuk kelompok usaha bersama, yang merupakan bagian dari kelompok nelayan yang dispesifikasi berdasarkan penggunaan alat tangkap. Tujuannya adalah terselenggaranya usaha bersama para nelayan, dengan modal dari nelayan secara bersama-sama, sehingga pola pembagian hasil lebih adil. (b) Meningkatkan peran koperasi nelayan agar lebih fokus pada penyediaan kebutuhan nelayan, misalnya: memfasilitasi kegiatan nelayan dalam modal usaha, sebagai tempat nelayan berbelanja peralatan dan teknologi tangkap, perbekalan melaut, dan juga sebagai tempat nelayan mendapatkan informasi pemasaran.
191 (c) Mendekatkan kegiatan organisasi profesi dengan kegiatan nelayan. Organisasi profesi perlu melakukan pendataan jumlah nelayan dan kebutuhan nelayan untuk meningkatkan profesionalismenya. Pelatihan-pelatihan profesi kenelayanan dapat diselenggarakan oleh organisasi ini secara terprogram. (5) Kesempatan mengembangkan usaha secara mandiri masih rendah, karena dukungan pemerintah untuk mengembangkan usaha masih rendah. Akar permasalahan: Orientasi pembangunan masih pada produksi, belum pada pengembangan SDM nelayan dan usahanya. Alternatif solusi: (a) Menetapkan orientasi pembangunan pada pengembangan SDM nelayan dan usahanya untuk mencapai kesejahteraan nelayan. (b) Menjadikan lokasi pemukiman nelayan juga sebagai kawasan pembinaan SDM nelayan, sehingga kegiatan pendidikan non formal untuk nelayan seperti penyuluhan selalu dilakukan di lokasi binaan ini. (6) Jasa penyuluhan tidak ada. Akar permasalahan: Tidak ada program penyuluhan Alternatif solusi: (a) Mengagendakan penyuluhan untuk terjadinya perubahan perilaku berusaha bagi nelayan, dari usaha tradisional menjadi usaha yang maju sesuai kondisi zaman (b) Menyiapkan sarana prasarana penyuluhan, dan sumber daya manusia penyuluh (c) Menyiapkan materi penyuluhan disesuaikan dengan kebutuhan nelayan Menciptakan Dukungan Lingkungan yang Kondusif untuk Mencapai Kesejahteraan Nelayan Dukungan lingkungan eksternal untuk pengembangan kompetensi nelayan Tabel 41 yang merupakan rangkuman strategi dukungan lingkungan eksternal untuk pengembangan kompetensi nelayan, diuraikan berdasarkan: (1) strategi; (2) peran yang diharapkan dan (3) pihak yang berperan.
192
Tabel 41. Rangkuman Strategi Dukungan Lingkungan Eksternal untuk Pengembangan Kompetensi Nelayan No 1.
2.
Strategi Pada pendidikan formal: (dilakukan di daerah-daerah yang sebagian besar penduduknya nelayan): (1) Penyelenggaraan muatan lokal pendidikan kenelayanan pada kurikulum pendidikan formal (2) Membuka sekolah menengah kejuruan untuk nelayan
Pendidikan non formal melalui penyuluhan
(1) (2) (3) (4) (5)
Peran yang Diharapkan
Pihak yang Berperan
Penentuan dan pengesahan kurikulum Menyiapkan sumber daya pendidik yang kompeten Pembiayaan gaji pengajar Pembiayaan kegiatan pendidikan Penyelenggara pendidikan
(1) Departemen Kelautan dan Perikanan (2) Departemen Pendidikan Nasional (3) Pemerintah Daerah (Dinas Kelautan dan Perikanan dan Dinas Pendidikan)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Penentuan dan pengesahan kurikulum Penyiapan sarana prasarana pendidikan Menyiapkan sumber daya pendidik yang kompeten Pembiayaan gaji pengajar Pembiayaan kegiatan pendidikan Kebersihan, perawatan dan keamanan sarana prasarana pendidikan (7) Penyelenggara pendidikan (1) Penentuan dan pengesahan kurikulum penyuluhan (2) Menyiapkan sumber daya penyuluh yang kompeten (3) Pembiayaan kegiatan penyuluhan dan gaji penyuluh (4) Penyiapan sarana prasarana penyuluhan (5) Penyediaan kapal penyuluhan (6) Kebersihan , perawatan, dan keamanan sarana prasarana penyuluhan (7) Pelaksana kegiatan penyuluhan
3.
Penetapan orientasi pembangunan kelautan dan perikanan untuk peningkatan SDM nelayan, keamanan usaha, dan kesejahteraannya
Mencegah kapal ilegal dan pengoperasian trawl, memberi ijin melaut hanya pada nelayan aktif, menjadikan kawasan pemukiman nelayan sebagai kawasan pembinaan
4.
Pengembangan keterwakilan nelayan dalam bidang politik untuk kepentingan pengembangan SDM nelayan dan usahanya
Membentuk akses politik bagi nelayan hingga level kebijakan, sehingga tercipta kepedulian negara pada SDM nelayan dan usahanya.
(1) Departemen Kelautan dan Perikanan (2) Pemerintah Daerah: Dinas Kelautan dan Perikanan
Lembaga Penyuluhan (1) Departemen Kelautan dan Perikanan (2) Pemerintah Daerah: Dinas Kelautan dan Perikanan (3) Lembaga Penyuluhan (1) Partai Politik (2) Politikus
193 Tabel 41 memperlihatkan 4 strategi pengembangan kompetensi dan dukungan yang perlu diberikan oleh berbagai pihak, yaitu: (1) pendidikan formal kenelayanan; (2) pendidikan non formal (penyuluhan); (3) penetapan orientasi pembangunan kelautan
dan
perikanan
untuk
peningkatan
SDM
nelayan,
usaha,
dan
kesejahteraannya dan (4) keterwakilan nelayan dalam bidang politik. Strategi 1: (1) Penyelenggaraan muatan lokal pendidikan kenelayanan pada daerah-daerah yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai nelayan. (2) Membuka sekolah menengah kejuruan untuk nelayan Peran yang diharapkan: (1) Untuk penyelenggaraan muatan lokal pendidikan kenelayanan pada daerahdaerah yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai nelayan: (a) Penentuan dan pengesahan kurikulum muatan lokal kenelayanan (b) Menyiapkan sumber daya pendidik yang kompeten (c) Pembiayaan gaji pengajar (d) Pembiayaan kegiatan pendidikan Pihak yang berperan: (a) Departemen Kelautan dan Perikanan (b) Departemen Pendidikan Nasional (c) Pemda: Dinas Kelautan dan Perikanan, dan Dinas Pendidikan (2) Untuk membuka sekolah menengah kejuruan untuk nelayan (pada daerah yang jumlah rumah tangga perikanannya besar): (a) Penentuan dan pengesahan kurikulum (b) Menyiapkan sarana prasarana pendidikan (c) Menyiapkan sumber daya pendidik yang kompeten (d) Pembiayaan gaji pengajar (e) Pembiayaan kegiatan pendidikan (f) Kebersihan, perawatan, dan keamanan sarana prasarana pendidikan (g) Penyelenggaraan pendidikan
194 Pihak yang berperan: (a) Departemen Kelautan dan Perikanan (b) Departemen Pendidikan Nasional (c) Pemda: Dinas Kelautan dan Perikanan, dan Dinas Pendidikan Strategi 2: Penyelenggaraan pendidikan non formal melalui penyuluhan Peran yang diharapkan adalah: (a) Penentuan dan pengesahan kurikulum penyuluhan (b) Menyiapkan sumber daya penyuluh yang kompeten (c) Pembiayaan kegiatan peyuluhan dan gaji penyuluh (d) Penyiapan sarana prasarana penyuluhan (e) Penyediaan kapal penyuluhan (f) Kebersihan, perawatan, dan keamanan sarana prasarana penyuluhan (g) Pelaksanaan kegiatan penyuluhan Pihak yang berperan: (a) Departemen Kelautan dan Perikanan (b) Pemda: Dinas Kelautan dan Perikanan (c) Lembaga Penyuluhan Strategi 3: Penetapan orientasi pembangunan kelautan dan perikanan untuk peningkatan SDM nelayan, keamanan usaha, dan kesejahteraannya Peran yang diharapkan adalah: (a) Mencegah kapal ilegal dan pengoperasian trawl (b) Memberi ijin melaut hanya pada nelayan aktif (c) Menjadikan kawasan pemukiman nelayan sebagai kawasan pembinaan. Pihak yang berperan: (a) Departemen Kelautan dan Perikanan (b) Pemda: Dinas Kelautan dan Perikanan (c) Lembaga Penyuluhan
195 Strategi 4: Pengembangan keterwakilan nelayan dalam bidang politik untuk kepentingan pengembangan SDM nelayan dan usahanya Peran yang diharapkan adalah: Membentuk akses politik bagi nelayan hingga level kebijakan, sehingga tercipta pedulian negara pada SDM nelayan dan usahanya. Pihak yang berperan: (a) Partai politik (b) Politikus Pelaksanaan strategi pada pendidikan formal dengan cara memberi pendidikan kenelayanan pada muatan lokal dan penyelenggaraan sekolah menengah kejuruan untuk nelayan, serta kegiatan pendidikan non formal (penyuluhan), dapat dilakukaan bersama-sama. Namun demikian, jika terjadi kekurangan sumber daya, diprioritaskan untuk melakukan inovasi sosial melalui kegiatan penyuluhan terlebih dahulu. Inovasi sosial dilakukan pada nelayan dewasa yang aktif, karena sangat mendesak untuk segera mengubah kebiasaan berusaha, agar produktivitas makin meningkat, dan agar usaha yang dilakukan memberi dampak nyata bagi kesejahteraan hidup. Adapun penetapan orientasi pembangunan kelautan dan perikanan untuk peningkatan SDM nelayan, usaha, dan kesejahteraannya, serta penetapan keterwakilan politik bagi nelayan tidak boleh ditunda. Dukungan Lingkungan Eksternal untuk Peningkatan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen Analisis hubungan sebab akibat memperlihatkan adanya hambatan yang dihadapi nelayan untuk memenuhi kebutuhan konsumen, yaitu: (1) ketidaktahuan lokasi konsumen potensial; (2) harga BBM mahal; (3) tidak ada lembaga yang menyediakan modal kerja; (4) sulit merubah kebiasaan kerja karena pergaulan homogen dan tidak ada pembinaan; (5) lemahnya dukungan organisasi profesi dan (6) miskin informasi usaha. Tabel 42 adalah rangkuman strategi dukungan lingkungan eksternal untuk peningkatan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen.
196 Tabel 42. Rangkuman Strategi Dukungan Lingkungan Eksternal untuk Peningkatan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen No 1
2
3
4
Strategi Hadirnya lembaga alternatif penyedia modal usaha
Peran yang Diharapkan
Pihak yang Berperan
Menyediakan modal usaha dengan persyaratan yang (1) Departemen Kelautan dan Perikanan dapat dipenuhi nelayan, misalnya dengan (2) Koperasi Nelayan menyelenggarakan kredit mikro. (3) Perbankan (4) Lembaga Keuangan lainnya Fasilitasi kebutuhan usaha: Adanya kredit: perbekalan, perolehan armada, (1) Departemen Kelautan dan Perikanan (a) memberi kemudahan perolehan: armada, mesin, bahan mesin, bahan dan peralatan tangkap, dan teknologi (2) Pemda (Dinas Kelautan dan dan peralatan tangkap, teknologi penunjang penunjang disertai pelatihan penggunaannya. Perikanan, serta Dinas Perdagangan, penangkapan. Dinas Perindustrian) (3) Koperasi Nelayan (4) Perbankan (5) Lembaga Keuangan Lainnya (6) Distributor/ Pemasok (7) Lembaga Penyuluhan (8) Organisasi Profesi. (b) kemudahan memperoleh perbekalan melaut Menyelenggarakan kegiatan pemenuhan perbekalan (1) Dinas Kelautan dan Perikanan melaut (2) Koperasi Nelayan (3) Kelompok Neleyan (4) Distributor/ Pemasok Pengembangan kelembagaan nelayan Membina Kelompok Nelayan untuk meningkatkan (1) Departemen Kelautan dan Perikanan perannya bagi kemajuan usaha nelayan (2) Pemda (Dinas Kelautan dan Perikanan (2) Lembaga Penyuluhan (3) Koperasi Nelayan (4) Organisasi Profesi Nelayan Menyediakan dan memberikan informasi usaha (1) Menyediakan informasi: kondisi sumber daya (1) Departemen Kelautan dan Perikanan perikanan, kondisi lingkungan, cuaca, keamanan, (2) Organisasi Profesi Nelayan permodalan, pemasaran, kebijakan pemerintah, (3) Unit Pelaksana Teknis pembelian dan perbaikan peralatan tangkap, (4) Koperasi Nelayan penyelenggaraan pendidikan, dan lain-lain (5) Kelompok Nelayan (2) Menyelenggarakan radio komunitas.
197 Tabel 42 memperlihatkan ada empat strategi dukungan lingkungan eksternal untuk mendukung peningkatan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen, yaitu: (1) hadirnya lembaga alternatif penyedia modal usaha; (2) fasilitasi kebutuhan usaha; (3) pengembangan kelembagaan nelayan dan (4) mengoperasionalkan pusat informasi usaha. Strategi 1: Hadirnya lembaga alternatif penyedia modal usaha Peran yang diharapkan adalah: Menyediakan modal usaha dengan persyaratan yang dapat dipenuhi nelayan, misalnya dengan menyelenggarakan kredit mikro. Pihak yang berperan: (a) Departemen Kelautan dan Perikanan (b) Koperasi Nelayan (c) Perbankan (d) Lembaga Keuangan lainnya Strategi 2: Fasilitasi kebutuhan usaha: (1)
memberi kemudahan perolehan: armada, mesin, bahan dan peralatan tangkap, teknologi penunjang penangkapan.
Peran yang diharapkan adalah: Adanya kredit: perbekalan, perolehan armada, mesin, bahan dan peralatan tangkap, dan teknologi penunjang disertai pelatihan penggunaannya. Pihak yang berperan: (a) Departemen Kelautan dan Perikanan (b) Pemda (Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Perindustrian, dan Dinas Perdagangan) (c) Koperasi Nelayan (d) Perbankan (e) Lembaga Keuangan lainnya (f) Distributor/ Pemasok
198 (g) Lembaga Penyuluhan (h) Organisasi Profesi (2) kemudahan memperoleh perbekalan melaut Peran diharapkan adalah: Menyelenggarakan kegiatan pemenuhan perbekalan melaut Pihak yang berperan: (a) Pemda (Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Perindustrian, dan Dinas Perdagangan) (b) Koperasi Nelayan (c) Kelompok Nelayan (d) Distributor/ Pemasok Strategi 3: Pengembangan kelembagaan nelayan Peran diharapkan adalah: Membina kelompok nelayan untuk meningkatkan perannya bagi kemajuan usaha nelayan Pihak yang berperan: (a) Departemen Kelautan dan Perikanan (b) Pemda (Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Perindustrian, dan Dinas Perdagangan) (c) Lembaga Penyuluhan (d) Koperasi Nelayan (e) Organisasi Profesi Nelayan Strategi 4: Mengoperasionalkan pusat informasi usaha Peran diharapkan adalah: (a) Menyediakan informasi: kondisi sumber daya perikanan, kondisi lingkungan, cuaca, keamanan, permodalan, pemasaran, kebijakan pemerintah, pembelian dan perbaikan peralatan tangkap, penyelenggaraan pendidikan, dan lain-lain (b) Menyelenggarakan radio komunitas
199 Pihak yang berperan: (a) Departemen Kelautan dan Perikanan (b) Organisasi Profesi Nelayan (c) Unit Pelaksana Teknis (d) Koperasi Nelayan (e) Kelompok Nelayan Dukungan Lingkungan Eksternal untuk Peningkatan Penghasilan dan untuk Peningkatan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Hidup Agar terwujud peningkatan penghasilan nelayan dan peningkatan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup, diperlukan strategi khusus yang juga melibatkan peran dari berbagai pihak, yaitu untuk memecahkan masalah: (1) cara kerja nelayan yang belum berkembang, tidak berorientasi pelanggan; (2) ketergantungan pada musim; (3) pola usaha patron-klien (berdampak pada pembagian hasil) dan (4) tidak adanya kerja sama dengan pihak luar (hanya kerja sama dengan pemodal) yang merupakan faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya penghasilan nelayan. Tidak adanya fasilitas kredit perumahan yang dapat diakses nelayan yang sudah berkeluarga agar memiliki rumah, menyebabkan sulitnya nelayan memperoleh tempat tinggal yang layak. Pada Tabel 43 disampaikan rangkuman dukungan eksternal untuk peningkatan penghasilan nelayan dan untuk peningkatan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup.
200 Tabel 43. Rangkuman Strategi Dukungan Lingkungan Eksternal untuk Peningkatan Penghasilan Nelayan dan untuk Peningkatan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Hidup No A 1
2
Strategi Peningkatan Penghasilan Reformasi tata niaga hasil perikanan tangkap
Peran yang Diharapkan
Pihak yang Berperan
(1) Departemen Kelautan dan Perikanan (2) Depertemen Keuangan (3) Kementrian Koperasi dan UKM Membina Kelompok Nelayan untuk mencoba modal usaha bersama, dan (1) Lembaga Penyuluhan membimbing pengaturan pola bagi hasil berdasarkan modal bersama. (2) Organisasi Profesi Peningkatan kemampuan Membina nelayan agar: (1) mampu memanfaatkan peluang pasar , (1) Lembaga Penyuluhan nelayan dalam memanfaatkan dan (2) mampu mengakses kerja sama dengan berbagai lapisan konsumen (2) Organisasi Profesi berbagai peluang pasar (skala lokal dengan memanfaatkan TPI dan pasar setempat, skala regional, dan (3) Konsumen Perikanan skala ekspor) (4) Ahli dan Praktisi Pemasaran
3
Diversifikasi usaha keluarga di bidang pengolahan hasil perikanan
B
Peningkatan Kemampuan Memenuhi Kebutuhan Hidup
1
Peningkatan kesejahteraan nelayan
Merancang pola usaha alternatif untuk menggantikan pola usaha patron-klien
(1) Mengembangkan industri rumah tangga nelayan (diversifikasi usaha (1) Kementrian Negara Koperasi pengolahan hasil perikanan) dengan melibatkan isteri dan anggota keluarga dan UKM nelayan (2) Kementrian Pemberdayaan (2) Mengadakan pelatihan agar memiliki keterampilan untuk menjalankan Perempuan usaha keluarga. (3) Lembaga Penyuluhan
(1) Pendataan tingkat pemenuhan kebutuhan dasar manusia/ butsarman pada nelayan secara periodik (2) Melakukan koordinasi masalah kondisi pemenuhan kebutuhan dasar manusia/ butsarman pada nelayan dan upaya peningkatannya (1) Melakukan pendataan kebutuhan rumah nelayan (2) Mengatur pola pemilikan rumah yang dapat dijangkau nelayan Membangun rumah nelayan Menyediakan fasilitas kredit pemilikan rumah untuk nelayan dengan syarat yang dapat dipenuhi nelayan
(1) Departemen Kelautan dan Perikanan (2) Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat Kementrian Negara Perumahan Rakyat Real Estate Indonesia (REI)/ Para Pengembang Perbankan/ Lembaga Keuangan
201 Tabel 43 memperlihatkan ada empat strategi. Tiga strategi dukungan lingkungan eksternal untuk peningkatan penghasilan nelayan dan satu strategi dukungan lingkungan eksternal untuk peningkatan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup. Keempat strategi itu ialah: (1) reformasi tata niaga hasil perikanan tangkap; (2) peningkatan kemampuan nelayan memanfaatkan peluang pasar yang tersedia; (3)diversifikasi usaha keluarga dibidang pengolahan hasil perikanan dan (4) peningkatan kesejahteraan nelayan. Strategi 1: Reformasi tata niaga hasil perikanan tangkap Peran diharapkan adalah: (1) Merancang pola usaha alternatif untuk menggantikan pola usaha patron-klien Pihak yang berperan: (a) Departemen Kelautan dan Perikanan (b) Depertemen Keuangan (c) Kementrian Koperasi dan UKM (2) Membina Kelompok Nelayan untuk mencoba modal usaha bersama, dan membimbing pengaturan pola bagi hasil secara proporsional dari modal bersama. Pihak yang berperan: (a) Lembaga Penyuluhan (b) Organisasi Profesi Strategi 2: Peningkatan kemampuan nelayan dalam memanfaatkan berbagai peluang pasar Peran yang diharapkan adalah: Membina nelayan agar: (a) Mampu memanfaatkan peluang pasar (b) Mampu mengakses kerja sama dengan berbagai lapisan konsumen (skala lokal dengan memanfaatkan TPI, dan konsumen pada pasar setempat, skala regional, dan ekspor).
202 Pihak yang berperan: (a) Lembaga Penyuluhan (b) Organisasi Profesi (c) Konsumen Perikanan (d) Ahli dan Praktisi Pemasaran Strategi 3: Diversifikasi usaha keluarga di bidang pengolahan hasil perikanan Peran yang diharapkan adalah: (a) Mengembangkan industri rumah tangga nelayan (diversifikasi usaha) dengan melibatkan isteri nelayan dan anggota keluarga nelayan (b) Mengadakan pelatihan untuk menjalankan usaha keluarga. Pihak yang berperan: (1) Kementrian Negara Koperasi dan UKM (2) Kementrian Pemberdayaan Perempuan (3) Lembaga Penyuluhan Strategi 4: Peningkatan kesejahteraan nelayan Pertama Peran yang diharapkan adalah: (a) Pendataan tingkat pemenuhan kebutuhan dasar manusia/ butsarman pada nelayan secara periodik (b) Melakukan koordinasi masalah kondisi pemenuhan kebutuhan dasar manusia/ butsarman pada nelayan dan upaya peningkatannya Pihak yang berperan: (a) Departemen Kelautan dan Perikanan (b) Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat Kedua Peran yang diharapkan adalah: (a) Melakukan pendataan kebutuhan rumah nelayan (b) Mengatur pola pemilikan rumah yang dapat dijangkau nelayan
203 Pihak yang berperan: Kementrian Negara Perumahan Rakyat Ketiga Peran yang diharapkan adalah: Membangun rumah nelayan Pihak yang berperan: Real Estate Indonesis (REI) dan Pengembang Keempat Peran yang diharapkan adalah: Menyediakan fasilitas kredit pemilikan rumah untuk nelayan dengan syarat yang dapat dipenuhi nelayan Pihak yang berperan: Perbankan/ Lembaga Keuangan Keseluruhan strategi dukungan lingkungan eksternal berjumlah dua belas strategi, yaitu: (1) strategi dukungan lingkungan eksternal untuk pengembangan kompetensi nelayan = empat strategi; (2) strategi dukungan lingkungan eksternal untuk peningkatan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen = empat strategi dan (3) strategi dukungan lingkungan eksternal untuk peningkatan penghasilan nelayan dan untuk peningkatan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup = empat strategi. Strategi ini dipadukan dengan satu strategi internal, yaitu strategi inovasi sosial, sehingga ada tiga belas strategi inovasi sosial. Perpaduan Strategi Internal dan Strategi Eksternal: Satu Strategi Internal + Dua Belas Strategi Eksternal = Strategi Inovasi Sosial Pngembangan Mutu SDM Nelayan secara Komprehensif Perpaduan satu strategi internal yang berakses pada diri nelayan dengan dua belas strategi eksternal, menghasilkan strategi inovasi sosial pengembangan mutu SDM nelayan secara komprehensif. Strategi ini merupakan alat untuk mengantarkan perubahan pola perilaku usaha nelayan, dari nelayan tradisional menuju nelayan maju. Gambar 30 memperlihatkan skema strategi inovasi sosial pengembangan mutu SDM nelayan secara komprehensif.
204 ● Penyuluhan ● Interaksi dengan sesama nelayan ● Partisipasi dalam kegiatan pembaharuan ● Dsb
Pengalaman Belajar
+Kompetensi
Kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen meningkat
+Sikap thd Profesi + Motivasi Maju
Penghasilan nelayan meningkat
3 4 Strategi Dukungan
4 Strategi Dukungan 4 Strategi Dukungan
12 Strategi Dukungan Lingkungan Eksternal
Feedback
1
Kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup meningkat
Kesejahteraan nelayan dan keluarga meningkat
Keterangan: Proses langsung: kegiatan penyuluhan, dukungan lingkungan, dan hasilnya. Proses kontrol: hasil penyuluhan dan dukungan lingkungan (feedback) untuk perbaikan SDM nelayan secara berkelanjutan. Area Inovasi Sosial pada diri Nelayan
Proses pengembangan Mutu SDM Nelayan secara berkelanjutan
Gambar 30. Strategi Inovasi Sosial Pengembangan Mutu SDM Nelayan secara Komprehensif
205 Gambar 30 memperlihatkan skema strategi inovasi sosial pengembangan mutu SDM nelayan secara komprehensif yang terdiri dari tiga belas strategi yaitu: (1) satu strategi internal dan (2) dua belas strategi dukungan lingkungan eksternal. Hasil yang diharapkan adalah terjadinya perubahan pada masyarakat nelayan, yaitu: (1) dari nelayan tradisional menjadi nelayan maju; dan (2) dari tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup menjadi mampu memenuhi kebutuhan hidup, dan dapat mencapai kesejahteraan yang nyata. Agar tercapai perubahan pada masyarakat nelayan, inovasi sosial tidak hanya dilakukan pada diri nelayan (yang digambarkan dengan lingkaran-lingkaran), namun juga pada keseluruhan lingkungan yang menentukan tercapainya perubahan yang diharapkan. Misalnya, untuk meningkatkan: (1) kompetensi nelayan; (2) kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen; (3) penghasilan dan (3) kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup. Perlu dilakukan inovasi pada: (1) diri nelayan dan (2) pihak luar yang disebut dengan lingkungan eksternal. Strategi yang diterapkan untuk meningkatkan kompetensi nelayan meliputi: (1) satu strategi internal: bentuk konkritnya adalah peningkatan, penyesuaian, dan pengembangan kompetensi yang diakukan pada diri nelayan; dan (2) empat strategi dukungan lingkungan eksternal, yaitu: (a) penyelenggaraan muatan lokal pendidikan kenelayanan pada daerah-daerah yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai nelayan, dan membuka sekolah menengah kejuruan untuk nelayan; (b) penyelenggaraan pendidikan non formal melalui penyuluhan; (c) penetapan orientasi pembangunan kelautan dan perikanan untuk peningkatan SDM nelayan, keamanan usaha, dan kesejahteraannya; dan (d) mengoperasionalkan pusat informasi usaha nelayan. Strategi yang diterapkan untuk meningkatkan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen, meliputi: (1) satu strategi internal: bentuk konkritnya adalah peningkatan, penyesuaian, dan pengembangan kompetensi yang diakukan pada diri nelayan dan (2) empat strategi dukungan lingkungan eksternal, yaitu: (a) hadirnya lembaga alternatif penyedia modal
usaha; (b) fasilitasi kebutuhan usaha, meliputi:
memberi kemudahan perolehan: armada, mesin, bahan dan peralatan tangkap, teknologi penunjang, dan penangkapan; dan kemudahan memperoleh perbekalan melaut; (c) pengembangan kelembagaan nelayan dan (d) mengoperasionalkan pusat informasi usaha.
206 Strategi yang diterapkan untuk meningkatkan penghasilan nelayan, meliputi: (1) satu strategi internal: bentuk konkritnya adalah peningkatan, penyesuaian, dan pengembangan kompetensi yang diakukan pada diri nelayan dan (2) tiga strategi dukungan lingkungan eksternal, yaitu: (a) reformasi tata niaga hasil perikanan tangkap; (b) peningkatan kemampuan nelayan dalam memanfaatkan berbagai peluang pasar dan (c) diversifikasi usaha keluarga di bidang pengolahan hasil perikanan. Strategi yang diterapkan untuk meningkatkan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup, meliputi: (1) satu strategi internal: bentuk konkritnya adalah peningkatan, penyesuaian, dan pengembangan kompetensi yang diakukan pada diri nelayan dan (2) satu strategi dukungan lingkungan eksternal, yaitu: peningkatan kesejahteraan nelayan. Pemantauan penyelenggaraan strategi ini dilakukan secara terus menerus agar proses pengembangan mutu SDM nelayan berkelanjutan, dan terlaksana dengan baik. Terutama agar tetap menuju pada tujuan terjadinya perubahan pada diri dan usaha masyarakat nelayan, yaitu: (1) dari nelayan tradisional menjadi nelayan maju dan (2) dari nelayan yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup menjadi nelayan yang mampu memenuhi kebutuhan hidup, dan dapat mencapai kesejahteraan yang nyata.
Pembahasan Kondisi Umum Para nelayan pekerja sebagian besar bukan penduduk DKI Jakarta. Apabila sedang berlabuh di Muara Angke, kapal dijadikan tempat tinggal sementara. Namun ada juga yang mengontrak rumah di daerah sekitar, dengan membawa keluarga. Dari temuan disimpulkan bahwa: (1) rumah yang ada di Pemukiman Nelayan Muara Angke tidak sepenuhnya ditempati oleh nelayan, hunian sebagian besar ditempati oleh anggota masyarakat yang bekerja di sektor perikanan, seperti: nelayan (pemilik), pedagang ikan, pengolah ikan dan (2) telah beralihnya kegiatan para nelayan penghuni rumah di Kawasan Pemukiman Nelayan Muara Angke, yaitu dari kegiatan melaut menjadi kegiatan berdagang ikan atau menjadi agen ikan. Selama ini tidak terjadi pembinaan yang berarti bagi kehidupan masyarakat nelayan kecil untuk berkembang menjadi nelayan maju. Artinya, tidak terjadi pembinaan
207 yang mengarah pada kemajuan usaha dan kehidupan. Konsekuensinya semakin lama semakin berkurang nelayan yang merupakan penduduk Provinsi DKI Jakarta.
Karakteristik Nelayan Karakteristik Individu Pendidikan Alasan utama anak-anak nelayan tidak bersekolah dan tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi karena: (1) biaya pendidikan mahal dan tidak sanggup dipenuhi oleh orang tua nelayan termasuk untuk membiayai pendidikan anak-anaknya ke jenjang lebih tinggi dan (2) tenaga anak-anak nelayan dibutuhkan untuk membantu orang tuanya melaut. Anak-anak nelayan tidak mempunyai pilihan, karenanya setamat sekolah dasar, mereka secara otomatis terbiasa membantu orang tua di laut. Uraian pada Kasus 1 mengungkapkan pandangan nelayan tentang pendidikan. Nelayan menyadari pendidikan sangat penting bagi masa depan. Ini terbukti ketika telah dewasa, berkeluarga, dan menjadi nelayan pemilik, nelayan berhasil menyekolahkan anak-anaknya sampai ke jenjang sarjana. Usia Kasus 2 memperlihatkan anak-anak dari keluarga nelayan telah melakukan kegiatan melaut sejak usia muda. Anak-anak nelayan mulai melaut setelah tamat sekolah dasar. Mereka mengawali kegiatannya sebagai nelayan pekerja dengan bekerja di kapal orang lain, atau bekerja di kapal orang tuanya. Nelayan melaut sejak usia muda karena: (1) orang tua nelayan tidak mampu membiayai kelanjutan pendidikan formal anak-anaknya, karenanya setamat sekolah dasar anak-anak nelayan telah menjadi nelayan dan (2) anak-anak nelayan merupakan tenaga kerja yang murah dan dapat segera difungsikan untuk membantu orang tuanya mereka melaut. Status Diri Sebagian besar (83.3%) NPm berstatus menikah dan berada pada golongan usia dewasa. Sedangkan sebagian sebagian besar (57.5 %) NPk berstatus tidak atau belum menikah. NPm maupun NPk memiliki pertimbangan ingin mencari pengalaman kerja
208 dan memastikan masa depan usahanya terlebih dahulu sebelum menikah. NPm maupun NPk menyadari bahwa pernikahan adalah berarti bertambahnya tanggungjawab dalam hidup, Daerah Asal Nelayan-nelayan dari Provinsi Jawa Barat khususnya Indramayu, merupakan daerah asal sebagian besar responden (70.6 %). Diikuti oleh nelayan yang berasal dari Subang, Provinsi Banten dan nelayan Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan uraian pada Kasus 3, terlihat alasan utama yang merupakan pendorong nelayan dari berbagai daerah datang ke Jakarta adalah: (1) pemasaran hasil tangkapan di Jakarta lebih mudah dibandingkan di daerah asalnya; (2) adanya sanak keluarga atau sesama nelayan satu kampung yang sebelumnya telah menjadi nelayan di DKI Jakarta dan (3) jarak dari daerah asal nelayan ke Jakarta tidak jauh. Jumlah Tanggungan NPk memiliki tanggungan lebih sedikit dibandingkan NPm karena NPk: (1) berada pada usia muda; (2) belum menikah dan (3) tidak memiliki tanggungan usaha lain. Mereka hanya menanggung dirinya sendiri. NPm memikul jumlah tanggungan lebih besar, karena selain telah berkeluarga, NPm memiliki usaha lain seperti: (1) berdagang ikan dan (2) produksi olahan hasil tangkapan misalnya membuat otak-otak. Karena itu NPm menanggung: (1) biaya hidup keluarga dan (2) biaya pekerja yang bekerja pada usaha tambahan mereka. Status Tempat Tinggal NPm mampu memiliki tempat tinggal sendiri, karena: (1) keuntungan hasil usaha melaut memungkinkan NPm mendapatkan penghasilan yang memadai untuk membeli atau membangun rumahnya dan (2) memiliki pekerjaan atau usaha lain. Bagi NPk, kecilnya penghasilan menyebabkan mereka belum mampu membangun rumah sendiri, walau telah menikah. Pengeluaran Setiap Bulan Berdasarkan uraian pada Kasus 4 ditemukan besarnya pengeluaran, secara umum terkait dengan: (1) variasi jenis kebutuhan (2) besarnya jumlah tanggungan dan (3) besarnya penghasilan. NPk dengan pengeluaran Rp.50.000 semuanya memiliki status diri belum menikah. Makan dan minum sehari-hari ditanggung oleh pemilik kapal.
209 Selain itu, selama bekerja mereka tinggal di kapal, sehingga tidak memerlukan pengeluaran penting untuk kebutuhan pokoknya. Pengeluaran NPm dengan alat tangkap bubu dan jaring plastik relatif kecil dibandingkan dengan penghasilan NPm yang menggunakan alat tangkap lainnya, hal ini dikarenakan penghasilannya yang rendah. Standar deviasi pengeluaran antara nelayan cukup besar yaitu Rp. 1.096.975, hal terkait dengan pemilikan kapal dan alat tangkap, serta perbedaan besarnya penghasilan antar nelayan, setiap bulan. Sikap terhadap Profesi Nelayan memiliki sikap positif terhadap profesinya. Kasus 5 memperlihatkan nelayan menginginkan dapat memperluas area tangkapannya dengan cara melaut dengan jarak lebih jauh dari saat ini. Tentu saja dengan peralatan dan perlengkapan melaut yang lebih canggih, sehingga nelayan merasa aman melakukan aktivitasnya. Kondisi ini disebabkan sejak anak-anak, nelayan telah merasakan kedekatan dengan alam, khususnya merasa akrab dengan laut. Para NPk mengatakan jika suatu saat memiliki kapal dan alat tangkap sendiri, mereka bertekad tetap akan melaut selama kondisi fisiknya masih sehat. NPm juga memperlihatkan respon yang sama, dan tetap melaut hingga saat ini. Pada NPm yang tidak melaut, alasan utamanya adalah kesehatan dan usia, serta harus mengelola usaha lain di darat yang dapat mendukung kegiatan melaut, juga sebagai alternatif usaha ketika masa paceklik tiba. Nelayan merasa bangga dan menghargai profesinya sebagai nelayan. Menjadi nelayan dianggap merupakan jalan hidupnya. Terbukti mereka mencantumkan pekerjaan sebagai nelayan di kartu tanda penduduknya. Bedasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sikap nelayan terhadap profesinya, positif karena: (1) sejak kecil atau pada usia muda, nelayan telah mengenal kegiatan melaut sebagai mata pencaharian utama keluarga; (2) nelayan telah merasa sangat akrab dengan laut dan (3) menjadi nelayan dianggap sebagai jalan hidup. Motivasi Intrinsik untuk Maju Untuk menjadi nelayan yang maju, nelayan perlu meningkatkan pengetahuannya agar selalu dapat mengembangkan usahanya secara tepat. Salah satunya dengan cara membaca buku, majalah, atau informasi. Diskusi dengan sesama nelayan atau dengan nelayan yang lebih maju, diantaranya merupakan salah satu cara yang dapat dipilih
210 nelayan dalam mengembangkan dirinya dan usahanya. Hasil temuan memperlihatkan: (1) nelayan tidak tahu manfaat apa yang akan diperoleh dengan mengetahui programprogram pembangunan; (2) nelayan tidak memiliki waktu membaca buku, majalah, atau mencari informasi tentang cara mengembangkan usaha perikanan laut, karena sesampai di darat nelayan sibuk menyiapkan keperluan melaut berikutnya, termasuk memperbaiki armada dan alat tangkap dan (3) nelayan lebih menyukai bertanya langsung pada nelayan dari daerah asal yang sama untuk menambah pengetahuannya tentang usaha. Nelayan tidak pernah berdiskusi dengan nelayan dari daerah lain atau dengan nelayan yang lebih maju. Dari uraian-uraian hasil temuan, dapat disimpulkan rendahnya motivasi intrinsik nelayan untuk menjadi nelayan maju, terkait dengan ketidaktahuan nelayan tentang cara mengembangkan usahanya. Hal ini dapat dilihat dari pola kebiasaan berusaha yang terjadi berulang, terus menerus tanpa perubahan yang berarti untuk peningkatan usaha. Pola tersebut adalah: (1) nelayan berangkat melaut; (2) pulang menjual hasil tangkapan; (3) mempersiapkan keberangkatan melaut dan (4) kembali berangkat melaut. Pada waktu musim barat, nelayan menganggur sambil menunggu kondisi alam kondusif. Bahkan ada yang tetap melaut walau dengan resiko tinggi. Nelayan tidak menyediakan waktu untuk mengembangkan usahanya, sehingga tidak terjadi perubahan yang berarti pada peningkatan usaha dan kehidupan nelayan. Selain itu, tidak adanya intervensi pemerintah yang bertujuan meningkatkan motivasi intrinsik nelayan, menyebabkan pola kebiasaan berusaha tidak mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Karena tidak memiliki pilihan lain, dan tidak adanya pembanding pola usahanya dengan pola usaha dari nelayan yang lebih maju, nelayan masih merasa cukup nyaman dengan pola kebiasaan berusaha seperti ini. Karakteristik Usaha Status Nelayan Berdasarkan status usaha atau kepemilikan alat, nelayan di bagi atas: (1) nelayan pemilik (NPm) yang berperan dalam penentuan: (a) jenis alat tangkap; (b) modal usaha; (c) pemasaran dan (d) pola pembagian hasil dan (2) nelayan pekerja (NPk) yang berperan dalam: (a) mempersiapkan keberangkatan melaut; (b) penangkapan ikan; (c) penanganan hasil tangkapan; (d) perbaikan alat tangkap dan (e) pembongkaran hasil tangkapan.
211 Adanya perbedaan peran antara NPm dan NPk disebabkan perbedaan status kepemilikan alat. NPm lebih banyak mengatur aspek manejemen usaha, sedangkan NPk lebih dominan menjalankan aspek teknis pada penangkapan dan penanganan hasil tangkap. Jenis Peralatan Tangkap Terdapat beberapa jenis peralatan tangkap digunakan oleh nelayan. Namun, walau alat tangkap yang digunakan variatif, karena tidak adanya kepedulian dan tidak adanya intervensi pemerintah pada pengembangan penggunaan peralatan dan teknologi tangkap, maka perkembangan inovasi alat tangkap berlangsung lambat. Nelayan memiliki alasan khusus mengapa menggunakan jenis alat tangkap tertentu. Berdasarkan uraian pada Kasus 6, terlihat alasan nelayan memilih jenis alat tangkap tertentu karena alasan ekonomis, yaitu: (1) alat tangkap tersebut digunakan untuk menangkap jenis ikan tertentu yang pasti laku di pasaran dan (2) adanya pesanan dari pemodal untuk menangkap jenis ikan tertentu. Nelayan kurang berinisiaf mengganti alat tangkap sesuai keinginannya, atau karena mengetahui adanya peluang pasar di tempat lain. Ketergantungan nelayan pada pemodal membuat nelayan menangkap jenis ikan tertentu dan menjualnya pada pemodalnya. Nelayan akan mengganti alat tangkap apabila jenis ikan yang dikehendaki pemodal berubah dan membutuhkan jenis alat tangkap baru. Dalam waktu tangkap atau periode melaut yang sama, hasil tangkapan diantara nelayan pengguna alat tangkap yang sama bisa berbeda. Hasil tangkapan dari satu periode ke periode berikutnya bahkan bisa berbeda drastis. Misalnya, pada periode sebelumnya hasil tangkapan banyak, pada periode berikutnya hanya mendapatkan beberapa ekor, bahkan bisa saja tidak membawa hasil apapun. Walau menggunakan peralatan yang sama, dan berangkat pada periode melaut yang sama, nelayan tidak selalu menghasilkan hasil tangkapan dengan jumlah dan berat yang sama. Berdasarkan temuan yang disampaikan pada Kasus 7, pada kondisi normal dan sama-sama tidak memiliki peralatan untuk mendeteksi keberadaan ikan, maka nahkoda yang berpengalaman lebih mampu mengetahui lokasi tangkap dengan cepat, dan ini merupakan kunci keberhasilan pada kegiatan penangkapan ikan.
212 Pola Pembagian Hasil Karakteristik pola pembagian hasil di lokasi penelitian sebagai berikut: (1) pola pembagian hasil ditentukan oleh NPm dan NPk hanya mengikuti, kondisi ini memperlihatkan penguasaan alat tangkap telah memberikan dominasi peran NPm pada penentuan pola pembagian hasil usaha; (2) perjanjian bagi hasil dilakukan berdasarkan kebiasaan dan tidak tertulis; (3) pelaksanaan perjanjian bagi hasil berlangsung atas dasar kepercayaan; (4) perhitungan hasil tangkapan dilakukan bersama antara NPm atau yang mewakili dengan NPk pada saat bongkar hasil tangkap dan (5) pembagian hasil dihitung berdasarkan total harga hasil penjualan setiap melaut (rupiah). Penguasaan alat tangkap memperbesar dominasi pemilik pada pola pembagian hasil. Pengalaman sebagai Nelayan NPm maupun NPk berada pada kategori sangat berpengalaman, dengan lama > 10 tahun menjadi nelayan. Hal ini menggambarkan adanya komitmen yang tinggi dari nelayan untuk tetap menjalankan profesinya sebagai nelayan dari waktu ke waktu. Namun demikian, NPm lebih berpengalaman dibandingkan NPk, karena pengalaman melaut para NPm rata-rata lebih lama dibandingkan pengalaman melaut para NPk. NPm lebih berpengalaman dibanding NPk dalam hal: (1) pola menjalankan usaha; (2) pengetahuan tentang kondisi alam (laut); (3) cara mendapatkan modal; (4) cara menangkap ikan; (5) cara menangani hasil tangkapan; (6) cara memasarkan hasil tangkapan; (7) cara memecahkan masalah usaha dan (8) cara memanfaatkan penghasilan untuk digunakan kembali sebagai modal usaha, atau untuk digunakan pada diversifikasi usaha perikanan. Alasan menjadi Nelayan Alasan para responden memilih pekerjaan sebagai nelayan cukup bervariasi. Penyebab utama responden memilih pekerjaan sebagai nelayan karena beberapa hal, karena: (1) berasal dari keluarga nelayan dan terbiasa melihat dan membantu orang tua dan anggota keluarga lainnya melaut dan bekerja sebagai nelayan; (2) pergaulan diantara anak-anak muda atau nelayan dengan lingkungan sosialnya, menyebabkan terjadinya alih profesi dari petani dan pedagang menjadi nelayan, karena mengikuti temannya yang nelayan atau mengenal dekat keluarga nelayan dan (3) tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan lainnya.
213
Kekondusifan Lingkungan Kelembagaan Nelayan Berdasarkan penelusuran yang diungkapkan pada Kasus 10, kelompok nelayan yang ada tidak berfungsi dengan baik, karena: (1) kesibukan masing-masing nelayan pada usahanya sendiri-sendiri; (2) sulitnya menegakkan kedisiplinan setiap anggota, terutama dalam menunaikan kewajiban pada kegiatan simpan pinjam; (3) tidak adanya pembinaan dan (4) tidak ada akses untuk mengembangkan usaha. Karena itu, nelayan mengharapkan pemerintah melakukan pembinaan terhadap kelompok mereka, agar kelompok tersebut dapat memberi dukungan nyata terhadap usaha mereka sebagai nelayan. Nelayan menginginkan kelompoknya mendapatkan pembinaan agar dapat memberikan manfaat nyata bagi kegiatan usaha sehari-hari, terutama bimbingan dalam hal ketersediaan akses pengembangan usaha, dan bimbingan untuk memilih dan mengembangkan program-program kelompok agar sesuai dan mendukung kemajuan usahanya. Walau kegiatan koperasi cukup banyak, namun nelayan belum merasakan manfaat koperasi karena mereka tidak mengetahui kegiatan simpan pinjam ataupun usaha lainnya yang dilakukan koperasi. Kegiatan koperasi yang diketahui oleh nelayan hanyalah pungutan restribusi TPI setiap masuk ke pangkalan pendaratan ikan. Kesempatan Kesempatan merupakan faktor lingkungan yang dianggap mempengaruhi usaha dan kehidupan nelayan. Dukungan kesempatan yang baik bagi nelayan, diharapkan akan mendorong nelayan dan usahanya berkembang dengan baik. Untuk dapat mengembangkan usahanya, nelayan membutuhkan sumber modal usaha yang dapat mengantikan peran pemodal dan penjamin hidup. Nelayan juga membutuhkan kesempatan agar dapat lebih mudah mengembangkan kemampuannya menangkap ikan, dengan menggunakan teknologi penangkapan yang lebih baik. Kesempatan dari pemerintah untuk peningkatan usaha nelayan masih rendah. Hal ini terlihat dari: (1) nelayan merasa tidak ada kesempatan nyata yang diberikan pemerintah untuk kemajuan usahanya, ini dibuktikan dengan sulitnya nelayan memperoleh modal usaha, harga BBM yang mahal, dan sulitnya mendapatkan akses pemasaran lain; (2)
214 nelayan merasa kebijakan yang diambil pemerintah tidak memberi dukungan nyata pada kemajuan usaha mereka, ini dibuktikan dengan tidak adanya program pembangunan yang langsung berdampak pada perubahan usaha dan kepedulian akan kesejahteraan mereka dan (3) nelayan tidak merasa dampak positif dari kehadiran Undang-undang Perikanan. Undang-undang perikanan dirasakan tidak memberi dukungan pada pengembangan usaha mereka, hal ini dibuktikan dengan belum adanya pengaturan yang baik tentang jumlah nelayan yang boleh melaut, masih beroperasinya trawl, banyaknya kapal-kapal milik pengusaha besar dan kapal-kapal asing yang menjadi pesaing utama nelayan tradisional. Aspirasi nelayan tidak tertampung secara politik. Hal ini terlihat dari pendapat nelayan, bahwa aspirasi kepentingan mereka tidak tersuarakan dalam kancah politik. Tidak ada satu partai politikpun dan tidak ada seorangpun anggota partai politik yang dikenal nelayan. Kesempatan nelayan bermitra hasil perikanan dengan pihak pengusaha swasta masih rendah. Hal ini terlihat dari: (1) kesempatan usaha yang ada, yaitu pasar (lokal, nasional, global) yang tidak mampu diakses oleh nelayan dan (2) kesempatan usaha, terutama pemasaran dilakukan pihak lain seperti pemodal dan penjamin kebutuhan hidup nelayan. Pemodal dan penjamin kebutuhan nelayan merupakan bagian penting dari mata rantai keberlangsungan usaha nelayan, dan belum tergantikan kedudukannya baik oleh lembaga formal atau dengan sistem permodalan usaha lainnya yang lebih baik. Ketersediaan Informasi Ketersediaan informasi bagi usaha nelayan adalah rendah, padahal informasi sangat dibutuhkan nelayan untuk mendukung usahanya. Informasi yang berkelanjutan dibutuhkan agar nelayan mendapat gambaran nyata tentang kondisi potensi sumber daya perikanan dan kelautan di area tangkapnya ataupun di daerah lainnya di wilayah laut Indonesia. Informasi tentang lingkungan, serta informasi pembangunan perikanan dan kelautan yang sedang ditangani pemerintah dibutuhkan nelayan agar usahanya selalu seirama dengan kondisi yang berlangsung. Rendahnya informasi usaha menyebabkan nelayan kesulitan menentukan area penangkapan dengan cepat. Hasil tangkapan nelayan dari perairan Teluk Jakarta cenderung menurun, padahal kebutuhan pasokan ikan penduduk Provinsi DKI Jakarta setiap tahun sebanyak 211.850 ton, UPT Pengelola Kawasan Perikanan dan Pangkalan
215 Pendaratan Ikan Muara Angke (2005). Nelayan akhirnya melakukan penangkapan ikan di perairan yang semakin jauh yaitu di perairan Sumatera di Bangka Belitung, Sulawesi, Kalimantan, bahkan sampai Laut Cina Selatan. Kegiatan penangkapan yang jauh dari lokasi keberangkatan berakibat peningkatan kapasitas armada penangkapan ikan dan biaya operasional kapal. Untuk menghemat, sejak tahun 2004 menurut UPT Pengelola Kawasan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke telah didistribusi peta daerah penangkapan ikan hasil penginderaan satelit. Namun, informasi ini ternyata tidak terdistribusi di kalangan nelayan. Uraian pada Kasus 12 mempertegas bahwa tingkat ketersediaan informasi yang dibutuhkan nelayan adalah rendah hal ini disebabkan sistem informasi dari pemerintah untuk nelayan kecil tidak berlangsung, begitu juga dari nelayan ke pemerintah. Penyuluhan Tingkat intervensi kegiatan penyuluhan dalam pengembangan mutu sumber daya manusia nelayan masih rendah. Bahkan hubungan nelayan dengan penyuluh ataupun lembaga penyuluhan dapat dikatakan tidak ada. Setelah ditelusuri dengan seksama pada kelompok nelayan yang pernah mendapatkan penyuluhan, materi penyuluhan yang pernah diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan perkembangan usaha nelayan. Pemahaman tentang penyuluhan di kalangan nelayan juga masih keliru. Pada salah satu FGD, terungkap nelayan beranggapan, kegiatan liputan terhadap usaha mereka yang dilakukan salah stasiun televisi pada saat terjadinya kenaikan harga bahan bakar merupakan kegiatan penyuluhan. Dari uraian pada Kasus 13 dapat dipastikan dengan tidak berlangsungnya kegiatan penyuluhan, maka area kerja dalam pengembangan mutu sumber daya manusia nelayan seperti yang disampaikan oleh Prabowo Tjitropranoto (2005) tidak mendapat kesempatan untuk berubah. Area ini digambarkan dengan tiga lapis lingkaran, yaitu: (1) lapisan lingkaran terluar, kawasan pengetahuan, keterampilan, dan persepsi; (2) lapisan lingkaran tengah merupakan kawasan sikap dan (3) lapisan lingkaran terdalam adalah kawasan kepribadian. Area inovasi sosial tidak mengalami proses belajar yang baik dari waktu ke waktu. Sehingga tidak terjadi perubahan yang berarti atas diri dan usaha masyarakat nelayan. Perilaku usaha nelayan juga tidak berubah. Kehidupan dan usaha nelayan kecil
216 berkembang sangat lambat dibandingkan pengusaha perikanan. Proses perkembangan usaha nelayan kecil terjadi secara alamiah. Nelayan tidak adaptif dengan perubahan lingkungan. Akibatnya nelayan sulit menempatkan posisi sebagai pengusaha perikanan yang memiliki akses informasi usaha dan pemasaran yang baik. Sarana Prasarana Nelayan memiliki keterbatasan dalam daya beli bahan bakar. Harga bahan bakar masih dianggap mahal oleh nelayan. Kurangnya modal usaha yang berakar dari tidak adanya lembaga penyedia modal usaha yang dapat diakses dengan mudah oleh nelayan merupakan permasalahan utama yang perlu dicarikan solusinya. Tingkat dukungan sarana dan prasarana ekonomi dianggap baik oleh responden, misalnya pelabuhan ikan dan pasar ikan dianggap layak. Orientasi pembangunan perikanan dan kelautan pada peningkatan produksi adalah faktor utama diperhatikannya keberadaan sarana dan prasarana ekonomi usaha.
Mutu Sumber Daya Manusia Nelayan Kompetensi Nelayan Kompetensi nelayan secara umum adalah rendah. Hasil uji beda dengan α 0.05, memperlihatkan terdapat perbedaan kompetensi antara NPm dan NPk dalam hal: (1) kemampuan merencanakan usaha; (2) kemampuan menyediakan modal; (3) kemampuan menangkap ikan; (4) kemampuan memecahkan masalah usaha dan (5) kemampuan memanfaatkan penghasilan dari profesi nelayan. Dengan demikian, Hipotesis 3 yang menyatakan terdapat perbedaan kompetensi yang nyata antara nelayan pemilik (NPm) dan Nelayan Pekerja (NPk), diterima. Perbedaan-perbedaan ini secara umum disebabkan karena NPm lebih berpengalaman dalam berusaha dibanding NPk. Berikut ini diuraikan satu persatu unsur-unsur kompetensi tersebut. Kemampuan Merencanakan Usaha Usaha direncanakan oleh NPm, dilakukan sedehana dan tidak tertulis. Adapun tindakan pelaksanaan rencana dilakukan bersama oleh NPm dengan NPk. Nelayan tidak dapat merencanakan berapa banyak hasil tangkapan yang akan diperoleh setiap berangkat melaut. Alasannya adalah: (1) ketergantungan pada musim; (2) tidak bisa memprediksi dengan tepat lokasi tangkapan; (3) makin turunnya potensi sumber daya
217 perikanan karena penurunan kualitas lingkungan dan (4) persaingan dengan nelayan bermodal besar, kehadiran nelayan asing, serta masih beroperasinya trawl. Nelayan tidak memiliki perencanaan usaha jangka panjang yang menggambarkan arah dan tujuan usahanya. Bahkan perencanaan jangka menengah dan jangka pendekpun tidak ada. Perencanaan usaha berjalan seperti kebiasaan dari waktu ke waktu, cenderung seperti rutinitas, dan bukan ke arah kemajuan usaha. Karena itu, dapat dikatakan kemampuan nelayan merencanakan usaha tidak berkembang. Kondisi ini terkait dengan: (1) pergaulan yang cenderung homogen diantara sesama nelayan; (2) tidak dimilikinya akses untuk belajar apa yang dibutuhkan; (3) tidak tahu bagaimana harus memulai mengasah dirinya agar mampu melakukan tata niaga perikanan yang menguntungkan dan (4) tidak pernah mendapatkan bimbingan dari pemerintah dalam hal merencanakan usaha. Kemampuan Menyediakan Modal Kemampuan menyediakan modal lebih di dominasi oleh NPm, karena: (1) NPm merasa perlu secara berkelanjutan melanjutkan usahanya; (2) NPm, khususnya yang berdomisili di DKI Jakarta memiliki alternatif usaha lain sebagai usaha cadangan dan agar tetap dapat memenuhi kebutuhan melaut dan (3) NPm sering menyisihkan sebagian dari penghasilan yang diperoleh untuk modal usaha. NPk tidak memiliki mata pencaharian lain selain melaut, maka modal melaut sangat tergantung pada: (1) NPm dan (2) pemodal dan penjamin hidup mereka selama di Jakarta. Tidak adanya lembaga penyedia modal menyebabkan nelayan kesulitan memperoleh modal usaha dengan cepat. Beberapa NPm warga DKI Jakarta melakukan usaha lain seperti berdagang ikan, dan diversifikasi usaha perikanan. Usaha lain ini sangat membantu memenuhi kebutuhan hidup dan dapat memberikan ketersediaan modal melaut apabila masa paceklik di laut tiba. Bagi para nelayan pendatang, tidak memungkinkan melakukan usaha lain karena mereka selalu ada di laut. Keluarga para nelayan pendatang ini ada di kampung, para istri cenderung tidak bekerja, dan justru menanti kepulangan suaminya membawa rejeki dari Jakarta. Nelayan pendatang sangat sibuk dengan kegiatan melaut, orientasinya adalah mendapatkan hasil tangkapan sebanyak-banyaknya. Karena tidak adanya lembaga permodalan yang mengatasi masalah penyediaan modal, maka para pemodal perorangan
218 yang merangkap sebagai pedagang ikan merupakan sandaran modal usaha para nelayan pendatang. Kemampuan Menangkap Ikan Uraian pada Kasus 16 memperlihatkan bahwa kemampuan nelayan menangkap ikan ditentukan oleh: (1) cuaca; (2) kemampuan melakukan inovasi alat tangkap; (3) kemampuan kapal dan mesin; (4) kemampuan menyiapkan perbekalan; (5) kemampuan membeli dan menggunakan peralatan penentu lokasi tangkapan dan (6) kemampuan nahkoda dalam menentukan lokasi tangkapan. Kemampuan Menangani Hasil Tangkapan Kemampuan nelayan menangani hasil tangkapan adalah rendah. Hal ini terlihat dari tidak adanya perlakuan khusus atau pemanfaatan teknologi yang spesifik dalam menangani hasil tangkapan. Setelah tangkapan diperoleh, hasil tangkapan disimpan di palka kapal. Penanganan hasil tangkapan masih sederhana karena nelayan tidak mampu membeli teknologi penanganan hasil tangkap yang moderen. Kondisi ini terjadi karena kurangnya modal usaha dan tidak adanya lembaga penyedia modal usaha yang dapat diakses nelayan. Karena itu nelayan belum mampu memiliki kapal yang dilengkapi fasilitas pembekuan ikan. Kapal seperti ini dilengkapi mesin pendingin yang merupakan bagian dari kapal, sehingga hasil tangkapan dapat terjaga kesegarannya dalam waktu yang lama. Kemampuan Memasarkan Hasil Tangkapan Pasar yang telah tersedia, sebenarnya cukup memudahkan nelayan menyalurkan hasil
tangkapan.
Bahkan,
pasar
selalu
menunggu
hasil
tangkapan
nelayan.
Kelemahannya, nelayan tidak mampu mengembangkan pasar pada radius yang lebih luas lagi. Kemampuan memasarkan hasil tangkapan ditentukan oleh: (1) akses penjualan dan (2) keterkaitan modal, atau keuangan dengan pihak lain (pemodal). Pemerintah belum melakukan intervensi untuk menata jaringan pemasaran. Monopoli para pemodal pada jalur tata niaga perikanan terlihat sangat jelas merupakan penghambat keleluasaan nelayan dalam mengambil keputusan dan mencari pasar yang lebih potensial. Selain itu, promosi produk sangat lemah. Koperasi sebagai wadah usaha yang ada di lokasi usaha belum memperlihatkan perannya dalam bidang pemasaran. Nelayan merasa belum memiliki wadah dan sistem yang tepat untuk mempercayakan
219 pemasaran produk-produk tangkapannya. Kondisi inilah yang menyebabkan nelayan tetap bertahan memasarkan hasil tangkapannya pada pemodal, yang juga hanya memasarkan hasil tangkapan di lokasi usaha. Kemampuan Menentukan (Daya Tawar) Harga Jual Ikan Daya tawar nelayan untuk harga jual ikan adalah rendah. Posisi daya tawar nelayan yang rendah, disebabkan: (1) kondisi keterikatan nelayan pada pemodalnya dan (2) masih rendahnya kemampuan nelayan menata dan mengendalikan sendiri pemasaran atas hasilhasil tangkapannya. Rendahnya
daya
tawar
nelayan
akan
harga
jual
produk
tangkapannya,
memperlihatkan ketidakberdayaan nelayan dalam menjalankan usahanya secara mandiri. Program kerja yang dijalankan oleh koperasi ataupun organisasi profesi, belum menjangkau pembenahan sistem tata niaga hasil perikanan. Selain itu, belum ada kegiatan pembinaan yang rutin dilakukan dan bertujuan meningkatkan kemandirian nelayan dalam menjalankan usahanya, khususnya dalam menentukan daya tawar harga jual produknya. Kelompok nelayan yang ada juga belum dimanfaatkan sebagai wadah pembinaan kemandirian nelayan dalam berusaha. Kemampuan Memecahkan Masalah Usaha Kemampuan NPm dan NPk dalam memecahkan masalah usaha berbeda. NPm yang berdomisili di DKI Jakarta memiliki tingkat kemampuan memecahkan masalah usaha lebih baik dari NPm dan NPk dari daerah lain. Hal ini disebabkan mereka menyiapkan alternatif usaha keluarga di bidang perikanan, seperti berdagang ikan dan mengolah hasil perikanan. Hal ini dapat menjaga kestabilan modal dan masalah penurunan penghasilan pada pada musim paceklik. Masalah usaha nelayan tidak hanya penurunan penghasilan pada masa paceklik, namun lebih kompleks dari itu, diantaranya: (1) ketiadaan lembaga pemberi kredit yang menyalurkan modal usaha, sehingga modal usaha tergantung pada pemodal perseorangan; (2) kurang mandiri dalam mengelola tata niaga perikanan sehingga selalu berada pada posisi sulit dan lemah dalam daya tawar produk; (3) tidak adanya pembinaan untuk mengembangkan usaha dalam jangka panjang, sehingga kemajuan usaha tidak dapat diprediksi dari waktu ke waktu; (4) lemahnya informasi potensi sumber daya
220 perikanan, sehingga proses penangkapan cenderung tidak efisien; (5) tidak memiliki akses untuk mengembangkan pasar, sehingga penjualan produk hanya tergantung pada pasar setempat atau pasar yang dikuasai para pemodal dan (6) sulit mengubah cara-cara menjalankan usaha, seperti: tetap menggunakan armada tradisional, kurang mampu menguasai teknologi penangkapan, dan lambatnya inovasi alat tangkap, sehingga produktivitas rendah. Masalah-masalah ini belum mendapat perhatian khusus, hal ini dibuktikan dengan tidak adanya pembinaan usaha, sehingga masalah-masalah tersebut tetap menggantung. Adapun masalah baru selalu muncul, misalnya masalah yang terjadi ketika penelitian ini berlangsung, yaitu: kenaikan harga BBM, persaingan usaha dengan pengusaha asing, dan pengusaha besar, adanya trawl, dan kualitas lingkungan yang makin rendah. Kemampuan Memanfaatkan Penghasilan dari Profesi Nelayan Kemampuan nelayan memanfaatkan penghasilannya dari profesi sebagai nelayan umumnya adalah rendah. Namun, penghasilan yang didapat NPm yang berdomisili di DKI Jakarta cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Karena itu mereka cenderung memiliki usaha lain yang dapat selalu membantu usaha penangkapan. Jika hasil dari penangkapan cukup baik, para NPm warga DKI Jakarta dapat menyisihkan penghasilannya untuk menabung dan untuk menambah modal usaha, sedangkan penghasilan NPk untuk memenuhi kebutuhan hidup saja masih kurang. Hubungan Karakteristik Nelayan, Kekondusifan Lingkungan, dengan Kompetensi Nelayan (1) Hubungan karakteristik nelayan dengan kompetensi Semakin dewasa seorang nelayan, semakin tinggi kompetensinya. Jika waktu yang digunakan untuk melaut semakin banyak, maka semakin banyak pengalamannya. Secara alamiah, semakin bertambah usia nelayan, ia makin memiliki kemampuan mengenali laut sebagai tempat menangkap ikan. Makin bertambah usia seorang nelayan, maka ia akan: (a) makin mengenali kondisi dan gejala-gejala alam, khususnya laut; (b) makin trampil menangkap ikan; (c) dapat memperlajari pola pemasaran hasil tangkapan di daerah asalnya dibandingkan dengan di tempat lain seperti di Jakarta; (d) mengetahui cara memecahkan berbagai masalah usaha dan (e) makin menyadari penghasilan dari usaha
221 melaut tidak pasti, karenanya perlu berhati-hati dalam memanfaatkan penghasilan. Perkembangan kompetensi nelayan berlangsung secara alamiah dan tidak terencana. Karena itu, kompetensi nelayan tidak berkembang baik sesuai kebutuhan usaha, sejalan dengan bertambahnya usia nelayan. Akibatnya, walau telah mencapai usia dewasa, tidak secara otomatis nelayan memiliki kemampuan yang memadai secara merata pada seluruh sub variabel kompetensi. Secara umum dapat dikatakan, ketika nelayan berada pada usia dewasa, kompetensinya bisa lebih baik dari sebelumnya, namun belum cukup jika digunakan untuk memajukan usahanya, dan untuk mencapai tujuan kesejahteraan hidup. Semakin besar jumlah tanggungan maka kompetensi makin tinggi, terutama dalam hal memecahkan masalah usaha dan memanfaatkan penghasilan. Jumlah tanggungan menunjukkan berapa orang yang ditanggung biaya hidupnya oleh nelayan perbulan. Biasanya sejumlah orang yang menjadi anggota keluarga, misalnya isteri dan anak. NPk yang belum menikah hanya menanggung biaya hidup dirinya sendiri. Sedangkan bagi NPm yang memiliki usaha lain, jumlah tanggungannya lebih besar, karena selain menanggung biaya hidup dirinya dan keluarga ia juga menanggung gaji para pekerja yang bekerja padanya di luar pekerjaan sebagai nelayan. Pengeluaran NPm lebih besar dari pengeluaran NPk. Pengeluaran nelayan berhubungan positif dengan kompetensi. Artinya, semakin tinggi pengeluaran nelayan, kompetensinya juga semakin tinggi, terutama dalam hal memecahkan masalah usaha (ditandai dengan adanya usaha sampingan), dan memanfaatkan penghasilan (ditandai dengan kemampuan memenuhi kebutuhan hidup yang lebih baik, kemampuan menyiapkan modal usaha, juga kemampuan menabung). Karakteristik usaha yang berhubungan dengan komperensi adalah pengalaman. Semakin berpengalaman seorang nelayan, maka kompetensinya makin tinggi. NPm lebih berpengalaman, dibandingkan dengan NPk. (2) Hubungan Kekondusifan Lingkungan dengan Kompetensi Faktor lingkungan yang berhubungan dengan kompetensi adalah kelembagaan nelayan. Kelembagaan nelayan berhubungan positif dengan kompetensi nelayan. Namun, peran kelembagaan nelayan saat ini terhadap peningkatan kompetensi nelayan masih rendah. Kelompok nelayan tidak berperan sebagai wadah aktifitas peningkatan kompetensi nelayan.
222 Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen Ketanggapan Menyediakan Produk Bermutu Produk yang dibawa nelayan dari laut, selalu dalam kondisi segar. Namun, nelayan tidak selalu dapat menyediakan produk-produk tersebut dalam jumlah yang dibutuhkan konsumen. Jumlah produk sangat tergantung pada hasil tangkap, sedangkan kemampuan nelayan menangkap ikan tidak dapat diprediksi. Nelayan telah melakukan spesifikasi jenis produk ikan yang akan ditangkap, sehingga hanya menyediakan jenis produk yang dibutuhkan. Misalnya, nelayan rajungan hanya menangkap rajungan, begitu juga dengan nelayan tembang, kakap, dan kembung. Kondisi produk selalu dalam keadaan segar dan baik, namun jumlah produk tetap tidak sepenuhnya mampu dipenuhi. Berkurangnya hasil tangkapan karena pencemaran dan ketidakmampuan mencapai posisi tangkap yang tepat, keterbatasan armada dan mesin, kurangnya kelengkapan peralatan melaut, nahkoda yang belum berpengalaman, dan musim yang kurang baik, merupakan sebab nelayan tidak selalu dapat menyediakan produk sesuai waktu yang diharapkan konsumennya. Hasil uji beda, menunjukkan tidak ada perbedaan antara NPm dan NPk pada ketanggapan menyediakan produk. Tidak adanya perbedaan ini disebabkan, NPm dan NPk bekerja secara tim pada satu armada tangkap, sehingga tingkat ketanggapan menyediakan produknya sama. Ketanggapan Melayani Konsumen Produk hasil tangkapan yang diperoleh nelayan, berapapun jumlahnya dengan segera laku terjual. Namun hal ini tidak dapat menjadi indikator bahwa nelayan dapat dengan cepat melayani konsumennya. Jika hasil tangkapan kurang, seringkali nelayan menambah jumlah waktu melaut sesuai dengan kemampuan perbekalannya. Jika hasil tangkapan banyak, nelayan cepat pulang dan cepat melayani konsumen. Keadaan seperti ini bergulir secara alamiah dan tidak dapat diprediksi dengan tepat dari waktu ke waktu. Ketanggapan melayani konsumen tergantung dari kecepatan dan keberhasilan nelayan menangkap ikan. Pada nelayan rajungan, alat tangkap ditinggal ke area tangkapan. Mereka kemudian pulang ke darat, dan keesokan harinya mengambil hasil tangkapan, kemudian memasang
223 peralatan tangkapnya lagi. Akhir-akhir ini hasil tangkapan tidak memuaskan nelayan. Selain jumlahnya makin sedikit, ukuran dan berat rajungan juga tidak sesuai yang diharapkan. Karena itu, kebutuhan rajungan tidak selalu dapat dipenuhi. Ini berarti nelayan menghadapi kendala dalam memenuhi kebutuhan pelanggannya. Nelayan belum mampu dengan tanggap melayani konsumen. Pelayanan belum dapat dilakukan secara just in time. Padahal, dengan menerapkan prinsip just in time, nelayan dapat bekerja lebih efisien, waktu tidak terbuang, dan dapat fokus memperbaiki usahanya agar lebih maju dari waktu ke waktu. Nelayan belum mampu melayani konsumen dengan tanggap karena beberapa sebab: (1) ketergantungan pada kondisi alam, kendala ini mempengaruhi kecepatan melayani konsumen; (2) keterbatasan kemampuan menangkap, minimnya modal dan peralatan menyebabkan keterlambatan menyampaikan produk dan (3) tidak adanya pendidikan yang spesifik untuk memotivasi nelayan agar dapat melakukan perbaikan
dalam
usahanya, menyebabkan nelayan masih tetap bertahan pada pola usaha berdasarkan kebiasaan. Penelitian ini memperlihatkan bahwa nelayan masih memiliki kendala dalam hal ketanggapan melayani konsumennya terutama dalam: (1) memenuhi kebutuhan jumlah produk; (2) memenuhi kebutuhan jenis produk dan (3) nelayan belum mampu dengan cepat melayani konsumen. Hasil uji beda, menunjukkan tidak ada perbedaan antara NPm dan NPk pada ketanggapan melayani pelanggan. Upaya-upaya dari pihak pemerintah untuk meningkatkan ketanggapan nelayan belum ada. Ini dapat dilihat dari pola kebiasaan nelayan, yaitu : (1) selalu memesan armada tradisional dari kayu yang diproduksi di kampung; (2) tidak berupaya mengganti atau memperbanyak peralatan tangkap, walaupun yang hasilnya terbukti kurang menguntungkan; (3) tidak mampu membeli mesin yang lebih kuat dayanya; (4) tidak mampu membeli teknologi penunjang penangkapan (misalnya GPS dan radio komunikasi) dan (5) tidak mampu melihat peluang pasar lain. Produktivitas Produktivitas nelayan adalah rendah. Peningkatan produksi tidak dapat diprediksi dari waktu ke waktu, dari satu periode tangkap ke periode tangkap berikutnya. Antara jenis alat tangkap yang sama, pada satu periode tangkap, tingkat produktivitasnya dapat
224 berbeda-beda. Pada musim yang baik, nelayan lebih produktif karena lebih cepat mencari, menentukan, dan mencapai area tangkap. Selain itu, sumber daya yang makin terbatas merupakan penyebab menurunnya tingkat produktivitas. Peralatan dan perbekalan yang dimiliki nelayan juga merupakan faktor penentu tingkat produktivitas. Nelayan memperkirakan dapat berada di laut selama sepuluh sampai lima belas hari. Pada penelitian ini ditemukan waktu terlama nelayan berada di laut sekitar sepuluh hari. Ada yang pulang dengan membawa hasil tangkapan yang cukup banyak, namun ada juga yang harus pulang karena menipisnya perbekalan, serta belum mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan. Berdasarkan hasil uji beda, baik dengan T-Test maupun dengan Mann-Whitney Test (signifikan pada α 0.05) menunjukkan adanya perbedaan antara NPm dan NPk pada produktivitas. NPm lebih tinggi produktivitasnya dibanding NPk, karena mereka mampu memiliki lebih dari 1 armada dan lebih dari 1 alat tangkap. Keberlanjutan Usaha Keberlanjutan usaha rendah. Namun NPm,
kecuali nelayan rajungan, pada
umumnya siap melanjutkan usaha perikanan tangkap di masa-masa mendatang. Sementara itu NPk terutama yang berpenghasilan < Rp. 1.000.000, menginginkan dapat mengganti profesinya jika kelak mendapat peluang usaha lain di darat. Berdasarkan hasil uji beda, baik dengan T-Test maupun dengan Mann-Whitney Test (signifikan pada α 0.05) menunjukkan adanya perbedaan antara NPm dan NPk pada kemampuan keberlanjutan usaha. NPm memperoleh penghasilan yang lebih baik dibanding NPk dan dapat merasakan keuntungan penghasilan dari melaut dibandingkan NPk. NPm terutama yang memiliki usaha lain, lebih merasa mampu melanjutkan kegiatan melaut dibandingkan NPm yang tidak memiliki usaha selain melaut, juga jika dibandingkan NPm yang menangkap rajungan. Hasil uji beda membuktikan Hipotesis 4 bahwa terdapat perbedaan kemampuan NPm dan NPk dalam memenuhi kebutuhan konsumen, secara umum diterima. Perbedaan ini terjadi pada: (1) produktivitas dan (2) keberlanjutan usaha.
225 Hubungan Karakteristik Nelayan, Kekondusifan Lingkungan dengan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen (1) Hubungan karakteristik nelayan dengan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen Variabel-variabel
karakteristik
nelayan
yang
berhubungan
dengan
tingkat
kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen adalah: (a) Usia, semakin meningkat usia nelayan atau semakin dewasa seorang nelayan, ia akan makin memperhatikan hal-hal yang terkait dengan pekerjaannya. Semakin meningkat usia nelayan, kemampuannya memenuhi kebutuhan konsumen juga meningkat. (b) Jumlah tanggungan, semakin besar jumlah tanggungan nelayan semakin meningkat kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen. Jumlah tanggungan yang besar di luar keluarganya, menggambarkan tanggungan nelayan tidak hanya terbatas pada keluarganya. Nelayan juga menanggung gaji para pekerja dari usaha lainnya. (c) Pengeluaran setiap bulan, semakin besar pengeluaran nelayan menunjukkan semakin tinggi kemampuannya memenuhi kebutuhan konsumen, pengeluaran nelayan yang besar menggambarkan adanya tanggung jawab yang besar untuk membiayai kebutuhan hidup, kebutuhan usaha nelayan, serta kebutuhan usaha lainnya di luar pekerjaan sebagai nelayan. (d) Pengalaman sebagai nelayan, semakin berpengalaman seorang nelayan maka ia akan makin memiliki kemampuan lebih baik dalam bekerja, dibandingkan nelayan yang kurang
pengalamannya,
ini
berarti
jika
seorang
seorang
nelayan
makin
berpengalaman maka akan makin meningkat kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan konsumen. Uraian-uraian berikut merupakan penjelasan lebih lanjut tentang gambaran hubungan kondisi karakteristik nelayan dan kemampuannya memenuhi kebutuhan konsumen. Nelayan asal Indramayu dan Subang cenderung tinggi kemampuannya memenuhi kebutuhan pelanggan. Fenomena ini, setelah ditelusuri dengan seksama ternyata terkait dengan pola berusaha yang dilakukan nelayan, yaitu: (a) nelayan Indramayu dan Subang cenderung berkelompok menjalankan usahanya, berdasarkan asal daerahnya masingmasing; (b) nelayan asal Indramayu dan Subang merupakan dua kelompok nelayan yang
226 cukup dominan di lokasi penelitian, dan masing-masing memiliki ikatan yang cukup kuat dengan daerah asalnya; (c) nelayan yang telah lama berada di Jakarta, terutama dari Indramayu, dianggap cukup sukses menjalankan usahanya; (d) sanak keluarga mereka kemudian datang menyusul ke Jakarta, karena percaya bisa ikut berhasil bila berusaha di Jakarta; (e) nelayan yang telah lebih dahulu berada di Jakarta dengan sukarela membagi pengalaman usaha dan (f) kemampuan berusaha nelayan yang telah lebih dahulu berusaha di Jakarta lebih baik dibandingkan yang baru datang, namun melalui diskusi dan pengalaman berusaha bersama, terjadi transfer pengetahuan, sikap dan keterampilan dari nelayan yang telah lama di Jakarta kepada nelayan yang baru datang. Status tempat tinggal berhubungan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan konsumen. Nelayan yang telah memiliki tempat tinggal sendiri lebih tinggi kemampuannya memenuhi kebutuhan konsumen dibandingkan dengan nelayan yang status tempat tinggalnya masih kontrak, kos, tinggal pada orang tua, atau tinggal di kapal yang telah ditinggal pemiliknya. Melalui penelusuran lebih lanjut. para nelayan yang telah memiliki tempat tinggal sendiri sebagian besar adalah para NPm yang cenderung lebih kompeten dan lebih mapan hidupnya, karena penghasilannya lebih baik. Jenis alat tangkap yang digunakan nelayan berhubungan dengan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen. Nelayan dengan alat tangkap jaring milenium, pancing/jaring senar, dan jaring tembang, cenderung memiliki kemampuan menangkap yang lebih tinggi dibandingkan nelayan yang menggunakan alat tangkap lain. Mereka juga memiliki jaringan pemasaran khusus yang selalu menerima hasil tangkapannya. Walaupun jumlah tangkapan tidak selalu dapat diprediksi banyaknya, mereka mampu menangkap jenis produk sesuai dengan yang diminati pelanggan, karena itu setiap mendapat hasil segera langsung diberikan pada pelanggannya. Nelayan yang menggunakan alat tangkap jaring milenium sebagian besar adalah nelayan asal Indramayu. Walaupun lambat, mereka berupaya mengembangkan usahanya lebih maju dari waktu ke waktu. Pengalaman berusaha menjadi nelayan diawali dengan menjadi nelayan rajungan dengan alat tangkap bubu atau jaring plastik, kemudian beberapa kali mereka mencoba mengganti alat tangkap, dan terakhir menggunakan jaring milenium.
227 Penggunaan alat tangkap jaring milenium baru dilakukan dua tahun terakhir. Dengan menggunakan jaring milenium, hasil tangkapan menjadi lebih banyak dibandingkan alat tangkap yang digunakan sebelumnya, yaitu jaring nilon 4 inch. Nelayan dapat menyediakan produk lebih cepat, karena jaring jenis ini dapat dipasang siang hari. Merekapun dapat lebih cepat berangkat melaut. Para NPm jaring milenium merasa dengan menggunakan alat tangkap ini, masa depannya sebagai nelayan lebih baik dari sebelumnya, dan merasa mampu melanjutkan usahanya di masa yang akan datang. Kendala yang dihadapi adalah seringnya terjadi pencurian alat tangkap di tengah laut, dengan cara memotong jaring. Nelayan yang berada pada posisi pola bagi hasil 3/4 (tiga bagian untuk nelayan pemilik, dan empat bagian untuk nelayan pekerja), pola bagi hasil 2/4 (dua bagian untuk nelayan pemilik, dan empat bagian untuk nelayan pekerja), pola bagi hasil 2/5 (dua bagian untuk nelayan pemilik, dan lima bagian untuk nelayan pekerja), dan pola bagi hasil 2/6 (dua bagian untuk nelayan pemilik, dan enam bagian untuk nelayan pekerja), kemampuannya memenuhi kebutuhan konsumen di masa mendatang cukup baik. Nelayan pada pola bagi hasil dalam keempat kelompok ini, siap melanjutkan usahanya dibandingkan dengan nelayan pada pola bagi hasil lainnya. Hal ini karena penghasilan yang diperoleh dianggap cukup baik. (2) Hubungan kekondusifan lingkungan dengan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen Hasil uji korelasi memperlihatkan kekondusifan lingkungan, yaitu: (a) kelembagaan nelayan berhubungan positif dengan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen, artinya jika pengelolaan dan peran kelembagaan nelayan semakin baik, maka akan semakin memberi dukungan bagi kemampuan nelayan dalam memenuhi kebutuhan konsumen dan (b) sarana prasarana berhubungan positif dengan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen, artinya jika sarana prasarana semakin baik dan semakin lengkap, maka akan semakin mendukung kemampuan nelayan melayani konsumen. Hubungan Kompetensi Nelayan dengan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen Semakin mampu nelayan merencanakan usahanya, maka semakin tinggi kemampuannya
dalam
memenuhi
kebutuhan
konsumen.
Kemampuan
nelayan
228 menangkap ikan berhubungan dengan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen. Artinya, semakin mampu nelayan menangkap ikan, maka produk akan semakin cepat tersedia. Ini terbukti ketika nelayan sampai di darat,
produk hasil
tangkapannya dapat langsung disalurkan pada konsumen, dijual di pasar grosir atau pasar eceran. Kemampuan memasarkan hasil tangkapan berhubungan positif dengan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen, khususnya tingkat produktivitas. Semakin cepat nelayan memasarkan produk maka akan cepat pula nelayan kembali melaut untuk menangkap ikan. Namun, terkait dengan pemasaran, walaupun pasar tersedia, nelayan tidak dapat menjamin jumlah produk dan jenis produk yang diharapkan dapat tepat waktu sampai di darat. Selain itu, pasar yang mampu dimasuki hanyalah pasar di Kawasan Muara Angke. Sehingga walaupun nelayan mampu mendapatkan tangkapan yang cukup banyak yang artinya nelayan cukup produktif, ia tidak mampu memasarkannya di tempat lainnya. Hal ini disebabkan nelayan sangat tergantung pada pemodal yang merangkap sebagai agen ikan. Kemampuan nelayan memecahkan masalah usaha dan kemampuan nelayan memanfaatkan penghasilan berhubungan positif dengan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen, terutama tingkat produktivitas. Artinya, makin mampu nelayan memecahkan berbagai masalah usaha, maka usahanya akan semakin produktif. Jika nelayan makin produktif, maka ia akan mendapatkan penghasilan lebih baik, terutama bagi NPm. Selanjutnya ia akan mampu menyiapkan modal usaha untuk melaut periode berikutnya, bahkan memiliki dana cadangan untuk mengurus usaha lainnya sebagai alternatif usaha jika masa paceklik tiba. Penghasilan Nelayan Nelayan mendapatkan imbalan berupa uang dari konsumen melalui penjualan produk ikan hasil tangkapan. Imbalan yang diperoleh ini menjadi penghasilan nelayan. Bagi NPm, selain untuk memenuhi kebutuhan hidup, sebagian hasil penjualan disisihkan untuk modal melaut pada periode berikutnya, terkadang ditabung untuk tujuan mengembangkan usaha lain atau sebagai simpanan di masa paceklik. Bagi NPk, seluruh penghasilan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dengan demikian, hipotesis 6 yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan penghasilan antara NPm dan NPk diterima.
229 Penghasilan nelayan bersifat fluktuatif dan bervariasi, baik antar seluruh nelayan secara umum, maupun antara NPm dan NPk. Standar deviasi penghasilan cukup besar. Hal ini disebabkan karena: (1) perbedaan status kepemilikan alat yang berdampak pada penghasilan dan (2) NPm penduduk Jakarta memiliki penghasilan lain. Secara umum sebagian besar nelayan berpenghasilan rendah. Besarnya penghasilan nelayan, berdampak pada kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup. Makin rendah penghasilan nelayan, maka makin rendah juga kemampuan nelayan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Semakin besar penghasilan nelayan, maka semakin besar pengeluarannya. Karena itu, sama halnya dengan penghasilan, pengeluaran nelayan juga bersifat fluktuatif dan bervariasi, baik untuk nelayan secara umum, maupun antara NPm dan NPk. Secara umum pengeluaran nelayan adalah rendah. Namun, standar deviasi pengeluaran cukup besar. Hal ini disebabkan karena besarnya perbedaan jumlah tanggungan antara NPm dan NPk. NPm mengelola pekerjaan lain, sehingga memiliki tanggungan lebih besar, karena itu pengeluarannya lebih besar. NPk yang belum menikah, hanya menanggung biaya diri sendiri dan keluarga, karena itu pengeluarannya juga lebih kecil dibanding NPk yang telah menikah. Secara umum, para NPk sepenuhnya hanya menggantungkan perolehan penghasilan dari pekerjaan menangkap ikan. Hubungan Karakteristik Nelayan, Kekondusifan Lingkungan dengan Penghasilan Nelayan Penghasilan nelayan berhubungan positif dengan: (1) usia, semakin tinggi usia seorang nelayan, maka akan cenderung makin meningkat penghasilannya karena ia makin kompeten; (2) jumlah tanggungan, makin besar jumlah tanggungan seorang nelayan, makin tinggi juga penghasilannya karena tanggungan besar menggambarkan adanya usaha produktif lainnya; (3) pengeluaran setiap bulan, makin besar pengeluaran seorang nelayan menggambarkan penghasilannya yang juga makin besar, karena pengeluaran digunakan untuk membiayai kegiatan produktif lainnya yang memberikan penghasilan tambahan; (4) pengalaman sebagai nelayan, semakin berpengalaman seorang nelayan, maka makin tinggi penghasilannya karena kompetensinya makin tinggi dan (5) kelembagan nelayan, artinya jika peran kelembagaan nelayan ditingkatkan maka usaha nelayan akan meningkat, dan akan meningkatkan penghasilan nelayan.
230
Hubungan Kompetensi Nelayan dengan Penghasilan Nelayan Kemampuan nelayan merencanakan usaha (X3.1) berhubungan positif dengan penghasilannya. Artinya semakin tinggi kemampuan merencanakan usaha, maka akan semakin tinggi penghasilannya. Kemampuan merencanakan usaha diperoleh nelayan dari pengalaman. Secara umum, hanya para NPm yang melakukan perencanaan usaha. Perencanaan usaha yang berlangsung hanya terkait dengan kegiatan melaut, yaitu: (1) merencanakan jumlah NPk yang akan melaut; (2) merencanakan asal modal dan persiapan perlengkapan melaut dan (3) merencanakan pemasaran. Perencanaan dilakukan berdasarkan kebiasaan, tidak ada yang tertulis. Pelaksanaannya dilakukan secara otomatis dengan dibantu NPk. Nelayan tidak memiliki perencanaan usaha jangka panjang yang mengarah pada kemajuan usahanya di masa yang akan datang. Tidak adanya pembinaan manajemen usaha merupakan penyebab tidak berkembangnya kemampuan nelayan dalam merencanakan usahanya, sehingga peningkatan penghasilannyapun berkembang lambat. Kemampuan menangkap ikan (X3.3) berhubungan positif dengan penghasilan nelayan. Artinya semakin tinggi kemampuan menangkap ikan, akan semakin tinggi juga penghasilannya. Sebagai contoh, nelayan yang menggunakan alat tangkap jaring milenium lebih tinggi kemampuannya menangkap ikan dibandingkan nelayan dengan alat tangkap yang lain, ditandai dengan besarnya berat tangkapan (Tabel 12), karena itu penghasilannyapun lebih tinggi dibandingkan dengan nelayan yang menggunakan alat tangkap lainnya. Pergaulan nelayan yang cenderung homogen yaitu terbatas hanya pada sesama nelayan dari daerah asal yang sama, dan kurangnya akses pergaulan ke nelayan yang lebih maju, menyebabkan inovasi alat tangkap berkembang lambat. Lambatnya inovasi alat tangkap terkait dengan tidak adanya informasi teknologi penangkapan yang dapat diakses nelayan dengan mudah. Kemampuan memasarkan hasil tangkapan (X3.5) berhubungan positif dengan penghasilan nelayan. Semakin tinggi kemampuan memasarkan, maka semakin tinggi juga penghasilan nelayan. Kemampuan memasarkan para nelayan warga DKI Jakarta lebih tinggi dari NPm yang berasal dari daerah lain karena lebih mampu memanfaatkan akses pemasaran yang ada di Jakarta.
231 Masalah pemasaran, atau tata niaga perikanan masih tergantung pada pemodal. Nelayan-nelayan pendatang, baik NPm maupun NPk terikat harus menjual hasil tangkapannya kepada pemodal yang juga bekerja sebagai pedagang ikan. Pemodal yang pada umumnya adalah pedagang ikan menjadi konsumen utama para nelayan pendatang. Monopoli pasar seperti ini cenderung merugikan nelayan. Belum adanya peraturan tata niaga hasil perikanan yang menguntungkan bagi nelayan, merupakan penyebab ketidakberdayaan nelayan pendatang dalam hal memasarkan produknya. Kemampuan memecahkan masalah usaha (X3.7) berhubungan positif dengan penghasilan nelayan. Artinya, makin tinggi kemampuan nelayan memecahkan masalah usahanya, makin tinggi juga penghasilannya. Sebagai contoh, semakin tinggi kemampuan nelayan
memecahkan
masalahnya
dalam
mendapatkan
modal
usaha,
maka
penghasilannya akan semakin tinggi, karena dengan ketersediaan modal, ia tetap dapat melaut. Nelayan yang memiliki usaha lain, cenderung lebih mampu melanjutkan usahanya sebagai nelayan, karena lebih mampu mendapatkan modal melaut dibandingkan nelayan yang tidak memiliki usaha lain. Masalah usaha nelayan sangat kompleks, dimulai dari mutu SDM yang rendah, hingga lemahnya dukungan lingkungan pada usaha nelayan. Kemampuan nelayan memanfaatkan penghasilan (X3.8) berhubungan positif dengan penghasilan nelayan. Artinya, makin tinggi kemampuan nelayan memanfaatkan penghasilan untuk sektor produktif, misalnya untuk penyelenggaraan usaha lain, maka akan makin tinggi juga penghasilannya. Karena selain mendapatkan penghasilan dari usaha melaut, mereka juga mendapatkan penghasilan dari usaha lain. Hubungan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen dengan Penghasilan Nelayan Penghasilan nelayan berhubungan positif dengan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen yaitu dengan: (1) ketanggapan melayani konsumen, ini berarti semakin tanggap nelayan memenuhi kebutuhan konsumen maka penghasilannya akan semakin meningkat; (2) produktivitas, semakin tinggi tingkat produktivitas nelayan maka akan semakin meningkatkan penghasilan nelayan dan (3) semakin pasti keberlanjutan usaha nelayan, maka akan semakin meningkat juga penghasilan nelayan.
232 Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Hidup Seluruh usaha yang dilakukan nelayan melalui kegiatan penangkapan ikan di laut, pada dasarnya adalah agar nelayan mendapatkan penghasilan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Nelayan-nelayan dari daerah lain, telah berbondongbondong migran ke Jakarta, dengan alasan di Jakarta pemasaran produk hasil tangkapan mereka lebih cepat, dibandingkan di daerah asalnya. Bahkan di Jakarta mereka tidak perlu melakukan pengawetan produk, misalnya membuat ikan asin seperti yang sering dilakukan di kampung, apabila produk tidak laku terjual. Di Jakarta begitu sampai di darat, hasil tangkapan langsung terjual, dan nelayan dapat segera mempersiapkan kegiatan melautnya lagi. Berdasarkan Tabel 28, terlihat kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup adalah masih rendah. Hal ini diperlihatkan dari: (1) rendahnya kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan pangan; (2) rendahnya kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan sandang; (3) rendahnya kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan pendidikan; (4) rendahnya kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan listrik; (5) rendahnya kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan air; (6) rendahnya pemenuhan kebutuhan rekreasi dan (7) rendahnya pemenuhan
kebutuhan dihargai. Berdasarkan uji beda, terbukti bahwa
terdapat perbedaan kemampuan NPm dan NPk dalam memenuhi kebutuhan hidup. Dengan demikian, Hipotesis 8 diterima. Berikut ini disampaikan satu persatu analisis kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup Kemampuan Memenuhi Kebutuhan Makanan Kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan pangan masih rendah. Di luar pertimbangan kandungan gizi, kebiasaan nelayan adalah makan dengan bahan makanan pokok nasi sebanyak tiga kali sehari, yaitu pada pagi hari, siang hari, dan malam hari. Berdasarkan uji beda, walaupun secara umum kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan pangan sama-sama masih rendah, namun kemampuan NPm memenuhi kebutuhan pangan lebih tinggi dibandingkan dengan NPk. Hal ini disebabkan penghasilan NPm lebih tinggi dibandingkan NPk, karenanya NPm lebih tinggi kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan pangan.
233 Selain keluarga NPm nelayan rajungan, rata-rata keluarga NPm memiliki kebiasaan makan tiga kali sehari dengan makanan pokok nasi, ikan hasil tangkapan, telor ayam, sayuran, mie, serta makanan kecil diselingi jajan. Sedangkan keluarga NPk makan dengan makanan pokok nasi, ikan (ikan basah, ikan asin), telor, sayuran, dan mie, sebanyak dua kali sehari, diselingi makanan kecil. Jenis perbekalan bahan makanan yang dibawa melaut adalah: beras, minyak tanah, minyak goreng, telor, mie, sayur segar, permen, kacang goreng, rokok, air minum, dan ikan hasil tangkapan. Kemampuan Memenuhi Kebutuhan Pakaian Sandang atau pakaian merupakan salah satu kebutuhan yang penting bagi manusia. Walaupun kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan pakaian adalah rendah, frekuensi NPm membeli pakaian lebih variatif. Kemampuan NPm membeli pakaian lebih tinggi dibandingkan NPk. Hal ini dibuktikan dengan uji beda, yang menunjukkan adanya perbedaan nelayan (NPm dan NPk) dalam memenuhi kebutuhan sandang. Penghasilan merupakan alasan utama kurangnya frekuensi NPk membeli pakaian. Bagi mereka, pakaian bukanlah kebutuhan utama. Melaut tidak menuntut pakaian yang rapi. Selama pakaian-pakaian yang dimiliki masih dianggap layak, maka akan tetap digunakan. Nelayan paling sering membeli pakaian baru untuk dirinya dan keluarganya setahun sekali, yaitu pada waktu menjelang lebaran. Kemampuan Memenuhi Kebutuhan Kesehatan Kesehatan nelayan adalah baik. Secara umum, melaut telah melatih kondisi fisik nelayan. Selain itu pola makan nelayan sehari-hari dengan telor ayam, sayuran segar, dan lauk ikan segar hasil tangkapan adalah bahan makanan yang sehat. Nelayan ada dalam kondisi kesehatan yang baik, kecuali dua orang NPk, rajungan yang sedang flu, dan sakit kepala. Hal ini terjadi karena mereka kurang mampu menjaga kesehatan. Pada malam hari mereka bergadang dan tidak tidur. Nelayan yang sakit sudah berobat ke puskesmas, dengan biaya pengobatan yang murah, yaitu Rp. 5000. Kemampuan Memenuhi Kebutuhan Pendidikan Kemampuan NPk memenuhi kebutuhan pendidikan formal umumnya adalah masih rendah. Penghasilan yang tidak mencukupi merupakan alasan utama rendahnya
234 kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan pendidikan formal. Sementara itu, nelayan tidak mempunyai pilihan untuk mengikuti pendidikan non formal yang sesuai dengan kebutuhannya. Ketiadaan penyelenggara kegiatan non formal yang terstruktur yang sesuai kebutuhan nelayan, biaya pendidikan profesi yang tidak terjangkau bagi nelayan, merupakan sebab tidak ada nelayan yang pernah mengikuti pendidikan non formal yang sesuai dengan usahanya. Kepala keluarga nelayan berpendidikan rendah. Banyak anak-anak nelayan yang kemudian putus sekolah dan mengikuti orang tuanya melaut. Kondisi ini menggambarkan semakin banyak nelayan yang tidak mampu mengikuti jenjang pendidikan formal dengan baik. Berdasarkan hasil uji beda, NPm lebih mampu memenuhi kebutuhan pendidikan dibandingkan NPk. Walaupun demikian, masih ada NPm yang belum mampu memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anaknya, yaitu para NPm nelayan rajungan. Hal ini disebabkan penghasilan NPm rajungan lebih rendah dibanding nelayan pemilik lain. Kemampuan Memenuhi Kebutuhan Listrik Keterlambatan membayar tagihan listrik tidak saja dialami oleh NPk. NPm rajungan juga mengalaminya. NPk yang memiliki penghasilan < Rp. 1.000.000 perbulan sering terlambat mengirim penghasilannya untuk keluarga. Waktu memperoleh penghasilan tidak selalu sama, menyebabkan waktu mengirim penghasilan ke kampung juga tidak dapat dipastikan. Hal ini merupakan penyebab sering terlambat membayar tagihan listrik, juga terlambat mengirim uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga di kampung. Besarnya dana yang dikirim nelayan untuk keluarga mereka di kampung juga tidak selalu sama, dan hanya dikirim setiap kali ada hasil. Untuk nelayan harian, penghasilannya dikumpulkan selama seminggu, kemudian dikirim kepada keluarganya pada minggu berikutnya. Namun, tidak setiap minggu hal ini dapat dilakukan. Pengiriman dana ke kampung tergantung penghasilan yang diperoleh. Cara pengiriman uang ke kampung dengan menitipkan penghasilan yang diperoleh pada keluarga atau teman-teman yang hendak pulang kampung. Para nelayan biasanya pulang ke kampung halaman bergantian, dengan menggunakan bis.
235 Kemampuan Memenuhi Kebutuhan Air Bersih Kebutuhan air bersih nelayan yang tinggal di Jakarta dipenuhi oleh Perusahaan Air Minum (PAM). Namun, ketidaklancaran distribusi air dari PAM menyebabkan para nelayan di DKI Jakarta menggali sumur. Untuk minum, sebagian besar nelayan juga menggunakan air minum kemasan yang dibeli per-galon. Untuk mandi, nelayan migran melakukannya di area mana saja di sekitar pangkalan pendaratan ikan. Bahkan nelayan biasa mandi di atas perahu dengan menggunakan air yang dibeli. Untuk kebutuhan air bersih keluarga nelayan di kampung, ada yang telah menggunakan PAM, ada juga yang menggunakan air sumur. Untuk pengguna air PAM, masih banyak nelayan yang sering terlambat membayar tagihan bulanan. Ketidakpastian penghasilan merupakan sebab utama keterlambatan nelayan mengirimkan uang ke kampung. Kebutuhan keluarga tidak sepenuhnya dapat dipenuhi tepat waktu, juga untuk memenuhi kebutuhan membayar tagihan air yang didistribusikan oleh PAM. Kemampuan Melakukan Rekreasi Rekreasi merupakan salah satu kebutuhan manusia, walaupun tidak merupakan kebutuhan utama. Dengan berekreasi manusia dapat melepaskan lelah, dan diharapkan setelah berekreasi stamina fisik dapat pulih dan pikiran akan kembali jernih. Namun, rekreasi bukanlah merupakan kegiatan yang penting bagi nelayan. Para NPm, walau memiliki kemampuan finansial yang baik, rekreasi bukanlah merupakan satu tuntutan. Sebagai warga kota Jakarta, kadang mereka bersama keluarga berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan terdekat. Namun hal ini tidak merupakan kegiatan rutin. Jika memiliki waktu luang, nelayan lebih suka mengunjungi keluarganya di kampung. NPk merasa rekreasi tidaklah penting. Kegiatan melaut dan menangkap ikan jauh lebih penting dari rekreasi. Namun, ada NPk yang belum menikah dan menyukai rekreasi alam. Apabila tidak melaut, dia mendaki gunung bersama teman-temannya. Namun hal ini juga tidak rutin dilakukan. Sedangkan NPk yang telah menikah, dengan kemampuan keuangan yang terbatas, jika tidak melakukan kegiatan melaut, mereka lebih memilih pulang ke kampung halaman mengunjungi keluarganya.
236
Pemenuhan Kebutuhan Dihargai Setiap orang ingin dihargai dan diterima keberadaannya di manapun ia berada. Perasaan dihargai NPm, baik oleh keluarga dan lingkungan lebih baik dibandingkan NPk. Sebagai kepala keluarga baik NPm maupun NPk menginginkan dihargai oleh orang-orang terdekat yaitu istri dan anak-anak serta lingkungan sosialnya. Bagi yang belum menikah, nelayan juga ingin dihargai oleh lingkungannya. Berdasarkan hasil wawancara mendalam, perasaan dihargai berhubungan dengan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan keluarganya. Nelayan yang lebih mampu memenuhi kebutuhan keluarga misalnya NPm, merasa lebih dihargai dibandingkan nelayan yang kurang mampu memenuhi kebutuhan keluarganya, misalnya para NPk. Nelayan cenderung mengalami perasaan tidak enak apabila tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga tepat waktu, dan perasaan ini membuat nelayan merasa kurang berarti. Bagi nelayan yang belum menikah dan masih berusia antara 15-20 tahun, rendahnya tingkat pendidikan membuat rasa rendah diri. Keinginan mereka mendapatkan pendidikan masih tinggi, namun karena tidak bisa direalisasikan karena keterbatasan dana telah menimbulkan perasaan tidak enak. Penghasilan nelayan berdampak pada psikologi nelayan. Bagi nelayan yang telah menikah, penghasilan yang baik merupakan salah satu indikator munculnya perasaan dihargai. Makin tinggi tingkat penghasilannya maka perasaan dihargai oleh keluarga akan makin tinggi. Bagi nelayan yang belum menikah, tingkat pendidikan yang rendah dan putus sekolah menyebabkan perasaan rendah diri.
Strategi Pengembangan Mutu Sumber Daya Manusia Nelayan Untuk menyusun strategi pengembangan SDM nelayan, dilakukan berbagai analisis yang diharapkan dapat saling melengkapi, yaitu: (1) analisis variabel-variabel yang berhubungan dan mempengaruhi mutu SDM nelayan, dilanjutkan dengan melihat ada tidaknya perbedaan dari variabel-variabel yang menentukan; analisis ini dilakukan melalui uji statistik (korelasi, regresi dan path) berdasarkan hipotesa yang dibangun; (2) melakukan analisis hubungan sebab akibat dengan menggunakan Diagram Ishikawa,
237 untuk melihat hubungan sebab akibat rendahnya kompetensi nelayan, dan untuk melihat hubungan sebab akibat rendahnya kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup dan (3) analisis kualitatif berdasarkan wawancara mendalam dan FGD, yang berfungsi untuk melengkapi analisis kuantitatif yang dilakukan melalui uji statistik. Variabel-variabel yang Mempengaruhi Mutu SDM Nelayan Penelitian ini melihat mutu SDM nelayan dari: (1) kompetensi; (2) kemampuan memenuhi kebutuhan konsumen; (3) penghasilan dan (4) kemampuan memenuhi kebutuhan hidup. Analisis variabel-variabel yang mempengaruhi mutu SDM nelayan dilakukan dengan dua cara, yaitu: (1) digabung antara NPm dan NPk dan (2) secara terpisah antara NPm dan NPk. Sebelumnya telah dilakukan analisis korelasi, analisis regresi, juga uji beda, sehingga pada analisis jalur, variabel yang mempengaruhi mutu SDM lebih terseleksi. Hasil analisis memperlihatkan: (1) Hipotesis 1 bahwa Kompetensi Nelayan (X3) dipengaruhi Karakteristik Nelayan (X1) diterima. Karakteristik Nelayan (X1) diwakili oleh Pengalaman (X1.13), sedangkan Kekondusifan Lingkungan (X2) tidak mempengaruhi Kompetensi Nelayan. (2) Hipotesis 2 bahwa Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen (Y1) secara nyata dipengaruhi oleh kompetensi diterima, didukung oleh Karakteristik Nelayan (X1) yaitu Pengalaman (X1.13), namun tidak didukung oleh Kekondusifan Lingkungan (X2). (3) Hipotesis 3 bahwa terdapat perbedaan kompetensi yang nyata antara NPm dan NPk, diterima. Perbedaan terjadi dalam hal: (a) merencanakan usaha; (b) menyediakan modal; (c) menangkap ikan; (d) memecahkan masalah usaha dan (e) memanfaatkan penghasilan dari profesi nelayan (4) Hipotesis 4 bahwa terdapat perbedaan yang nyata tentang kemampuan nelayan dalam memenuhi kebutuhan konsumen, antara nelayan NPm dan NPk diterima. Perbedaan ini terjadi pada: (a) produktivitas dan (b) keberlanjutan usaha. (5) Hipotesis 5 bahwa penghasilan nelayan dipengaruhi secara nyata oleh: (a) kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen; (b) kompetensi nelayan; (c) karakteristik nelayan dan (d) kekondusifan lingkungan, diterima.
238
(6) Hipotesis 6 bahwa terdapat Terdapat perbedaan penghasilan nelayan secara nyata, antara NPm dan NPk diterima. (7) Hipotesis 7 bahwa kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup, dipengaruhi oleh: (a) penghasilan nelayan; (b) kemampuan memenuhi kebutuhan konsumen dan (c) kompetensi, diterima. (8) Hipotesis 8 bahwa terdapat perbedaan yang nyata kemampuan nelayan dalam memenuhi kebutuhan hidup (diri sendiri dan keluarga), antara NPm dan NPk, diterima. Pada analisis gabungan NPm dan NPk faktor-faktor yang saling mempengaruhi terbentuknya mutu SDM nelayan, pengalaman adalah faktor utama pembentuk kompetensi nelayan. Faktor ini murni berasal dari diri nelayan sendiri. Ketiadaan intervensi pendidikan untuk meningkatkan pengalaman nelayan menyebabkan rendahnya nilai pengaruh pengalaman pada pembentukan kompetensi nelayan. Faktor lainnya, seperti para pemodal dan pedagang memainkan peran penting dalam kompetensi nelayan. Kompetensi yang seharusnya dimiliki nelayan, didominasi oleh pemodal dan pedagang ikan, yaitu dalam: (1) menyediakan modal; (2) daya tawar harga ikan dan (3) pemasaran. Penghasilan nelayan selain dipengaruhi secara langsung oleh kompetensi dan kemampuan
nelayan
memenuhi
kebutuhan
konsumen,
juga
dipengaruhi
oleh
kelembagaan nelayan. Kegiatan simpan pinjam yang dilakukan melalui kelompok nelayan cukup membantu usaha nelayan. Kelompok nelayan dalam kondisi pasif. Melihat andil dari kelembagaan nelayan, dalam hal ini kelompok nelayan terhadap penghasilan, maka peningkatan peran kelompok terhadap kemajuan usaha nelayan perlu dilakukan. Pada analisis faktor-faktor yang saling mempengaruhi terbentuknya mutu SDM NPm, terlihat kompetensi terlihat berasal dari usia. Maknanya: (1) kompetensi (merencanakan usaha, menangkap ikan, memasarkan, memecahkan masalah usaha, dan memanfaatkan penghasilan) dipengaruhi usia; semakin meningkat usia seorang NPm, maka kompetensinya makin tinggi dan (2) kompetensi memiliki pengaruh langsung terhadap: kemampuan memenuhi kebutuhan konsumen, dan kemampuan memenuhi kebutuhan hidup.
239 Sarana prasarana ekonomi, yaitu pasar yang tersedia di lokasi pemukiman nelayan, secara langsung mempengaruhi kemampuan NPm memenuhi kebutuhan hidup. Kebutuhan hidup sehari-hari dapat diperoleh di pasar. Pada analisis faktor-faktor yang saling mempengaruhi terbentuknya mutu SDM NPk memperlihatkan: (1) kompetensi nelayan (kemampuan memasarkan) berhubungan dengan usia dan (2) kompetensi memiliki pengaruh langsung terhadap: kemampuan memenuhi kebutuhan konsumen dan penghasilan, serta memiliki pengaruh tidak langsung terhadap kemampuan memenuhi kebutuhan hidup melalui: kemampuan memenuhi kebutuhan konsumen, dan penghasilan. Usia berpengaruh langsung terhadap penghasilan, dan kemampuan memenuhi kebutuhan hidup. Kondisi ini setelah ditelusuri dengan cermat hal ini disebabkan NPk usia dewasa cenderung memilih menjadi pekerja pada armada dengan alat tangkap yang produktif, seperti jaring milenium. Pemilihan Pola Dasar Intervensi Penyuluhan untuk Pengembangan Mutu SDM Nelayan Untuk mengembangkan mutu SDM nelayan agar sesuai dengan kebutuhan usahanya untuk maju, dilakukan intervensi penyuluhan. Berdasarkan tiga hasil analisis jalur yang disampaikan di atas, untuk pengembangan SDM nelayan dipilih hasil analisis jalur pertama, yaitu analisis jalur gabungan NPm dan NPk, sebagai pola dasar intervensi penyuluhahan. Alasan utama pemilihan pola ini adalah: (1) pekerjaan melaut adalah pekerjaan tim yang melibatkan NPm dan NPk; (2) diperlukan pola yang efisien untuk intervensi penyuluhan, yang melibatkan NPm dan NPk secara bersama-sama; (3) pada analisis jalur gabungan NPm dan NPk, ditemukan bahwa pengalaman nelayan adalah faktor penentu kompetensi nelayan NPm maupun NPk dan (4) untuk mengembangkan dan meningkatkan SDM nelayan melalui kegiatan penyuluhan, pengalaman nelayan kemudian ditransfer menjadi pengalaman belajar. Pelaksanaan strategi pengembangan mutu SDM nelayan menggunakan pola perbaikan mutu nelayan secara berkelanjutan. Artinya, sumber daya manusia nelayan terus menerus dikembangkan, ditingkatkan, dan disesuaikan dengan kebutuhan nelayan untuk maju. Penelitian ini menemukan, kompetensi dasar yang dimiliki nelayan, diperoleh dari pengalaman. Karena itu dipilih metode penyuluhan melalui pengalaman
240 belajar. Kegiatan penyuluhan bersifat aplikatif dan praktis. Bentuk nyatanya adalah magang ke nelayan yang lebih maju. Dengan magang diharapkan: (1) nelayan lebih mudah dan cepat memahami dan menguasai kompetensi; (2) dapat menumbuhkan dan meningkatkan sikap profesional nelayan dalam waktu yang tidak terlalu lama dan (3) dapat tumbuh motivasi intrinsik untuk maju. Agar proses inovasi sosial ini berhasil mencapai tujuan, diperlukan dukungan lingkungan yang memadai dan kondusif bagi kemajuan nelayan.
241
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan (1) Karakteristik nelayan di lokasi penelitian secara spesifik dicirikan dengan: (a) karakteristik individu: pendidikan rendah, nelayan pendatang,
motivasi intrinsik
untuk maju rendah, namun demikian, mereka sangat menghargai profesinya dan (b) karakteristik usaha dicirikan dengan: pola patron-klien (pemilik-pekerja-pemodal merangkap konsumen utama), alat tangkap bervariasi, pola bagi hasil bervariasi, pengalaman sebagai nelayan > 10 tahun, dan alasan utama menjadi nelayan karena berasal dari keluarga nelayan. (2) Dukungan faktor-faktor lingkungan dicirikan sebagai berikut: (a) dukungan kelembagaan nelayan adalah rendah, terlihat dari: tidak berfungsinya kelompok nelayan karena tidak adanya pembinaan, dan koperasi yang belum dirasakan perannya oleh nelayan; (b) kesempatan dari pemerintah adalah rendah karena orientasi pembangunan masih pada peningkatan produksi yang tidak disertai pengembangan SDM nelayan dan usahanya; dukungan dari wakil rakyat adalah rendah, terlihat dari tidak terwakilinya aspirasi nelayan melalui bidang politik; dan dukungan dunia usaha adalah rendah, terlihat dari: tidak adanya kemitraan, dan ketidakmampuan nelayan mengakses berbagai peluang pasar pada skala lokal, nasional, maupun global;
(c) ketersediaan informasi adalah rendah, karena tidak
adanya penyedia informasi; (d) dukungan penyuluhan adalah rendah karena penyuluhan tidak berkelanjutan dan tidak diprogramkan dan (e) sarana prasarana yang ada dianggap cukup mendukung aktivitas nelayan. (3) Faktor-faktor internal yang berhubungan dengan terbentuknya kompetensi adalah: (a) usia; (b) jumlah tanggungan; (c) pegeluaran setiap bulan dan (d) pengalaman sebagai nelayan. Faktor yang paling mempengaruhi terbentuknya kompetensi nelayan adalah pengalaman sebagai nelayan. (4) Mutu sumber daya manusia nelayan adalah rendah, dicirikan dengan: (a) kompetensi yang rendah, terlihat dari kemampuan NPk merencanakan usaha rendah, kemampuan menyediakan modal usaha sedang, kemampuan NPk menangkap ikan rendah,
242 kemampuan memasarkan NPm dan NPk rendah, kemampuan memecahkan masalah usaha NPm dan NPk rendah, dan kemampuan memanfaatkan penghasilan NPk rendah; penyebab rendahnya kompetensi karena tidak berkembang sehingga tidak sesuai dengan kebutuhan usaha, akar permasalahnnya adalah kurang fokusnya pemerintah pada peningkatan kompetensi nelayan, dan tidak adanya dukungan wakil rakyat secara politik; (b) kemampuan memenuhi kebutuhan konsumen adalah rendah, diperlihatkan dari rendahnya produktivitas dan rendahnya keberlanjutan usaha; penyebab utamanya karena kompetensi nelayan yang rendah; (c) penghasilan NPk adalah rendah dan (d) kemampuan memenuhi kebutuhan hidup NPk adalah rendah. (5) Kompetensi nelayan perlu dikembangkan karena mempengaruhi: (a) kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen; (b) penghasilan nelayan dan (c) kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup. (6) Agar tercapai perubahan pada masyarakat nelayan, strategi pengembangan mutu SDM nelayan tidak hanya dilakukan pada diri nelayan namun juga pada keseluruhan lingkungan yang menentukan tercapainya perubahan yang diharapkan. (7) Ditetapkan strategi pengembangan sumber daya manusia nelayan yang berasal dari perpaduan satu strategi internal yang berakses pada diri nelayan ditambah dua belas strategi eksternal. Strategi ini disebut sebagai strategi inovasi sosial pengembangan mutu SDM nelayan secara komprehensif, atau dapat disingkat dengan strategi inovasi sosial pengembangan mutu SDM nelayan. (8) Strategi yang diterapkan untuk meningkatkan kompetensi nelayan, yaitu satu strategi internal melalui peningkatan, penyesuaian, dan pengembangan kompetensi yang diakukan pada diri nelayan, dan empat strategi dukungan lingkungan eksternal bagi peningkatan kompetensi, yaitu: (a) penyelenggaraan muatan lokal pendidikan kenelayanan pada daerah-daerah yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai nelayan dan membuka sekolah menengah kejuruan untuk nelayan;
(b)
penyelenggaraan pendidikan non formal melalui penyuluhan; (c) penetapan orientasi pembangunan kelautan dan perikanan untuk peningkatan SDM nelayan, keamanan usaha nelayan, dan kesejahteraan nelayan dan (d) pengembangan keterwakilan nelayan dalam bidang politik untuk kepentingan pengembangan SDM nelayan dan usahanya.
243 (9) Strategi yang diterapkan untuk meningkatkan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen, yaitu satu strategi internal melalui peningkatan, penyesuaian, dan pengembangan kompetensi yang diakukan pada diri nelayan, dan empat strategi dukungan lingkungan eksternal, yaitu: (a) hadirnya lembaga alternatif penyedia modal usaha; (b) fasilitasi kebutuhan usaha, meliputi: memberi kemudahan mendapatkan kredit: armada, mesin, bahan dan peralatan tangkap, teknologi penunjang penangkapan, dan kemudahan memperoleh perbekalan melaut; (c) pengembangan kelembagaan nelayan dan (d) mengoperasionalkan pusat informasi usaha. (10) Strategi yang diterapkan untuk meningkatkan penghasilan nelayan yaitu satu strategi internal melalui peningkatan, penyesuaian, dan pengembangan kompetensi yang diakukan pada diri nelayan, dan tiga strategi dukungan lingkungan eksternal, yaitu: (a) reformasi tata niaga hasil perikanan tangkap; (b) peningkatan kemampuan nelayan dalam memanfaatkan berbagai peluang pasar dan (c) diversifikasi usaha keluarga di bidang pengolahan hasil perikanan. (11) Strategi yang diterapkan untuk meningkatkan kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup yaitu: (a) satu strategi internal melalui peningkatan, penyesuaian, dan pengembangan kompetensi yang diakukan pada diri nelayan dan (b) satu strategi dukungan lingkungan eksternal melalui peningkatan kesejahteraan nelayan. (12) Strategi inovasi sosial pengembangan mutu SDM nelayan merupakan alat yang digunakan untuk mengantarkan perubahan pola perilaku nelayan dalam berusaha, yaitu dari nelayan tradisional menuju nelayan maju. Kesimpulan (1) sampai (12) merupakan jawaban dari tujuan penelitian, selanjutnya disampaikan kesimpulan (13) sampai (22) merupakan hasil temuan lain pada penelitian ini, yang dianggap penting untuk disampaikan. (13) Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa penyelenggaraan pembinaan bagi nelayan tidak akan bermuara pada kesejahteraan nelayan apabila hanya mengandalkan peningkatan produksi hasil tangkap. (14) Pola hubungan patron-klien di lokasi penelitian, terjadi dari ikatan hubungan antara pedagang ikan yang merangkap menjadi pemodal dan konsumen utama, dengan para nelayan pendatang (NPm maupun NPk).
244 (15) Alasan utama kedatangan nelayan pendatang ke Jakarta adalah karena memasarkan hasil tangkap di Jakarta lebih mudah dibandingkan memasarkan hasil tangkap di daerah masing-masing. (16) Pengakuan nelayan terhadap profesinya cukup baik, mereka bangga menjadi nelayan karena merasa pekerjaan tersebut merupakan panggilan hidup, ini dibuktikan dengan dicantumkannya pekerjaan sebagai nelayan di kartu tanda penduduk. (17) Dua alasan utama nelayan memilih profesi sebagai nelayan adalah karena alasan hubungan sosial, yaitu: (a) karena berasal dari keluarga nelayan dan (b) karena mengikuti teman. (18) Peran kelembagaan nelayan terhadap peningkatan usaha nelayan sangat rendah, terbukti dari: (a) kelompok nelayan yang tidak berfungsi; dan (b) koperasi nelayan yang tidak memberi dukungan nyata pada usaha nelayan, terlihat dari tidak adanya nelayan yang memanfaatkan kegiatan simpan pinjam dan (c) organisasi profesi yang tidak dikenal nelayan. (19) Keterbatasan modal merupakan alasan nelayan kurang berdaya mengadakan bahan baku atau perbekalan untuk melaut; dan tidak adanya lembaga penyedia modal usaha yang dapat diakses nelayan merupakan akar permasalahannya. (20) Nelayan tidak mampu melakukan diversifikasi usaha karena tidak mengalokasikan bahan baku untuk diversifikasi usaha. Seluruh hasil tangkap diserahkan pada pemodal atau langsung dijual. (21) Penyuluhan tidak memberikan kontribusi pada peningkatan kompetensi nelayan karena: (a) frekuensinya sangat sedikit; (b) materi yang diajarkan tidak sesuai kebutuhan nelayan untuk maju dan (c) tidak berkelanjutan, ini terlihat dari tidak dilakukannya penyuluhan pada tiga tahun terakhir, hingga saat penelitian dilakukan. (22) Telah terjadi pergeseran usaha di lokasi penelitian, dari nelayan menjadi pedagang ikan. Kondisi ini dibuktikan jumlah nelayan pemilik yang merupakan warga DKI Jakarta yang hanya sekitar 20 orang.
245 Saran (1)
Strategi inovasi sosial pengembangan SDM nelayan memerlukan dukungan yang serius dan komitmen yang tinggi dari berbagai pihak, maka dalam pelaksanaannya diperlukan sistem koordinasi yang baik dan standar operasional kerja. Untuk itu disarankan agar pemerintah: (a) merancang sistem koordinasi antara pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengembangan sumber daya manusia nelayan dan (b) membuat standar operasional kerja yang akan digunakan sebagai panduan bagi pihakpihak yang berperan dalam pengembangan SDM nelayan.
(2)
Untuk mengatur keseimbangan sumber daya perikanan dengan jumlah nelayan yang beroperasi maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan secara berkala tentang: (a) jumlah nelayan kecil; (b) jumlah nelayan besar; (c) jumlah nelayan asing yang mendapatt ijin masuk ke wilayah R.I dan (d) potensi perikanan dan kelautan. Selanjutnya ditindaklanjuti dengan pengaturan ijin melaut.
(3)
Untuk keperluan peningkatan kesejahteraan nelayan, disarankan: (a) ijin melaut dan diberikan prioritasnya untuk nelayan yang telah turun-temurun menjadikan melaut sebagai mata pencaharian utama keluarga dan (b) hanya memberikan ijin melaut pada nelayan yang aktif.
(4)
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk merancang standar operasional kinerja lembaga penyuluhan bidang perikanan dan kelautan, dan kompetensi yang diperlukan para penyuluhnya.
(5)
Perlu dirancang peran perguruan tinggi dan masyarakat luas. Agar SDM yang dihasilkan perguruan tinggi, hasil penelitian, dan pengabdian akademis, dapat memberi kontribusi nyata pada pengembangan usaha dan kesejahteraan nelayan; dan agar masyarakat luas dapat memberikan sumbangan pemikiran atau konsep alternatif pengembangan SDM Nelayan.
(6)
Perlu merancang pola keterwakilan politik bagi nelayan maupun stakeholder pembangunan lainnya, sehingga setiap kegiatan pembangunan dapat fokus pada pengembangan masyarakat, peningkatan kemajuan dan kesejahteraannya.
(7)
Disarankan tahapan pelaksanaan strategi inovasi sosial pengembangan mutu SDM nelayan untuk jangka pendek (1 s/d 2 tahun) dan jangka menengah (s/d 5 tahun).
246 - Jangka pendek (1 s/d 2 tahun): (a) Penetapan orientasi pembangunan kelautan dan perikanan untuk peningkatan SDM nelayan, keamanan usaha, dan kesejahteraannya. (b) Reformasi tata niaga perikanan (c) Persiapan dan penyelenggaraan pendidikan non formal melalui penyuluhan (d) Persiapan penyelenggaraan muatan lokal pendidikan kenelayanan pada kurikulum pendidikan formal (dilakukan di daerah-daerah yang sebagian besar penduduknya nelayan) dan persiapan pembukaan sekolah menengah kejuruan untuk nelayan. (e) Pengembangan keterwakilan nelayan dalam bidang politik untuk kepentingan pengembangan SDM nelayan dan usahanya. (f) Peningkatan kemampuan nelayan dalam memanfaatkan berbagai peluang pasar. Jangka menengah (s/d 5 tahun): (a) Hadirnya lembaga alternatif penyedia modal usaha nelayan (b) Adanya fasilitasi kebutuhan usaha nelayan (c) Pengembangan kelembagaan nelayan (d) Hadirnya dan beroperasinya sistem informasi usaha bagi nelayan (e) Penyelenggaraan muatan lokal pendidikan kenelayanan pada kurikulum pendidikan formal (dilakukan di daerah-daerah yang sebagian besar penduduknya nelayan). (f) Pembukaan sekolah menengah kejuruan untuk nelayan pada daerah-daerah yang terpilih (g) Diversifikasi usaha keluarga di bidang pengolahan hasil perikanan (h) Peningkatan kesejahteraan nelayan, misalnya dengan menyediakan fasilitas kredit rumah untuk nelayan dengan syarat yang dapat dipenuhi.
247
DAFTAR PUSTAKA Aguayo, R. 1991. Dr. Deming: The American Who Taught the Japanese About Quality. New York: Simon & Schuster. Akhmad Fauzi. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan, Isu, Sintesis, dan Gagasan. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Akhmad Fauzi dan Suzy Anna. 2005. Pemodelan Sumber Daya Kelautan untuk Analisis Kebijakan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. A. M. Hanafiah dan A. M. Saefuddin.1986. Tata Niaga Hasil Perikanan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Agus M. Hardjana. 2001. Training SDM yang Efektif. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Anas Sudijono. 2005. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Ancok. 1995. ”Validitas dan Realibilitas Instrumen Penelitian” dalam Metode Penelitian Survai. Diedit oleh Masri Singarimbun dan Sofian Effendi. Jakarta: LP3ES. Anugerah Nontji. 2005. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan. Arif Satria, Abubakar Umbari, Ahmad Fauzi, Ari Purbayanto, Endriatmo Sutarto, Ismudi Muchsin, Istiglaliyah Muflikhati, Muhamad Karim, Sudirman Saad, Wawan Oktariza dan Zulhamsyah Imran. 2002. Menuju Desentralisasi Kelautan. Jakarta: Kerjasama Pusat Kajian Agraria IPB, Partnership for Governance Reform in Indonesia dengan PT. Pustaka Cidesindo. A. Suhaenah Suparno. 2001. Membangun Kompetensi Belajar. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Balke, E. 2003. Know Your Self. Jakarta: PT Gramedia. Blalock, H. M. 1994. Pengantar Penelitian Sosial. Jakarta: Manajemen PT RajaGrafindo Persada. David, F. E. 2002. Manajemen Strategis. Jakarta: Pearson Education Asia Pte.Ltd dan PT.Prenhallindo. Djoko Susanto. 2003. “Modal Sosial Syarat Pembangunan Masyarakat Madani” dalam Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Diedit oleh: Ida Yustina dan Adjat Sudradjat. Bogor: IPB Press.
248 Dendasurono Prawiroatmodjo. 2005. Pendidikan Lingkungan Kelautan. Jakarta: Rhineka Cipta. Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Deporter, B dan M. Hernacki. 2002. Quantum Learning. Bandung: Kaifa. Djarwanto. 2003. Statistik Nonparametrik. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UGM. Tampubolon, D. P. 1996. Manajemen Mutu Terpadu di Perguruan Tinggi. Jakarta: HEDS Project. Eddy Yuwono. 2005. ”Artikel: Raksasa itu Belum Bangun Juga”. Media Agribisnis, Peternakan, dan Perikananan, Trobos No. 75, Desember 2005. PT Permata Wacana Lestari. Bogor. Edy Susilo. 2004. Perlu Manajemen Perikanan Berkelanjutan di Jawa Timur dalam Kusnadi. 2004. Polemik Kemiskinan Nelayan. Batul: Pondok Edukasi dan Pokja Pembaruan. F. Rahardi, Regina Kristiawati dan Nazaruddin. 2005. Agribisnis Perikanan. Depok: Penebar Swadaya. Hutabarat, Sahala dan S. M. Evans. 1984. Pengantar Oseanografi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Ida Bagoes Mantra dan Kasto. 1995. ”Penentuan Sampel” dalam Metode Penelitian Survai. Diedit oleh Masri Singarimbun dan Sofian Effendi. Jakarta: LP3ES. Irawan Soehartono. 2000. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Irzal Efendi Wawan Oktariza. 2006. Manajemen Agribisnis Perikanan. Depok: Penebar Swadaya Juliansyah Noor. 2003. Kenali Diri dan Pelanggan Anda. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Depok: Penebar Swadaya. Johana Soewono. 2002. ”Pendidikan Berbasis Kompetensi” dalam Pendidikan Berbasis Kompetensi. Diedit oleh: Alexander Jatmiko Wibowo dan Fandy Tjiptono. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya. Kusnadi. 2004. Polemik Kemiskinan Nelayan. Bantul: Pondok Edukasi dan Pokja Pembaruan.
249 Kuswadi dan Erna Mutiara. 2004. Delta Delapan Langkah dan Tujuh alat Statistik untuk Peningkatan Mutu Berbasis Komputer. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Kotler, Jatusripitak dan Maesince. 1997. The Marketing of Nations. Diterjemahkan oleh: Aldi Jenie. Pemasaran Keunggulan Bangsa. Jakarta: Penerbit P.T Prenhallindo. Keegan. 1996. Manajemen Pemasaran Global. Jakarta: Prenhallindo. LAN dan BPKP. 2000. Akuntabilitas dan Good Governance. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara. Martinis Yamin. 2005. Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi. Jakarta: Gaung Persada Press. Mulyadi, S. 2005. Ekonomi Kelautan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Margono Slamet. 2004. Diktat MMT dalam Penyuluhan Pembangunan. Bogor: Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Institut Pertanian Bogor. ________________ . 2003. Perspektif Ilmu Penyuluhan Pembangunan dalam Proses Tinggal Landas dalam Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Diedit oleh: Ida Yustina dan Adjat Sudradjat. Bogor: IPB Press. ________________ . 1974. Diktat Penyusunan Kurikulum Penyuluhan Pertanian dan Evaluasi Program-program Penyuluhan Pertanian pada Proyek Pembinaan Pendidikan dan Latihan Pertanian (Ciawi). Bogor. M. S. Wibisono. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Muh Farozin dan Kartika Nur Fathiyah. 2004. Pemahaman Tingkah Laku. Yogyakarta: Rhineka Cipta. Nikijuluw. 2002. Rezim Pengelolaan Sumber Daya Perikanan. Jakarta: Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3B) dengan PT Pustaka Cidesindo. Paul Suparno. 2002. ”Kompetensi Umum LulusanPerguruan Tinggi di Masyarakat Global” dalam Pendidikan Berbasis Kompetensi. Diedit oleh: Alexander Jatmiko Wibowo dan Fandy Tjiptono. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya. Pemerintah Republik Indonesia. 2005. Undang-undang No. 21 Tahun 2004 tentang Perikanan. Jakarta: Penerbit Sinar Grafika. Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. 2002. Rencana Strategis Pembangunan Propinsi DKI Jakarta 2002-2007. Jakarta: Pemerintah Propinsi DKI Jakarta.
250 Prabowo Tjitropranoto. 2005. Metode dan Desain Penelitian Penyuluhan. Materi Kuliah pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rachmat Pambudy. 2003. ”Penyuluhan dalam Sistem Usaha Agribisnis, Strategi Pengembangan Modal Usaha” dalam Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Diedit oleh Ida Yustina dan Sudrajat. Bogor: IPB Press. Ratna Sayekti Rusli. 2002. ”Kompetensi Akademik dan Kompetensi Emosional” dalam Pendidikan Berbasis Kompetensi. Editor: Alexander Jatmiko Wibowo dan Fandy Tjiptono. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya. Render dan Heizer. 1995. Prinsip-prinsip Manajemen Operasi. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Rokhimin Dahuri. 2004. Perjuangan Anak Nelayan Membangun Kelautan dan Perikanan. Jakarta: Bening Publishing. Rose, Colin dan J. M. Nicholl. 1997. Accelerated Learning for The 21stCentury. Bandung: Nuansa Potter, D.M. 1990. Bangsa yang Makmur. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sahlan Asnawi. 2002. Teori Motivasi dalam Pendekatan Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: Studia Press Saifuddin Azwar. 2005. Sikap Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sanapiah Faisal. 2001. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: Manajemen PT RajaGrafindo Persada. Singarimbun, M dan Sofian Effendi. 1995. Metode Penelitian Survai. Jakarta. LP3ES. Soebagio Atmodiwirio. 2002. Manajemen Pelatihan. Jakarta: Ardadizya Jaya. Soemarno Soedarsono. Character Building: Membentuk Watak. Jakarta: Elex Media Komputindo. Sri Suhartini dan Nur Hidayat. 2005. Tekno Pangan: Olahan Ikan Segar. Surabaya: Trubus Agrisarana. Sudarwan Danim. 2000. Metode Penelitian untuk Ilmu-ilmu Perilaku. Jakarta: PT Bumi Aksara. Sudirman dan Mallawa. 2004. Teknik Penangkapan Ikan. Jakarta: Rhineka Cipta.
251 Sumardjo, Jaka Sulaksana dan Wahyu Aris Darmono. 2004. Teori dan Praktik Kemitraan Agribisnis. Depok: Penebar Swadaya. Sumardjo. 2004. MMT dalam Penyuluhan Pembangunan. Materi Kuliah pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Supranto. 2004. Analisis Multivariat: Arti dan Interpretasi. Jakarta: Rhineka Cipta. Suseno. 2007. Menuju Perikanan Berkelanjutan. Jakarta: Pustaka Cidesindo. Sutawi dan David Hermawan. 2004. ”Mengurai Benang Kusut Kemiskinan Nelayan di Jawa Timur” dalam Polemik Kemiskinan Nelayan. Diedit oleh: Kusnadi. Bantul: Pondok Edukasi dan Pokja Pembaruan. Soedijanto Padmowihardjo. 1999. Materi Pokok Psikologi Belajar Mengajar. LUHT4. Modul 1-6. Jakarta: Universitas Terbuka. Soesarsono. 2002. Pengantar Kewirausahaan. Bogor: Jurusan Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor. Sofian Effendi dan Chris Manning. 1995. ”Prinsip-prinsip Analisa Data” dalam Metode Penelitian Survai. Diedit oleh: Masri Singarimbun dan Sofian Efendi. Jakarta: LP3ES. Sonny Sumarsono. 2004. Metode Riset Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu. Tenner, A. R. dan I. J. DeToro. 1992. Total Quality Management: Three Steps to Continous Improvement. Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company. Tika. 1997. Metode Penelitian Geografi. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Tim Penyusun Pedoman dan Penulisan Karya Tulis Ilmiah. 2007. Pedoman Penulisan dan Penyajian Karya Ilmiah. Bogor: Seri Pustaka IPB Press. Tridoyo Kusumastanto. 2003. Ocean Policy dalam Membangun Negeri Bahari di Era Otonomi Daerah. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Triguno. 2004. Budaya Kerja: Menciptakan Lingkungan yang Kondusive untuk Meningkatkan Produktivitas Kerja. Jakarta: PT Golden Trayon Press. Vincent Gaspersz. 2001. Total Quality Management. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Willy Susilo. 2004. How to Develop Competency. Jakarta: Varqista Quality & Management Consultants.
252 Winardi. 2001. Motivasi dan Pemotivasian dalam Manajemen. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Wursanto. 2003. Dasar-dasar Ilmu Organisasi. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Lampiran 1. Strategi Dukungan Lingkungan Eksternal untuk Peningkatan dan Pengembangan Kompetensi Nelayan ● Penyuluhan ● Interaksi dengan sesama nelayan ● Partisipasi dalam kegiatan pembaharuan ● Dsb
Pengalaman Belajar
+Kompetensi +Sikap thd Profesi + Motivasi Maju
1. Penetapan orientasi pembangunan kelautan dan perikanan untuk kepentingan peningkatan mutu SDM nelayan, keamanan usaha, dan kesejahteraan nelayan 2. Pendidikan formal 3. Dukungan bagi penyelenggaraan penyuluhan 4. Pengembangan keterwakilan nelayan dalam bidang politik
4 Strategi Dukungan
Feedback Proses pengembangan Mutu SDM Nelayan secara berkelanjutan
254
Lampiran 2. Strategi Dukungan Lingkungan Eksternal untuk Peningkatan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen ● Penyuluhan ● Interaksi dengan sesama nelayan ● Partisipasi dalam kegiatan pembaharuan ● Dsb
Pengalaman Belajar
+Kompetensi
Kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen meningkat
+Sikap thd Profesi + Motivasi Maju
1. Modal usaha 2. Fasilitasi kebutuhan usaha 3. Kelembagaan nelayan 4. Informasi usaha nelayan
4 Strategi Dukungan
Feedback Proses pengembangan Mutu SDM Nelayan secara berkelanjutan
255
Lampiran 3. Strategi Dukungan Lingkungan Eksternal untuk Peningkatan Penghasilan Nelayan dan untuk Peningkatan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Hidup
● Penyuluhan ● Interaksi dengan sesama nelayan ● Partisipasi dalam kegiatan pembaharuan ● Dsb
Pengalaman Belajar
+Kompetensi
Kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan konsumen meningkat
+Sikap thd Profesi + Motivasi Maju
Penghasilan nelayan meningkat 1. Peningkatan kesejahteraan nelayan
3 1
4 Strategi Dukungan
1. Reformasi tata niaga hasil perikanan tangkap 2. Peningkatan kemampuan nelayan memanfaatkan berbagai peluang pasar 3. Diversifikasi usaha keluarga di bidang pengolahan hasil perikanan
Feedback Proses pengembangan Mutu SDM Nelayan secara berkelanjutan
Kemampuan nelayan memenuhi kebutuhan hidup meningkat
256
257
Lampiran 4. Pelaksanaan Strategi Dukungan Lingkungan Eksternal untuk Peningkatan dan Pengembangan Kompetensi Nelayan No
Strategi Dukungan Lingkungan Eksternal untuk Peningkatan dan Pengembangan Kompetensi Nelayan
1.
Penetapan orientasi pembangunan kelautan dan perikanan untuk: peningkatan mutu SDM nelayan, keamanan usaha nelayan, dan kesejahteraan nelayan.
2.
Pendidikan formal: (dilakukan di daerah-daerah yang sebagian besar penduduknya nelayan): (1) Penyelenggaraan muatan lokal pendidikan kenelayanan pada kurikulum pendidikan formal (2) Membuka sekolah menengah kejuruan untuk nelayan
3.
4.
Dukungan penyelenggaraan penyuluhan
Pengembangan keterwakilan nelayan dalam bidang politik
Kegiatan Pokok
(1) Menjadikan kawasan pemukiman nelayan sebagai kawasan pembinaan (2) Memberi ijin melaut hanya pada nelayan aktif. (3) Mencegah beroperasinya kapal ilegal dan trawl (4) Menjaga dan melestarikan lingkungan kelautan (1) Penentuan dan pengesahan kurikulum muatan lokal (2) Menyiapkan sumber daya pendidik yang kompeten (3) Menyiapkan sumber pembiayaan gaji pengajar (4) Menyiapkan sumber pembiayaan kegiatan pendidikan (5) (1) (2) (3) (4) (5) (6)
Penyelenggara pendidikan Penentuan dan pengesahan kurikulum Menyiapkan sarana prasarana pendidikan Menyiapkan sumber daya pendidik yang kompeten Menyiapkan pembiayaan gaji pengajar Menyiapkan pembiayaan kegiatan pendidikan Menyiapkan dana perawatan, keamanan sarana prasarana pendidikan (7) Penyelenggara pendidikan (1) Penentuan dan pengesahan kurikulum penyuluhan (2) Menyiapkan sumber daya penyuluh yang kompeten (3) Menyiapkan pembiayaan kegiatan penyuluhan dan gaji penyuluh (4) Menyiapkan sarana prasarana penyuluhan (5) Penyediaan kapal penyuluhan (6) Kebersihan , perawatan, dan keamanan sarana prasarana penyuluhan (7) Pelaksana kegiatan penyuluhan Merancang dan mengembangkan akses politik nelayan hingga level kebijakan, sehingga tercipta kepedulian negara pada SDM nelayan dan usahanya.
Waktu Penyelenggaraan Jangka Pendek Jangka Menengah 1-2 Tahun s/d 5 tahun 9
9
9 9
9 9
9 9
9
258
Lampiran 5. Pelaksanaan Strategi Dukungan Lingkungan Eksternal untuk Peningkatan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen No
Strategi Dukungan Lingkungan Eksternal untuk Peningkatan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Konsumen
Kegiatan Pokok
Waktu Penyelenggaraan Jangka Pendek 1-2 Tahun
1
2
Modal usaha
Fasilitasi kebutuhan usaha:
3
Kelembagaan nelayan
4
Informasi usaha nelayan
Menyiapkan sistem dan standar operasional untuk lembaga alternatif penyedia modal usaha nelayan Beroperasinya lembaga-lembaga alternatif penyedia modal usaha yang dapat menyediakan modal usaha dengan persyaratan yang dapat dipenuhi nelayan, misalnya dengan menyelenggarakan kredit mikro. Menyiapkan sistem kredit: perbekalan, perolehan armada, mesin, bahan dan peralatan tangkap, dan teknologi penunjang disertai pelatihan penggunaannya. Beroperasinya sistem kredit: perbekalan, perolehan armada, mesin, bahan dan peralatan tangkap, dan teknologi penunjang disertai pelatihan penggunaannya. Membina Kelompok Nelayan untuk meningkatkan perannya bagi kemajuan usaha nelayan (1) Menyiapkan sistem informasi nelayan: kondisi sumber daya perikanan, kondisi lingkungan, cuaca, keamanan, permodalan, pemasaran, kebijakan pemerintah, pembelian dan perbaikan peralatan tangkap, penyelenggaraan pendidikan, dan lain-lain (2) Menyiapkan radio komunitas. (1) Beroperasinya sistem informasi nelayan: kondisi sumber daya perikanan, kondisi lingkungan, cuaca, keamanan, permodalan, pemasaran, kebijakan pemerintah, pembelian dan perbaikan peralatan tangkap, penyelenggaraan pendidikan, dan lain-lain (2) Beroperasinya radio komunitas.
Jangka Menengah s/d 5 tahun
9 9
9
9 9 9
9
259
Lampiran 6. Pelaksanaan Strategi Dukungan Lingkungan Eksternal untuk Peningkatan Penghasilan Nelayan dan untuk Peningkatan Kemampuan Nelayan Memenuhi Kebutuhan Hidup No
Strategi Dukungan Lingkungan Eksternal untuk Peningkatan Penghasilan
Kegiatan Pokok
Waktu Penyelenggaraan Jangka Pendek 1-2 Tahun
1
2
3
Reformasi tata niaga hasil perikanan tangkap
Merancang pola usaha alternatif untuk menggantikan pola usaha patron-klien 9
Membina Kelompok Nelayan untuk mencoba modal usaha bersama, dan membimbing pengaturan pola bagi hasil berdasarkan modal bersama Peningkatan kemampuan Membina nelayan agar: (1) mampu memanfaatkan peluang pasar , nelayan dalam memanfaatkan dan (2) mampu mengakses kerja sama dengan berbagai lapisan konsumen berbagai peluang pasar (skala lokal dengan memanfaatkan TPI dan pasar setempat, skala regional, dan skala ekspor) Diversifikasi usaha keluarga Menyiapkan pengembangan industri rumah tangga nelayan di bidang pengolahan hasil (diversifikasi usaha pengolahan hasil perikanan) perikanan dengan melibatkan isteri dan anggota keluarga nelayan.
9
1
Strategi Dukungan Kegiatan Pokok Lingkungan Eksternal untuk Peningkatan Kemampuan Memenuhi Kebutuhan Hidup Peningkatan (1) Pendataan tingkat pemenuhan kebutuhan dasar manusia/ butsarman pada kesejahteraan nelayan nelayan secara periodik (2) Melakukan koordinasi masalah kondisi pemenuhan kebutuhan dasar manusia/ butsarman pada nelayan dan upaya peningkatannya (1) Melakukan pendataan kebutuhan rumah nelayan (2) Mengatur pola kepemilikan rumah yang dapat dijangkau nelayan Membangun rumah nelayan Beroperasinya fasilitas kredit pemilikan rumah untuk nelayan dengan syarat yang dapat dipenuhi nelayan
9 9
9
9
Mengadakan pelatihan untuk menjalankan usaha keluarga. No
Jangka Menengah s/d 5 tahun
9
9 9 9
260
Lampiran 7. Contoh Industri Tradisional yang ada di Asia Tenggara (untuk kepentingan diversifikasi usaha) No
Produk
1
Pengukusan ikan
2 3
Pemasakan ikan Pengeringan ikan
4 5 6
Pengeringan ikan sotong Pengeringan ikan tuna kecil Pengasapan ikan
7
Fermentasi ikan
8
Kecap ikan
9
Pasta ikan dan udang
10
Pengecilan ukuran
11 12
Penepungan ikan Pengolahan lainnya
Nama Lokal Ikan pindang naya Ikan pindang banding/paso Ikan rebus Gananather Trey ngiet Ikan asin jambal roti Sotong kering Daing na bonito Trey chyer Ikan asap Nga gy chauk Phor-ok Peda Nagpi yecho Ngachin Kecap ikan Nam-pla Terasi Petis Belacan Nugget Burger ikan Plapon Kerupuk ikan
Negara Indonesia Indonesia Malaysia Myanmar Kamboja Indonesia Malaysia Philipina Kamboja Indonesia Myanmar Kamboja Indonesia Myanmar Myanmar Indonesia Thailand Indonesia Indonesia Brunei dan Malaysia Singapura Malaysia Thailand Indonesia Malaysia Myanmar Thailand
Sumber: Soon-Eong and Sen-Min, 2002, dalam Sri Suhartini dan Nur Hidayat (2005)
261
Lampiran 8. Negara Penghasil Terbesar pada Penangkapan Perikanan Laut dan Perikanan Darat No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Negara Cina Peru Amerika Indonesia Japan Chili India Rusia Thailand Norwegia
Jumlah (Juta ton) 16.6 8.8 4.9 4.5 4.4 4.3 3.8 3.2 2.9 2.7
Diolah dari FAO, 2004 (dalam Irzal dan Oktariza 2006)
Lampiran 9. Penyerapan Kredit Perbankan bagi Usaha Perikanan Tahun 2005 No
Jenis Usaha
Penyerapan Kredit (Rp) 1.218 triliun
1
Perikanan (tangkap dan budidaya)
2
Pergudangan
713.155 miliar
3
Konstruksi pelabuhan
371.310 miliar
4
Perdagangan
351.175 miliar
5
Industri makanan ternak dan ikan
292.164 miliar
6
Usaha lain
59.572 miliar
Sumber: DKP yang diekspoe di Media Agribisnis, Peternakan, dan Perikananan, Trobos No. 75, Desember 2005
262
Lampiran 10. Realisasi Pinjaman Tahun 2001-2004 Unit Simpan Pinjam Swamitra Mina I No
Tahun
Jumlah Pinjaman (Rp)
1
2001
1.300.600.000
2
2002
1.220.445.000
3
2003
2.343.100.000
4
2004
4.389.190.000
Jumlah
9.253.335.000
Sumber: Dokumen Koperasi Perikanan Mina Jaya DKI Jakarta, Tahun 2005
Lampiran 11. Laporan Bulanan per 30 September 2003 Kelompok Tani Nelayan Rampus Jaya No
Keterangan
1
Modal awal
2
Jumlah (Rp)
No
Keterangan
Jumlah (Rp)
48.075.500
1
Pinjaman lama
46.575.500
Tabungan lama
6.250.000
2
Pinjaman baru
21.250.000
3
Tabungan baru
13.735000
3
Pinjaman H.As+Us
950.000
4
Angsuran
13.958.000
4
Pinjaman Kamali
300.000
5
Jasa pinjaman
2.320.000
5
Tabungan keluar
6.810.000
6
Jasa Elyani
50.000
6
Inventaris
159.000
7
Jasa Administrasi
212.500
7
Transport
48.000
8
Jasa keluar
37.500
9
Jasa Nono
47.500
84.601.000
76.177.500 Saldo kas
Sumber: Dokumen Kelompok Tani Nelayan Rampus Jaya, Bulan September Tahun2003
8.423.500
263
Lampiran 12. Realisasi Retribusi Lelang Ikan 2001- 2004 Koperasi Perikanan Mina Jaya No
Tahun
1
2001
Produksi (Kg) 7.724.796
Omzet (Rp) 24.713.702.730
Retribusi (5%) 1.235.685.137
Bagian Mina Jaya 494.274.055
2
2002
8.472.899
31.010.341.545
1.550.517.077
620.206.831
3
2003
8.162.741
32.305.832.805
1.611.866.893
644.746.158
4
2004
8.109.197
33.186.963.330
1.630.334.853
664.133.941
Sumber: Dokumen Koperasi Perikanan Mina Jaya DKI Jakarta, Tahun 2005
Lampiran 13. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditas Perikanan 1997-2002 Tahun (Volume-ton) Komoditas 1997 Udang 93.043 Tuna/Cakalang/ Tongkol 82.868 Rumput laut 12.699 Mutiara 58 Ikan hias 810 Lainnya 384.941 Total 574.419 Nilai US$ 1.000 Udang 1.011.135 Tuna/Cakalang/ 189.433 Tongkol Rumput laut 10.522 Mutiara 15.081 Ikan hias 3.159 Lainnya 456.838 Total 1.686.168
1998 142.689 104.330 6.377 74 192 396.629 650.291
1999 109.650 90.581 25.084 73 2.778 416.438 644.608
2000 116.187 92.958 23.073 15 2.709 284.474 519.416
2001 128.830 84.205 27.874 22 2.682 243.503 487.116
2002 124.765 92.797 28.560 6 3.514 316.097 565.739
1.011.467 215.134
888.982 189.386
1.002.124 223.916
934.986 218.991
836.563 212.426
9.815 22.862 1.122 438.266 1.98.666
16.284 20.426 11.401 478.942 1.605.421
15.670 26.773 13.585 393.006 1.675.074
17.230 25.257 14.603 420.832 1.631.800
15.785 11.471 15.054 479.054 1.570.353
Sumber: Diolah dari BPS, 2005 (dalam Irzal dan Oktariza 2006)
264
Lampiran 14. Pertumbuhan Pembangunan Kelautan dan Perikanan Tahun 2004 Tahun 2000 PDB Perikanan Produksi Hasil Perikanan Eksport Hasil Perikanan Kosumsi Ikan Kesempatan Kerja Jumlah Nelayan Jumlah Pembudi Daya Ikan
Tahun 2004
Kenaikan 2000-2004
Rp.30.94 trilyun
Rp. 55.26 trilyun
15.66% per tahun
5.1 juta ton
6.8 juta ton
7.42% per tahun
US $ 1.6 miliar
US $ 2.1 miliar
7.16% per tahun
21.57 kg/kapita
23.18 kg/kapita
1.83% per tahun
3.1 juta orang
3.4 juta orang
2.595% per tahun
2.1 juta orang
2.4 juta orang
2.97 % per tahun
Sumber: Renstra DKP 2004-2009
265
Lampiran 15. Potensi Produksi Perikanan Tangkap di Perairan Laut Indonesia Kelompok Sumber Daya 1 2 3 4 5 6 Ikan Pelagis Besar Potensi (103 ton/pertahun) 27.67 66.08 55.00 193.60 104.12 106.51 Produksi (103 ton/pertahun) 32.27 33.16 137.82 85.10 29.10 37.46 Pemanfaatan (%) >100 53.21 >100 43.96 27.95 35.17 Ikan Pelagis Kecil Potensi (103 ton/pertahun) 147.30 621.50 340.00 605.44 132.00 379.44 Produksi (103 ton/pertahun) 132.70 205.53 507.53 333.35 146.47 119.43 Pemanfaatan (%) 90.15 33.07 >100 55.06 >100 31.48 Ikan Demersal 3 Potensi (10 ton/pertahun) 82.40 334.80 375.20 87.20 9.32 83.84 Produksi (103 ton/pertahun) 146.23 54.69 334.92 167.38 43.20 32.14 Pemanfaatan (%) >100 16.34 89.26 >100 >100 38.33 Ikan Karang Konsumsi 3 Potensi (10 ton/pertahun) 5.00 21.57 9.50 34.100 32.10 12.50 Produksi (103 ton/pertahun) 21.60 7.88 48.24 24.11 6.22 4.63 Pemanfaatan (%) >100 36.53 >100 70.70 19.38 37.04 Udang Pannaeid Potensi (103 ton/pertahun) 11.40 10.00 11.40 4.80 0.00 0.90 Produksi (103 ton/pertahun) 49.46 70.51 52.86 36.91 0.00 1.11 Pemanfaatan (%) >100 >100 >100 >100 0.00 >100 Lobster Potensi (103 ton/pertahun) 0.40 0.40 0.50 0.70 0.40 0.30 Produksi (103 ton/pertahun) 0.87 1.24 0.93 0.65 0.01 0.02 Pemanfaatan (%) >100 >100 >100 92.86 2.50 6.67 Cumi-cumi Potensi (103 ton/pertahun) 1.86 2.70 5.04 3.88 0.05 7.13 Produksi (103 ton/pertahun) 3.15 4.89 12.11 7.95 3.48 2.85 Pemanfaatan (%) >100 >100 >100 >100 >100 39.97 Total Potensi (103 ton/pertahun) 276.03 1.057.05 796.64 929.72 277.99 590.62 Produksi (103 ton/pertahun) 389.28 379.90 1.094.41 655.45 228.48 197.64 Pemanfaatan (%) >100 35.94 >100 70.50 82.49 33.46 Sumber: Ditjen Perikanan Tangkap, 2002 Dalam Irzal Effendi dan Wawan Oktariza, 2006. Keterangan: 1.Selat Malaka, 2.Laut Cina Selatan, 3.Laut Jawa, 4.Selat Makassar dan Laut Flores, 5.Laut Banda, 6.Laut Seram dan Teluk Tomini, 7.Laut Sulawesi dan Samudra Pasifik, 8.Laut Arafura, 9.Samudera Hindia
7
8
9
Perairan Indonesia
175.17 153.43 87.54
50.86 34.55 67.93
386.26 188.28 48.74
1.165.27 736.13 63.17
384.75 62.45 16.23
468.66 12.31 2.63
526.57 264.56 50.21
3.605.66 1.784.33 49.49
54.86 15.31 27.91
202.34 156.80 77.49
135.13 134.83 99.78
1.365.09 1.058.50 79.52
14.50 2.21 15.24
3.10 22.58 >100
12.88 19.42 >100
145.25 156.89 >100
2.50 2.18 87.20
43.10 36.67 85.08
10.70 10.24 95.70
94.80 259.94 >100
0.40 0.04 10.00
0.10 0.16 >100
1.60 0.16 10.00
4.80 4.08 85.00
0.54 1.49 >100
3.39 0.30 8.85
3.75 6.29 >100
28.25 42.51 >100
632.72 23711 37.47
771.55 263.37 34.14
1.076.89 623.78 57.92
6.409.21 4.069.42 63.49
266