LANGGAN BAGI NELAYAN MUARA-BINUANGEUN (Studi Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan Muara-Binuangeun, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten)
YAYAN SARYANI I34060139
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
ABSTRACT YAYAN SARYANI. I34060139. LANGGAN FOR FISHERMAN MUARA BINUANGEUN (Study of Local Wisdom In Fisherman Society MuaraBinuangeun, Subdistrict of Lebak, Province of Banten). Supervised by Saharuddin. Local wisdom that developed in fisherman society at Muara-Binuangeun village have characteristic which adjusted by environmentally society at that place and really be related with society livelihood that is as fisherman. One of developed local wisdom on fisherman society Muara-Binuangeun is Langgan. Langgan is one of local wisdom that gets to form rules or Norms, moral values in which managed mechanism that is carried on at in its to reach prosperous as economic that decided by side one engage in that system. Beside that, Langgan also can be definited as individual who gived capital to fishermen communityfor sailing at Muara-Binuangeun. Langgan were born from society initiative to solve them economy social problem. Upon happening poverty on society and its implication is society have no capital to go out to sea, at that moment evoked initiative to look for alternative in look for capital loan. Afterwards formed Langgan as initiations from that society. In its developing, as part of society culture, Langgan growing and develope becomes to outgrow as well as culture. Based on it also, therefore Langgan also experiences probability to changed as well as society social life and society culture. Base studi's result at the field, available three factor that regard change on Langgan. The third Factor that among those are: first, Intervensi Ulama passes through Islam, already prohibits practice Langgan. Second, Intervensi government policy via TPI (Auction place Fishes Out), where is TPI'S existence have revamped policy that at applies by Langgan. Third, Proverty and transfer profession that happening on society, where upon their livelihood as fisherman no longer keeps faith, therefore a lot of society changes over their profession and leave their work as fisherman.
Key Word: Local Wisdom, Fisherman and Langgan. ii
RINGKASAN YAYAN SARYANI. I34060139. LANGGAN BAGI NELAYAN MUARABINUANGEUN (Studi Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan MuaraBinuangeun, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten) Dibawah bimbingan Saharuddin. Masyarakat atau komunitas desa yang syarat dengan kebudayaan tradisional dan kearifan lokal yang dimilikinya menjadi objek kajian yang menarik untuk diteliti. Hal inilah yang kemudian menjadi menarik untuk di kaji lebih lanjut, yaitu mengenai bagaimana karakteristik kearifan lokal pada masyarakat nelayan di lokasi penelitian. Selain itu, akan dilihat juga sejauh mana kearifan lokal masyarakat nelayan tersebut dapat berubah serta faktor-faktor yang dapat menyebabkan perubahan itu terjadi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari dan mengidentifikasi karakteristik kearifan lokal masyarakat nelayan di wilayah penelitian, sehingga dapat diketahui bagaimana bentuk kearifan lokal yang terdapat pada masyarakat di tempat tersebut. Selanjutnya, terkait dengan adanya kemungkinan perubahan pada kebudayaan, maka tujuan yang kedua adalah untuk mengetahui bagaimana kearifan lokal itu berproses dan mengalami perubahan bentuk pada masyarakat nelayan yang bersangkutan. Disamping itu, berdasarkan tujuan kedua di atas, maka tujuan berikutnya adalah untuk mencari dan mengidentifikasi faktor-faktor penyebab perubahan yang mungkin terjadi pada kearifan lokal masyarakat tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Data yang diperoleh terdiri dari data sekunder dan data primer. Data sekunder yang merupakan catatan atau dokumen tentang desa ataupun hal yang berkenaan dengan fokus penelitian diperoleh dari pemerintah desa setempat. Sedangkan data primer diperoleh melalui Wawancara mendalam, Observasi berperan serta, Dokumentasi dan digunakan pula teknik Triangulasi jika ditemukan data yang validitas dan kredibilitasnya diragukan. Lokasi penelitian bertempat di desa Muara, kecamatan Wanasalam, kabupaten Lebak, Banten. Penentuan lokasi dilakukan secara purposive (sengaja). Sedangkan Waktu penelitian di mulai sejak bulan Januari 2010, sampai bulan April 2010. Dengan subyek penelitian adalah masyarakat nelayan yang tinggal di tempat penelitian dan masyarakat di luar tempat penelitian yang mengetahui banyak tentang aspek yang di teliti. Kearifan lokal yang berkembang pada masyarakat nelayan di Desa Muara-Binuangeun ini memiliki karakteristik yang disesuaikan dengan lingkungan masyarakat ditempat tersebut dan sangat berkaitan dengan sistem mata pencaharian masyarakat yaitu sebagai nelayan. Salah satu kearifan lokal yang berkembang pada masyarakat nelayan Muara-Binuangeun adalah kearifan lokal yang berkaitan dengan sistem sosial ekonomi masyarakat nelayan yaitu Langgan. Langgan adalah salah satu kearifan lokal yang berbentuk aturan-aturan khusus atau norma-norma, nilai-nilai yang mengatur mekanisme yang dijalankan didalamnya untuk mencapai tujuan kesejahteraan secara ekonomi yang ditetapkan oleh pihak pihak-pihak yang terlibat dalam sistem tersebut. Langgan juga dapat di artikan sebagai individu yang memberikan pinjaman modal pada komunitas nelayan untuk melaut di desa Muara. iii
Langgan terlahir dari inisiatif masyarakat dalam memecahkan masalah sosial ekonomi mereka. Pada saat kemiskinan terjadi pada masyarakat dan implikasinya adalah masyarakat tidak memiliki modal untuk melaut, pada saat itulah timbul inisiatif untuk mencari alternatif dalam mencari pinjaman modal. Kemudian terbentuklah Langgan sebagai wujud inisasi masyarakat tersebut. Layaknya lembaga pemberi modal lainnya, Langgan yang merupakan lembaga pemberi modal yang sifatnya tradisional, memiliki serangkaian tata aturan atau kesepakatan dalam proses atau mekanisme yang diterapkannya. Di dalam perkembangannya sebagai kebudayaan masyarakat, Langgan tumbuh dan berkembang menjadi besar seperti halnya kebudayaan. Berdasarkan hal ini juga, maka Langgan juga mengalami kemungkinan untuk berubah seperti halnya kehidupan sosial masyarakat dan kebudayaan masyarakat. Berdasarkan hasil studi di lapangan, terdapat tiga faktor yang mempengaruhi perubahan pada Langgan. Ketiga faktor tersebut diantaranya adalah : 1. Interfensi Ulama melalui Agama Islam, yang telah banyak membatasi bahkan mengharamkan praktek-praktek kearifan lokal yang dijalankan oleh masyarakat. Langgan di pandang sebagai suatu bentuk “riba” karena praktek Langgan ini mengharuskan para nelayan untuk membayar bunga yang sangat besar dari materi yang dipinjam nelayan. 2. Interfensi kebijakan pemerintah melalui TPI (Tempat Pelelangan Ikan), dimana keberadaan TPI, telah merubah sistem atau mekanisme yang diterapkan oleh Langgan. Langgan yang semula menerima langsung hasil tangkapan dari nelayan, dengan adanya TPI kini harus melalui administrasi TPI terlebih dahulu. Berdasarkan hal ini, TPI telah merubah kebijakan yang di terapkan oleh Langgan. 3. Kemiskinan dan perpindahan profesi yang terjadi pada masyarakat, dimana pada saat mata pencaharian sebagai nelayan tidak lagi menjanjikan, maka banyak masyarakat beralih profesi dan meninggalkan pekerjaan sebagai nelayan. Perpindahan profesi ini juga di picu oleh keinginan masyarakat yang besar untuk keluar dari masalah ekonomi. Hal inilah yang kemudian menjadi penyebab perubahan pada Langgan.
iv
LANGGAN BAGI NELAYAN MUARA-BINUANGEUN (Studi Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan Muara-Binuangeun, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten)
Oleh : Yayan Saryani I34060139
SKRIPSI Sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 v
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa
: Yayan Saryani
NIM
: I34060139
Judul Skripsi
: LANGGAN BAGI NELAYAN MUARA-BINUANGEUN (Studi Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan MuaraBinuangeun, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten)
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Saharuddin, MSi NIP. 19641203 199303 1 001 Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS. NIP. 19550630 198103 1 003 Tanggal Lulus: ……. .........................2010
vi
LEMBAR PERNYATAAN DENGAN
INI
SAYA
BERJUDUL “LANGGAN
MENYATAKAN
BAHWA
SKRIPSI
YANG
BAGI NELAYAN MUARA-BINUANGEUN
(STUDI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NELAYAN MUARABINUANGEUN, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN) ” BENARBENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA.
Bogor, ............................. 2010
Yayan Saryani I34060139
vii
RIWAYAT HIDUP Penulis adalah anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Satuni dan Ibu Siti. Penulis dilahirkan di Desa Kandang Sapi, Kecamatan Cijaku, Kabupaten Lebak, Banten pada tanggal 15 Juni 1987. Pada tahun 1994, penulis diterima sebagai siswa di MI/MA Ibtidaiyah Kandang Sapi Kecamatan Cijaku dan lulus pada tahun 2000. Kemudian pada tahun 2000-2003, penulis menempuh pendidikan di tingkat SMP N 1 Malingping. Tahun 2006 penulis lulus dari SMA N 1 Malingping dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Penulis memilih Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah aktif di kelembagaan mahasiswa DPM I FEMA, sebagai Ketua Komisi Internal dan aktif dibeberapa kepanitiaan di kampus seperti kepanitiaan Kemah Riset (KERIS), Masa Perkenalan Fakultas Ekologi Manusia dan Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, dan sebagainya. Di samping itu, penulis juga aktif di beberapa organisasi diluar Kampus, Seperti Lembaga Kemasyarakatan Desa Kandang Sapi, dan pernah tergabung dalam IKBC (Ikatan Keluarga Besar Cimande) di Kabupaten Bogor Cabang Ciherang. Selain kuliah, aktivitas lain yang juga dijalani adalah mengajar ekstrakulikuler di SMA Bina Putra, Kopo.
viii
KATA PENGANTAR Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Tema yang dipilih dalam skripsi ini ialah Peran kearifan lokal dalam pembangunan masyarakat, dengan judul “LANGGAN
BAGI
NELAYAN MUARA-BINUANGEUN (Studi Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan Muara-Binuangeun, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten)”. Skripsi ini di buat sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Di dalam skripsi ini, penulis mencoba untuk membahas kearifan lokal masyarakat nelayan di desa Muara-Binuangeun yaitu Langgan berdasarkan hasil penelitian. Pembahasan dimulai dari bagaimana karakteristik kearifan lokal pada masyarakat nelayan di Desa Muara-Binuangeun sampai dengan bagaimanakah kearifan lokal tersebut berproses dan mengalami perubahan dalam masyarakat nelayan di wilayah tersebut. Kemudian, terkait dengan adanya kemungkinan perubahan, bahasan dilanjutkan pada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perubahan kearifan lokal di wilayah tersebut. Melalui skripsi ini,
diharapkan
akan
memberi
manfaat untuk
pengetahuan dan masukan dalam menentukan kebijakan pembangunan. Melalui skripsi ini juga diharapkan akan menambah khasanah ilmu pengetahuan bagi setiap yang membacanya. Akhirnya, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat.
Bogor, April 2010 Yayan Saryani
ix
UCAPAN TERIMAKASIH Alhamdulillah, teriring rasa syukur dan terimakasih kepada Allah SWT, karena dengan rahmat dan hidayah-Nya serta nikmat yang diberikan oleh-Nya, penulisan skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya dan Insya Allah memuaskan. Selama penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak dukungan moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Ir. Saharuddin, MSi selaku dosen pembimbing atas bimbingan, arahan, dan sarannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA selaku dosen penguji utama. Terimakasih banyak atas arahan, saran dan perbaikan yang telah diberikan untuk memperbaiki skripsi penulis. 3. Ir. Murdianto, MSi selaku dosen penguji perwakilan dari Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Terimakasih atas koreksi dan saran untuk perbaikan skripsi penulis. 4. Ayah, Bunda dan Keluarga di rumah, yang telah memberikan semangat meskipun dari jauh, dan bantuan materil dalam menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih juga atas do’anya. 5. Keluarga besar Ma Kayah dan Mang Damiri, yang telah banyak membantu dalam mengumpulkan dan melengkapi data penelitian serta menjadi orang tua peneliti saat di lapangan. Terimakasih atas tempat tinggal dan makanan khas desa Muara. 6. Pak H. Hada, Pak H. Sar’an, Pak Yogi, Mas Kiki, Mas Hardani, Riswan, Rita, Suheni, Rosi, Pak Enjang, Vanny, Erlita, Pak Atmo dan Pak Dany dan seluruh warga desa Muara-Binuangeun yang telah membantu penulis dalam memperoleh data dan melengkapi data penelitian.
x
7. Ajat sudrajat, yang selalu mengantar dan mendampingi peneliti saat dilapangan. Terimakasih juga atas masukan yang diberikan dalam pembuatan skripsi ini. 8. Sahabat saya Azis, Yosa, Cecep, Hendra, Untung, Ogi, Kapten, Adha, Bedhil, Arif, Bayu, Ipung, Andris, Iren,Tia, Dea dan KPM’ers, 43. 9. Pihak lain yang telah ikut berkontribusi dalam penyelesaian skripsi ini, yang tidak bisa penulis sebut satu persatu. Semoga kita semua dapat meraih kesuksesan di dunia dan bahagia di akhirat. Amin.
xi
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .......................................................................................... ix UCAPAN TERIMAKASIH ................................................................................. x DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii DAFTAR TABEL .............................................................................................. xvi DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xvii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xviii BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1 1.1.
Latar Belakang.......................................................................................... 1
1.2.
Rumusan Masalah .................................................................................... 4
1.3.
Tujuan Penelitian ...................................................................................... 5
1.4.
Kegunaan Penelitian ................................................................................. 6
BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL ........................................................... 8 2.1.
Tinjauan Pustaka ...................................................................................... 8
2.1.1
Masyarakat Nelayan .......................................................................... 8
2.1.1.1 Sistem Sosial dan Ekonomi Nelayan ............................................ 8 2.1.1.2 Perubahan Sosial Masyarakat Nelayan ......................................... 15 2.1.1.3 Modal Sosial Masyarakat Nelayan ................................................ 17 2.1.2.
Kearifan Lokal ................................................................................ 20
2.1.2.1 Konsep Kearifan Lokal ............................................................... 20 2.1.2.2. Kasus-Kasus Aplikasi Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan di Indonesia ..................................................................................... 24 2.1.2.3. Pengelolaan Sumber Daya Perairan melalui Kearifan Lokal Masyarakat .................................................................................. 33 2.1.2.4. Perubahan Kearifan Lokal dan Faktor-faktor Penyebab Perubahan Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan .......................................... 35 2.2.
Kerangka Pemikiran ............................................................................... 51
2.3.
Hipotesis Pengarah ................................................................................. 52
2.4.
Definisi Konseptual ................................................................................ 52
xii
BAB III PENDEKATAN LAPANGAN ............................................................ 55 3.1.
Jenis Penelitian ....................................................................................... 55
3.2.
Metode Penelitian ................................................................................... 56
3.3.
Penentuan Subyek Penelitian ................................................................. 57
3.4.
Lokasi dan Waktu ................................................................................... 58
3.5.
Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 59
3.6.
Instrumen Penelitian .............................................................................. 60
3.7.
Teknik Analisis Data .............................................................................. 61
3.8.
Pengujian Kredibilitas Data ................................................................... 64
BAB IV GAMBARAN UMUM DESA MUARA-BINUANGEUN ................. 66 4.1.
Potensi Umum ........................................................................................ 66
4.1.1.
Sekilas Tentang Desa Muara........................................................... 66
4.1.2.
Batas Wilayah ................................................................................. 69
4.1.3.
Luas Wilayah .................................................................................. 69
4.1.4
Pertanian dan Perkebunan Masyarakat ........................................... 70
4.1.5
Peternakan dan Perikanan Masyarakat ........................................... 71
4.1.6.
Sumber Daya Air............................................................................. 73
4.2.
Potensi Sumber Daya Manusia .............................................................. 73
4.2.1.
Jumlah dan Tingkat Pendidikan Masyarakat .................................. 73
4.2.2.
Etnis Penduduk ............................................................................... 74
4.2.3.
Mata Pencaharian Penduduk ........................................................... 75
4.3
Potensi Kelembagaan ............................................................................ 77
4.3.1.
Kelembagaan Pemerintahan dan Kemasyarakatan ......................... 77
4.3.2.
Lembaga Ekonomi Masyarakat....................................................... 77
4.3.3.
Lembaga Pendidikan ....................................................................... 79
4.3.4.
Lembaga Adat ................................................................................. 79
4.3.5.
Lembaga Keamanan Desa ............................................................... 79
4.4.
Potensi Sarana dan Prasarana ................................................................. 80
4.4.1.
Sarana Umum .................................................................................. 80
4.4.2.
Sarana Kesehatan ............................................................................ 81
xiii
BAB V LANGGAN SEBAGAI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ....... 82 5.1.
Sejarah Langgan......................................................................................82
5.2.
Pengertian Sistem Langgan ................................................................... 86
5.3.
Struktur Organisasi Bisnis dalam Langgan ........................................... 93
5.4.
Jenis Langgan Berdasarkan Pengelolaan Hasil Tangkapan Nelayan .... 98
5.4.1. Langgan yang mengelola hasil tangkapan sendiri .............................. 98 5.4.2. Langgan yang mengelola hasil tangkapan bersama Bakul dan Pelele 99 5.4.3. Langgan yang merangkap Taweu ....................................................... 99 5.5.
Nelayan dalam Sistem Langgan .......................................................... 100
5.6.
Peran dan Fungsi Langgan Bagi Nelayan ............................................ 104
5.7.
Makna Langgan Bagi Masyarakat Nelayan Desa Muara .................... 106
5.8.
Langgan : Modal Sosial Dan Kebudayaan Masyarakat ....................... 111
5.8.1. Langgan Dan Modal Sosial Masyarakat ........................................... 112 5.8.2. Langgan Dan Kebudayaan Masyarakat..............................................116 5.9.
Dampak Keberadaan Langgan bagi Masyarakat Desa Muara..............117
5.9.1. Dampak Negatif dari Langgan...........................................................117 5.9.2. Dampak Positif dari Langgan.............................................................119 BAB VI SISTEM LANGGAN DAN PERUBAHANNYA...............................121 6.1.
Mekanisme Sistem Langgan Di Desa Muara-Binuangeun ................. 121
6.2.
Mekanisme Alur Pemasaran Dalam Langgan ..................................... 124
6.2.1.
Alur pemasaran dari Langgan ke Bakul dan Taweu ..................... 124
6.2.2.
Alur pemasaran dari Taweu ke Langgan dan Pelele..................... 125
6.2.3.
Mekanisme alur pemasaran dari Taweu ke Bakul dan Pelele ....... 126
6.2.4.
Mekanisme alur pemasaran dari Tekong ke Taweu dan Pelele .... 126
6.2.5.
Alur pemasaran monopoli oleh Langgan ...................................... 127
6.3.
Praktek Langgan : Dulu dan Sekarang serta Perubahan yang Menyertainya ........................................................................................ 128
BAB VII FAKTOR-FAKTOR PERUBAHAN PADA LANGGAN .............. 132 7.1.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Kearifan Lokal (Langgan) Pada Masyarakat Nelayan di Desa Muara-Binuangeun ..... 132
7.1.1. Interfensi Ulama melalui Agama Islam ............................................ 133
xiv
7.1.2. Interfensi kebijakan pemerintah melalui TPI .................................... 135 7.1.3. Kemiskinan dan perpindahan profesi yang terjadi pada masyarakat 136 7.2.
Faktor-faktor Penyebab Nelayan Terlibat Langgan ............................. 138
7.2.1.
Kondisi Alam ................................................................................ 139
7.2.2.
Budaya Masyarakat yang Konsumtif ............................................ 140
7.2.3.
Sikap Ketergantungan Nelayan Pada Alam .................................. 141
7.2.4.
Program Pemerintah Yang Tidak Mendukung Nelayan Dan Tidak Tepat Sasaran ................................................................................ 143
7.2.5.
Rendahnya Tingkat Pendidikan Nelayan ...................................... 144
BAB VIII PENUTUP ........................................................................................ 146 8.1. Kesimpulan .............................................................................................. 146 8.2. Rekomendasi ............................................................................................ 149 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 152 LAMPIRAN........................................................................................................155
xv
DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Kondisi Umum Masyarakat Pesisir Di Indonesia Tahun 2002.............9 Tabel 2.2. Tata Aturan dan Sanksi dalam Awig-awig di Lombok Barat..............32 Tabel 4.1. Data usaha peternakan masyarakat di Desa Muara sampai Tahun 2009.....................................................................................................71 Tabel 4.2. Data Jenis Ikan yang dihasilkan oleh masyarakat Di Desa Muara sampai Tahun 2009.............................................................................72 Tabel 4.3. Data Tingkat Pendidikan masyarakat di Desa Muara berdasarkan jenis kelamin sampai Tahun 2009...............................................................74 Tabel 4.4. Data etnis masyarakat di Desa Muara berdasarkan jenis kelamin sampai Tahun 2009.............................................................................75 Tabel 4.5. Data Mata pencaharian masyarakat di Desa Muara berdasarkan jenis kelamin sampai Tahun 2009...............................................................76 Tabel 4.6. Data Sarana Kesehatan di Desa Muara sampai Tahun 2009...............81
xvi
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1.
Kerangka Pemikiran.........................................................................51
Gambar 3.1. Komponen dalam analisis data (interactive model) (Sugiyono 2009: 92)......................................................................................................62 Gambar 4.1. Tempat wisata di desa Muara-Binuangeun......................................68 Gambar 4.2.
Usaha pembuatan ikan asin.............................................................76
Gambar 5.1.
Aktivitas di Tempat Pelelangan Ikan (TPI).....................................92
Gambar 5.2.
Stratifikasi sosial komunitas nelayan Desa Muara berdasarkan sistem mata pencaharian di laut......................................................93
Gambar 5.3.
Struktur organisasi bisnis pada Langgan di desa Muara-Binuangeun Lebak Banten. ................................................................................95
Gambar 5.4.
Jaring Kursin (kiri) dan jaring rampus (kanan)..............................98
Gambar 5.5.
Perahu
nelayan
yang
rusak
dan
tidak
di
perbaiki
oleh
Langgan........................................................................................103 Gambar 5.6.
Nelayan payang yang beraktivitas pada siang hari.......................104
Gambar 5.7.
Kehidupan sosial nelayan..............................................................107
Gambar 5.8.
Modal sosial masyarakat dalam Langgan.....................................116
Gambar 6.1.
Gambar ikan yang di tangkap dengan jaring rampus (Gambar A), dan gambar ikan yang di tangkap dengan jaring nilon (Gambar B)..................................................................................................122
Gambar 6.2.
Alur pemasaran dari Langgan ke Bakul dan Taweu....................125
Gambar 6.3.
Alur pemasaran dari Taweu ke Langgan dan Pelele....................126
Gambar 6.4.
Mekanisme alur pemasaran dari Taweu ke Bakul dan Pelele......126
Gambar 6.5.
Mekanisme alur pemasaran dari Tekong ke Taweu dan Pelele....127
Gambar 6.6.
Alur pemasaran monopoli oleh Langgan.....................................128
Gambar 6.7.
Mekanisme sistem Langgan di masa lalu.....................................131 xvii
Gambar 6.8.
Mekanisme sistem Langgan saat ini.............................................131
Gambar 7.1. Mesjid tempat berkumpulnya para ulama ....................................135 Gambar 7.2.
Potret kehidupan masyarakat........................................................137
xviii
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran I.
Data Narasumber Saat Penelitian.................................................156
Lampiran II. Panduan Pertanyaan.....................................................................157 Lampiran III. Jadwal Penelitian..........................................................................161
xix
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kajian tentang masyarakat nelayan pedesaan merupakan salah satu kajian ilmu sosial yang sangat penting. Masyarakat atau komunitas desa yang syarat dengan kebudayaan tradisional dan kearifan lokal yang dimilikinya menjadi objek kajian yang menarik untuk diteliti. Pada prakteknya, kebudayaan lokal termasuk kearifan lokal yang dimiliki masyarakat saat ini mulai ditinggalkan karena berbagai faktor tertentu. Kearifan lokal yang mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan sosialnyalah yang dapat bertahan dan terus mengalami penguatan. Misalnya dalam tata aturan atau kepercayaan masyarakat yang semula banyak dipengaruhi oleh sistem kearifan lokal yang lebih berorientasi pada aspekaspek ekologi, kini banyak didominasi oleh modernisasi yang seolah-olah memandang tabu kearifan lokal yang ada di masyarakat (Sartini, 2004). Sesuai dengan pernyataan Gadgil dkk, yang dikutip oleh Mitchell (2007: 298), bahwa pengetahuan lokal masyarakat yang terakumulasi sepanjang sejarah hidup mereka memiliki peran yang sangat besar dimana pandangan bahwa manusia merupakan bagian dari alam dan sistem kepercayaan yang menekankan penghormatan pada alam yang merupakan nilai positif untuk pembangunan yang berkelanjutan. Kedekatan masyarakat lokal dengan lingkungan inilah kemudian melahirkan suatu pola pemanfaatan sumberdaya melalui “uji coba”, yang kini telah mengembangkan pemahaman terhadap sistem ekologi yang mereka kelola dan manfaatkan tersebut (Mitchell, 2007: 299). Dengan demikian, kearifan lokal tidak hanya berfungsi sebagai ciri khas suatu komunitas saja, tetapi juga berfungsi 1
sebagai upaya untuk pelestarian lingkungan ekologis suatu komunitas masyarakat. Misalnya pada beberapa komunitas masyarakat nelayan tradisional yang masih menggunakan kearifan lokal mereka dalam menangkap ikan ataupun pada saat melaut. Kearifan lokal yang sampai saat ini dipraktikan oleh beberapa masyarakat lokal khususnya masyarakat nelayan dibeberapa daerah di Indonesia, mengalami kemunduran dalam pengaplikasiannya. Banyak faktor yang menyebabkan perubahan ini terjadi. Faktor tersebut misalnya adalah masuknya teknologi baru yang kurang memperhatikan keseimbangan lingkungan dalam menangkap ikan. Pada tahap awal, pengaruh teknologi baru dalam menangkap ikan ini dapat meningkatkan pendapatan nelayan. Akan tetapi, implikasi yang terjadi kemudian adalah kerusakan pada ekosistem perairan di laut akibat over fishing, over exploitation, dan cara penangkapan yang tidak memperhatikan keseimbangan lingkungan. Kemudian berpengaruh pada menurunnya pendapatan masyarakat bahkan lebih parah dari sebelum teknologi baru itu masuk. Lebih jauh, hal ini juga akan berimplikasi pada sistem mata pencaharian masyarakat nelayan sekitar. Dimana pada saat laut mulai rusak, pendapatan nelayan tidak menjanjikan lagi, saat itulah nelayan mencari alternatif baru untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara berpindah atau mencari mata pencaharian baru di sektor lain. Misalnya saja kasus yang terjadi di lahan tanah timbul Segara Anakan, Nusakambangan. Nelayan yang terdapat di Nusakambangan kemudian berpindah mata pencaharian pada saat sumber daya perairan yang sebelumnya menjadi tumpuan hidup mereka tidak lagi menjanjikan akibat praktek pemanfaatan Sumber Daya Perairan (SDP) yang tidak memperhatikan aspek-aspek keseimbangan
2
lingkungan. Mereka mulai membuka tanah timbul Nusakambangan, dan beralih mata pencaharian dari nelayan menjadi petani di lahan tanah timbul Nusakambangan (Khuriyati, 2005). Hal inilah yang kemudian menjadi menarik untuk di kaji lebih lanjut, yaitu mengenai bagaimana aplikasi kearifan lokal masyarakat nelayan pada lokasi penelitian yaitu desa Muara-Binuangeun, kecamatan Wanasalam, kabupaten Lebak, provinsi Banten. Selanjutnya, dengan melihat kasus yang terjadi pada Nelayan Nusakambangan dan dengan melihat kemungkinan perubahan sosial yang mungkin terjadi pada masyarakat, merujuk pendapat Sartini (2004: 114-115) bahwa : “Dengan melihat kearifan lokal sebagai bentuk kebudayaan yang kompleks, maka ia akan mengalami reinforcement secara terus-menerus menjadi yang lebih baik. Oleh karena itu maka kearifan lokal sebagai manifestasi kebudayaan yang terjadi dengan penguatan-penguatan dalam kehidupannya menunjukkan sebagai salah satu bentuk humanisasi manusia dalam berkebudayaan. Artinya sebagai manifestasi humanitas manusia, kearifan lokal dianggap baik sehingga ia mengalami penguatan secara terus menerus. Tetapi, apakah ia akan tetap menjadi dirinya tanpa perubahan, benturan kebudayaan akan menjawabnya.” Berdasarkan pernyataan tersebut, maka ingin dilihat juga sejauh mana kearifan lokal masyarakat nelayan tersebut dapat berubah serta faktor-faktor yang dapat menyebabkan perubahan itu terjadi. Tentu saja terlebih dahulu harus dapat melihat bagaimana kearifan lokal itu berproses dan bagaimana karakteristik dari kearifan lokal itu sendiri. Sehingga kemudian akan dapat dilihat, apakah kearifan lokal tersebut sebagai produk kebudayaan masyarakat mengalami perubahan atau tidak karena kearifan lokal tersebut terus beradaptasi dengan lingkungan. Maksudnya adalah ingin melihat apakah kearifan lokal masyarakat juga ikut
3
berubah seiring dengan perubahan sosial masyarakat dan adanya benturan kebudayaan pada masyarakat.
1.2.
Rumusan Masalah Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat nelayan merupakan modal sosial
masyarakat dalam bentuk suatu kebijakan tradisional ataupun pengetahuan lokal suatu komunitas tertentu. Aplikasi dari kearifan lokal ini akan memberi pedoman bagi masyarakat lokal dalam menjaga dan melestarikan lingkungan ekologinya serta dalam mencari sumber nafkah sehingga menjadi tolok ukur masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari. Karena itu, identifikasi dari aplikasi kearifan lokal ini dianggap penting untuk mengetahui sejauh mana kearifan lokal dapat bertahan hidup di masyarakat dan sejauh mana kearifan lokal mampu beradaptasi dengan perubahan yang mungkin terjadi pada masyarakat. Di sisi lain, Sartini (2004: 114) menjelaskan bahwa kearifan lokal sebagai bentuk dari suatu kebudayaan, tentu saja akan mengalami reinforcement secara terus menerus untuk menjadi lebih baik. Akan tetapi, dengan adanya benturan kebudayaan yang dapat menyebabkan perubahan pada kebudayaan, bukan suatu hal yang mustahil jika perubahan kebudayaan ini berimplikasi juga pada perubahan kearifan lokal masyarakat. Hal ini mengingat kearifan lokal merupakan bentuk dari kebudayaan yang berlaku di masyarakat. Setelah melihat bagaimana aplikasi kearifan lokal atau bagaimana kearifan lokal tersebut berproses dibeberapa daerah di Indonesia, ternyata masing-masing daerah memiliki kesamaan dan perbedaan dalam hal karakteristik kearifan lokalnya. Perbedaan ini bergantung pada dimana kearifan lokal tersebut di
4
terapkan. Perbedaan ini juga didasarkan atas keadaan wilayah geografis, demografis, sosial ekonomi dan politik yang terjadi dan berkembang pada masyarakat. Kemudian dengan mengacu pada beberapa hal tersebut, maka masalahmasalah yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah : 1. Bagaimana karakteristik kearifan lokal pada masyarakat nelayan di Desa Muara-Binuangeun ? 2. Bagaimanakah kearifan lokal tersebut berproses dan mengalami perubahan dalam masyarakat nelayan di wilayah tersebut ? 3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan kearifan lokal di wilayah tersebut ?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka informasi yang akan dicari untuk menjawab rumusan masalah tersebut antara lain adalah bentuk-bentuk kearifan lokal yang terdapat di wilayah penelitian, dan mengidentifikasi perubahan yang mungkin terjadi pada kearifan lokal terkait dengan adanya benturan kebudayaan (dimana kearifan
lokal
merupakan suatu bentuk
kebudayaan). Sehingga pada saat budaya dan kondisi sosial masyarakat mengalami perubahan, maka bukan hal yang tidak mungkin kearifan lokal juga dapat berubah. Untuk mengetahui hal tersebut, maka tujuan dari mengkaji permasalahan di atas adalah :
5
1. Mencari dan mengidentifikasi karakteristik kearifan lokal masyarakat nelayan di wilayah penelitian, sehingga dapat diketahui bagaimana bentuk kearifan lokal yang terdapat pada masyarakat di tempat tersebut. 2. Terkait dengan adanya kemungkinan perubahan pada kebudayaan, maka tujuan yang kedua adalah untuk mengetahui bagaimana kearifan lokal itu berproses dan mengalami perubahan pada masyarakat nelayan yang bersangkutan. 3. Berdasarkan tujuan kedua di atas, maka tujuan berikutnya adalah untuk mencari dan mengidentifikasi faktor-faktor penyebab perubahan yang mungkin terjadi pada kearifan lokal masyarakat, sehingga selanjutnya dapat menentukan bagaimana aksi alternatif dalam melestarikan kearifan lokal masyarakat untuk pembangunan yang berkelanjutan di kemudian hari pada wilayah penelitian
khususnya dan wilayah lain pada umumnya (jika
karakteristik wilayah lain sama dengan karakteristik tempat penelitian), berdasarkan kearifan lokal masyarakat.
1.4. Kegunaan Penelitian Kajian tentang aplikasi kearifan lokal masyarakat desa pesisir dalam kehidupan komunitas nelayan dan kemungkinan adanya perubahan pada kearifan lokal tersebut ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua kalangan masyarakat. Dengan demikian, selain akan menjadi sumber pengetahun ataupun informasi, juga di harapkan akan memotivasi masyarakat dalam melestarikan kearifan lokal masyarakat setempat. Adapun kegunaan penelitian ini antara lain adalah :
6
1. Bagi Peneliti : dapat menganalisis bagaimana aplikasi kearifan lokal di lokasi penelitian yang kemudian dapat mengidentifikasi bagaimana kearifan lokal itu berubah dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan kearifan lokal tersebut. 2. Bagi Akademisi : dapat dijadikan sebagai sumber informasi ataupun referensi bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya. Disamping itu juga, dapat menambah khasana ilmu pengetahuan untuk yang membacanya. 3. Bagi masyarakat : kegunaannya antara lain adalah ; bagi masyarakat nelayan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang kearifan lokal yang mereka miliki sehingga akan timbul semangat dalam melestarikan kearifan lokal yang mereka miliki tersebut jika kearifan lokal tersebut dipandang baik oleh masyarakat. Sementara bagi masyarakat umum, penelitian ini diharapkan akan berkontribusi dalam memberikan informasi yang dapat memotivasi masyarakat umum dalam menjaga dan melestarikan kearifan lokal sebagai modal sosial masyarakat untuk pembangunan. 4. Bagi pemerintah : penelitian ini dapat dijadikan informasi yang diharapkan akan dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dalam menentukan kebijakan pembangunan. Dengan demikian, diharapkan kebijakan tersebut akan selaras dan memperhatikan kearifan lokal suatu komunitas terentu di suatu wilayah Di Indonesia.
7
BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL
2.1.
Tinjauan Pustaka
2.1.1
Masyarakat Nelayan
2.1.1.1 Sistem Sosial dan Ekonomi Nelayan Masyarakat nelayan merupakan komunitas masyarakat yang umumnya hidup disekitar pantai dan bermata pencaharian atau mencari nafkah di laut. Kusnadi (2007b: 63), mendefinisikan desa nelayan sebagai suatu desa dimana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai penangkap ikan di laut. Sementara Satria (2009b: 24), mendefinisikan masyarakat pesisir sebagai : “Sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumber daya pesisir”. Jadi, laut merupakan lahan sekaligus sumber mata pencaharian bagi mereka. Sebagian besar nelayan yang ada di Indonesia tergolong nelayan tradisional dan buruh nelayan (Kusnadi 2007b: 1). Posisi sebagai nelayan tradisional dan buruh ini membuat mereka menjadi sebagai masyarakat yang memiliki akses terbatas terhadap Sumber Daya Perairan (SDP) dan masih dikendalikan oleh nelayan besar. Misalnya saja nelayan besar yang memakai teknologi baru membuat nelayan tradisional kesulitan dalam menangkap ikan dan buruh nelayan yang bekerja pada nelayan besar, seolah dibuat tidak bisa lepas dari kekuasaan nelayan besar tersebut. Hal inilah yang kemudian menjadi masalah sosial-ekonomi yang sulit diselesaikan oleh para nelayan di Indonesia. Salah satu implikasinya adalah kemiskinan.
8
Satria (2009b: 25) menggambarkan posisi nelayan di Indonesia dalam sebuah tabel dibawah ini : Tabel 2.1. Kondisi Umum Masyarakat Pesisir Di Indonesia Tahun 2002. Kondisi Masyarakat Pesisir
No. 1.
Desa pesisir
2.
Masyarakat pesisir
3.
Jumlah 8.090 desa 16.420.000 jiwa
-Nelayan
4.015.320 jiwa
-Pembudidaya
2.671.400 jiwa
-Masyarakat pesisir lainnya
9.733.280 jiwa
Prosentase yang hidup dibawah garis kemiskinan (32,14%)
5.254.400 jiwa
Sumber : DKP (2007) dalam Satria (2009b: 25). Di dalam bukunya yang lain, Satria (2009a: 336), menyebutkan bahwa secara sosiologis karakteristik masyarakat nelayan berbeda dengan karakteristik masyarakat petani dalam pengelolaan atau dalam memanfaatkan lahan untuk mencari nafkah. Nelayan menghadapi sumber daya yang tidak terkontrol dimana pada saat hasil tangkapan berkurang, maka nelayan tersebut harus mencari lahan baru. Artinya adalah nelayan lebih dipengaruhi oleh kondisi alam dan produktivitas tempat mereka mencari nafkah. Sementara masyarakat petani dapat mengontrol atau berada pada lahan yang terkontrol. Pada saat penghasilan mulai berkurang, petani dapat melakukan usaha peningkatan lahan melalui intensifikasi pertanian, mekanisasi pertanian dan sebagainya dalam satu lahan yang sama. Secara
garis
besar,
kemiskian
pada
masyarakat
nelayan
dapat
diklasifikasikan menjadi tiga berdasarkan faktor penyebabnya yaitu kemiskinan struktural, kemiskinan kultural dan kemiskinan alamiah. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh struktur sosial, ekonomi dan sistem
9
politik yang tidak kondusif dan selalu berubah-ubah seiring perubahan yang terjadi pada sistem pemerintahan. Kemiskinan kultural lebih banyak disebabkan oleh faktor kebudayaan masyarakat misalnya kemalasan, sifat konsumtif, berfikir fatalistik, dan sebagainya sehingga kondisi masyarakat nelayan cenderung lemah. Sedangkan kemiskinan alamiah adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi alam yang tidak dapat dikontrol dan sumber daya alam yang terbatas untuk dimanfaatkan oleh masyarakat nelayan (Satria, 2009: 25). Ketiga jenis kemiskinan ini saling berkaitan satu sama lain. Ketiga jenis kemiskinan ini pulalah yang mengakibatkan “sistem patron-klien” dalam sistem pola nafkah nelayan yang sampai saat ini berkembang dengan baik. Dimana sistem patron-klien ini bukan memberikan kesejahteraan, malah memperburuk keadaan nelayan. Sedangkan Masyhuri (2000: 8) menyimpulkan bahwa kemiskinan nelayan lebih disebabkan oleh struktur ekonomi nelayan dan bukannya pada sumber daya yang terbatas. Kemiskinan struktural dipahami Masyhuri sebagai suatu kondisi yang dimiliki oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosialnya, mereka tidak dapat menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Dengan demikian, permasalahan kemiskinan struktural berkaitan erat dengan pemerataan akses terhadap sumber daya yang tersedia. Sistem mata pencaharian masyarakat nelayan yang umumnya tertuju pada sektor perikanan laut, memaksa mereka untuk selalu selaras dengan alam. Dimana kondisi ini menyebabkan para nelayan bergantung dan dipengaruhi oleh alam. Karakteristik inilah yang kemudian berimplikasi pada tingkat pendapatan dan resiko yang mungkin bisa terjadi saat penangkapan ikan di laut. Untuk mengantisipasi masalah tersebut, maka jaringan atau relasi patron-klien yang
10
sangat kuat, beragam, dan mencakup semua segi ekonomi masyarakat tumbuh dan berkembang dengan baik pada masyarakat nelayan. Relasi patron-klien ini lebih kuat jika dibandingkan dengan masyarakat lain diluar nelayan (Kusnadi, 2007b: 9). Relasi patron-klien ini merupakan cara terakhir yang dilakukan nelayan pada saat mereka mengalami kesulitan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Masyhuri dan Nadjib (2000: 12-13), di dalam bukunya mengatakan bahwa terdapat tiga cara yang dilakukan nelayan pada saat mereka mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Cara yang pertama adalah melalui ”lawuhan” setiap kali melaut. ”Lawuhan” adalah
hak nelayan ABK untuk
mengambil ikan secukupnya ketika melaut untuk keperluan auk-pauknya seharihari. Ikan hasil lawuhan ini biasanya dijual dan hasilnya digunakan untuk keperluannya sehari-hari. Apabila hasil lawuhan ini tidak mencukupi kebutuhan mereka, maka cara yang kedua adalah menjual barang-barang yang mereka miliki, atau istilahnya di sebut ”sangon barat”. Pada musim barat, nelayan biasanya sulit melaut akibat cuaca buruk. Pendapatan yang besar pada awal musim barat merupakan bekal pada musim barat (biasanya disimpan dalam bentuk barangbarang rumah tangga seperti TV atau alat elektronik lainnya). Jika musim barat masih berkepanjangan dan cara kedua tadi tidak dapat mencukupi kebutuhan mereka, maka cara ketiga adalah dengan meminjam uang pada Juragan darat tempat mereka bekerja. Fenomena seperti ini merupakan latar belakang suburnya hubungan patron klien dikalangan masyarakat nelayan antara juragan darat / tengkulak / toke dengan nelayan.
11
Relasi patron-klien ini juga berkemabang karena sampai dengan saat ini nelayan masih belum menemukan lembaga / institusi yang mampu menjamin dan mampu mengakomodasi kebutuhan sosial-ekonomi nelayan. Satria (2009a), mengutip kembali Legg (1983) dalam Masyhuri (1999), mengungkapkan bahwa hubungan patron-klien secara umum berkaitan dengan : “ 1. Hubungan diantara pelaku yang menguasai sumber daya tidak sama. 2. Hubungan yang bersifat khusus yang merupakan hubungan pribadi yang mengandung kekerabatan. 3. Hubungan yang didasarkan atas asas saling menguntungkan.” Beradasarkan hal tersebut di atas, terlihat adanya tingkat penguasaan yang berbeda terhadap sumber daya. Patron (pemilik modal) menguasai sumber daya modal lebih besar dari pada kliennya (nelayan). Tingkat penguasaan sumberdaya yang berbeda ini mengakibatkan posisi tawar nelayan menjadi rendah. Implikasinya adalah timbulnya ketergantungan terhadap para patronnya dalam hal modal untuk usaha sebagai nelayan. Kondisi ini dikelola oleh para patron untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dari para kliennya. Hal inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya kemiskinan yang sulit untuk diselesaikan. Tidak ada pilihan bagi nelayan karena akibat adanya kebutuhan yang mendesak sementara tidak ada lembaga yang memiliki fungsi yang lebih baik dari relasi patron-klien, maka jalan satu-satunya adalah menjalin hubungna dengan para pemilik modal atau patronnya. Semula nelayan berharap akan sama-sama menguntungkan, akan tetapi pada kenyataannya, hubungan ini berubah menjadi hubungan yang sifatnya mengeksploitasi nelayan lokal (klien), dan pola hubungan ini sengaja dipelihara oleh patronnya. Hal ini merupakan sisi negatif dari relasi patron-klien. Sedangkan sisi positif relasi patron-klien adalah dengan adanya pola
12
relasi
ini
ternyata
mampu
membawa
nelayan
keluar
dari
perangkap
keterbelakangan. (Masyuri (1999) dalam Satria (2009a: 339)). Menurut pandangan nelayan, (perspektif emic), bahwa kuatnya jalinan relasi patron-klien pada masyarakat nelayan disebabkan oleh kegiatan perikanan yang penuh resiko dan ketidakpastian sehingga tidak ada pilihan lain selain bergantung pada patronnya sebagai pemilik modal. Ketergantungan ini berawal dari terjadinya musim paceklik yang mengakibatkan hasil tangkapan berkurang atau harus “nombok”. Pada saat itulah patron mulai memberikan pinjaman atau modal pada nelayan yang membutuhkan.1 Pinjaman yang diberikan pada nelayan tidak begitu saja diberikan dengan mudah. Akan tetapi para nelayan harus membuat ikatan pekerjaan dengan patronnya atau adanya kewajiban bagi para nelayan untuk menjual hasil tangkapannya pada patronnya dengan harga yang relatif lebih rendah dan ditetapkan oleh patronnya (Satria 2009a: 339). Apabila terjadi kecelakaan pada nelayan yang mengakibatkan nelayan meninggal dunia, maka utang tersebut dibebaskan oleh patronnya. Akan tetapi tidak sedikit nelayan pemilik / tokeh / patron, mewariskan utang tersebut pada keluarga nelayan yang meninggal dunia, (Kusnadi, 2007b: 13). Relasi patron-klien masyarakat nelayan merupakan implikasi dari masalah struktur sosial masyarakat. Pola patron-klien ini terus tumbuh dan berkembang pada masyarakat nelayan karena sampai saat ini masih belum ada institusi lain yang mampu berperan dalam menyelesaikan permasalahan layaknya patron (Satria, 2009a: 340). Jaringan patron-klien yang dipandang sebagai wadah dan
1
Najmu Laila. 2009. Kemiskinan Struktural Masyarakat Nelayan, dalam http://mhs.blog.ui.ac.id/najmu.laila/archives/16. (Diakses tanggal 2 Desember 2009 Jam 11:38 WIB).
13
sarana yang mampu memberikan jaminan sosial secara tradisional pada nelayan akhirnya menjadi tujuan bagi nelayan dalam menyelesaikan masalahnya (Kusnadi, 2007b: 11). Kekuatan ikatan patron-klien ini didasarkan pada kepercayaan dan loyalitas, sehingga sebenarnya masyarakat nelayan adalah trust society (Satria, 2009b: 35). Di sisi lain kuatnya relasi patron-klien ini disebabkan oleh warisan budaya kolonial sebagai kearifan lokal masyarakat nelayan yang dipertahankan untuk menjaga kepentingan subsistensi mereka (Satria, 2009a: 240). Relasi yang lebih menguntungkan para patron dan berimplikasi pada terjadinya suatu bentuk eksploitasi terhadap nelayan dan lingkungan menjadi penyebab timbulnya kemiskinan pada nelayan. 2 Di sisi lain ada hal yang unik, dimana menurut Acheson, bahwa ternyata ada sebagian masyarakat nelayan di dunia yang dari dahulu sampai dengan sekarang berusaha dan berhasil mengubah status laut dan pesisir sebagai lapangan bebas dan dimiliki bersama, menjadi milik komunal, desa, kelompok, dan bahkan menjadi milik individu. Model seperti ini digunakan oleh nelayan lokal sebagai strategi utama menghindari dan memecahkan masalah-masalah sosial-ekonomi dan ekologi yang diungkapkan dengan tragedi of the commons. Misalnya saja masyarakat Lombok barat dan Bali yang menerapkan kearifan lokal Rompong dalam mengelola Sumber Daya Perairan (Lampe, 1996: 14). Masalah kemiskinan ini menjadi akar permasalahan dari berbagai permasalahan yang timbul pada masyarakat nelayan. Sehingga pembangunan yang dikembangkan pada nelayan disamping harus menyentuh aspek-aspek kelestarian lingkungan, juga harus melihat bagaimana menyelesaikan fenomena 2
Ibid.
14
kemiskinan masyarakat nelayan. Disamping model pembangunan itu harus berangkat dari kearifan lokal yang dimiliki masyarakat nelayan.
2.1.1.2 Perubahan Sosial Masyarakat Nelayan Selo Soemardjan (1962) dalam Soekanto (2002: 305) mendefinisikan perubahan sosial sebagai segala perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap dan pola prilaku diantara kelompokkelompok dalam masyarakat. Penekanannya adalah pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dan perubahan yang menyertainya. Dimana perubahan ini akan berpengaruh pada struktur sosial masyarakat lainnya. Sedangkan Calhoun, et al. (1994) dalam Sunito, et al. (2003: 102) mendefinisikan perubahan sosial sebagai suatu perubahan yang terjadi sejalan dengan berjalannya waktu di dalam pola sikap dan tindakan manusia dalam kebudayaan dan struktur dari suatu masyarakat. Berbeda dengan Selo Soemardjan, Calhoun lebih menekankan pada aspek waktu yang menyertai suatu perubahan sosial. Sehingga perubahan ini akan mempengaruhi pola sikap dan tindakan manusia dalam berkebudayaan serta struktur sosialnya. Kingsley Davis berpendapat bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan. Walaupun sebenarnya ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dari pada perubahan sosial. Sehingga faktor-faktor atau unsur-unsur perubahan yang mempengaruhi perubahan sosial dapat pula mempengaruhi perubahan kebudayaan. Namun tidak semua faktor yang mempengaruhi perubahan kebudayaan akan mempengaruhi perubahan sosial
15
mengingat cakupan dari perubahan kebudayaan lebih luas (Soekanto, 2002: 308309). Masyarakat nelayan dengan segala kearifan lokal yang dimilikinya tentu saja akan mengalami perubahan layaknya pada kebudayaan. Hal ini mengingat bahwa kearifan lokal merupakan salah satu wujud dari kebudayaan masyarakat. Perubahan ini tentu saja dipengaruhi oleh berbagai faktor. Sartini (2004), di dalam jurnalnya menyebutkan bahwa kebudayaan akan berubah dengan dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk, perpindahan atau masuknya penduduk lain pada suatu komunitas tertentu, masuknya peralatan baru sebagai produk modernisasi, dan kemudahan akses masuk kedalam atau keluar suatu komunitas. Bahkan hubungan antar individu atau kelompok juga dapat mempengaruhi kebudayaan. Sementara Soekanto (2002: 318-325), membagi faktor-faktor perubahan pada kebudayaan dan perubahan sosial masyarakat menjadi dua kategori, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal ini berasal dari dalam masyarakat itu sendiri seperti : (1). Bertambah / berkurangnya penduduk. (2). Penemuan-penemuan baru. (3). Pertentangan / konflik masyarakat, dan (4). Terjadinya pemberontakan atau revolusi. Sedangkan faktor ekternal adalah faktor yang berasal dari luar masyarakat diantaranya adalah : (1). Sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik yang ada di sekitar manusia. (2). Peperangan, dan (3). Pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Calhoun et al. (1994) dalam Sunito, et al. (2003: 105) berpendapat bahwa terdapat empat faktor yang dapat mempengaruhi perubahan sosial suatu masyarakat diantaranya adalah : (1) Lingkungan alam. (2). Kependudukan. (3). Inovasi, dan (4). Difusi.
16
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial dan kebudayaan ini merupakan faktor-faktor yang akan mempengaruhi perubahan kearifan lokal. Hal ini mengingat bahwa kearifan lokal merupakan produk kebudayaan masyarakat yang melembaga pada masyarakat. Sehingga seiring dengan adanya perubahan sosial dan kebudayaan pada masyarakat, maka kearifan lokal ini juga akan ikut mengalami perubahan.
2.1.1.3 Modal Sosial Masyarakat Nelayan Modal sosial didefinisikan sebagai seperangkat nilai-nilai, norma-norma, dan kepercayaan yang memungkinkan sekelompok warga dapat bekerjasama secara efektif dan terkoordinasi dalam mencapai tujuan-tujuannya (Putman,1993 dalam Suwartika, 2003). Sementara Coleman (1988) dalam Suwartika (2003), mendefinisikan modal sosial sebagai keseluruhan dari sejumlah aspek struktur sosial yang berfungsi memperlancar tindakan-tindakan individual tertentu di dalam suatu struktur yang merupakan pencerminan dari struktur kepercayaan sosial dimana tersedia jaminan-jaminan dan harapan-harapan atas suatu tindakan sosial tersebut. Coleman juga menganggap bahwa kelangsungan transaksi sosial ditentukan oleh adanya kepercayaan (trust) dari pihak-pihak yang terlibat. Sedangkan Lyda Judson Hanifan dalam Djohan (2007), menguraikan peranan modal sosial secara lebih rinci dengan melibatkan kelompok dan hubungan timbal balik antar anggota masyarakat. Nilai-nilai yang mendasarinya adalah kebajikan bersama (social virtue), simpati dan empati (altruism), serta kerekatan hubungan antar-individu dalam suatu kelompok (social cohesivity).
17
Modal sosial menurut world bank didefinisikan sebagai the institution, relationships, and norms that shape the quality and quantity of a society’s social interactions. Misalnya adalah nelayan Lombok Barat yang memiliki nilai tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan sumber daya laut, oleh karena itu, muncul norma yang melarang pengeboman ikan dilaut karena akan merusak lingkungan. Untuk merealisasikan norma ini, maka diperlukan adanya Awig-awig yang merupakan aturan main yang mencegah terjadinya pengeboman ikan di laut. Agar Awig-awig ini dapat melaksanakan fungsinya, maka diperlukan adanya lembaga yang berisi orang-orang yang memiliki status dan perannya masingmasing. Di sisi lain, hubungan sosial harus di jalin bukan hanya antar sesama nelayan, akan tetapi hubungan tersebut harus juga dijalin dengan pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelestarian lingkungan seperti pemerintah daerah setempat misalnya. Sehingga akan muncul tindakan sosial kolektif dari masyarakat dalam mencegah terjadinya pengeboman ikan. Inilah kira-kira yang dimaksud world bank dalam definisi modal sosial tersebut (Satria, 2009a: 354). Uphoff membagi komponen modal sosial ke dalam dua kategori yaitu pertama, kategori struktural yang dihubungkan dengan berbagai bentuk asosiasi sosial. Kedua, kategori kognitif dihubungkan dengan proses–proses mental dan ide-ide yang berbasis pada ideology dan budaya. Komponen-komponen modal sosial (Uphoff, 2000 dalam Suwartika, 2003) tersebut diantaranya: 1. Hubungan sosial yang merupakan pola-pola hubungan pertukaran dan kerjasama yang melibatkan materi dan non-materi. 2. Norma yang merupakan kesepakatan-kesepakatan tentang aturan yang diyakini dan disetujui bersama.
18
3. Kepercayaan yang merupakan komponen yang menunjukkan norma tentang hubungan timbal balik, nilai-nilai untuk menjadi seseorang yang layak dipercaya. 4. Solidaritas yang merupakan norma-norma untuk menolong orang lain, bersama-sama, menutupi biaya bersama untuk keuntungan kelompok. 5. Kerjasama yang merupakan norma-norma untuk bekerjasama bukan bekerja sendiri. Fukuyama (1995) dalam Satria (2009a: 355), menyebutkan bahwa kepercayaan (trust) merupakan salah satu modal sosial masyarakat. Dimana negara dengan masyarakat yang memiliki kepercayaan tinggi (high-trust society) akan mampu mencapai keberhasilan ekonomi yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan negara yang masyarakatnya memiliki kepercayaan rendah (low-trust society). Kaitannya dengan nelayan di Indonesia, terlihat bahwa nelayan di Indonesia memiliki kecenderungan trust society. Hal ini terbukti dengan kuatnya relasi patron-klien yang terjadi antara nelayan. Alasannya adalah karena nelayan merupakan komunitas moral (moral community). Dimana menurut Sztompka, komunitas moral dibangun oleh tiga hal diantaranya adalah kepercayaan (trust), loyalitas (loyalty), dan solidaritas (solidarity). Relasi patronklien yang terjalin antara tengkulak / toke ini dipengaruhi oleh ketiga hal tersebut. Kemudian, apabila dicermati lebih lanjut, modal sosial ini melahirkan suatu kebijakan atau gagasan masyarakat yang kemudian mewujud menjadi kearifan lokal masyarakat (Satria, 2009a: 355).
19
2.1.2. Kearifan Lokal 2.1.2.1 Konsep Kearifan Lokal Konsep kearifan lokal terlahir atau berakar dari pengetahuan tradisional dan sistem pengelolaan sumber daya secara tradisional oleh masyarakat lokal. Kearifan lokal itu sendiri berasal dari dua suku kata dalam bahasa inggris yaitu local (lokal) dan wisdom (kearifan). Jadi kearifan lokal (local wisdom), adalah suatu kebijaksanaan atau gagasan-gagasan setempat yang dianggap atau memiliki nilai baik untuk dilaksanakan, bersifat tradisional, bijaksana dan penuh kearifan serta memperhatikan aspek-aspek ekologi masyarakat lokal dalam pelaksanaannya yang tertanam dan diikuti oleh seluruh anggota masyarakatnya. Sementara itu, beberapa sumber menyebutkan istilah-istilah lain untuk kearifan lokal misalnya kearifan tradisional, indigeneous knowledge, indegeneous technical knowledge, Ethnoecology, folk knowledge, people’s science, dan sebagainya. Akan tetapi istilah yang paling populer dan sering digunakan sampai dengan saat ini adalah “kearifan lokal”. Sedangkan orang-orang dari dunia barat menyebutnya dengan sebutan “indegeneous knowledge” (Bahan kuliah Ekologi Manusia, Fakultas Ekologi Manusia, IPB, 2007). Konsep kearifan lokal adalah suatu system pengetahuan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu atau budaya tertentu yang berkembang dalam jangka waktu yang lama sebagai suatu hasil dari proses
20
hubungan timbal balik antara masyarakat tersebut dengan lingkungannya (Marzali dalam Mumfangati, 2004). 3 Konsep inilah yang kemudian menjadi ciri khas masyarakat tertentu. Karena konsep kearifan lokal ini menjadi suatu norma yang memiliki nilai-nilai tertentu yang harus dikembangkan untuk selanjutnya diwariskan oleh masyarakat pemiliknya secara turun-temurun. Sesuai dengan pernyataan Gadgil dkk, yang dikutip oleh Mitchell (2007: 298), bahwa pengetahuan lokal masyarakat yang terakumulasi sepanjang sejarah hidup mereka memiliki peran yang sangat besar dimana pandangan bahwa manusia merupakan bagian dari alam dan sistem kepercayaan yang menekankan penghormatan pada alam merupakan nilai yang sangat positif untuk pembangunan yang berkelanjutan. Kedekatan masyarakat lokal dengan lingkungannya inilah kemudian melahirkan suatu pola pemanfaatan sumberdaya melalui “uji coba” telah mengembangkan pemahaman terhadap sistem ekologi yang mereka kelola dan manfaatkan tersebut (Mitchell, 2007: 299). Keraf (2002), dalam Aprianto (2008: 10) mendefinisikan kearifan tradisional / kearifan lokal sebagai suatu bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun prilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Dengan demikian kearifan tradisional ini bukan hanya menyangkut pengetahuan dan pemahaman masyarakat lokal tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman adat dan kebiasaan tentang 3
Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Pertanian Lahan Rawa Lebak, dalam http://aluhlangkar.blogspot.com/2008/08/kearifan-lokal-dalam-pengelolaan.html untuk judul Monday, August 11, 2008. (Diakses tanggal 2 Desember 2009 Jam 11:24 WIB).
21
manusia, alam dan bagaimana relasi diantara semua penghuni komunitas ekologis ini harus di bangun. Definisi ini memberikan suatu penekanan tentang bagaimana adaptasi harus dilakukan oleh manusia dengan alam berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Ruddle (2000) dalam Satria (2009: 17), melakukan identifikasi karakteristik pengetahuan lokal atau kearifan lokal pada masyarakat. Berdasarkan hasil identifikasinya ini menunjukan bahwa karakteristik pengetahuan lokal terdiri dari : “ 1. Bersifat jangka panjang, empiris, berbasis observasi lokal, yang disesuaikan dengan kondisi lokal dan mampu mencakup sejumlah variasi lokal, serta bersifat rinci. 2. Berorientasi pada hal-hal praktis dan menyangkut prilaku, serta fokus pada tipe-tipe sumber daya dan spesies. 3. Terstruktur sehingga sebenarnya kompatibel dengan konsep biologi dan ekologi barat, khususnya terkait dengan kesadaran akan keterkaitan ekologis dan pentingnya konservasi Sumber Daya Perairan. 4. Bersifat dinamis.” Sementara Berkes (1999) dalam Satria (2009: 17), berdasarkan hasil identifikasinya terhadap karakteristik dari pengetahuan lokal masyarakat menunjukan bahwa : 1. Pengetahuan lokal masyarakat melekat pada budaya lokal yang ada pada masyarakat bersangkutan. 2. Memiliki ruang dan waktu dalam proses perkembangannya. 3. Sangat kurang memisahkan antara alam dan budaya, serta antara subyek dengan obyek. Atau dengan kata lain bahwa pengetahuan lokal memandang bahwa alam dan budaya maupun subyek dan obyek merupakan satu kesatuan yang memiliki hubungan timbal balik. 22
4. Terdapat suatu komitmen yang memandang bahwa lingkungan lokal bersifat unik dan merupakan tempat yang tidak dapat berpindah-pindah. 5. Di dalam memahai alam, tidak digunakan pendekatan instrumental. Kearifan lokal telah mengajarkan pada masyarakat tentang pentingnya pengelolaan terhadap sumber daya alam dengan memperhatikan aspek-aspek ekologi yang berkesinambungan. Dengan demikian, masyarakat lokal tertentu akan cenderung lebih memahami benar daerahnya dan memiliki kemampuan lebih berdasarkan pengetahuan lokal hasil percobaan sebelumnya dalam memanfaatkan sumberdaya dilingkungannya. Sehingga umumnya mereka tidak akan melakukan kesalahan yang sama dalam memanfaatkan sumber daya tersebut. Menurut Mitchell (2007: 300), menyebutkan bahwa pemahaman masyarakat lokal tentang lingkungannya yang terakumulasi biasanya akan diwariskan secara lisan, serta tidak dapat dijelaskan melalui istilah-istilah ilmiah. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor dimana secara umum kearifan lokal pada suatu masyarakat tertentu berbeda-beda, bersifat permanen, dan merupakan ciri khas yang membedakannya dengan masyarakat lain. Prof. Nyoman Sirtha dalam “ Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” (http://www.balipos.co.id) dalam Sartini (2005: 112), menjelaskan bahwa bentukbentuk kearifan lokal yang ada dalam masyarakat dapat berupa : nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Bentuk yang bermacam-macam ini mengakibatkan fungsi kearifan lokal menjadi bermacam-macam pula. Balipos yang diterbitkan pada tanggal 4 September 2003 dengan judul tulisan “Pola Prilaku Orang Bali Merujuk Unsur Tradisi” dalam
23
Sartini, (2005: 112-113), memberikan gambaran fungsi dari kearifan lokal. Fungsi tersebut antara lain adalah : 1. Kearifan lokal berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam. 2. Kearifan lokal berfungsi untuk mengembangkan sumber daya manusia, misalnya berkaitan dengan upacara daur hidup konsep kanda pat rate. 3. Berfungsi sebagai pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan. 4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
2.1.2.2. Kasus-Kasus Aplikasi Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan di Indonesia 2.1.2.2.1. Seke Di Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara Seke merupakan kearifan tradisional dalam pengelolaan sumber daya perikanan yang dijumpai di desa Para, kabupaten Sangihe. Dalam organisasi Seke terdapat istilah lokal mengenai keanggotaan berdasarkan fungsi dan tugasnya masing-masing yaitu: Lekdeng, Tatalide, Seke Kengkang, Matobo, Tonaas, Mandore, dan Mendoreso. Lekdeng artinya anggota, sedangkan Tatalide adalah sebutan untuk anggota yang ditugaskan memegang Talontong (tongkat yang digunakan untuk menjaga Seke agar posisinya tegak lurus di atas permukaan laut). Seke Kengkang merupakan sebutan untuk anggota yang berada di atas perahu tempat meletakkan Seke (perahu Kengkang). Matobo adalah anggota yang bertugas menyelam dan melihat posisi gerombolan ikan sebelum Seke diturunkan ke laut. Tonaas merupakan sebutan untuk seorang pemimpin pengoperasian Seke, sedangkan wakilnya disebut Tonaseng Karuane. Mandore adalah orang yang
24
selalu membangunkan anggota Seke setiap kali pergi beroperasi dan membagi hasil tangkapan kepada anggota. Bagi hasil ini didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain adalah : (1) Bagi hasil tangkapan diberikan kepada warga desa yang sudah berkeluarga (termasuk janda / duda). (2) Bagi hasil tangkapan untuk warga desa yang belum berkeluarga; (3) Bagi hasil tangkapan yang didasarkan atas status sosial tertentu, antara lain seperti: kepala desa, guru, pendeta, perawat, dan sebagainya serta (4) Bagi hasil tangkapan diberikan menurut status keanggotaan dalam organisasi Seke. Mendoreso adalah sebutan untuk orang yang menjadi bendahara organisasi Seke (Wahyono, et al., (1992) dalam Biasane (2004)). Satria, et al., (2002) dalam Biasane (2004), menegaskan bahwa organisasi tradisional Seke telah menerapkan konsep bagi hasil layaknya organisasi modern. Ada dua pelajaran yang dapat diambil dari pengelolaan sumber daya ikan yang dilakukan oleh organisasi tradisional Seke ini, diantaranya adalah: “1. Seke mengatur sekelompok masyarakat untuk senantiasa memberikan perhatian kepada distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya alam, khususnya ikan, kepada seluruh anggota masyarakat. Hal ini tercermin pada pembagian waktu dan lokasi untuk setiap kelompok Seke dalam suatu periode waktu tertentu (misalnya satu minggu). Dengan demikian, konflik pemanfaatan di antara masyarakat akan tereleminasi. 2. Selain distribusi penangkapan ikan, tradisi Seke mengajarkan juga pentingnya kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terlihat dari sistem bagi hasil yang diterapkan. Seluruh komponen masyarakat mendapat bagi hasil dari penangkapan ikan yang diperoleh oleh sebuah kelompok Seke tertentu. Dalam konteks modern, sistem distribusi pendapatan seperti ini mencirikan adanya konsep pemanfaatan yang kuat di kalangan masyarakat Para”. Disamping itu, desa Para memiliki hak ulayat laut yang dicerminkan oleh adanya tiga jenis wilyah penangkapan yang dikenal oleh masyarakat Para yaitu :
25
pertama, wilayah perairan Nyare (Sanghe) yang merupakan wilayah laut dari terumbu karang. Kedua, wilayah perairan Inahe, yang merupakan wilayah yang menjadi batas antara Sanghe dan Elie. Ketiga, wilayah Elie yang merupakan wilayah perairan laut dalam. Ketiga jenis wilayah ini bukan merupakan pembatas wilayah perairan yang dimiliki nelayan Para, akan tetapi merupakan wilayah penangkapan ikan bagi nelayan Para (Biasane (2004), Kusumastanto et al (2004) dalam Wahyudin, (2004: 10)).
2.1.2.2.2. Rompong Di Kawasan Pesisir Sulawesi Selatan Rompong adalah suatu tradisi penguasaan perairan pantai yang sudah lama dikenal masyarakat Bugis – Makasar. Pemanfaatan perairan adalah sebagai daerah lokasi penangkapan ikan dan lahan budidaya. Saat ini, penguasaan perairan wilayah pantai telah diarahkan untuk kegiatan budidaya laut (Satria, et al., (2001) dalam Biasane (2004)). Tradisi Rompong adalah suatu tradisi yang mengarah pada pemberian hak pengelolaan atau pemanfaatan sumberdaya perikanan di suatu kawasan yang batas-batasnya ditentukan berdasarkan kesepakatan adat. Dalam praktiknya, perairan di sekitar Rompong tertentu diklaim nelayan pemilik Rompong sebagaimana layaknya hak milik. Konsekuensinya adalah dalam radius kurang dari satu hektar tidak seorangpun yang boleh melakukan penangkapan ikan selain pemilik Rompong. Pengecualian terhadap larangan ini adalah penangkapan ikan dengan memakai alat tangkap pancing. Hubungan kerja antara Parrompong dengan nelayan pembantu (Anagguru) adalah dengan sistem bagi hasil yaitu 50%
26
dari hasil tangkapan bersih untuk nelayan Rompong dan sisanya 50% untuk nelayan pembantu yang jumlahnya empat orang (Biasane, 2004). Dalam kaitan dengan kegiatan penangkapan ikan melalui sistem Rompong, setiap Parrompong mempunyai hak dan kewajiban. Hak-hak Parrompong adalah: (1). Parrompong memiliki hak menguasai atas perairan untuk menangkap ikan dalam wilayah di sekitar rompongnya. Pengecualian terhadap monopoli ini adalah penangkapan ikan oleh nelayan lain yang menggunakan alat tangkap berupa pancing. (2). Klaim atas perairan pantai itu dapat diwariskan dan dihibahkan. (3). terhadap Rompong yang tidak dimanfaatkan lagi (tidak ada kegiatan penangkapan ikan), pemilik Rompong masih berhak dimintai persetujuannya manakala ada orang yang bermaksud menangkap ikan di sekitar perairan tersebut (Saad, 1994 dalam Biasane, 2004). Adapun kewajiban para Parrompong, adalah: (1). Memberikan kesempatan kepada orang lain untuk berlayar dalam wilayah yang diklaimnya; dan (2). Pihak Parrompong diwajibkan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menangkap ikan jika menggunakan alat tangkap pancing, (Biasane, 2004).
2.1.2.2.3. Sasi Di Kabupaten Maluku Tengah Sistem “Sasi” di maluku adalah larangan pemanenan sumberdaya alam tertentu dalam rangka melindungi kualitas dan populasi sumberdaya tersebut, baik tumbuhan maupun binatang. Sistem ini meliputi untuk laut, sungai, hutan, desa dan sumberdaya lainnya. Menurut Eliza Kissiya, seorang kepala adat pulau Haruku yang mendapat penghargaan Kalpataru pada tahun 1985, yang lebih penting dari Sasi adalah bahwa sistem ini berusaha untuk memelihara pola
27
kehidupan sosial melalui distribusi manfaat atau hasil dari pemanfaatan sumber daya alam yang seimbang. Sasi ini merupakan inisiatif kolektif dan diformulasikan oleh masyarakat Haruku sendiri, termasuk pemantauannya oleh lembaga adat (Wiratno dkk, 2004 dalam Aprianto, 2008: 12). Satria, et al., (2001) dalam Biasane, (2004), mendefinisikan Sasi sebagai salah satu model pengelolaan sumberdaya kelautan yang dilakukan sebagian masyarakat pesisir di provinsi Maluku. Tradisi Sasi yang cukup dikenal adalah tradisi Sasi di desa Nolloth, kecamatan Saparua, kabupaten Maluku Tengah. Sasi adalah suatu kesepakatan tradisional tentang pemanfaatan sumber daya alam yang disusun oleh masyarakat dan disahkan melalui mekanisme struktural adat di suatu desa. Pelaksanaan Sasi di desa Nolloth pada saat ini berdasarkan pada keputusan desa tentang Peraturan Sasi desa Nolloth yang dikeluarkan tanggal 21 Januari 1994 dan disahkan oleh kepala desa dan Kewang. Sasi merupakan salah satu institusi adat yang berisi kesepakatankesepakatan adat lengkap dengan sanksi-sanski apabila terjadi pelanggaran terhadap adat tersebut. Misalnya, dilarang memanah ikan serta kegiatan wisata bahari yang belum mendapat izin dari kepala desa. Di kawasan desa Nolloth dikenal dengan dua sistem penyelenggaran Sasi, yaitu Sasi negeri (Sasi adat), dan Sasi gereja. Perbedaan pokok di antara dua sistem Sasi tersebut adalah penyelenggaraan kesepakatan tradisional tersebut. Penyelenggara sistem Sasi Negeri adalah Kewang dan kepala desa, sedangkan penyelenggaraan Sasi Gereja adalah pendeta dan gereja. Pelajaran yang dapat diambil dari sistem Sasi ini adalah bahwa adanya kesadaran masyarakat pesisir desa Nolloth tentang pentingnya kelestarian sumber
28
daya alam yang menjadi sumber penghidupan mereka. Sistem ini akan mewujudkan juga keseimbangan antara kebutuhan masyarakat pengguna sumber daya alam dan kewajiban masyarakat untuk melestarikannya. Problem yang mungkin terjadi dengan sistem Sasi adalah bahwa peraturan ini hanya berlaku bagi masyarakat lokal dan tidak berlaku bagi masyarakat luar. Dampaknya adalah posisi tawarnya menjadi lemah karena saat pihak luar akan masuk ke kawasan Sasi dengan membawa legitimasi pemerintah yang lebih tinggi (misalnya tingkat provinsi atau pusat), pelaksanaan Sasi di kawasan tersebut berpotensi terganggu (Satria, et al., (2001) dalam Biasane (2004)).
2.1.2.2.4. Panglima Laot Di Aceh Panglima laot adalah pimpinan lembaga hukum adat laot di Provinsi Aceh yang memiliki kekuasaan dalam memanfaatkan sumber daya dan melaksanakan aturan atau hukum adat laot. Berdasarkan catatan Prof. T. Djuned, sejarah Panglima laot sudah berlangsung sejak sultan Iskandar Muda di Aceh (16071636). Di dalam Perda Nomor 2 Tahun 1990 tentang pembinaan dan pengembangan adat di Aceh, menyebutkan bahwa panglima laot memiliki empat tugas penting diantaranya adalah memimpin wilayah kelautan, pemimpin persoalan sosial nelayan, menyelesaikan sengketa di laut, dan pemimpin dalam melestarikan lingkungan hidup (Kusumastanto et al, 2004 dalam Wahyudin, 2004: 8). Di dalam melaksanakan tugasnya, Panglima laot menggunakan konsep keberlanjutan yang masuk akal dan rasional dalam mengelola sumber daya perikanan berbasis masyarakat lokal. Tampak juga kearifan lokal masyarakat
29
sangat diutamakan dalam pengelolaan sumber daya. Misalnya saja dapat dilihat melalui : 1. Adanya larangan melaut pada hari jum’at. Hari jum’at selain sebagai hari libur bagi para nelayan, juga memberikan kesempatan pada populasi ikan di laut untuk bertelur. 2. Tidak diperbolehkan membuang barang bekas secara sembarangan. Hukum adat laut sudah mengatur sampai pada larangan membuang ikan yang telah di tangkap lebih. 3. Hukum adat laut melarang menggunakan alat-alat yang tidak ramah lingkungan. Bagi para pelanggar ketentuan ini, hukum adat laut memiliki sanksi yang tegas. Dimana para pelanggar tersebut akan diberi sanksi seluruh hasil tangkapan akan disita atau kemungkinan yang kedua adalah dilarang melaut selama tiga sampai dengan tujuh hari. Hal ini menunjukan bahwa pengelolaan sumber daya perairan secara tradisional yang dilakukan oleh lembaga adat laut di Aceh sangat rasional dan berwawasan lingkungan.4 Berdasarkan pada Peraturan daerah (Perda) Nanggroe Aceh Darussalam, pasal 1 ayat 14 Nomor 7 Tahun 2000, Panglima laot di definisikan sebagai “ orang yang memimpin adat istiadat kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dibidang penangkapan ikan di laut, termasuk mengatur tempat atau wilayah penangkapan ikan dan penyelesaian sengketa”. Perda ini juga menjelaskan bahwa panglima laut 4
Sulaeman Tripa. 2009. Peran Dan Fungsi Panglima Laot Dalam Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Dan Perikanan, dalam http://id.acehinstitute.org/index.php?view=article&catid. (Diakses tanggal 2 Desember 2009 Jam 11:29 WIB).
30
adalah lembaga yang berwenang mengelola sumberdaya perikanan yang terdapat diwilayah perairan lhok (teluk), (Kusumastanto et al, 2004 dalam Wahyudin, 2004: 8).
2.1.2.2.5. Awig-awig Di Lombok Awig-awig merupakan salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat. Sebagai suatu sistem kearifan lokal, Awig-awig merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dan berkembang pada masyarakat secara terus menerus dalam kesadaran masyarakat (Sartini,
2004: 114). Awig-awig yang ada di
Lombok barat dalam kegiatan pengelolaan sumber daya perikanan laut telah dipraktekan sejak islam waktu telu. Hal ini ditandai dengan adanya upacara Sawen. Sawen adalah suatu larangan atau isyarat untuk tidak melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu zona dalam waktu yang sudah di tetapkan melalui kesepakatan masyarakat lokal. Tujuan dilakukannya upacara Sawen ini adalah agar ikan-ikan menjadi jinak sehingga akan tercapai hasil yang optimal pada saat proses penangkapan ikan dilakukan. Aturan adat Sawen ini berlaku secara turun temurun dan tidak tertulis. Walaupun demikian, masyarakat sangat mematuhi aturan tersebut (Kusumastanto et al, 2004 dalam Wahyudin, 2004: 8-9). Praktik Awig-awig di Lombok barat diakui oleh pemerintah daerah setempat. Dalam pelaksanaannya, Awig-awig memiliki serangkaian tata aturan yang harus di taati oleh masyarakat setempat. Tata aturan ini disertai dengan sanksi bagi sipelanggar aturan. Satria et al, 2004a dalam Satria, 2009b: 15) berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan bahwa aturan yang diberlakukan dalam praktik Awig-awig ini tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah
31
formal yang berlaku di masyarakat. Berikut ini adalah tabel yang memaparkan serangkaian aturan dan sanksi dalam Awig-awig yang ada di Lombok barat. Table 2.2. Tata Aturan dan Sanksi dalam Awig-awig di Lombok Barat. No.
Aturan
Sanksi
1.
Dilarang menangkap ikan.
Rp. 500.000,-
2.
Dilarang menggunakan obat bius.
Rp. 2.500.000,- dan penyitaan perahu / alat tangkap.
3.
Dilarang melakukan pengeboman.
Rp. 5.000.000,- dan penyitaan perahu / alat tangkap.
4.
Dilarang menggunakan trawl dan Rp. 15.000.000,- dan muroami. perahu / alat tangkap.
penyitaan
Sumber : Satria (2004a) dalam Satria (2009b: 15). Di sisi lain, seiring dengan timbulnya konflik dalam pengelolaan sumber daya perikanan laut, maka timbul inisiasi masyarakat untuk melakukan rekonstruksi dan merevitalisasi kembali aturan lokal (Sawen) yang hilang. Kesadaran ini timbul karena adanya konflik tadi yang disebabkan oleh kerusakan ekologi laut, pertambahan penduduk, lapangan pekerjaan yang semakin sedikit, lingkungan politik yang tidak kondusif, perubahan teknologi dan perubahan tingkat komersialisasi. Berdasarkan hal ini, maka melalui Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, masyarakat mulai mewujudkan inisiasinya tersebut. Sedangkan lembaga yang disepakati oleh masyarakat untuk menyelenggarakan Awig-awig ini adalah Lembaga Musyawarah Nelayan Lombok Utara (LMNLU) sesuai dengan SK LMNLU Nomor 06/LMNLU/V/2000. Adapun wilayah yang diatur oleh Awig-awig adalah sejauh tiga mil dari garis pantai dan dersifat ekslusif. Sebagai catatan, Awig-awig juga terdapat di Nusa Penida Bali, Lombok Timur, dan Lombok Utara, dimana pada dasarnya peraturan ini sama di
32
semua tempat di wilayah tersebut, (Kusumastanto et al, 2004 dalam Wahyudin, 2004: 9).
2.1.2.3. Pengelolaan Sumber Daya Perairan melalui Kearifan Lokal Masyarakat Pengelolaan Sumber Daya Perairan (SDP) melalui kearifan lokal masyarakat dianggap sebagai suatu model alternatif pembangunan yang lebih baik. Karena masyarakat lokal merupakan kelompok orang yang mengerti atau memahami kondisi atau karakteristik alam dan memiliki pengetahuan yang lebih spesifik terhadap alam tempat mereka tinggal. Berkes (1989) dalam Satria (2009b: 14), menyatakan bahwa pengelolaan sumber daya dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat merupakan solusi alternatif karena dapat memberikan jaminan mata pencaharian, jaminan akses yang sama terhadap sumber daya, mekanisme dalam resolusi konflik yang mungkin terjadi, dan berorientasi pada model pembangunan yang berkelanjutan. Ruddle (1999) dalam Satria (2009b: 14), melakukan identifikasi terhadap unsur-unsur tata pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat adalah sebagai berikut : 1. Batas wilayah : dimana terdapat kejelasan batas wilayah yang dapat dikelola oleh masyarakat dan mengandung sumber daya yang bernilai bagi masyarakat. 2. Aturan : aturan ini memberi pedoman bagi masyarakat tentang hal-hal yang diperbolehkan dan yang dilarang untuk dilakukan.
33
3. Hak : merupakan hak kepemilikan (property right) yang dapat diterima oleh masyarakat tertentu. Dalam hal ini bisa mengacu pada seperangkat hak kepemilikan yang dirumuskan oleh Ostrom and Schlager. 4. Pemegang otoritas : merupakan lembaga / organisasi masyarakat yang berkepentingan dalam pengambilan keputusan. 5. Sanksi : merupakan ganjaran yang diberikan pada para pelanggar aturan. Sanksi yang diberikan ini dapat berupa sanksi sosial, sanksi ekonomi, sanksi formal dan sanksi fisik. 6. Pemantauan dan evaluasi : pemantauan dan evaluasi ini dilakukan oleh masyarakat secara suka rela dan bergiliran sehingga dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengelolaan. Sedangkan Satria (2009b: 15-18) dengan merujuk pada konsep Berkes dan Scott membagi tiga dimensi pengelolaan Sumber Daya Perairan yang dilakukan oleh masyarakat. Ketiga dimensi ini diantaranya adalah : 1. Dimensi normatif yang berisi tentang suatu sistem nilai yang menjadi dasar dalam proses pengelolaan Sumber Daya Perairan. 2. Dimensi regulatif yang berisi tentang aturan tata pengelolaan Sumber Daya Perairan. 3. Dimensi kognitif yang berisi tentang bagaimana teknik pengelolaan Sumber Daya Perairan dan pengetahuan lokal masyarakat yang merupakan modal dalam pengelolaan Sumber Daya Perairan tersebut.
34
2.1.2.4. Perubahan Kearifan Lokal dan Faktor-faktor Penyebab Perubahan Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan Di dalam perkembangannya, kearifan lokal yang merupakan suatu bentuk kebudayaan selalu mengalami perubahan mengikuti pola perubahan dalam kebudayaan. Perubahan yang terjadi ini dapat disebabkan oleh berbagai hal misalnya natalitas, migrasi penduduk, masuknya penduduk lain kedalam suatu komunitas, modernisasi, termasuk juga mudahnya akses penduduk lain untuk masuk kedalam suatu komunitas tertentu. Dinamika kearifan lokal ini “mau tidak mau” harus dihadapi. Lauer (1993) dalam Sartini (2004: 115), berpendapat bahwa para antropolog menganggap bahwa ada tiga hal penting yang berkaitan dengan timbulnya dinamika kebudayaan yaitu : evolusi, difusi dan akulturasi dengan landasan inovasi. Kearifan lokal sebagai suatu bentuk dari kebudayaan masyarakat tentu saja dapat mengalami tiga hal tersebut dalam perubahannya. Lebih jauh, seiring dengan perkembangan zaman, praktek-praktek kearifan lokal yang sudah merupakan bagian dari budaya ini mulai dilupakan bahkan di anggap tabu. Kepercayaan, takhayul, mitos, kebiasaan, pengetahuan serta keyakinan adalah bagian dari budaya yang mempengaruhi sikap dan tindakan masyarakat. Padahal jika kita lihat, program-program pembangunan di daerah bisa gagal apabila tidak memperhitungkan faktor budaya dan kearifan lokal masyarakat. Setiap masalah yang terjadi di masyarakat, tidak dapat dilihat hanya dari satu sudut pandang saja. Akan tetapi aspek-aspek lain juga harus diperhitungkan. Misalnya saja pada saat menyelesaikan masalah kemiskinan, kita tidak bisa melihat itu sebagai suatu akibat dari rendahnya tingkat pendidikan saja,
35
tetapi kita harus juga memahami aspek pengetahuan lokal masyarakat, kepercayaan, dan pola prilaku masyarakat.5 Berdasarkan urayan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal suatu masyarakat tertentu dapat berubah secara dinamis. Perubahan ini tentu saja disebabkan oleh berbagai faktor. Adapun faktor-faktor yang umumnya mempengaruhi perubahan pada kearifan lokal maupun kebudayaan masyarakat berdasarkan beberapa sumber adalah sebagai berikut :
1. Pertumbuhan Penduduk Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dan tidak bisa diimbangi oleh beberapa lapangan pekerjaan dan rendahnya daya dukung atau carriying capacity lingkungan sekitar, maka akan menyebabkan ketimpangan dalam semua aspek kehidupan. Pada saat carriying capacity ini sudah melampaui batas yang bisa diterimanya, maka penduduk akan mulai merambah lahan baru dan mencoba mencari bidang kehidupan yang baru. Pada saat itulah mereka mulai meminggirkan praktek-praktek kearifan lokal dan mulai berfikir realistis berdasarkan fakta yang ada. Seperti yang dijelaskan oleh Sartini (2004), bahwa pertumbuhan penduduk akan menjadi salah satu faktor penyebab perubahan kearifan lokal yang merupakan pembentuk budaya suatu komunitas. Pada saat jumlah komunitas dalam suatu masyarakat terus meningkat, maka seiring dengan itu, kebutuhan 5
Kearifan Lokal Untuk Kesejahteraan Rakyat, (Sabtu 25 April 2009) oleh Bartoven Vivit N. Irsan (Kepala pusat studi budaya Lampung, Lembaga Penelitian Unila. Sumber : Lampung Pos), dalam http://budayalampung.blogspot.com/2009/04/kearifan-lokal-untuk-kesejahteraan.html. (Diakses tanggal 2 Desember 2009 Jam 11:43 WIB).
36
mereka pun meningkat. Misalnya saja kebutuhan untuk pemukiman. Masyarakat dengan jumlah penduduk yang besar, untuk pemukiman atau pun untuk mata pencaharian dalam memenuhi kebutuhan hidup penduduk tersebut. Pada saat itulah mereka mulai meninggalkan praktek-praktek kearifan lokal. Misalnya saja, hutan yang semula dianggap sakral sehingga dilarang untuk dibuka, maka pada saat jumlah penduduk meningkat dan mereka butuh lahan untuk bermukim dan mencari nafkah, maka pada saat itulah mereka mulai membuka hutan tersebut. Di sisi lain, perubahan kearifan lokal ini terjadi karena kesejahteraan yang tidak merata karena jumlah penduduk yang terlalau besar. Satria (2009: 24) menyebutkan bahwa berdasarkan data BPS tahun 2002 menunjukan sekitar 32,14% dari 16,4 juta jiwa masyarakat pesisir yang masih hidup di 8.090 desa berada dibawah garis kemiskinan. Bank dunia juga memperhitungkan bahwa 108,78 juta jiwa atau 49% dari total penduduk Indonesia adalah penduduk miskin dan rentan menjadi miskin. Dimana kalangan ini hanya menghasilkan atau hidup hanya kurang dari US$. 2,- saja atau sekitar Rp. 19.000,- per hari. Sebagian besar (63,47%) penduduk miskin ini berada di daerah pesisir dan pedesaan. Data statistik juga menunjukan bahwa upah riil harian yang diterima oleh seorang buruh tani (termasuk buruh nelayan) hanya sebesar Rp. 30.449,- per hari. Jumlah ini lebih rendah dari pada upah seorang kuli bangunan yang mencapai Rp. 48.301,- per hari. 6 Kemiskinan yang disebabkan oleh tingkat pertumbuhan penduduk dan jumlah penduduk yang besar ini mengakibatkan lunturnya kearifan lokal
6 Kemiskinan Struktural Masyarakat Nelayan, dalam http://mhs.blog.ui.ac.id/najmu.laila/archives/16. (Diakses tanggal 2 Desember 2009 Jam 11:38 WIB).
37
masyarakat suatu komunitas tertentu. Masyarakat akan lupa tentang kearifan lokalnya sendiri pada saat kepentingan memenuhi kebutuhan hidup jauh lebih penting dari pada kesadaran akan sikap sosial-budaya masyarakat.
2. Kemudahan akses keluar atau masuknya individu atau komunitas pada komunitas lain Pada saat peraturan adat dan budaya tidak membatasi / mengatur akses keluar dan masuknya seorang individu atau anggota komunitas tertentu ke dalam komunitasnya, maka masuknya kebudayaan asing kedalam komunitas tersebut akan sangat mudah. Masuknya budaya luar yang dibawa oleh “aktor sosial” baru dari luar tersebut akan memberi pengaruh terhadap budaya komunitas yang dimasukinya. Kemudahan akses keluar atau masuknya komunitas budaya yang satu dengan yang lain akan menyebabkan terjadinya percampuran budaya dan selalu berhubungan dengan komunikasi lintas budaya. Artinya adalah pada saat anggota komunitas tertentu masuk, maka dia akan berusaha mengkomunikasikan budayanya atau mungkin dia akan mencoba menerima budaya setempat sebagai budaya barunya bergantung seberapa besar kekuatan budayanya dan seberapa pintar dia mengkomunikasikan budayanya untuk di terima oleh komunitas barunya tersebut. Pada saat itulah sedikit demi sedikit akan terjadi dinamika perubahan kebudayaan (beserta kearifan lokal yang ada didalamnya) yang akan berlangsung secara evolusi, difusi dan akulturasi melalui inovasi (Sartini, 2004: 115). Lebih jauh Sartini menerangkan bahwa kearifan lokal dapat berubah karena benturan nilai dan relativitas budaya pada komunikasi lintas budaya. Sartini
38
menjelaskan bahwa dalam aneka ragam budaya dengan nilai-nilai kulturnya akan ada pemahaman yang tidak selalu sama dalam hal nilai dan pemahamannya. Hal inilah yang kemudian menyebabkan adanya benturan nilai antar budaya. Benturan nilai ini akan diselesaikan salah satunya dengan cara mengkomunikasikan identitas / nilai budaya masing-masing sehingga akan ditemukan suatu kesepakatan bersama. Saat itulah setiap anggota yang berkepentingna akan mencoba menerima budaya masing-masing. Hal ini memberi kesempatan budaya tertentu untuk tumbuh dan berkembang dalam suatu komunitas sehingga dapat mengakibatkan terjadinya perubahan kebudayaan yang berimplikasi pada berubahnya kearifan lokal masyarakat setempat. Aprianus Salam (2007) dalam jurnalnya ia mempertajam pernyataan diatas dimana “kearifan sosial” yang dia sebut-sebut sebagai produk tandingan untuk kearifan lokal. Kearifan sosial merupakan kebijakan yang dibawa oleh masyarakat atau individu dari luar yang kemudian disosialisasikan kepada masyarakat setempat (pribumi) untuk kemudian diterima dan diaplikasikan sebagai suatu bentuk kearifan yang lebih baik dari pada kearifan lokal masyarakat setempat. Boleh jadi dalam hal ini masyarakat setempat akan merasa terpakasa / dipaksa menerima kearifan sosial tersebut sebagai sesuatu hal yang baru dan lebih baik dari kearifan lokal yang mereka miliki. Pada saat itulah pergeseran kebudayaan lokal akan terjadi akibat mudahnya akses keluar / masuk individu atau kelompok lain kedalam komunitas tertentu. Dimana komunitas pendatang ini membawa budaya baru dan mencoba untuk mengkomunikasikannya pada masyarakat pribumi.
39
3. Globalisasi Globalisasi yang diakui sebagai suatu keadaan dimana berbagai tindakan dalam semua aktivitas manusia diakui bukan hanya oleh segelintir orang, akan tetapi oleh seluruh dunia yang sifatnya global dan universal. Sartini (2004: 116) menjelaskan bahwa globalisasi yang terjadi bukan hanya di Indonesia saja, tetapi juga di seluruh bangsa di dunia diakui dapat menjadi tantangan dan ancaman terhadap integritas suatu bangsa dan eksistensi kebudayaan lokal masyarakat. Kita tidak dapat menghindari adanya globalisasi, akan tetapi kita dapat mengelolanya berdasarkan kebutuhan dan tujuan kita. Dimana kearifan lokal juga tidak mungkin lepas dari efek globalisasi ini, bisa jadi akan terpengaruhi (Seabrook (2004) dalam Sartini (2004: 116). Sejalan dengan arus globalisasi dan modernisasi, perlahan-lahan ilmu pengetahuan modern dan teknologi mulai memarjinalkan kearifan lokal masyarakat. Ilmu pengetahuan modern yang selalu menghendaki adanya fakta empiris dalam semua kejadian di masyarakat telah berusaha memojokan pengetahuan lokal yang tidak terlalu mengedepankan fakta empiris. Akibatnya, praktek-praktek kearifan lokal yang merupakan bagian dari tradisi masyarakat lokal seolah “diharamkan” dan dianggap tabu. Lebih jauh, para penganut modernisasi menganggap hal tersebut merupakan ciri bahwa masyarakat masih “primitif”. Forsyth (2003) dalam Satria (2009: 13) memandang bahwa proses marjinalisasi kearifan lokal pada masyarakat tertentu merupakan salah satu “ortodoksi lingkungan” (environmental ortodox). Implikasinya, masyarakat lokal dengan seperangkat kearifan lokalnya sering dipersalahkan pada saat terjadi kerusakan lingkungan seolah-olah akibat praktek kearifan lokal yang mereka
40
lakukan. Dalam hal ini, Forsyth menyontohkan praktek yang dilakukan oleh masyarakat yang melakukan praktek ladang berpindah. Dimana masyarakat akan membuka lahan yang baru pada saat lahan yang lama mulai dirasakan tidak produktif lagi. Sistem ladang berpindah inilah yang diklaim sebagai bentuk perusakan terhadap lingkungan oleh kaum yang menganut modernisasi. Sehingga kaum ortodoks ini menganggap semua kerusakan lingkungan terjadi akibat ulah masyarakat lokal yang mempraktekan kearifan lokal. Globalisasi akan membawa budaya-budaya baru dan pengetahuan baru yang
dapat
mempengaruhi
kearifan
lokal
masyarakat.
Hal
ini
dapat
mengakibatkan terjadinya perubahan atau dinamika dalam kearifan lokal masyarakat. Sehingga setiap pemilik kearifan lokal tersebut bisa jadi akan mengalami “global phobia”.Θ Pada saat itulah hendaknya masyarakat membuat suatu kebijakan untuk menyelesaikan kearifan global dengan efek globalisasi agar dapat berjalan secara bersama-sama (Sartini, 2004: 116).
4. Pengaruh teknologi baru dan media masa Globalisasi memberi dampak terhadap kemajuan IPTEK dan media masa. Media masa yang menjadi sarana dalam mensosialisasikan teknologi seolah keduanya menjadi senjata dalam membuat suatu perubahan kebudayaan masyarakat. Teknologi baru yang disosialisasikan atau diintroduksikan pada masyarakat tidak akan pernah lepas dari peran media masa dan para aktor sosial yang berkepentingan. Meski tidak selalu berdampak negatif pada masyarakat,
Θ
global phobia adalah suatu bentuk ketakutan terhadap arus globalisasi sehingga masyarakat harus membuat suatu langkah atau kebiasaan untuk menghadapinya. (jurnal filsafat, Sartini, 2004:116).
41
akan tetapi masuknya teknologi baru dan media masa akan membawa perubahan pada budaya beserta kearifan lokal masyarakat. Siti Fikriyah K, (2005) dalam jurnalnya yang berjudul “Nelayan Memegang Cangkul : Perubahan Pola Produksi Berbasis Laut Menjadi Berbasis Tanah (Studi Kasus Tanah Timbul Segara Anakan)”, menceritakan bagaimana perubahan sistem mata pencaharian masyarakat dari nelayan menjadi petani. Perubahan sistem mata pencaharian ini disebabkan oleh masuknya teknologi baru dalam penagkapan ikan seperti trawl yang telah menggeser alat tangkap tradisional seperti wideΨ dan sebagainya. Diawal, pendapatan nelayan relatif meningkat. Akan tetapi seiring dengan peningkatan pendapatan, praktek penangkapan ikan dengan teknologi baru itu mengarah pada eksploitasi sumber daya perairan yang sangat berlebihan. Akibatnya keseimbangan ekologi jadi tidak stabil, degradasi lingkungan, kerusakan terumbu karang, ikan mulai berkurang dan sebagainya. Hal ini telah mengakibatkan berkurangnya jumlah tangkapan ikan di laut dan pendapatan nelayan menjadi berkurang secara drastis. Fenomena ini disebabkan oleh penggunaan teknologi oleh segelintir orang yang tidak memperhatikan kearifan lokal masyarakat dan keseimbangan lingkungan dan hanya memperhitungkan kebutuhan sesaat saja, sehingga kegiatan penangkapan ikan mengarah pada bentuk eksploitasi yang berlebihan. Masyarakat yang menggunakan tanda-tanda alam dalam melaut dan kebijakan lokal masyarakat yang tidak menangkap ikan yang masih kecil, perlahan ditinggalkan. Sementara penggunaan teknologi baru ini tidak memikirkan hal-hal seperti itu akibatnya
Ψ
wide adalah alat tangkap ikan tradisional di laut yang terbuat dari bambu. Wide memiliki banyak jenis tergantung dari jenis tangkapannya, (Jurnal Pembaruan Desa dan Agraria, Oleh Khuriyati, (2005 :42).
42
populasi ikan tertentu di laut menjadi berkurang bahkan punah. Implikasinya adalah pendapatan nelayan menurun drastis dan nelayan tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Sehingga masyarakat akan mencari alternatif baru dalam mencari nafkah. Dengan memanfaatkan lahan timbul Segara anakan, mereka mencoba untuk bertani. Terlihat bahwa dengan diintroduksikannya teknologi baru melalui media masa telah dapat merubah kearifan lokal yang masyarakat lokal miliki dalam sistem mata pencaharian masyarakat. Akibat dari pemakaian teknologi yang tidak memperhatikan keseimbangan lingkungan dan kearifan lokal masyarakat akhirnya melahirkan berbagai permasalahan yang penanganannya harus disegerakan. Pada saat mata pencaharian masyarakat nelayan tidak lagi menjanjikan disektor perikanan, maka mereka akan mencari alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada saat itulah mereka meninggalkan peran sebagai nelayan dan meninggalkan kearifan lokal mereka dalam menagkap ikan di laut.
5. Perubahan kebijakan pemerintah Kebijakan pemerintah dalam menentukan model pembangunan selalu berubah-ubah seiring dengan perubahan rezim kepemimpinan. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia misalnya, lahir UU yang mengatur sektor perikanan yaitu staatblad 1916 No. 157 tentang siput mutiara, tripang dan terumbu karang dimana pada pasal 2 berisi pengakuan terhadap eksistensi Hak Perikanan Tradisional (HPT) nelayan lokal. Kemudian pada saat pasca kemerdekaan RI, lahirlah UU Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 sebagai kebijakan baru yang dipandang lebih baik. Pada pasal 16 ayat (2), undang-undang
43
tersebut mengatur tentang hak pemeliharaan dan penangkapan ikan. Kebijakan ini kemudian berubah lagi pada masa orde baru. Orde baru lebih memfokuskan kebijakannya pada aspek tata kelola yang lebih sentralistik dan berorientasi ekonomi. Pada masa ini lahirlah UU perikanan 1985 yang isinya tidak menyebutkan masalah eksistensi HPT. Pengelolaan sumberdaya saat itu di disain secara sentralistik dimana pemerintah memegang kendali besar dalam pembangunan sedangkan rakyat hanya sebagai objek pembangunan. Pada masa itu pembangunan lebih menguntungkan pemerintah dan melemahkan posisi tawar masyarakat. Lebih jauh, hak ulayat laut dan kearifan lokal masyarakat kurang begitu diperhatikan. Selanjutnya dengan lahirnya UU No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa, lebih menjadikan tatanan sosial dalam pengelolaan sumber daya perairan menjadi runtuh (termasuk kearifan lokal masyarakat yang ada di dalammya), (Satria, 2009b: 12-13). Selanjutnya untuk memperbaiki kelemahan kebijakan sebelumnya, dan untuk menyelesaikan masalah masyarakat, pada era reformasi kembali dibuat kebijakan baru. Hal ini ditandai dengan lahirnya UU No. 22 tahun 1999 yang kemudian disempurnakan lagi menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah dan UU Perikanan No. 31 tahun 2004. Di dalam Undang-Undang ini, tidak di singgung mengenai adanya perlindungan hukum terhadap HPT, akan tetapi masyarakat (termasuk nelayan kecil di dalamnya), dibebaskan untuk menangkap ikan di daerah perairan, (Satria, 2009b: 13). Apabila dilihat dari urutan kronologis lahirnya kebijakan pemerintah ini ternyata kembali lagi pada kebijakan sebelumnya. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, kebijakan pembangunan lebih bersifat desentralisasi. Dimana
44
pemerintah saat itu menggunakan kearifan lokal yang merupan modal sosial masyarakat dalam melaksanakan pembangunan. Masyarakat lebih bersifat sebagai subjek dalam pembangunan bukanlah sebagai objek pembangunan saja. Sementara pemerintah memperoleh keuntungan dari masyarakat tanpa harus menjadi pelaku utama dalam pelaksanaan program pembangunan. Selanjutnya pada masa pasca kemerdekaan, meski dalam kebijakan pembangunan disinggung masalah pengakuan terhadap kearifan lokal masyarakat (khususnya hak ulayat laut), akan tetapi dalam prakteknya kearifan lokal tersebut kurang begitu diperhatikan. Penyebabnya adalah pada saat itu pembenahan terhadap sistem pemerintahan adalah fokus utama pembangunan. Kemudian pada masa lahirnya orde baru, kebijakan lebih ditekankan pada aspek ekonomi dan pembangunan yang sentralistik. Dimana pemerintah menjadi pemeran utama dalam pembangunan. Pemerintah sebagai pemimpin utama yang memiliki hak dalam mengambil keputusan saat itu menerapkan kebijakan yang cenderung menguntugkan pemerintah dan bersifat sentralistik. Masyarakat dipaksa untuk menaati peraturan yang ada. Ironisnya lagi eksistensi HPT tidak lagi dipedulikan dan orientasinya dirubah menjadi berorientasi ekonomi yang berujung eksploitasi terhadap sumber daya yang ada di masyarakat. Berbeda halnya dengan era reformasi, kebijakan yang dibuat lebih bersifat desentralisasi dan diterapkannya otonomi daerah. Meski HPT sebagai salah satu wujud kearifan lokal masyarakat tidak diatur secara jelas, akan tetapi masyarakat diberikan kewenangan untuk mengatur dan menjalankan pembangunan secara mandiri dengan menggunakan modal sosial yang mereka miliki dengan tetap memperhatikan UU yang berlaku saat itu. Pada era reformasi ini kembali
45
masyarakat dipaksa untuk kembali pada konsep pembangunan di awal dan dipaksa untuk kreatif dalam melaksanakan pembangunan karena masyarakat sendirilah yang menjadi aktor utama dalam pembangunan. Berdasarkan urutan kronologis kebijakan ini terihat adanya pergeseran atau adanya perubahan kearifan lokal. Perubahan kebijakan pemerintah yang memandang secara sentralistik dalam pembangunan tentu saja akan membawa pengaruh terhadap kearifan lokal masyarakat. Secara sentralistik pemerintah memandang sama untuk setiap kearifan lokal pada komunitas tertentu. Akan tetapi kenyataan dilapangan, setiap kearifan lokal masyarakat berbeda-beda. Misalnya kearifan lokal masyarakat nelayan akan berbeda dengan masyarakat petani. Bahkan kearifan lokal masyarakat nelayan yang memiliki kondisi geografi atau aspek-aspek lainnya akan berbeda dengan komunitas nelayan yang lain yang tinggal di daerah lain. Pada saat pandangan sentralistik ini digunakan, maka akan berimplikasi pada timbulnya pergeseran kearifan lokal masyarakat nelayan.
6. Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah yang paling krusial dan bersifat multi dimensi bagi masyarakat nelayan. Penyebab kemiskinan yang terjadi pada nelayan diantaranya adalah : Pertama kondisi alam yang tidak bisa dikontrol dimana nelayan akan selalu berpindah-pindah tempat pada saat hasil tangkapan berkurang dari satu lokasi ke lokasi lain. Kedua, tingkat pendidikan nelayan umumnya rendah sehingga nelayan hanya dapat menggunakan pengetahuan lokal yang diperolehnya secara turun temurun. Di sisi lain, tingkat pendidikan yang rendah ini banyak dimanfaatkan oleh para kaum kapitalis yang berusaha menguasai
46
nelayan secara ekonomi. Ketiga, pola kehidupan nelayan sendiri yang sering dipandang sebagai masyarakat yang malas dan boros. Streotipe inilah yang mengakibatkan rendahnya posisi tawar nelayan. Keempat, akses pemasaran hasil tangkapan yang relatif sulit di jangkau mengingat tidak semua masyarakat nelayan memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI), sehingga dengan terpaksa mengingat kebutuhan mereka yang sangat mendesak, nelayan harus menjual hasil tangkapannya pada tengkulak dengan harga jauh dibawah harga standar. Kelima, program pemerintah yang tidak memihak nelayan dan cenderung memihak kaum kapitalis dimana nelayan ditempatkan sebagai obyek dalam pembangunan dan posisi tawar mereka diperlemah. 7 Kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak mampu memelihara dan memanfaatkan tenaga fisik dan mentalnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam suatu kelompok sosial tertentu.8 Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang selalu menjadi masalah yang besar untuk beberapa negara berkembang yang memiliki pertumbuhan dan jumlah penduduk yang relatif tinggi seperti Indonesia. kemiskinan terjadi pada saat distribusi kesejahteraan tidak merata, sementara pertumbuhan penduduk tinggi dan kesempatan kerja minim. Sehingga akan terjadi ketimpangan dan krisis ekonomi pada masyarakat tertentu. Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2002, yang diolah oleh SMERU 2003 menyebutkan bahwa 32,14% dari 16,4 juta jiwa masyarakat pesisisr yang hidup di 8.090 desa di Indonesai berada dibawah garis kemiskinan (Satria, 2009: 24). Sementara pada tahun 2008, BPS kembali melaporkan bahwa 7 8
Ibid. Ibid.
47
penduduk miskin di Indonesia mencapai 34, 96 juta jiwa dimana 63,47% dari jumlah yang ada adalah masyarakat pesisir dan pedesaan.9 Berdasarkan hal ini, kemiskinan merupakan salah satu isu utama dalam pembangunan masyarakat pesisir sehingga masalah kemiskinan ini harus dilihat sebagai masalah bersama karena pengaruhnya pada pembangunan relatif sangat besar (Kusnadi ed, 2007: 13). Sebenarnya jika diperhatikan, kemiskinan ini menjadi permasalahan utama dalam perubahan kearifan lokal masyarakat. Kemiskinan terjadi secara umum pada masyarakat yang memiliki jumlah dan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi. Sementara kemampuan fisik dan mental masyarakat rendah sehingga tidak mampu merespon arus globalisasi dan teknologi yang terjadi pada masyarakat tersebut. Akibatnya terjadi kemiskinan pada masyarakat. Kemiskinan yang terjadi di antaranya adalah kemiskinan struktural, kemiskinan kultural dan kemiskinan yang terjadi secara alamiah. Menurut Satria (2009: 25) kemiskinan struktural terjadi karena struktur sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif. Sedangkan kemiskinan struktural disebabkan oleh budaya masyarakat setempat. Kemudian kemiskinan alamiah terjadi karena keterbatasan sumberdaya yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Kemiskinan yang terjadi ini mendorong masyarakat untuk mencari penghidupan yang layak di daerah lain. Hal ini mengakibatkan kemudahan akses untuk individu dalam memasuki atau keluar dari komunitas tertentu. Inilah yang kemudian menyebabkan perubahan kearifan lokal pada masyarakat. Di saat
9
Laila, Najmu. 2009. Kemiskinan Struktural Masyarakat Nelayan, dalam http://mhs.blog.ui.ac.id/najmu.laila/archives/16. (Diakses tanggal 2 Desember 2009 Jam 11:38 WIB).
48
mereka kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya karena kemiskinan, saat itulah mereka mulai keluar dari ranah budaya (yang di dalamnya terdapat kearifan lokal) untuk berinovasi dengan cara mengadopsi budaya baru atau pengetahuan baru untuk kesejahteraannya.
7. Ilmu Pengetahuan Modern Keraifan lokal dalam perkembangannya, sering bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern. Keraifan lokal atau pengetahuan lokal memandang bahwa antara manusia dengan alam adalah suatu bagian yang tidak bisa dipisahkan dan saling mempengaruhi. Hubungan ini melahirkan suatu kebiasaan untuk senantiasa memanfaatkan sumber daya alam dengan berpijak pada aspek-aspek ekologi. Peraktek kearifan lokal ini telah banyak memberi dampak positif bagi alam. Dimana manusia sadar bahwa kerusakan yang terjadi pada alam akan berakibat buruk terhadap manusia. Implikasinya dalam banyak kasus, tindakan masyarakat banyak disesuaikan atau meniru pola dan prilaku sistem alam. Misal, adanya sistem kalender musim yang memberi informasi kapan waktu yang tepat untuk bertani atau melaut bagi nelayan. Contoh lainnya adalah kebiasaan petani yang menanam tanaman berbeda dalam satu petak lahan pertanian atau biasa kita sebut dengan sistem “ Tumpamg sari “. Pola tumbuh tanaman berdasarkan system tumpang sari ini menyebabkan tanah menjadi permanen, mengurangi penyinaran langsung oleh matahari, mencegah erosi dan dapat meminimalisasi serangan hama terhadap tanaman. (Mitchell, 2007: 303-304). Sementara ilmu pengetahuan modern berpandangan bahwa manusia dengan alam adalah terpisah. Manusia sebagai bagian yang terpisah dari alam,
49
menguasai dan mengendalikan alam. Akibatnya eksploitasi yang berlebihan terjadi pada lingkungan atau sistem ekologi. Pendekatan yang digunakan dalam menciptakan ilmu pengetahuan modern umumnya adalah metode-metode ilmiah. Dimana dalam prakteknya metode ilmiah ini berusaha untuk menguji dan mengurangi serta mengontrol seluruh variabel yang ada dalam sistem kearifan lokal masyarakat. Walaupun pemakaian metode-metode ilmiah ini merupakan suatu keganjilan karena pengetahuan lokal mempunyai banyak informasi yang tidak terucapkan baik secara lisan maupun tulisan. Akibatnya banyak hal yang tidak bisa diterjemahkan atau dipecahkan oleh pendekatan ilmiah tersebut. Hal inilah yang menjadi faktor penghalang sulitnya memadukan kedua pandangan ini (Neis, 1992 dalam Mitchell, 2007: 322).
2.2.
Kerangka Pemikiran Seperti halnya masyarakat secara umum, masyarakat nelayan tentu saja
memiliki kearifan lokal yang diwariskan secara turun temurun pada generasi berikutnya. Sebagai sesuatu yang diakui keberadaannya (meskipun bersifat abstrak), kearifan lokal tentu saja memiliki karakteristik, dan bentuk sehingga dapat dibedakan dengan kearifan lokal yang berkembang pada masyarakat lainnya. Kearifan lokal tersebut tentu saja terbentuk karena adanya modal sosial dan dapat berupa kebudayaan bagi masyarakat. Disamping itu, kearifan lokal ini juga memiliki makna sosial, budaya, ekonomi dan politik bagi masyarakat. Kemudian, kearifan lokal tersebut diterapkan dan dijalankan berdasarkan hal-hal tersebut.
50
Akan tetapi, mengingat sangat mungkin terjadi perubahan pada kearifan lokal itu sendiri, maka tidak heran jika kearifan lokal ini pun dapat berubah seiring dengan berjalannya waktu. Implikasinya adalah kearifan lokal dahulu akan berbeda dengan saat ini. Perbedaan inilah yang kemudian dimaknai sebagai suatu perubahan. Perubahan ini tentu saja dipengaruhi oleh beberapa faktor. Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan kearifan lokal tentu saja akan berbeda-beda dan mengikuti bentuk serta karakteristik dari kearifan lokal itu sendiri. Faktor-faktor tersebut, dapat mengakibatkan perubahan pada pola aplikasi kearifan lokal. Kajian perubahannya tentu saja akan terfokus pada kearifan lokal itu sendiri. Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan 1. Karakteristik, dan bentuk kearifan. 2. Modal sosial dan kebudayaan masyarakat. 3. Makna sosial, budaya, ekonomi dan politik.
Aplikasi Kearifan Lokal Masa Lalu Faktor-Faktor Perubahan Kearifan Lokal Aplikasi Kearifan Lokal Saat Ini Keterangan :
= Pengaruh. Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran.
51
2.3. Hipotesis Pengarah 1. Kearifan lokal memiliki makna sosial, budaya, ekonomi, dan politik. 2. Kearifan lokal terbentuk karena modal sosial dan merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat. 3. Kearifan lokal memiliki karakteristik, bentuk dan pola aplikasi berdasarkan bentuk dan karakteristiknya tersebut. 4. Kearifan lokal, memiliki makna sosial, budaya, ekonomi dan politik bagi masyarakat setempat. 5. Berdasarkan aplikasi kearifan lokal dulu dan sekarang, kearifan lokal dapat mengalami perubahan karena faktor-faktor tertentu.
2.4. Definisi Konseptual 1.
Masyarakat Nelayan adalah komunitas masyarakat yang hidup, bertempat tinggal, dan mencari nafkah disekitar pantai atau di laut membentuk atau memiliki kebudayaan tertentu yang terkait dengan sumber nafkah masyarakat tersebut.
2.
Kearifan lokal adalah suatu kebijaksanaan, gagasan-gagasan, ilmu pengetahuan, keyakinan, pemahaman dan adat kebiasaan / etika masyarakat lokal yang dianggap baik untuk dilaksanakan, bersifat tradisional, diwariskan, penuh kearifan dan berkembang dalam jangka waktu tertentu dan
merupakan
hasil
dari
timbal
balik
antara
masyarakat
dan
lingkungannya. 3.
Modal sosial komunitas adalah suatu keadaan yang membuat masyarakat atau sekelompok orang bergerak untuk mencapai tujuan bersama, yang
52
meliputi trust (kepercayaan), relation (hubungan), solidarity (solidaritas) dan loyalty (loyalitas). 4.
Perubahan kearifan lokal adalah perubahan struktur / bentuk / fungsi / pola aplikasi sejalan dengan waktu dan dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu sehingga kearifan lokal sebagai bagian dari kebudayaan mengalami perbedaan berdasarkan periode waktu perubahannya.
5.
Bentuk Perubahan kearifan lokal adalah suatu kondisi yang menyebabkan perubahan bentuk pada kearifan lokal berdasarkan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan bentuk tersebut.
6.
Arah Perubahan kearifan lokal adalah suatu keadaan sebagai implikasi dari perubahan bentuk kearifan lokal yang memiliki pola gerakan tertentu (lurus / linier, maju, mundur, jatuh dan tumbuh / berkembang menjadi lebih baik).
7.
Makna sosial yang dimaksud oleh peneliti adalah arti kearifan lokal dalam kehidupan sosial masyarakat.
8.
Makna budaya yang dimaksud oleh peneliti adalah arti kearifan lokal dalam budaya yang berkembang pada masyarakat.
9.
Makna ekonomi yang dimaksud oleh peneliti adalah arti kearifan lokal dalam sistem perekonomian masyarakat.
10.
Makna politik yang dimaksud oleh peneliti adalah arti kearifan lokal dilihat dari sistem politik yang berkembang pada masyarakat.
11.
Kebudayaan masyarakat adalah semua hasil karya masyarakat yang melekat, tumbuh dan berkembang pada masyarakat dan menjadi ciri khas dari masyarakat itu sendiri.
53
12.
Karakteristik kearifan lokal adalah ciri yang melekat pada kearifan lokal yang membedakannya dengan kearifan lokal lain.
13.
Bentuk kearifan lokal adalah suatu ciri yang membangun kearifan lokal tersebut sehingga kearifan lokal tersebut memiliki wujud.
14.
Aplikasi kearifan lokal adalah proses dan penerapan dari kearifan lokal dalam kehidupan masyarakat di tempat penelitian.
15.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan kearifan lokal adalah elemen atau kondisi yang mempengaruhi pola perubahan pada kearifan lokal yang berkembang pada masyarakat.
54
BAB III PENDEKATAN LAPANGAN
3.1. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskrptif merupakan jenis penelitain yang bertujuan untuk memberikan gambaran yang jelas tentang karakteristik dari fenomena kearifan lokal yang sedang diteliti dan hubungan antar fenomena yang dapat mempengaruhi fenomena (fokus) yang sedang diteliti tersebut (Silaen, 2004 : 15). Fokus yang diteliti tersebut adalah kearifan lokal masyarakat di desa Muara-Binuangeun, kecamatan Wanasalam, kabupaten Lebak, Banten. Kemudian dari fenomena kearifan lokal ini, di cari hubungan antar fenomena
kearifan
lokal
masyarakat
dengan
kehidupan
sosial-ekonomi
masyarakat dan berbagai fenomena lain yang mempengaruhi perubahan kearifan lokal tadi. Sehingga di peroleh gambaran yang jelas dari aplikasi kearifan lokal tersebut dalam sistem sosial-ekonomi masyarakat nelayan di desa MuaraBinuangeun dan dianalisis juga gambaran atau uraian tentang karakteristik serta faktor-faktor yang mungkin akan mempengaruhi perubahan kearifan lokal di Desa Muara-Binuangeun. Selanjutnya, berdasarkan jenis penelitian, maka pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan studi kasus. Studi kasus di pahami Silaen (2004 : 15) sebagai : “ Penelitian untuk mempelajari secara rinci dan intensif tentang latar belakang, sifat-sifar dan karakter-karakter yang khas dari suatu unit sosial. Selanjutnya berusaha menemukan hubungan antara beberapa faktor yang mempengaruhi unit sosial tadi, kemudian sifat-sifat khas tersebut akan di jadikan sebagai hal yang bersifat umum”.
55
Studi kasus di lakukan pada kearifan lokal Langgan. Langgan diyakini memiliki latar belakang, sifat-sifat dan karakteristik tertentu dan merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang berkembang pada masyarakat nelayan di Desa Muara. Sebagai suatu kebudayaan masyarakat, Langgan juga diyakini mengalami perubahan dan dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu.
3.2. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pemilihan metode ini didasarkan pada jenis data yang ingin diperoleh yaitu data kualitatif. Disamping itu, untuk mengetahui bagaimana hubungan faktor perubahan pada kearifan lokal nelayan di desa Muara-Binuangeun, kecamatan Wanasalam, kabupaten Lebak, Banten dengan mengacu pada rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, maka metode kualitatif dianggap paling cocok untuk digunakan dalam penelitian ini. Pada mulanya, pemakaian metode kualitatif ini didasarkan pada peneliti yang masih belum mengetahui kearifan lokal masyarakat yang berkembang pada masyarakat yang ada di lokasi penelitian. Sehingga melalui penelitian kualitatif yang lebih menekankan pada makna dari pada generalisasi ini diharapkan fokus penelitian akan menjadi jelas dan data yang diperoleh lebih lengkap, mendalam, kredibel dan bermakna serta tujuan penelitian dapat tercapai. Kemudian, setelah fokus penelitian diperoleh, metode kualitatif digunakan untuk mengetahui lebih dalam tentang fokus penelitian yang sedang di amati. Selanjutnya, setelah fokus penelitian ini jelas, melalui metode kualitatif diharapkan akan diperoleh data yang bersifat latar belakang, proses dan perkembangan kearifan lokal yang diteliti, deskripsi yang luas dan mendalam tentang kearifan lokal yang diteliti,
56
perkembangan sosial-budaya dan ekonomi masyarakat serta faktor-faktor yang mungkin berpengaruh terhadap perubahan pola aplikasi kearifan lokal pada masyarakat nelayan di tempat penelitian.
3.3. Penentuan Subyek Penelitian Subyek dalam penelitian ini pada awalnya adalah setiap keluarga atau anggota masyarakat nelayan yang tinggal di tempat penelitian yaitu Desa MuaraBinuangeun. Akan tetapi, karena informan banyak yang menyarankan untuk mendatangi nara sumber / informan lain di luar tempat penelitian, maka akhirnya nara sumber juga banyak dari luar desa penelitian yang mengetahui banyak tentang aspek yang sedang diteliti oleh peneliti. Di dalam penelitian ini, peneliti akan melihat latar belakang, sifat atau karakteristik, dan proses aplikasi dari kearifan lokal yang ada di lokasi penelitian berdasarkan waktu pengaplikasiannya. Peneliti juga ingin melihat perubahan dari kearifan lokal tersebut. Kemudian ingin dilihat juga faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perubahan kearifan lokal tadi. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka peneliti harus memperhitungkan aspek waktu pengaplikasian kearifan lokal untuk dapat mengetahui perubahan yang mungkin terjadi dan faktor-faktor yang akan mempengaruhi perubahan tersebut. Peneliti hanya akan melihat aplikasi kearifan lokal di masa lalu dan aplikasi kearifan lokal saat penelitian dilakukan. Selanjutnya akan di lihat perbedaannya dan di kaji lebih dalam mengapa terjadi perbedaan pada pola aplikasi kearifan lokal dan faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya perbedaan tersebut. Perbedaan ini dipandang sebagai perubahan dari kearifan lokal itu sendiri. Diasumsikan bahwa tidak semua masyarakat mengetahui
57
bagaimana kearifan lokal ini diaplikasikan dimasa lalu. Sehingga perlu di tentukan informan pertama yang merupakan informan kunci yang mengetahui banyak tentang aspek yang sedang diteliti. Informan ini diambil secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan tersebut di atas. Kemudian teknik ini berkembang menjadi snowball sampling (sampel bola salju ) yang semakin lama jumlah sampel semakin besar sampai data yang diperoleh validitasnya dapat di pertanggung-jawabkan.
3.4. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada masyarakat nelayan yang ada di Desa Muara-Binuangeun, Kecamatan Wanasalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Penentuan lokasi penelitian di lakukan secara porposive (sengaja) dengan beberapa pertimbangan di antaranya adalah penelitian ini merupakan penelitian tentang kearifan lokal masyarakat nelayan, dan desa Muara merupakan salah satu desa nelayan di kabupaten Lebak, Banten. Pertimbangan lainnya adalah masalah waktu dan biaya penelitian yang terbatas serta jarak dari tempat penelitian ke tempat peneliti (kampus) juga diperhitungkan. Waktu penelitian dimulai dari Januari 2010 sampai dengan April 2010. Semula waktu penelitian akan di lakukan sampai bulan Mei 2010. Akan tetapi, dengan beberapa pertimbangan dan data dianggap sudah menemui titik jenuh, maka penelitian dilakukan hanya sampai bulan April 2010. Selama penelitian, konsultasi tetap dilakukan dengan pembimbing minimal satu kali dalam dua minggu melalui telepon, e-mail maupun bertemu langsung untuk diskusi. Dengan
58
demikian, peneliti dapat memanfaatkan waktu penelitian dengan maksimal. Adapun jadwal penelitian terlampir.
3.5. Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder yang diperlukan merupakan dokumen yang terkait dengan kearifan lokal masyarakat dan karakteristik masyarakat itu sendiri, seperti data dari pemerintah setempat, dan dokumen-dokumen yang terkait dengan kearifan lokal masyarakat setempat. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini di peroleh dari pemerintah desa Muara-Binuangeun berupa data profil desa, sumber daya yang di miliki oleh desa, luas dan batas-batas desa, serta sarana yang dimiliki oleh desa. Sedangkan data primer diperoleh melalui pendekatan kualitatif, yaitu dengan wawancara mendalam (indepth interview) dengan informan atau nara sumber. Teknik yang kedua adalah observasi berperan serta terbatas dimana peneliti ikut terlibat dalam setiap kegiatan yang dilakukan masyarakat nelayan, akan tetapi tidak ikut serta secara keseluruhan (dibatasi) sehingga dapat melihat dan merasakan apa yang terjadi di lapangan selanjutnya dapat mendeskripsikan hasil dari observasi yang dilakukan. Kemudian teknik yang ketiga adalah dokumentasi melalui foto-foto dilapangan. Sedangkan untuk kenyamanan saat wawancara, tidak di lakukan perekaman. Mengingat informan / nara sumber umumnya tidak merasa nyaman saat peneliti merekam pembicaraan dalam wawancara. Sementara teknik yang ke empat yaitu teknik triangulasi yang dilakukan / digunakan pada saat data yang diperoleh terkesan simpang-siur atau
59
validitas dan kredibilitasnya diragukan. Pada saat itulah peneliti menggunakan teknik triangulasi. Yaitu melelui triangulasi teknik dan triangulasi sumber (triangulasi waktu tidak digunakaan mengingat informan hanya dapat ditemui sore atau malam hari saja).
3.6. Instrumen Penelitian Mengutip pendapat Nasution (1988) dalam Sugiyono (2009: 60), bahwa : “Dalam penelitian kualitatif, tidak ada pilihan lain dari pada menjadikan manusia sebagai instrumen penelitian utama. Alasannya adalah segala sesuatunya belum mempunyai bentuk yang pasti. Masalah, fokus penelitian, prosedur penelitian, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil yang diharapkan, itu semua tidak dapat ditentukan dengan jelas dan pasti sebelumnya. Segala sesuatu masih perlu dikembangkan sepanjang penelitian itu. Dalam keadaan yang tidak pasti dan tidak jelas itu, tidak ada pilihan lain dan hanya peneliti itu sendiri sebagai alat satu-satunya yang dapat mencapainya”. Berdasarkan hal ini, maka instrumen penelitian pada awalnya adalah peneliti sendiri.
Kemudian
setelah
fokus
penelitian
menjadi
jelas,
peneliti
mengembangkan instrumen lain seperti foto untuk dokumentasi, panduan pertanyaan pengarah, catatan harian dan sarana untuk pengetikan. Dengan instrumen sederhana ini, diharapkan dapat mempertajam dan melengkapi data yang diperoleh dilapangan.
3.7. Teknik Analisis Data Teknik analisis data pada penelitian ini disesuaikan dengan metode penelitian yang digunakan, yaitu penelitian kualitatif. Analisis data ini mengikuti konsep Miles and Huberman dan Spradley. Miles and Huberman (1984) dalam Sugiyono (2009: 91), mengemukakan bahwa analisis data kualitatif dilakukan
60
secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai dengan selesai sehingga data yang diperoleh bersifat jenuh. Aktivitas dalam analisis data ini diantaranya adalah data reduction, data display, dan data conclusion drawing / verification. Pada saat turun lapang pertama, di peroleh data yang bermacam-macam dan tidak tersusun dengan benar. Data tersebut tetap di kumpulkan dan di koleksi sebanyak-banyaknya. Data yang diperoleh ini merupakan data tentang seluruh kearifan lokal yang berkembang pada masyarakat nelayan di lokasi penelitian. Mulai dari kearifan lokal yang berbentuk keyakinan atau kepercayaan, pengetahuan, sampai dengan aturan-aturan khusus yang merupakan kebijakan lokal di tempat penelitian. Kemudian data yang beranekaragam dan terkumpul secara tidak beraturan tersebut direduksi dengan cara di kategorikan menurut bentuk-bentuk kearifan lokal yang berkembang pada masyarakat dan menurut karakteristik dari data tersebut, misalnya adalah data tentang profil tempat penelitian dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Setelah dilakukan reduksi data, selanjutnya data tersebut dijabarkan satu persatu menurut kebutuhan data penelitian dan diurutkan secara sistematis sehingga akan lebih mudah dipahami dan akan menentukan arah penelitian selanjutnya. Tahap ini biasanya disebut dengan
tahap
penentuan
fokus
penelitian,
aktivitasnya
adalah
dengan
mendisplaykan data sehingga diperoleh gambaran umum fokus penelitian yang akan di kaji lebih dalam. Setelah fokus penelitian ini menjadi lebih jelas, maka penelitian dilanjutkan berdasarkan fokus penelitian tadi. Data-datanya pun terfokus pada aspek yang menjadi fokus penelitian. Dalam hal ini yang menjadi fokus penelitian adalah latar belakang, bentuk dam karakteristik dari Langgan
61
sebagai kearifan lokal masyarakat, aplikasi dan perubahan dari Langgan itu sendiri dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan kearifan lokal tersebut. Tahap selanjutnya yaitu tahap selection, aktivitas analisis data pada tahap ini adalah membuat suatu kesimpulan dari data yang di peroleh, memilih data yang di perlukan, membuat kategorisasi data yang diperlukan dan membuang data yang tidak di pakai. Aktivitasnya biasa disebut dengan conclusion drawing / verifying. Berikut ini adalah gambar aktivitas analisis data menurut Miles and Huberman.
Data collectio Data display
Data reduction
Conclusions: drawing/verifying
Gambar 3.1. Komponen dalam analisis data (interactive model), (Sugiyono 2009: 92). Selanjutnya Spradley (1980) dalam Sugiyono (2009: 99),
berpendapat
bahwa teknik analisis data disesuaikan dengan tahapan pada penelitian. Pada tahap penjelajahan, analisis data dilakukan melalui analisis domain. Analisis domain pada dasarnya sama dengan analisis data reduksi menurut Miles and Huberman. Pada tahap ini, peneliti mulai mereduksi dan mengkategorikan data berdasarkan kategori sosial masing-masing yang akan di teliti lebih jauh. Data yang diperoleh dan tidak terurut atau terkategorisasi kemudian di pisah-pisahkan berdasarkan kategori / domainnya. Selanjutnya pada tahap penentuan fokus,
62
analisis data di lakukan denga analisis taksonomi. Analisis kedua ini merupakan penjabaran dari domain / kategori data pada tahap pertama tadi. Pada tahap ini, peneliti mulai mencari tahu lebih dalam tentang fokus penelitian, dalam hal ini adalah Langgan. Pada tahap ini mulai dicari bagaimana bentuk, karakteristik dan bagaimana Langgan tersebut berproses dalam masyarakat. Kemudian dicari bagaimana perubahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan kearifan lokal (Langgan) dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat nelayan. Tahap ketiga (yaitu tahap selection) menurut Spradley dalam analisis data adalah melakukan analisis komponensial, dimana kali ini peneliti mulai memperdalam lagi domain yang telah dijabarkan dan disusun secara sistematis menurut kepentingan
data
penelitian
pada
hasil
analisis
sebelumnya.
Analisis
komponensial ini lebih terspesifikasi pada domain / kategori yang di rumuskan sebelumnya. Pada tahap ini juga peneliti mulai mencari perbedaan yang spesifik dari aplikasi kearifan lokal berdasarkan pola aplikasinya di masa lalu dan saat ini. Selanjutnya untuk sampai menghasilkan judul, dilakukanlah analisis tema. Pada tahap ini, peneliti mencari hubungan antar domain dan hubungannya secara keseluruhan. Kemudian menentukan tema dan judul berdasarkan hasil analisis tema. Analisis Miles and Huberman, dilakukan pada setiap tahapan pada analisis data menurut Spradley. Yaitu pada tahap penjelajahan, fokus dan selection.
63
3.8. Pengujian Kredibilitas Data Pengujian kredibilitas data pada penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1. Meningkatkan
ketekunan
dalam
analisis
data
secara
cermat
dan
berkesinambungan. Dengan demikian, dapat diketahui kesalahan dan kekurangannya. Disamping itu juga, peneliti dapat memberikan deskripsi data yang akurat dan sistematis tentang apa yang sedang diamati. 2. Triangulasi yang dilakukan melalui triangulasi teknik, dan triangulasi sumber. Melalui triangulasi ini, diharapkan data yang diperoleh bersifat sama pada teknik, dan sumber yang berbeda. Pengujian kredibilitas data melalui triangulasi ini dilakukan pada saat data yang di peroleh tidak sama menurut pemahaman narasumber atau data berbeda dari dua atau lebih narasumber yang berbeda sementara pertanyaan yang diajuakan sama. Pada saat itulah peneliti menggunakan triangulasi teknik dan triangulasi sumber data yang berbeda. Kemudian jika data tersebut menjadi sama, maka akan diambil. Akan tetapi jika data tersebut tetap berbeda, maka akan di buang atau tetap diambil secara garis besarnya. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi bias data dan agar validitas dan kredibilitas datanya dapat dipertanggungjawabkan. 3. Diskusi dengan dosen pembimbing dan dengan teman sejawat tentang data yang di peroleh. Diskusi dengan dosen pembimbing di lakukan minimal satu kali dalam dua minggu dan maksimal dua sampai empat kali dalam seminggu. Diskusi dengan dosen pembimbing ini lebih sering di lakukan pada tiga bulan terakhir penelitian. Sementara cara diskusi selain bertemu langsung dengan dosen pembimbing, pada saat peneliti di lapangan biasanya diskusi di lakukan
64
melalui telpon genggam atau melalui e-mail. Sedangkan diskusi dengan teman sejawat dilakukan pada saat peneliti ada di kampus. Diskusi dengan teman sejawat, bersifat nonformal dan dilakukan di dalam maupun di luar kampus. Disamping dikusi ini merupakan sarana dalam mengevaluasi data yang di peroleh peneliti, hasil diskusi ternyata memberi arah pada peneliti untuk memperdalam data yang di anggap masih dangkal dan memberi rekomendasi pada peneliti untuk mengkaji lebih dalam data pendukung lain untuk kepentingan penelitian.
65
BAB IV GAMBARAN UMUM DESA MUARA-BINUANGEUN
4.1.
Potensi Umum
4.1.1. Sekilas Tentang Desa Muara Desa Muara adalah salah satu desa yang terdapat di kecamatan Wanasalam, kabupaten Lebak, provinsi Banten. Desa ini merupakan desa pesisir dimana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagi nelayan. Jarak dari desa tersebut ke ibu kota kecamatan adalah 9 Km, dengan waktu tempuh + 1 jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan bermotor. Sedangkan jarak ke ibu kota kabupaten adalah 100 Km, dengan waktu tempuh + 5 jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan bermotor. Desa tersebut juga merupakan pusat kegiatan jual beli hasil nelayan karena di wilayah tersebut terdapat Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Pada awalnya, TPI berjumlah dua. Satu berada di desa Muara, kecamatan Wanasalam, kabupaten Lebak, dan satu lagi berada di desa Binuangen, kecamatan Cikeusik, kabupaten Pandeglang. Kedua tempat pelelangan ini dipisahkan oleh sungai yang juga menjadi pembatas dua kabupaten yaitu kabupaten Lebak dan kabupaten Pandeglang. Karena sesuatu hal dan untuk efisiensi transaksi jual beli nelayan, akhirnya TPI yang berada di desa Binuangen di non-aktifkan dan dipusatkan di desa Muara. Sehingga dari TPI tersebut berkembanglah sebuah pasar yang tidak hanya sebagai tempat penjualan ikan saja. Tetapi juga menjadi tempat jual beli berbagai kebutuhan rumah tangga lainnya.
66
Pasar tersebut merupakan suatu bentuk eksternalisasi positif dari adanya TPI. Sehingga secara ekonomi, pendapatan masyarakat meningkat dan proses pemasaran ikan menjadi lebih mudah. Dari pasar ini juga, berkembanglah jenisjenis usaha lain masyarakat diluar sebagai nelayan yaitu sebagai pedagang, tukang ojek, sopir angkot, usaha kerajinan tangan dari kulit kerang atau terumbu karang, jasa, pertanian dan sebagainya. Sebagian besar dari luas wilayah desa Muara, dipergunakan untuk pemukiman masyarakat dan pekarangan rumah. Bentuk pemukiman masyarakat sekitar pantai, polanya tidak beraturan dan berkerumun pada wilayah-wilayah tertentu. Dimana wilayah-wilayah tersebut dekat dengan pantai dan merupakan wilayah yang ramai. Sementara masyarakat yang aksesnya dekat ke jalan raya, pola perkampungannya tersebar disepanjang pinggiran jalan raya. Di dalam perkembangannya, desa tersebut saat ini berkembang menjadi desa wisata pantai. Desa Muara menyajikan berbagai wisata pantai dengan karakteristik tempat wisata yang bermacam-macam. Sehingga tidak heran jika liburan tiba, pantai-pantai tersebut dipenuhi oleh pengunjung. Tempat-tempat wisata pantai tersebut antara lain, wisata pantai Kembang Ranjang, pantai Karang Malang, pantai Sawah Kabayan, dan pantai Panto. Tempat-tempat ini memiliki keunikan masing-masing dan memiliki historys yang berbeda-beda. Misalnya pantai Karang Malang yang memiliki bentuk pesisir karang yang seolah lurus dan menghalangi debut ombak di pantai. Sehingga pada saat ombak datang, terlihat indah ketika menghantam karang. Sedangkan pantai Karang Sawah Kabayan memiliki keunikan bentuk karangnya yang menyerupai petakan sawah dimana jika kita turun untuk melihtnya lebih dekat, petakan tersebut tampak indah karena
67
terdapat banyak ikan hias liar dan berbagai tumbuhan laut (seperti akuarium alami). Berbeda dengan pantai Panto, masyarakat sekitar percaya bahwa disekitar pantai Panto tersebut terdapat buaya. Konon buaya ini sering naik kedarat pada saat musim hujan atau terjadi banjir dari laut. Sepentias menyeramkan, tetapi pantai ini sangat sejuk karena di sekitar pantai ini ditumbuhi pohon kelapa dan di pantainya sendiri banyak terlihat perahu dan bagang. Objek wisata pantai ini juga telah menyumbang banyak pendapatan baik bagi masyarakat sekitar maupun Pemda setempat. Sayangnya, sejauh ini pengelolaan terhadap objek wisata tersebut belum berjalan secara maksimal. Hal ini terbukti dari pengelolaannya yang kurang terorganisir dengan baik dan hanya berjalan pada saat musim liburan saja. Akibatnya adalah selain kurangnya perawatan terhadap pantai, juga keuntungan dari tempat hiburan tersebut sering dinikmati oleh oknum-oknum tertentu saja.
Gambar 4.1. Tempat wisata di desa Muara-Binuangeun.
68
4.1.2. Batas Wilayah Desa Muara sering disebut sebagai Binuangen. Padahal, Binuangen merupakan desa lain yang berbatasan langsung dengan desa Muara. Di sebelah utara, desa tersebut berbatasan dengan desa Cipedang, kecamatan Wanasalam. Sedangkan sebelah selatannya berbatasan dengan samudera Indonesia. Disebelah timur desa, berbatasan dengan desa Wanasalam, kecamatan Wanasalam, dan sebelah barat berbatasan dengan desa Binuangen, kecamatan Cikeusik, kabupaten Pandeglang. Penetapan batas-batas desa ini diatur dalam Peraturan Desa (Perdes) setempat.
4.1.3. Luas Wilayah Desa Muara memiliki luas wilayah + 3.546 Ha. Sebagian besar dari luas wilayah tersebut dipergunakan sebagai pemukiman (+ 1.210 Ha) dan pekarangan rumah (+ 1.100 Ha). Sementara sisanya digunakan untuk sarana umum (413,5 Ha), Perkantoran (312 Ha), taman (300 Ha), perkebunan (187 Ha), Persawahan (16 Ha) dan lahan yang digunakan untuk pekuburan umum (7,5 Ha). Berdasarkan data diatas, terlihat jelas bahwa areal pertanian sawah sangat kecil. Seperti telah dijelaskan diawal bahwa usaha di bidang pertanian kurang begitu diminati oleh masyarakat. Masyarakat lebih tertarik untuk menjadi seorang nelayan. Di sisi lain, terlihat bahwa luas pekarangan jauh lebih luas daripada areal pertanian. Artinya adalah masyarakat sekitar masih memiliki lahan yang belum termanfaatkan secara maksimal. Hal ini terlihat bahwa ditempat sekitar pekerangan rumah penduduk selain sebagai tempat menjemur pakian, pekarangan tersebut dibiarkan kosong begitu saja. Sehingga memungkinkan jika diadakannya
69
upaya penyuluhan terhadap masyarakat, lahan tersebut bisa dimanfaatkan untuk lahan usaha ternak, tanaman di dalam pot dan sebagainya. sehingga dapat menambah produktifitas nelayan sekitar.
4.1.4. Pertanian dan Perkebunan Masyarakat Berdasarkan iklimnya, desa Muara memiliki curah hujan + 260 mm dengan jumlah bulan untuk terjadinya hujan sebanyak 4 bulan. Sehingga dapat dikatakan curah hujan di desa tersebut cukup layak untuk pertanian. Akan tetapi berdasarkan tekstur tanahnya yang merupakan tanah pasir, maka bentuk pertanian untuk padi sawah kurang begitu baik. Sehingga tidaklah mengherankan jika data yang di peroleh menunjukan bahwa, hasil pertanian masyarakat desa Muara tidak memiliki angka yang sangat besar. Data dari pemerintah desa setempat untuk tahun 2008-2009 saja memperlihatkan bahwa 3 Ha dari luas keseluruhan lahan pertanian digunakan untuk tanaman ubi kayu. Sementara sisanya tidak diketahui apakah lahan tersebut dimanfaatkan untuk pertanian atau tidak. Sementara untuk perkebunan sendiri, komoditas utamanya adalah kelapa. Berdasarkan data desa Muara, luas wilayah untuk perkebunan kelapa sebayak 15 Ha. Dari setiap hektarnya, menghasilkan produksi rata-rata sebanyak 26.300 kwintal setiap tahunnya. Sehingga kelapa banyak menyumbang pendapatan untuk masyarakat. Seluruh perkebunan kelapa ini merupakan milik pribadi masyrakat sekitar.
70
4.1.5. Peternakan dan Perikanan Masyarakat 4.1.5.1. Peternakan Melihat keadaan tanah yang kurang baik dan kurang produktif untuk usaha pertanian, maka masyarakat lebih tertarik untuk melakukan usaha di bidang peternakan. Usaha-usaha ternak yang diupayakan masyarakat diantaranya adalah usaha ternak Sapi, Kerbau, Ayam Kampung, Bebek, Kambing dan Angsa. Hasil ternak masyarakat ini dijual langsung ke konsumen. Sedangkan untuk hewan kecil seperti ayam, pada umumnya hanya dapat mencukupi kebutuhan peternaknya saja. Berikut ini adalah tabel data jenis populasi ternak masyarakat desa Muara sampai dengan tahun 2009 : Tabel 4.1. Data usaha peternakan masyarakat di desa Muara sampai Tahun 2009. No . 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis Ternak Sapi Kerbau Ayam kampung Bebek Kambing Angsa
Jumlah Pemilik (orang) 9 11 1.570 8 4 1
Perkiraan Jumlah Populasi (ekor) 66 95 3.955 340 870 5
4.1.5.2. Perikanan Karena wilayahnya yang terletak di pantai, maka jenis perikanan yang paling utama dihasilkan oleh masyarakat adalah ikan dari laut. Akan tetapi ada juga jenis ikan air tawar yang di budi dayakan penduduk yaitu ikan mujair dan nila. Sejauh ini, alat-alat yang digunakan nelayan dalam menangkap ikan diantaranya adalah pukat sebanyak 17 unit dan jala sebanyak 21 unit (yang terdata oleh pemerintah desa tahun 2008). Hasil tangkapan
71
nelayan tersebut, ada yang dipasarkan langsung pada konsumen, ada yang di olah kembali menjadi ikan asin, dan ada juga yang langsung dijual pada tengkulak dan pengecer. Berikut ini adalah data jenis ikan yang ditangkap nelayan dan jumlah tangkapan setiap tahunnya. Tabel 4.2. Data jenis ikan yang dihasilkan oleh masyarakat di desa Muara sampai Tahun 2009. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
Jenis Ikan Tuna Tongkol/ Cakalang Hiu Kakap Tenggiri Jambal Pari Kuwe Blanak Cumi Sarden Bawal Kembung Ikan ekor kuning Kerapu / Sunuk Teripang Cucut Layur Udang/ Lobster Tembang Bandeng Rajungan Mujair Nila Rumput laut
Hasil tangkapan (ton/tahun) 2 10 2 2 1 1 0,5 3 4 3 4 1 2 2 1 0,5 1 5 5 2 3 0,2 1 2 5
72
4.1.6. Sumber Daya Air Di desa Muara ini, terdapat satu sungai yang mengalir dari desa Cipedang sampai dengan ke desa Muara. Sungai ini bermuara di laut yang ada desa Muara. Sungai ini juga merupakan pembatas antara kabupaten Lebak dengan kabupaten Pandeglang. Nama ‘Muara’ sendiri di ambil dari sungai Cipedang yang bermuara di laut dekat desa tersebut. Debit aliran sungai ini cukup besar, bahkan pada saat musim penghujan datang terkadang air meluap dan menyebabkan banjir. Airnya sangat keruh dan tidak bisa digunakan untuk air minum. Di dalam mencukupi kebutuhan air minum dan kebutuhan air rumah tangga, masyarakat sekitar membangun sumur gali dan sumur pompa secara pribadi. Sampai dengan saat ini, sumur gali terdapat 1.870 unit, dengan jumah pengguna sebanyak 2.521 Kepala Keluarga (KK). Sementara sumur pompa terdapat 7 unit dengan jumlah pengguna sebanyak 11 KK. Untuk memperoleh kemudahan dalam memenuhi kebutuhan air minum, di desa ini terdapat 5 unit depot isi ulang air mineral, dengan jumlah pengguna sampai dengan saat ini sebanyak 2.415 KK.
4.2.
Potensi Sumber Daya Manusia
4.2.1. Jumlah dan Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Muara memiliki jumlah penduduk + 10.196 jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 2.521 Kepala Keluarga. Berdasarkan jenis kelaminnya, jumlah laki-laki di desa ini sebanyak + 5.244 jiwa dan jumlah perempuan sebanyak + 4.952 jiwa. Sesuai data yang diperoleh, seluruh masyarakat di desa Muara berkewarganegaraan Indonesa dan sebagian besar beragama Islam.
73
Sementara tingkat pendidikan masyarakat pada umumnya adalah hanya tamatan SD saja. Tingkat pendidikan tertinggi yang pernah dijalani oleh beberapa anggota masyarakat adalah S2. Hal ini menunjukan bahwa, tingkat pendidikan masyarakat sudah bisa dikatkan baik. Karena secara umum, masyarakat desa yang memiliki akses terbatas terhadap pendidikan sebagian besar hanya dapat mengenyam pendidikan sampai dengan setingkat SLTA. Bahkan tidak sedikit masyarakat yang tidak tamat SD atau tidak pernah sama sekali duduk di bangku sekolahan. Berikut ini adalah data yang menyajikan tingkat pendidikan penduduk di desa Muara berdasarkan jenis kelamin : Tabel 4.3. Data tingkat pendidikan masyarakat di desa Muara berdasarkan jenis kelamin sampai Tahun 2009. Tingkatan Pendidikan Tamat SD/Sederajat Tamat SLTP/Sederajat Tamat SLTA/ Sederajat Tamat D-1/ Sederajat Tamat D-2/ Sederajat Tamat D-3/ Sederajat Tamat S1/ Sederajat Tamat S2/ Sederajat Tamat S3/ Sederajat
Laki-laki 952 421 242 75 93 44 15 -
Perempuan 640 496 207 56 45 25 5 -
4.2.2. Etnis Penduduk Masyarakat desa Muara sebagian besar merupakan etnis penduduk Sunda. Etnis lain yang memiliki jumlah yang lumayan banyak adalah etnis Jawa. Etnis Sunda merupakan penduduk asli atau penduduk pribumi desa Muara. Sementara etnis lain di luar etnis Sunda adalah penduduk pendatang yang mencoba mencari nafkah di desa tersebut. Etnis Jawa dan beberapa etnis lain seperti Aceh, Madura dan Makasar ini sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan. Dan
74
ternyata etnis pendatang ini lebih berhasil dan maju dalam bidang perekonomian. Hal ini terbukti dari sebagian besar pemilik perahu dan Langgan di desa itu adalah etnis diluar etnis Sunda. Kenyataan yang terjadi dilapangan, kini pemerintah sulit mengidentifikasi etnis-etnis penduduk yang ada di wilayah tersebut. Penyebabnya adalah karena terjadinya perkawinan antar etnis sehingga menyebabkan masyarakat dengan etnis tertentu bercampur dengan etnis lain. Hal ini terlihat dengan hilangnya beberapa perkampungan yang mencerminkan etnis tertentu seperti kampung Jawa (milik etnis Jawa), dan kampung Bugis (milik etnis Bugis). Berikut ini data etnis penduduk yang dapat diperoleh dari lapangan sampai dengan tahun 2009 : Tabel 4.4. Data etnis masyarakat di desa Muara berdasarkan jenis kelamin sampai Tahun 2009. Etnis Penduduk Aceh Sunda Jawa Madura Makasar
Laki-laki 1 3.852 1.360 1 25
Perempuan 1 4.210 740 1 3
4.2.3. Mata Pencaharian Penduduk Masyarakat desa Muara sebagian besar bermata pencaharian sebagai Nelayan. Berdasarkan data pemerintahan desa, yang berprofesi sebagai Nelayan semuanya adalah kaum laki-laki. Sementara perempuan lebih banyak bekerja sebagai buruh tani dan sebagai pengusaha kecil dan menengah yang dikelola sendiri. Mata pencaharian yang kedua adalah menjadi pengusaha kecil dan menengah. Sementara bidang pertanian menempati peringkat ketiga. Data juga menunjukan bahwa ternyata buruh tani jumlahnya relatif lebih banyak dari pada
75
petani pemilik. Berikut ini akan disajikan tabel yang menunjukan jenis pekerjaan masyarakat berdasarkan jenis kelamin : Tabel 4.5. Data mata pencaharian masyarakat di desa Muara berdasarkan jenis kelamin sampai Tahun 2009. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Jenis Pekerjaan Petani Buruh Tani Pegawai Negeri Sipil Pengrajin industri rumah tangga Pedagang keliling Nelayan Montir Bidan swasta Pembantu rumah tangga TNI POLRI Pensiunan PNS/POLRI/TNI Pengusaha kecil dan menengah Dukun kampong terlatih Jasa pengobatan alternative Dosen swasta Pengusaha besar Seniman Kariyawan perusahaan swasta Karyawan perusahaan pemerintah
Laki-laki 305 556 201 11 47 5.530 25 6 15 22 1.438 1 2 16 5 52 3
Perempuan 100 285 69 24 103 4 120 35 314 5 1 1 2 18 2
Gambar 4.2. Usaha pembuatan ikan asin.
76
4.3.
Potensi Kelembagaan Sampai dengan saat ini, desa Muara memiliki kelembagaan yang aktif
diantaranya adalah kelembagaan pemerintahan, lembaga kemasyarakatan, lembaga ekonomi, lembaga pendidikan, lembaga adat, dan lembaga keamanan desa. Berikut ini akan dijabarkan kelembagaan-kelembagaan tersebut.
4.3.1. Kelembagaan Pemerintahan dan Kemasyarakatan Seperti halnya desa lain, desa Muara memiliki lembaga pemerintahan yang cukup memadai. Desa ini memiliki jumlah aparat desa sebanyak 6 orang dan perangkat desa sebanyak 4 unit kerja. Perangkat desa ini dipimpin oleh seorang kepala desa dan dibantu oleh 6 orang stafnya. Kepala desa Muara mengurusi sebanyak 7 RW yang terdiri dari 27 RT. Untuk mengawasi kinerja dan jalannya program kepala desa, di desa Muara ini juga di bentuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Anggota BPD sebanyak 13 orang dan merupakan perwakilan dari setiap kampung di desa tersebut. Lembaga kemasyarakatan lain yang juga ada selain RT dan RW di desa Muara ini adalah kelembagaan Karang taruna, kelompok tani / nelayan, dan organisasi keagamaan.
4.3.2. Lembaga Ekonomi Masyarakat Di dalam membantu masyarakat untuk meningkatkan pendapatan dan ekonomi masyarakat, di desa Muara terdapat beberapa kelembagaan ekonomi. Di desa ini terdapat koperasi simpan pinjam dan kelompok simpan pinjam yang anggotanya adalah para nelayan di desa tersebut. Sayangnya koperasi ini kurang diminati oleh masyarakat. Hal ini terlihat dari jumlah anggota atau pengurus yang
77
terlibat hanya sekitar 7 orang untuk koperasi simpan pinjam dan 5 orang untuk kelompok simpan pinjam. Masyarakat pada umumnya lebih tertarik untuk menggunakan jasa lembaga keuangan non-bank yaitu Langgan. Alasannya adalah proses peminjaman uang saat butuh lebih mudah kepada tengkulak dari pada ke koperasi atau Bank Perkreditan Rakyat serta Bank pemerintah yang terdapat di situ. Di samping itu, tengkulak tidak segan-segan membantu nelayan dengan jumlah yang sangat besar. Akan tetapi nelayan tersebut harus menjual hasil tangkapannya pada Langgan yang memberi pinjaman padanya dengan harga yang ditetapkan Langgan. Sampai dengan saat ini lembaga keuangan non-bank yang terdapat di desa Muara ada 3 unit. Disisi lain, selain disektor Nelayan, masyarakat sekitar banyak yang berwira usaha dengan mendirikan industri makanan, pengolahan ikan, kerajinan tangan dari kulit kerang atau terumbu karang, restoran dan sebagainya. Ternyata sektor lain di luar nelayan juga banyak memberikan kontribusi besar dalam peningkatan pendapatan masyarakat. Buktinya adalah sampai dengan saat ini terdapat 15 unit industri pengolahan makanan yang umumnya berbahan baku ikan, 6 industri bahan bangunan, 3 unit industri kerajinan tangan dan 9 unit restoran. Sektor lain yang juga dilirik masyarakat adalah usaha jasa seperti jasa transportasi, hiburan dan sebagainya.
4.3.3. Lembaga Pendidikan Di dalam meningkatkan mutu sumber daya manusia di desa, desa Muara memiliki sarana pendidikan baik formal maupun informal. Desa Muara memiliki
78
2 unit TK yang statusnya swasta dan 5 buah SD dengan status Negeri sebanyak 3 dan 2 diantaranya berstatus swasta. Adapun pendidikan formal yang ada di desa ini lebih diarahkan pada aspek keagamaan. Di desa ini selain pondok pesantren, juga terdapat Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah.
4.3.4. Lembaga Adat Kelembagaan adat yang ada di Desa Muara pada saat ini aktivitasnya lebih pada upacara-upacara adat nelayan. Kelembagaan adat ini dipimpin oleh seorang pemangku adat yang dibantu oleh kepengurusan dalam adat yang berkembang pada masyarakat setempat. Di dalam menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan budaya setempat, biasanya pemangku adat tersebut mengadakan musyawarah adat. Kegiatan adat lainnya adalah upacara adat dalam perkawinan, dan upacara adat dalam bidang perikanan / laut. Adat masyarakat setempat merupakan bentuk adat suku sunda dan jawa. Dimana dalam prakteknya sama dengan yang dilakukan oleh masyarakat jawa / sunda yang memiliki tempat tinggal di sekitar pantai dan bermata pencaharian sebagai nelayan.
4.3.5. Lembaga Keamanan Desa Keamanan suatu desa tentu saja menjadi salah satu faktor penting yang harus diutamakan untuk kelangsungan hidup masyarakat desa. Oleh sebab itu, desa Muara juga saat ini memiliki kelembagaan keamanan yang cukup baik. Untuk menjaga keamanan desa, maka di sediakan 23 orang hansip dan 27 pos kamling yang tersebar di seluruh kampung di desa tersebut. Disamping itu, untuk keamanan juga, pemerintah desa mengadakan kerjasama dengan TNI dan POLRI.
79
4.4.
Potensi Sarana dan Prasarana
4.4.1. Sarana Umum Sarana dan prasarana yang terdapat di desa Muara diantaranya adalah sarana transportasi yang sudah cukup baik dimana jalan sudah di aspal dengan baik dan dapat dilalui oleh kendaraan darat apa saja. Disamping itu, karena sarana jalan raya yang cukup baik ini memudahkan akses masyarakat untuk beraktivitas seperti memasarkan hasil tangkapan ikan yang dilakukan nelayan, mengunjungi kerabat dan sebagainya. Di sisi lain, dengan akses jalan yang sudah cukup baik ini memudahkan para wisatawan untuk berkunjung ke pantai di desa Muara. Sarana komunikasi yang berkembang di desa ini antara lain adalah telpon, baik telpon genggam maupun telpon rumah. Untuk kelancaran berkomunikasi, di desa tersebut juga terdapat telpon umum, warnet dan wartel. Sarana komunikasi lain yang juga tersedia diantaranya adalah kantor pos, radio / TV, Koran dan majalah. Di dalam memenuhi kebutuhan rohani terutama dalam hal peribadatan, di desa sudah terdapat 3 buah mesjid dan 19 surau atau langgar yang tersebar di desa. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan jasmani, di desa sudah disediakan fasilitas lapangan sepak bola, bulu tangkis, volli dan sebagainya.
4.4.2. Sarana Kesehatan Di dalam memenuhi kebutuhan masyarakat di bidang kesehatan, saat ini terdapat sarana kesehatan diantaranya adalah puskesmas, poliklinik, apotik posyandu, rumah bersalin dan Balai Kesehatan Ibu dan Anak. Sarana kesehatan ini didukung oleh tenaga medis yang cukup baik. Jumlah tenaga medis yang terdapat di Desa Muara sebanyak 5 orang dan 3 orang bidan. Selain itu juga
80
terdapat 5 orang dukun bersalin yang siap untuk membantu dalam persalinan. Di bawah ini di sajikan tabel prasarana kesehatan yang terdapat di desa Muara. Tabel 4.6. Data sarana kesehatan di desa Muara sampai tahun 2009. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis Parasarana Puskesmas Poliklinik Apotik Posyandu Rumah bersalin Balai Kesehatan Ibu dan Anak
Jumlah (unit) 1 1 2 7 1 1
81
BAB V LANGGAN SEBAGAI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT
5.1.
Sejarah Langgan Desa Muara merupakan salah satu desa pesisir yang ada di kabupaten
Lebak, Banten. Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan kecil dan nelayan tradisional. Profesi sebagai nelayan ini ditekuni oleh masyarakat karena memang itulah satu-satunya mata pencaharian yang potensial terkait kondisi geografis masyarakat. Pekerjaan sebagai nelayan ini dimulai sejak adanya masyarakat di desa Muara dan tidak diketahui pasti, tahun berapa dimulainya pekerjaan sebagai nelayan ini ditekuni oleh masyarakat. Seiring dengan berjalannya waktu, perlahan-lahan jumlah penduduk desa Muara semakin bertambah dan banyak pula kaum pendatang dari luar desa yang ingin mencoba mengadu nasib di desa Muara. Kaum pendatang ini kemudian mendirikan kampung berdasarkan etnis mereka. Di desa Muara saat itu terdapat kampung Jawa (penduduknya adalah etnis dari Jawa), Kampung Bugis (penduduknya adalah etnis Bugis) dan kampung Madura. Sebagian besar pendatang ini banyak yang menjadi nelayan. Bahkan penduduk pendatang ini ternyata jauh lebih berhasil dari pada penduduk pribumi. Karena jumlah penduduk semakin bertambah banyak, dan diikuti oleh semakin bertambahnya kebutuhan hidup masyarakat. Sementara hasil tangkapan nelayan dilaut tidak mampu mengimbangi kebutuhan hidup nelayan. Di sisi lain, karena semakin bertambahnya penduduk yang menjadi nelayan, areal penangkapan ikan pun
82
terkesan semakin menyempit. Pada saat itulah kesulitan ekonomi pun terjadi pada masyarakat. Kesulitan ekonomi ini kemudian mendorong masyarakat untuk mencari alternatif baru dalam mengatasi masalah tersebut. Kemudian timbul pemikiran bahwa untuk memperoleh keuntungan yang besar, maka masyarakat harus memiliki modal yang besar pula. Masyarakat harus merubah pola penangkapan ikan yang pada mulanya bersifat tradisional menjadi lebih modern. Akan tetapi, masyaraakat tidak memiliki modal untuk membeli peralatan yang lebih modern dari pada yang biasa mereka gunakan. Jangankan untuk membeli peralatan yang mereka butuhkan untuk melaut, kebutuhan hidupnya saja tidak dapat dicukupinya. Kemudian timbullah gagasan atau ide masyarakat untuk keluar dari masalah ekonomi ini. Gagasan tersebut adalah meminjam modal pada kaum pemodal di desa Muara. Pada awalnya, proses peminjaman modal ini dilakukan oleh satu kelompok nelayan yang dipimpin oleh satu orang Tekong. Kemudian semakin hari, semakin bertambah jumlah nelayan yang meminjam modal pada kaum pemodal di tempat tersebut. Karena seringnya meminjam modal pada kaum pemodal yang sama, maka masyarakat menganggap bahwa kaum pemodal tersebut adalah “langganan” bagi nelayan dan nelayan memanggil kaum pemodal tersebut dengan sebutan “Langgan” dia. Kemudian terlahirlah “Langgan” pada masyarakat nelayan di desa Muara-Binuangeun. Istilah Langgan ini bukan hanya di kenal di desa Muara saja. Akan tetapi dibeberapa desa sekitar yang juga merupakan desa nelayan, istilah ini di kenal oleh masyarakat.
83
Seperti halnya lembaga yang meminjamkan modal, Langgan memiliki serangkaian aturan yang harus disepakati bersama pada saat proses peminjaman modal itu terjadi dengan nelayan. Aturan-aturan ini dibuat oleh Langgan dan harus disepakati oleh nelayan yang meminjam modal pada Langgan. Aturan ini bisa berubah sesuai keinginan Langgan. Akan tetapi, pada saat tertentu aturan ini dapat berubah oleh nelayan, tergantung siapa yang memiliki kekuatan yang lebih besar pada saat proses peminjaman terjadi. Misalnya pada kasus nelayan yang dipandang orang “dituakan” di desa (sesepuh desa), biasanya pada saat dia meminjam modal pada Langgan, maka aturan tersebut bisa dirubahnya. Peraturan yang dibuat tersebut, kemudian menjadi suatu konsensus dan menjadi suatu kebiasaan yang membudaya pada masyarakat. Pada saat nelayan meminjam modal pada Langgan, pada saat itulah aturan ini berlaku tanpa harus dibicarakan terlebih dahulu antara Langgan dengan nelayan yang meminjam modal. Pembicaraan masalah perubahan aturan kesepakatan ini dilakukan jika memang dianggap perlu dan jika memang harus ada perubahan aturan. Sampai saat ini belum pernah terjadi perubahan tata aturan yang sudah menjadi konsensus bersama ini secara keseluruhan. Hanya beberapa bagian dari konsensus itu saja yang dirubah. Aturan ini jugalah yang membuat Langgan menjadi suatu mekanisme hubungan sosial-ekonomi antara nelayan dengan kaum pemodal. Perjanjian ini pada awalnya tidak memberatkan masyarakat. Di dalam perjanjian ini pada awalnya adalah bahwa nelayan harus melunasi pinajamannya dan harus menjual hasil tangkapannya pada Langgan. Oleh sebab itu, Langgan dikatakan sebagai kearifan lokal masyarakat. Kemudian dalam perkembangannya, kesepakatan ini ditambah oleh para Langgan. Langgan menambahkan bahwa
84
selain masyarakat nelayan yang meminjam modal pada Langgan, harus membayar utangnya sejumlah yang dipinjam nelayan, nelayan juga harus memberikan keuntungan pada Langgan berdasarkan aturan yang dibuat Langgan. Hubungan antara Langgan dengan nelayan berubah bukan lagi hubungan sosial yang tadinya bertujuan membantu masyarakat, tetapi menjadi hubungan bisnis. Nelayan yang meminjam modal pada Langgan harus menjual hasil tangkapannya pada Langgan dengan harga yang ditetapkan oleh Langgan secara sepihak. Harga yang ditetapkan ini jauh lebih rendah dari harga yang seharusnya diterima oleh nelayan. Disamping itu, hasil tangkapan nelayan ini di bagi menjadi empat bagian. Bagian pertama adalah bagian untuk perahu yang digunakan nelayan, bagian kedua diperuntukan bagi alat tangkap yang digunakan nelayan, bagian ketiga diperuntukan bagi Langgan dan bagian yang ke empat diperuntukan bagi nelayan. Dalam sistem pembagian ini, nelayan hanya menerima satu bagian sedangkan Langgan menerima tiga bagian, yaitu bagian bagi dirinya sendiri, bagian untuk alat tangkap dan bagian untuk perahu yang digunakan oleh nelayan dalam melaut. Nelayan di desa Muara tidak memiliki pilihan lain, selain meminjam modal pada Langgan. Langgan menawarkan mekanisme sistem peminjaman yang mudah dan tidak berbelit-belit layaknya lembaga keungan konvensional yang melakukan
peminjaman
modal
pada
masyarakat.
Bagi
nelayan
yang
membutuhkan modal secepatnya, maka pilihan meminjam modal pada Langgan menjadi pilihan yang tepat dan dianggap paling “bijaksana”
ø
diantara pilihan
yang lain. Di sisi lain, karena nelayan menganggap bahwa mereka telah ditolong oleh Langgan pada saat mereka mengalami kesulitan modal di masa lalu, maka di
ø
Bijaksana yang dimaksud disini adalah karena nelayan tidak memiliki pilihan lain selain meminjam modal pada Langgan.
85
anggap peraturan yang dibuat Langgan dalam hubungan peminjaman modal dengan nelayan tidak merugikan. Perkembangan selanjutnya dari Langgan adalah munculnya perubahan dari mekanisme sitem Langgan karena faktor-faktor tertentu. Karena mekanisme perjanjian dalam sistem Langgan mensyaratkan adanya sistem bagi hasil yang dinilai berat sebelah, maka praktek Langgan diharamkan oleh agama sebagai suatu bentuk “riba”. Kemudian, karena masyarakat mulai berfikir bahwa dengan meminjam modal pada Langgan, kesulitan ekonomi mereka tidak juga selesai dan bahkan menjadi lebih buruk lagi, maka masyarakat banyak yang meninggalkan sistem Langgan. Disamping itu, adanya Tempat Pelelangan Ikan (TPI) sebagai wujud kebijakan pemerintah, telah merubah mekanisme sistem Langgan yang diterapkan oleh Langgan. Kemudian, dalam rangka menarik kembali minat nelayan untuk meminjam modal pada Langgan dan karena pengaruh beberapa faktor tadi, sistem bagi hasil ini dirubah menjadi sitem persentase dan sistem bagi empat kemudian dihilangkan. Dimana Langgan meminta bagian sebesar 5% sampai 10% dari hasil tangkapan nelayan. Sistem pembagian melaui persentase ini dinilai tidak terlalu memberatkan nelayan (YGI). Saat ini Langgan tetap ada dan tetap diakui keberadaannya oleh masyarakat nelayan karena Langgan terus berusaha beradaptasi dan menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
5.2.
Pengertian Sistem Langgan Langgan merupakan suatu istilah bagi seseorang yang meminjamkan
modal kepada nelayan yang akan melaut, yang dikenal pada masyarakat desa Muara, kecamatan Wanasalam, kabupaten Lebak, Banten. Pinjaman modal yang
86
diberikan pada nelayan biasanya diberikan dengan mudah dan ada “perjanjian”¥ diawal yang akan mengarahkan mekanisme hubungan antara nelayan dengan Langgan tadi. Pinjaman yang diberikan tersebut disertai dengan adanya perjanjian dimana nelayan selain harus mengembalikan modal sejumlah yang sama dengan jumlah modal yang diterima, nelayan juga harus memberikan hasil tangkapannya sebanyak 5% s.d. 10% (bahkan bisa lebih tergantung pada kesepakatan di awal) dari hasil tangkapan yang mereka peroleh saat melaut kepada Langgan. Disamping itu, hasil tangkapan yang diperoleh saat melaut harus dijual pada Langgan yang memberi modal, dengan harga dibawah harga standar yang seharusnya diterima oleh nelayan. Modal yang biasanya diberikan pada nelayan diantaranya adalah perahu, bahan bakar yang dibutuhkan untuk melaut, jaring, modal berupa uang, atau pun modal yang diberikan untuk memperbaiki perahu atau alat tangkap lainnya. Jika nelayan tidak mampu mengembalikan utangnya, maka Langgan biasanya menarik atau menyita barang-barang milik nelayan seharga utang yang di pinjam oleh nelayan. “Modal nu di pasihken ka nelayan ku Langgan biasanamah mangrupa duit, tapi aya oge nu sanes duit sapertos BBM, jaring, sareng sajabana. Upami nelayan teu tiasa ngalunasan hutangna, biasana barang-barang nelayan ditarik hutang nu nilaina saageng modal nu di tambut nelayan. Misalna pami hutangna saharga parahu, maka parahu nelayan ditarik.), (Modal yang diberikan pada nelayan oleh Langgan biasanya berupa uang, tapi ada juga yang bukan berupa uang seperti Bahan Bakar Minyak, jaring dan sebagainya. Jika nelayan tidak bisa melunasi utangnya, biasanya barangbarang milik nelayan yang nilainya sama dengan utang nelayan, disita sebagai pengganti atau untuk melunasi utangnya pada Langgan. Misalnya, apabila utang nelayan seharga perahu yang dimiliki nelayan, maka perahu tersebut akan disita oleh Langgan sebagai ganti atau untuk melunasi utang nelayan, (Pernyataan DNF, seorang nelayan Kursin).”
¥
Perjanjian ini merupakan perjanjian lisan yang merupakan konsensus masyarakat dan Langgan yang dibuat dimasa lalu dan diakui sampai dengan saat ini sebagai suatu aturan yang mengatur mekanisme dalam Langgan.
87
Jaring yang di pinjamkan sebagai modal pada nelayan untuk menangkap ikan umumnya yaitu jaring rampus dan jaring nilon. Jaring rampus adalah jaring yang dipinjamkan oleh Langgan pada nelayan dimana jaring ini berbahan tipis, berukuran kecil hingga sedang. Jaring rampus tersebut biasanya digunakan untuk menangkap ikan yang berukuran kecil seperti ikan petek, ikan banyar, dan ikan layur. Sedangkan jaring nilon adalah jaring yang dipinjamkan oleh Langgan pada nelayan dimana jaring ini terbuat dari nilon berbahan tebal dan berukuran besar yang biasanya digunakan untuk menangkap ikan yang berukuran besar pula seperti ikan hiu dan ikan tongkol. Akan tetapi, di dalam prakteknya nelayan banyak memilih untuk menggunakan jaring rampus dalam menangkap ikan di laut. Hal ini dikarenakan resiko utang nelayan pada Langgan serta keselamatan saat melaut lebih aman dari pada meminjam jaring nilon yang membuat nelayan harus melaut berhari-hari (7 sampai 10 hari). Pertimbangan lainnya adalah, hasil tangkapan dengan jaring rampus hasilnya bisa dinikmati dengan cepat karena tidak membutuhkan waktu berhari-hari untuk menangkap ikan dan jika dibandingkan dengan pendapatan dari jaring nilon, jaring rampus dapat menghasilkan ikan jauh lebih banyak dari pada menggunakan jaring nilon. Hal ini karena ikan besar yang bisa ditangkap dengan jaring nilon biasanya lokasinya jauh dan jumlah ikan besar relatif lebih sedikit dari pada ikan yang ukurannya kecil yang bisa ditangkap oleh jaring rampus. Jenis jaring lainnya antara lain adalah gilnet, jaring keong, jaring kincang, dan sebagainya. Sistem Langgan yang berkembang pada masyarakat nelayan di desa Muara berlangsung dalam jangka waktu yang sangat lama dan diwariskan secara turun-temurun pada generasi selanjutnya. Para orang tua (nelayan) yang terlibat
88
dalam system Langgan menganggap bahwa anak laki-lakinya yang akan membantu melunasi utang orang tuanya pada Langgan. Sedangkan bagi keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki, maka anak tertuanyalah yang akan membantu melaunasi utang orang tuanya pada Langgan. Pada saat orang tuanya tidak mampu melunasi atau meninggal dunia, tidak sedikit Langgan yang mewariskan utang tersebut pada keluarga nelayan. Inilah yang menyebabkan Langgan menjadi kuat dan terus berkembang sampai dengan saat ini. Keputusan untuk meminjam modal pada Langgan dilakukan pada saat nelayan mengalami kekurangan modal atau tidak memiliki modal untuk melaut. Kekurangan modal / tidak adanya modal untuk melaut biasanya terjadi pada saat musim paceklik, dimana pada musim ini nelayan tidak dapat melaut seperti biasanya. Walaupun tetap pergi melaut, maka hasil tangkapannya sangat sedikit dan resiko melaut cukup besar. Jika musim paceklik ini berkepanjangan, maka proses peminjaman pada Langgan ini berlangsung secara terus-menerus. Kemudian pada saat musim paceklik berakhir, ikan kembali banyak dan nelayan dapat kembali melaut seperti biasanya, pada saat itulah nelayan melunasi utangutangnya pada Langgan dari hasil melaut yang mereka peroleh. Keputusan untuk meminjam modal atau pun untuk kebutuhan lainnya, dianggap sebagai keputusan akhir yang dipilih oleh para nelayan dan merupakan suatu “kebijakan” nelayan yang paling bijaksana untuk mempertahankan eksistensi mereka sebagai nelayan di tempat tersebut. Kondisi seperti ini terus dijaga oleh Langgan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dari nelayan. “ Bicara nelayan desa Muara, maka tidak akan lepas dari pembicaraan masalah Langgan. Ibarat makan buah simalakama, tidak meminjam modal pada Langgan, artinya nelayan tidak bisa melaut karena tidak memiliki modal. Sementara jika minjam modal pada Langgan, maka harus siap
89
dengan bunga yang akan menjerat nelayan dalam utang yang tidak mungkin terbayar. Tapi untuk bertahan hidup, nelayan terpaksa meminjam modal pada Langgan.(pernyataan YGI, seorang pengamat langgan yang bekerja di TPI).” Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Langgan memiliki dua arti sebagai suatu “kearifan lokal”
masyarakat
yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat nelayan di desa Muara, kecamatan Wanasalam, kabupaten Lebak, Banten. Arti yang Pertama, dilihat bahwa Langgan adalah individu yang memberikan pinjaman modal untuk melaut pada nelayan di desa Muara. Ini merupakan arti Langgan di awal, sebelum Langgan ini berubah menjadi suatu mekanisme hubungan yang didalamnya terdapat peraturan-peraturan yang menjadi konsensus bersama dan diakui keberadaannya sampai waktu tertentu. Arti ini ada karena sangat tidak mungkin suatu sistem dapat memberikan pinjaman modal dan jika diartikan sebagai individu, maka Langgan tersebut dapat memberikan modal pada nelayan (individu lain) yang membutuhkan modal. Arti Langgan yang kedua dilihat dari posisi Langgan sebagai suatu mekanisme hubungan. Langgan diartikan sebagai suatu mekanisme hubungan antara nelayan dengan pemberi modal yang bersifat pribadi, diwariskan secara turun-temurun dan merupakan kebijaksanaan lokal yang didalamnya terdapat aturan-aturan khusus / konsensus yang menentukan pola prilaku yang diterapkan oleh nelayan di desa Muara, kecamatan Wanasalam, kabupaten Lebak, Banten. Mekanisme peminjaman pada sistem Langgan merupakan suatu cara-cara peminjaman dengan terlebih dahulu disepakati teknik-teknik pembayaran dan Kearifan lokal yang dimaksud adalah kebijaksanaan setempat yang terlahir untuk mengatasi masalah ekonomi masyarakat dan merupakan suatu pilihan yang dianggap tepat serta terbaik dari beberapa pilihan yang ada untuk mengatasi permasalahan tadi.
90
aturan khusus terhadap modal yang dipinjamkan oleh Langgan pada nelayan. Langgan dikatakan sebagai suatu sistem karena di dalamnya selain terdapat adanya orang yang memberi pinjaman (biasanya di sebut Langgan), nelayan yang melakukan pinjaman, aturan-aturan khusus yang mengatur masalah Langgan, juga terdapat individu lain yang juga masih satu kesatuan dalam Langgan yaitu Bakul, Pelele, nelayan, TPI, pemerintah dan masyarakat. Bakul adalah sekelompok orang yang menjual ikan dari Langgan pada konsumen atau pedagang ikan lainnya di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Sedangkan Pelele adalah orang yang membeli ikan dari Langgan atau Bakul yang kemudian di jual kembali pada masyarakat di luar TPI. Langgan sebenarnya suatu sistem patron-klien yang hampir sama pada masyarakat nelayan lainnya di Indonesia. Sebagai
kearifan
lokal
masyarakat
nelayan,
Langgan
memiliki
karakteristik seperti halnya pada kearifan lokal pada umumnya. Karakteristik dari Langgan itu sendiri antara lain adalah sebagai berikut : 1. Langgan dalam perkembangannya menjadi suatu lembaga yang melekat pada budaya lokal yang ada dan berkembang pada masyarakat nelayan di desa Muara, kecamatan Wanasala, kabupaten Lebak, Banten. 2. Langgan dengan segala aturan-aturan khusus yang mempengaruhi prilaku masyarakat nelayan memiliki orientasi pada hal-hal praktis yang disesuaikan dengan keadaan pada masyarakat nelayan yang bersangkutan dan bersifat jangka panjang. 3. Langgan dalam proses perkembangannya memiliki ruang dan waktu serta bersifat dinamis atau selalu menyesuaikan terhadap berbagai perubahan yang mungkin mempengaruhi perubahan pada Langgan itu sendiri.
91
Gambar 5.1. Aktivitas di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Langgan yang ada di desa Muara menempati tingkat yang paling tinggi dalam sistem stratifikasi sosial masyarakat. Orang-orang yang terlibat dalam Langgan secara umum adalah orang-orang yang memiliki kekayaan dan memiliki kekuasaan di desa tersebut. Sementara urutan kedua setelah Langgan adalah para nelayan pemilik kapal ataupun para Bakul yang bekerja dalam penjualan hasil laut. Para nelayan pemilik kapal tidak semuanya memiliki peralatan melaut yang lengkap atau pun memiliki modal yang cukup untuk melaut. Sehingga tidak sedikit para nelayan pemilik kapal melakukan pinjaman modal pada Langgan. Sedangkan para Bakul, memiliki pekerjaan yang bergantung dari Langgan. Hasil melaut nelayan di jual pada Langgan, dan dari Langgan di jual pada Bakul-Bakul dan Pelele yang ada di TPI. Para Bakul dan Pelele dapat dikatakan sebagai perpanjangan tangan atau tangan kanan dari Langgan dalam penjualan ikan dari nelayan. Sebenarnya, sebelum Langgan membayar hasil tangkapan nelayan, terlebih dahulu Langgan menjual hasil tangkapan tersebut pada Bakul-Bakul atau Pelele. Hasil penjualan tersebut kemudian diserahkan pada nelayan setelah dipotong bunga dan modal oleh Langgan berdasarkan perjanjian di awal dengan Langgan. Sedangkan nelayan sendiri menempati urutan ketiga atau urutan paling
92
rendah dalam sistem stratifikasi sosial masyarakat. Jika digambarkan, maka bentuknya menyerupai piramida, dimana posisi paling atas yang ditempati oleh Langgan relatif kecil atau sedikit yang menggambarkan Langgan dalam masyarakat jumlahnya sedikit. Sedangkan semakin kebawah, semakin besar menggambarkan bahwa semakin bawah posisi seseorang dalam piramida tersebut maka semakin banyak jumlah orang yang menempatinya sedangkan struktur sosialnya semakin rendah.
Langgan
Bakul, Nelayan pemilik kapal (Taweu)
Nelayan biasa, Tekong, dan Buruh nelayan Gambar 5.2. Stratifikasi sosial komunitas nelayan desa Muara berdasarkan sistem mata pencaharian di laut.
5.3. Struktur Organisasi Bisnis dalam Langgan Langgan merupakan suatu sistem kearifan lokal masyarakat nelayan di desa Muara-Binuangeun. Langgan menguasai sistem perdagangan bahkan perekonomian masyarakat nelayan. Mata pencaharian masyarakat pesisir di desa Muara yang umumnya sebagai nelayan hampir semuanya tidak lepas dari sistem Langgan. Langgan menjadi tempat masyarakat nelayan dalam memperoleh pinjaman modal. Kemudahan yang di tawarkan Langgan pada nelayan, telah dapat mengalahkan bahkan mematikan lembaga-lembaga lain yang memberi
93
pinjaman pada masyarakat seperti perbankan ataupun KUD di desa tersebut. Seorang nelayan Kursin (DNF), di desa tersebut menuturkan bahwa : ”Nelayan di desa ieu tiasa nambut modal ka Langgan dinten ieu, sareng modalna tiasa langsung di candak dinten eta keneh. Teu aya sarat nanaon, tapi upami hutangna teu tiasa di lunasan ka Langgan biasana parahu, atanapi naon bae gaduh nelayan di sita ku Langgan, (Nelayan yang ada di desa ini dapat meminjam modal pada Langgan hari ini dan dapat memperoleh modal tersebut hari ini juga. Tidak ada syarat apa-apa yang dapat memberatkan nelayan. Akan tetapi, jika uatng tersebut tidak dapat dilunasi pada Langgan oleh nelayan, biasanya perahu atau barangbarang berharga milik nelayan disita oleh Langgan).” Nelayan yang membutuhkan modal saat ini dapat memperolehnya dari Langgan saat ini juga, tanpa syarat ataupun peraturan yang bermacam-macam. Akan tetapi jika nelayan tersebut tidak mampu membayar utangnya pada Langgan, maka Langgan akan mengambil barang-barang berharga milik nelayan seperti perahu, jaring dan sebagainya. Ini merupakan konsekuensi yang harus di terima oleh nelayan yang meminjam modal pada Langgan. Sebagai suatu sistem yang sudah melembaga dalam kehidupan nelayan desa Muara, Langgan memiliki struktur keorganisasian, akan tetapi struktur ini tidak diakui secara hukum formal dan secara tertulis, melainkan struktur ini ada berdasarkan pengakuan masyarakat dan terbentuk dengan sendirinya. Tidak ada satu pun yang tahu (berdasarkan hasil penelitian), bagaimana struktur ini terbentuk pada mulanya masyarakat hanya tahu bahwa struktur ini ada sejalan dengan berkembangnya usaha mereka di sektor perikanan laut / nelayan. Beberapa nara sumber mengatakan bahwa Langgan dan struktur keorganisasian Langgan terbentuk pada saat usaha masyarakat di bidang perikanan laut (nelayan) dimulai. Adapun waktunya masyarakat juga tidak mengetahuinya secara pasti. Akan tetapi beberapa responden menyatakan bahwa Langgan kemungkinan besar bukan
94
berasal dari masyarakat setempat, akan tetapi di bawa oleh para pendatang dari luar yang mencari nafkah di wilayah tersebut sebagai nelayan. Hal ini di duga, karena di desa Muara ternyata sangat banyak masyarakat pendatang terutama dari daerah Jawa, Bugis dan Sunda (Jawa barat). Struktur organisasi dalam Langgan terdiri dari Langgan itu sendiri sebagai orang yang memberikan modal dan memiliki kekuasaan tertinggi dalam struktur organisasi tersebut. Kemudian di bawahnya terdiri dari bagian pemasaran hasil tangkapan dan bagian produksi atau nelayan. Bagian pemasaran terdiri dari Bakul dan Pelele. Sedangkan bagian produksi terdiri dari Taweu dan Tekong / Juru Mudi / Kapten. Tekong sendiri berdasarkan alat tangkap dan waktu beroperasinya, secara garis besar di bagi empat yaitu Bolga, Kursin, Bagang dan Payang. Langgan
Bagian pemasaran Bakul
Bagian produksi Pelele
Taweu
Tekong
Bolga
Kursin
Bagang
Payang
Gambar 5.3. Struktur organisasi bisnis pada Langgan di desa Muara-Binuangeun Lebak Banten. 95
Langgan menempati posisi teratas dalam struktur organisasi bisnis. Langgan memberi modal berupa uang atau pun barang-barang yang di butuhkan oleh nelayan pada saat melaut. Dalam hal ini, Langgan memiliki kekuatan tertinggi dalam sistem pemasaran dan produksi hasil laut (hasil tangkapan nelayan). Bagian pemasaran yang bertugas memasarkan hasil nelayan adalah Bakul dan Pelele. Bakul adalah distributor atau penjual ikan di TPI yang membeli ikan tersebut langsung pada Langgan. Ikan yang di jual oleh Bakul, diperoleh / dibelinya dari Langgan. Bakul merupakan sekelompok orang yang menjual ikan di TPI. Di sebut Bakul karena menjual ikan dengan menggunakan Bakul yang terbuat dari anyaman bambu. Pemasar kedua adalah Pelele. Pelele adalah sekelompok orang yang membeli ikan dari Bakul atau langsung dari Langgan serta nelayan untuk di jual atau dipasarkan kembali pada masyarakat. Pelele biasanya beroperasi di luar TPI, Pelele memasarkan ikan / hasil tangkapan nelayan langsung pada masyarakat. Terkadang Pelele juga berposisi sebagai Langgan karena memberi modal pada nelayan sehingga Pelele memperoleh harga yang murah dari ikan yang akan dipasarkan. Harga ikan yang murah ini, dibelinya langsung dari nelayan yang meminjam modal padanya tanpa melalui perantara lain seperti Langgan atau pun Bakul. Bagian kedua dalam struktur organisasi bisnis Langgan adalah bagian produksi. Bagian produksi ini terdiri dari nelayan pemilik kapal / perahu yang di sebut dengan Taweu dan nelayan yang menangkap ikan di laut. Taweu ini terkadang merangkap sebagai Langgan. Hal ini dilakukan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dan untuk menguasai seluruh hasil tangkapan
96
nelayan. Sedangkan nelayan yang menangkap ikan di laut dipimpin oleh seorang Tekong. Tekong atau biasa di sebut dengan Juru mudi atau di sebut juga kapten adalah orang yang bertugas menjadi pemimpin kapal / perahu dalam mencari ikan di laut. Tekong juga dapat di sebut sebagai nakhoda kapal. Sebutan Tekong biasanya digunakan untuk kapten yang memimpin kapal yang ukurannya kecil atau perahu. Berdasarkan perahu / alat tangkap yang di gunakan secara garis besar Tekong biasanya mengoperasikan / memimpin operasi pada Bolga, Kursin, Bagang dan Payang. Sedangkan berdasarkan waktu operasinya maka dapat dibedakan yaitu Kursin dan Bagang beroperasi pada malam hari, Payang beroperasi dari pagi sampai sore hari, dan Bolga beroperasi siang dan malam hari. Bolga adalah perahu besar yang singgah di tengah laut untuk menangkap ikan. Daya tampung / kapasitas Bolga dalam menampung ikan mencapai 200 sampai 300 ton ikan. Bolga biasanya beroperasi dalam waktu yang lama / biasanya berhari-hari. Nelayan desa Muara sendiri menuturkan bahwa di desa mereka tidak ada yang memiliki Bolga. Bolga berasal dari daerah lain (umumnya dari Makasar) yang singgah di wilayah penangkapan ikan desa Muara untuk mencari ikan. Kursin adalah alat tangkap ikan yang di pasang di tengah laut, menyerupai bentuk bangunan dimana di setiap pinggirnya memakai jaring yang berfungsi untuk menjebak ikan dan memakai penerangan untuk mengumpulkan ikan. Ikan yang tertangkap adalah berbagai jenis ikan yang mencari penerangan di malam hari. Sedangkan Bagang adalah alat tangkap ikan yang menyerupai Kursin hanya saja ukurannya lebih kecil dan jaring yang di pasang, di angkat dengan cara di kerek. Bagang pada awalnya dikembangkan oleh para nelayan dari Bugis. Kemudian di
97
adopsi oleh nelayan lokal di wilayah tersebut. Baik Kursin maupun Bagang beroperasi di malam hari. Berbeda halnya dengan Payang yang beroperasi pada pagi sampai sore hari. Payang adalah perahu nelayan yang beroperasi pada siang hari dan menggunakan alat tangkap ikan berupa jaring atau pancing. Jaring yang di gunakan biasanya adalah berupa jaring rampus, gilnet atau jaring kincang.
Gambar 5.4. Jaring Kursin (kiri) dan jaring rampus (kanan).
5.4. Jenis Langgan Berdasarkan Pengelolaan Hasil Tangkapan Nelayan Berdasarkan hasil penelusuran di lapangan, Langgan dapat dikategorikan berdasarkan pengelolaan hasil tangkapan ikan oleh nelayan. Langgan dalam menguasai hasil tangkapan ikan oleh nelayan, banyak yang melakukan monopoli dengan cara menjadi Bakul dan Taweu. Dengan demikian seluruh hasil tangkapan nelayan dapat di kuasainya secara utuh. Ada juga Langgan yang mengelola hasil tangkapan bersama Bakul atau Pelele. Berdasarkan pengelolaan hasil tangkapan nelayan maka Langgan dapat di golongkan sebagai berikut :
5.4.1. Langgan yang mengelola hasil tangkapan sendiri Di dalam menguasai hasil tangkapan nelayan di pelelangan ikan, tidak sedikit Langgan yang merangkap sebagai bagian pemasaran atau pun bagian
98
produksi. Dengan merangkap beberapa jabatan / posisi ini, maka Langgan akan memperoleh bagian yang ganda sesuai dengan jabatannya. Misalnya saja, Langgan yang merangkap sebagai Taweu / pemilik kapal, juga Bakul maka bagian yang di perolehnya adalah bagian dia sebagai Langgan dan bagian dia sebagai Taweu serta Bakul. Hal ini dilakukan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dari proses penjualan hasil tangkapan ikan dari nelayan.
5.4.2. Langgan yang mengelola hasil tangkapan bersama Bakul dan Pelele Langgan dalam mempermudah penjualan / pendistribusian hasil tangkapan nelayan, biasanya menggunakan jasa Bakul atau Pelele. Melalui jasa Bakul dan Pelele ini, maka Langgan akan memperoleh uang hasil penjualan dengan cepat. Akan tetapi, keuntungan yang di peroleh menjadi berkurang karena terkurangi oleh Bakul / Pelele yang juga mencari keuntungan dari penjualan ikan di pasaran.
5.4.3. Langgan yang merangkap Taweu Cara lain dalam memperoleh keuntungan yang berlipat ganda adalah dengan cara selain sebagai Langgan, juga merangkap sebagai Taweu. DNF, (31 th) menuturkan bahwa dalam memperoleh keuntungan yang besar, tidak sedikit Langgan yang merangkap juga sebagai Taweu. Dengan merangkap sebagai Taweu maka selain mendapat keuntungan sebagai Langgan juga memperoleh keuntungan dari profesinya sebagai Taweu (keuntungan ganda). Cara ini dilakukan selain sebagai suatu cara dalam memperoleh keuntungan yang besar dari penjualan hasil tangkapan nelayan, juga sebagai suatu cara dalam memonopoli hasil tangkapan
99
nelayan. Cara ini di pandang efektif untuk menghindari kecurangan nelayan yang menjual hasil tangkapan pada Pelele.
5.5. Nelayan dalam Sistem Langgan Sebagian besar nelayan yang ada di desa Muara adalah nelayan buruh dan nelayan pendatang dari daerah lain yang tidak memiliki modal untuk melakukan aktivitas sebagai nelayan di laut. Dengan adanya Langgan di tengah-tengah mereka, maka dianggap sebagai titik terang yang akan menolong mereka keluar dari kesulitan dalam memperoleh modal untuk melaut. Langgan bagi masyarakat nelayan di desa Muara merupakan “sang penolong” yang akan membantu mereka keluar dari kesulitan ekonomi. Bagaimana tidak, Langgan memberikan modal dengan mudah pada nelayan tanpa adanya syarat-syarat khusus seperti halnya lembaga keuangan formal. Hanya bermodalkan kepercayaan dan saling pengertian, maka nelayan akan memperoleh modal dengan mudah dari Langgan. Tentu saja, seperti halnya lembaga keuangan yang mencari keuntungan, Langgan juga membuat kesepakatan di awal dengan nelayan dalam hal bagi keuntungan. “ Langgan menawarkan proses peminjaman modal sangat mudah. Lebih mudah dari lembaga-lembaga yang menawarkan pinjaman pada nelayan. Langgan memberi modal pada nelayan pada saat nelayan membutuhkannya. Pada saat nelayan butuh, pada saat itulah modal diberikan pada nelayan. tidak perlu proses yang berbelit-belit. Tentunya hanya ada perjanjian proses pengembalian dan bagi hasil dari nelayan dengan Langgan. (HDA).” Akan tetapi, dalam prakteknya, ternyata Langgan berusaha memanfaatkan nelayan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Kepercayaan dan saling pengertian yang sebelumnya dijalin dengan baik, dijadikan senjata untuk menjerat nelayan ke dalam utang yang tidak mungkin terbayar oleh nelayan.
100
Bunga pinjaman yang sangat besar, permainan harga yang dilakuka Langgan di pasaran lokal, mekanisme perjanjian sepihak yang menguntungkan Langgan, parktek penjualan bahan bakar dengan harga yang sangat mahal melebihi harga di pasaran, pembelian hasil tangkapan nelayan dengan harga murah dan praktekpraktek penipuan lainnya menyebabkan nelayan semakin terpuruk dan miskin. Semula nelayan berharap dengan adanya Langgan akan menolong mereka keluar dari masalah kemiskinan yang mereka hadapi. Akan tetapi ternyata dengan adanya Langgan malah membuat nelayan semakin sulit keluar dari masalah yang mereka hadapi. Nelayan yang memiliki utang pada Langgan, umumnya tidak bisa keluar dari sistem yang diterapkan oleh Langgan. Akan tetapi, nelayan tersebut dapat berpindah Langgan dari Langgan yang satu ke tangan Langgan yang lain dengan syarat nelayan yang bersangkutan harus melunasi utangnya pada Langgan diawal. Pelunasan pada Langgan diawal biasanya dilakukan oleh Langgan yang sekarang. Artinya adalah utang nelayan tersebut berpindah dari Langgan sebelumnya pada Langgan yang melunasi utangnya pada Langgan sebelumnya. Peristiwa ini terjadi apabila Langgan sebelumnya tidak lagi dapat meminjamkan lagi modal pada nelayan karena utang-utang nelayan terlalu besar. Utang nelayan pada beberapa kasus ada yang diwariskan pada keluarganya jika nelayan tersebut tetap tidak dapat melunasi utangnya. Namun, ada juga Langgan yang membebaskan utang-utang nelayan apabila : pertama, keseluruhan utang nelayan baik utang pokok atau utang gantung dan utang mati nelayan sudah lunas dibayar. Kedua, perahu yang dipinjamkan Langgan rusak total atau hilang karena tenggelam di laut. Ketiga, perahu yang dipinjamkan pada nelayan
101
menderita kerusakan dan tidak diperbaiki oleh Langgan atau dibiarkan saja oleh Langgan tersebut. Jika ketiga hal ini terjadi, maka seluruh utang nelayan dianggap bebas atau lunas. Kejadian pada point pertama tersebut di atas, jarang sekali terjadi karena utang nelayan yang bertumpuk dan terus menjadi besar, membuat nelayan sangat sulit untuk melunasi utang tersebut. Sedangkan kejadian pada point kedua dan ketiga biasanya disiasati oleh nelayan untuk keluar dari himpitan utang pada Langgan dengan cara membiarkan perahu yang rusak tersebut dan tidak memperbaikinya serta membuat perahu baru dengan Langgan yang baru. Hal ini jugalah yang dapat menimbulkan sengketa pada saat nelayan memiliki atau membuat perahu baru. Masalah ini timbul karena Langgan yang lama menganggap bahwa perahu yang dimiliki nelayan saat ini, karena nelayan tersebut memiliki perahu yang lama. Sehingga Langgan yang lama menganggap bahwa nelayan tadi harus kembali melunasi utangnya pada Langgan lama tersebut. Konflik biasanya terjadi bukan hanya antara Langgan yang lama dengan nelayan saja, tetapi juga dengan Langgan baru yang membantu nelayan yang membuat perahu baru. YGI (32 Tahun), menuturkan bahwa: “Duka nelayanna tos palinter, duka emang licik. Biasana upami parahu nu diangge nelayan kanggo ka laut rusak, osok diburuken bae da cenah lewih ageng biaya ngahadean dari pada ngadambel nu anyar. Terus ngadambel parahu anyar nu modalna ti Langgan nu anyar oge. Osok aya paseana antara Langgan nuheubeul, nelayan sareng Langgan anu anyar. Da cenah nelayan bisa ngadambel parahu nu anyar kulantaran nelayan saetik atanapi agengna gaduh modal ti parahu anu lami. Jadi nelayan kedah ngalanjutken mayar hutang ka Langgan nu lami. Tapi di tolak ku Langgan nu ayena da cenah etamah hak Langgan nu ayena.” Tidak diketahui apakah nelayan di desa Muara sudah pintar atau memang mereka licik. Biasanya, jika perahu yang dipakai nelayan untuk melaut rusak, maka akan
102
dibiarkan saja dan tidak diperbaiki. Hal ini dilakukan nelayan karena umumnya biaya untuk memperbaiki perahu, besarnya hampir sama dengan biaya untuk membuat perahu yang baru. Jadi nelayan lebih suka membuat perahu yang baru dari pada memperbaiki perahu yang lama. Biaya yang dibutuhkan untuk membuat perahu baru umumnya diperoleh dari Langgan yang baru. Biasanya akan terjadi sengketa atau konflik antara Langgan yang lama, nelayan dan Langgan yang baru. Hal ini terjadi karena Langgan yang lama menganggap bahwa nelayan dapat membuat perahu yang baru karena sedikit atau pun banyak menggunakan uang dari hasil kerjanya menggunakan perahu yang lama. Jadi jika nelayan tadi dapat membuat perahu yang baru, maka nelayan tersebut harus kembali melunasi utangnya pada Langgan yang lama tadi. Akan tetapi, biasanya ditolak oleh Langgan yang baru, karena menurut Langgan baru, dialah yang paling berhak, mengingat modal yang digunakan nelayan untuk membuat perahu yang baru merupakan uang milik Langgan yang baru tadi.
Gambar 5.5. Perahu nelayan yang rusak dan tidak di perbaiki oleh Langgan.
103
5.6. Peran dan Fungsi Langgan Bagi Nelayan Pada masyarakat nelayan di desa Muara, kecamatan Wanasalam, kabupaten Lebak, Banten, dikenal ada dua musim yang mempengaruhi sistem mata pencaharian nelayan setempat. Pertama, adalah musim angin selatan. Pada musim angin selatan, intensitas tiupan angin sangat kencang dan ombak sangat tinggi. Jarak melaut pun menjadi lebih dekat dari pada musim biasanya. Pada musim ini biasanya nelayan banyak yang tidak pergi melaut karena resiko bahaya sangat tinggi sehingga hal ini mengakibatkan pendapatan nelayan menjadi menurun bahkan tidak ada. Musim ini biasanya dikenal dengan sebutan musim paceklik. Kedua, adalah musim angin barat. Pada musim angin barat ini, intensitas tiupan angin dan ketinggian ombak cenderung stabil atau rendah, sehingga memungkinkan nelayan untuk pergi melaut. Pada musim ini penghasilan nelayan mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan musim angin selatan.
Gambar 5.6. Nelayan payang yang beraktivitas pada siang hari. Musim peceklik tersebut lebih dikenal sebagai musim paila oleh masyarakat nelayan di desa Muara. Di wilayah ini, musim paila berlangsung selama 20 hari dalam dua bulan atau 10 hari dalam satu bulan. Jadi waktu efektif nelayan dalam melaut hanya 20 hari saja setiap bulannya. Musim paila ini
104
biasanya terjadi pada tanggal 20 sampai tanggal 10 bulan berikutnya. Terkadang musim paila tersebut berlangsung lama, tergantung pada kondisi alam di wilayah tersebut. Modal pokok yang seharusnya digunakan untuk melaut, terkadang habis terpakai untuk kebutuhan rumah tangga pada musim paila. Bahkan barang-barang yang ada di rumah pun habis dijual untuk menyambung hidup pada musim paila. Hal inilah yang kemudian menggiring nelayan untuk meminjam modal pada Langgan untuk bekal atau untuk keperluan nelayan dalam melaut. Seorang pengamat Langgan mengatakan bahwa, fenomena peminjaman modal pada Langgan oleh nelayan di sebabkan oleh sikap nelayan yang konsumtif dan tidak suka menabung saat musim panen ikan. Akhirnya pada musim paila atau pada saat melaut, mereka kekurangan modal dan akhirnya meminjam modal pada Langgan, (RSP). Berdasarkan hal tersebut di atas, maka peran Langgan adalah sebagai tempat peminjaman modal untuk keperluan nelayan dalam melaut. Disamping itu, Langgan juga mempengaruhi besar kecilnya harga hasil tangkapan nelayan dipasaran. Di samping mengharuskan nelayan peminjam modal untuk menjual hasil tangkapannya pada Langgan pemberi modal, ternyata jika nelayan menjual hasil tangkapannya pada pihak lain selain Langgan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yaitu kepada para Bakul, maka akan dihargai sangat murah, bahkan lebih murah dari pada di jual pada Langgan. Hal ini dikarenakan antara Langgan dengan para Bakul (penjual hasil tangkapan nelayan / penjual kedua setelah Langgan) memiliki jaringan kerjasama yang kuat dimana kekuasaan tertingginya
105
berada di tangan Langgan. Sehingga peran Langgan yang kedua adalah mengendalikan dan menguasai harga ikan di pasaran lokal (TPI). Berdasarkan peranannya tersebut, maka fungsi Langgan adalah sebagai berikut : 1. Langgan berfungsi sebagai lembaga yang merupakan suatu sistem yang memiliki tata aturan tertentu dan memberikan pinjaman modal pada nelayan lokal / setempat di desa Muara. 2. Langgan berfungsi dalam mengendalikan dan mengatur harga ikan di tingkat nelayan dan ditingkat pasaran lokal (TPI).
5.7. Makna Langgan Bagi Masyarakat Nelayan Desa Muara 5.7.1. Makna sosial Langgan di dalam perkembangannya ternyata memiliki makna sosial. Masyarakat nelayan yang terlibat dalam Langgan banyak yang meminta bantuan pada Langgan dalam memperoleh modal untuk melaut ataupun keperluan lainnya. Selain itu, jika nelayan mengalami kecelakaan di laut saat sedang beraktivitas mencari ikan, biasanya Langgan pemberi modal memberikan santunan pada nelayan tersebut yang terkena musibah. Di desa Muara hampir tidak ada lembaga keuangan yang memang dekat dan dapat dipercaya oleh nelayan seperti halnya Langgan. Walaupun ada, dalam memperoleh dana dari lembaga selain Langgan pasti sulit, itulah anggapan masyarakat setempat. Dengan adanya Langgan seolah menjadi tempat pengganti lembaga keuangan di desa tersebut. Mekanisme peminjaman yang sangat mudah yang diterapkan Langgan menjadi suatu tawaran yang menarik untuk para nelayan. Secara garis besar, Langgan memang
106
dipandang sangat merugikan bagi nelayan, karena bunga dari pinjaman yang besar dan harga pembelian ikan oleh Langgan yang dibawah harga seharusnya. Akan tetapi sedikit atau pun banyak, Langgan juga telah membantu nelayan dalam memperoleh modal kerja atau pun pinjaman uang untuk kebutuhan sehari-hari. Di sisi lain, Langgan juga dapat mempererat persatuan para nelayan yang terlibat dalam Langgan sehingga nelayan merasa senasib dan seperjuangan dalam melunasi utangnya masing-masing pada Langgan ataupun mencapai tujuannya untuk keluar dari permasalahan sosial-ekonomi yang masyarakat nelayan hadapi.
Gambar 5.7. Kehidupan sosial nelayan.
5.7.2. Makna budaya Seiring dengan terus dipertahankannya Langgan pada masyarakat nelayan di desa Muara sebagai suatu kearifan lokal masyarakat setempat, ternyata telah dapat melestarikan budaya yang berkembang pada masyarakat nelayan di wilayah tersebut. Hal ini di tandai dengan masih berkembangnya kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal gaib yang berkembang di laut, seperti adanya penunggu di pulau Tinjil yaitu Nyi Neneng yang merupakan penguasa laut di wilayah tersebut sehingga nelayan dilarang melaut disekitar tempat tersebut. Nyi Neneng adalah
107
putri tunggal dari Nyi Roro Kidul dalam mitos masyarakat pesisir Jawa, (Cerita KYH, (59 th) mantan nelayan). Adanya hari persembahan kepada laut (Ruwatan) setiap tanggal 12 bulan Rabiulawal. Kepercayaan pada kolenyer bajo, yaitu kepercayaan yang berdasarkan perhitungan kalender musim yang berkembang pada masyarakat nelayan dan perhitungan jam, hari dan tahun dalam mencari nafkah atau beraktivitas. Kolenyer bajo, menentukan pola prilaku masyarakat nelayan dalam beraktivitas setiap harinya. Kepercayaan bahwa dibawah Muara (dibawah jembatan Binuangeun) terdapat buaya putih yang menguasai dan menunggu tempat tersebut. Konon anak dari buaya putih itu ditangkap oleh orang yang berasal dari Bogor dan Bandung, sehingga para pendatang yang berasal dari dua wilayah tersebut sangat dilarang pergi ke tempat tersebut, karena dikhawatirkan buaya putih menyimpan dendam pada masyarakat yang ada di dua tempat tersebut. Adanya larangan melaut di hari-hari tertentu, hitungan bintang dan arah mata angin setiap nelayan melaut dan perhitungan musim yang akan terjadi sehingga nelayan dapat menentukan kapan waktu paila dan kapan musim melaut tiba. Bahkan nelayan juga percaya, bahwa Langgan merupakan budaya masyarakat. Masyarakat percaya bahwa Langgan merupakan tempat mereka dalam memperoleh modal. Langgan yang melekat pada masyarakat setempat dan terlahir berdasarkan modal sosial yang berkembang pada masyarakat ternyata telah dapat ikut menjaga kelestarian budaya lokal setempat lainnya. Langgan juga sering mengeluarkan dana-dana untuk pelaksanaan upacara budaya yang ada di wilayah tersebut. Terpeliharanya Langgan sampai dengan saat ini, salah satu caranya adalah melalui
108
pelestarian budaya yang berkembang pada masyarakat nelayan setempat. Jadi sebenarnya Langgan juga berperan besar dalam pelestarian budaya masyarakat.
5.7.3. Makna ekonomi Secara ekonomi, Langgan merupakan sentral peminjaman uang bagi nelayan lokal di desa Muara-Binuangeun. Langgan telah banyak membantu masyarakat dalam memperoleh modal untuk melaut ataupun untuk kebutuhan nelayan pada musim paila, walaupun pada kenyataannya nelayan banyak dirugikan oleh praktek-praktek yang dilakukan oleh Langgan dalam memperoleh kembali sejumlah uang yang mereka pinjamkan pada nelayan. Langgan dijadikan sentral peminjaman uang oleh masyarakat nelayan lokal mengingat di wilayah tersebut belum ada lembaga keuangan atau tempat peminjaman uang selain Langgan yang menawarkan fasilitas kemudahan dalam proses peminjaman modal. Sehingga mau tidak mau, Langgan menjadi pilihan utama bagi nelayan yang membutuhkan uang atau modal untuk usahanya. Masyarakat nelayan dengan Langgan menjadi seolah dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, dimana nelayan pada umumnya akan lebih sulit memperoleh modal jika Langgan tidak ada dan Langgan pun tidak dapat beroperasi jika nelayan peminjam modal tidak ada di tempat tersebut. Langgan sangat berpengaruh besar dalam penyediaan modal usaha bagi nelayan lokal. Walaupun nelayan terus dirugikan, nelayan beranggapan paling tidak kebutuhannya saat ini dapat tercukupi.
109
5.7.4. Makna politik Berbagai macam aturan khusus atau norma yang diterapkan oleh Langgan yang bersumber dari modal sosial yang berkembang pada masyarakat lokal ternyata telah memberi makna politik bagi masyarakat nelayan setempat. Secara politik, Langgan telah dapat mengendalikan masyarakat lokal yang terlibat dalam Langgan untuk menaati peraturan-peraturan yang diterapkan oleh Langgan. Sebenarnya peraturan tersebut kurang begitu mengikat secara hukum karena umumnya tidak disertai adanya bukti-bukti otentik secara hukum sehingga aturanaturan yang diterapkan oleh Langgan hanya mengandung sanksi moral / adat yang berkembang pada masyarakat seperti bagi nelayan yang tidak memenuhi kewajibannya pada Langgan, maka pinjaman modalnya akan dihentikan dan jika dia melakukan pinjaman pada Langgan lain maka umumnya tidak akan diberi karena dianggap jika dia bisa berhianat pada Langgan sebelumnya maka dia juga akan berhianat pada Langgan yang baru. Disini terlihat bahwa modal sosial yaitu kepercayaan, solidaritas, loyalitas dan sebagainya menjadi faktor utama eratnya hubungan kerjasama antara nelayan dengan Langgan. Aturan
yang
diterapkan
oleh
Langgan
dalam
penjualan
dan
pendistribusian hasil tangkapan juga telah dapat mengendalikan nelayan. Bagi nelayan yang ternyata menjual hasil tangkapannya pada Langgan lain atau langsung pada Bakul yang ada di TPI, maka harga ikan akan jatuh lebih murah dari pada dijual pada Langgan yang memberinya modal. Ini merupakan salah satu cara Langgan dalam mengendalikan nelayan di wilayah tersebut melalui jaringan yang dia buat di pasar dengan Langgan lain dan dengan Bakul-Bakul yang ada di wilayah tersebut serta melalui konsensus yang dibuat di masa lalu.
110
5.8. Langgan : Modal Sosial dan Kebudayaan Masyarakat Seperti halnya masyarakat nelayan pada umumnya, fenomena kemiskinan terjadi pada masyarakat nelayan desa Muara-Binuangeun. Kemiskinan ini terjadi karena kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang mengalami ketimpangan. Implikasinya, masyarakat di tingkat nelayan menjadi miskin secara struktural. Kemudian untuk keluar dari kemiskinan ini, masyarakat membuat gagasangagasan tertentu atau ide-ide yang mewujud menjadi suatu kebijakan lokal yang bertujuan untuk keluar dari masalah kesulitan ekonomi dan untuk kesejahteraan bersama. Inilah yang kemudian melahirkan inisiatif dalam mencari modal untuk kebutuhan melaut atau nelayan. Inisiatif ini kemudian melahirkan Langgan yang berfungsi untuk memberikan bantuan pinjaman modal pada nelayan. Langgan tersebut, memiliki serangkaian aturan-aturan khusus atau norma-norma khusus yang memiliki nilai dan sanksi untuk para pelaksananya. Aturan tersebut merupakan suatu konsensus antara pihak Langgan dengan masyarakat nelayan yang meminjam modal pada Langgan. Sebenarnya konsensus ini lebih menguntungkan Langgan dan konsensus ini juga merupakan kesepakatan sepihak yang merugikan bagi nelayan. Aturan ini (konsensus) menjadi kuat karen pula dilandasi dengan kepercayaan, loyalitas, solidaritas, hubungan kerjasama dan tanggung jawab para pelaksananya sehingga Langgan menjadi kuat, serta dapat tumbuh dan berkembang pada masyarakat nelayan. Agar dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, aktor-aktor yang terlibat dalam Langgan kemudian membuat suatu jalinan kerjasama dengan pihak lain untuk memperoleh pengakuan ataupun mengajak untuk bergabung dalam sistem yang dibangun oleh Langgan. Dengan demikian posisi Langgan menjadi kuat dan
111
diakui secara umum oleh masyarakat lokal. Inilah yang kemudian melahirkan tindakan kolektif masyarakat dalam mengaplikasikan Langgan agar tujuan masyarakat dapat tercapai. Selanjutnya seiring dengan berjalannya waktu, Langgan menjadi tumbuh dan berkembang menjadi besar dan membudaya pada masyarakat. Akhirnya jika orang lain bicara masyarakat nelayan Desa MuaraBinuangeun, maka image yang terbangun dalam masyarakat adalah “Masyarakat nelayan desa Muara tidak akan lepas dari sistem Langgan”. Dalam perkembangannya inilah, Langgan menjadi sebuah kearifan lokal pada Masyarakat dan menjadi kebudayaan masyarakat setempat.
5.8.1. Langgan dan Modal Sosial Masyarakat Langgan yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat nelayan di desa Muara-Binuangeun, merupakan salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat nelayan yang berlandaskan modal sosial masyarakat nelayan. Di dalam sistem Langgan, terdapat suatu norma khusus atau aturan-aturan yang merupakan konsensus masyarakat dan Langgan sejak dahulu dan diakui keberadaannya sampai dengan saat ini. Pada saat konsensus ini di buat, aturan atau norma-norma khusus yang berada di dalam konsensus ini di nilai “baik”ϒ sehingga pantas untuk diaplikasikan oleh masyarakat. Sedangkan untuk pihak yang tidak melaksanakan kewajibannya berdasarkan norma yang telah diakui ini, maka akan memperoleh sanksi sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya tersebut. Dalam sistem Langgan, sanksi yang diberikan umumnya berupa sanksi materi dan sanksi moral ϒ
Pada awalnya, tujuan dari Langgan itu sendiri adalah untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi masyarakat nelayan di desa Muara. Jadi dianggap tujuan tersebut merupakan tujuan yang baik. Akan tetapi, dalam perkembangannya, tujuan tersebut disalahgunakan oleh Langgan (secara individu) itu sendiri untuk mengeksploitasi nelayan sehingga yang terjadi adalah nelayan semakin miskin.
112
/ adat. Misalnya adalah pada saat nelayan tidak dapat melunasi utang-utangnya pada Langgan, maka pihak Langgan akan melakukan penyitaan harta-benda nelayan yang berhutang tersebut. Atau jika Langgan tidak lagi dapat membiayai nelayan / memberi pinjaman modal pada nelayan untuk melaut, maka nelayan tersebut berhak untuk berpindah Langgan, atau jika perahu nelayan tidak diperbaiki oleh Langgan, maka tidak sedikit Langgan yang membebaskan utangutang nelayan. Ini terjadi berdasarkan konsensus yang telah disepakati di awal antara pihak-pihak yang terlibat dalam sistem Langgan. Norma dan sanksi yang disepakati bersama ini menjadi kuat walaupun tidak didukung oleh hukum formal karena norma dan sanksi tersebut dilandasi oleh kepercayaan (trust), loyalitas / kesetiaan (loyalty), solidaritas (solidarity), relasi (relation), dan tanggung-jawab pihak yang terkait dalam sistem Langgan tersebut. Landasan ini, secara moral memperkuat hubungan antara aktor-aktor yang terlibat dalam sistem Langgan. Aktor-aktor yang terlibat tersebut diantaranya adalah, Langgan itu sendiri, masyarakat nelayan, para Bakul, Tekong, pemerintah maupun masyarakat desa Muara itu sendiri yang mendapat efek eksternalitas dari adanya sistem Langgan, meskipun masyarakat tersebut ada yang pekerjaannya bukan sebagai nelayan. Misalnya saja masyarakat yang menjadi pedagang. Karena adanya sistem yang diterapkan oleh Langgan, maka wilayah desa Muara menjadi ramai dan secara tidak langsung, menjadi faktor pendorong berkembangnya pasar sebagai efek eksternalitas dari adanya pelelangan ikan. Pasar inilah yang kemudian menjadi tempat masyarakat setempat untuk mencari nafkah seperti dengan cara berdagang. Meskipun pasar ini terbentuk bukan hanya oleh Langgan saja, akan tetapi Langgan juga mempengaruhi perkembangan dari
113
pasar itu tadi. Inilah yang kemudian sedikit-ataupun banyak masyarakat yang mendukung adanya sistem Langgan diwilayah tersebut. Landasan-landasan tadi melahirkan suatu keharusan atau kewajiban yang harus dijalankan oleh pihak-pihak yang terlibat berdasarkan hak dan manfaat yang diperoleh masing-masing pihak dengan mengacu pada norma yang telah disepakati sebelumnya (berbentuk perjanjian tidak tertulis yang dibuat oleh Langgan). Landasan ini saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Adapun makna dari komponen landasan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Kepercayaan (trust), merupakan suatu hubungan emosional antar aktor sosial yang terlibat dalam sistem Langgan, yang menunjukan adanya hubungan timbal-balik antar sesama pihak tersebut sehingga melahirkan suatu nilai-nilai “baik” dan dapat atau layak dipercaya. Kepercayaan ini dipupuk dan dibangun dalam sistem Langgan yang dijalankan. 2. Loyalitas (loyalty), adalah suatu bentuk ikatan hubungan emosional seseorang yang berwujud kesetiaan karena adanya kepercayaan tadi. Inilah yang kemudian membuat individu atau komunitas menjadi loyal terhadap aturan atau norma dan sanksi yang disepakati bersama. Dalam hal ini adalah kesepakatan yang dibuat bersama dalam sistem Langgan. 3. Solidaritas (solidarity), merupakan perasaan senasib-sepenanggungan yang menimbulkan suatu norma untuk saling menolong, hidup bersama-sama dan adanya tujuan bersama dalam memenuhi kebutuhan hidup. Solidaritas yang ada pada masyarakat desa Muara-Binuangeun ini terbentuk karena adanya ikatan kepercayaan dan loyalitas yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat. Ini jugalah yang membuat Langgan menjadi kuat, karena melalui
114
hubungan solidaritas ini, Langgan dapat mengikat nelayan secara moral sehingga nelayan tidak dapat lepas dari sistem yang diterapkan oleh Langgan. 4. Relasi (relation) merupakan manifestasi dari adanya kepercayaan, loyalitas dan solidaritas, sehingga melahirkan suatu jaringan kerjasama antar orangorang atau aktor sosial yang terlibat dalam sistem Langgan. Jaringan kerjasama ini menjadi sangat kuat karena dibangun berdasarkan tiga landasan sebelumnya tadi yaitu kepercayaan, loyalitas dan solidaritas. 5. Tanggung jawab sosial yang merupakan suatu bentuk tanggung jawab kolektif masyarakat atas konsensus yang didalamnya terdapat norma yang di sepakati bersama. Tanggung jawab ini merupakan suatu bentuk kesiapan dari masing-masing aktor yang siap menerima segala resiko yang kemungkinan diperolehnya pada saat melaksanakan atau mengaplikasikan kesepakatan tadi. Kelima landasan ini tidak begitu saja dapat terrealisasi dengan baik tanpa adanya hubungan sosial yang harmonis antar stakeholders yang terlibat. Inilah yang kemudian menjadi langkah lain dalam mengaplikasikan Langgan tadi. Agar aplikasi dari Langgan dapat berjalan dengan baik, maka hubungan sosial tadi dibangun bukan saja antar nelayan dengan Langgan, tetapi hubungan ini juga di bangun dengan pemerintah setempat (dalam hal ini adalah pemerintah desa Muara-Binuangeun maupun pemerintah di tingkat yang lebih tinggi), masyarakat setempat dan pihak lain seperti LSM (misalnya Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) tingkat lokal) ataupun TPI. Kemudian, hubungan sosial inilah yang ternyata melahirkan aksi kolektif masyarakat dalam mengaplikasikan Langgan. Langgan ini menjadi kuat karena hal-hal tadi.
115
Gambar 5.8. Modal sosial masyarakat dalam Langgan.
5.8.2. Langgan dan Kebudayaan Masyarakat Langgan merupakan salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat nelayan di desa Muara-Binuangeun, yang berkembang menjadi suatu kebiasaan pada masyarakat. Sebagai salah satu dari kebudayaan masyarakat, Langgan sangat dipengaruhi oleh kebudayaan lain yang ada pada masyarakat setempat. Misalnya saja adalah adanya budaya masyarakat tentang bagaimana memperlakukan alam tempat mencari nafkah (laut atau juga pesisir), telah memberi dampak pada bagaimana masyarakat memperlakukan Langgan itu sendiri. Langgan di pandang sebagai suatu kearifan lokal yang melembaga dan bertugas untuk membantu nelayan dalam penyediaan modal. Terlepas dari bagaimana mekanisme pada Langgan itu sendiri (apakah merugikan pada masyarakat ataupun sebaliknya). Langgan juga di pandang sebagai suatu kebijaksanaan bersama yang didasari oleh modal sosial masyarakat sehingga keberadaannya selalu berdampingan dengan budaya masyarakat yang lain. 116
Kebudayaan yang berkembang pada masyarakat saat ini lebih mengarah pada tata upacara ruwatan laut ataupun perkawinan dan kebudayaan dalam memperlakukan alam tempat mereka tinggal dan mencari nafkah. Sementara Langgan yang merupakan salah satu bentuk kebudayaan masyarakat, lebih fokus pada sistem sosial-ekonomi masyarakat setempat. Langgan terlahir dari inisiatif masyarakat yang ingin keluar dari kesulitan dalam sistem sosial-ekonominya. Langgan juga tersepesialisasi hanya pada sistem sosial-ekonomi masyarakat saja. Sementara urusan lainnya dilakukan oleh ketua adat laut, terutama dalam hal upacara ruwatan dan sebagainya.
5.9. Dampak Keberadaan Langgan bagi Masyarakat Desa Muara Masyarakat desa Muara yang bermata pencaharian sebagai nelayan khususnya, banyak sekali yang merasakan adanya dampak yang ditimbulkan karena adanya Langgan di wilayah tersebut. Selain dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat nelayan, Langgan telah memberikan dampak positif bagi masyarakat. Langgan tidak akan mampu berkembang sampai dengan saat ini sebagai salah satu kearifan lokal masyarakat yang juga sebagai budaya lokal masyarakat, jika dinilai Langgan tidak dapat memberikan manfaat atau dampak positif bagi masyarakat. Adapun dampak dari keberadaan Langgan bagi masyarakat desa Muara adalah sebagai berikut.
5.9.1. Dampak Negatif dari Langgan Langgan yang semula berada sebagai suatu bentuk inisiatif masyarakat nelayan untuk menyelesaikan permasalahan sosial-ekonomi masyarakat, seiring
117
dengan perkembangannya ternyata menjadi suatu bentuk kegiatan bisnis yang ternyata memperburuk ekonomi masyarakat dan mengeksploitasi nelayan di desa Muara. Pada awalnya, Langgan adalah beberapa individu yang memberikan pinjaman pada masyarakat sebagai suatu wujud pertolongan pada masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan modal yang dibutuhkan masyarakat nelayan dalam melaut. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, Langgan membuat suatu aturan-aturan khusus yang harus disepakati nelayan dalam suatu mekanisme hubungan antara nelayan dengan Langgan dalam proses peminjaman modal. Aturan ini berkembang menjadi suatu konsensus bersama yang keberadaannya diakui sampai dengan saat ini. Di satu sisi, Langgan dikatakan sebagai “penolong” bagi masyarakat dalam memperoleh modal yang diperlukan untuk melaut. Akan tetapi, di sisi lain Langgan megeksploitasi nelayan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dari nelayan. Implikasinya adalah, masyarakat semakin miskin dan tujuan diawal yaitu untuk mengatasi masalah sosial-ekonomi masyarakat menjadi tidak tercapai. Sistem yang diterapkan Langgan telah dapat menjerat nelayan dalam utang yang sangat besar dan telah dapat memperlemah posisi tawar masyarakat dalam sistem Langgan. Konsensus yang dijankan dalam sistem ini dinilai merugikan nelayan secara sepihak. Nelayan tidak memiliki kekuatan yang besar untuk menentang mekanisme yang dijalankan oleh Langgan. Langgan sebagai pemegang modal, memiliki kekuasaan tertinggi dalam sistem yang dijalankannya. Hubungan yang dijalin antara Langgan dan nelayan pun seolah merupakan hubungan patron-klien. Ironisnya, masyarakat sulit terlepas dari sistem yang dijalankan Langgan dan masyarakat menjadi ketergantungan pada Langgan.
118
5.9.2. Dampak Positif dari Langgan Selain dampak negatif yang dapat di timbulkan oleh adanya Langgan, tentu saja terdapat pula dampak positif dari adanya Langgan. Pada saat nelayan kesulitan dalam memperoleh modal untuk melaut, Langgan hadir sebagai “penolong”µ bagi masyarakat. Dengan sistem yang mempermudah masyarakat dalam memperoleh modal, Langgan telah dapat memberi pertolongan pada masyarakat dalam memperoleh modal untuk melaut. Nelayan dapat memperoleh modal tersebut sesuai dengan kebutuhannya dan dengan waktu yang sangat cepat. Pada saat nelayan butuh modal tersebut, pada saat itulah modal bisa di peroleh dari Langgan. Langgan juga menjadi suatu sistem jaringan bisnis yang didalamnya terdapat praktek pemasaran ikan, yang telah memberi kemudahan pada nelayan dalam memasarkan ikan. Hasil tangkapan nelayan dapat dijual langsung pada Langgan pada hari itu juga. Dengan demikian, pada hari yang sama nelayan dapat memperoleh uang hasil penjualan ikan pada Langgan. Nelayan tidak perlu repot menjual hasil tangkapannya langsung pada masyarakat, dan tidak khawatir terjadinya resiko hasil tangkapan tadi tidak laku dipasaran. Langgan
menerapkan
suatu
sistem
dimana
didalamnya
terdapat
serangkaian aturan yang merupakan konsensus yang dibangun dan diakui bersama sampai dengan saat ini. Konsensus ini memberi dampak positif dimana konsensus tersebut telah dapat mengarahkan tingkah laku masyarakat dalam kehidupan sosial masyarakat. Aturan ini menjadi pedoman bagi masyarakat dalam sistem hubungan sosial-ekonomi antara Langgan dengan nelayan yang terlibat dalam sistem tersebut.
µ
Penolong disini maksudnya adalah Langgan sebagai individu menjadi penolong masyarakat dalam memperoleh modal untuk melaut, terlepas dari mekanisme yang diterapkan Langgan dalam sistem hubungan yang diterapkannya.
119
Manfaat lain dari adanya Langgan adalah dengan adanya sistem yang mempermudah nelayan dalam memperoleh modal, ternyata telah banyak menarik minat masyarakat lain untuk meminjam modal pada Langgan. Dengan demikian, Langgan telah dapat menyerap banyak tenaga kerja dari masyarakat sekitar khususnya, untuk bekerja di laut. Langgan juga menjadi budaya dan ciri khas komunitas nelayan di desa Muara yang menjadi identitas bagi masyarakat di wilayah tersebut.
120
BAB VI SISTEM LANGGAN DAN PERUBAHANNYA
6.1.
Mekanisme Sistem Langgan Di Desa Muara-Binuangeun Proses kerjasama antara nelayan dengan Langgan ditandai dengan adanya
serangkaian mekanisme yang terstruktur yang dimulai dengan adanya suatu perjanjian mengenai modal yang akan dipinjam oleh nelayan pada Langgan sampai dengan kesepakatan bunga yang harus dibayar oleh nelayan sesuai dengan modal yang dipinjam oleh nelayan setelah selesai melaut atau di hari kemudian (jika utang tersebut belum dapat dilunasi pada hari itu). Dalam perjalanannya, terlihat bahwa nelayan banyak dirugikan oleh berbagai pihak yang terlibat dalam sistem yang diterapkan oleh Langgan. “ Nelayan desa Muara mah, apong daek dibere harga murah ku Langgan, nu akhirna maranehna dirugiken. Terus kudu mayar bunga modal nu gede, sampe ka teu bisa di lunasan. Perjanjiana geh nguntungken Langgan dei (HDI).”(Nelayan di desa Muara mudah dirayu oleh Langgan dan hasil tangkapan nelayan dilaut dihargai murah oleh Langgan, yang pada akhirnya nelayan tersebut dirugikan. Kemudian, nelayan tadi harus membayar bunga dari modal yang dipinjamnya dengan jumlah yang sangat besar, sampai akhirnya nelayan tadi tidak dapat melunasinya. Perjanjiannya pun sangat menguntungkan Langgan). Setelah adanya kesepakatan antara Langgan dengan nelayan dalam hal peminjaman modal, nelayan kemudian melaksanakan aktivitasnya dalam mencari ikan di laut. Kegiatan mencari ikan ini dilakukan pada pagi hari (subuh). Kemudian pulang pada siang hari dengan membawa hasil tangkapan. Ada juga nelayan yang berangkat pada sore hari dan baru pulang pagi hari. Seluruh hasil tersebut kemudian disetorkan pada Tempat Pelelangan Ikan (TPI) untuk di data hasilnya (umumnya di data jumlah hasil tangkapan, jenis ikan yang ditangkap,
121
dan kualitas ikan) dengan diawasi oleh Langgan yang memberi modal pada nelayan tersebut. Pendataan ini biasanya disebut dengan nota. Untuk nelayan yang menggunakan jaring rampus, penyetoran hasil tangkapan dilakukan setiap hari pada saat selesai melaut. Sedangkan untuk nelayan yang menggunakan jaring nilon, menyetorkan hasil tangkapan yang dilakukan setiap 7 sampai 10 hari sekali. Hal ini disebabkan karena nelayan yang menggunakan jaring nilon memerlukan waktu berhari-hari dalam menangkap ikan di laut. Sedangkan nelayan Kursin, Bagang dan Payang bisa menyetorkan ikan setiap hari.
Gambar A.
Gambar B.
Gambar 6.1. Gambar ikan yang di tangkap dengan jaring rampus (Gambar A), dan gambar ikan yang di tangkap dengan jaring nilon (Gambar B). Setelah proses pencatatan hasil tangkapan nelayan selesai oleh petugas TPI, maka berikutnya petugas TPI melakukan pemotongan sebesar 8%. Potongan ini dibagi menjadi dua bagian yaitu, 5% di bebankan pada nelayan sebagai simpanan nelayan yang akan dikembalikan pada nelayan sewaktu-waktu. Sedangkan 3% dibebankan pada pembeli di lelang sebagai pajak pembelian. Pendapatan kotor sebelum dibagi-bagi oleh pihak TPI, dalam setiap bulannya dapat mencapai satu milyar sampai dua milayar rupiah (YGI. (32 Th), seorang pekerja di TPI). Berikut ini adalah rincian dari potongan sebesar 8% tersebut oleh petugas TPI. 122
1. Sebesar 20% untuk acara-acara tertentu yang diselenggarakan oleh nelayan atau keluarga nelayan seperti acara pernikahan, dan untuk keperluan administrasi TPI. 2. Sebesar 20% akan dikembalikan pada saat musim paceklik ketika nelayan sangat membutuhkan uang. Saat musim paceklik / paila tiba, maka nelayan dapat mengambil simpanannya ini. 3. Sebesar 20% lagi merupakan simpanan untuk dana keamanan nelayan saat melaut atau sejenis asuransi untuk para nelayan. Simpanan ini digunakan untuk membantu nelayan pada saat mengalami kecelakaan ketika beraktivitas di laut. 4. Sebesar 20% akan dialokasikan untuk gaji kariyawan TPI. 5. Sebesar 20% akan dialokasikan untuk pendapatan daerah yang akan disetorkan kepada Pemda kabupaten Lebak, Banten. Selanjutnya setelah proses pemotongan selesai dilakukan oleh petugas TPI, maka hasil tangkapan nelayan tersebut dijual oleh Langgan pada BakulBakul yang ada di TPI untuk kemudian dijual pada konsumen. Hasil penjualan tersebut kemudian diserahkan pada nelayan setelah sebelumnya di potong harga oleh Langgan berdasarkan kesepakatan di awal. Pemotongan yang dilakukan oleh Langgan sebesar 5% sampai 10% bahkan lebih berdasarkan kesepakatan di awal dengan Langgan tersebut. Sebelum proses pemotongan dilakukan oleh Langgan, terlebih dahulu dihitung berapa jumlah pendapatan nelayan dari hasil penjualannya ke Bakul-Bakul. Jika hasil penjualannya mencapai Rp. 500.000,maka akan dilakukan pemotongan bunga. Tetapi apabila penghasilan nelayan tidak mencapai Rp. 500.000,- maka tidak dilakukan pemotongan, namun nelayan
123
dikatakan nendo. Nendo adalah penundaan pembayaran bunga pada Langgan dikarenakan hasil tangkapan sedikit sehingga nelayan dikatakan belum mampu untuk membayar bunga pinjaman dan harus dibayar di lain waktu pada saat hasil tangkapan lebih dari Rp. 500.000,-. Pemotongan yang dilakukan oleh Langgan tersebut, bukan sebagai pembayaran seluruh utang nelayan pada Langgan. akan tetapi sebagai pembayaran utang pokok atau gantung yang biasanya disebut sebagai bunga utang. Utang pokok atau gantung ini diantaranya adalah perahu dan jaring yang dipinjamkan atau diberikan pada nelayan sebagai modal. Sedangkan utang mati adalah bahan bakar dan makanan yang dibutuhkan pada saat melaut serta modal berupa uang yang harus dibayar kapan saja pada saat nelayan memiliki uang untuk membayar utang tersebut baik dengan cara tunai atau pun di cicil.
6.2.
Mekanisme Alur Pemasaran dalam Langgan Jenis-jenis Langgan berdasarkan pengelolaan hasil tangkapan nelayan,
ternyata menentukan mekanisme alur pemasaran dalam Langgan. Dengan merujuk pada jenis-jenis Langgan dan berdasarkan data hasil penelusuran di lapangan, ada lima jenis alur pemasaran dalam Langgan. Kelima jenis alur pemasaran tersebut di antaranya adalah :
6.2.1. Alur pemasaran dari Langgan ke Bakul dan Taweu Hasil tangkapan nelayan yang dipimpin oleh Tekong, disetorkan pada Taweu yang memiliki kapal atau juragan kapal. Taweu yang memperoleh modal / pinjaman
perlengkapan
dan
peralatan
melaut
dari
Langgan
kemudian
124
menyetorkan hasil tangkapan nelayan tadi pada Langgan. Dari tangan Langgan ini kemudian dijual pada Bakul atau Pelele untuk kemudian di pasarkan pada masyarakat. Hasil tangkapan nelayan yang dijual pada Bakul ada yang langsung dijual pada masyarakat, ada juga yang dijual pada Pelele. Sedangkan hasil tangkapan yang dijual pada Pelele langsung di pasarkan pada masyarakat. Alur pemasaran ini dapat di gambarkan sebagai berikut
Pelele
masyarakat
Bakul Tekong
Taweu
Langgan Pelele
masyarakat masyarakat
Gambar 6.2. Alur pemasaran dari Langgan ke Bakul dan Taweu
6.2.2. Alur pemasaran dari Taweu ke Langgan dan Pelele Alur pemasaran yang terjadi sebenarnya sama dengan yang pertama, hanya saja ada perbedaan penjualan dari tangan Taweu ke Langgan dan Pelele. Pada tipe alur pemasaran kedua ini, Pelele memperoleh hasil tangkapan langsung dari Taweu / pemilik kapal dan dapat pula memperolehnya dari Bakul. Pada tipe yang kedua ini Pelele dapat berposisi sebagai Langgan karena memberi modal pada nelayan atau bisa juga harga yang di tawarkan oleh Pelele lebih tinggi dari pada harga yang di tawarkan oleh Langgan sehingga nelayan langsung menjual hasil tangkapannya pada Pelele. Implikasinya timbul kecurangan dari nelayan dengan cara menjual separuh hasil tangkapannya pada Pelele. Pelele juga dapat memperoleh hasil tangkapan dari Langgan. Apabila digambarkan maka gambar alur pemasarannya adalah sebagai berikut :
125
Pelele Tekong
Tawen
masyarakat Pelele
Langgan
masyarakat Pelele masyarakat
Bakul masyarakat Gambar 6.3. Alur pemasaran dari Taweu ke Langgan dan Pelele.
6.2.3. Mekanisme alur pemasaran dari Taweu ke Bakul dan Pelele Mekanisme alur pemasaran yang ketiga ini pada dasarnya menunjukan adanya peran ganda dari Taweu yaitu selain sebagai Taweu, juga berperan sebagai Langgan. Dengan demikian Taweu memperoleh keuntungan ganda (keuntungan sebagai Taweu dan sebagai Langgan). Sementara Pelele dapat memperoleh / membeli hasil tangkapan nelayan dari Taweu dan dari Bakul. Berikut ini adalah gambar yang menunjukan alur pemasaran dari Taweu ke Bakul dan Pelele.
Pelele Tekong
Tawen
masyarakat Pelele masyarakat
Bakul masyarakat Gambar 6.4. Mekanisme alur pemasaran dari Taweu ke Bakul dan Pelele.
6.2.4. Mekanisme alur pemasaran dari Tekong ke Taweu dan Pelele Mekanisme alur pemasaran ini menunjukan posisi Taweu sebagai Taweu itu sendiri, sebagai Langgan, atau merangkap keduanya seperti tipe alur pemasaran yang ketiga. Pada tipe yang keempat ini Pelele dapat memperoleh / membeli ikan pada Taweu, Langgan atau membelinya langsung pada Tekong. Penjualan yang terjadi dari Tekong pada Pelele ini kasusnya sama pada tipe dua maupun tipe ketiga dimana Pelele menawarkan harga yang lebih baik dari pada 126
Langgan. Sehingga Tekong menjual separuh hasil tangkapannya pada Pelele secara diam-diam. Dibawah ini adalah gambar yang menunjukan mekanisme alur pemasaran dari Tekong pada Taweu dan Pelele.
Tekong Taweu
Langgan
masyarakat
Bakul
Pelele masyarakat Pelele
Bakul
Pelele Pelele masyarakat masyarakat
Pelele
masyarakat masyarakat
masyarakat Gambar 6.5. Mekanisme alur pemasaran dari Tekong ke Taweu dan Pelele.
6.2.5. Alur pemasaran monopoli oleh Langgan Mekanisme alur pemasaran yang terakhir adalah alur pemasaran yang menunjukan adanya monopoli oleh Langgan. Pada alur pemasaran yang kelima ini hasil tangkapan yang di peroleh nelayan yang dipimpin oleh Tekong langsung dijual pada Langgan. Langgan berperan sebagai Langgan itu sendiri, Taweu dan Bakul. Sementara untuk memperluas pemasaran maka hasil tangkapan dijual / ada yang dijual pada Pelele. Pelele menjual hasil tangkapan pada masyarakat diluar TPI. Alur pemasaran yang kelima ini sangat jarang. Biasanya terjadi pada Langgan yang bermodal kecil. Ini merupakan salah satu cara Langgan dalam memonopoli hasil tangkapan yang di peroleh nelayan. Berikut ini gambar alur pemasarannya. 127
Pelele Tekong
masyarakat
Langgan masyarakat Gambar 6.6. Alur pemasaran monopoli oleh Langgan.
6.3.
Praktek Langgan : Dulu dan Sekarang serta Perubahan yang Menyertainya Perbedaan pola aplikasi Langgan dahulu dengan saat ini dibedakan
berdasarkan keberadaan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan mekanisme sistem pembagian hasil nelayan dalam melaut. Sedangkan peran, fungsi, karakteristik dan bentuk dari Langgan itu sendiri relatif tidak menunjukan adanya perubahan. Hal ini dikarenakan selain jaringan sistem Langgan dipelihara dengan baik sehingga mampu beradaptasi dengan berbagai perubahan yang terjadi, Langgan juga yang merupakan hasil inisiasi masyarakat setempat menjadi kuat karena aturan yang dibuat berlandaskankan modal sosial yang ada dan berkembang pada masyarakat nelayan setempat. “ Kuatnya sistem yang di bangun oleh Langgan, di sebabkan oleh Langgan yang menggunakan modal sosial masyarakat sebagai pondasi terbentuknya sistem tersebut. Dengan modal sosial ini, maka hubungan yang terjalin antara Langgan dengan nelayan menjadi kuat, (RSP, pengamat Langgan).” Di masa lalu, sebelum adanya TPI di Desa Muara, mekanisme hubungan yang diterapkan oleh Langgan pada nelayan cenderung sangat merugikan nelayan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya pengawasan dan pendataan hasil tangkapan nelayan, sehingga hasil melaut yang diperoleh nelayan dihargai dengan harga yang sangat murah oleh Langgan. Praktek ini menjadi mudah karena tidak adanya pengawasan dari pemerintah setempat tentang mekanisme yang diterapkan
128
oleh Langgan. Langgan menjadi penguasa yang dapat menentukan harga dengan mudah dan berdasarkan kemauannya sendiri. Sementara nelayan hanya dapat menerimanya tanpa bisa protes ataupun mengeluh karena mekanisme yang diterapkan oleh Langgan. Disamping itu, aplikasi Langgan dimasa lalu melalui sistem bagi hasil yang dinilai sangat merugikan nelayan ternyata membuat nelayan semakin sulit dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pembagian hasil nelayan di masa lalu dibagi berdasarkan alat tangkap, perahu, tenaga yang mengoperasikannya (nelayan), dan Langgan itu sendiri sebagai pemilik modal. Langgan memperoleh tiga bagian (bagian untuk alat tangkap, bagian untuk perahu, dan bagian untuk Langgan itu sendiri). Sementara nelayan hanya menerima satu bagian saja. Kemudian sistem bagi hasil ini berkembang menjadi sistem persentase, dimana Langgan menuntut keuntungan dari modal yang dipinjamkan pada nelayan sebesar 5% sampai 10% dari hasil tangkapan nelayan setiap melaut serta hasil tangkapan nelayan harus dijual pada Langgan dengan harga yang lebih murah, (YGI). Mekanisme yang diterapkan oleh Langgan dahulu adalah, setelah adanya kesepakatan dalam peminjaman modal, nelayan pergi melaut. Hasil tangkapan langsung
disetorkan
pada Langgan. Langgan
kemudian
menjual hasil
tangkapannya pada Bakul-Bakul yang ada di pasaran lokal. Hasil penjualan tersebut kemudian dikembalikan pada nelayan setelah dipotong terlebih dahulu oleh Langgan. Mekanisme pemotongan sama dengan yang dijelaskan sebelumnya yaitu dibagi menjadi empat bagian (satu bagian untuk nelayan dan tiga bagian untuk Langgan) .
129
Sedangkan praktek Langgan di masa sekarang lebih terlihat baik dan tidak terlalu merugikan nelayan. Dengan adanya TPI ternyata telah sedikit membantu nelayan untuk keluar dari belenggu sistem yang diterapkan oleh Langgan. Tempat Pelelangan Ikan / TPI berperan dalam pendataan hasil tangkapan nelayan sebelum disetorkan pada Langgan, sehingga nelayan dapat mengetahui berapa jumlah tangkapan yang diperolehnya dan harga yang seharusnya diterima oleh nelayan. Dengan kata lain, TPI membantu dalam menentukan standarisasi harga dan pendataan berapa jumlah yang harus diterima oleh nelayan berdasarkan hasil tangkapan yang diperolehnya. Sebelum hasil tangkapan tersebut disetorkan pada Langgan, terlebih dahulu petugas TPI melakukan pemotongan sebesar 5% dari hasil tangkapan ikan oleh nelayan sebagai tabungan nelayan yang dapat di ambil dikemudian hari dan 3% dari pembeli yang membeli ikan di lelang. Mekanisme selanjutnya sama dengan masa lalu, hanya saja sekarang nelayan tahu berapa penghasilan yang harus diterimanya dari Langgan. Langgan pun tidak dapat melakukan kecurangan dalam penjualan hasil tangkapan. Akan tetapi kecurangan itu tetap terjadi di luar penjualan hasil tangkapan seperti kecurangan dalam menjual bahan bakar untuk melaut pada nelayan, kecurangan dalam kesepakatan bunga yang harus dibayar nelayan dan sebagainya. Apabila di gambarkan, maka mekanisme yang diterapkan oleh Langgan antara dulu dan sekarang adalah sebagai berikut.
130
Langgan
Bakul /Pelele
Langgan
Nelayan
Langgan
Perjanjian peminjaman modal Keterangan :
= Hubungan kerjasama = Hubungan koordinasi/perjalanan proses Gambar 6.7. Mekanisme sistem Langgan di masa lalu.
Langgan
Bakul /Pelele
Langgan
Nelayan
Perjanjian peminjaman modal Keterangan :
Langgan
TPI
= Hubungan kerjasama = Hubungan koordinasi/perjalanan proses Gambar 6.8. Mekanisme sistem Langgan saat ini.
131
BAB VII FAKTOR-FAKTOR PERUBAHAN PADA LANGGAN
7.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Kearifan Lokal (Langgan) pada Masyarakat Nelayan Di Desa Muara-Binuangeun Langgan sebagai suatu bentuk kearifan lokal masyarakat yang merupakan kebudayaan setempat, tumbuh dan berkembang pada kehidupan masyarakat, tentunya mengalami benturan-benturan dengan berbagai faktor perubahan yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pada kearifan lokal itu sendiri. Adanya faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan kebudayaan masyarakat berimplikasi pada berubahnya Langgan yang merupakan kearifan lokal masyarakat. Akan tetapi dalam prakteknya, tidak semua faktor perubahan kebudayaan ini berpengaruh pada Langgan yang merupakan kearifan lokal masyarakat. Faktorfaktor penyebab perubahan ini tentu saja bersesuaian dengan karakteristik dari kearifan lokal yang berkembang pada masyarakat setempat. Kenyataan di lapangan menunjukan bahwa faktor perubahan (Lihat Pendekatan Konseptual, (faktor-faktor perubahan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya atau juga yang terdapat pada buku pustaka)) ini, banyak yang tidak dapat merubah pola aplikasi Langgan sebagai kearifan lokal masyarakat. Karena kearifan lokal tersebut ternyata bersifat dinamis sehingga mampu menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan yang terjadi pada lingkungannya atau pada masyarakat setempat, yang merupakan tempat tumbuh dan berkembangnya kearifan lokal tersebut. Hal ini terbukti dari masih terus terjaga dan adanya Langgan sampai saat ini. Bahkan Langgan dalam perkembangannya terus bertambah besar dan menguasai pasar
132
ikan dan sosial-ekonomi masyarakat di tingkat lokal. VRP (16 th) pelajar SMA berpendapat bahwa : ”Langgan yang terdapat di sekitar desa Muara sampai desa Cikiruh wetan jumlahnya semakin hari, semakin bertambah. Banyak orang yang memiliki modal, menjadi Langgan di desa ini dan anehnya banyak pula masyarakat terutama nelayan yang meminjam modal pada Langgan tersebut.” Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat mengakibatkan perubahan kearifan lokal Langgan berdasarkan hasil studi di lapangan.
7.1.1. Interfensi Ulama melalui Agama Islam Faham agama yang mengharamkan hal-hal mistik di luar ketentuan agama seperti keyakinan pada adanya penunggu pulau Tinjil di tengah laut yaitu Nyi Neneng, kepercayaan terhadap buaya putih yang bersemayam di bawah jembatan yang menghubungkan antara desa Muara dengan Cikiruh wetan, faham agama yang melarang / mengharamkan laut dan di haramkannya Langgan sebagai suatu bentuk “riba”, ternyata sedikit banyak telah membuat kebudayaan masyarakat salah satunya adalah kearifan lokal masyarakat menunjukan adanya perubahan. Langgan di pandang sebagai suatu bentuk lain dari praktek Rentenir yang biasanya memberikan pinjaman yang menuntut bunga yang besar dari pinjaman tersebut. Inilah yang menyebabkan Langgan di pandang sebagai suatu riba oleh para ulama. Sebenarnya, praktek yang dilakukan oleh Langgan jauh lebih merugikan jika di bandingkan dengan “Rentenir”. Selain menuntut bunga yang besar dari materi yang dipinjamkan, Langgan juga menuntut agar nelayan yang meminjam modal padanya agar menjual hasil tangkapannya pada Langgan dengan harga yang ditetapkan olehnya dan biasanya harga tersebut relatif murah dari pada harga yang seharusnya diterima oleh nelayan.
133
“Langgan itu mirip rentenir,hanya bedanya rentenir lebih kasar sedangkan Langgan agak lunak sehingga nelayan tidak sadar kalau mereka sebenarnya berurusan dengan rentenir (VRP (16 th).” Faham ulama yang mengharamkan upacara ruwatan laut dan keyakinan pada hal-hal tertentu seperti keyakinan pada Nyi Neneng penunggu laut, buaya putih yang ada di bawah jembatan Binuangeun dan lain lain, ternyata sempat menghentikan kepercayaan / keyakinan masyarakat tersebut sebagai suatu adat dan kebudayaan masyarakat setempat. Upacara ruwatan ini sempat terhenti karena dilarang oleh para ulama. Kemudian pada saat musim paceklik tiba dan berkepanjangan, masyarakat mulai percaya bahwa itu adalah kutukan / peringatan bagi mereka yang telah meninggalkan upacara ruwatan. Masyarakat yakin bahwa paceklik yang menimpa mereka akibat mereka lalay memenuhi permintaan penunggu laut yang menguasai laut tempat masyarakat mencari nafkah. Kembalinya keyakinan ini telah membangkitkan kembali budaya masyarakat nelayan di desa tersebut. Upacara ruwatan dan keyakinan terhadap hal-hal gaib kembali tumbuh kembali. Faham ulama ini juga ternyata mempengaruhi Langgan secara tidak langsung. Langgan yang merupakan kearifan lokal masyarakat yang melekat pada budaya masyarakat setempat tentu saja ikut mengalami perubahan. Akan tetapi pengaruh tersebut tidak cukup besar mengubah Langgan. Hal ini di sebabkan image yang di bangun oleh Langgan begitu kuat. Masyarakat menganggap bahwa Langgan adalah penolong masyarakat dan hubungan / kerjasama yang di bangun di pandang sebagai hubungan yang saling menguntungkan. Inilah yang menyebabkan faham agama sulit menembus dan merubah mekanisme yang dijalankan oleh Langgan. Ditambah lagi orang-orang yang terlibat dalam Langgan
134
bahkan menjadi Langgan adalah orang-orang yang secara agama di pandang baik karena menyandang gelar / status sebagai Haji dan sebagainya.
Gambar 7.1. Mesjid tempat berkumpulnya para ulama.
7.1.2. Interfensi kebijakan pemerintah melalui TPI Tempat Pelelangan Ikan disingkat menjadi TPI, adalah tempat berlangsungnya aktivitas atau transaksi jual beli ikan yang umumnya ada di daerah sekitar pantai. Disini terdapat orang-orang yang melakukan aktivitas jual beli ikan hasil tangkapan nelayan di laut. Tempat Pelelangan Ikan pada awalnya dikelola oleh Koperasi Unit Desa (KUD), akan tetapi tidak berlangsung lama dan pada akhirnya bangkrut. Untuk melanjutkan kembali fungsi TPI, maka TPI diserahkan kembali pada Dinas Perikanan. Sama seperti saat dikelola oleh KUD, pengelolaan oleh Dinas Perikanan secara langsung ternyata juga tidak berhasil dan bangkrut. Akhirnya pengelolaan TPI diserahkan pada tokoh masyarakat Desa Muara. Saat ini, TPI dipegang oleh Bapak Bai, seorang tokoh masyarakat desa. Dari satu orang ini, kemudian merekrut beberapa orang untuk mengelola TPI. Penanggungjawab TPI saat ini, dipegang oleh Bapak Bai, dan bagian administrasi dipegang oleh H. Endang yang dibantu oleh Bapak Yogi dan beberapa karyawan yang membantu dalam proses kerja TPI.
135
Tempat Pelelangan Ikan (TPI) ternyata memberi dampak yang cukup besar dalam merubah pola operasi yang dilakukan oleh Langgan. Langgan yang semula menerima langsung hasil tangkapan nelayan dari nelayan, kini harus melalui administrasi TPI terlebih dahulu. Keuntungan yang besar pun kini mulai di pengaruhi oleh kebijakan pemerintah melalui TPI. Ikan yang di terima oleh Langgan, terlebih dahulu di potong beberapa persen oleh pemerintah melalui TPI. Pemotongan tersebut sebagian besar merupakan simpanan nelayan yang dapat di ambil sewaktu-waktu oleh nelayan yang bersangkutan. Tugas TPI, selain melakukan pencatatan hasil tangkapan dan memotong beberapa persen untuk tabungan nelayan serta untuk pendapatan daerah, TPI juga melakukan standarisasi hasil tangkapan nelayan. Standarisasi ini sangat membantu nelayan karena dengan standarisasi yang di lakukan TPI, Langgan tidak dapat memberikan harga seenaknya pada hasil tangkapan nelayan. Nelayan dapat memperoleh harga yang sesuai dari hasil yang mereka peroleh. Berdasarkan hal ini, TPI telah merubah / mencampuri kebijakan yang di terapkan oleh Langgan. TPI juga telah dapat mengisi alur mekanisme kerja Langgan dalam sistem kerja Langgan yang ada di Desa Muara Binuangeun. Disatu sisi, TPI telah dapat membantu nelayan dalam memperoleh haknya, tetapi disisi lain TPI telah mencampuri mekanisme kerja yang diterapkan oleh Langgan.
7.1.3. Kemiskinan dan perpindahan profesi yang terjadi pada masyarakat Berdasarkan data dari pemerintah desa setempat, sebagian besar mata pencaharian penduduk desa Muara adalah sebagai nelayan. Mata pencaharian sebagai nelayan ini ternyata membuat masyarakat menjadi miskin. Pendapatan
136
bersih masyarakat perhari rata-rata sekitar Rp. 15.000,- sampai Rp. 25.000,- pada saat musim panen ikan. Sementara pada saat musim paceklik, banyak masyarakat yang sama sekali tidak berpendapatan. Hal ini terjadi, karena sebenarnya sebagian besar penduduk tidak memiliki modal untuk beraktifitas atau bekerja dalam mencari ikan di laut. Sehingga akhirnya mereka meminjam modal pada Langgan.
Gambar 7.2. Potret kehidupan masyarakat. Disisi lain, mulai bertambahnya penduduk, sementara mata pencaharian sebagai nelayan tidak lagi menjanjikan, maka banyak masyarakat beralih profesi dan meninggalkan pekerjaan sebagai nelayan. Misalnya saja menjadi pengusaha kecil sekala rumah tangga, mengolah ikan hasil tangkapan atau menjadi buruh tani (berdasarkan data desa Muara pada tahun 2009). Mata pencaharian baru inilah yang kemudian menjadi alternatif baru untuk nelayan. Implikasinya, banyak nelayan yang keluar dari sistem Langgan. Sementara nelayan kecil yang tidak mampu keluar dari sistem yang diterapkan Langgan, tetap menjadi nelayan atau menggunakan modal yang diperoleh dari Langgan untuk usaha sampingan.
137
Hal inilah yang kemudian menjadi penyebab perubahan pada Langgan. Langgan yang semula dikhususkan hanya untuk masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan, ternyata secara diam-diam banyak nelayan yang mencoba usaha kecil-kecilan di luar mata pencahariannya sebagai nelayan. Ini jugalah yang menyebabkan banyak Langgan yang gulung tikar. Penyebab Langgan “gulung tikar” selain karena hal tadi, adalah karena banyaknya masyarakat yang tidak mampu melunasi utang-utangnya pada Langgan. Disisi lain, karena masyarakat sudah mulai sadar bahwa praktek Langgan ternyata telah banyak merugikan masyarakat dan jika terus berurusan dengan Langgan, masyarakat sadar akan terus mengalami masalah kemiskinan, maka masyarakat mulai untuk keluar dari sistem Langgan. Kemudian, agar nelayan tetap meminjam modal pada Langgan, akhirnya Langgan menerapkan sistem persentase (bukan lagi membagi hasil tangkapan menjadi empat bagian, dimana nelayan hanya memperoleh satu bagian). Secara garis besar, inilah yang menyebabkan adanya perubahan (perubahan mekanisme pengambilan keuntungan oleh Langgan menjadi sistem persentase) pada Langgan.
7.2. Faktor-faktor Penyebab Nelayan Terlibat Langgan Nelayan di desa Muara, tergolong sebagai nelayan miskin. Penghasilan yang diterima nelayan setiap harinya rata-rata Rp. 15.000,- sampai Rp. 25.000,pada musim ikan sedang melimpah. Sementara jika musim paceklik tiba, penghasilan tersebut berada di bawah rata-rata bahkan tidak berpenghasilan sama sekali. Sebenarnya keterlibatan nelayan dalam Langgan, dipengaruhi oleh berbagai faktor. Akan tetapi berbagai faktor ini mengerucut pada kemiskinan yang
138
terjadi pada nelayan. Kemiskinan inilah yang menggiring masyarakat untuk terlibat dalam Langgan. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah :
7.2.1. Kondisi Alam Nelayan desa Muara-Binuangeun mengenal adanya dua musim yang mempengaruhi aktivitas mereka saat mencari ikan di laut. Dua musim tersebut diantaranya adalah musim angin selatan dan musim angin barat. Musim angin selatan biasanya disebut dengan musim paceklik atau musim paila. Pada musim ini, intensitas tiupan angin sangat kencang dan ketinggian ombak sangat tinggi. Jarak tempat melaut pun jadi lebih dekat bahkan banyak nelayan yang memutuskan untuk tidak pergi melaut. Hal ini berakibat pada menurunnya pendapatan nelayan. Musim paceklik juga biasanya terjadi apabila pada malam hari terjadi terang bulan. Terang bulan dapat mengakibatkan ikan tidak berkumpul pada penerangan yang dilakukan oleh nelayan untuk memancing ikan agar berkumpul seperti yang dilakukan oleh nelayan Kursin atau Bagang. Akibatnya pendapatan nelayan menjadi menurun. Sedangkan musim angin barat adalah musim yang merupakan berkah bagi para nelayan. Musim angin barat biasanya disebut sebagai musim panen ikan. Pada musim ini, kondisi alam sangat memungkinkan bagi nelayan untuk melaut. Intensitas tiupan angin dan ketinggian ombak pun relatif stabil sehingga memungkinkan bagi nelayan untuk beraktivitas di laut dalam menangkap ikan. Selain musim barat, musim tidak terang bulan juga merupakan anugerah bagi nelayan. Karena kondisi alam yang tidak terang bulan dan tidak hujan, memungkinkan ikan berkumpul pada penerangan yang di lakukan oleh nelayan
139
untuk menjebak ikan di laut. Seorang mantan nelayan (KYH, 59 Tahun) menuturkan bahwa : “ Nelayan penghasilana jadi along (melimpah / banyak) lamun usim barat atawa usim teu caang bulan. Tapi mun caang bulan mah atawa usim hujan gede, biasana tara menang lauk jeung jarang nelayan nu ka laut da laukna geh sieunen kana guludug jadi nyaramuni na karang. ( Penghasilan yang diperoleh nelayan menjadi melimpah / banyak pada saat musim barat atau musim tidak terang bulan. Tetapi apabila musim terang bulan atau musim hujan, biasanya nelayan tidak mendapat ikan dan jarang nelayan yang pergi melaut karena ikannya juga takut pada petir dan bersembunyi di bawah karang)”.
7.2.2. Budaya Masyarakat yang Konsumtif Kebiasaan yang terjadi pada nelayan di desa Muara, ternyata hampir sama dengan kebiasaan nelayan lain pada umumnya. Sikap pemborosan dan membeli barang-barang yang disukai pada musim barat (musim panen ikan), merupakan salah satu karakteristik dari masyarakat setempat. Sangat jarang sekali masyarakat yang menyisihkan uangnya untuk kebutuhan pada musim paceklik atau sebagai cadangan untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya mendesak. Barang-barang yang dibeli ini pada umumnya adalah barang-barang elektronika seperti TV, DVD, dan sebagainya serta pakaian yang mereka sukai. Jika musim paila tiba, barang-barang tersebut dijual kembali dengan harga yang jauh lebih murah dari harga yang layak diterimanya. Hal ini dimanfaatkan oleh masyarakat diluar desa maupun Langgan yang akan meminjamkan uang pada nelayan. Seorang narasumber mengatakan bahwa budaya konsumtif pada masyarakat nelayan desa Muara telah menggiring mereka untuk terlibat dalam Langgan. Ironisnya, kondisi seperti ini ternyata dimanfaatkan bahkan dibiarkan saja oleh para Langgan, yang
140
implikasinya nelayan terjebak kedalam sistem yang di bangun oleh Langgan. Fakta yang menunjukan kondisi ini adalah pernyataan dari nara sumber bahwa : “ Lamun hayang barang nu marurah, usim paila ulin ka Desa Muara. Pasti loba nu ngajual barang-barang elektronik atawa kabutuhan rumah tangga nu harga na marurah. Sanajan barang urut, tapi bararagus. Dari pada meli katoko nu harga na mahal mah mending meli ka nelayan nubutuh duit bae, (Jika ingin mendapatkan barang-barang elektronik bekas tapi bagus dengan harga yang relatif lebih murah, maka datang saja ke desa Muara pada musim paila / paceklik. Pasti akan banyak masyarakat nelayan yang menjual barang-barang elektronik atau kebutuhan rumah tangga yang sangat murah dan kita tidak perlu repot-repot beli ke toko dengan harga lebih mahal, lebih baik membeli barang tersebut dari nelayan yang sedang butuh uang segera), (RWN).” . Sikap atau budaya konsumtif ini juga sering menimbulkan tindakan kriminalitas pada musim paila. Hal ini terjadi karena hasil penjualan barangbarang tadi, tidak dapat mencukupi kebutuhan nelayan sementara musim paila masih berlangsung lama. Pada saat itulah sering terjadi pencurian, perampokan dan tindakan kriminalitas lainnya. Hal ini dilakukan semata-mata untuk menyambung hidup mereka. Sementara umumnya masyarakat tidak memiliki mata pencaharian lain selain sebagai nelayan. Akhirnya, jalan satu-satunya untuk menyambung hidup dan agar dapat bertahan, nelayan terpaksa banyak yang terlibat dalam Langgan.
7.2.3. Sikap Ketergantungan Nelayan Pada Alam Sebagian besar masyarakat pesisir di desa Muara-Binuangeun bermata pencaharian
sebagai
nelayan.
Mata
pencaharian
sebagai
nelayan
ini
mengakibatkan masyarakat nelayan menjadi bergantung pada alam. Profesi sebagai nelayan dipilih karena mata pencaharian ini di pandang yang paling
141
potensial untuk dilakukan. Di sisi lain, kondisi geografis alamnya memungkinkan masyarakat untuk bermata pencaharian sebagai nelayan. Kemudian, mata pencaharian sebagai nelayan ini dipilih karena sebenarnya masyarakat tidak memiliki kemampuan lain selain berprofesi sebagai nelayan. Aktivitas nelayan dalam mencari ikan dilaut sangat ditentukan oleh kondisi alam. Di desa Muara dikenal ada dua musim dalam mencari ikan, yaitu musim angin barat dan musim angin selatan. Musim angin barat ini merupakan musim nelayan pergi melaut. Pada musim ini ikan relatif sangat banyak. Sedangkan pada musim angin selatan atau disebut juga musim paceklik / paila, nelayan banyak yang tidak melaut. Karena selain tidak ada ikan, kondisi alam juga sangat berbahaya. Pada musim paila ini intensitas tiupan angin dan ombak tidak stabil, bahkan dapat menimbulkan terjadinya baday. Inilah yang menyebabkan nelayan tidak pergi melaut karena kondisi alam. Ini pulalah yang membuktikan bahwa nelayan sangat bergantung pada alam dalam mencari nafkah. Kemudian seiring dengan perkembangan zaman, dimana jumlah penduduk mulai bertambah banyak dan kebutuhan mulai meningkat sementara sumberdaya di laut yang bisa dimanfaatkan sangat terbatas bahkan tidak potensial lagi, akhirnya masyarakat sering kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya. Kehidupan sebagai nelayan yang selalu bergantung dan dikendalikan oleh alam tidak lagi menjanjikan secara ekonomi. Sementara ketergantungan ini sudah membudaya dan sulit untuk dilepaskan, akhirnya terjadi kemiskinan pada nelayan.
142
7.2.4. Program Pemerintah yang Tidak Mendukung Nelayan dan Tidak Tepat Sasaran Pemerintah
dengan
berbagai
kebijakannya
berusaha
untuk
mensejahterakan masyarakat. Akan tetapi, realita di lapangan menunjukan kebijakan ini justru tidak tepat sasaran bahkan dinilai cenderung tidak memihak masyarakat nelayan sebagai masyarakat sasaran. Hal ini terbukti dari lembaga keuangan atau koperasi yang merupakan kebijakan pemerintah untuk membantu masyarakat, ternyata tidak dapat mengakomodir kebutuhan nelayan. Selain itu, adanya Tempat Pelelangan Ikan (TPI), di satu sisi memang menguntungkan bagi nelayan karena membantu dalam melakukan pendataan dan standarisasi hasil tangkapan sehingga akan mengurangi tindakan kecurangan oleh pihak yang akan membeli hasil tangkapan nelayan. Akan tetapi, di sisi lain, TPI melakukan pemotongan beberapa persen sebagai balas jasa dan sebagai simpanan nelayan yang katanya akan dikembalikan pada nelayan saat nelayan membutuhkannya. Kurang begitu jelas simpanan itu dialokasikan. Buktinya pada musim paceklik, tidak sedikit nelayan yang kesulitan secara ekonomi. Sebenarnya, ada atau tidak adanya TPI, tidak dapat memberi perubahan yang besar kearah yang lebih baik pada nelayan. Pemotongan hasil tangkapan oleh TPI, dinilai memberatkan nelayan. Hal ini disebabkan karena mengurangi pendapatan nelayan setiap harinya. Pendapatan yang diperoleh nelayan, selain dipotong oleh TPI, juga dipotong oleh Langgan yang memberi pinjaman modal pada nelayan. Kebijakan lain yang dinilai merugikan nelayan adalah naiknya harga Bahan Bakar Minyak. Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan kebutuhan pokok nelayan untuk melaut. Pada saat harga BBM naik dipasaran, sementara tidak di
143
imbangi dengan naiknya harga hasil tangkapan ikan nelayan, menyebabkan pendapatan nelayan menjadi berkurang. Beberapa nara sumber menyatakan bahwa kelangkaan dan kenaikan harga BBM untuk melaut terkadang membuat nelayan tidak pergi melaut. Sehingga implikasinya adalah pendapatan nelayan menjadi tidak ada. Kondisi ini dimanfaatkan pula oleh para Langgan. Banyak Langgan yang kemudian menjual BBM jauh lebih mahal dari pada harga di pasaran. BBM ini kemudian menjadi salah satu media untuk menjerat nelayan terlibat dalam sistem yang di bangun oleh Langgan. Ini membuktikan bahwa beberapa kebijakan yang di buat pemerintah ternyata tidak mampu memberi perubahan atau membantu masyarakat nelayan.
7.2.5. Rendahnya Tingkat Pendidikan Nelayan Tingkat pendidikan masyarakat nelayan di desa Muara umumnya masih rendah. Dari jumlah keseluruhan masyarakat yang + 10.196 (Data desa Tahun 2009), penduduk yang hanya tamat SD / Sederajat sekitar + 952 jiwa laki-laki dan + 640 jiwa perempuan. Sedangkan yang dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi hanya sekitar 50% dari jumlah yang lulus SD / Sederajat. Rendahnya tingkat pendidikan ini disebabkan oleh ketidakmampuan masyarakat untuk menyekolahkan anak-anaknya. Akhirnya alternatif yang di ambil adalah memasukan anak-anaknya ke pesantren atau membantu orang tuanya bekerja. Di sisi lain, kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan sangatlah rendah. Kondisi ini menjadi penyebab masyarakat nelayan menjadi kurang ilmu pengetahuannya sehingga tidak heran jika terus di bodohi oleh orang-orang disekitarnya. Situasi ini kemudian dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu.
144
Implikasinya nelayan banyak dirugikan. Misalnya saja, kondisi ini banyak di manfaatkan oleh Langgan pada saat membuat kesepakatan / perjanjian peminjaman modal. Nelayan banyak dirugikan oleh kesepakatan dalam peminjaman modal pada Langgan. Perjanjian tersebut di nilai menguntungkan secara sepihak dan merugikan nelayan. Inilah yang kemudian menjadi penyebab nelayan terjerat utang pada Langgan.
145
BAB VIII PENUTUP
8.1. Kesimpulan Desa Muara-Binuangeun adalah salah satu desa pesisir yang ada di kabupaten Lebak, provinsi Banten. Desa ini dibagi menjadi dua yaitu desa Muara I dan desa Muara II. Desa Muara I masuk kedalam areal kawasan kabupaten Lebak, sedangkan desa Muara II masuk kedalam areal kawasan kabupaten Pandeglang, Banten. Aktivitas nelayan lebih terfokus pada desa Muara I. Bahkan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang ada di desa Muara II menjadi tidak aktif karena hampir semua kegiatan pelelangan terpusat di desa Muara I. Dari Tempat Pelelangan Ikan tersebut, kini berkembang menjadi pasar tempat masyarakat bertransaksi dalam jual beli kebutuhan hidup. Bukan hanya ikan yang diperdagangkan, tetapi kebutuhan lain seperti kebutuhan rumah tangga dan sebagainya. Kearifan lokal yang berkembang pada masyarakat nelayan di desa MuaraBinuangeun ini memiliki karakteristik yang disesuaikan dengan lingkungan masyarakat ditempat tersebut dan sangat berkaitan dengan sistem mata pencaharian masyarakat yaitu sebagai nelayan. Profesi sebagai nelayan ini ternyata mempengaruhi pola aplikasi dan bentuk serta karakteristik pada kearifan lokal masyarakat. Misalnya saja, tata upacara ruwatan laut yang merupakan penghargaan bagi penguasa laut. Kearifan lokal ini merupakan suatu keyakinan masyarakat nelayan tentang alam yang telah memberi penghidupan pada mereka. Masyarakat percaya, jika di darat ada penghuninya, maka di laut pun ada
146
penghuninya yang memiliki karakteristik yang sama dengan makhluk yang ada di darat. Makhluk tersebut di sebut dengan “sileman”. Berdasarkan hal ini, karena masyarakat nelayan ikut mencari nafkah di tempat makhluk tadi, maka sudah sewajarnya diadakan upacara ruwatan sebagai bentuk penghargaan, rasa terimakasih, dan toleransi dengan makhluk yang ada di laut tadi. Masyarakat percaya, jika tidak melakukan upacara tersebut, maka akan terkena musibah seperti paceklik, ataupun kecelakaan di laut seperti kapal tenggelam dan sebagainya. Kearifan lokal yang lainnya adalah kearifan lokal yang berkaitan dengan sistem sosial ekonomi masyarakat nelayan yaitu Langgan. Langgan adalah salah satu kearifan lokal yang berbentuk aturan-aturan khusus atau norma-norma, nilainilai yang mengatur mekanisme yang dijalankan didalamnya untuk mencapai tujuan kesejahteraan secara ekonomi masyarakat (tujuannya di awal) yang ditetapkan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam sistem tersebut. Di samping itu jika difahami lebih jauh, Langgan ini juga diartikan sebagai individu yang melakukan peminjaman modal pada nelayan untuk melaut. Artinya adalah, selain sebagai suatu sistem yang mengatur mekanisme hubungan antara Langgan dengan nelayan, Langgan juga difahami sebagai individu yang memberikan pinjaman modal pada nelayan. Langgan inilah yang kemudian menjadi fokus pada penelitian ini. Langgan memiliki karakteristik bentuk berupa aturan atau norma khusus ada sejak dulu yang merupakan konsensus antara pihak yang terlibat dalam sistem tersebut. Karakteristik lainnya bersesuaian dengan sistem mata pencaharian masyarakat dan lingkungan yang mempengaruhinya.
147
Langgan terlahir dari inisiatif masyarakat dalam memecahkan masalah sosial-ekonomi mereka. Pada saat kemiskinan terjadi pada masyarakat dan implikasinya adalah masyarakat tidak memiliki modal untuk melaut, pada saat itulah timbul inisiatif untuk membuat atau mencari alternatif dalam mencari pinjaman modal. Kemudian terbentuklah Langgan sebagai wujud inisasi masyarakat tadi. Langgan menjadi tempat bagi nelayan dalam memperoleh pinjaman modal untuk melaut. Layaknya lembaga pemberi modal lainnya, Langgan yang merupakan lembaga pemberi modal yang sifatnya tradisional, memiliki serangkaian tata aturan atau kesepakatan dalam proses atau mekanisme yang
diterapkannya.
Di
dalam
perkembangannya,
sebagai
kebudayaan
masyarakat, Langgan tumbuh dan berkembang menjadi besar, kemudian mengalami kemunduran kembali. Berdasarkan hal ini, maka Langgan juga mengalami kemungkian untuk berubah seperti halnya kehidupan sosial masyarakat dan kebudayaan masyarakat. Berdasarkan hasil studi di lapangan, terdapat tiga faktor yang mempengaruhi perubahan pada Langgan. Ketiga faktor tersebut diantaranya adalah : 1. Interfensi ulama melalui agama Islam, yang telah banyak membatasi bahkan mengharamkan praktek-praktek kearifan lokal yang dijalankan oleh masyarakat. Langgan di pandang sebagai suatu bentuk “riba”, karena praktek Langgan ini mengharuskan para nelayan untuk membayar bunga yang sangat besar dari materi yang dipinjam nelayan. Sehingga praktek Langgan, perlahan mulai tidak disukai dan mulai di tinggalkan oleh masyarakat.
148
2. Interfensi kebijakan pemerintah melalui TPI (Tempat Pelelangan Ikan), dimana keberadaan TPI, telah merubah sistem atau mekanisme yang diterapkan oleh Langgan. Langgan yang semula menerima langsung hasil tangkapan dari nelayan, dengan adanya TPI kini harus melalui administrasi TPI terlebih dahulu. Keuntungan yang besar pun kini mulai dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah melalui TPI. Berdasarkan hal ini, TPI telah merubah / mencampuri kebijakan yang di terapkan oleh Langgan. TPI juga telah dapat mengisi alur mekanisme kerja Langgan dalam sistem kerja Langgan yang ada di Desa Muara Binuangeun.
3. Kemiskinan dan perpindahan profesi yang terjadi pada masyarakat, dimana pada saat mata pencaharian sebagai nelayan tidak lagi menjanjikan, maka banyak masyarakat beralih profesi dan meninggalkan pekerjaan sebagai nelayan. Perpindahan profesi ini juga di dorong oleh keinginan masyarakat yang besar untuk keluar dari masalah ekonomi. Hal inilah yang kemudian menjadi penyebab perubahan pada Langgan. Langgan yang semula dikhususkan hanya untuk masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan, ternyata secara diam-diam banyak nelayan yang mencoba usaha kecil-kecilan di luar mata pencahariannya sebagai nelayan. Inilah yang menyebabkan banyak Langgan yang gulung tikar.
8.2. Rekomendasi Meskipun Langgan dipandang banyak merugikan masyarakat dengan dampak negatif yang ditimbulkannya, keberadaan Langgan harus tetap dipertahankan. Karena Langgan juga banyak memiliki dampak positif bagi masyarakat desa Muara, misalnya saja adalah Langgan telah membantu masyarakat dalam memperoleh modal, memasarkan hasil tangkapan nelayan, memiliki aturan yang berlandaskan modal sosial masyarakat dan sebagainya. 149
Sehingga perlu adanya pembenahan dalam sistem hubungan yang diterapkan oleh Langgan. Disinilah peran semua pihak harus benar-benar dilibatkan dalam rangka memperbaiki sistem yang telah ada dan telah terbangun sejak lama. Bukan Langgan-nya yang merugikan masyarakat sebenarnya, akan tetapi mekanisme dan tata-aturannya yang harus dirubah dan disesuaikan dengan kebutuhan semua pihak yang terlibat dalam sistem tersebut. Dengan demikian, diharapkan tidak akan ada pihak yang akan merasa dirugikan dari praktek Langgan ini. Jika mekanismenya dijalankan dengan baik, maka tidak akan merugikan pihak manapun. Seperti tujuan adanya Langgan semula yaitu untuk membantu masyarakat keluar dari masalah sosial-ekonomi masyarakat, maka hendaknya Langgan dikembalikan pada tujuan semula tadi. Dengan demikian, Langgan akan menjadi sangat menguntungkan bagi masyarakat. Sebenarnya, keberadaan Langgan telah banyak membantu masyarakat dalam memperoleh modal. Dengan mekanisme yang mudah dalam proses peminjamannya, masyarakat nelayan dapat dengan cepat memperoleh modal untuk melaut. Kesalahan bukan hanya terjadi pada Langgan saja, akan tetapi masyarakat juga memiliki posisi yang sama seperti Langgan. Andai saja, sikap konsumtif nelayan dapat dihilangkan, maka mereka tidak akan kekurangan modal untuk melaut. Di sisi lain, pemerintah juga sama. Andai saja program pemerintah lebih melihat pada kearifan lokal yang berkembang pada masyarakat dan berangkat dari kebutuhan yang krusial pada masyarakat, maka kegagalan dalam pembangunan dapat dihilangkan atau paling tidak, diminimalisir. Berdasarkan hal ini, maka rekomendasi yang dapat diberikan antara lain :
150
1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang kearifan lokal masyarakat nelayan di desa Muara. Mengingat keterbatasan pengetahuan peneliti, masih banyak hal-hal lain yang masih belum tergali. Dengan diketahuinya kearifan lokal masyarakat yang lebih mendalam, maka diharapkan akan menjadi modal dalam menentukan bentuk pembangunan yang ideal untuk dijalankan dilokasi penelitian. Ini juga akan menjadi masukan bagi berbagai pihak dalam rangka kemajuan pembangunan. 2. Bagi masyarakat Desa Muara, hendaknya tidak selalu bergantung pada sesuatu hal saja (seperti pada Langgan misalnya), dan mencoba untuk menghilangkan kebiasaan buruk seperti prilaku konsumtif dan boros. Sehingga dapat keluar dari masalah-masalah sosial-ekonomi. Disamping itu, masyarakat juga hendaknya terus bersama-sama memupuk sikap dan tindakan kolektif dalam menjaga dan melestarikan kearifan lokal yang mereka miliki. Karena kearifan lokal tersebut merupakan ciri khas dan cerminan dari prilaku dan kebiasaan masyarakat yang diperlihatkan melalui modal sosial dan aplikasi dari kearifan lokal itu sendiri. 3. Bagi akademisi, diharapkan hasil penelitian ini menjadi bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya demi kemajuan bersama. 4. Bagi pemerintah, diharapkan akan menjadi bahan rujukan dan sebagai masukan untuk pembuatan kebijakan selanjutnya demi kemajuan bersama.
151
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2009. Belitung Indonesia, Coral Reef Demonstration Site Information System, dalam http://www.selatnasik.org/demosite/kegiatan/legislation/. (Diakses tanggal 2 Desember 2009 Jam 11:34 WIB). Anonim. 2009. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Pertanian Lahan Rawa Lebak, dalam http://aluhlangkar.blogspot.com/2008/08/kearifan-lokal-dalampengelolaan.html untuk judul Monday, August 11, 2008. (Diakses tanggal 2 Desember 2009 Jam 11:24 WIB). Aprianto, Afif. 2008. Komparasi Kearifan Tradisional Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug Dengan Aturan Formal Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Skripsi : Program Studi Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB. Biasane, Achmad Nasir. 2004. Konstruksi Kearifan Tradisional Dalam Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan. Jurnal. Bogor : IPB. Bungin, Burhan. 2006. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Djohan, Robby. 2007. Leaders and Social Capital: Lead to Togetherness. Jakarta: FUND ASIA EDUCATION. Irsan, Bartoven Vivit N. 2009. Kearifan Lokal Untuk Kesejahteraan Rakyat, (Sabtu 25 April 2009). (Kepala pusat studi budaya Lampung, Lembaga Penelitian Unila. Sumber : Lampung Pos), dalam http://budayalampung.blogspot.com/2009/04/kearifan-lokal-untukkesejahteraan.html. (Diakses tanggal 2 Desember 2009 Jam 11:43 WIB). Kusnadi. 2007a. Jaminan Sosial Nelayan. Yogyakarta : PT. LKiS Pelangi Aksara. ________, ed. 2007b. Strategi Hidup Masyarakat Nelayan. Jember : Tim Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (PSKP). Khuriyati, Siti Fikriyah. Nelayan Memegang Cangkul : Perubahan Pola Produksi Berbasis Laut Menjadi Berbasis Tanah ( Studi Kasus Tanah Timbul Segara Anakan ). Jurnal Pembaruan Desa Dan Agraria : 2005, Volume 11/ Tahun 2. Laila, Najmu. 2009. Kemiskinan Struktural Masyarakat Nelayan, dalam http://mhs.blog.ui.ac.id/najmu.laila/archives/16. (Diakses tanggal 2 Desember 2009 Jam 11:38 WIB). Lampe, Munsi, dkk. 1996. Penguasaan Wilayah Perikanan Dan Pemanfaatan Sumber Daya Hayati Laut Oleh Masyarakat Bugis Makasar. Sulawesi
152
selatan : Bagian Proyek Pengkajian Dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Sulawesi Selatan – Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI. Masyhuri dan Mochammad Nadjib. 2000. Pemberdayaan Nelayan Tertinggal : Sebuah Uji Model Penanganan Kemiskinan. Jakarta : Puslitbang Ekonomi Dan Pembangunan – LIPI. Mitchell,
Bruce. 1997. Pengelolaan Sumber Daya Dan Lingkungan. Diterjemahkan oleh B. Stiawan dan Dwita Hadi Rahmi, 2007. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
Salam, Aprianus. 2007. Prubahan Sosial Dan Pertanyaan Tentang Kearifan Lokal. Jurnal. Purwokwero : 2007 I Vol. 5 I No. 2 I P3M STAIN. Sartini. 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafat. Jurnal Filsafat : Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2. Satria, Arif. 2009a. Ekologi Politik Nelayan. Yogyakarta : LKiS. _________. 2009b. Pesisir Dan Laut Untuk Rakyat. Bogor : IPB Press. Silaen, Sofar. 2004. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Remaja Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial. Jakarta : BPI-LIPI dan PT. Tugu Pratama Indonesia. Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Grafindo Persada. Sugiyono. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : CV. Alfabeta. Sunito, Satiawan. et al. 2003. Diktat Sosiologi Umum. Bogor : IPB. Suwartika, Rika. 2003. Struktur Modal Usaha Dan Fungsi Modal Sosial Dalam Strategi Bertahan Hidup Pekerja Migran Di Sektor Informal. Skripsi. Jurusan Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Tripa, Sulaiman. 2009. Peran Dan Fungsi Panglima Laot Dalam Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Dan Perikanan, dalam (Diakses http://id.acehinstitute.org/index.php?view=article&catid. tanggal 2 Desember 2009 Jam 11:29 WIB). Wahyudin, Yudi. 2004. “Community Based Management (CBM)” Pengelolaan Berbasis Masyarakat (PBM).
153
BACAAN LAIN 1. Bahan Kuliah Ekologi Manusia, Fakultas Ekologi Manusia, IPB, 2007. 2. Daftar Isian Data Profil Desa dan Kelurahan di Kecamatan Wanasalam, Desa Muara, Kabupaten Lebak, Banten. 2009. Departemen dalam Negeri, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa.
154
LAMPIRAN
155
Lampiran 1. Data Narasumber Saat Penelitian No.
Inisial DMR
Jenis kelamin Laki-laki
Umur (Tahun) 67
53 55
Pendidikan terakhir Tidak Tamat SD Tidak Tamat SD SD S2
1. 2.
KYH
Perempuan
59
3. 4.
SRN RSP
Laki-laki Laki-laki
5. 6. 7.
HDA EJG ATS
8.
Alamat
Desa Muara I Desa Jati Waras
Laki-laki Laki-laki Laki-laki
47 37 33
SMA SMA SMA
Desa Muara I Desa Muara I Desa Muara I
YGI
Laki-laki
32
S1
Desa Muara I
9.
DNF
Laki-laki
31
SMA
Desa Muara I
10.
HDI
Laki-laki
26
SMA
Desa Muara I
11.
RWN
Laki-laki
23
SMA
Desa Muara II
12.
RSI
Laki-laki
23
SMA
Desa Muara I
13.
RTA
Perempuan
23
S1
Desa Muara I
14.
SHN
Perempuan
22
SMA
Desa Muara I
15.
VRP
Perempuan
16
SMA
16.
EPR
Perempuan
16
SMA
Desa Cikiruh Wetan Desa Jati Waras
Desa Muara II Desa Muara II
Keterangan Mantan Nelayan Mantan Nelayan Langgan Guru/ Pengamat Langgan Tekong Sekertaris Kepala Desa Muara I Pengamat langgan/bek erja di TPI. Nelayan Kursin Masyarakat setempat/ Guru Masyarakat setempat. Pernah kerja di TPI dan Nelayan Warga setempat/Ma hasiswi Warga setempat/ped agang Pelajar Pelajar
156
Lampiran II. Panduan Pertanyaan
I. Pertanyaan Pengarah pada Studi Pendahuluan (Berlaku untuk Semua Pihak) 1. Bagaimana kondisi sosial masyarakat (lokasi penelitian) ? 2. Bagaimana kondisi ekonomi masyarakat (lokasi penelitian) ? 3. Bagaimana kebudayaan masyarakat setempat ? 4. Bagaimana sistem mata pencaharian masyarakat ? 5. Adakah kearifan lokal yang mempengaruhi sistem mata pencaharian masyarakat ? 6. Adakah kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat ? 7. Apa saja bentuk dari kearifan lokal tersebut dan bagaimana karakteristiknya ? 8. Apa yang melatar belakangi adanya kearifan lokal tersebut ? 9. Sejak kapan kearifan lokal tersebut ada, tumbuh dan berkembang pada masyarakat ? 10. Mengapa kearifan lokal tersebut tumbuh dan berkembang pada masyarakat ? 11. Apa peran dan fungsi dari kearifan lokal tersebut ? 12. Apakah kearifan lokal tersebut merupakan budaya asli masyarakat atau budaya yang datang dari luar masyarakat dan di adopsi oleh masyarakat ? 13. Apakah modal sosial masyarakat menyertai tumbuh dan berkembangnya kearifan lokal tersebut? 14. Secara ekonomi, sosial, budaya dan politik yang berkembang pada masyarakat, bagaimana makna kearifan lokal tersebut jika di lihat dari empat aspek tadi ? 15. Apakah kearifan lokal tersebut merupakan kebudayaan / bagian dari kebudayaan masyarakat ? 16. Adakah unsur mitos yang menyertai tumbuh dan berkembangnya kearifan lokal tersebut ? 17. Bagaimana aplikasi kearifan lokal tersebut, dan adakah perbedaan dalam pola pengaplikasiannya ? 18. Jika ada perubahan, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan pada kerifan lokal tersebut ?
157
19. Adakah aktor-aktor yang berkepentingan dalam aplikasi kearifan lokal tersebut, dan siapa saja ? 20. Bagaimana peran dari masing-masing aktor dalam kearifan lokal tersebut ?
II.
Pertanyaan Pengarah Setelah Fokus Penelitian Di Dapatkan
1. Pihak Masyarakat •
Bisakah anda menceritakan kearifan lokal yang berkembang di desa ini ?
•
Bagaimana awal mulanya kearifan lokal tersebut tumbuh dan berkembang pada masyarakat ?
•
Manfaat apa yang anda peroleh dari kearifan lokal yang berkembang tersebut ?
•
Apakah anda terlibat dalam kearifan lokal tersebut ?
•
Tahukah anda dari mana kearifan lokal tersebut berasal, ataukah kearifan lokal tersebut merupakan budaya asli daerah anda ?
•
Bagaimana anda berperan dalam kearifan lokal tersebut ?
•
Apa harapan anda terhadap kearifan lokal yang berkembang di tempat anda ?
•
Siapa saja yang diuntungkan ?
•
Adakah perubahan dalam pola pengaplikasian kearifan lokal tersebut ?
•
Bagaimana pola aplikasi kearifan lokal dahulu dan bagaimana pola aplikasi kearifan lokal saat ini ?
•
Mengapa kearifan lokal tersebut berubah ?
•
Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kearifan lokal tersebut berubah ?
•
Mengapa faktor-faktor tersebut mempengaruhi perubahan pada kearifan lokal ?
•
Apa harapan anda untuk keberlangsungan aplikasi kearifan lokal tersebut ?
158
2. Pihak Pemerintah •
Bagaimana peran pemerintah dalam kearifan lokal yamh berkembang pada masyarakat setempat ?
•
Manfaat apa yang diperoleh pemerintah dari kearifan lokal yang berkembang pada masyarakat di wilayahnya ?
•
Adakah aturan hukum yang mengatur secara tegas mengenai aplikasi kearifan lokal masyarakat di wilayah tersebut ?
•
Bagaimana hubungan pemerintah dengan para pelaksana kearifan lokal di wilayah tersebut ?
•
Sejauh mana campur tangan pemerintah dalam kearifan lokal yang berkembang pada masyarakat ?
•
Bagaimana pendapat anda tentang kearifan lokal tersebut ?
•
Apa harapan anda untuk keberlangsungan aplikasi kearifan lokal tersebut oleh masyarakat ?
•
Siapa saja yang diuntungkan ?
•
Adakah perubahan dalam pola pengaplikasian kearifan lokal tersebut ?
•
Bagaimana pola aplikasi kearifan lokal dahulu dan bagaimana pola aplikasi kearifan lokal saat ini ?
•
Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kearifan lokal tersebut berubah ?
•
Apa harapan anda untuk keberlangsungan aplikasi kearifan lokal tersebut ?
3. Pengamat •
Apa yang anda ketahui tentang kearifan lokal yang berkembang di desa Muara-Binuangeun ?
•
Apa yang melatar belakangi terbentuknya kearifan lokal tersebut ?
•
Siapa saja yang terlibat dalam kearifan lokal tersebut ?
•
Apa fungsi dan peran dari kearifan lokal tersebut ?
•
Bagaimana dampaknya pada masyarakat ?
•
Siapa saja yang diuntungkan ?
•
Adakah perubahan dalam pola pengaplikasian kearifan lokal tersebut ?
159
•
Bagaimana pola aplikasi kearifan lokal dahulu dan bagaimana pola aplikasi kearifan lokal saat ini ?
•
Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kearifan lokal tersebut berubah ?
•
Apa harapan anda untuk keberlangsungan aplikasi kearifan lokal tersebut ?
4. Langgan •
Bagaimana mekanisme peminjaman modal pada Langgan ?
•
Syarat atau ketentuan apa yang harus di penuhi nelayan saat melakukan peminjaman uang ?
•
Apakah sering ditemui hambatan pada saat tertentu terkait peminjaman modal yang dilakukan nelayan pada Langgan ?
•
Seandainya nelayan tidak mampu membayar modal yang dipinjamnya, bagaimana proses penyelesaian masalah tersebut ?
•
Bagaimana interfensi pemerintah dalam sistem Langgan ?
•
Adakah aturan formal dari pemerintah setempat sebagai payung hukum untuk kegiatan Langgan ?
•
Siapa saja yang terlibat dalam sistem Langgan selain nelayan dan Langgan itu sendiri ?
•
Bagaimana peran dan fungsi Langgan pada sistem sosial-ekonomi masyarakat ?
•
Adakah perbedaan pola aplikasi Langgan antara dulu dengan saat ini ?
•
Jika ada, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan kearifan lokal tersebut ?
•
Apa harapan anda untuk keberlangsungan aplikasi Langgan ini pada masyarakat ?
160
LAMPIRAN III. JADWAL PENELITIAN No.
Kegiatan I
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
161
Penyusunan proposal. Konsultasi Kolokium . Persiapan turun lapang pertama. Memasuki lapangan, grand tour dan mini tour question, analisis domain (analisis data reduction). Menentukan focus, mini tourquestion, analisis taksonomi (analisis data display). Tahap selection, structural question, analisis komponensial (analisis data verification). Menentukan tema, judul, analisis tema. Uji keabsahan. Pembuatan draft laporan penelitian dan revisi. Sidang hasil / laporan penelitian (Skripsi). Penyempurnaan laporan.
√ √
Jan 2010 II III √ √ √ √
IV √ √
√
√
I
Bulan Feb 2010 II III IV I
√
√ √
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Mar 2010 II III IV
I
Apr 2010 II III IV
√
√
√
√
√
√
√ √ √
√ √
√
√
√
√
√
√ √
√
√
√
√ √