KAJIAN KAPASITAS FASILITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) CITUIS TANGERANG TERHADAP PERKEMBANGAN PERIKANAN TANGKAPNYA
NURUL MARDIANA
MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Kajian Kapasitas Fasilitas Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Cituis Tangerang terhadap Perkembangan Perikanan Tangkapnya adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, 28 Juli 2010 Nurul Mardiana
ABSTRAK NURUL MARDIANA, C44060424. Kajian Kapasitas Fasilitas Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Cituis Tangerang terhadap Perkembangan Perikanan Tangkapnya. Dibimbing oleh ERNANI LUBIS. Peran pangkalan pendaratan ikan (PPI) adalah memajukan perikanan tangkap di daerahnya yang meliputi aspek produksi, pengolahan dan pemasaran. Operasionalnya sangat dipengaruhi oleh hasil tangkapan yang didaratkan. Terbatasnya kapasitas fasilitas PPI akan mempengaruhi kelancaran aktivitas kepelabuhanan yang mengakibatkan fungsinya tidak terpenuhi secara optimal. PPI Cituis merupakan salah satu dari tujuh PPI di Kabupaten Tangerang yang memberikan kontribusi Pendapatan Asli Daerah tertinggi. Tujuan penelitian ini mengetahui perkembangan perikanan tangkap di Kabupaten Tangerang dan PPI Cituis, mengetahui aktivitas dan fasilitas di PPI Cituis dan mengkaji kapasitas fasilitas serta keterkaitannya dalam perkembangan perikanan tangkap di Kabupaten Tangerang. Metode penelitian adalah studi kasus terhadap kapasitas tempat pelelangan ikan, SPDN (Solar Packed Dealer Nelayan), dermaga dan kolam pelabuhan. Analisis dilakukan secara deskriptif mengenai perkembangan perikanan tangkap di Kabupaten Tangerang dan Cituis, aktivitas dan fasilitas serta menghitung kapasitas fasilitas seharusnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sektor perikanan di Kabupaten Tangerang dan Propinsi Banten periode tahun 2002-2007 merupakan sektor basis. Berdasarkan 13 jenis aktivitas yang tercantum dalam UU RI Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pada pasal 41A ayat 2, PPI Cituis melaksanakannya 9, yaitu pelayanan administrasi tambat dan labuh kapal perikanan; pelayanan bongkar muat; pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan; pemasaran dan distribusi ikan; pengumpulan data hasil tangkapan dan hasil perikanan lainnya; penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan; pelaksanaan operasional kapal perikanan; kesyahbandaran dan pengendalian lingkungan (kebersihan, keamanan dan ketertiban, kebakaran dan pencemaran). Fasilitas yang melampaui kapasitas di PPI Cituis yaitu SPDN, dermaga dan kolam pelabuhan sehingga perlu penambahan kapasitas SPDN 305.692,1 liter, panjang dermaga 344,12 m, kedalaman kolam 70 cm dan luas kolam pelabuhan 47.307,47 m2.
Kata kunci: Fasilitas, pelabuhan perikanan, PPI Cituis
© Hak cipta IPB, Tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber: a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
KAJIAN KAPASITAS FASILITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) CITUIS TANGERANG TERHADAP PERKEMBANGAN PERIKANAN TANGKAPNYA
NURUL MARDIANA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Skripsi
: Kajian Kapasitas Fasilitas Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Cituis Tangerang terhadap Perkembangan Perikanan Tangkapnya
Nama
: Nurul Mardiana
NRP
: C44060424
Mayor
: Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Disetujui : Pembimbing
Dr.Ir. Ernani Lubis, DEA. NIP: 19561123 198203 2 002
Diketahui: Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Dr.Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. NIP: 19621223 198703 1 001
Tanggal Lulus : 29 Juni 2010
KATA PENGANTAR
Skripsi ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 ini adalah kajian kapasitas fasilitas pelabuhan perikanan terhadap perkembangan perikanannya, dengan judul Kajian Kapasitas Fasilitas Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Cituis Tangerang terhadap Perkembangan Perikanan Tangkapnya. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada: 1. Dr.Ir. Ernani Lubis, DEA sebagai komisi pembimbing atas arahan dan bimbingan yang diberikan dalam penyusunan skripsi; 2. Sukma Jaya, SE. Sekretaris KUD Mina Samudera, Suryadi, A. Md. Tata Usaha PPI Cituis, Muhammad Suhaeb Kepala Departemen Perhubungan Dirjen Perhubungan Laut Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Cituis Tangerang dan Pak Samin atas segala informasi dan bantuannya; 3. Gini Al Ghazali atas semua bantuan yang telah diberikan selama penelitian; dan 4. Deni Hadi Priatna dan Sugih Suryagalih atas segala informasi dan bantuannya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.
Bogor, Juli 2010 Nurul Mardiana
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada: 1) Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini; 2) Dr.Ir. Ernani Lubis, DEA selaku pembimbing skripsi atas arahan dan bimbingan yang telah diberikan dalam penyusunan skripsi ini; 3) Bapak Abdul Rachman dan Ibu Nuryati sebagai orang tua kandung dari penulis, Budianto dan Achmad Saefudin (alm) selaku kakak kandung penulis dan keluarga besar atas semua nasehat, semangat, doa serta kasih sayang kepada penulis; 4) Dr.Ir. Budy Wiryawan, M.Sc selaku ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor; 5) Dr. Ir. Muhammad Imron, M.Si selaku ketua Komisi Pendidikan Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor 6) Retno Muninggar, S.Pi, ME selaku penguji tamu atas sarannya; 7) Dosen Depatemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan atas ilmu yang telah diberikan selama ini; 8) Sukma Jaya, SE. Sekretaris KUD Mina Samudera, Suryadi, A. Md. Tata Usaha PPI Cituis, Muhammad Suhaeb Kepala Departemen Perhubungan Dirjen Perhubungan Laut Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Cituis Tangerang, Pak Samin, Firman Santoso dan Fachrizal Herlambang atas segala informasi dan bantuannya; 9) Gini Al Ghazali atas semua bantuan, semangat dan doa yang telah diberikan selama penyusunan skripsi ini; 10) Deni Hadi Priatna dan Sugih Suryagalih atas segala informasi dan bantuannya; 11) Rachman Rosadi yang telah memberikan bantuannya dalam penyusunan skripsi ini; 12) Sahabat tercinta (Galuh Wanda Pramesti, Esti Lestari, Rd. Ladia Inizianti, Ratu Ladya Putrinatami, Listya Citraningtyas, Viona Maulidia, Nita Sri
Kurniawati dan Aditya Jaka Sembada) atas doa, semangat dan persahabatan yang tulus kepada penulis; 13) Teman-teman BTC (Afiq Iskandar N, Dinda Rizky Maulina, Karina Dinanty, Ranisya Alvidianti, Gisella Ikramedia, Gatra Wigatama, Fauziah Rahmah, Raditantri Setyarini, Hanum Khrisna dan Lucky Bagus Waskito), tementemen basket di IPB, dan teman-teman alumni SDN Panaragan 2 Bogor lulusan tahun 2000 atas doa, semangat dan persahabatan yang tulus kepada penulis; 14) Teman-teman PSP angkatan 43 (Intan, Ratih, Ari, Alvi, Mardia, Mia, Cesar, Rizky, Shinta, Troy, Riri, Fajrina, Heru, Seli, Fatra, Septa, Septi, Rusdi, Rezki, Siska M, Bayu, Raissa, Siska A, Ami, Enur, Maria, Yasa, Ghea, Adit, Iniz, Lala, Neney, Uty, Viona, Gini, Rachman, Anggi, Alfian, Dedi, Firman, Pipih, Merta, Septi, Esther, Hanif, Arif, Alin, Ike, Mukhlis, Refi, Nanda, Qbee, Elwidya, Qimul, Rima, Afryan dan Indah) yang selalu memberikan keceriaan, kesedihan serta pengalaman-pengalaman yang sangat berarti selama kurang lebih 3 tahun; 15) Teman-teman PSP ’41, PSP ’42, PSP ’44 dan PSP ’45 yang telah memberikan pengalaman bekerjasama; 16) Pak Gigih dan Mbak Vina selaku staf Tata Usaha Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan yang senantiasa membantu penulis membuat suratsurat yang diperlukan sejak penelitian hingga ujian akhir skripsi; 17) Mbak Yuni selaku Koordinator Perpustakaan Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan yang selalu membantu penulis dalam mencari referensi selama menyusun skripsi; 18) Para senior yang telah memberikan pelajaran berarti kepada penulis; 19) Seluruh civitas PSP yang telah memberikan kebersamaan yang tidak terlupakan; 20) Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu turut membantu penyusunan skripsi ini.
Bogor, Juli 2010 Nurul Mardiana
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 30 Oktober 1987 dari pasangan Bapak Abdul Rachman dan Ibu Nuryati. Penulis merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara. Penulis memulai pendidikan pada tahun 1993 di TK Angraeni Bogor. Pada tahun 1994 penulis lulus dan melanjutkan ke SD Negeri Panaragan 2 Bogor. Pada tahun 2000 melanjutkan ke SMP negeri 4 Bogor dan lulus pada tahun 2003. Penulis lulus dari SMA negeri 5 Bogor pada tahun 2006 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk (USMI) IPB. Penulis memilih Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah Pelabuhan Perikanan pada tahun ajaran 2009/2010. Pada tahun ajaran 2007/2008 dan 2008/2009 penulis memperoleh beasiswa BBM (Beasiswa Bantuan Mahasiswa) serta pada tahun ajaran 2009/2010 memperoleh beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) dari IPB. Penulis mengikuti kegiatan organisasi di IPB sebagai anggota dari Departemen Pengembangan Minat Bakat (PMB) Himpunan Mahasiswa Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (HIMAFARIN) periode tahun 2008/2009 dan 2009/2010. Pada tahun 2008, penulis memiliki pengalaman kerja sebagai pramuniaga di PT. Gunung Agung. Dalam rangka menyelesaikan tugas akhir, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul “Kajian Kapasitas Fasilitas Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Cituis Tangerang terhadap Perkembangan Perikanan Tangkapnya”. Penulis dinyatakan lulus dalam sidang ujian Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan pada tanggal 29 Juni 2010.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................ xii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiv 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1 1.2 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 3 1.3 Manfaat Penelitian ..................................................................................... 3 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Kriteria Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) ............................. 2.2 Fungsi dan Peranan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) .............................. 2.3 Fasilitas Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) ................................................ 2.4 Kapasitas Fasilitas Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) ................................ 2.5 Perkembangan Perikanan Tangkap ............................................................ 2.5.1 Unit penangkapan ikan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) ........... 2.5.2 Produksi hasil tangkapan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) ....... 2.6 Perkembangan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) ......................................
4 4 7 8 8 10 11 15
3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ..................................................................................... 3.2 Metode Penelitian ...................................................................................... 3.3 Metode Pengumpulan Data ........................................................................ 3.4 Analisis Data .............................................................................................. 3.4.1 Analisis pengembangan perikanan tangkap Kabupaten Tangerang dan PPI Cituis.................................................................................... 3.4.2 Analisis aktivitas dan fasilitas di PPI Cituis ..................................... 3.4.3 Analisis kapasitas fasilitas di PPI Cituis serta keterkaitannya dalam perkembangan perikanan tangkap di wilayah PPI Cituis Tangerang ........................................................................
19 19 19 21 21 23
23
4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Tangerang ..................................................... 4.1.1 Letak geografis dan keadaan topografi ............................................. 4.1.2 Penduduk ........................................................................................... 4.1.3 Unit penangkapan ikan ...................................................................... 4.2 Keadaan Umum Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Cituis Tangerang ....... 4.2.1 Letak geografis .................................................................................. 4.2.2 Fasilitas PPI Cituis ............................................................................
27 27 28 29 30 30 31
xi
5 PERKEMBANGAN PERIKANAN TANGERANG DAN PPI CITUIS
TANGKAP
KABUPATEN
5.1 Perkembangan Perikanan Tangkap Kabupaten Tangerang........................ 5.2 Perkembangan Perikanan Tangkap PPI Cituis........................................... 5.2.1 Unit penangkapan ikan ...................................................................... 5.2.2 Produksi hasil tangkapan ..................................................................
32 34 35 43
6 AKTIVITAS DAN FASILITAS 6.1 Aktivitas PPI .............................................................................................. 48 6.2 Fasilitas PPI................................................................................................ 60 7 KAPASITAS FASILITAS 7.1 Tempat Pelelangan Ikan (TPI) ................................................................... 7.2 Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN) ...................................................... 7.3 Dermaga ..................................................................................................... 7.4 Kolam PPI .................................................................................................. 7.4.1 Kedalaman kolam PPI ....................................................................... 7.4.2 Luas kolam pelabuhan ......................................................................
71 73 74 76 76 77
8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan ................................................................................................ 80 8.2 Saran........................................................................................................... 81 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 82 LAMPIRAN ....................................................................................................... 87
DAFTAR TABEL Halaman 1
Potensi perikanan Kabupaten Tangerang, 2008 ........................................... 28
2
Penyebaran rumah tangga perikanan Kabupaten Tangerang, 2008 ............. 29
3
Fasilitas PPI Cituis tahun 2009 .................................................................... 31
4
Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor perikanan dan seluruh sektor Propinsi Banten (Rp) atas harga berlaku, 2002-2007 .... 32
5
Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor perikanan dan seluruh sektor Kabupaten Tangerang (Rp) atas harga berlaku, 2002-2007 .................................................................................................... 32
6
Nilai location quotient (LQ) ........................................................................ 33
7
Perbandingan kebutuhan solar kapal penangkap ikan menurut alat tangkap dan lama trip, 2009 ....................................................................................... 35
8
Jumlah kapal penangkap ikan di PPI Cituis, 2001-2008 ............................. 37
9
Jumlah alat penangkapan ikan di PPI Cituis, 2001-2008 ............................ 39
10 Jumlah nelayan di sekitar PPI Cituis, 2001-2008 ........................................ 41 11 Produksi ikan di PPI Cituis, 2001-2008 ....................................................... 46 12 Ukuran fasilitas-fasilitas di PPI Cituis ......................................................... 78
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Perkembangan jumlah kapal penangkap ikan di PPI Cituis, 2001-2008 ..... 39
2
Perkembangan jumlah alat penangkapan ikan di PPI Cituis, 2001-2008 .... 40
3
Perkembangan jumlah nelayan di PPI Cituis, 2001-2008 ........................... 41
4
Perkembangan jumlah produksi ikan di PPI Cituis, 2001-2008 .................. 46
5
Perkembangan nilai produksi ikan di PPI Cituis, 2001-2008 ...................... 47
6
Saluran pemasaran ikan di PPI Cituis .......................................................... 51
7
Proses pelelangan ikan di PPI Cituis ............................................................ 53
8
Dermaga pendaratan di PPI Cituis ............................................................... 61
9
Kolam PPI Cituis ......................................................................................... 61
10 Breakwater ................................................................................................... 62 11 Mercusuar PPI Cituis ................................................................................... 62 12 Aktivitas penjualan ikan di TPI Cituis ......................................................... 63 13 Tempat penjemuran ikan ............................................................................. 64 14 Bengkel ........................................................................................................ 64 15 Instalasi air tawar ......................................................................................... 65 16 Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN) PPI Cituis ....................................... 66 17 Tempat pengolahan ikan .............................................................................. 66 18 Depot es ....................................................................................................... 67 19 Kamar mandi ................................................................................................ 67 20 Pos keamanan .............................................................................................. 68 21 Kedai pesisir ................................................................................................ 68 22 Mesjid .......................................................................................................... 69 23 Kantor syahbandar PPI Cituis ....................................................................... 69 24 Balai Pertemuan Nelayan (BPN) ................................................................ 70 25 Tempat parkir ............................................................................................... 70 26 Cara kapal memasuki kolam pelabuhan ketika air surut ............................. 76
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Peta lokasi penelitian Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Cituis Tangerang ................................................................................................. .
88
2
Lay out Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Cituis Tangerang, 2003 .......... .
89
3
Tabel spesifikasi dan hasil pengujian organoleptik ikan di PPI Cituis, 2009 ....................................................................................
90
4
Produksi ikan yang didaratkan di PPI Cituis, 2001-2008 ........................
92
5
Harga ikan di PPI Cituis, 2001-2008 ........................................................
94
6
Nilai produksi ikan, 2001-2008 ................................................................
96
7
Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi Banten atas dasar harga berlaku, 2002-2007..........................................................
98
8
Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Tangerang atas dasar harga berlaku, 2002-2007 ......................................................... 101
9
Perhitungan nilai Location Quotient (LQ) ................................................ 104
10 Perhitungan ukuran fasilitas ...................................................................... 106 11 Syarat pengurusan Surat Persetujuan Berlayar, Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Penangkapan Ikan (SPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) ................................................................ 112
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pangkalan Pendaratan Ikan sebagai pusat pengembangan ekonomi perikanan memiliki peranan yang sangat penting dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan. Salah satu peranan penting pangkalan pendaratan ikan adalah memajukan perikanan tangkap di daerahnya. Hal tersebut dapat ditinjau dari aspek produksi, pengolahan dan pemasaran baik lokal, nasional maupun internasional. Fasilitas berperan menunjang kelancaran aktivitas pelabuhan perikanan. Ketidakcukupan atau ketiadaan salah satu fasilitas yang diperlukan akan dapat menghambat berbagai aktivitas lain yang saling berkaitan. Jika keberadaan dan kondisi fasilitas terus diabaikan, maka akan dapat melumpuhkan aktivitas di suatu pelabuhan perikanan. Fasilitas pelabuhan perikanan atau pangkalan pendaratan ikan menentukan keberhasilan dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan tangkap. Fasilitas diperlukan mulai saat persiapan sebelum sampai pasca kegiatan operasi penangkapan yang memerlukan penanganan yang baik. Belum lengkapnya fasilitas yang memadai akan mempengaruhi pelaksanaan fungsi-fungsi pelabuhan perikanan. Lubis (2006) mengemukakan bahwa terlaksana atau tidaknya fungsifungsi pelabuhan perikanan secara optimal, akan mengindikasikan tingkat keberhasilan pengelolaan suatu pelabuhan perikanan. Kelengkapan
kapasitas
fasilitas
akan
menunjang
seluruh
aktivitas
kepelabuhanan. Hal ini yang pada akhirnya akan mempengaruhi perkembangan perikanan tangkap suatu pelabuhan perikanan. Fasilitas yang belum berfungsi secara optimal seperti fasilitas yang telah melampaui kapasitasnya, fasilitas yang masih terbatas dan fasilitas yang diperlukan belum ada akan berpengaruh terhadap pengembangan usaha perikanan (Lubis, 2006). Selanjutnya dikatakan bahwa jenis dan kapasitas dari fasilitas akan berkembang sesuai dengan kebutuhan operasional pelabuhan karena berkembangnya produksi hasil tangkapan yang didaratkan sehingga perlu kesesuaian antara kapasitas dengan kebutuhan yang diperlukan saat ini dan yang akan datang. Potensi perikanan yang dapat diakses oleh nelayan Kabupaten Tangerang terdapat di perairan Laut Jawa yang mencakup Teluk Banten dan Teluk Jakarta,
2
Selat Sunda dan Sumatera bagian Selatan. Potensi tersebut pada tahun 2008 dibagi atas delapan jenis areal (kawasan) diantaranya rawa, situ, sungai, bekas galian pasir, tambak, kolam, sawah dan panjang pantai. Diantara kedelapan areal tersebut, tambak memiliki potensi perikanan paling besar karena pemanfaatannya masih sedikit sedangkan areal sungai memiliki potensi perikanan paling sedikit (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang, 2009). Kabupaten Tangerang dinilai memiliki potensi perikanan tangkap yang belum tereksploitasi secara maksimal serta masih memiliki potensi yang sangat besar untuk digarap. Melihat fakta ini, Pemerintah Kabupaten Tangerang berniat untuk mengubah Tangerang, yang 80% masyarakatnya hidup dari sektor pertanian menjadi kawasan industri berbasiskan perikanan dan kelautan. Dengan demikian perlu penyediaan fasilitas pelabuhan dalam skala terbatas yang ditujukan untuk mendorong perkembangan industri ini (Kompas, 2008). Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Cituis merupakan salah satu PPI yang terletak di Kabupaten Tangerang. PPI Cituis memiliki prospek perkembangan yang lebih baik diantara ketujuh PPI yang terdapat di Kabupaten Tangerang. Hal ini diindikasikan dari ramainya transaksi pelelangan ikan setiap harinya dan memiliki kontribusi PAD (Pendapatan Asli Daerah) tertinggi dari retribusi pelelangan ikan. Sebagai TPI yang lebih baik dari TPI lainnya di Kabupaten Tangerang, TPI Cituis dikenakan target retribusi yang setiap tahunnya terus dinaikkan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang. Tahun 2008 target retribusi lelang untuk TPI Cituis sebesar Rp 120.000.000,00 dan realisasi setoran sebesar Rp 120.500.000,00 artinya tahun 2008 setoran mengalami over target, yaitu sebesar Rp 500.000,00 (TPI Cituis, 2009). PPI Cituis merupakan salah satu PPI sentra sebagai UPTD di Kabupaten Tangerang. PPI Cituis memiliki pelayanan terbaik kepada nelayan yang sangat memperhatikan kesejahteraan nelayan melalui pemberian dana paceklik dan sosial, sumbangan kematian dana simpan pinjam nelayan dana simpanan bakul serta menyediakan akses perbankan (SWAMITRA). Seiring berkembangnya perikanan di suatu wilayah, berbagai permasalahan telah terjadi, diantaranya kapasitas fasilitas pelabuhan perikanan yang tidak mencukupi lagi beberapa diantaranya memiliki kapasitas terbatas. Hal ini terlihat
3
dari dermaga yang kurang panjang yang menyebabkan kegiatan bongkar muat terganggu, kolam pelabuhan yang memiliki kedalaman dan luas yang minim sehingga menyebabkan kapal dengan ukuran besar tidak dapat berlabuh dan bertambat di dermaga, SPDN (Solar Packed Dealer Nelayan) yang tidak mencukupi serta kurangnya fasilitas di tempat pelelangan ikan. Keterbatasan kapasitas fasilitas akan berpengaruh terhadap kelancaran aktivitas kepelabuhanan sehingga fungsinya tidak tercapai secara optimal. Hal tersebut pada akhirnya akan berpengaruh terhadap perkembangan perikanan tangkapnya. Penelitian-penelitian terdahulu terkait PPI Cituis adalah Optimasi Penyediaan Bahan Bakar Solar untuk Unit Penangkapan Ikan di PPI Cituis tahun 2007 dan Karakteristik Pendistribusian Ikan Segar dan Olahan dari Pangkalan Pendaratan Ikan Cituis Tangerang tahun 2008. Sehubungan dengan hal tersebut, kiranya penting dilakukan penelitian yang mengkaji kapasitas fasilitas Pangkalan Pendaratan Ikan Cituis Tangerang terhadap perkembangan perikanan tangkapnya. 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) Mengetahui perkembangan perikanan tangkap di Kabupaten Tangerang dan PPI Cituis; 2) Mengetahui aktivitas dan fasilitas di PPI Cituis; dan 3) Menentukan kapasitas fasilitas di PPI Cituis serta keterkaitannya dalam perkembangan perikanan tangkap di wilayah PPI Cituis Tangerang. 1.3 Manfaat Penelitian 1) Memberikan informasi bagi pihak-pihak yang memerlukan tentang operasional, pertumbuhan unit penangkapan, nelayan, produksi hasil tangkapan serta kapasitas fasilitas PPI Cituis; dan 2) Sebagai bahan pertimbangan bagi pengelola untuk mengembangkan PPI Cituis.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Kriteria Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) merupakan lingkungan kerja kegiatan ekonomi perikanan yang meliputi areal perairan dan daratan, sesuai fungsinya diperuntukkan bagi pelayanan masyarakat nelayan, khususnya nelayan dengan kapal-kapal ukuran kecil dengan jangkauan penangkapan di sekitar pantai (DKP, 2004). Menurut DKP (2006) bahwa PPI sebagai pelabuhan perikanan tipe D memiliki kriteria sebagai berikut: a) Melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan di perairan pedalaman dan perairan kepulauan; b) Memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurangkurangnya 3 GT; c) Panjang dermaga sekurang-kurangnya 50 m dengan kedalaman kolam minus 2 m; dan d) Mampu menampung sekurang-kurangnya 20 kapal perikanan atau jumlah keseluruhan sekurang-kurangnya 60 GT kapal perikanan. 2.2 Fungsi dan Peranan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Terdapat dua jenis pengelompokkan fungsi PP/PPI yaitu ditinjau dari pendekatan kepentingan dan dari segi aktivitasnya, namun kedua jenis kelompok tersebut pada dasarnya mempunyai maksud dan tujuan yang sama. Fungsi PP/PPI berdasarkan pendekatan kepentingan adalah sebagai berikut: (Lubis, 2006) 1) Fungi maritim, yaitu PP/PPI mempunyai aktivitas-aktivitas yang bersifat kemaritiman, yaitu suatu tempat kontak bagi nelayan atau pemilik kapal, antara laut dan daratan untuk semua aktivitasnya. 2) Fungsi pemasaran, yaitu suatu tempat awal untuk mempersiapkan pemasaran produksi perikanan dengan melakukan transaksi pelelangan ikan. 3) Fungsi jasa, yaitu meliputi seluruh jasa-jasa pelabuhan mulai dari ikan didaratkan sampai ikan didistribusikan. Fungsi pelabuhan perikanan/PPI ditinjau dari segi aktivitasnya yaitu sebagai pusat kegiatan ekonomi perikanan baik ditinjau dari aspek pendaratan dan
5
pembongkaran ikan, pengolahan, pemasaran dan pembinaan terhadap masyarakat nelayan. Fungsi-fungsi tersebut dapat dirinci: 1) Fungsi pendaratan dan pembongkaran Dalam hal ini pelabuhan perikanan lebih ditekankan sebagai pemusatan sarana dan kegiatan pendaratan dan pembongkaran hasil tangkapan di laut. Pelabuhan perikanan sebagai tempat pemusatan armada penangkap ikan untuk mendaratkan hasil
tangkapan,
tempat
berlabuh
yang
aman,
menjamin
kelancaran
pembongkaran ikan dan penyediaaan bahan perbekalan. 2) Fungsi pengolahan Pelabuhan perikanan sebagai tempat untuk membina peningkatan mutu serta pengendalian mutu ikan dalam menghindari kerugian dari pasca tangkap. Fungsi pengolahan ini merupakan salah satu fungsi yang penting terutama pada saat musim ikan yaitu untuk menampung produksi perikanan yang tidak habis terjual dalam bentuk segar. 3) Fungsi pemasaran Pelabuhan perikanan juga berfungsi sebagai tempat untuk menciptakan mekanisme pasar yang menguntungkan baik bagi nelayan maupun bagi pedagang. Dengan demikian maka sistem pemasaran dari tempat pelelangan ikan harus diorganisir secara baik dan teratur. Pelelangan ikan adalah kegiatan awal dari pemasaran ikan di pelabuhan perikanan untuk mendapatkan harga yang layak khususnya bagi nelayan. 4) Fungsi pembinaan terhadap masyarakat nelayan Fungsi ini menunjukkan bahwa pelabuhan perikanan dapat dijadikan sebagai lapangan kerja bagi penduduk di sekitarnya dan sebagai tempat pembinaan masyarakat perikanan seperti nelayan, pedagang, pengolah dan buruh angkut agar mampu menjalankan aktivitasnya dengan baik. Melalui pembinaan ini, para pelaku atau pengguna di pelabuhan tersebut diharapkan dapat menguasai kegiatannya lebih baik lagi sehingga masing-masing pengguna memperoleh manfaaat dan keuntungan yang optimal. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1994) vide Sumiati (2008) bahwa PP/PPI merupakan pusat pengembangan ekonomi perikanan yang meliputi aspek produksi, pengolahan dan pemasaran ikan. Adapun peranan PP/PPI adalah:
6
1) Pusat aktivitas produksi, yaitu PP/PPI sebagai tempat para nelayan untuk melakukan kegiatan-kegiatan produksinya, mulai dari memenuhi kebutuhan perbekalan untuk menangkap ikan di laut sampai membongkar hasil tangkapannya; 2) Pusat aktivitas pengolahan, yaitu PP/PPI menyediakan sarana-sarana yang dibutuhkan untuk mengolah hasil tangkapannya; dan 3) Pusat aktivitas pemasaran, yaitu PP/PPI merupakan pusat pengumpulan dan tempat awal pemasaran hasil tangkapan. DKP (2009) menyebutkan bahwa Pelabuhan perikanan mempunyai fungsi pemerintahan dan pengusahaan guna mendukung kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran (UndangUndang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pasal 41A ayat 1). Fungsi pelabuhan dalam mendukung kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya (pasal 41A ayat 2) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: 1) Pelayanan administrasi tambat dan labuh kapal perikanan; 2) Pelayanan bongkar muat; 3) Pelaksanaan pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan; 4) Pemasaran dan distribusi ikan; 5) Pengumpulan data hasil tangkapan dan hasil perikanan lainnya; 6) Pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan; 7) Pelaksanaan kegiatan operasional kapal perikanan; 8) Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sumberdaya perikanan; 9) Pelaksanaan kesyahbandaran; 10) Pelaksanaan fungsi karantina ikan; 11) Publikasi hasil riset kelautan dan perikanan; 12) Pemantauan wilayah pesisir dan wisata bahari; dan 13) Pengendalian lingkungan (kebersihan, keamanan dan ketertiban serta kebakaran dan pencemaran).
7
2.3 Fasilitas Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Di dalam pelaksanaan fungsi dan peranannya, PP/PPI dilengkapi dengan berbagai fasilitas. Fasilitas-fasilitas yang terdapat di PP/PPI umumnya terdiri dari fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas tambahan/penunjang (Lubis, 2006). 1) Fasilitas pokok (infrastruktur) Fasilitas ini berfungsi untuk menjamin keamanan dan kelancaran kapal baik sewaktu berlayar keluar masuk pelabuhan maupun sewaktu berlabuh di pelabuhan. Fasilitas-fasilitas pokok tersebut antara lain adalah dermaga, kolam pelabuhan, alat bantu navigasi dan breakwater/pemecah gelombang. 2) Fasilitas fungsional (suprastruktur) Fasilitas ini berfungsi untuk meninggikan nilai guna dari fasilitas pokok sehingga dapat menunjang aktivitas di pelabuhan. Fasilitas-fasilitas fungsional ini dikelompokkan antara lain untuk: (a) Penanganan hasil tangkapan dan pemasarannya antara lain tempat pelelangan ikan (TPI); fasilitas pemeliharaan dan pengolahan hasil tangkapan ikan seperti gedung pengolahan, tempat penjemuran ikan, pabrik es, gedung es, refrigerasi/fasilitas pendingin seperti cool room dan cold storage dan gedung-gedung pemasaran. (b) Fasilitas pemeliharaan dan perbaikan armada dan alat penangkap ikan antara lain lapangan perbaikan alat penangkapan ikan, ruangan mesin, tempat penjemuran alat penangkapan ikan, bengkel, slipways, gudang jaring dan vessel lift. (c) Fasilitas perbekalan seperti tangki dan instalasi air minum serta tangki bahan bakar. (d) Fasilitas komunikasi yaitu stasiun jaringan telepon dan radio SSB. 3) Fasilitas penunjang Fasilitas ini secara tidak langsung meningkatkan peranan pelabuhan atau para pelaku mendapatkan kenyamanan melakukan aktivitas di pelabuhan. Fasilitas tersebut dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu: (a) Fasilitas kesejahteraan antara lain MCK, poliklinik, mess, kantin/warung dan musholla.
8
(b) Fasilitas administrasi antara lain kantor pengelola pelabuhan, ruang operator, kantor syahbandar dan kantor beacukai. 2.4 Kapasitas Fasilitas Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Kapasitas adalah kemampuan pembatas dari unit produksi untuk berproduksi dalam waktu tertentu dan biasanya dinyatakan dalam bentuk keluaran (output) persatuan waktu (Irfandy, 1999). Selanjutnya dikatakan bahwa dalam perencanaan kapasitas dapat diringkas sebagai berikut: 1) Memperkirakan permintaan di masa depan, termasuk dampak dari teknologi, persaingan dan lain sebagainya; 2) Menjabarkan perkiraan tersebut dalam kebutuhan fisik; 3) Menyusun pilihan rencana kapasitas yang berhubungan dengan kebutuhan; 4) Menganalisis pengaruh ekonomi pada pilihan rencana; 5) Meninjau resiko dan pengaruh strategi pada pilihan rencana; dan 6) Memutuskan rencana. Menurut Kusdiantoro (2001), perencanaan kapasitas memerlukan suatu horizontal (batas) waktu yang tergantung pada perkembangan teknologi. Implikasi dari perencanaan kapasitas ini adalah bagaimana kondisi fasilitas pada masa yang akan datang dan bagaimana penggunaannya. 2.5 Perkembangan Perikanan Tangkap Perkembangan perikanan suatu wilayah dapat diindikasikan dari penentuan lokasi pelabuhan perikanan yang sangat terkait dengan adanya potensi sumberdaya ikan yang akan dieksploitasi atau sejauh mana kondisi di wilayah produksinya (foreland). Menurut Rustiadi et al. (2005) vide Mahyuddin (2007), apakah suatu daerah dapat merupakan sektor basis, dapat ditentukan dengan menggunakan location quotient (LQ): vi LQ = vt Vi Vt
Dengan : LQ = Location Quotient vi = PDRB sub sektor perikanan di suatu kabupaten (Rp) atas dasar harga berlaku dalam satu periode;
9
vt Vi Vt
= PDRB seluruh sektor di suatu kabupaten (Rp) atas dasar harga berlaku dalam satu periode; = PDRB sub sektor perikanan di suatu provinsi (Rp) atas dasar harga berlaku pada periode yang sama; dan = PDRB seluruh sektor di suatu provinsi (Rp) atas dasar harga berlaku pada periode yang sama.
Apabila nilai : LQ > 1; maka sektor perikanan tersebut merupakan sektor basis. LQ < 1; maka sektor perikanan tersebut merupakan sektor non basis.
Pengembangan perikanan tangkap di Indonesia belum dapat dikatakan berhasil, karena masih terdapat permasalahan yang menghambat kegiatan tersebut. Permasalahan perikanan tangkap yang dihadapi Indonesia saat ini yang tercantum dalam Perpres No 19 Tahun 2006 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2007 adalah sebagai berikut : 1) Masih lemahnya sistem pengelolaan usaha perikanan tangkap dan pengusahaan teknologi tepat guna; 2) Kompetisi dalam penggunaan lahan perairan antar daerah sebagai dampak dari semakin banyaknya penduduk di wilayah pesisir; 3) Masih berlangsungnya overfishing di beberapa wilayah; 4) Kenaikan dan kelangkaan BBM yang semakin membebani nelayan untuk melaut; 5) Tingginya kegiatan illegal fishing yang mengakibatkan kerugian negara dan semakin cepatnya penurunan sumberdaya perikanan dan kelautan; 6) Kerusakan ekosistem perairan sebagai dampak dari eksploitasi berlebih dan bencana alam; 7) Tumpang tindih kewenangan dalam pemberian izin dan adanya peraturan yang tidak memberikan iklim yang kondusif bagi investasi perikanan; 8) Rendahnya penggunaan teknologi dan kemampuan penanganan serta pengolahan perikanan; 9) Proses penanganan dan pengolahan hasil yang kurang memperhatikan keamanan produk perikanan; dan 10) Keterbatasan infrastruktur perikanan, permodalan, lemahnya koordinasi dan kelembagaan perikanan.
10
2.5.1 Unit penangkapan ikan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Unit penangkapan ikan adalah kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan ikan yang biasanya terdiri dari kapal penangkap ikan, alat penangkapan ikan dan nelayan. a) Kapal penangkap ikan Kapal penangkap ikan adalah perahu/kapal yang langsung dipergunakan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Kapal pengangkut tidak termasuk kapal penangkap. Tetapi perahu/kapal yang digunakan untuk mengangkut nelayan, alat-alat penangkap dan hasil penangkapan dalam rangka penangkapan dengan bagan, sero dan kelong termasuk kapal penangkap ikan (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2008). Klasifikasi kapal penangkap ikan berdasarkan penangkapan di laut adalah sebagai berikut: (i) Perahu tidak bermotor •
Jukung
•
Perahu papan ¾ Kecil (perahu yang terbesar panjangnya kurang dari 7 m) ¾ Sedang (perahu yang terbesar panjangnya dari 7 sampai 10 m) ¾ Besar (perahu yang terbesar panjangnya 10 m atau lebih)
(ii) Perahu motor tempel (iii)Kapal motor •
Kurang dari 5 GT
•
5-10 GT
•
10-20 GT
•
20-30 GT
•
30-50 GT
•
50-100 GT
•
100-200 GT
•
200-300 GT
•
300-500 GT
•
500-1000 GT
•
1000 GT ke atas
11
b) Alat penangkapan ikan Kelengkapan dan kesempurnaan alat penangkapan ikan ikut serta menentukan keberhasilan suatu usaha penangkapan ikan di laut. Alat tangkap dibuat dengan bentuk tertentu menurut sasaran ikan yang akan ditangkap, misalnya purse seine untuk menangkap ikan pelagis dan gillnet untuk menangkap ikan demersal (Manurung, 2006). c) Nelayan Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2008), nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring dan mengangkut alat-alat perlengkapan ke dalam perahu/kapal, tidak dimasukkan sebagai nelayan. Ahli mesin dan juru masak yang bekerja di atas kapal penangkap dimasukkan sebagai nelayan, walaupun mereka tidak secara langsung melakukan penangkapan. Berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan, nelayan diklasifikasikan sebagai berikut: (i) Nelayan penuh yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. (ii) Nelayan sambilan utama yaitu nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk
melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan
ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Disamping melakukan pekerjaan penangkapan, nelayan kategori ini dapat pula mempunyai pekerjaan lain. (iii) Nelayan sambilan tambahan yaitu nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan penangkapan ikan. 2.5.2 Produksi hasil tangkapan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pelabuhan perikanan dan PPI merupakan tempat pemusatan armada penangkapan ikan (home base) untuk pendaratan hasil tangkapan, tempat berlabuh yang aman sehingga mampu menjamin kelancaran membongkar hasil tangkapan dan tempat menyediakan suplai logistik yang lebih murah dan tersedia sewaktusewaktu sehingga merupakan insentif ke arah peningkatan produksi (Direktorat Jenderal Perikanan, 1981 vide Nilawati, 1996).
12
Produksi adalah kegiatan yang berhubungan dengan penciptaan atau penambahan kegunaan dari pada barang dan jasa (Hanafiah dan Saefudin, 1986). Selanjutnya dikatakan bahwa produksi perikanan adalah semua hasil penangkapan ikan atau binatang air lainnya yang ditangkap dari sumber perikanan alami (laut) yang diusahakan oleh perusahaan perikanan. Peningkatan produksi tidak serta merta meningkatkan pendapatan nelayan karena hal tersebut tergantung pada mekanisme pasar apakah dapat mewujudkan harga yang menguntungkan para nelayan dan apakah masih berada dalam jangkauan pembeli (Direktorat Jenderal Perikanan, 1981 vide Nilawati, 1996). Pada umumnya, produksi ikan yang didaratkan di pelabuhan perikanan berasal dari hasil tangkapan nelayan di laut dan yang mendaratkan ikan adalah nelayan itu sendiri. Menurut Hanafiah dan Saefuddin (1986), produksi perikanan laut antara lain sangat tergantung pada perahu atau kapal yang digunakan atau dimiliki nelayan. Mengingat sifat ikan yang sering bermigrasi atau berpindah tempat maka fishing ground juga berpindah, dengan demikian, maka motorisasi kapal atau
perahu akan dapat meningkatkan hasil tangkapan. Perkembangan motorisasi kapal penangkapan ikan di Indonesia sangat lambat. Hal tersebut antara lain sebagai salah satu hal yang menyebabkan lambatnya perkembangan produksi perikanan laut Indonesia. Perkembangan motorisasi kapal penangkap ikan yang lambat itu disebabkan nelayan memiliki kemampuan yang sangat terbatas akan modal, keterampilan dan manajemen. Menurut Pane (2003), faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ikan di Pelabuhan Perikanan/PPI adalah: 1) Ikan itu sendiri, hal-hal yang berkaitan didalamnya antara lain: (1) Sumberdaya ikan secara garis besar terdiri atas sumberdaya ikan yang bersifat demersal (ikan-ikan yang hidup di dekat dasar laut termasuk sumberdaya ikan karang) dan sumberdaya ikan pelagis yang hidup di dekat permukaan laut. Karakteristik dan habitat hidup sumberdaya ikan yang berbeda-beda dapat mempengaruhi cara penangkapan dan cara penanganan ikan setelah didaratkan di PP/PPI. (2) Kegiatan penangkapan ikan akan menghasilkan ikan dengan ukuran yang berbeda untuk setiap spesiesnya, hal ini akan mempengaruhi penanganan
13
ikan baik dari cara penanganan, ukuran panjang atau wadah yang akan digunakan untuk menampungnya maupun jumlah es atau garam yang dipakai untuk mempertahankan mutu ikan agar dalam keadaan tetap segar selama dipasarkan. Ikan mempunyai nilai ekonomis penting dan berukuran lebih besar tentunya membutuhkan penanganan yang lebih intensif karena akan mempengaruhi terhadap harga ikan tersebut. Ikan mempunyai sifat cepat mengalami kerusakan (highly perishable) sehingga diperlukan perhatian terhadap penempatan ikan setelah didaratkan. Ikan yang berukuran besar tidak dibiarkan tercampur dengan ikan ukuran kecil. Demikian halnya dengan sarana transportasi yang akan digunakan dalam penanganan ikan selama distribusi harus memperhatikan ukuran dan pengaturan ruang transportasi agar ikan dapat sampai ke konsumen dengan kualitas pemasaran yang baik. (3) Volume pendaratan ikan terjadi di suatu PP/PPI akan mempengaruhi fasilitas yang tersedia, aktivitas pembongkaran/pendaratan ikan dan manajemen di PP/PPI. Produksi perikanan yang didaratkan dalam volume yang banyak dan berlangsung dalam waktu yang lama menuntut pelayanan yang cepat agar kualitas produksi ikan yang didaratkan tidak menurun. 2) Faktor kepelabuhanan perikanan (1) Kondisi, jumlah dan jenis fasilitas yang ada di suatu PP/PPI akan berpengaruh terhadap produksi yang didaratkan. Fasilitas penunjang PP/PPI seperti cool room, pasar ikan serta sarana pengangkut yang dapat melindungi ikan dari sinar matahari dan sarana perikanan berbasis ekspor harus memadai. Hal tersebut akan mempengaruhi peningkatan produksi ikan terutama dalam memberikan keuntungan finansial bagi PP/PPI. (2) Kemampuan mengelola PP/PPI termasuk mengelola tempat pelelangan ikan (TPI) yang secara tidak langsung dapat meningkatkan kualitas pemasaran ikan. (3) Pengelolaan unit-unit kegiatan meliputi pengelolaan, penanganan dan transportasi yang mempunyai peran penting terhadap distribusi produksi ikan ke daerah tujuan pemasaran. Pengelolaan unit kegiatan yang
14
didukung oleh transportasi yang baik dan memadai dapat menghasilkan ikan yang memiliki kualitas pemasaran yang baik. 3) Faktor penangkapan ikan yang berperan dalam produksi ikan yang didaratkan di PP/PPI meliputi: (1) Kondisi kenelayanan atau usaha penangkapan ikan di suatu PP/PPI sangat dipengaruhi oleh input yang ada yaitu modal. Sebagian besar nelayan atau petani ikan mempunyai keterbatasan keuangan karena mereka lemah dalam hal modal usaha. Nelayan enggan memperoleh kredit dari pihak koperasi pelabuhan yang dianggap memiliki proses yang menyulitkan sehingga untuk melanjutkan kegiatan usahanya mereka mencari pinjaman (kredit) kepada pihak pedagang pengumpul (bakul) walaupun dengan bunga yang tinggi. Nelayan lebih senang meminjam dari pihak pengumpul yang dipandang lebih mudah, cepat didapat dan tanpa jaminan. Nelayan atau petani ikan yang tidak mampu membayar kredit harus menjual hasil tangkapannya kepada pedagang yang bersangkutan dengan harga yang telah disetujui walaupun sebenarnya harga tersebut tidak setinggi harga pasaran yang berlaku setempat dan selalu merugikan pihak nelayan. Hal tersebut berpengaruh terhadap produksi ikan yang didaratkan di suatu PP/PPI karena memberi peluang produksi tidak terdata secara keseluruhan di tempat pelelangan ikan. (2) Kondisi armada (unit penangkapan) yang dalam operasionalnya berbasis di PP/PPI umumnya masih berskala kecil (tradisional) atau masih didominasi oleh
perahu
perikanan
dengan
mesin
luar
(outboard).
Armada
penangkapan ikan ini mempunyai kemampuan yang terbatas dalam menjangkau daerah operasi penangkapan yang lebih jauh untuk mencari spesies ikan yang lebih bernilai ekonomis penting dengan jumlah yang lebih banyak. Hal tersebut dapat menghambat peningkatan produksi karena spesies ikan ekonomis penting yang didaratkan tidak terlalu banyak dan beragam. (3) Kondisi alam perairan yang tidak dapat diprediksi menimbulkan kendala bagi nelayan dalam menentukan waktu operasi penangkapan ikan yang baik. Nelayan tetap melakukan operasi penangkapan ikan pada musim
15
paceklik (musim barat) walaupun jumlah produksi yang didaratkan terbatas. (4) Kemampuan pengelolaan operasi penangkapan yang ada umumnya dikelola oleh nelayan juragan yang mempunyai kemampuan modal yang kuat. Nelayan juragan terbagi atas juragan laut dan juragan perahu. Juragan laut ini memiliki modal dan armada penangkapan yang secara langsung mengikuti kegiatan melaut bersama nelayan buruh, sedangkan juragan perahu merupakan pemilik armada penangkapan yang tidak mengikuti kegiatan operasi penangkapan ikan. Selanjutnya Pane (2008) menambahkan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ikan di PP/PPI adalah sebagai berikut: 1) Persaingan antar pelabuhan perikanan Faktor yang mempengaruhi persaingan antar pelabuhan perikanan antara lain: (a) Harga ikan yang lebih tinggi; (b) Pelayanan pelabuhan perikanan; (c) Kebutuhan jenis ikan tertentu di suatu pelabuhan perikanan; (d) Fasilitas yang lebih baik dan lengkap; dan (e) Keterkaitan dengan pemilik modal. 2) Kebijakan pemerintah Berikut adalah beberapa kebijakan yang mengatur antara lain: (a) Pengaturan sumberdaya ikan; (b) Pengaturan penangkapan ikan; dan (c) Lain-lain seperti fasilitas pelabuhan perikanan, pengelolaan pelabuhan perikanan dan tempat pelelangan ikan serta harga ikan. 2.6 Perkembangan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Menurut
Lubis
(2006),
pengembangan
pelabuhan
perikanan
adalah
peningkatan usaha perikanan di pelabuhan perikanan (produksi, pengolahan dan distribusi hasil perikanan) termasuk segala sarana dan prasarananya, sehingga dapat mengoptimalkan berbagai aktivitas di pelabuhan perikanan. Perkembangan kegiatan penangkapan ikan di laut perlu ditunjang dengan tersedianya sarana dan prasarana perikanan, terutama tempat pendaratan ikan. Dalam upaya menunjang pengembangan kegiatan penangkapan ikan tersebut
16
pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Perikanan dan Kelautan telah membangun tempat pendaratan ikan, sekaligus menjadikan tempat pendaratan ikan tersebut sebagai pusat pemasaran ikan dimana nelayan dapat menjual hasil tangkapannya baik kepada pedagang pengumpul, pedagang pengecer dan konsumen lainnya (Amalo, 2008). Banyaknya pelabuhan perikanan di Indonesia yang belum berfungsi optimal (70%) (Lubis,1999 vide Lubis, 2003) dan juga pada umumnya belum dilengkapi dengan fasilitas yang modern (Lubis, 2000 vide Lubis, 2003), menunjukkan bahwa sebagian besar pelabuhan perikanan yang ada belum berkembang. Menurut Lubis (2003) terdapat banyak faktor yang menjadikan indikator alasannya, antara lain: 1) Masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) pengelola dan para pelaku di pelabuhan misalnya nelayan dan pedagang. Untuk itu perlu dilakukan berbagai cara untuk meningkatkan SDM tersebut baik melalui pelatihan maupun penyuluhan. Rendahnya SDM nelayan diindikasikan dengan masih rendahnya tingkat pendidikan dan sukarnya para nelayan menerima inovasi baru sehingga diperlukan pembuktian akan inovasi tersebut terlebih dahulu. Bagi para pengelola misalnya dengan
masih terbatasnya
pendidikan dan belum terlatihnya dalam mengelola pelabuhan; 2) Masih belum sadarnya para pelaku (nelayan, pedagang dan pengolah) dalam memanfaatkan pelabuhan perikanan dengan sebaik-baiknya sebagai tempat pendaratan, pemasaran maupun dalam pembinaan mutu hasil tangkapannya; 3) Masih belum adanya kemauan dari pemerintah sendiri untuk membantu para nelayan dalam memanfaatkan potensi perairan baik dalam manajemen pemberian kredit maupun dalam pemberian subsidi. Lain halnya di negaranegara yang sudah berkembang, nelayan sudah tidak lagi memerlukan subsidi pemerintah atau kebalikan dengan Indonesia. Hal ini dapat dilihat misalnya dengan masih dikelolanya pelabuhan perikanan di Indonesia oleh pemerintah pusat maupun daerah karena dalam hal ini fungsi publik masih dominan; 4) Belum adanya jaminan keamanan bagi para nelayan baik di laut maupun di di darat. Keamanan di laut misalnya dengan masih banyaknya nelayan asing yang berebut ikan dengan para nelayan pribumi atau belum adanya kepastian
17
hukum bagi nelayan asing yang mencuri ikan atau yang menangkap ikan di perairan teritorial dan ZEE Indonesia juga masih sering terjadinya perompakan di tengah laut. Keamanan di darat, misalnya dengan masih banyaknya preman yang mengganggu para nelayan ketika mendaratkan hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan atau juga menghadang para pedagang yang membawa ikan dari luar daerah ke pelabuhan perikanan; 5) Masih belum tersedianya berbagai fasilitas yang memang diperlukan oleh nelayan atau pedagang di pelabuhan perikanan atau juga rusaknya beberapa fasilitas di pelabuhan perikanan tanpa adanya perbaikan dalam jangka waktu yang lama; 6) Belum tersedianya prasarana dan sarana transportasi yang baik yang dapat menjamin mutu ikan sampai ke daerah konsumen; 7) Masih banyaknya para nelayan yang terikat dengan para tengkulak/agen disebabkan para tengkulak/agen tersebut telah meminjamkan uangnya untuk biaya operasi penangkapan ikan atau memberikan terlebih dahulu bahan perbekalan dengan kewajiban para nelayan harus menyerahkan hasil tangkapannya kepada para tengkulak dengan harga yang telah ditentukan oleh para tengkulak/agen; 8) Belum berjalannya fungsi koperasi secara baik sehingga tidak dirasakan manfaatnya oleh para nelayan baik pada saat akan melakukan operasi penangkapan ikan maupun dalam penyaluran hasil tangkapan pada saat musim ikan. Untuk itu pengembangan pelabuhan perikanan di suatu wilayah harus dilakukan secara terencana dan terpadu dengan menganalisis komponenkomponen Tryptique portuaire (Lubis, 2000) yang terdiri dari komponen saling terkait. Komponen tersebut adalah: 1) Foreland adalah suatu komponen yang terdiri dari parameter-parameter yang berkaitan dengan potensi sumberdaya ikan, daerah penangkapan dan lingkungan perairan. Dengan demikian foreland secara khusus dapat pula dikatakan daerah produksi.
18
2) Fishing port dalam analisisnya merupakan komponen yang meliputi kondisi fisik existing, potensi perikanan (produksi, nilai produksi, unit penangkapan dan lain-lain) dan organisasi yang ada di dalamnya. 3) Hinterland merupakan salah satu komponen penting dalam analisis karena komponen itu meliputi konsumen/distribusi, sarana prasarana pendukung, lembaga dan organisasi yang mendukung aktivitas pendistribusian dan lainlain. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1990) vide Harto (1995) bahwa pengembangan suatu PP/PPI perlu mempertimbangkan beberapa hal, yaitu: 1) Letak daerah dan kawasan yang cukup stategis; 2) Sarana penunjang yang lengkap; 3) Potensi perikanan yang cukup besar; dan 4) Terdapat industri yang menampung hasil tangkapan. Selanjutnya
dikatakan
bahwa
pengembangan
pelabuhan
perikanan
membutuhkan investasi besar dan bersifat tidak pasti, maka memerlukan suatu perencanaan yang baik. Salah satu usaha ke arah tersebut adalah dengan cara mengestimasi keadaan di masa yang akan datang dengan melihat keadaan pada masa sekarang. Keadaan di masa yang akan datang dapat diestimasi melalui: (1)Keadaan usaha perikanan dan tingkat pengusahaanya pada saat ini; (2)Potensi sumberdaya perikanan yang mungkin dikembangkan; (3)Sarana dan prasarana, serta industri penunjang yang ada; (4)Pemanfaatan sarana yang ada; (5)Keadaan pasar dan konsumsi ikan laut dewasa ini; dan (6)Faktor-faktor yang berpotensi menjadi hambatan. Menurut Lubis (2004) ada tiga alternatif untuk pengembangan fasilitas pelabuhan yaitu meliputi: 1) Memperluas fasilitas yang ada; 2) Menambah jenis fasilitas yang ada; dan 3) Menambah jenis dan memperluas fasilitas yang ada. Pengembangan PPI dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan perkembangan pasar, jumlah nelayan dan hasil tangkapan ikan.
19
3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2009. Adapun tempat pelaksanaan penelitian, yaitu Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Cituis Tangerang. 3.2 Metode Penelitian Metode yang digunakan adalah studi kasus terhadap kapasitas fasilitas PPI Cituis. Fasilitas yang diteliti antara lain tempat pelelangan ikan (TPI), SPDN (Solar Packed Dealer Nelayan), dermaga dan kolam PPI. 3.3 Metode Pengumpulan Data 1) Data Primer diperoleh dengan melakukan: • Pengamatan langsung terhadap fasilitas pokok dan fungsional diantaranya: gedung TPI, dermaga, kolam pelabuhan dan SPDN. Berikut merupakan halhal yang perlu diamati dan dicatat terkait fasilitas antara lain, kondisi fisik, kapasitas dan ukuran fasilitas (luas, panjang, lebar dan kedalaman). • Wawancara dan pengisisan kuesioner kepada para responden Pengambilan responden dilakukan secara purposive sampling yang dapat menjawab tujuan penelitian. Berikut merupakan responden dan data yang digunakan dalam wawancara dan pengisian kuesioner: (1) Pihak pengelola PPI (2 orang) Data yang dikumpulkan dari pihak PPI antara lain fasilitas yang tersedia (jenis, jumlah dan kapasitasnya); produksi hasil tangkapan yang didaratkan (jenis, jumlah dan nilai), unit penangkapan (jumlah) selama 8 tahun terakhir; proses pemasaran dan jadwal pelaksanaannya serta pengelolaan fasilitas. (2) Nelayan (15 orang) Nelayan yang menjadi responden adalah nelayan yang mengoperasikan alat tangkap yang dominan di PPI Cituis. Data yang dikumpulkan antara lain jenis armada penangkapan dan ukurannya (GT), jenis hasil tangkapan, kapasitas palka armada penangkapan, besarnya produksi hasil tangkapan setiap pendaratan, penjualan hasil tangkapan (ke penampung atau dilelang di TPI), alat yang digunakan untuk membongkar, waktu yang dibutuhkan
20
untuk membongkar, besarnya kebutuhan es dan BBM untuk perbekalan melaut, unit penangkapan (jumlah dan jenis alat tangkap; jumlah, jenis dan ukuran armada penangkapan yang memanfaatkan PPI; fishing trip atau jarak dan waktu tempuh yang diperlukan nelayan sejak berangkat dari PPI selama menangkap ikan di fishing ground sampai ke tempat pendaratan hasil tangkapan di PPI Cituis dan jumlah nelayan menurut kategorinya) serta permasalahan yang dialami di PPI terkait dengan fasilitasnya. (3) Pedagang (6 orang) Pedagang yang menjadi responden terdiri atas bakul dan pengecer. Data yang dibutuhkan dari pihak pedagang antara lain asal pembelian hasil tangkapan, besarnya hasil tangkapan yang dibeli (jumlah dan bobot), harga ikan per kg untuk tiap jenisnya, bahan dan alat yang digunakan untuk menjaga mutu hasil tangkapan, fasilitas yang dimiliki untuk menyimpan sementara hasil tangkapan dan permasalahan yang dialami di PPI terkait dengan fasilitasnya. (4) Pengelola SPDN (1 orang) Jenis-jenis dan ukuran (GT) armada penangkapan yang memanfaatkan, ukuran atau volume, status kepemilikan, volume rata-rata pemakaian per hari, harga BBM per liter dan sarana/alat penunjang. 2) Data sekunder diperoleh dari instansi terkait antara lain: (1) Pengelola PPI Cituis • Fasilitas di PPI Cituis dan kapasitasnya; • Perkembangan produksi hasil tangkapan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Cituis (8 tahun terakhir); dan • Perkembangan jumlah dan jenis unit penangkapan ikan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Cituis (8 tahun terakhir). (2) Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang • Perkembangan jumlah dan jenis unit penangkapan ikan yang ada di Kabupaten Tangerang pada tahun 2008; • Master plan PPI Cituis atau lay out PPI Cituis; • Potensi perikanan; dan
21
• Keadaan umum daerah penelitian berupa letak geografis lokasi penelitian dan kependudukan. (3) Badan Pusat Statistik Provinsi Banten • PDRB sub sektor perikanan Kabupaten Tangerang (Rp) atas dasar harga berlaku tahun 2002-2007; • PDRB seluruh sektor Kabupaten Tangerang (Rp) atas dasar harga berlaku tahun 2002-2007; • PDRB sub sektor perikanan Provinsi Banten (Rp) atas dasar harga berlaku tahun 2002-2007; dan • PDRB seluruh sektor Provinsi Banten (Rp) atas dasar harga berlaku tahun 2002-2007. 3.4 Analisis Data 3.4.1 Analisis pengembangan perikanan tangkap Kabupaten Tangerang dan PPI Cituis Analisis tersebut bertujuan untuk mengetahui kemungkinan pengembangan Kabupaten Tangerang dan PPI Cituis. Perkembangan perikanan suatu wilayah dapat diindikasikan dari kondisi pelabuhan perikanan yang sangat terkait dengan potensi sumberdaya ikan yang akan dieksploitasi atau sejauh mana kondisi di wilayah produksinya (foreland). Menurut Rustiadi et al. (2005) vide Mahyuddin (2007) bahwa suatu daerah dapat merupakan sektor basis melalui penentuan location quotient (LQ). LQ adalah suatu perbandingan antara besarnya peran
suatu sektor di suatu daerah (region) terhadap besarnya peran sektor tersebut di tingkat yang lebih luas (Sulistiyanti, 2010). Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
LQ
vi = vt Vi Vt
Dalam penelitian ini, Kabupaten dan Provinsi yang dimaksud adalah Kabupaten Tangerang dan Provinsi Banten pada periode 2002-2007, sehingga notasi rumus di atas adalah: LQ : Location Quotient;
22
: PDRB sub sektor perikanan Kabupaten Tangerang (Rp) atas dasar harga berlaku tahun 2002-2007; vt : PDRB seluruh sektor Kabupaten Tangerang (Rp) atas dasar harga berlaku tahun 2002-2007; Vi : PDRB sub sektor perikanan Provinsi Banten (Rp) atas dasar harga berlaku tahun 2002-2007; dan Vt : PDRB seluruh sektor Provinsi Banten (Rp) atas dasar harga berlaku tahun 2002-2007. vi
Apabila nilai : LQ > 1; maka sektor perikanan tersebut merupakan sektor basis. LQ < 1; maka sektor perikanan tersebut merupakan sektor non basis.
Selanjutnya
pengembangan
perikanan
tangkap
dianalisis
berdasarkan
beberapa parameter yang tercantum dalam Perpres No 19 Tahun 2006 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2007 adalah sebagai berikut : 1) Masih lemahnya sistem pengelolaan usaha perikanan tangkap dan pengusahaan teknologi tepat guna; 2) Kompetisi dalam penggunaan lahan perairan antar daerah sebagai dampak dari semakin banyaknya penduduk di wilayah pesisir; 3) Masih berlangsungnya overfishing di beberapa wilayah; 4) Kenaikan dan kelangkaan BBM yang semakin membebani nelayan untuk melaut; 5) Tingginya kegiatan illegal fishing yang mengakibatkan kerugian negara dan semakin cepatnya penurunan sumberdaya perikanan dan kelautan; 6) Kerusakan ekosistem perairan sebagai dampak dari eksploitasi berlebih dan bencana alam; 7) Tumpang tindih kewenangan dalam pemberian izin dan adanya peraturan yang tidak memberikan iklim yang kondusif bagi investasi perikanan; 8) Rendahnya penggunaan teknologi dan kemampuan penanganan serta pengolahan perikanan; 9) Proses penanganan dan pengolahan hasil yang kurang memperhatikan keamanan produk perikanan; dan 10) Keterbatasan infrastruktur perikanan, permodalan, lemahnya koordinasi dan kelembagaan perikanan. Analisis pengembangan PPI Cituis dilakukan secara deskriptif setelah diinventarisasi dan diidentifikasi perkembangan unit penangkapan (jumlah kapal
23
penangkap ikan dan alat penangkapan ikan) dan produksi hasil tangkapan yang didaratkan selama 8 tahun terakhir. Penyajian dilakukan melalui grafik, tabel dan gambar. 3.4.2
Analisis aktivitas dan fasilitas di PPI Cituis
Analisis dilakukan secara deskriptif terhadap operasional PPI yang meliputi jenis aktivitas dan fasilitasnya. 1) Analisis aktivitas Analisis ini dilakukan secara deskriptif setelah melakukan inventarisasi dan identifikasi terhadap perkembangan aktivitas kepelabuhanan selama 8 tahun terakhir berdasarkan fungsi pelabuhan perikanan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pada pasal 41A ayat 2. 2) Analisis fasilitas Analisis ini dilakukan secara deskriptif setelah melakukan identifikasi terhadap keberadaan, kapasitas dan kondisi fasilitas PPI Cituis. 3.4.3 Analisis kapasitas fasilitas di PPI Cituis serta keterkaitannya dalam perkembangan perikanan tangkap di wilayah PPI Cituis Tangerang Analisis kapasitas fasilitas dibatasi pada tempat pelelangan ikan, Solar Packed Dealer Nelayan, dermaga dan kolam pelabuhan. Berdasarkan prasurvei penelitian,
fasilitas-fasilitas tersebut rutinitas dipakai oleh nelayan di sekitar PPI Cituis dan berperan dalam menunjang kelancaran operasional pelabuhan perikanan. Kapasitas terpasang merupakan kapasitas maksimal yang dapat ditampung. Kapasitas fasilitas yang seharusnya adalah kapasitas fasilitas terpasang yang disesuaikan dengan kebutuhan pengembangannya. Analisis data dilakukan dengan perhitungan kapasitas: 1) Tempat Pelelangan Ikan Analisis ini digunakan untuk mengetahui kapasitas maksimum hasil tangkapan yang dapat ditampung oleh ruang lelang. Ruang lelang yaitu tempat menimbang, memperagakan dan melelang ikan (Lubis, 2006). Hasil tangkapan tersebut adalah hasil tangkapan yang dilelang dan yang tidak dilelang. Analisis ini diperoleh dari
24
perhitungan luas ruang pelelangan sebagai berikut: (T. Yano dan M. Noda, 1970 vide Direktorat Jenderal Perikanan, 1981) S =
N×P R ×α
Keterangan:
S N P R α
: Luas ruang pelelangan (m2) : Jumlah produksi per hari (ton) : Daya tampung produksi (m2/ton) : Intensitas lelang per hari (kali) : Perbandingan ruang lelang dengan gedung lelang (0,217-0,394)
2) Solar Packed Dealer Nelayan Kapasitas SPDN diperoleh dengan menghitung rata-rata kebutuhan bahan solar per hari dan kapasitas SPDN. Setelah itu hasil kebutuhan tersebut dibandingkan dengan kapasitas terpasang yang disesuaikan dengan kebutuhan bahan solar per harinya. 3) Dermaga Panjang dermaga yang dibutuhkan dapat dicari dengan rumus: (Direktorat Jenderal Perikanan, 1984)
L =
(l + s) × n × a × h u×d
Keterangan: L : Panjang dermaga (m) l : Panjang kapal (m) s : Jarak antar kapal (m) n : Jumlah kapal yang memakai dermaga (unit/hari) a : Berat kapal (ton) h : Lama kapal di dermaga (jam) u : Produksi per hari (ton) d : Lama fishing trip (jam) atau dengan perhitungan sederhana: L=
M + (l atau b) × 1,2 P
Keterangan:
L M P
: Panjang dermaga (m) : Jumlah kapal rata-rata sehari yang akan berlabuh (unit) : Periode penggunaan dermaga dengan cara merapat, jam kerja efektif dianggap 6 jam
25
l atau b : Panjang/lebar kapal yang rata-rata berlabuh (tergantung cara kapal merapat, memanjang, tegak lurus atau miring) 1,2 : Konstanta 4) Kolam PPI Kolam PPI memiliki kapasitas terpasang
yang diperoleh dari kapasitas
maksimal jumlah dan ukuran armada penangkapan yang dapat ditampung berdasarkan luas dan kedalaman kolam. 4a) Kedalaman kolam PPI Kedalaman perairan di wilayah kolam pelabuhan pada saat muka air terendah (LLWS) dapat ditentukan dengan rumus: (Direktorat Jenderal Perikanan, 1984) D = d + 1 H +S +C 2 Keterangan: D d H S C
: Kedalaman perairan (cm) : Draft kapal terbesar (cm) : Tinggi gelombang maksimum (H maks = 50 cm) : Tinggi ayunan kapal yang melaju (10-30 cm) : Jarak aman dari lunas kapal ke dasar perairan (25-100 cm)
4b) Luas kolam pelabuhan Luas kolam pelabuhan dapat dihitung dengan rumus berikut: (Direktorat Jenderal Perikanan, 1984)
L = Lt + (3 × n × l × b) Keterangan : L Lt n l b
: Luas kolam pelabuhan (m2) : Luas untuk memutar kapal (m2) : Jumlah kapal maksimum yang berlabuh : Panjang kapal (m) : Lebar kapal (m) Lt adalah luas untuk memutar kapal, radius pemutarannya minimum satu kali
panjang kapal terbesar.
Lt = π × r 2 ; Keterangan: Lt : Luas untuk memutar kapal (m2) π : 3, 14 l : Panjang kapal terbesar (m)
Lt = π × l 2
26
Setelah dilakukan perhitungan terhadap fasilitas di atas maka akan disimpulkan apakah fasilitas di atas memerlukan pengembangan kapasitas misalnya pertambahan luas dan kedalaman kolam PPI, panjang dermaga, luas ruang pelelangan ikan serta penambahan kapasitas SPDN.
27
4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1 Keadaan Umum Kabupaten Tangerang 4.1.1 Letak geografis dan keadaan topografi
Kabupaten Tangerang terletak di bagian Timur Provinsi Banten. Kabupaten tersebut terletak pada koordinat 106o 20' – 106o 43' BT dan 6o 00' – 6o 20' LS. Ditinjau dari potensi sumberdaya alamnya, Kabupaten Tangerang memiliki potensi yang cukup besar, terlihat dari luas wilayahnya yaitu 1.230,3 km2 yang terdiri atas 36 kecamatan. Panjang pantai Kabupaten Tangerang adalah ± 51 km dan bila merujuk kepada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sepertiga dari wilayah laut Provinsi Banten diserahkan pengelolaannya kepada Kabupaten Tangerang. Adapun batas wilayahnya adalah sebagai berikut: a) Sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta; b) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor; c) Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa; dan d) Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Serang dan Kabupaten Lebak. Berdasarkan tipografi Jawa bagian Barat, topografi Kabupaten Tangerang termasuk ke dalam zone I, yaitu daerah pantai di bagian Utara dan daerah dataran rendah di bagian Selatan. Kabupaten Tangerang memiliki ketinggian rata-rata 010 meter di atas permukaan laut. Keadaan ini baik untuk kegiatan budidaya maupun penangkapan ikan. Potensi kekayaan alam di Kabupaten Tangerang berada di darat, pesisir maupun di laut yang belum dimanfaatkan secara optimal (Tabel 1). Khusus di laut, dapat dikembangkan penangkapan di perairan Laut Jawa (Teluk Jakarta dan Teluk Banten), Selat Sunda dan Sumatera bagian Selatan.
28
Tabel 1 Potensi perikanan Kabupaten Tangerang, 2008 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Jenis Areal Rawa Situ Sungai Bekas galian pasir Tambak Kolam Sawah Panjang pantai
Jumlah 197,6 ha 190,5 ha 314,3 km 536,5 ha 4.006,5 ha 132,5 ha 361,4 ha 51 km
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang, 2009
Berdasarkan Tabel 1, tingkat pemanfaatan potensi perikanan di Kabupaten Tangerang belum optimal, sehingga pengembangannya masih dapat dilakukan terutama terhadap pengembangan budidaya ikan pada bekas galian pasir dan perairan umum lainnya serta pemanfaatan lahan pekarangan berupa kolam pekarangan. Potensi perikanan merupakan peluang untuk meningkatkan pembangunan perikanan dan kelautan secara berkesinambungan serta dapat mewujudkan peningkatan kesejahteraan baik nelayan maupun petani ikan. Kabupaten Tangerang memiliki kemiringan tanah rata-rata 0-3% menurun ke Utara dan ketinggian berkisar antara 0-85 meter di atas permukaan laut. Keadaan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari dan terendah pada bulan Agustus dengan rata-rata curah hujan dalam setahun 168 mm. 4.1.2 Penduduk
Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Tangerang pada tahun 2009 adalah 5,8% (Badan Pusat Statistik Kabupaten Tangerang, 2010). Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan penduduk alami (karena kelahiran) serta adanya arus urbanisasi yang tinggi (pengaruh dari pembangunan sektor industri yang maju). Kualitas SDM yang tinggi disertai dengan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan merupakan salah satu modal dasar bagi pembangunan Kabupaten Tangerang. Hal tersebut membuka peluang pasar yang cukup besar bagi hasil-hasil perikanan. Penyebaran penduduk yang bekerja terkait dengan perikanan (Tabel 2) antara lain penangkapan (laut dan perairan umum), pengolahan dan budidaya (tambak, kolam, sawah, japung dan budidaya laut).
29
Tabel 2 Penyebaran rumah tangga perikanan Kabupaten Tangerang, 2008 No. 1. 2. 3.
Jenis usaha Penangkapan: - Laut (nelayan) - Perairan umum Pengolahan Budidaya - Tambak - Kolam - Sawah - Japung - Budidaya laut Jumlah
Jumlah (orang) 2.497 155 247 695 3.409 50 39 283 7.375
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang, 2009
Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang tertinggi bekerja sebagai budidaya kolam dengan jumlah 3.409 orang dan jumlah terendah bekerja sebagai japung (jaring apung) dengan jumlah 39 orang. Total penyebaran rumah tangga perikanan Kabupaten Tangerang tahun 2008 adalah 7.375 orang. 4.1.3 Unit penangkapan ikan
Satu unit penangkapan ikan merupakan satu kesatuan teknis dalam melakukan operasi penangkapan ikan yang terdiri atas kapal penangkap ikan, alat penangkapan ikan dan nelayan. Data unit penangkapan ikan yang dipakai hanya tahun 2008. Hal ini disebabkan terjadi permasalahan dalam manajemen data di Dinas Perikanan dan Kabupaten Tangerang sejak pergantian kepengurusan tahun 2006. 1) Kapal penangkap ikan Kapal penangkap ikan yang beroperasi di Kabupaten Tangerang terdiri atas dua jenis, yaitu perahu motor tempel (PMT) dan kapal motor (KM). Perahu motor tempel adalah perahu yang pengoperasiannya menggunakan mesin motor tempel (outboard engine) dengan bahan bakar solar. Kapal motor adalah kapal yang pengoperasiannya menggunakan mesin yang disimpan di dalam badan kapal (inboard engine) dengan bahan bakar solar. Kapal motor yang banyak digunakan di Kabupaten Tangerang adalah berukuran <5 GT dan antara 5-10 GT. Di Kabupaten Tangerang, kapal penangkap ikan berasal dari 7 PPI, yaitu Kronjo, Benyawakan, Ketapang, Karang Serang, Cituis, Tanjung Pasir dan Dadap.
30
Jumlah kapal penangkap ikan di Kabupaten Tangerang pada tahun 2008 adalah 2.548 unit. 2) Alat penangkapan ikan Jumlah alat penangkapan ikan di Kabupaten Tangerang pada tahun 2008 adalah 2.648 unit. Jenis alat penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan antara lain payang, dogol, gillnet, bagan, pancing, sero, bubu, alat pengumpul kerang dan alat penangkapan ikan lainnya. Pada tahun 2008, alat penangkapan yang dominan digunakan adalah payang, dogol, gillnet dan pancing. 3) Nelayan Nelayan adalah orang yang mengoperasikan unit penangkapan ikan. Mayoritas penduduk Kabupaten Tangerang bermata pencaharian sebagai nelayan yang merupakan penduduk yang tinggal di wilayah pesisir. Pada tahun 2008, jumlah nelayan di Kabupaten Tangerang adalah 12.084 orang. 4.2 Keadaan Umum Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Cituis Tangerang 4.2.1 Letak geografis
Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Cituis terletak di Desa Surya Bahari, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang dengan batas wilayah sebagai berikut: 1) Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Sukawali; 2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Rawasaban; 3) Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Utara Jawa; dan 4) Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Karang Serang. PPI Cituis merupakan pelabuhan tipe D yang dikelola oleh KUD Mina Samudera. Di PPI Cituis terdapat sungai yang berfungsi sebagai kolam pelabuhan dengan panjang sungai sebesar 1000 m dan lebar 25 m. PPI Cituis merupakan salah satu PPI sentra sebagai UPTD di Kabupaten Tangerang. Hal ini dapat dilihat dari ramainya aktivitas pelelangan ikan yang ramai dan aktifnya tingkat operasional di pelabuhan. Penduduk sekitar PPI Cituis umumnya bermata pencaharian sebagai nelayan. Sebagai seorang nelayan, tingkat kesejahteraan hidupnya masih rendah karena rata-rata tingkat pendidikannya rendah dengan pendapatan per hari sebesar Rp 20.000,00–Rp 50.000,00.
31
4.2.2 Fasilitas PPI Cituis
Tingkat operasional suatu pelabuhan perikanan dipengaruhi oleh adanya fasilitas yang tersedia di pelabuhan perikanan tersebut. Di PPI Cituis terdapat beberapa fasilitas yang terdiri dari fasilitas pokok, fungsional dan penunjang. Fasilitas pokok terdiri atas dermaga, kolam pelabuhan, breakwater dan mercusuar. Fasilitas fungsional yang terdapat di PPI Cituis antara lain gedung Tempat Pelelangan Ikan (TPI), tempat penjemuran ikan, bengkel, instalasi air tawar, instalasi listrik, SPDN, tempat pengolahan ikan dan depot es. Fasilitas penunjang terdiri atas MCK, pos keamanan, kedai pesisir, mesjid, kantor syahbandar, Balai Pertemuan Nelayan (BPN) dan tempat parkir. Kapasitas, pemanfaatan dan kondisi dari fasilitas-fasilitas tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Fasilitas PPI Cituis tahun 2009 No.
Fasilitas POKOK
Kapasitas
Pemanfaatan
Kondisi
25,82 m
Dimanfaatkan
Sempit
25.000 m2
Dimanfaatkan
Kotor
Dimanfaatkan Tidak dimanfaatkan
Baik
1.
Dermaga
2.
Kolam pelabuhan
3.
Breakwater
500 m
4.
Mercusuar
12 m
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
FUNGSIONAL Gedung TPI Tempat penjemuran ikan Bengkel Instalasi air tawar Instalasi listrik SPDN (tangki BBM) Tempat pengolahan ikan
8.
Depot es
1.
PENUNJANG MCK
2.
Pos keamanan
3. 4.
Kedai Pesisir Mesjid
5.
Kantor Syahbandar
Balai Pertemuan Nelayan (BPN) 7. Tempat parkir Sumber: PPI Cituis, 2009 6.
290,62 m2
Dinas Perhubungan Kab Tangerang Dinas Perhubungan Kab Tangerang KUD Mina Samudera Dinas Perhubungan Kab Tangerang
2
20 m 1 unit 1.300 watt 16.000 liter
Dimanfaatkan Dimanfaatkan Dimanfaatkan Dimanfaatkan
Baik Tidak layak Baik Baik Baik Baik
90 m2
Dimanfaatkan
Kotor
Perseorangan
20 m2
Dimanfaatkan
Kurang layak
Perseorangan
30 buah
Baik
Perseorangan
Baik
KUD Mina Samudera
20 m 300 m2
Dimanfaatkan Tidak dimanfaatkan Dimanfaatkan Dimanfaatkan
Baik Baik
8 m2
Dimanfaatkan
Rusak
KUD Mina Samudera Masyarakat Dinas perhubungan Kab Tangerang
110 m2
Dimanfaatkan
Baik
KUD Mina Samudera
400 m2
Dimanfaatkan
Rusak
KUD Mina Samudera
2
4.000 m
3m
2 2
Dimanfaatkan
Rusak
Pengelola
Dimanfaatkan
KUD Mina Samudera KUD Mina Samudera Perseorangan KUD Mina Samudera KUD Mina Samudera KUD Mina Samudera
32
5 PERKEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN TANGERANG DAN PPI CITUIS 5.1 Perkembangan Perikanan Tangkap Kabupaten Tangerang
Perkembangan perikanan Provinsi Banten dan Kabupaten Tangerang sebagai sektor basis dapat dilihat dari nilai location quotient (LQ). Nilai tersebut diperoleh dengan membandingkan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor perikanan dengan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) seluruh sektor di Kabupaten Tangerang dan Provinsi Banten (Tabel 4 dan Tabel 5). Tabel 4
Pendapatan Domestik Regional Bruto sektor perikanan dan seluruh sektor Provinsi Banten atas dasar harga berlaku, 2002-2007
Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007
PDRB Sektor Perikanan (Milyar Rp) 336,50 463,52 495,52 530,23 601,16 707,96
PDRB Seluruh Sektor (Milyar Rp) 58.283,72 66.946,42 73.713,78 84.622,27 97.867,27 107.431,96
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, 2009
Tabel 5
Pendapatan Domestik Regional Bruto sektor perikanan dan seluruh sektor Kabupaten Tangerang atas dasar harga berlaku, 2002-2007
Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007
PDRB Sektor Perikanan (Milyar Rp) 92,47 166,19 184,85 201,85 231,83 269,85
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, 2009
PDRB Seluruh Sektor (Milyar Rp) 16.575,45 18.561,26 20.769,92 23.992,25 28.041,66 30.900,26
33
Tabel 6 Nilai location quotient (LQ)
Tahun
2002 2003 2004 2005 2006 2007
Kabupaten Tangerang (milyar Rp) PDRB Sektor PDRB Perikanan Seluruh (vi) Sektor (vt) 92,47 16.575,45 166,19 18.561,26 184,85 20.769,92 201,85 23.992,25 231,83 28.041,66 269,85 30.900,26
Provinsi Banten (milyar Rp) LQ PDRB Sektor PDRB ((vi/vt)/(Vi/Vt)) Perikanan Seluruh (Vi) Sektor (Vt) 336,50 58.283,72 0,97 463,52 66.946,42 1,29 495,52 73.713,78 1,32 530,23 84.622,27 1,34 601,16 97.867,27 1,35 707,96 107.431,96 1,33 Rata-rata 1,27
Sumber: BPS Kab Tangerang, 2009 (data diolah kembali)
Berdasarkan data pada Tabel 6 (Lampiran 7 dan 8), nilai LQ yang diperoleh setiap tahun berbeda-beda. Pada tahun 2002, nilai LQ sebesar 0.97. Hal ini menunjukkan nilai LQ < 1, yang berarti bahwa sektor perikanan di Kabupaten Tangerang dan Provinsi Banten merupakan sektor non basis. Namun sejak 2003 sampai 2007, nilai LQ >1 yang artinya bahwa sektor perikanan di Kabupaten Tangerang dan Provinsi Banten sudah merupakan sektor basis. Rata-rata nilai LQ periode tahun 2002-2007 adalah 1,27. Nilai ini menunjukkan bahwa sektor perikanan di Kabupaten Tangerang dan Provinsi Banten merupakan sektor basis. Dalam hal ini sektor basis dapat diartikan sektor unggulan yang mampu bersaing dengan sektor yang sama yang dihasilkan oleh wilayah lain di pasar nasional maupun domestik (Wijaya, 2006 vide Azhar dan Abdussamad, 2002). Namun demikian apabila merujuk pada Perpres No. 19 Tahun 2006 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2007, bahwa perikanan tangkap di Kabupaten Tangerang belum dapat dikatakan berkembang antara lain karena: (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang, 2009) 1) Masih lemahnya sistem pengelolaan usaha perikanan tangkap dan pengusahaan teknologi tepat guna. Di Kabupaten Tangerang masih terdapat jenis perahu motor tempel dengan trip harian yang memiliki keterbatasan dalam menjangkau daerah operasi penangkapan sehingga sebenarnya produksi masih dapat ditingkatkan. 2) Kenaikan dan kelangkaan BBM yang semakin membebani nelayan untuk melaut. Harga BBM yang tinggi mengakibatkan banyak nelayan di Kabupaten
34
Tangerang tidak pergi melaut karena kesulitan modal. Permodalan nelayan relatif rendah sehingga banyak nelayan terikat pada tengkulak. Sebagian besar nelayan (76,10%) di PPI Cituis memperoleh BBM dari tempat lain atau bakul yang sering dinamakan tengkulak. 3) Kerusakan ekosistem perairan sebagai dampak dari eksploitasi berlebih dan bencana alam. Pemerintah Kabupaten Tangerang kurang optimal dalam melakukan
pengawasan
terhadap
ekosistem
perairan
karena
kurang
memadainya petugas di lapangan. Banyak nelayan yang bebas menangkap ikan sebanyak-banyaknya di daerah fishing ground manapun sesuai dengan kemampuannya masing-masing mengakibatkan ekosistem terumbu karang di sekitar Pulau Seribu menjadi rusak. 4) Rendahnya penggunaan teknologi dan kemampuan penanganan serta pengolahan perikanan. Pengetahuan nelayan dan pengolah tentang mutu serta pengolahan hasil perikanan masih kurang sehingga menyebabkan mutu produk perikanan belum memenuhi standar mutu. Hal ini terlihat dari kualitas sumberdaya manusia (SDM) pengelola dan para pelaku (nelayan dan pedagang) di PPI Cituis yang masih tergolong rendah yang diantaranya masih terdapat lulusan Sekolah Dasar (SD). Rendahnya kualitas SDM menyebabkan terbatasnya pengetahuan teknologi dan sukarnya untuk menerima inovasi baru sehingga penggunaan teknologi dan kemampuan penanganan serta pengolahan perikanan juga terbatas. 5) Keterbatasan infrastruktur perikanan, permodalan, lemahnya koordinasi dan kelembagaan perikanan. Permodalan nelayan relatif rendah sehingga banyak nelayan yang terikat dengan tengkulak. Koordinasi, infrastruktur dan kelembagaan perikanan yang kurang menjadi penyebab pengembangan perikanan tangkap di daerah tersebut belum optimal. 5.2 Perkembangan Perikanan Tangkap PPI Cituis
Pengembangan perikanan tangkap PPI Cituis dapat dilihat dari perkembangan unit penangkapan ikan (jumlah kapal penangkap ikan, alat penangkapan ikan dan nelayan) dan produksi hasil tangkapan yang didaratkan pada periode tahun 20012008.
35
5.2.1 Unit penangkapan ikan
1) Kapal penangkap ikan Kapal penangkap ikan yang ada di PPI Cituis digolongkan ke dalam dua jenis, yaitu perahu motor tempel dan kapal motor. Kapal penangkap ikan di PPI Cituis rata-rata mengoperasikan alat tangkap dominan (Tabel 7). Tabel 7
Perbandingan kebutuhan solar kapal penangkap ikan menurut alat tangkap dan lama trip, 2009 DPI
Lama trip 7-10 hari
No.
Nama Kapal
1.
- Gardan (trip mingguan)
Sumatera, lampung, Utara Pulau Jawa
- Gardan (trip harian)
daerah Karawang, Blanakan, Rampu Putih dan Obor Intan
14 jam
2.
Rampus
12 jam
3.
- Pancing ulur (trip mingguan) - Pancing ulur (trip harian)
Pulau Seribu, Utara Pulau Pari dan Pulau Cangkir Lamsi dan pengeboran pertamina
7-10 hari
Pulau Laki, Bokor, Lancang dan Untung Jawa
12 jam
Kebutuhan solar 500-800 liter
Jumlah Trip/bulan 3 kali
40-70 liter
24 kali
Mesin dompleng, 23 HP
10-20 liter
25 kali
Mesin dompleng, 30 HP Mesin dompleng, 16 HP
150-250 liter
3 kali
10-20 liter
26 kali
Mesin Kapal Mesin diesel Mitsubishi PS-100, 30 HP Mitsubishi PS-100, 20 HP
Kapal motor di PPI Cituis dimiliki oleh nelayan yang memiliki modal besar untuk kebutuhan usaha perikanan. Jenis kapal motor biasanya digunakan untuk mengoperasikan alat tangkap jaring gardan (dogol), purse seine, bubu, pancing ulur, rampus dan payang. Ukuran kapal motor tersebut adalah 1-20 GT dengan panjang kapal rata-rata sebesar 14 m. Berdasarkan Tabel 7, kapal gardan dalam operasionalnya memiliki trip mingguan dan trip harian. Lama trip mingguan adalah 7-10 hari dengan konsumsi bahan bakar sekitar 500-800 liter. Waktu tempuh dari fishing base ke fishing ground sekitar 1 hari 1 malam. Fishing ground yang dituju adalah daerah
36
Sumatera, Lampung dan Utara Pulau Jawa. Jumlah trip dalam sebulan adalah 3 kali. Kapal gardan trip mingguan menggunakan mesin kapal yang merupakan mesin diesel Mitsubishi PS-120 berkekuatan 30 HP (Horse Power) dan mesin gardan yang merupakan mesin dompleng berkekuatan 20 HP. Kapal gardan trip harian memiliki trip selama 14 jam dengan konsumsi solar sebanyak 40-70 liter. Lama perjalanan dari fishing base ke fishing ground adalah 2 jam. Mesin kapal yang digunakan adalah mesin diesel Mitsubishi PS 100 berkekuatan 20 HP dan mesin pemutar gardan/mesin dompleng berkekuatan 16 HP. Dalam sebulan, gardan harian dapat melakukan 24 kali trip. Daerah pengoperasian gardan harian antara lain daerah Karawang, Blanakan, Rampu Putih dan Obor Intan. Perahu motor tempel digunakan untuk mengoperasikan alat tangkap jaring rampus, pancing ulur, rawai, sero dan alat penangkap lain (jala). Kapal rampus, pancing ulur, payang dan bubu memiliki ukuran 2-5 GT. Pada unit penangkapan rampus, jumlah trip dalam sebulan adalah 25 kali. Lama waktu dalam satu kali trip adalah 12 jam dengan jarak tempuh dari fishing base ke fishing ground selama 2-3 jam. Jumlah bahan bakar yang diperlukan setiap kali trip sekitar 10-20 liter. Daerah penangkapan jaring rampus adalah Pulau Seribu, Utara Pulau Pari dan Pulau Cangkir. Kapal jaring rampus menggunakan mesin dompleng berkekuatan 23 HP sebagai mesin kapal. Unit penangkapan pancing ulur terdiri atas trip mingguan dan harian. Kapal pancing ulur trip mingguan memiliki lama trip selama 7-10 hari dengan jumlah trip dalam satu bulan sebanyak 3 kali. Konsumsi bahan bakar yang dibutuhkan dalam satu kali trip sekitar 150-250 liter. Daerah fishing ground pancing ulur trip mingguan adalah daerah sekitar Lamsi dan pengeboran pertamina dengan waktu yang dibutuhkan menuju fishing ground tersebut sekitar 1 hari. Kapal pancing ulur mingguan menggunakan mesin dompleng berkekuatan 30 HP. Kapal pancing ulur dengan trip harian membutuhkan solar sebanyak 10-20 liter/trip dengan lama trip 12 jam. Jumlah trip dalam sebulan adalah 26 kali. Mesin kapal yang digunakan adalah mesin dompleng berkekuatan 16 HP. Daerah pengoperasian pancing ulur trip harian antara lain Pulau Laki, Bokor, Lancang dan Untung Jawa. Jumlah perahu motor tempel setiap tahunnya berbeda-beda sedangkan jumlah kapal motor relatif sama (Tabel 8). Berdasarkan Tabel 8, dapat dilihat bahwa
37
jumlah kapal penangkap ikan di PPI Cituis periode tahun 2001-2008 setiap tahunnya berfluktuasi dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 10,86%. Banyaknya kapal ikan di PPI Cituis antara lain dipengaruhi oleh pelayanan dari pihak pelabuhan seperti pemberian dana paceklik dan sosial, sumbangan kematian dana simpan pinjam nelayan dana simpanan bakul dan menyediakan akses perbankan (SWAMITRA). Pelayanan tersebut didapatkan dari retribusi lelang yang dibayarkan oleh nelayan dan pemenang lelang/bakul. Besarnya retribusi jasa pelelangan yang sesuai dengan Perda No. 18-19 Tahun 2002, yaitu sebesar 2% kepada nelayan pemilik dan 3% kepada pemenang lelang (bakul). Namun, berdasarkan kesepakatan antara nelayan, bakul dan KUD Mina Samudera maka retribusi lelang untuk nelayan dan bakul masing-masing dinaikkan sebesar 3% dan 2% sehingga retribusi yang dikenakan kepada nelayan dan bakul masingmasing menjadi 5%. Selain terjadi kenaikan, jumlah kapal penangkap ikan mengalami penurunan pada tahun 2004-2005 dan 2006-2007 masing-masing sebesar 1,70% dan 2,13%. Penurunan tersebut disebabkan kapal tersebut rusak. Tabel 8 Jumlah kapal penangkap ikan di PPI Cituis, 2001-2008 Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Jumlah (unit) KM PMT < 5 GT 5-10 GT 10-20 GT 256 27 28 2 280 31 35 3 398 52 33 1 425 52 33 1 419 52 33 1 430 52 33 1 419 52 33 1 213 294 89 17 Pertumbuhan rata-rata per tahun (%)
Jumlah Total (unit) 313 349 484 511 505 516 505 613
Pertumbuhan (%) 0 11,50 38,68 5,58 -1,17 2,18 -2,13 21,39 10,86
Sumber: PPI Cituis 2009
Jumlah perahu motor tempel (PMT) setiap tahunnya berbeda sedangkan jumlah kapal motor periode tahun 2003-2007 memiliki jumlah yang sama. Jumlah kapal motor yang sama pada periode tersebut disebabkan mayoritas nelayan di sekitar PPI Cituis lebih memilih perahu motor tempel (PMT) karena biaya operasionalnya lebih murah dibandingkan dengan kapal motor. Namun pada tahun 2008 terjadi peningkatan tajam terhadap jumlah kapal motor dan penurunan jumlah PMT. Hal ini disebabkan banyak nelayan yang mengganti alat tangkap dan
38
kapalnya menjadi alat tangkap dominan (pancing ulur, rampus dan dogol) dan kapal motor dengan meminjam dana (SWAMITRA) di KUD dan bakul. Nelayan tersebut meminjam dana untuk membuat kapal dan alat tangkap baru. Alat tangkap tersebut lebih efektif dalam menangkap hasil tangkapan walaupun biaya operasionalnya tinggi. Salah satu kriteria alat tangkap yang dapat dikatakan efektif adalah adanya kesesuaian antara ukuran berat dan panjang ikan yang tertangkap dengan ukuran mata jaring. Hal ini berguna untuk mencegah tertangkapnya ikanikan berukuran kecil, sehingga stok ikan di suatu perairan tidak mengalami penyusutan (Abidin, 2000). Pengoperasian jaring rampus yang bersifat pasif menyebabkan tertangkapnya ikan lebih banyak ditentukan oleh gerak renang schooling ikan yang mengarah pada jaring (Olsen, 1982a; Nomura and Yamazaki, 1977; Choppin, 1993 dan Gunarso, 1988 vide Zamil, 2007). Menurut Ayodhyoa (1981) bahwa dibandingkan dengan alat tangkap lain, alat tangkap pancing memiliki keunggulan, yaitu struktur alat tangkap pancing tidak rumit dan penggunaannya mudah; organisasi usahanya kecil sehingga tidak banyak membutuhkan modal dan SDM; syarat fishing ground sedikit lebih bebas memilih; pengaruh cuaca dan suasana relatif kecil serta kesegaran hasil tangkapan terjamin. Metode pengoperasian dogol pada saat penarikan jaring ke permukaan perairan yang menyebabkan ikan pelagis ikut tertangkap oleh alat tangkap dogol (Khair, 2007). Selanjutnya dikatakan bahwa berdasarkan perhitungan nilai indeks Shannon-Wiener, bahwa alat tangkap dogol merupakan alat tangkap yang menangkap bermacam-macam ikan demersal dan pelagis. Semakin tinggi nilai indeks keragaman jenis ikan mengindikasikan bahwa unit penangkapan dogol memiliki prefensi yang tinggi dalam menangkap jumlah spesies. Perkembangan jumlah kapal penangkap ikan selama delapan tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 1.
39
Gambar 1 Perkembangan jumlah kapal penangkap ikan di PPI Cituis, 2001-2008. 2) Alat penangkapan ikan Jenis alat penangkapan ikan yang digunakan di PPI Cituis antara lain payang, dogol, purse seine, gillnet, rawai, pancing ulur, sero, bubu dan alat pengumpul lain (Tabel 9). Selama kurun waktu tersebut, jenis alat penangkapan ikan yang dominan adalah dogol, gillnet dan pancing ulur. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa alat tangkap tersebut lebih efektif dalam menangkap hasil tangkapan. Tabel 9 Jumlah alat penangkapan ikan di PPI Cituis, 2001-2008 No.
Alat Tangkap
Tahun (unit) 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
1
PY
4
6
7
7
7
7
7
11
2
DG
30
38
100
100
100
100
100
103
3
PR
-
-
-
-
-
-
6
3
4
GT
149
157
163
154
126
201
220
244
5
RW
-
-
-
-
-
1
1
1
6
PU
119
130
152
168
120
187
187
209
7
SR
-
-
-
-
-
-
2
2
8
BU
8
13
15
24
4
21
21
31
9
APL
3
5
8
4
50
-
5
9
Jumlah (unit)
313
349
445
457
407
517
549
613
Pertumbuhan per tahun (%)
-
11,50
27,51
2,70
-10,94
27,03
6,19
11,66
Sumber: PPI Cituis, 2009
Keterangan: PY: Payang; DG: Dogol; PR: Purse Seine; GT: Gillnet; RW: Rawai; PU: Pancing ulur; SR: Sero; BU: Bubu; APL: Alat pengumpul lain. Tabel 9 di atas menunjukkan bahwa jenis alat penangkapan ikan yang banyak digunakan oleh nelayan PPI Cituis adalah gillnet (rampus). Alat penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan PPI Cituis pada periode tahun 2001-2008 rata-rata
40
berjumlah 457 unit. Rata-rata jumlah alat penangkapan ikan yang terdapat di PPI Cituis setiap tahun meningkat. Namun demikian terjadi penurunan alat tangkap sebanyak 50 unit atau sebesar 10,94% pada tahun 2004-2005 yang disebabkan oleh rusaknya alat tangkap. Jenis alat penangkapan ikan dominan (dogol, gillnet dan pancing ulur) setiap tahunnya mengalami perubahan, terkecuali alat tangkap dogol yang pada periode tahun 2003-2007 jumlahnya tetap namun tahun 2008 mengalami kenaikan dari 100 unit menjadi 103 unit. Jumlah alat tangkap dogol yang tetap disebabkan nelayan lebih memilih mengoperasikan alat tangkap gillnet (rampus) dan pancing ulur karena memiliki biaya operasional yang lebih rendah dibandingkan alat tangkap dogol. Peningkatan jumlah alat penangkapan ikan dominan tertinggi terjadi pada tahun 2005-2006 yaitu pada alat tangkap gillnet sebesar 75 unit (Gambar 2).
Gambar 2 Perkembangan jumlah alat penangkapan ikan di PPI Cituis, 2001-2008. 3) Nelayan Nelayan yang berada di sekitar PPI Cituis terdiri atas nelayan asli daerah Kecamatan Pakuhaji dan nelayan pendatang dari luar daerah Kecamatan Pakuhaji yaitu Indramayu, Serang, Brebes, Tegal, Batang dan daerah Jawa Tengah lainnya. Nelayan tersebut diklasifikasikan berdasarkan waktu kerja, yaitu nelayan penuh, nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan tambahan (Tabel 10). Di sekitar PPI Cituis, sebagian besar nelayan melakukan trip harian (one day fishing) dengan jarak tempuh fishing ground yang tidak terlalu jauh dari fishing base.
41
Tabel 10 Jumlah nelayan di sekitar PPI Cituis, 2001-2008 Klasifikasi Nelayan (orang) Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Nelayan Penuh
Nelayan Sambilan Utama
Nelayan Sambilan Tambahan
1.401 110 43 1.444 198 61 1.687 324 75 1.572 337 89 1.784 352 2.183 466 109 2.183 466 109 2.677 483 138 Rata-rata Pertumbuhan per tahun (%)
Jumlah Total (orang)
Pertumbuhan (%)
1.554 1.703 2.086 1.998 2.136 2.758 2.758 3.298
0 9,59 22,49 -4,22 6,91 29,12 0 19,58 11,92
Sumber: PPI Cituis, 2009
Berdasarkan Tabel 10 di atas menunjukkan bahwa jumlah nelayan periode tahun 2001-2008 mengalami pertumbuhan rata-rata setiap tahunnya sebesar 11,92%. Pada periode tersebut, sebagian besar (81,63%) nelayan di sekitar PPI Cituis merupakan nelayan penuh dengan jumlah rata-rata 1.867 orang/tahun. Setiap tahunnya, rata-rata jumlah nelayan mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan oleh faktor kebutuhan hidup yang rata-rata penduduk di sekitar PPI Cituis berpendidikan rendah sehingga menggantungkan hidupnya sebagai nelayan. Namun demikian terjadi penurunan pada periode 2003-2004 yaitu sebesar 4,22% atau sebesar 88 orang. Penurunan ini disebabkan oleh tingginya harga BBM yang mengakibatkan nelayan tidak pergi melaut. Perkembangan jumlah nelayan di PPI Cituis dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3
Perkembangan jumlah nelayan di PPI Cituis, 2001-2008.
42
Pengembangan PPI Cituis masih belum dikatakan optimal dan juga pada umumnya belum dilengkapi dengan fasilitas yang modern. Hal ini menunjukkan bahwa perikanan tangkap di PPI Cituis belum berkembang. Merujuk pada hal tersebut, terdapat banyak faktor yang menyebabkan belum berkembangnya perikanan tangkap di PPI Cituis, antara lain: 1) Masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) pengelola dan para pelaku di PPI Cituis misalnya nelayan dan pedagang. Tingkat pendidikan nelayan dan pedagang rata-rata adalah lulusan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sedangkan lulusan pihak pengelola pelabuhan antara lain Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar 52,17%, lulusan sarjana/diploma sebesar 26,08% dan lulusan SD adalah sebesar 21,74%. Rendahnya kualitas SDM nelayan menyebabkan terbatasnya pengetahuan nelayan dan sukarnya untuk menerima inovasi baru. Masih terdapatnya lulusan SD pada pihak pengelola pelabuhan dan para pelaku di pelabuhan menunjukkan bahwa kualitas SDM di PPI Cituis juga masih rendah. 2) Masih belum sadarnya para pelaku (nelayan, pedagang dan pengolah) dalam memanfaatkan PPI Cituis dengan sebaik-baiknya sebagai tempat pendaratan, pemasaran maupun dalam pembinaan mutu hasil tangkapannya. Hal ini terlihat dari kurang maksimalnya pemanfaatan tempat pelelangan ikan. Masih banyak nelayan yang tidak melelang hasil tangkapannya di TPI. Selain itu mutu hasil tangkapan masih kurang diperhatikan karena penanganan yang kurang. 3) Masih belum tersedianya berbagai fasilitas yang memang diperlukan oleh nelayan atau pedagang di sekitar PPI Cituis seperti cool room yang digunakan untuk menyimpan sementara hasil tangkapan yang telah didaratkan. Selain itu rusaknya beberapa fasilitas di PPI Cituis tanpa adanya perbaikan dalam jangka waktu yang lama. 4) Belum tersedianya prasarana dan sarana transportasi yang baik yang dapat menjamin mutu ikan sampai ke daerah konsumen. Sarana yang digunakan hanya mobil pick up dengan menggunakan box berpendingin ukuran 40 kg dan motor yang mampu membawa hasil tangkapan sampai 200 kg.
43
5) Masih banyaknya para nelayan yang terikat dengan para tengkulak/agen. Keterikatan antara nelayan dengan tengkulak disebabkan nelayan meminjam dana untuk melaut kepada tengkulak. Setelah mendapatkan hasil tangkapan, nelayan membayar hutangnya dan menjual hasil tangkapannya ke tengkulak dengan harga yang ditentukan oleh tengkulak. 5.2.2 Produksi hasil tangkapan
Jenis ikan ekonomis yang dominan ditangkap oleh nelayan antara lain ikan biji nangka (Upeneus spp), cumi-cumi (Loligo spp), kurisi (Namipterus spp), kuwe (Caranx sp), pepetek (Leiognathidae), pari (Trigonidae), sebelah (Psettodidae), tiga waja (Johnius dussumieri), tengkek (Megalaspis cordyla), teri (Stelophorus spp), kembung (Rastrelliger spp) dan kuro (Polynemus spp). Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak pengelola TPI, ikan yang didaratkan di PPI Cituis tidak semuanya dilelang di TPI akan tetapi sebanyak 55% dijual kepada penampung/tengkulak. Hal ini disebabkan masih banyak nelayan yang terikat dengan para tengkulak. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa keterikatan antara nelayan dengan tengkulak disebabkan nelayan meminjam dana untuk melaut dan nelayan harus membayar hutangnya dengan menjual hasil tangkapannya ke tengkulak dengan harga yang ditentukannya. Jenis-jenis ikan yang dijual ke tengkulak atau penampung antara lain ikan kembung (Rastrelliger spp), bilis (Pollachius pollachius), kurisi (Namipterus spp), teri (Stelophorus spp), bawal putih (Pampus argentus), bawal hitam (Formio niger), kakap merah (Lutjanus sp), tenggiri (Scomberomerus guttatus), layur (Trichiurus lepturus) dan udang (Penaeus monodon). Ikan-ikan tersebut termasuk ikan segar, ikan untuk konsumsi dan ikan untuk diolah yang telah dipesan oleh penampung sebelum ikan didaratkan. Jumlah produksi ikan di PPI Cituis mengalami fluktuasi (Tabel 11). Kenaikan rata-rata jumlah produksi setiap tahunnya adalah 8,62%. Kenaikan tertinggi terjadi pada tahun 2007-2008 sebesar 20,62% atau 129.579 kg. Sebaliknya penurunan produksi terjadi pada tahun 2004-2005 sebesar 8,44% atau 46.006 kg yang disebabkan oleh turunnya jumlah kapal dan kurangnya penanganan ikan di atas kapal dan setelah didaratkan.
44
Perkembangan nilai produksi ikan di PPI Cituis periode tahun 2001-2008 mengalami kenaikan setiap tahunnya (Tabel 11). Kenaikan tersebut disebabkan oleh naiknya rata-rata jumlah produksi ikan ekonomis penting pada tahun-tahun tersebut. Produksi dan nilai produksi yang didaratkan di PPI Cituis dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ikan itu sendiri, kepelabuhanan perikanan dan faktor penangkapan ikan. Faktor ikan adalah karakteristik dan habitat sumberdaya ikan yang berbeda-beda dapat mempengaruhi cara penangkapan dan cara penanganan setelah didaratkan. Cara penanganan ikan di atas kapal dan setelah didaratkan masih kurang. Di atas kapal, ikan hanya diberi es dan ditumpuk dalam palkah atau keranjang sehingga ikan-ikan tersebut dapat rusak. Pelayanan yang kurang cepat dalam menangani ikan yang didaratkan dapat menurunkan mutu hasil tangkapan. Selain itu ukuran ikan yang berbeda untuk setiap spesies akan mempengaruhi penanganan ikan baik dari cara penanganan, ukuran panjang atau wadah yang akan digunakan untuk menampungnya maupun jumlah es atau garam yang dipakai untuk mempertahankan mutu ikan agar dalam keadaan tetap segar selama dipasarkan. Ikan mempunyai sifat cepat mengalami kerusakan (highly perishable) sehingga diperlukan perhatian terhadap penempatan ikan setelah didaratkan. Ikan yang berukuran besar tidak dibiarkan tercampur dengan ikan ukuran kecil (Pane, 2003). Namun penanganan ikan di atas kapal masih kurang, nelayan sering menumpuk hasil tangkapannya di dalam palkah atau keranjang tanpa memisahkan ikan dengan ukuran besar dan kecil. Demikian halnya dengan sarana transportasi yang akan digunakan dalam penanganan ikan selama distribusi harus memperhatikan ukuran dan pengaturan ruang transportasi agar ikan dapat sampai ke konsumen dengan kualitas pemasaran yang baik (Pane, 2003). Namun dalam proses pemasaran, sarana yang digunakan adalah mobil pick up dengan menggunakan box berpendingin ukuran 40 kg dan motor yang mampu membawa hasil tangkapan sampai 200 kg. Faktor kepelabuhanan perikanan yang dimaksud antara lain terbatasnya jumlah dan jenis fasilitas yang ada di PPI Cituis yang terkait dengan produksi yang didaratkan. PPI Cituis tidak memiliki tempat untuk menyimpan ikan seperti cool room sehingga ikan hasil tangkapan yang didaratkan tidak dapat disimpan
45
dalam tempat khusus. Ikan-ikan yang dipasarkan di TPI dan pasar ikan berupa ikan segar. Kurangnya kemampuan pihak pelabuhan dalam mengelola tempat pelelangan ikan (TPI) menyebabkan masih banyak ikan yang tidak dilelang di TPI sehingga tidak semua ikan yang didaratkan tercatat di TPI. Pengelolaan yang kurang terhadap penanganan dan transportasi menjadikan ikan tidak memiliki kualitas pemasaran yang baik. Faktor penangkapan ikan yang berperan dalam meningkatkan produksi yang didaratkan di PPI meliputi kondisi usaha penangkapan ikan yaitu modal. Modal ini berpengaruh pada produksi ikan yang didaratkan. Sebagian besar nelayan di PPI Cituis memiliki keterbatasan modal untuk biaya melaut sehingga nelayan sering mencari pinjaman (kredit) kepada pihak pedagang pengumpul (bakul) walaupun dengan bunga yang tinggi. Nelayan yang tidak mampu membayar kredit harus menjual hasil tangkapannya kepada bakul dengan harga yang rendah dan merugikan pihak nelayan. Pelayanan pinjaman uang (kredit) yang disediakan oleh KUD belum dimanfaatkan dengan maksimal. Nelayan menganggap proses peminjaman kredit di KUD menyulitkan dan memerlukan jaminan. Selain itu masih terdapat armada berskala kecil (tradisional) yang menggunakan perahu outboard. Armada ini memiliki keterbatasan dalam menjangkau daerah operasi penangkapan yang lebih jauh untuk mencari spesies ikan yang lebih bernilai ekonomis penting dengan jumlah yang lebih banyak. Kondisi alam perairan yang tidak dapat diprediksi menimbulkan kendala bagi nelayan dalam menentukan waktu operasi penangkapan ikan yang baik (Pane, 2003). Nelayan tetap melakukan operasi penangkapan ikan pada musim paceklik (musim barat) walaupun jumlah produksi yang didaratkan terbatas. Selain itu operasi penangkapan yang ada umumnya dikelola oleh nelayan juragan yang mempunyai kemampuan modal yang kuat. Faktor lain yang mempengaruhi produksi ikan di PP/PPI antara lain persaingan antar pelabuhan perikanan dan kebijakan pemerintah (Pane, 2008). Faktor persaingan antar pelabuhan perikanan yaitu pelayanan yang memuaskan dari pihak pelabuhan. Namun demikian terdapat kelemahan di PPI Cituis yaitu terbatasnya kapasitas fasilitas di pelabuhan dan masih adanya keterkaitan antara nelayan dengan pemilik modal. Faktor kebijakan pemerintah yang dimaksud
46
antara lain tidak ada pengaturan sumberdaya ikan dan penangkapan ikan dan kurangnya pengelolaan aktivitas di pelabuhan perikanan serta tempat pelelangan ikan (kurangnya kesadaran nelayan melelang hasil tangkapannya di TPI). Hampir setiap tahun jumlah kapal di PPI Cituis mengalami kenaikan sehingga produksi hasil tangkapan meningkat. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa banyaknya kapal yang mendaratkan hasil tangkapannya di PPI Cituis diakibatkan karena PPI Cituis memberikan pelayanan terbaik untuk nelayan dan pengguna jasa pelabuhan. Pelayanan tersebut berupa pemberian dana paceklik dan sosial, sumbangan kematian, dana simpan pinjam nelayan dan bakul serta menyediakan akses perbankan (SWAMITRA). Berikut jumlah produksi ikan dan nilai produksi yang didaratkan di PPI Cituis selama 8 tahun terakhir terdapat pada Tabel 11 sedangkan perkembangannya terdapat pada Gambar 4 dan 5. Tabel 11 Produksi ikan di PPI Cituis, 2001-2008 No.
Tahun
1 2 3 4 5 6 7 8
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Produksi Nilai Produksi Rata-rata produksi Pertumbuhan (ton) (juta Rp) (ton/hari) (%) 435,220 1.196,8597 1,19 464,691 1.385,1069 1,27 6,77 478,694 1.560,6964 1,31 3,01 544,838 1.596,5233 1,49 13,82 498,832 1.854,6845 1,37 -8,44 545,693 2.173,9440 1,50 9,39 628,465 2.835,9715 1,72 15,17 758,044 4.000,1555 2,08 20,62 Rata-rata 1,49 8,62
Sumber: TPI Cituis, 2009
Gambar 4 Perkembangan jumlah produksi ikan di PPI Cituis, 2001-2008.
47
Gambar 5 Perkembangan nilai produksi ikan di PPI Cituis, 2001-2008.
48
6 AKTIVITAS DAN FASILITAS
6.1 Aktivitas PPI
Perkembangan aktivitas kepelabuhanan di PPI Cituis didasarkan kepada fungsi pelabuhan perikanan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pada pasal 41A ayat 2. Pasal ini mendukung kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan lingkungan. Aktivitas yang dimaksud antara lain: 1) Pelayanan administrasi tambat dan labuh kapal perikanan PPI Cituis memiliki kolam pelabuhan yang terbentuk secara alami karena merupakan bagian dari sungai. Tempat ini digunakan kapal-kapal perikanan untuk bertambat dan berlabuh. Di PPI Cituis terdapat dermaga yang seharusnya digunakan kapal-kapal perikanan untuk bersandar, berlabuh dan mendaratkan hasil tangkapannya akan tetapi dermaga tersebut digunakan juga untuk bersandarnya kapal penumpang yang akan pergi ke Pulau. Jumlah rata-rata kapal ikan yang berlabuh di PPI Cituis sekitar 300 unit per harinya. Banyaknya kapal yang bertambat dan berlabuh menyebabkan kolam pelabuhan menjadi sempit dan terbatasnya ruang gerak kapal. Kapal yang akan mendaratkan hasil tangkapan harus mengantri dan kesulitan untuk keluar kembali melaut. Kondisi kolam pelabuhan di PPI Cituis sangat sempit dan kurang dalam. Kedalaman kolam hanya 1,25 m yang disebabkan oleh pendangkalan yang menyebabkan kapal-kapal besar (5-20 GT) kesulitan untuk bertambat dan berlabuh di pelabuhan. Kapal yang masuk ke PPI Cituis diperiksa oleh pihak syahbandar terutama kapal pendatang. Pemeriksaan dilakukan terhadap dokumen kapal, barang-barang muatan, Surat Persetujuan Berlayar, Surat Izin Usaha Penangkapan (SIUP), Surat Penangkapan Ikan (SPI), Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) dan Pass Biru. Fasilitas yang digunakan oleh kapal yang bersandar dan berlabuh di PPI Cituis antara lain dermaga dan kolam pelabuhan. Adapun alat bantu yang digunakan yaitu tali tambang yang diikatkan pada bambu-bambu yang sengaja ditanam di kolam pelabuhan yang dangkal.
49
2) Pelayanan bongkar muat Kapal yang melakukan kegiatan bongkar muat di dermaga sebanyak 8 unit/hari (9,52%), namun sebagian besar dilakukan di tepi kolam pelabuhan yaitu sebanyak 76 unit/hari (90,48%). Kapal yang bertambat tidak lain untuk membongkar hasil tangkapan, memuat perbekalan (solar, es, air tawar dan konsumsi nelayan) maupun untuk beristirahat. Kapal ikan yang mendaratkan hasil tangkapannya dimulai pada pukul 06.00 WIB. Ikan yang didaratkan tidak semuanya dilelang di TPI. Proporsi ikan yang dilelang sebesar 45% dan ikan yang tidak dilelang sebesar 55%. Ikan yang akan dilelang dibawa ke TPI sedangkan ikan yang tidak dilelang telah dipesan oleh nelayan pengumpul atau “nelayan box” sebelum ikan tersebut didaratkan. Nelayan yang menjual hasil tangkapannya ke nelayan box bukan merupakan anggota KUD Mina Samudera sebaliknya nelayan yang melelang hasil tangkapannya di TPI merupakan anggota KUD Mina Samudera. Nelayan yang menjual hasil tangkapan ke nelayan box adalah nelayan pancing ulur dan rampus. Proses pendaratan meliputi pembongkaran dan pengangkutan ikan ke TPI. Sebelumnya ikan telah disortir di atas kapal. Ikan-ikan yang didaratkan berasal dari kapal ikan lokal maupun pendatang. Setelah kapal merapat di kolam pelabuhan, nelayan langsung membongkar hasil tangkapannya dari palkah ke dalam keranjang. Ikan tersebut dimasukkan dengan menggunakan tangan atau serok. Keranjang yang telah dipenuhi ikan dibawa ke TPI dengan tenaga manusia. Jumlah kapal rata-rata yang berlabuh di PPI Cituis setiap harinya sekitar 300 unit. Banyaknya jumlah kapal tersebut mengakibatkan kesulitan untuk bertambat dan berlabuh. Waktu yang dibutuhkan untuk membongkar hasil tangkapan bervariasi. Rata-rata nelayan gardan membongkar hasil tangkapannya selama 6-7 jam untuk rata-rata 1.300 kg dan untuk nelayan rampus dan pancing ulur selama 1-2 jam untuk rata-rata 700 kg. Kendala yang dihadapi kapal ikan yang akan membongkar hasil tangkapan adalah banyaknya kapal di kolam pelabuhan dan dangkalnya kolam pelabuhan yang menyebabkan proses bongkar muat terganggu. Kapal mempersiapkan perbekalan melaut di tepi kolam pelabuhan. Perbekalan tersebut antara lain kebutuhan es, air bersih, solar dan konsumsi. Kebutuhan es diperoleh dari bakul dengan harga Rp 13.000,00/balok. Es tersebut digunakan
50
nelayan untuk menjaga mutu dan kesegaran ikan. Kebutuhan air tawar diperoleh dari instalasi air tawar dan kebutuhan solar diperoleh dari SPDN yang dikelola KUD Mina Samudera. Harga satu liter solar adalah Rp 4.500,00. Kebutuhan solar untuk kapal dengan trip mingguan adalah 500 sampai 800 liter, sedangkan kapal dengan trip harian adalah 10-70 liter. Air tawar dan solar tersebut masing-masing dibawa menggunakan drum karena jaraknya cukup jauh dari kolam pelabuhan. 3) Pelaksanaan pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan Pelaksanaan pembinaan mutu di PPI Cituis dilakukan setiap tiga bulan sekali. Pembinaan ini diberikan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang. Kegiatan ini sangat bermanfaat bagi nelayan dan para pengguna jasa pelabuhan. Melalui pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan, pengolah mengetahui jenis hasil tangkapan yang layak dan tidak layak dikonsumsi; tata cara pengolahan hasil perikanan yang memenuhi standar mutu dan keuntungan hasil perikanan yang bermutu tinggi. Pengolahan memegang peranan penting untuk memberikan nilai tambah pada ikan. Pengolahan ikan juga berfungsi agar harga ikan minimum dapat dipertahankan (tetap stabil), seperti saat musim ikan dimana harga ikan minimum menjadi murah dan saat paceklik harga ikan menjadi mahal (Sumiati, 2008). Jenis pengolahan hasil perikanan yang dilakukan di PPI Cituis adalah pengasinan. PPI Cituis terkenal dengan produk ikan segar dan ikan asin. Aktivitas pengolahan ikan dilakukan di sekitar TPI. Ikan-ikan yang diolah berasal dari ikan yang didaratkan oleh nelayan. Ikan yang diolah adalah ikan-ikan yang tidak laku terjual dan ikan yang kurang segar. Ikan tersebut antara lain ikan pepetek (Leiognathidae), kuniran (Upeneus sulphureus), teri (Stelophorus spp), selar (Caranx bucculentus), kurisi (Namipterus spp), bilis (Pollachius pollachius), tembang (Sardinella gibbosa), layur (Trichiurus lepturus), tongkol (Euthynnus affinis) dan beloso (Saurida spp). Hasil ikan olahan dipasarkan ke pasar-pasar tradisional di Tangerang dan di luar kota seperti Pasar Cikokol, Kemis, Cikupa, Sepatan, Rangkas Bitung dan Tanah Tinggi. 4) Pemasaran dan distribusi ikan Menurut Kotler (1992), terdapat empat macam saluran pemasaran barang konsumsi dengan panjang yang berbeda yaitu saluran nol tingkat, satu tingkat, dua tingkat dan tiga tingkat. Saluran pemasaran di PPI Cituis terdiri atas saluran nol
51
tingkat, satu tingkat dan tiga tingkat (Gambar 6). Saluran pertama (nol tingkat), ikan hasil tangkapan langsung dijual oleh nelayan ke konsumen. Konsumen tersebut merupakan nelayan pengolah yang merupakan pelanggan. Saluran kedua (satu tingkat), ikan hasil tangkapan dijual ke bakul melalui proses lelang. Selanjutnya saluran ketiga (tiga tingkat), ikan hasil tangkapan dijual ke agen. Agen tersebut memperoleh ikannya dari TPI dan juga langsung dari nelayan. Ikan hasil tangkapan yang diperoleh dari nelayan merupakan ikan-ikan yang terlebih dahulu dipesan dan jumlahnya sedikit. Agen menjual ikan tersebut ke pedagang besar lalu dijual kembali ke pegadang kecil dan terakhir dijual ke konsumen. Gambar 6 di bawah ini menunjukkan bahwa saluran pemasaran terpendek adalah saluran pertama dimana pemasaran dilakukan oleh nelayan langsung ke konsumen sedangkan saluran pemasaran terpanjang adalah saluran ketiga yaitu pemasaran melalui TPI yang dijual ke agen.
Nelayan
TPI/Bakul
Agen
Konsumen
Pedagang besar
Pedagang kecil
Keterangan: Saluran pertama (nol tingkat) Saluran kedua (satu tingkat) Saluran ketiga (tiga tingkat) Sumber: Hasil wawancara, 2009
Gambar 6 Saluran pemasaran ikan di PPI Cituis. Hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Cituis dipasarkan melalui pelelangan ikan. Agar mendapatkan harga jual yang tinggi hasil tangkapan yang dilelang harus memiliki kualitas yang baik dan segar. Harga jual tersebut akan berpengaruh pada pendapatan nelayan. Proses pelelangan ikan di PPI Cituis (Gambar 7) adalah sebagai berikut: a) Nelayan pemilik yang telah memperoleh hasil tangkapan melaporkan jumlah hasil tangkapannya kepada KUD Mina Samudera. Sebagai pengelola TPI,
52
KUD Mina Samudera mempertemukan antara nelayan pemilik dengan bakul (peserta lelang). Kegiatan lelang hanya diikuti oleh anggota koperasi yang aktif. Dalam kegiatan pelelangan ikan, pihak yang ikut serta dalam kegiatan tersebut antara lain juru lelang, juru bakul dan nelayan pemilik. Kegiatan lelang diawali dengan pengumuman dari juru lelang yang menyebutkan jenis, ukuran, berat dan nama pemilik ikan. Selama kegiatan tersebut, juru lelang memimpin proses lelang hingga menunggu pemenang lelang dengan harga penawaran tertinggi. Proses lelang berakhir apabila telah ditetapkan nama pemenang lelang (bakul). b) Setelah diumumkan nama pemenang lelang, maka nelayan pemilik dan pemenang lelang mengambil karcis yang disediakan oleh KUD. Pada karcis tersebut tercantum nama nelayan, nama pemenang lelang (bakul), berat dan jenis ikan serta jumlah harga yang harus dibayar oleh pemenang lelang. Pemenang lelang dan nelayan pemilik mengisi form pelelangan. Pemerintah Daerah menetapkan besarnya retribusi jasa pelelangan sesuai dengan Perda No. 18-19 Tahun 2002 yaitu sebesar 2% kepada nelayan pemilik dan 3% kepada pemenang lelang. Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa berdasarkan kesepakatan antara nelayan, bakul dan KUD Mina Samudera maka nelayan pemilik harus menambah retribusi sebesar 3% yang digunakan sebagai tabungan dana paceklik dan biaya sosial (biaya pengobatan apabila mengalami kecelakaan dan pesta rakyat tahunan). Pemenang lelang (bakul) juga harus menambah retribusi sebesar 2% yang digunakan sebagai tabungan. Dengan demikian retribusi yang diterima oleh TPI dari nelayan dan pedagang masing-masing sebesar 5%. Setelah kedua belah pihak sepakat, maka dilakukan transaksi pembayaran di kasir kantor TPI dengan disaksikan oleh pihak KUD. Selanjutnya uang hasil pelelangan diserahkan kepada bendahara KUD Mina samudera. c) Pemenang lelang sering menumpuk ikan yang dibeli di lantai gedung TPI untuk menunggu konsumen yang membeli ikan-ikan tersebut.
53
Gambar 7 Proses pelelangan ikan di TPI. Kegiatan lelang di PPI Cituis dilakukan sebanyak 3 kali dalam sehari, yaitu pukul 07.00 WIB, 10.00 WIB dan 13.00 WIB. Proses pelelangan ikan di PPI Cituis secara teknis telah terlaksana dengan lancar. Hal yang perlu diperhatikan dalam proses lelang adalah cara penempatan ikan, kebersihan lantai TPI dan penanganan ikan. Ikan-ikan yang dilelang hanya diletakkan di atas lantai yang kotor sehingga menyebabkan kualitas dan harga ikan turun. Pemberian es yang kurang juga menjadi penyebab turunnya kualitas dan harga ikan. Ikan yang dijual melalui proses lelang selanjutnya didistribusikan ke daerah pemasaran di Kabupaten Tangerang (Pasar Pakuhaji, Karawaci, Baru Tangerang, Cikokol, Sepatan, Mauk, Kampung Melayu, Kota Bumi dan Tanah Tinggi); Banten; Pasar Caringin (Bandung); Pasar Carefour dan sebagian dipasarkan ke agen-agen sekitar gedung TPI. Daerah yang menjadi tujuan utama distribusi adalah Karawaci. Jenis ikan segar yang dominan didistribusikan antara lain ikan kuwe (Caranx spp), ikan selar (Caranx bucculentus), ikan pepetek (Leiognathidae), ikan pari (Trigonidae), ikan kurisi (Nemipterus), ikan tiga waja (Johnius dussumieri) dan ikan biji nangka (Upeneus sulphureus). Ikan-ikan tersebut dimasukkan ke dalam box berpendingin ukuran 40 kg dan diberi penanganan dengan cara pemberian es sehingga dapat memperlambat proses kemunduran mutu ikan. Pendistribusian ikan dilakukan melalui jalur darat dengan menggunakan mobil pick up berpendingin dan motor yang mampu membawa hasil tangkapan sampai 200 kg.
54
5) Pengumpulan data hasil tangkapan dan hasil perikanan lainnya Proses pengumpulan data hasil tangkapan dan hasil perikanan lainnya hanya melalui proses lelang ikan di TPI. Pengumpulan data hasil perikanan dan hasil perikanan lainnya dilakukan oleh KUD Mina Samudera. Data hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Cituis tercatat di KUD Mina Samudera dan merupakan data ikan yang dilelang di TPI. Ikan yang didaratkan di PPI Cituis tidak semuanya dilelang ke TPI. Proporsi ikan yang dilelang adalah 45% dan yang tidak dilelang adalah 55%. Ikan yang akan dilelang dibawa ke TPI sedangkan ikan yang tidak dilelang sudah dibeli oleh nelayan pengumpul atau “nelayan box”. Ikan tersebut telah dipesan sebelum ikan didaratkan. Adanya nelayan box tersebut, pihak pelabuhan hanya dapat memantau dan menganjurkan agar ikan yang tidak dilelang agar dilelang di TPI. Namun anjuran tersebut tidak dihiraukan oleh nelayan. Pihak pelabuhan tidak melakukan pengumpulan data ikan yang dijual di nelayan box. Nelayan yang menjual hasil tangkapannya ke nelayan box tidak dilaksanakan di TPI karena nelayan tersebut bukan merupakan anggota KUD Mina Samudera. Nelayan yang melelang hasil tangkapannya sebagian besar (45%) merupakan anggota KUD Mina Samudera. 6) Pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan Kualitas sumberdaya nelayan di PPI Cituis dikategorikan rendah. Rata-rata tingkat pendidikannya adalah Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Tingkat pendidikan ABK dan nelayan pemilik berbeda. ABK rata-rata merupakan lulusan SD sedangkan nelayan pemilik lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA). Melihat kondisi pendidikan nelayan yang rendah, pihak pelabuhan melaksanakan penyuluhan dan pengembangan kepada masyarakat nelayan. Penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan ini diberikan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tangerang. Kegiatan ini dilaksanakan setiap satu tahun sekali. Dalam kegiatan penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan ini, nelayan memperoleh pengetahuan tentang cara menangkap ikan yang baik dan benar; alat tangkap yang produktif dan yang dilarang; cara penanganan hasil tangkapan dan teknologi penangkapan yang efisien dan efektif. Selain penyuluhan, dilakukan pelatihan-pelatihan yang
55
dimaksudkan nelayan mengerti apa yang diberikan oleh pihak Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang. 7) Pelaksanaan kegiatan operasional kapal perikanan Kegiatan operasional kapal perikanan di PPI Cituis selama delapan tahun terakhir mengalami peningkatan. Dahulu, nelayan menangkap ikan dengan fishing ground yang tidak jauh dari pelabuhan (fishing base). Namun sekarang nelayan menangkap ikan sampai ke daerah luar pulau Jawa, yaitu Lampung dan sekitar Pulau Sumatera. Teknologi dalam menangkap ikan pun meningkat. Nelayan telah menggunakan fish finder untuk mempermudah menemukan daerah penangkapan ikan. Penggunaan fish finder ini dapat meningkatkan produksi hasil tangkapan dan pendapatan nelayan. Namun nelayan harus mengeluarkan dana operasional yang tinggi untuk menangkap ikan dengan jarak jauh. Operasional kapal perikanan terdiri atas kegiatan pendaratan hasil tangkapan dan pemenuhan perbekalan melaut. Kegiatan pendaratan hasil tangkapan selama delapan tahun terakhir yaitu tahun 2001-2008 dapat dilihat dari frekuensi kunjungan kapal di PPI Cituis. Sejak tahun 2001-2008, jumlah kapal yang masuk ke PPI Cituis mengalami peningkatan. Jumlah kapal yang masuk ke pelabuhan tahun 2008 hampir dua kali jumlah kapal yang masuk ke pelabuhan tahun 2001. Semakin meningkatnya jumlah kapal yang masuk ke pelabuhan menunjukkan bahwa nelayan yang mendaratkan hasil tangkapan tersebut puas dengan pelayanan yang diberikan oleh pihak pelabuhan. Hal ini juga mempengaruhi produksi hasil tangkapan di PPI Cituis. Dalam satu hari, proses pendaratan hasil tangkapan sebagian kecil (9,52% atau 8 unit kapal) dilakukan di dermaga dan sebagian besar (90,48% atau 76 unit kapal) dilakukan di pinggiran kolam pelabuhan. Terganggunya kegiatan pendaratan ikan ini disebabkan terbatasnya luas kolam pelabuhan, banyaknya jumlah kapal yang berlabuh dan bertambat tidak sebanding dengan panjangnya dermaga bongkar muat. Sistem pendaratan ikan di PPI Cituis adalah dengan metode antrian dimana kapal yang pertama datang dapat melakukan proses pendaratan ikan. Namun karena banyak nelayan yang mendaratkan hasil tangkapannya di pinggir kolam, maka tidak terjadi antrian yang panjang. Pembongkaran hasil tangkapan dilakukan harian dan mingguan. Nelayan harian melakukan pembongkaran di dermaga dan sebagian besar di pinggir kolam,
56
sedangkan nelayan mingguan (gardan), dalam sehari hanya ada dua kapal yang dapat melakukan bongkar muat dan kapal lainnya harus mengantri dihari berikutnya. Proses pengantrian ini mempengaruhi kualitas hasil tangkapan. Oleh karena itu, nelayan dengan trip mingguan harus menyediakan jumlah es lebih banyak. Sarana yang digunakan untuk melakukan proses pendaratan ikan antara lain keranjang, ember plastik dan papan luncur. Tenaga kerja yang melakukan kegiatan bongkar ikan adalah ABK. Aktivitas pembongkaran hasil tangkapan di PPI Cituis berbeda-beda untuk tiap kapal. Aktivitas pembongkaran untuk trip harian dilakukan selama 1-2 jam, sedangkan untuk nelayan mingguan dilakukan selama 6-7 jam. Semakin banyak jumlah hasil tangkapan yang didaratkan, maka proses pembongkaran ikan juga semakin lama. Kegiatan pemenuhan perbekalan melaut melalui pengisian bakan bakar, air tawar, es dan konsumsi nelayan. Nelayan mengisi kebutuhan solar di SPDN (23,90%) dan sebagian besar (76,10%) membeli di bakul. Rata-rata nelayan yang membeli solar di SPDN adalah anggota dari KUD Mina Samudera, namun nelayan yang bukan anggota juga ada yang membeli di SPDN. Sementara itu, untuk pembelian solar di SPDN harus dilakukan secara tunai sehingga banyak nelayan yang membeli solar di bakul yang dapat dibayar secara kredit. Nelayan yang membeli solar di bakul disebabkan kekurangan dana untuk melaut. Nelayan tersebut membeli solar dengan cara berhutang dan dibayar setelah mendapatkan keuntungan dari hasil tangkapan yang didaratkan. Selain itu, jumlah kapasitas solar di SPDN tidak dapat memenuhi kebutuhan solar semua unit penangkapan ikan di PPI Cituis. Kebutuhan air tawar untuk melaut, nelayan dapatkan dari instalasi air tawar yang dikelola oleh KUD Mina Samudera. Selain itu ada juga nelayan yang membeli air tawar di bakul-bakul. Nelayan membeli es di depot sekitar pelabuhan. Harga satu balok es sekitar Rp 12.000,00 sampai Rp 13.000,00. Depot es tersebut berjumlah 4 unit yang tersebar di sekitar pelabuhan. Kebutuhan konsumsi nelayan untuk melaut diperoleh dari warung-warung atau kedai pesisir yang ada di pelabuhan. 8) Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sumberdaya perikanan Potensi sumberdaya perikanan di laut sangat berlimpah, sehingga banyak nelayan yang memanfaatkan sumberdaya tersebut dengan cara melakukan
57
penangkapan ikan. Semakin tinggi aktivitas penangkapan ikan maka sumberdaya ikan dapat cepat habis, sehingga perlu dilakukan pengawasan dan pengendalian sumberdaya perikanan. Selama delapan tahun terakhir, pihak pelabuhan tidak melakukan pengawasan dan pengendalian sumberdaya perikanan. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa nelayan dibebaskan untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya dan dibebaskan menangkap ikan di daerah fishing ground manapun sesuai dengan kemampuan masing-masing. Selama ini belum pernah terjadi illegal fishing karena belum ada data yang menyebutkan bahwa nelayan PPI Cituis melakukan kegiatan penangkapan yang dilarang. Namun saat ini keadaan terumbu karang di sekitar Pulau Seribu telah menjadi rusak. Sehingga pihak pelabuhan harus melakukan pengawasan dan pengendalian sumberdaya perikanan. 9) Pelaksanaan kesyahbandaran Syahbandar merupakan pejabat Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan Laut. Syahbandar memiliki fungsi, tugas dan wewenang. Syahbandar memiliki fungsi keselamatan dan keamanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran Bab XI Syahbandar Pasal 208 antara lain mengawasi kelaiklautan kapal, keselamatan, keamanan dan ketertiban di pelabuhan; mengawasi tertib lalu lintas kapal di perairan pelabuhan dan alur pelayaran; mengawasi kegiatan alih muat di perairan pelabuhan, mengawasi kegiatan pekerjaan bawah air dan salvage; mengawasi kegiatan penundaan kapal; mengawasi pemanduan; mengawasi bongkar muat barang berbahaya serta limbah bahan berbahaya dan beracun, mengawasi pengisian bahan bakar; mengawasi ketertiban embarkasi dan debarkasi penumpang; mengawasi pengerukan dan reklamasi; mengawasi kegiatan pembangunan fasilitas pelabuhan, melaksanakan bantuan pencarian dan penyelamatan;
memimpin
penanggulangan
pencemaran
dan
pemadaman
kebakaran di pelabuhan dan mengawasi pelaksanaan perlindungan lingkungan maritim. Wewenang syahbandar tercantum pada pasal 209 yaitu mengkoordinir seluruh kegiatan pemerintahan di pelabuhan; memeriksa dan menyimpan surat, dokumen dan warta kapal; menerbitkan persetujuan kegiatan kapal di pelabuhan; melakukan
pemeriksaan
kapal;
menebitkan
Surat
Persetujuan
Berlayar;
58
melakukan pemeriksaan kecelakaan kapal; menahan kapal atas perintah pengadilan dan melaksanakan sijil awak kapal. Berdasarkan fungsi, tugas dan wewenang syahbandar yang tercantum pada Undang-Undang No. 17 tentang Pelayaran Bab XI Syahbandar, syahbandar di PPI Cituis belum bekerja secara optimal. Fungsi, tugas dan wewenang yang dilaksanakan adalah memeriksa kapal pendatang, Surat Persetujuan Berlayar, Surat Izin Usaha Penangkapan (SIUP), Surat Penangkapan Ikan (SPI), Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), Pass Biru dan barang-barang muatan serta mengurus perizinan kapal penangkap ikan yang beroperasi. Namun sebagian besar (75%) kapal penangkap ikan tidak memiliki Surat Persetujuan Berlayar, SIUP, SPI, SIKPI dan Pass Biru. Kapal tersebut melakukan operasi penangkapan ikan tanpa memiliki surat izin penangkapan yang syah dari syahbandar. Kapal yang memiliki Pass Biru, SIUP dan SIB/Surat Persetujuan Berlayar sekitar 25% dari total kapal yang ada di PPI Cituis. Penyebab masih banyaknya kapal yang tidak memiliki Pass Biru, SIUP dan SIB/Surat Persetujuan Berlayar karena biaya dan proses pengurusan yang berbelit-belit. Cara pengurusan Surat Persetujuan Berlayar, Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Penangkapan Ikan (SPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) terdapat pada Lampiran 11. Selama delapan tahun terakhir, pihak syahbandar tidak mengawasi keselamatan dan keamanan nelayan saat melaut. 10) Pelaksanaan fungsi karantina ikan; Hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Cituis adalah ikan segar. Ikan-ikan tersebut dijual dalam bentuk ikan segar dan ikan olahan. Ikan itu dipasarkan dan didistribusikan ke daerah lokal, sehinggga tidak dilaksanakan fungsi karantina ikan untuk diekpor. 11) Publikasi hasil riset kelautan dan perikanan Pelaksanaan publikasi hasil riset kelautan dan perikanan di PPI Cituis belum dilaksanakan. Informasi kelautan dan perikanan kepada nelayan hanya dari penyuluhan dan pelatihan-pelatihan yang diberikan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang.
59
12) Pemantauan wilayah pesisir dan wisata bahari Di sekitar PPI Cituis tidak terdapat daerah wisata bahari, sehingga pihak pelabuhan tidak melaksanakan pemantauan wilayah pesisir dan wisata bahari. Pihak pelabuhan hanya melakukan pemantauan di sekitar pelabuhan. 13) Pengendalian lingkungan (kebersihan, keamanan dan ketertiban, kebakaran dan pencemaran) Lingkungan di sekitar daerah pelabuhan terlihat kurang baik. Dilihat dari faktor kebersihan, masih banyak sampah yang terapung di kolam pelabuhan. Keadaan kolam pelabuhan sangat kotor dan banyak sampah. Banyak nelayan yang membuang sampah dan limbah kapal ke kolam pelabuhan. Selain itu, di sekitar TPI masih banyak pedagang yang membuang potongan-potongan ikan dan air pencucian di sekitar TPI. Di sekitar pelabuhan jarang ditemukan tempat sampah, sehingga banyak nelayan dan pengguna jasa pelabuhan yang membuang sampah sembarangan. Keamanan dan ketertiban di PPI Cituis masih dapat dikendalikan. Namun untuk ketidaktertiban dalam melakukan kegiatan bongkar ikan masih terjadi karena nelayan melakukan bongkar ikan di pinggir kolam. Selama delapan tahun terakhir belum pernah terjadi kebakaran, karena pihak pelabuhan selalu memantau keadaan dan keselamatan di pelabuhan. Pencemaran di sekitar pelabuhan terjadi di kolam pelabuhan, TPI dan tempat pengolahan ikan asin. Di sekitar TPI, banyak pedagang dan pengguna TPI yang membuang air bekas pencucian ikan sembarangan sehingga terjadi penggenangan air di sekitar TPI. Selain itu para pengolah ikan membuang air bekas perendaman ikan di sekitar pelabuhan sehingga terjadi pencemaran air dan menimbulkan bau tidak sedap. Terjadinya beberapa peristiwa di atas, pihak pelabuhan sering melakukan peneguran dan himbauan agar selalu menjaga kebersihan, keamanan dan ketertiban, mencegah kebakaran dan pencemaran. Namun nelayan, pedagang dan pengguna jasa pelabuhan tidak menghiraukan teguran dan himbauan pihak pelabuhan. Nelayan, pedagang dan pengguna jasa pelabuhan tersebut masih membuang sampah dan limbah di kolam pelabuhan, membuang air bekas perendaman di sembarang tempat, tidak tertib dalam melakukan aktivitas pembongkaran ikan dan membuang sisa potongan ikan dan air bekas pencucian ikan di TPI.
60
6.2 Fasilitas PPI
Tingkat operasional suatu pelabuhan perikanan dipengaruhi oleh fasilitas yang ada di pelabuhan perikanan tersebut. Fasilitas tersebut digunakan untuk melaksanakan segala aktivitas di pelabuhan. Fasilitas yang dimiliki PPI Cituis terdiri dari fasilitas pokok, fungsional dan tambahan. Penjelasan dari masingmasing fasilitas di PPI Cituis adalah sebagai berikut: 1) Fasilitas Pokok Fasilitas pokok adalah fasilitas dasar yang diperlukan dalam kegiatan di suatu pelabuhan yang berfungsi untuk menjamin keamanan dan kelancaran kapal baik sewaktu berlayar keluar masuk pelabuhan maupun sewaktu berlabuh di pelabuhan. Fasilitas pokok yang dimiliki PPI Cituis antara lain dermaga, kolam pelabuhan, breakwater dan mercusuar. (a) Dermaga Dermaga adalah suatu bangunan kelautan yang berfungsi sebagai tempat labuh dan bertambatnya kapal, bongkar muat hasil tangkapan dan mengisi bahan perbekalan untuk keperluan penangkapan ikan di laut (Lubis, 2006). Dermaga di PPI Cituis dikelola oleh Dinas Perhubungan Kabupaten Tangerang. Dermaga tersebut memiliki kondisi yang sempit namun dalam keadaan baik (Gambar 8). Fasilitas pokok ini terbuat dari kayu dengan panjang 25,82 m dan lebar 7,96 m. Jarak dermaga ke TPI cukup jauh. Jauhnya jarak dermaga dengan TPI menyebabkan proses pengangkutan hasil tangkapan terganggu. Dermaga tersebut merupakan dermaga transportasi yang digunakan oleh kapal pengangkut penumpang untuk bersandar dan mengantarkan penumpangnya ke Pulau Tidung, Pulau Panggang, Pulau Pari, Pulau Pancang atau Pulau Payung. Nelayan melakukan kegiatan bongkar muat hasil tangkapan di tepi kolam pelabuhan yang dangkal dan dekat dengan TPI. Penyebab nelayan melakukan kegiatan bongkar di tepi perairan karena nelayan memilih tempat yang lebih dekat dengan TPI untuk melakukan kegiatan bongkar hasil tangkapan. Selain itu karena dermaga di PPI Cituis digunakan oleh kapal pengangkut penumpang menyebabkan jumlah kapal yang melakukan bongkar muat di dermaga rata-rata hanya 8 kapal setiap harinya.
61
Gambar 8 Dermaga pendaratan di PPI Cituis. (b) Kolam pelabuhan Kolam pelabuhan adalah daerah perairan pelabuhan untuk masuknya kapal yang akan bersandar di dermaga. Kolam pelabuhan berfungsi sebagai alur pelayaran dan sebagai kolam putar (Lubis, 2006). Kolam pelabuhan PPI Cituis yang dikelola oleh Dinas Perhubungan Kabupaten Tangerang merupakan bagian dari sungai yang memiliki luas 25.000 m2 dengan ukuran panjang 1000 m dan lebar 25 m (Gambar 9). Kedalaman kolam PPI Cituis hanya 1,25 m karena terjadi pendangkalan sehingga kapal-kapal berukuran 5-20 GT sulit bertambat dan berlabuh di kolam pelabuhan. Banyaknya jumlah kapal yang berlabuh di dermaga mengakibatkan kolam pelabuhan menjadi sempit sehingga kapal kesulitan untuk memutar (turning basin). Selain itu kapal yang melakukan bongkar harus antri sehingga ruang gerak kapal yang akan berlayar menjadi terbatas. Kondisi kolam PPI Cituis dalam keadaan kotor dan banyak sampah.
Gambar 9 Kolam PPI Cituis.
62
(c) Breawater Breakwater PPI Cituis dikelola oleh KUD Mina Samudera.
Fasilitas ini
berjumlah 3 buah dengan ukuran panjang masing-masing 500 m dan lebar 1,5 m. Breakwater ini terbuat dari tumpukan batu-batu dan berfungsi untuk melindungi daerah sekitar pantai pelabuhan dari pengaruh gelombang laut. Kondisi breakwater dalam keadaan baik (Gambar 10).
Gambar 10 Breakwater. (d) Alat bantu navigasi Alat bantu navigasi yang terdapat di PPI Cituis adalah mercusuar yang terletak di dekat ujung pantai. Mercusuar ini berukuran tinggi 12 m dan berjumlah 1 buah (Gambar 11). Mercusuar ini dikelola oleh Dinas Perhubungan Kabupaten Tangerang dan berfungsi untuk memberitahu dan membimbing kapal agar terhindar dari bahaya (seperti karang dan pendangkalan) serta memberi penerangan saat malam hari ketika kapal mendekati pelabuhan. Namun kondisi mercusuar saat ini dalam keadaan rusak dan tidak berfungsi
Gambar 11 Mercusuar PPI Cituis.
63
2) Fasilitas fungsional Fasilitas fungsional adalah fasilitas yang berfungsi meninggikan nilai guna dari fasilitas pokok sehingga dapat menunjang aktivitas di pelabuhan (Lubis, 2006). Fasilitas fungsional yang ada di PPI Cituis antara lain TPI, tempat penjemuran ikan, bengkel, instalasi air tawar, instalasi listrik, Solar Packed Dealer Nelayan, tempat pengolahan ikan dan depot es. (a) Tempat pelelangan Ikan (TPI) Gedung TPI dikelola oleh KUD Mina Samudera dengan luas bangunan 290,62 m2. Di dalam gedung TPI terdapat kantor, ruang peralatan, tempat kasir, mushola, toilet, ruang juru tulis dan ruang lelang (Gambar 12). Perbandingan antara ruang lelang dengan gedung lelang adalah 71:100. Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa kondisi TPI bersih namun kondisi di sekitarnya kotor dan terdapat genangan air. Selain itu konstruksi lantai TPI dibuat tidak miring. Meskipun demikian, faktor kebersihan di TPI selalu dijaga oleh petugas TPI. Petugas membersihkan lantai TPI 2 kali sehari, yaitu pukul 12.00 dan 17.00 setelah proses lelang selesai.
Gambar 12 Aktivitas penjualan ikan di TPI Cituis. Alat-alat yang ada di TPI PPI Cituis antara lain basket, microphone, toa, timbangan, meja tulis, alat tulis, kursi, komputer, ember, fiber, styrofoam dan box ikan. Kegiatan lelang di PPI Cituis aktif dilakukan setiap harinya. Kegiatan lelang dilaksanakan 3 kali dalam sehari, yaitu pukul 07.00 WIB, 10.00 WIB dan 13.00 WIB. Dalam proses pengembangan di PPI Cituis, gedung TPI akan dipindahkan
64
ke dekat pantai agar proses pengangkutan hasil tangkapan lebih mudah karena jaraknya lebih dekat dengan dermaga. (b) Tempat penjemuran ikan PPI Cituis memiliki areal untuk menjemur ikan dengan luas 4000 m2. Areal ini digunakan untuk menjemur ikan olahan. Tempat penjemuran ini dikelola oleh KUD Mina Samudera. Kondisi tempat penjemuran ikan digenangi air sehingga sering menimbulkan bau busuk (Gambar 13).
Gambar 13 Tempat penjemuran ikan. (c) Bengkel Bengkel yang terdapat di PPI Cituis berfungsi dan dikelola oleh perseorangan (Gambar 14). Kondisi bengkel dalam keadaan baik dan dilengkapi dengan alatalat yang cukup lengkap. Bengkel tersebut terletak di pinggir jalan utama PPI Cituis dengan luas 20 m2. Fungsi dari bengkel ini adalah untuk memperbaiki mesin kapal. Rata-rata mesin kapal yang diperbaiki adalah kapal motor berukuran <20 GT.
Gambar 14 Bengkel.
65
(d) Instalasi air tawar Instalasi air tawar di PPI Cituis berfungsi dan kondisinya dalam keadaan baik. Instalasi air ini dikelola oleh KUD Mina Samudera yang lokasinya berdekatan dengan areal penjemuran ikan. Instalasi air tesebut terdiri dari 1 tangki dengan sumber air berasal dari sumur yang memiliki kapasitas 20 liter/drum (Gambar 15). Air tawar digunakan untuk kegiatan pelelangan seperti mencuci lantai TPI dan mencuci ikan, kegiatan perbekalan, mandi dan mencuci.
Gambar 15 Instalasi air tawar. (e) Instalasi listrik Listrik yang ada di PPI Cituis bersumber dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Kapasitas daya listrik yaitu 1.300 watt. Kondisi instalasi listrik dalam keadaan baik namun terkadang di PPI Cituis terjadi pemadaman listrik. (f) Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN) Stasiun bahan bakar di PPI Cituis dikenal dengan SPDN (Solar Packed Dealer Nelayan). SPDN di PPI Cituis yang dikelola oleh KUD Mina Samudera memiliki 2 unit tangki dan 25 drum (Gambar 16). Kapasitas dari tangki adalah 8000 liter/tangki dan 220 liter/drum. Solar dipasok dari Pertamina Cilegon dengan frekuensi pengiriman kurang lebih 6 kali dalam sebulan. Dalam
setiap
pengiriman, volume solar yang dikirim sama dengan kapasitas dari tangki yaitu 16.000 liter atau dua tangki. Peralatan yang terdapat di SPDN antara lain mesin alkon (digunakan untuk menyedot solar dari tangki ke tangki), dispenser (untuk mengecor solar) dan gerobak (untuk mengangkut solar ke dermaga). Kondisi SPDN berfungsi dalam keadaan baik.
66
Fungsi dari SPDN adalah untuk menyediakan kebutuhan solar bagi nelayan yang digunakan untuk mengoperasikan kapal penangkap ikan sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) yaitu Rp 4.500,00/liter. Nelayan melakukan pembelian solar dengan cara tunai.
Gambar 16 Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN) PPI Cituis. (g) Tempat pengolahan ikan Tempat pengolahan ikan di PPI Cituis berfungsi namun kondisinya kotor (Gambar 17). Tempat ini memiliki luas 90 m2 dan dikelola oleh perseorangan. Hasil tangkapan yang kurang segar dan tidak laku terjual diolah oleh pengolah untuk dijadikan ikan olahan, yaitu ikan asin.
Gambar 17 Tempat pengolahan ikan. (h) Depot es Depot es PPI Cituis berjumlah 4 unit dan dikelola oleh perseorangan. Ratarata setiap unitnya memiliki luas 20 m2 (Gambar 18). Fungsi depot es adalah untuk menyimpan es dan memenuhi kebutuhan es nelayan untuk melaut. Kondisi
67
depot es saat ini berfungsi dalam keadaan kurang layak. Kapasitas es yang dapat ditampung depot es adalah 420 balok es. Es tersebut dipasok dari Karawang.
Gambar 18 Depot es. 3) Fasilitas penunjang a) MCK PPI Cituis memiliki MCK sebanyak 30 buah yang tersebar di sekitar TPI dan kolam pelabuhan. MCK dikelola oleh perseorangan. Kondisi MCK berfungsi dan kondisinya dalam keadaan baik dan bersih karena lantainya telah dilengkapi keramik dan dibersihkan setiap hari (Gambar 19). Fasilitas penunjang ini digunakan untuk mandi, cuci dan kakus.
Gambar 19 Kamar mandi. b) Pos keamanan Pos keamanan di PPI Cituis berjumlah 1 unit yang digunakan untuk mengawasi dan menjaga keamanan di sekitar Pelabuhan. Pos tersebut terletak di dekat lepas pantai dengan kondisi baik tetapi belum berfungsi. Tempai ini dikelola oleh KUD Mina Samudera dengan luas sebesar 3 m2 (Gambar 20).
68
Gambar 20 Pos keamanan. c) Kedai pesisir Warung di PPI Cituis dikenal dengan kedai pesisir. Kedai ini dikelola oleh KUD Mina Samudera. Warung ini terletak di samping KUD Mina Samudera dan berfungsi dengan baik. Kedai pesisir ini menyediakan kebutuhan sehari-hari nelayan dan masyarakat di sekitar pelabuhan (Gambar 21).
Gambar 21 Kedai pesisir. d) Mesjid Mesjid yang terdapat di PPI Cituis berjumlah satu buah dan berfungsi dalam keadaan baik. Mesjid ini dimanfaatkan sebagai tempat beribadah oleh pengguna jasa pelabuhan dan masyarakat di sekitar pelabuhan. Luas bangunan mesjid adalah 300 m2 dan dapat menampung ±100 orang (Gambar 22).
69
Gambar 22 Mesjid. e) Kantor Syahbandar Kantor Syahbandar PPI Cituis dikelola oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan Laut Kabupaten Tangerang. Kantor ini terletak di dekat dermaga pelabuhan dengan luas 8 m2 (Gambar 23). Kondisi kantor syahbandar tidak layak digunakan karena rusak. Saat ini telah dibangun kantor syahbandar yang baru namun belum digunakan. Tugas dan wewenang syahbandar adalah memeriksa kapal pendatang, Surat Persetujuan Berlayar, Surat Izin Usaha Penangkapan (SIUP), Surat penangkapan Ikan (SPI), Surat Penangkapan Ikan (SPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), Pass biru serta mengurus perizinan kapal penangkap ikan yang beroperasi. Namun, berdasarkan kenyataan di lapangan syahbandar PPI Cituis belum berfungsi dengan baik. Hal ini terlihat dari banyaknya kapal perikanan yang tidak memiliki Surat Izin Usaha Penangkapan (SIUP), Surat penangkapan Ikan (SPI), Surat Penangkapan Ikan (SPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI). Kapal tersebut bebas melakukan operasi penangkapan tanpa melapor kepada pihak syahbandar.
Gambar 23 Kantor Syahbandar PPI Cituis.
70
f)
Balai Pertemuan Nelayan (BPN). Balai Pertemuan nelayan (BPN) dimanfaatkan nelayan untuk pertemuan
seperti rapat dan pelatihan-pelatihan mengenai perikanan. Gedung ini terletak di dekat lepas pantai dan berdampingan dengan gedung TPI baru. Tempat ini dikelola oleh KUD Mina Samudera dengan luas 110 m2 dan dapat menampung ± 200 orang serta berfungsi dengan baik (Gambar 24).
Gambar 24 Balai Pertemuan nelayan (BPN). g) Tempat parkir Tempat parkir yang terdapat di PPI Cituis berfungsi dalam keadaan rusak. Areal ini dimanfaatkan sebagai tempat untuk menyimpan kendaraan para pengguna PPI. Areal parkir ini memiliki luas sebesar 400 m2. Tempat ini dikelola oleh KUD Mina Samudera (Gambar 25).
Gambar 25 Tempat parkir.
71
7 KAPASITAS FASILITAS
7.1 Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di PPI Cituis sejak tahun 2000 hingga sekarang dikelola oleh KUD Mina Samudera. Proses lelang, pengelolaan, fasilitas, kondisi gedung TPI dan aktivitas di dalamnya menjadi tanggung jawab pihak KUD Mina Samudera. Berdasarkan hasil pengamatan, tempat pelelangan ikan (ruang lelang) yang tersedia masih cukup untuk menampung hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Cituis. Namun demikian nelayan masih kurang memanfaatkan gedung TPI tersebut. Gedung TPI PPI Cituis memiliki luas bangunan 290,62 m2. Di dalam gedung TPI terdapat kantor, ruang peralatan, tempat kasir, ruang juru tulis, mushola, toilet dan ruang lelang. Luas ruang lelang adalah 206,64 m2 dan jumlah luas ruang kantor, ruang peralatan, tempat kasir, ruang juru tulis, mushola dan toilet adalah sebesar 83,98 m2. Ruang lelang yaitu tempat menimbang, memperagakan dan melelang ikan (Lubis, 2006). Perbandingan antara ruang lelang dengan gedung lelang (α) di PPI Cituis adalah 71:100. Nilai alpha tersebut keluar range yang telah ditentukan dari rumus karena berdasarkan hasil pengamatan ruang lelang lebih luas dari ruang kantor. Gedung TPI di luar negeri misalnya Perancis terdiri atas ruang lelang, pengepakan, penanganan dan kantor administrasi lelang sedangkan di Indonesia gedung TPI hanya terdiri atas ruang lelang dan kantor yang mengakibatkan persentase ruang lelang menjadi besar (Lubis E, 5 Juli 2010, komunikasi pribadi). Sejak dibangun, gedung TPI Cituis memiliki daya tampung produksi hasil tangkapan sebesar 10 m2/ton sehingga ruang lelang dapat menampung 20,66 ton. Dalam satu hari, kegiatan pelelangan ikan dilaksanakan sebanyak tiga kali. Jumlah produksi ikan di PPI Cituis adalah 3,31 ton per hari. Jumlah tersebut meliputi ikan yang dilelang dan yang tidak dilelang. Proporsi ikan yang dilelang adalah 45% yaitu sekitar 1,49 ton per hari dan proporsi ikan yang tidak dilelang adalah 55% yaitu sekitar 1,82 ton per harinya. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masih banyak nelayan yang belum memanfaatkan fasilitas tempat
72
pelelangan ikan. Dalam proses pengembangan PPI Cituis, gedung TPI akan dipindahkan ke dekat pantai agar proses pengangkutan hasil tangkapan lebih mudah karena jaraknya lebih dekat dengan dermaga. Saat ini gedung TPI berada 300 m dari tepi pantai dan 150 m dari dermaga sehingga memerlukan pengangkutan. Berdasarkan perhitungan pada Lampiran 10, luas gedung TPI seharusnya minimal sebesar 99,52 m2 dan luas ruang lelang minimal sebesar 15,54 m2. Luas ruang lelang berdasarkan standar kriteria produksi dan fasilitas pelabuhan perikanan untuk pelabuhan tipe D adalah 150 m2 (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang, 2004c vide Indrianto, 2006). Berdasarkan antara kebutuhan dan kapasitas maka dapat disimpulkan bahwa luas gedung TPI masih mencukupi dan tidak perlu penambahan luas. Luasnya TPI bergantung pada banyaknya jumlah kapal yang membongkar hasil tangkapan. Pihak pelabuhan perlu memaksimalkan pemanfaatan ruang lelang karena sampai saat ini luas ruang lelang yang tersedia tidak semuanya digunakan untuk pelelangan melainkan hanya digunakan oleh pedagang untuk meletakkan ikan jualannya. Harapan yang akan datang agar semua ikan yang didaratkan di PPI Cituis dapat dilelang di TPI. Hasil tangkapan yang diperoleh oleh nelayan dibawa ke TPI untuk dilelang. Hasil tangkapan tersebut sebelumnya telah disortir di atas kapal. Kemudian dibawa menggunakan keranjang atau basket berkapasitas 40 kg. Setelah basket ikan sampai di TPI, ikan dituang dan ditumpuk di atas lantai. Tingkat kesegaran ikan di TPI Cituis ditentukan dengan menggunakan uji organoleptik (Lampiran 3) yaitu dengan mengamati bagian tubuh ikan seperti mata, insang, daging dan perut serta konsistensi. Hasil pengujian menunjukkan bahwa tingkat kesegaran hasil tangkapan di PPI Cituis adalah segar dengan kriteria mata (cerah, bola mata rata dan kornea jernih); insang (warna merah kurang cemerlang dan tanpa lendir); daging dan perut (sayatan daging sangat cemerlang, berwarna asli, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, perut utuh, ginjal merah terang, dinding perutnya utuh dan bau isi perut netral) dan konsistensi (agak lunak, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang). Penyebab hasil tangkapan segar karena rata-rata nelayan PPI Cituis melakukan operasi penangkapan harian.
73
7.2 Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN)
SPDN PPI Cituis memiliki 2 unit tangki dengan kapasitas 8000 liter/tangki dan 25 drum dengan kapasitas 220 liter/drum. Solar yang terdapat di SPDN PPI Cituis dipasok dari Pertamina Cilegon dengan frekuensi pengiriman kurang lebih 6 kali dalam sebulan. Volume solar minimum yang dikirim dalam setiap pengiriman adalah sama dengan kapasitas dari tangki yaitu 16.000 liter atau dua tangki. Dalam satu bulan, SPDN menyediakan 96.000 liter/bulan. Harga solar di PPI Cituis adalah Rp 4.500/liter. SPDN ini dimanfaatkan oleh semua jenis kapal yang terdapat di PPI Cituis. Namun karena kapasitasnya terbatas sebagian besar (76,10%) dari total kebutuhan nelayan peroleh di tempat lain atau bakul. Jenis kapal yang memanfaatkan SPDN antara lain gardan (mingguan), gardan (harian), payang, pancing ulur (mingguan), pancing ulur (harian), jaring rampus, bubu, rawai, sero, purse seine dan alat tangkap lain. Ukuran masing-masing kapal adalah untuk gardan 5-20 GT, payang 3 GT, pancing ulur 2-3 GT, jaring rampus 2 GT, bubu 3-5 GT, rawai 3 GT (PMT), sero 1-2 GT (PMT), purse seine 5-15 GT dan alat tangkap lain 1-2 GT (PMT). Namun alat tangkap payang, pancing ulur dan rampus juga ada yang menggunakan perahu motor tempel (PMT). Kapal-kapal yang memanfaatkan SPDN adalah kapal-kapal yang terdaftar dan yang tidak terdaftar di KUD Mina Samudera. Tingkat pemanfaatan tangki BBM terus meningkat. Pemanfaatan tersebut dipengaruhi oleh jumlah kebutuhan dalam operasi penangkapan ikan (Bambang dan Suherman, 2005). Semakin bertambah jumlah kapal dan semakin jauh daerah penangkapan ikan, maka semakin bertambah kebutuhan bahan bakar solar. Dalam satu bulan, semua unit penangkapan ikan di PPI Cituis membutuhkan solar sebanyak 401.692,1 liter (Lampiran 10) sedangkan SPDN menyediakan 96.000 liter/bulan. Melihat keadaan tersebut dapat disimpulkan bahwa SPDN Cituis hanya dapat menyediakan sebesar 23,90% dari total kebutuhan nelayan sedangkan 76,10% atau 305.692,1 liter diperoleh dari tempat lain atau bakul. Berdasarkan perhitungan, pihak pelabuhan perlu menambah kapasitas SPBN minimal sebesar 305.692,1 liter untuk memenuhi semua kebutuhan solar unit penangkapan ikan yang ada di PPI Cituis dan semua nelayan dapat membeli solar di SPDN. Nelayan
74
di PPI Cituis tidak semuanya membeli solar di SPDN karena kekurangan modal untuk membelinya. Sistem pembayaran yang diberlakukan di SPDN adalah tunai sehingga nelayan sering membeli solar di bakul dengan cara berhutang. Hutang tersebut dibayar setelah nelayan memperoleh pendapatan dari hasil penjualan hasil tangkapan. 7.3 Dermaga
Dermaga di PPI Cituis terbuat dari kayu dengan panjang 25,82 m dan lebar 7,96 m. Dermaga tersebut merupakan dermaga transportasi yang digunakan oleh kapal pengangkut penumpang untuk bersandar dan mengantarkan penumpangnya ke pulau-pulau sehingga rata-rata nelayan melakukan kegiatan bongkar muat hasil tangkapan di tepi kolam pelabuhan yang dangkal dan dekat dengan daratan. Setiap harinya kapal yang melakukan bongkar muat di dermaga rata-rata hanya 8 kapal. Waktu rata-rata yang dibutuhkan kapal selama melakukan bongkar muat di dermaga adalah 3 jam. Kapal-kapal yang berlabuh di PPI Cituis terdiri dari perahu motor tempel dan kapal motor. Ukuran kapal motor berkisar antara 1-20 GT. Panjang kapal terbesar adalah 17 m dan berat kapal terbesar adalah 20 ton. Jarak antar kapal di kolam pelabuhan adalah 25 cm. Lama fishing trip rata-rata kapal perikanan di PPI Cituis adalah 71 jam. Aktivitas penangkapan ikan di PPI Cituis setiap harinya dapat memproduksi 3,31 ton ikan. Melihat kondisi dermaga PPI Cituis, panjang dermaga yang tersedia sekarang belum memenuhi standar panjang dermaga yang dibutuhkan oleh kapal-kapal yang berlabuh dan bertambat di PPI Cituis. Merujuk pada kriteria teknis klasifikasi pelabuhan perikanan menurut DKP (2006) bahwa panjang dermaga bongkar pelabuhan perikanan tipe D sekurang-kurangnya adalah 50 m. Berdasarkan hal tersebut, panjang dermaga PPI Cituis saat ini belum memenuhi standar kriteria. Berdasarkan perhitungan (Lampiran 10) perlu adanya penambahan panjang dermaga sebesar 344,12 m atau menjadikan panjang dermaga sebesar 369,94 m dan pemisahan antara dermaga untuk kapal perikanan dengan dermaga transportasi. Hal ini dilakukan agar proses bongkar muat kapal perikanan dapat berjalan dengan baik.
75
Menurut Kramadibrata (2002), efektivitas operasional pelabuhan banyak tergantung dari cara penentuan bongkar muat barang, yaitu penanganan muatan (cargo handling) dan penyalurannya. Secara umum dapat dikatakan bahwa ukuran dermaga didasarkan pada perkiraan jenis kapal yang akan berlabuh pada pelabuhan tersebut. Sesuai dengan bentuk-bentuk tambatan/dermaga yang akan dibangun, maka perancangan dimensi dermaga tersebut harus didasarkan pada ukuran-ukuran minimal untuk menjaga agar kapal dapat dengan mudah dan aman bertambat/meninggalkan dermaga setelah melakukan bongkar muat angkutannya. Taraf dermaga ditetapkan antara (0,5-150) m di atas MHWS sesuai dengan besar ukuran kapal (Kramadibrata, 2002). Pembongkaran hasil tangkapan masih menggunakan tenaga manusia. Benturan kapal dengan dermaga akibat adanya gelombang dicegah dengan membuat fender dari batang kelapa dan ban bekas yang bersifat sementara (Bambang dan Suherman, 2005). Di PPI Cituis tidak terdapat fender yang digunakan untuk melindungi kapal dari kerusakan akibat benturan dengan dermaga saat bertambat. Pemanfaatan dermaga bongkar telah melebihi kapasitas yang ada. Tingkat pemanfaatan dermaga bongkar ini setiap tahun meningkat. Peningkatan ini disebabkan meningkatnya jumlah kapal yang melakukan bongkar. Hal lain yang berpengaruh pada peningkatan pemanfaatan dermaga adalah bertambahnya waktu bongkar (rata-rata setiap kapal memerlukan waktu bongkar 3 jam). Di PPI Cituis tidak ada ketentuan pelaksanaan pembongkaran hasil tangkapan harus mendahulukan hasil tangkapan udang. Sistem pendaratan ikan di PPI Cituis adalah dengan metode antrian dimana kapal yang datang pertama dapat melakukan proses pendaratan ikan. Tidak seperti halnya di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap dimana pelaksanaan bongkar dilakukan bergantian. Kapal dengan tangkapan utama udang mendapat giliran lebih dahulu karena pembongkaran hasil tangkapan relatif singkat dan udang dilelang terlebih dahulu. Setelah itu baru kapal-kapal yang memiliki hasil tangkapan utama berupa ikan untuk dibongkar (Bambang dan Suherman, 2005). Hasil wawancara dengan responden menunjukkan bahwa dalam sehari proses pendaratan hasil tangkapan sebesar 9,52% atau 8 unit kapal dilakukan di dermaga dan sebesar 90,48% atau 76 unit kapal dilakukan di pinggiran kolam pelabuhan. Telah dijelaskan sebelumnya
76
bahwa terganggunya kegiatan pendaratan ikan ini disebabkan banyaknya jumlah kapal yang berlabuh dan bertambat tidak sebanding dengan panjangnya dermaga bongkar muat. Selain itu, dermaga di PPI Cituis digunakan sebagai tempat bersandarnya kapal penumpang yang akan pergi ke Pulau. 7.4 Kolam PPI 7.4.1 Kedalaman kolam PPI
Kolam pelabuhan merupakan bagian dari sungai yang memiliki luas 25.000 2
m dengan rincian ukuran panjang 1000 m dan lebar 25 m. Kedalaman kolam PPI Cituis hanya 1,25 m dan sering terjadi pendangkalan sehingga kapal-kapal berukuran 5-20 GT sulit bertambat dan berlabuh di kolam pelabuhan. Kapal-kapal tersebut memasuki areal kolam pelabuhan dengan cara menunggu pasang di kolam pelabuhan. Kapal-kapal tersebut memasuki areal pelabuhan dengan cara didorong oleh tenaga manusia dengan menggunakan bambu. Bambu tersebut menyentuh dasar perairan, kemudian diletakkan di belakang kapal lalu didorong ke arah depan dengan posisi kapal ke arah depan (Gambar 26). Kapal tersebut didorong mulai jarak 50 meter dari muara sungai. Ukuran kapal yang bertambat dan berlabuh di kolam pelabuhan terdiri atas perahu motor tempel dan kapal motor. Tinggi gelombang maksimum di kolam pelabuhan adalah 20 cm sehingga tinggi ayunan kapal yang melaju sebesar 10 cm. Tingginya air di kolam pelabuhan mempengaruhi draft kapal dan jarak aman lunas kapal ke dasar perairan. Draft kapal terbesar di PPI Cituis adalah sebesar 150 cm dan jarak aman dari lunas kapal ke dasar perairan adalah 25 cm.
Gambar 26 Cara kapal memasuki kolam pelabuhan ketika air surut.
77
Berdasarkan keadaan luas dan ukuran kedalaman kolam pelabuhan saat ini, kolam pelabuhan di PPI Cituis belum memenuhi standar luas dan kedalaman kolam seharusnya. Kedalaman kolam pelabuhan masih terlalu dangkal, sehingga perlu menambah kedalaman sebesar 70 cm atau menjadikan kedalaman kolam sedalam 195 cm (Lampiran 10). Hal ini dilakukan agar kapal-kapal besar (5-20 GT) tidak kesulitan untuk bertambat dan berlabuh. Kedalaman kolam PPI Cituis belum memenuhi kriteria teknis klasifikasi pelabuhan perikanan menurut DKP (2006) bahwa kedalaman kolam pelabuhan tipe D sekurang-kurangnya adalah 2 m. Pihak KUD Mina Samudera akan melakukan pengerukan terhadap kolam dengan menggunakan kapal pengeruk. Pengerukan dikenal dalam teknik pembangunan pelabuhan sebagai sarana penunjang suatu proses pelaksanaan penggalian dan penimbunan dan penimbunan tanah (excavating and dumping, cut and fill) baik di dalam air/laut maupun di darat. Pengerukan digunakan pula untuk memelihara kedalaman suatu kolam/alur pelayaran atau alur sungai (maintenance dredging), dikarenakan adanya proses pergerakan dan pengendapan lumpur (sedimen transport) (Kramadibrata, 2002). Melihat banyaknya jumlah kapal di PPI Cituis maka PPI Cituis dapat dikatakan cukup ramai, sehingga mendukung perlunya dilakukan pengembangan pelabuhan. Pada umumnya kedalaman dasar kolam pelabuhan ditetapkan berdasarkan sarat maksimum (max draft) kapal yang bertambat ditambah dengan jarak aman (clearance) sebesar (0,8-1,0) m di bawah lunas kapal. Jarak aman ini ditentukan berdasarkan ketentuan operasional pelabuhan (penambatan kapal dengan/tanpa kapal tunda) dan konstruksi dermaga (Kramadibrata, 2002). Namun kenyataan di PPI Cituis, jarak aman dari bawah lunas kapal hingga ke dasar kolam hanya 25 cm sehingga belum memenuhi kriteria jarak standar yang aman. 7.4.2 Luas kolam pelabuhan
Kolam pelabuhan di PPI Cituis merupakan bagian dari sungai yang memiliki luas 25.000 m2 dengan rincian ukuran panjang 1000 m dan lebar 25 m. Kolam pelabuhan berfungsi sebagai alur pelayaran dan sebagai kolam putar (Lubis, 2006). Ukuran panjang dan lebar kapal terbesar di PPI Cituis adalah 17 m dan 4 m sehingga luas daerah yang dibutuhkan untuk kapal terbesar memutar adalah 907,46 m2. Pada kolam pelabuhan, jumlah kapal maksimum yang berlabuh adalah
78
350 kapal. Berdasarkan kriteria teknis klasifikasi pelabuhan perikanan menurut DKP (2006) bahwa kapasitas tampung kolam pelabuhan tipe D sekaligus adalah 20 unit kapal. Dengan kondisi tersebut, PPI Cituis telah melampaui kapasitas tampung kolam pelabuhan yang menjadikan keadaan kolam pelabuhan menjadi sempit dan kapal kesulitan untuk memutar (turning basin). Selain itu terjadi pengantrian kegiatan bongkar sehingga ruang gerak kapal yang akan berlayar menjadi terbatas. Luas kolam di PPI Cituis sekitar 25.000 m2. Dengan luas tersebut, kapal-kapal yang berada di PPI Cituis kesulitan untuk memutar, mendaratkan hasil tangkapannya dan keluar untuk melaut sehingga perlu penambahan luas kolam pelabuhan sebesar 47.307,46 m2 atau menjadikan luas kolam pelabuhan menjadi 72.307, 46 m2 (Lampiran 10). Hal ini tidak sesuai dengan standar kriteria produksi dan fasilitas pelabuhan perikanan berdasarkan tipe pelabuhan tipe D, yaitu sebesar <5000 m2 (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang, 2004c vide Indrianto, 2006). Pemanfaatan kolam pelabuhan dipengaruhi oleh banyaknya jumlah kapal yang masuk, jumlah produksi dan jumlah alat tangkap yang cenderung menurun (Bambang dan Suherman, 2005). Semakin meningkatnya jumlah kapal yang masuk ke PPI Cituis maka jumlah produksi ikan yang didaratkan akan semakin meningkat. Namun sebaliknya, semakin menurunnya jumlah kapal dan alat tangkap, maka jumlah produksi yang didaratkan di PPI Cituis cenderung menurun. Berdasarkan pengamatan dan perhitungan terhadap sebagian fasilitas di PPI Cituis dapat disajikan ukuran fasilitas yang tersedia dan ukuran yang seharusnya (Tabel 12). Tabel 12 Ukuran fasilitas-fasilitas di PPI Cituis No. 1 2 3 4 5
Fasilitas Luas ruang pelelangan SPDN liter/bulan Panjang demaga Kedalaman kolam pelabuhan Luas kolam pelabuhan
Tersedia 206,64 m2 96.000 25,82 m 125 cm 25.000 m2
Ukuran Seharusnya 15,54 m2 401.692,1 369,94 m 195 cm 72.307,46 m2
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa perlunya penambahan kapasitas terhadap beberapa fasilitas yang diteliti. Hal tersebut juga didukung oleh pihak
79
pelabuhan yang menyatakan bahwa semakin banyaknya kapal yang berlabuh dan bertambat di PPI Cituis, semakin besarnya ukuran kapal penangkap ikan dan semakin jauhnya daerah operasi penangkapan maka berdasarkan kriteria dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, PPI Cituis memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi pelabuhan tipe B. Perluasan lahan pun akan dilakukan agar PPI Cituis dapat dikembangkan secara optimal.
80
8 KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan
1) Rata-rata nilai LQ periode tahun 2002-2007 adalah 1,27. Hal ini menunjukkan nilai LQ > 1 yang berarti bahwa sektor perikanan di Kabupaten Tangerang dan Provinsi Banten merupakan sektor basis. Walaupun demikian berdasarkan Perpres No. 19 Tahun 2006 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2007, pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Tangerang belum dikatakan berhasil. Penyebab belum berhasilnya pengembangan tersebut antara lain: 1) masih
lemahnya
sistem
pengelolaan
usaha
perikanan
tangkap
dan
pengusahaan teknologi tepat guna; 2) kenaikan dan kelangkaan BBM yang semakin membebani nelayan untuk melaut; 3) kerusakan ekosistem perairan sebagai dampak dari eksploitasi berlebih dan bencana alam; 4) rendahnya penggunaan teknologi dan kemampuan penanganan serta pengolahan perikanan dan 5) keterbatasan infrastruktur perikanan, permodalan, lemahnya koordinasi dan kelembagaan perikanan. Pengembangan perikanan tangkap PPI Cituis masih belum dikatakan berkembang karena: 1) masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) pengelola dan para pelaku di PPI; 2) masih belum sadarnya para pelaku (nelayan, pedagang, pengolah) dalam memanfaatkan PPI Cituis dengan sebaik-baiknya sebagai tempat pendaratan, pemasaran maupun dalam pembinaan mutu hasil tangkapannya; 3) masih belum tersedianya berbagai fasilitas yang memang diperlukan oleh nelayan atau pedagang di PPI Cituis atau juga rusaknya beberapa fasilitas di PPI Cituis tanpa adanya perbaikan dalam jangka waktu yang lama; 4) belum tersedianya prasarana dan sarana transportasi yang baik yang dapat menjamin mutu ikan sampai ke daerah konsumen dan 5) masih banyaknya para nelayan yang terikat dengan para tengkulak/agen. 2) Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pada pasal 41A ayat 2, bahwa PPI Cituis telah melaksanakan aktivitas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan lingkungan antara lain pelayanan administrasi tambat dan labuh kapal perikanan;
81
pelayanan bongkar muat; pelaksanaan pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan; pemasaran dan distribusi ikan; pengumpulan data hasil tangkapan dan hasil perikanan lainnya; pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan; pelaksanaan kegiatan operasional kapal perikanan; pelaksanaan kesyahbandaran dan pengendalian lingkungan (kebersihan, keamanan dan ketertiban, kebakaran dan pencemaran). Aktivitas yang belum dilaksanakan di PPI Cituis antara lain pengawasan dan pengendalian sumberdaya perikanan; fungsi karantina ikan; publikasi hasil riset kelautan dan perikanan serta pemantauan wilayah pesisir dan wisata bahari. 3) Keseluruhan fasilitas yang ada di PPI Cituis terdapat beberapa diantaranya yang telah melampaui kapasitasnya yaitu SPDN, dermaga dan kolam pelabuhan. Perlu penambahan kapasitas SPDN sebanyak 305.692,1 liter, penambahan panjang dermaga sepanjang 344,12 m, penambahan luas kolam pelabuhan sebesar 47.307,46 m2 dan pengerukan kolam pelabuhan sedalam 70 cm. 8.2 Saran
1) Memaksimalkan potensi perikanan di Kabupaten Tangerang dan PPI Cituis. 2) Meningkatkan
fungsi
pelabuhan
terhadap
aktivitas
pengawasan
dan
pengendalian sumberdaya perikanan; fungsi karantina ikan; publikasi hasil riset kelautan dan perikanan serta pemantauan wilayah pesisir dan wisata bahari. 3) Meningkatkan kapasitas beberapa fasilitas di PPI Cituis yaitu SPDN, dermaga dan kolam pelabuhan untuk mendukung operasional pelabuhan. 4) Diperlukan juga pengoptimalan pemasaran ikan melalui pelelangan ikan terhadap seluruh hasil tangkapan yang didaratkan.
82
DAFTAR PUSTAKA Abidin Z. 2000. Studi tentang Selektivitas Jaring Rapus terhadap Ikan Kembung (Rastrelliger spp) di Teluk Jakarta [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Amalo P. 2008. Analisis Efisiensi Sistem Pemasaran Ikan Di Kawasan Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Baru-Jakarta. http://elibrary.mb.ipb.ac.id/gdl.php? mod=browse&op=read&id=mbipb-12312421421421412-pieteramal-541. [10 Juni 2009] Ayodhyoa A U. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Bogor: Yayasan Dewi Sri. Azhar Syahrifah L F dan Abdussamad. 2002. Analisis Sektor Basis dan Non Basis di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak(7). [15 Juni 2010] [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. 2003. PDRB Provinsi Banten, Kabupaten/Kota Se-Banten dan Provinsi Se-Jawa 2001-2002. Banten: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. 2004. PDRB Provinsi Banten, Kabupaten/Kota Se-Banten dan Provinsi Se-Jawa 2002-2003. Banten: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. 2005. PDRB Provinsi Banten, Kabupaten/Kota Se-Banten dan Provinsi Se-Jawa 2003-2004. Banten: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. 2006. PDRB Provinsi Banten, Kabupaten/Kota Se-Banten dan Provinsi Se-Jawa 2004-2005. Banten: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. 2007. PDRB Provinsi Banten, Kabupaten/Kota Se-Banten dan Provinsi Se-Jawa 2005-2006. Banten: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. 2008. PDRB Provinsi Banten, Kabupaten/Kota Se-Banten dan Provinsi Se-Jawa 2006-2007. Banten: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Tangerang. 2010. Tangerang dalam Statistik Tahun 2009. Kabupaten Tangerang: BPS. Bambang dan Suherman. 2005. Tingkat Pemanfaatan Fasilitas Kepelabuhanan di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap (PPSC). Buletin PSP. No. XIV: 2. Choppin I. 1993. Infofish International. Kualalumpur: FAO. [Dephub] Departemen Perhubungan. 2010. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: KM 01 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Persetujuan Berlayar (Port Clearance). Jakarta: Dephub. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan. Jakarta: DKP.
83
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2004. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.12/MEN/2004 tentang Peningkatan Status Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) menjadi Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) pada Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung. Jakarta: DKP. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.16/MEN/2006 tentang Pelabuhan Perikanan. Jakarta: DKP. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Permen DKP No: PER.05/MEN/2008. Jakarta: DKP. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pada pasal 41A ayat 2. Jakarta: DKP. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang. 2004c. Laporan Tahunan. Subang: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang. 2004. Data Existing Pelabuhan Perikanan Cituis, Desa Surya Bahari, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Kabupaten Tangerang: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang. 2007. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Tahun Anggaran 2006. Kabupaten Tangerang: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang. 2008. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Tahun Anggaran 2007. Kabupaten Tangerang: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang. 2009. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Tahun Anggaran 2008. Kabupaten Tangerang: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang. 2010. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Tahun Anggaran 2009. Kabupaten Tangerang: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang. Direktorat Jenderal Perikanan. 1981. Standar Rencana Induk dan Pokok-Pokok Desain untuk Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan. 1984. Pokok-Pokok Kebijaksanaan Penyediaan Prasarana Perikanan dalam Menunjang Perikanan (Khusus dalam Kaitan dengan Masalah Pengembangan PPI). Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan.
84
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2008. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2007. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Gunarso W. 1988. Tingkah Laku Ikan dalam Merancang Alat Penangkapan Ikan. Semarang: Balai Pengembangan Penangkapan Ikan. Hanafiah AM dan AM Saefudin. 1986. Tata Niaga Hasil Perikanan. Jakarta: UI Press. Harto B. 1995. Studi Kemungkinan Pengembangan Pangkalan Pendaratan Ikan Lempasing, Teluk Batang, Bandar Lampung [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Indrianto J. 2006. Pengelolaan Aktivitas dan Pengembangan Pelabuhan Perikanan Pantai Muara Ciasem, Kabupaten Subang Ditinjau dari Aspek Fasilitas dan Kualitas Pemasaran Hasil Tangkapan [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Irfandy S. 1999. Pemilihan Kapasitas Optimum Mesin Industri Menengah Pengolahan CPO (Crude Palm oil) Menjadi RBDPD (Refined Blenched Deodorized Palm Oil) Produksi CV. Wira Agro Utama [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Khair MPBR. 2007. Prefensi Hasil Tangkapan Dogol di Desa Karangreja, Kecamatan Suranenggala, Kabupaten Cirebon [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Kompas. 2008. Tangerang Utara Jadi Kawasan Industri Perikanan. http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/11/18535072/Tangerang.Utara.Jad i.Kawasan.Industri.Perikanan. [ 10 Juni 2009] Kotler P. 1992. Manajemen Pemasaran, Jilid 2 Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbitan Universitas Indonesia. Kramadibrata S. 2002. Perencanaan Pelabuhan. Bandung: Penerbit ITB. Kurniawan R. 2009. Pemanfaatan dan Pengelolaan Air Bersih di Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus Sumatera Barat [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Kusdiantoro. 2001. Studi Pemanfaatan dan Tata Letak Fasilitas PPN Kejawanan [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Lubis E. 1999. Pola Pengembangan Pelabuhan Perikanan di Wilayah Perairan Selat Malaka dan Laut Cina Selatan yang Efektif dan Efisien. Hasil Penelitian RUT IV (1996-1999). Jakarta: DRN. Lubis E. 2000. Bahan Kuliah m.a. Pelabuhan Perikanan. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
85
Lubis E. 23 Januari 2000. Pelabuhan Ikan Belum Tersentuh Peradaban Modern. Harian Republika. Lubis E. 2000. Pengelolaan Aktivitas dan Sistem PP/PPI yang Terletak di Wilayah Perairan Laut Jawa. Makalah pada seminar ”Managament of Fishery Activities and Fising Port Systems” kampus FPIK-IPB Darmaga. Bogor: 10 hal. Lubis E. 2003. Konsep-Konsep Pengembangan Sektor Perikanan dan Kelautan di Indonesia. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Lubis E. 2004. Bahan Kuliah m.a. Pelabuhan Perikanan. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Lubis E. 2006. Buku I Pengantar Pelabuhan Perikanan. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Mahyuddin B. 2007. Pola Pengembangan Pelabuhan Perikanan dengan Konsep Triptyque Portuaire: Kasus Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu [Disertasi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Manurung DN. 2006. Produktivitas Unit Penangkapan Ikan dan Komoditas Unggulan Perikanan Laut yang Berbasis di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Nilawati. 1996. Studi Pengoperasian dan Produksi Ikan di Pelabuhan Perikanan Pantai Banjarmasin [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Nomura M and T Yamazaki. 1977. Fishing Techniques I. Tokyo: Japan International Agency. Olsen S. 1982a. Development of Passive Fishing gear. Wegment6th. Madrid: Fishing Vessel Notes. Pane AB. 2003. Bahan Kuliah m.a. Pelabuhan Perikanan. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pane AB. 2008. Bahan Kuliah m.a. Pelabuhan Perikanan. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Peraturan Presiden. 2006. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2006 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2007. Jakarta.
86
Pertamina. 2005. PT. Pertamina (Persero), Indonesia-Coorporate Website Info Aktual Harga BBM. http://www. PERTAMINA.com html. [12 April 2010] Priyaza H. 2008. Kajian Aktivitas dan Kapasitas Fasilitas Fungsional di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Kronjo, Tangerang [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Kabupaten Tangerang. 2010. Peta Provinsi Banten. Surabaya: Harsena Surabaya. Rustiadi E, Sunsun S dan Dyah RP. 2005. Diktat Kuliah Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Bogor: Fakultas Pertanian IPB. Sukarsa DR. 2007. Diktat Kuliah Penanganan Hasil Perikanan. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Sulistiyanti. 2010. Location Quotient (LQ). http://www.scribd.com/doc/25188658 /Location-Quotient. [3 Juli 2010] Sumiati. 2008. Kajian Fasilitas dan Produksi Hasil Tangkapan dalam Menunjang Industri Pengolahan Ikan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu Sukabumi Jawa Barat [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Wijaya, A. 1996. Kasus DKI Jakarta. Jurnal Ekonomi Pembangunan Pilihan Pembangunan Industri. No. IV: 2. Zamil NN. 2007. Sebaran Hasil Tangkapan Jaring Rampus Berdasarkan Ketinggian dan Lembar Jaring [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
87
LAMPIRAN
Lampiran 1 Peta lokasi penelitian Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Cituis Tangerang
88
Sumber: Harsena Surabaya, 2010
89 Lampiran 2 Lay out Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Cituis Tangerang, 2003
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang, 2004
90
Lampiran 3 Tabel spesifikasi dan hasil pengujian organoleptik ikan di PPI Cituis, 2009 Spesifikasi 1. MATA Cerah, bola mata menonjol, kornea jernih Cerah, bola mata rata, kornea jernih Agak cerah, bola mata rata, pupil agak keabu-abuan, kornea agak keruh Bola mata agak cekung, pupil berubah agak keabu-abuan, kornea agak keruh Bola mata agak cekung, pupil keabu-abuan, kornea agak keruh Bola mata cekung, pupil mulai berubah menjadi putih susu, kornea keruh Bola mata cekung, pupil putih susu, kornea keruh Bola mata tenggelam, ditutupi lendir kuning yang tebal 2. INSANG Warna merah cemerlang, tanpa lendir Warna merah kurang cemerlang, tanpa lendir Warna merah agak kusam, tanpa lendir Merah agak kusam, sedikit lendir Mulai ada diskolorasi merah muda, merah coklat, sedikit lendir Mulai ada diskolorasi, sedikit lendir Warna merah coklat, lendir tebal Warna merah cokelat atau kelabu, lendir tebal Warna putih kelabu, lendir tebal sekali 3. DAGING DAN PERUT Sayatan daging sangat cemerlang, berwarna asli, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, perut utuh, ginjal merah terang, dinding perut dagingnya utuh, bau isi perut segar Sayatan daging sangat cemerlang, berwarna asli, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, perut utuh, ginjal merah terang, dinding perutnya utuh, bau isi perut netral Sayatan daging cemerlang, berwarna asli, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, perut agak lembek, ginjal mulai merah pudar, dinding perutnya utuh, bau netral Sayatan daging masih cemerlang, di dua perut agak lembek, agak kemerahan pada tulang belakang, perut agak lembek, sedikit bau susu Sayatan daging mulai pudar, di dua perut lembek, banyak pemerahan pada tulang belakang, rusuk mulai lembek, bau perut sedikit asam Sayatan daging tidak cemerlang, di dua perut lunak, pemerahan sepanjang tulang belakang, rusuk mulai lembek, bau perut sedikit asam Sayatan daging kusam, warna merah jelas sekali pada sepanjang tulang belakang, dinding perut lunak sekali, bau asam amoniak Sayatan daging kusam sekali, warna merah jelas pada sepanjang tulang belakang, dinding perut membubar, bau busuk 4. KONSISTENSI Padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang
Nilai 9 8 7 6 5 4 3 1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 9
8
7
6 5 4 2 1
9
91
Lampiran 3 (lanjutan) belakang Agak padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang, kadang-kadang agak lunak sesuai dengan jenisnya Agak lunak, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang Agak lunak, kurang elastis bila ditekan dengan jari, agak mudah menyobek daging dari tulang belakang Agak lunak, belum ada bekas jari bila ditekan, mudah menyobek daging dari tulang belakang Lunak, bekas jari terlihat bila ditekan tetapi cepat hilang, mudah menyobek daging dari tulang belakang Lunak, bekas jari terlihat lama bila ditekan dan mudah menyobek daging dari tulang belakang Lunak, bekas jari terlihat lama bila ditekan, mudah sekali menyobek daging dari tulang belakang Sangat lunak, bekas jari tidak mau hilang bila ditekan, mudah sekali menyobek daging dari tulang belakang
8 7 6 5 4 3 2 1
Sumber: Sukarsa, 2007
Keterangan: Tulisan yang dicetak tebal merupakan tanda-tanda organoleptik ikan-ikan yang diteliti.
Lampiran 4 Produksi ikan yang didaratkan di PPI Cituis, 2001-2008 No.
Alu-alu Ayam-ayam Balak Biji nangka Betetan Cumi-cumi Corak Demang Kakap merah Kerapu Kurisi Kuwe Layur Pepetek Pari Sebelah Selar Tengkek Teri Tiga waja
2001 4.615 3.873 6.763 79.833 43.965 5.109 13.399 11.625 705 8.057 40.897 21.599 3.358 16.787 29.378 14.890 10.675 6.094 19.032 35.147
2002 4.617 4.278 6.939 87.294 47.120 5.810 11.810 11.368 720 8.788 44.081 21.069 3.353 18.449 31.340 12.860 10.265 5.972 20.166 45.474
2003 5.173 4.604 7.562 88.938 47.455 6.233 12.075 12.340 960 9.818 42.857 22.319 3.479 19.645 31.679 13.813 11.748 6.683 20.947 49.399
Produksi (kg) 2004 2005 8.236 5.367 1.939 1.092 14.340 11.160 91.629 92.383 52.176 45.716 14.023 11.286 12.790 11.151 19.449 17.934 2.726 1.745 15.687 14.026 59.111 56.433 17.650 15.502 3.568 2.517 20.180 19.383 26.441 25.903 21.453 18.243 12.214 10.417 11.694 8.930 20.078 19.989 58.371 55.035
2006 3.171
2007 896
2008
10.406 85.843 51.885 9.154 10.781 17.167 667 6.916 83.280 9.040 1.802 20.285 30.543 14.429 7.741 6.312 15.154 98.724
21.841 100.436 85.726 16.994 22.667 20.966
24.486 111.069 129.676 21.946 25.265 44.034
7.209 75.664 13.279 1.384 31.263 39.278 17.806 1.718 6.143 6.802 86.956
95.399 20.226 1.283 32.327 49.578 23.576 2.943 5.735 118.786
92
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Jenis Ikan
Lampiran 4 (lanjutan) No. 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Jenis Ikan Kembung Utik Kuro Kuniran Gerit Japuh Lape Gurita Kapasan Berasan Blida Kerong 2 Bilis Jumlah
2001 8.639 18.745 3.523 6.779 5.162 5.398 807 4.460 5.906
435.220
2002 17.128 18.987 2.425 5.657 4.271 4.709 600 3.751 5.390
464.691
2003 10.840 19.969 2.664 6.740 4.507 5.405 664 4.398 5.780
478.694
Produksi (kg) 2004 2005 17.925 15.854 12.681 10.801 3.865 2.143 8.744 9.201 4.035 4.163 4.752 3.567 878 976 4.568 3.827 3.635 4.088
544.838
498.832
2006 18.517 6.294 1.708 8.861 1.006 4.654
2007 19.147 8.853 6.516 7.875 1.696
2008 32.311 3.369 11.194
6.440 4.443 8.116
1.270
1.638
24.048 725 1.307
1.449 1.754
628.465
758.044
2.354 545.693
Sumber: TPI PPI Cituis, 2009 (data diolah kembali)
93
Lampiran 5 Harga rata-rata ikan di PPI Cituis, 2001-2008
No.
Alu-alu Ayam-ayam Balak Biji nangka Betetan Cumi-cumi Corak Demang Kakap merah Kerapu Kurisi Kuwe Layur Pepetek Pari Sebelah Selar Tengkek Teri Tiga waja Kembung
2001 3.591 5.000 2.033 1.150 1.058 15.333 5.342 1.425 15.625 6.308 2.625 6.483 3.575 1.000 2.742 4.783 3.933 2.583 2.200 1.842 5.200
2002 3.836 5.233 2.258 1.392 1.250 15.833 5.592 1.692 16.125 6.542 2.900 6.767 3.825 1.042 3.000 5.025 4.200 2.833 2.450 2.117 5.442
2003 4.136 5.433 2.483 1.625 1.500 16.308 5.867 1.925 16.438 6.825 3.067 7.025 4.050 1.200 3.175 5.308 4.450 3.083 2.683 2.375 5.742
Harga rata-rata (Rp/kg) 2004 2005 3.692 4.500 4.550 5.438 1.933 2.775 1.125 1.908 1.058 1.833 14.867 16.917 5.358 6.375 1.492 2.408 15.400 17.500 6.333 7.375 2.542 3.533 6.575 7.458 3.578 4.682 1.000 1.458 2.725 3.642 4.858 5.792 4.025 5.042 2.583 3.583 2.258 3.192 1.950 2.892 5.275 6.292
2006 7.000 3.083 2.542 2.167 19.250 7.917 3.083 19.455 8.375 3.625 9.542 5.250 2.750 3.750 7.250 5.750 4.458 4.045 3.167 8.167 4.208
2007 8.667 2.833 2.375 2.833 19.583 9.750 3.750 7.688 5.000 9.583 5.000 4.208 4.625 5.417 5.500 4.500 6.100 6.042 6.625
2008
4.000 3.042 3.125 19.875 12.208 4.042
4.333 13.042 2.000 2.292 5.500 7.167 4.000 3.833 8.958 9.583
94
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Jenis Ikan
Lampiran 5 (lanjutan)
No. 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Jenis Ikan Utik Kuro Kuniran Gerit Japuh Lape Gurita Kapasan Berasan Blida Kerong 2
2001 2.400 4.878 4.142 4.225 1.218 5.067 2.838 1.000
2002 2.633 5.089 4.392 4.475 1.427 5.367 3.075 1.014
2003 2.883 5.344 4.642 4.713 1.655 5.533 3.350 1.071
Harga rata-rata (Rp/kg) 2004 2005 2.467 3.375 4.800 5.833 4.117 5.167 4.190 5.364 1.200 2.000 4.900 6.000 2.825 3.875 1.000 1.166
2006 8.083 2.667 6.500 3.714 4.292 2.900 4.250 1.500
2007 7.583 5.500 6.375 2.167
2008 8.375 9.500
5.500 3.958
5.500
3.000 4.750
5.000 5.000
Sumber: TPI PPI Cituis, 2009 (data diolah kembali)
95
Lampiran 6 Nilai produksi ikan, 2001-2008 No.
Alu-alu Ayam-ayam Balak Biji nangka Betetan Cumi-cumi Corak Demang Kakap merah Kerapu Kurisi Kuwe Layur Pepetek Pari Sebelah Selar Tengkek Teri Tiga waja Kembung
2001 16,6344 19,1376 13,6107 91,8071 46,4134 76,4150 68,0845 16,3844 11,0595 49,8055 108,9519 142,3505 13,1970 16,7870 80,6073 70,9840 42,8428 16,4807 43,0276 66,1862 44,1065
2002 17,6808 22,1316 15,5605 121,7259 59,4481 89,6235 62,7416 19,0361 11,6030 56,4642 129,4782 145,0045 14,2028 19,1549 94,4949 64,3468 43,5697 17,4233 50,4782 98,9391 97,4832
2003 21,4232 24,7561 18,6366 151,3994 72,5226 94,6255 87,3502 25,9578 13,2880 70,6632 138,8638 154,8452 15,5359 29,9200 92,9220 71,1442 53,9522 21,8016 59,3107 117,3844 60,6967
Nilai produksi 2004 29,8548 7,7548 28,0080 105,5892 54,9329 198,6060 64,8856 29,1883 40,3960 99,1709 148,2190 114,3417 11,4107 20,1800 76,6507 103,8045 47,8595 30,4700 47,9407 112,2650 95,6024
(juta Rp) 2005 23,4905 5,3975 30,5869 174,8635 82,5197 179,9785 67,3130 43,2222 29,3430 102,9015 199,7139 112,5750 11,3665 27,8739 96,6713 105,2000 51,2805 32,5275 67,8296 158,5570 99,9120
2006 21,7385
2007 7,7600
32,1700 215,4600 113,2530 173,1400 84,2675 53,5215 13,0090 57,3540 299,9590 87,1140 6,3585 48,7470 114,3460 103,9585 43,7335 28,4475 58,8145 311,4555 146,9595
61,2045 237,8710 244,7670 332,9225 220,8740 79,6940 51,9850 239,1735 189,2100 26,1710 87,9455 154,3560 152,7200 20,2665 102,3365 74,0780 168,3930 127,9080
2008
97,7230 332,5600 396,4920 434,5815 312,0435 176,3460
410,5585 264,3850 9,2360 77,4895 255,5880 189,9765 139,9880 141,6100 381,8965 216,6835
96
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Jenis Ikan
Lampiran 6 (lanjutan) No. 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Jenis Ikan Utik Kuro Kuniran Gerit Japuh Lape Gurita Kapasan Berasan Bilis Blida Kerong2 Jumlah
2001 45,1214 18,6788 26,7131 22,3130 6,4325 4,0990 12,7223 5,9060
2002 50,3883 12,8538 24,7581 19,6658 6,6322 3,2605 11,4431 5,5142
2003 61,7929 14,9409 30,3380 21,7112 10,3696 3,6644 14,8315 6,0486
Nilai produksi 2004 30,9393 16,5186 37,7503 17,3670 6,1593 4,2844 12,7387 3,6350
(juta Rp) 2005 35,2545 11,8785 48,7585 23,1635 7,1340 5,8560 14,5915 4,9245
2006 26,5650 14,0925 29,4740 6,4130 19,1690
2007 73,8545 55,6105 40,7990 8,0800
2008 23,1985 117,5885
28,0795 11,9690 20,8440 3,5310
9,8320
9,0090
60,0445
4,2000
2,1750 9,0020 5,9400 1.196,8597 1.385,1069 1.560,6964 1.596,5233 1.854,6845 2.173,9440 2.835,9720 4.000,1560
Sumber: TPI PPI Cituis, 2009 (data diolah kembali)
97
Lampiran 7 Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi Banten atas dasar harga berlaku, 2002-2007 No. 1.
2.
3.
4.
Sektor
2003
Tahun (Milyar Rp) 2004 2005
2006
2007
3.326,79 440,05 1.005,12 35,28 336,50 5.143,74
3.955,45 446,12 1.093,13 37,59 463,52 5.995,81
4.320,38 452,05 1.221,24 41,45 495,52 6.530,64
4.837,98 485,75 1.316,76 48,31 530,23 7.219,03
4.948,79 633,61 1.372,60 48,69 601,16 7.604,85
5.694,22 578,54 1.485,07 57,52 707,96 8.523,31
18,73 46,26 64,99
20,89 51,23 72,12
22,67 56,8 79,47
24,33 64,13 88,46
24,54 71,11 95,65
30,59 84,54 115,13
30.398,13 30.398,13
34.420,56 34.420,56
36.972,20 36.972,20
42.098,68 42.098,68
48.642,34 48.642,34
51.386,34 51.386,34
2.785,47
3.023,42
49,71 2.835,18
55,32 3.078,74
3.309,01 367,18 61,04 3.737,23
3.627,08 423,16 69,17 4.119,41
3.601,92 470,38 65,17 4.137,47
3.336,43 871,58 75,99 4.284,00 98
Pertanian a. Tabama b. Perkebunan c. Peternakan d. Kehutanan e. Perikanan Total Pertambangan dan penggalian a. Pertambangan Migas b. Pertambangan Non Migas c. Penggalian Total Industri Pengolah a. Industri Migas b. Industri Non Migas Total Listrik, Gas, Air Bersih a. Listrik b. Gas c. Air Bersih Total
2002
Lampiran 7 (lanjutan) No. 5. 6.
7.
8.
Sektor
2003 1.644,57
Tahun (Milyar Rp) 2004 2005 1.898,33 2.306,35
2006 2.828,38
2007 3.259,39
8.644,78 67,43 1.720,55 10.432,76
9.490,82 69,02 1.931,20 11.491,04
10.287,39 79,18 2.239,24 12.605,81
11.805,32 86,18 2.608,43 14.499,93
14.018,14 85,11 2.978,35 17.081,60
16.989,44 105,56 3.305,51 20.400,51
22,64 1.870,55 432,85 98,10 893,97 660,52 3.978,63 260,10 4.238,73
24,43 2.089,88 516,51 180,18 1.007,17 719,72 4.537,89 716,13 5.254,02
25,17 2.343,30 564,47 122,22 1.199,35 802,83 5.057,34 831,75 5.889,09
26,71 3.138,18 606,25 141,96 1.457,68 900,01 6.270,79 987,05 7.257,84
35,41 4.142,57 710,95 161,38 1.750,90 1.051,41 7.852,62 1.329,52 9.182,14
39,12 4.397,59 763,08 163,28 1.770,02 1.180,65 8.313,74 1.615,67 9.929,41
-208,30 87,52 944,31
338,41 100,83 1.096,21
644,31 115,92 1.324,47
750,39 147,94 1.596,76
912,74 190,35 1.870,04
1.065,95 230,77 2.197,10
99
Bangunan Perdagangan, Hotel, Restoran a. Perdagangan b. Hotel c. Restoran Total Angkutan, Komunikasi a. Angkutan - Angkutan Rel - Angkutan Jalan - Angkutan Laut - ASDP - Angkutan Udara - Penunjang Angkutan Total b. Komunikasi Total Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan a. Bank b. Keuangan lainnya c. Persewaan
2002 1.286,38
Lampiran 7 (lanjutan) No.
9.
Sektor d. Jasa Perusahaan Total Jasa-jasa a. Jasa Pemerintahan Umum b. Jasa Swasta - Sosial Kemasyarakatan - Hiburan rekreasi - Perorangan, RT Total b Total Total PDRB
2002 192,78 1.016,31
2003 214,81 1.750,26
Tahun (Milyar Rp) 2004 2005 244,35 287,73 2.329,05 2.782,82
2006 305,81 3.278,94
2007 321,15 3.814,97
1.502,56
1.702,98
1.926,79
2.204,47
2.611,20
2.995,89
361,14 23,32 980,48 1.364,94 2.867,50 58.283,72
412,41 48,76 1.075,15 1.536,32 3.239,30 66.946,42
483,28 53,63 1.208,26 1.745,17 3.671,96 73.713,78
580,95 60,16 1.404,17 2.045,28 4.249,75 84.622,27
682,27 70,22 1.652,21 2.404,70 5.015,90 97.867,27
790,47 75,01 1.857,53 2.723,01 5.718,90 107.431,96
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Banten, 2009
100
Lampiran 8 Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Tangerang atas dasar harga berlaku, 2002-2007 No. 1.
2.
3.
4.
Sektor Pertanian a. Tabama b. Perkebunan c. Peternakan d. Kehutanan e. Perikanan Total Pertambangan dan penggalian a. Pertambangan Migas
Tahun (Milyar Rp) 2004 2005
2006
899,92 13,16 579,32
1.005,54 14,79 619,28
1.106,21 16,39 633,61
1.319,61 18,03 693,12
1.385,98 19,57 735,73
1.588,75 19,54 820,60
92,47 1.584,87
166,19 1.805,80
184,85 1.941,06
201,85 2.232,61
231,83 2.373,11
269,85 2.698,74
14,58 14,58
16,05 16,05
17,23 17,23
19,13 19,13
21,10 21,10
24,53 24,53
9.327,90 9.327,90
10.107,61 10.107,61
11.012,57 11.012,57
12.254,10 12.254,10
13.917,24 13.917,24
14.901,23 14.901,23
1.177,61
1.324,68
1.489,86
1.716,88
14,59 1.192,20
16,41 1.341,09
18,00 1.507,86
19,84 1.736,72
1.741,28 470,38 20,24 2.231,90
1.670,65 871,58 22,94 2.565,17
2007
101
b. Pertambangan Non Migas c. Penggalian Total Industri Pengolah a. Industri Migas b. Industri Non Migas Total Listrik, Gas, Air Bersih a. Listrik b. Gas c. Air Bersih Total
2003
2002
Lampiran 8 (lanjutan) No. 5. 6.
7.
8.
Sektor
2003 323,49
Tahun (Milyar Rp) 2004 2005 379,33 435,42
2006 502,19
2007 601,75
1.269,71 1,26 749,18 2.020,15
1.405,26 1,33 855,97 2.262,56
1.623,79 1,44 969,14 2.594,37
1.851,01 1,58 1.202,46 3.055,05
2.267,97 1,59 1.465,63 3.735,19
2.560,95 2,03 1.641,53 4.204,51
0,81 2.377,07
0,90 2.527,38
0,49 961,82
1.119,26
1.493,69
0,68 1.891,71
87,68 1.049,99 60,21 1.110,20
99,79 1.219,05 220,20 1.439,25
108,70 1.602,39 264,35 1.866,74
141,70 2.034,09 341,87 2.375,96
153,59 2.531,47 453,80 2.985,27
171,24 2.699,52 548,12 3.247,64
22,19 4,12 366,37
17,88 4,81 429,82
28,42 5,72 484,46
60,82 7,94 663,89
92,07 9,96 806,18
102,83 11,73 936,20
102
Bangunan Perdagangan, Hotel, Restoran a. Perdagangan b. Hotel c. Restoran Total Angkutan, Komunikasi a. Angkutan - Angkutan Rel - Angkutan Jalan - Angkutan Laut - ASDP - Angkutan Udara - Penunjang Angkutan Total b. Komunikasi Total Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan a. Bank b. Keuangan lainnya c. Persewaan
2002 249,87
Lampiran 8 (lanjutan) No.
9.
Sektor d. Jasa Perusahaan Total Jasa-jasa a. Jasa Pemerintahan Umum b. Jasa Swasta - Sosial Kemasyarakatan - Hiburan rekreasi - Perorangan, RT Total b Total Total PDRB
Tahun (Milyar Rp) 2004 2005 14,13 18,87 532,73 751,52
2002 11,32 404,00
2003 12,78 465,29
266,57
319,59
362,60
101,88 6,48 296,75 405,11 671,68 16.575,45
117,40 20,43 342,70 480,53 800,12 18.561,26
137,72 22,64 395,07 555,43 918,03 20.769,92
2006 21,09 929,30
2007 21,66 1072,42
405,29
462,70
551,84
165,35 29,83 531,27 726,45 1.131,74 23.992,25
192,30 34,99 656,37 883,66 1.346,36 28.041,66
227,30 37,88 767,25 1032,43 1.584,27 30.900,26
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Banten, 2009
103
104
Lampiran 9 Perhitungan nilai Location Quotient (LQ)
LQ
vi = vt Vi Vt
Dengan : LQ : Location Quotient vi : PDRB sub sektor perikanan Kabupaten Tangerang (Rp) atas dasar harga berlaku tahun 2002-2007 vt : PDRB seluruh sektor Kabupaten Tangerang (Rp) atas dasar harga berlaku tahun 2002-2007 Vi : PDRB sub sektor perikanan Provinsi Banten (Rp) atas dasar harga berlaku tahun 2002-2007 Vt : PDRB seluruh sektor Provinsi Banten (Rp) atas dasar harga berlaku tahun 2002-2007
Apabila nilai : LQ > 1; maka sektor perikanan tersebut merupakan sektor basis. LQ < 1; maka sektor perikanan tersebut merupakan sektor non basis.
1.
LQ
Tahun 2002 92,47 milyar 16.575,45 milyar = 336,5 milyar 58.283,72 milyar = 0,97
2. Tahun 2003
LQ
=
166,19 milyar 18.561,26 milyar 463,52 milyar 66.946,42 milyar
= 1,29 3. Tahun 2004
LQ
495,52 milyar 20.769,92 milyar = 495,52 milyar 73.713,78 milyar = 1,32
105
Lampiran 9 (lanjutan) 4. Tahun 2005
LQ
201,85 milyar 23.992,25 milyar = 530,23 milyar 84.622,27 milyar = 1,34
5. Tahun 2006
LQ
231,83 milyar 28.041,66 milyar = 601,16 milyar 97.867,27 milyar = 1,35
6. Tahun 2007
LQ
269,85 milyar 23.900,26 milyar = 707,96 milyar 107.431,96 milyar = 1,33
106
Lampiran 10 Perhitungan ukuran fasilitas 1) Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Perhitungan luas ruang pelelangan sebagai berikut: (T. Yano dan M. Noda, 1970 vide Direktorat Jenderal Perikanan, 1981)
S =
N×P R ×α
Keterangan:
S N P R α
: Luas ruang pelelangan (m2) : Jumlah produksi per hari (ton) = 3,31 ton : Daya tampung produksi (m2/ton) = 10 m2/ton : Intensitas lelang per hari (kali) = 3 kali : Perbandingan ruang lelang dengan gedung lelang (0,217-0,394) = 0,71
Luas ruang lelang TPI Baru
S= =
N×P R ×α 3,31 ton × 10 m 2 / ton 3 × 0.71
= 15,54 m2 Ruang lelang yang tersedia adalah 206,64 m2 dan gedung TPI sebesar 290,62 m2. Total kebutuhan luas ruang lelang TPI Cituis minimal sebesar 15,54 m2 sehingga luas gedung pelelangan ikan minimal sebesar 99,52 m2. 2) Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN) Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN) PPI Cituis memiliki 2 unit tangki dan ± 25 drum. Kapasitas dari tangki adalah 8.000 liter/tangki dan 220 liter/drum. Jadi kapasitas SPDN PPI Cituis adalah 16.000 liter. Sedangkan drum dipakai untuk menampung solar ketika datang. Kebutuhan rata-rata bahan solar per hari per unit penangkapan ikan adalah sebagai berikut:
Lama trip Gardan mingguan
: 8 hari atau 192 jam
Gardan harian
: 14 jam
Rampus
: 12 jam
Pancing ulur mingguan
: 8 hari atau 192 jam
107
Lampiran 10 (lanjutan) Pancing ulur harian
: 12 jam
Payang
: 13 jam
Bubu
: 12 jam
Rawai
: 14 jam
Sero
: 3 jam
Alat tangkap lain
: 10 jam
Purse seine
: 6 hari atau 144 jam
Konsumsi solar per unit alat tangkap: 0,16 × 0,8 × HP × waktu mesin beroperasi (Pertamina, 2005) 0,16
: besarnya pemakaian fuel consumtion
0,8
: efisiensi mesin
HP
: ukuran mesin
Gardan mingguan: Mesin gardan : 0,16 × 0,8 × 20 HP × 60 jam = 153,6 liter Mesin kapal
: 0,16 × 0,8 × 30 HP × 132 jam = 506,88 liter
Total kebutuhan alat tangkap gardan = 153,6 liter + 506,88 liter = 660,48 liter
Gardan harian: Mesin gardan : 0,16 × 0,8 × 16 HP × 10 jam = 20,48 liter Mesin kapal
: 0,16 × 0,8 × 20 HP × 14 jam = 35,84 liter
Total kebutuhan alat tangkap gardan = 20,48 liter + 35,84 liter = 56,32 liter
Rampus
: 0,16 × 0,8 × 23 HP × 5 jam = 14,72 liter
Pancing ulur mingguan
: 0,16 × 0,8 × 30 HP × 54 jam = 207,36 liter
Pancing ulur harian
: 0,16 × 0,8 × 16 HP × 5 jam = 10,24 liter
Payang
: 0,16 × 0,8 × 18 HP × 9 jam = 20,74 liter
Bubu
: 0,16 × 0,8 × 16 HP × 7 jam = 14,37 liter
Purse seine: Mesin line hauler
: 0,16 × 0,8 × 10 HP × 24 jam = 30,72 liter
Mesin kapal
: 0,16 × 0,8 × 30 HP × 132 jam = 506,88 liter
Total kebutuhan alat tangkap gardan = 30,72liter + 506,88 liter = 537,6 liter
108
Lampiran 10 (lanjutan) Kebutuhan semua unit alat tangkap per bulan: unit × jumlah trip × konsumsi solar Gardan mingguan
: 77 × 3 × 660,48 liter = 152.570,88 liter
Gardan harian
: 26 × 24 × 56,32 liter = 35.143,68 liter
Rampus
: 244 × 25 × 14,72 liter = 89,79 liter
Pancing ulur mingguan : 121 × 3 × 207,36 liter = 75.271,68 liter Pancing ulur harian
: 88 × 26 × 10,24 liter = 23.429,12 liter
Payang
: 11 × 26 × 20,74 liter = 5.931,64 liter
Bubu
: 31 × 26 × 14,37 liter = 11.582,22 liter
Rawai
: 1 × 26 × 20,48 liter = 532,48 liter
Sero
: 2 × 26 × 5 liter = 260 liter
Alat tangkap lain
: 9 × 26 × 10 liter = 2.340 liter
Purse seine
: 3 × 3 × 537,6 liter = 4.838,4 liter
Total kebutuhan semua unit alat tangkap per bulan di PPI Cituis tahun 2009 adalah 401.692,1 liter Kapasitas SPDN per bulan adalah 6 × 16.000 liter = 96.000 liter Jumlah kekurangan adalah 401.692,1 liter - 96.000 liter = 305.692,1 liter Jadi, SPDN Cituis tidak memenuhi kebutuhan semua unit alat tangkap yang ada di PPI Cituis. SPDN Cituis harus menambah kapasitas solar minimal sebanyak 305.692,1 liter Persentase solar di SPDN Cituis : 96.000 liter/401.692,1 liter = 0,2389 atau 23,90%. Sehingga SPDN Cituis hanya memenuhi 23,90% kebutuhan solar semua unit alat tangkap dan kekurangan 76,10% kebutuhan solar atau 305.692,1 liter diperoleh dari bakul. 3) Dermaga Panjang dermaga yang dibutuhkan dapat dicari dengan rumus: (Direktorat Jenderal Perikanan, 1984) L =
(l + s ) × n × a × h u×d
109
Lampiran 10 (lanjutan) Keterangan: L : Panjang dermaga yang dicari (m) l : Panjang kapal terbesar (m) s : Jarak antar kapal (m) n : Jumlah kapal yang memakai dermaga (unit/hari) a : Berat kapal terbesar (ton) h : Lama rata-rata kapal di dermaga (jam) u : Produksi per hari (ton) d : Lama rata-rata fishing trip (jam)
= 17 m = 0,25 m = 84 unit/hari = 20 ton = 3 jam = 3,31 ton = 71 jam
Lama trip Gardan mingguan
: 8 hari atau 192 jam × 77 = 14.784 jam
Gardan harian
: 14 jam × 26 = 364 jam
Rampus
: 12 jam × 244 = 2.928 jam
Pancing ulur mingguan
: 8 hari atau 192 jam × 121 = 23.232 jam
Pancing ulur harian
: 12 jam × 88 = 1.056 jam
Payang
: 13 jam × 11 = 143 jam
Bubu
: 12 jam × 31 = 372 jam
Rawai
: 14 jam × 1 = 14 jam
Sero
: 3 jam × 2 = 6 jam
Alat tangkap lain
: 10 jam × 9 = 90 jam
Purse seine
: 6 hari atau 144 jam × 3 = 432 jam
Rata-rata fishing trip semua alat tangkap : 43.421/613= 70,83 jam = 71 jam L
=
(l + s ) × n × a × h u×d
=
(17 m + 0,25 m) × 84 × 20 ton × 3 jam 3,31 ton × 71 jam
= 369,94 m Panjang dermaga baru adalah 369,94 m Panjang dermaga yang tersedia adalah 25,82 m, sehingga perlu penambahan panjang dermaga sebesar: 369,94 m – 25,82 m = 344,12 m
110
Lampiran 10 (lanjutan) 4) Kolam PPI 4a) Kedalaman kolam PPI Kedalaman perairan di wilayah kolam pelabuhan pada saat muka air terendah (LLWS) dapat ditentukan dengan rumus: (Direktorat Jenderal Perikanan, 1984) D = d + 1 H +S +C 2 Keterangan: D d H S C
: Kedalaman perairan yang dicari (cm) : Draft kapal terbesar (cm) : Tinggi gelombang maksimum (H maks = 50 cm) : Tinggi ayunan kapal yang melaju (10-30 cm) : Jarak aman dari lunas kapal ke dasar perairan (25-100 cm)
D = 150 cm + 1
2
= 150 cm = 20 cm = 10 cm = 25 cm
20 cm + 10 cm + 25 cm
= 195 cm Kedalaman kolam yang tersedia adalah 125 cm Sehingga perlu penambahan kedalaman kolam sebesar: 195-125= 70 cm 4b) Luas kolam pelabuhan Luas kolam pelabuhan dapat dihitung dengan rumus berikut: (Direktorat Jenderal Perikanan, 1984) L = Lt + (3 × n × l × b) Keterangan : L Lt n l b
: Luas kolam pelabuhan (m2) : Luas untuk memutar kapal (m2) : Jumlah kapal maksimum yang berlabuh (unit/hari) : Panjang kapal terbesar (m) : Lebar kapal terbesar (m)
= 350 unit/hari = 17 m =4m
Lt adalah luas untuk memutar kapal, radius pemutarannya minimum satu kali panjang kapal terbesar.
Lt = π × r 2 ;
Lt = π × l 2
Keterangan: Lt : Luas untuk memutar kapal (m2) π : 3, 14 l : Panjang kapal terbesar (m)
= 907,46 m2 = 17 m
111
Lampiran 10 (lanjutan) Lt = 3,14 × 172 = 907,46 m2 Luas untuk kolam memutar adalah 907,46 m2 L = Lt + (3 × n × l × b) L = 907,46 m 2 + (3 × 350 unit / hari × 17 m × 4 m) = 72.307,46 m2 = 7,23 km Luas kolam yang tersedia adalah 25.000 m2, sehingga pihak pelabuhan perlu menambah luas kolam pelabuhan sebesar: 72.307,46 m2- 25.000 m2 = 47.307,46 m2.
112
Lampiran 11 Syarat pengurusan Surat Persetujuan Berlayar, Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Penangkapan Ikan (SPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) 1) Surat Persetujuan Berlayar
BAB II PERMOHONAN PENERBITAN SURAT PERSETUJUAN BERLAYAR Pasal 3 (1) Untuk memperoleh Surat Persetujuan Berlayar (Port Clearance), pemilik atau operator kapal mengajukan permohonan secara tertulis kepada Syahbandar dengan menggunakan format sebagaimana contoh Lampiran I Peraturan ini, dengan melampirkan : a. surat pernyataan kesiapan kapal berangkat dari Nakhoda (Master Sailing Declaration) sebagaimana format pada Lampiran " Peraturan ini; dan b. dokumen muatan serta bukti-bukti pemenuhan kewajiban kapal lainnya. (2) Bukti pemenuhan kewajiban lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi : a. bukti pembayaran jasa kepelabuhanan; b. bukti pembayaran jasa kenavigasian; c. bukti pembayaran penerimaan uang perkapalan; d. persetujuan (clearance) Bea dan Cukai; e. persetujuan (clearance) Imigrasi; f. persetujuan (clearance) Karantina kesehatan; dan atau g. persetujuan (clearance) Karantina hewan dan tumbuhan; (3) Berkas permohonan penerbitan Surat Persetujuan Berlayar (Port Clearance) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diserahkan kepada Syahbandar setelah semua kegiatan di atas kapal selesai dan kapal siap untuk berlayar yang dinyatakan dalam surat pernyataan kesiapan kapal berangkat dari Nakhoda (Master Sailing Declaration). (4) Penyerahan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara: a. menyerahkan ke loket pelayanan satu atap pada Kantor Syahbandar; atau b. mengirimkan secara elektronik (upload) melalui Inaportnet pada pelabuhan yang telah menerapkan National Single Window (NSW).
113
Lampiran 11 (lanjutan) Sumber: Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: KM 01 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Persetujuan Berlayar (Port Clearance)
2) SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan)
BAB III TATA CARA PENERBITAN PERIZINAN USAHA PENANGKAPAN IKAN Bagian Pertama Izin Usaha Perikanan (IUP) Bidang Penangkapan Ikan Pasal 3 (3) IUP bagi perusahaan perikanan Indonesia terdiri dari: a) IUP yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal; b) IUP yang diterbitkan oleh Gubernur atau pejabat yang ditunjuk; dan c) IUP yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk. (4) Bentuk dan format IUP sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditetapkan sebagai berikut: a) IUP yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a, menggunakan bentuk dan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1; b) IUP yang diterbitkan oleh Gubernur atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b, menggunakan bentuk dan format yang ditetapkan oleh Gubernur dengan mengacu pada bentuk dan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2; dan c) IUP yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b, menggunakan bentuk dan format yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan mengacu pada bentuk dan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2; (5) IUP bagi perusahaan perikanan asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterbitkan oleh Direktur Jenderal dengan menggunakan bentuk dan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 4.
114
Lampiran 11 (lanjutan) Pasal 4 (1) Untuk IUP yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal sebagaimanan dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a, permohonan diajukan perusahaan perikanan Indonesia kepada Direktur Jenderal dan wajib dilengkapi dengan: a) rencana usaha, dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 5; b) fotocopy akte pendirian perusahaan Perseroan Terbatas (PT)/koperasi berbadan hukum yang menyebutkan bidang usaha perikanan; c) fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) pemilik kapal atau penanggung jawab perusahaan; dan d) pas foto berwarna pemilik kapal atau penanggung jawab perusahaan sebanyak satu lembar ukuran 4x6 cm. (2) Untuk IUP yang diterbitkan oleh Gubernur atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b, permohonan diajukan oleh perusahaan perikanan Indonesia kepada Gubernur atau pejabat yang ditunjuk, sekurang-kurangnya wajib dilengkapi dengan: a) rencana usaha, dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 6; b) fotocopy akte pendirian perusahaan Perseroan Terbatas (PT)/koperasi berbadan hukum yang menyebutkan bidang usaha perikanan; dan c) fotocopy Kartu Tanda penduduk (KTP) pemilik kapal atau penanggung jawab perusahaan. (3) Untuk IUP yang diterbitkan oleh Bupati/walikota atau pejabat yang ditunjuk sebagimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c, permohonan diajukan oleh perusahaan perikanan Indonesia kepada Bupati/walikota atau pejabat yang ditunjuk dan sekurang-kurangnya dilengkapi dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pemilik kapal atau penanggung jawab perusahaan. (4) Untuk IUP yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5), permohonan diajukan oleh perusahaan perikanan asing kepada Direktur Jenderal; dan wajib dilengkapi dengan: a) rekomendasi pejabat yang berwewenang dari negara asal pemohon; b) surat penunjukan perusahaan perikanan Indonesia sebagai perwakilan atau agen;
115
Lampiran 11 (lanjutan) c) pas foto berwarna pemilik kapal atau penanggung jawab perusahaan sebanyak satu lembar ukuran 4x6 cm; dan d) rencana pengoperasian kapal perikanan berbendera asing. Pasal 5 (1) IUP bagi perusahaan perikanan Indonesia diterbitkan oleh Direktur Jenderal apabila: a) telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1); b) tidak melebihi daya dukung sumberdaya ikan yang ditetapkan oleh Menteri; dan c) telah membayar Pungutan Pengusahaan perikanan yang dibuktikan dengan tanda bukti setor. (2) IUP diterbitkan oleh Gubernur atau pejabat yang ditunjuk apabila: a) telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); b) tidak melebihi daya dukung sumberdaya ikan yang ditetapkan oleh Menteri; dan c) telah memenuhi persyaratan lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat. (3) IUP diterbitkan oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk apabila: a) telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3); b) tidak melebihi daya dukung sumberdaya ikan yang telah ditetapkan oleh Menteri; dan c) telah memenuhi persyaratan lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat. (4) IUP bagi perusahaan perikanan asing diterbitkan oleh Direktur Jenderal apabila: a) terdapat surplus Jumlah Tangkapan yang diperbolehkan (JTB); b) telah diadakan perjanjian bilateral antara pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara asal pemohon; dan
116
Lampiran 11 (lanjutan) c) telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4). Pasal 6 (1) Selambat-lambatnya dalam waktu 2 (dua) tahun sejak IUP diterbitkan, perusahaan perikanan wajib merealisasikan seluruh alokasi sebagaimana tercantum dalam IUP. (2) Pada akhir tahun pertama, perusahaan perikanan wajib merealisasikan sekurang-kurangnya 40% dari alokasi sebagaimana tercantum dalam IUP dan pada akhir tahun kedua perusahaan perikanan wajib merealisasikan keseluruhan alokasi sebagaimana tercantum dalam IUP. (3) Apabila
perusahaan
perikanan
tidak
dapat
melaksanakan
tahapan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka pemberi izin dapat mengubah IUP sesuai dengan yang telah direalisasikan. Pasal 7 (1) Setiap perusahaan perikanan yang akan melakukan perubahan data atau muatan sebagaimana tercantum dalam IUP, wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan perubahan IUP kepada pemberi izin. (2) Permohonan perubahan IUP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilengkapi dengan: a) rencana usaha yang baru; b) fotocopy IUP; dan c) alasan perubahan rencana usaha. (3) Permohonan perubahan IUP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diajukan sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal penerbitan IUP. (4) Jangka waktu perubahan IUP sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), tidak berlaku terhadap perluasan usaha perikanan, sepanjang daya dukung sumberdaya ikan masih memungkinkan.
117
Lampiran 11 (lanjutan) Pasal 8 (1) Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk paling lambat 11 (sebelas) hari kerja sejak diterimanya permohonan IUP secara lengkap yang disampaikan oleh perusahaan perikanan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (2), telah menerbitkan Surat Perintah Pembayaran Pungutan Pengusahaan Perikanan (SPP-PPP) berdasarkan alokasi kapal perikanan, atau memberikan surat penolakan. (2) Berdasarkan SPP-PPP sebagaimana dimaksud dalam aayat (1), paling lambat dalam jangka waktu 1 (satu) bulan pemohon melaksanakan pembayaran dengan menggunakan Surat Setoran Penerimaan Bukan Pajak (SSBP) melalui Bank Persepsi dan menyerahkan bukti setor (SSBP) kepada Direktur Jenderal. (3) Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana di maksud dalam ayat (2) pemohon
tidak
melaksanakan
pembayaran,
maka permohonan
IUP
dinyatakan batal. (4) Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya bukti setor (SSBP), telah menerbitkan IUP. Pasal 9 Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk paling lambat 16 (enam belas) hari kerja sejak diterimanya permohonan IUP secara lengkap yang disampaikan oleh perusahaan perikanan asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) dan Pasal 7 ayat (2), telah menerbitkan IUP atau memberikan surat penolakan. Pasal 10 (1) Dalam hal permohonan IUP ditolak sebagaimana dalam Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 9, perusahaan perikanan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima surat penolakan yang dibuktikan dengan tanda terima, dapat mengajukan permohonan keberatan kepada Menteri dengan tembusan Direktur Jenderal.
118
Lampiran 11 (lanjutan) (2) Paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan keberatan, Menteri menerima atau menolak secara tertulis dengan mencantumkan alasannya. (3) Dalam hal permohonan keberatan diterima oleh Menteri, paling lambat 6 (enam) hari kerja sejak menerima tembusan persetujuan keberatan, Direktur Jenderal telah menerbitkan SPP-PPP bagi perusahaan perikanan Indonesia berdasarkan alokasi kapal perikanan, menerbitkan IUP bagi perusahaan perikanan asing. (4) Apabila dalam jangka 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan keberatan Menteri tidak memberikan jawaban tertulis, maka permohonan keberatan dianggap diterima dan Direktur Jenderal paling lambat 12 (dua belas) hari kerja telah menerbitkan SPP-PPP bagi perusahaan perikanan Indonesia berdasarkan alokasi kapal perikanan dan menerbitkan IUP bagi perusahaan perikanan asing. Sumber: Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan
Pengurusan SIUP untuk perorangan :
1) Surat Permohonan Penerbitan SIUP; 2) Foto Copy KTP Penanggung Jawab; 3) Pas Foto Penanggung Jawab (Ukuran 4 x 3 (2 lembar) warna); 4) Rencana Usaha; 5) Map Diamond biru 2 (dua) buah; dan 6) Materai 6000 (2 buah). Masa Berlaku : • SIUP berlaku selama 30 tahun (untuk kegiatan penangkapan) dan dapat
diperpanjang lagi dengan jangka waktu yang sama. • SIUP habis masa berlakunya bila terjadi penggantian SIUP karena perubahan
alokasi. • Jangka waktu berlakunya SIUP akan dievaluasi setiap 2 tahun atau apabila
ketersediaan daya dukung sumber daya ikan dalam kondisi kritis.
119
Lampiran 11 (lanjutan) Biaya • Rp 2.000,00 dan atau pengganti biaya cetak; • Rp 25.000,00 untuk jasa ketatausahaan; dan • Pemeriksaan Lapangan di tanggung pemohon. Waktu Penyelesaian : 1 (satu) hari Dasar Hukum • UU No : 31 Tahun 2004; • PP No : 54 Tahun 2002; • Permen DKP No : PER.12/MEN/2007; • Permen DKP No : PER.05/MEN/2008; dan • Perda Kota Bitung No.7 tahun 2009 tentang penyelenggaraan Pelayanan
Perijinan Terpadu di Kota Bitung. Sumber: Permen DKP No : PER.05/MEN/2008
3) Surat Penangkapan Ikan (SPI)
Bagian Kedua Surat Penangkapan Ikan (SPI) Pasal 13 (1) Setiap kapal penangkap ikan yang akan melakukan penangkapan ikan atau kapal lampu (light boat) dalam satuan armada penangkapan ikan, baik berbendera Indonesia maupun berbendera asing, perlu dilengkapi dengan SPI. (2) SPI bagi kapal penangkap ikan berbendera Indonesia terdiri dari: a) SPI yang terbitkan oleh Direktur Jenderal bagi kapal penangkap ikan yang dioperasikan secara tungggal; b) SPI yang terbitkan oleh Direktur Jenderal bagi kapal penangkap ikan yang dioperasikan dalam satuan armada penangkapan ikan; c) SPI yang terbitkan oleh Gubernur atau pejabat yang ditunjuk; dan d) SPI yang terbitkan oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk. (3) Bentuk dan format SPI sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan sebagai berikut:
120
Lampiran 11 (lanjutan) a) SPI yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal bagi kapal penangkap ikan yang dioperasikan secara tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, menggunakan bentuk dan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 7; b) SPI yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal bagi kapal penangkap ikan yang dioperasikan dalam satuan armada penangkapan ikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b, menggunakan bentuk dan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 8; c) SPI yang diterbitkan oleh Gubernur atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c, menggunakan bentuk dan format yang ditetapkan oleh Gubernur dengan mengacu pada bentuk dan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 9; dan d) SPI yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d, menggunakan bentuk dan format yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan mengacu pada bentuk dan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 10. (4) SPI bagi kapal penangkap ikan berbendera asing terdiri dari: a) SPI yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal bagi kapal penangkap ikan yang dioperasikan secara tunggal; dan b) SPI yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal bagi kapal penangkap ikan yang dioperasikan dalam satuan armada penangkap ikan. (5) Bentuk dan format SPI sebagaimana dimasud dalam ayat (4) ditetapkan sebagai berikut: a) SPI yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal bagi kapal penangkap ikan yang dioperasikan secara tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf a, menggunakan bentuk dan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 11; dan b) SPI yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal bagi kapal penangkap ikan yang dioperasikan dalam satuan armada penangkapan ikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf b, menggunakan bentuk dan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 12;
121
Lampiran 11 (lanjutan) (6) SPI bagi kapal berbendera Indonesia dalam satuan armada penangkapan ikan diterbitkan oleh Direktur Jenderal dengan menggunakan bentuk dan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 13. (7) SPI bagi kapal berbendera asing dalam satuan armada penangkapan ikan diterbitkan oleh Direktur Jenderal dengan menggunakan bentuk dan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 14. Pasal 14 (1) Untuk SPI yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal bagi kapal penangkap ikan dan/atau kapal lampu berbendera Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 13 ayat (6), permohonannya diajukan oleh perusahaan perikanan Indonesia kepada Direktur Jenderal dan wajib dilengkapi dengan: a) fotocopy IUP atau Surat Persetujuan penanaman Modal/Izin Usaha yang dikeluarkan oleh instansi yang berwewenang di bidang penanaman modal berdasarkan APIPM; b) fotocopy tanda pendaftaran kapal (Grosse Akte) dengan menunjukkan aslinya atau fotocopy yang dilegalisir oleh instansi yang berwewenang; dan c) rekomendasi hasil pemeriksaan fisik dan dokumen kapal dari pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal berdasarkan hasil pemeriksaan oleh Tim Pemeriksaan Fisik Kapal, yag dilampiri ringkasan hasil pemeriksaan fisik. (2) Untuk SPI yang dietrbitkan oleh Gubernur atau pejabat yang ditunjuk bagi kapal penangkap ikan berbendera Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf c, permohonannya diajukan oleh perusahaan perikanan Indonesia kepada Gubernur atau pejabat yang ditunjuk dan sekurang-kurangnya wajib dilengkapi dengan: a) fotocopy IUP; b) fotocopy tanda pendaftaran kapal (Grosse Akte) dengan menunjukkan aslinya atau fotocopy yang dilegalisir oleh instansi yang berwewenang; dan
122
Lampiran 11 (lanjutan) c) rekomendasi hasil pemeriksaan fisik dan dokumen kapal dari Dinas Perikanan Provinsi atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan hasil pemeriksaan oleh Tim Pemeriksaan Fisik Kapal di Daerah setempat, yang dilampiri ringkasan hasil pemeriksaan fisik. (3) Untuk SPI yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk bagi kapal penangkap ikan berbendera Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf d, permohonannya diajukan oleh perusahaan perikanan Indonesia kepada Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk dan sekurang-kurangnya wajib dilengkapi dengan: a) fotocopy IUP; b) fotocopy tanda pendaftaran kapal (Grosse Akte) atau pas biru dengan menunjukkan aslinya atau fotocopy yang dilegalisir oleh instansi yang berwewenang; dan c) berita Acara hasil pemeriksaan fisik kapal (asli) yang dikeluarkan oleh Dinas Perikanan atau instansi yang berwewenang di bidang perikanan di Kabupaten/Kota setempat. Pasal 15 Permohonan SPI untuk kapal penangkap ikan dan/atau kapal lampu berbendera asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) dan ayat (7) diajukan oleh perusahaan perikanan asing kepada Direktur Jenderal dan wajib dilengkapi dengan: a) fotocopy IUP perusahaan perikanan asing; b) fotocopy Paspor atau Buku Pelaut (Seaman Book) Nahkoda dan daftar ABK; dan c) rekomendasi hasil pemeriksaan fisik dan dokumen kapal dari Pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal berdasarkan hasil pemeriksaan oleh Tim Pemeriksaan Fisik Kapal, yang dilampiri ringkasan hasil pemeriksaan fisik.
123
Lampiran 11 (lanjutan) Pasal 17 (1) SPI bagi kapal penangkap ikan dan/atau kapal lampu berbendera Indonesia diterbitkan oleh Direktur Jenderal apabila: a) telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1); dan b) telah membayar Pungutan Hasil Perikanan yang dibuktikan dengan tanda bukti setor. (2) SPI bagi kapal penangkapa ikan berbendera Indonesia diterbitkan oleh Gubernur atau pejabat yang ditunjuk apabila telah memenuhi: a) persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2); dan b) persyaratan lain yang ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi setempat. (3) SPI bagi kapal penangkapa ikan berbendera Indonesia diterbitkan oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk apabila telah memenuhi: a) persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3); dan b) persyaratan lain yang ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota setempat. Pasal 18 SPI bagi kapal penangkap ikan dan/atau kapal lampu berbendera asing diterbitkan oleh Direktur Jenderal apabila: a) telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15; dan b) telah membayar Pungutan Perikana Asing yang dibuktikan dengan tanda bukti setor. Pasal 19 (1) Setiap kapal penangkap ikan dilarang melakukan pemindahan ikan hasil tangkapan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia ke kapal pengangkut yang bukan dalam satu kesatuan armada (2) Setiap kapal pengangkut ikan yang akan membawa ikan ke luar negeri wajib masuk dan melapor ke pelabuhan pangkalan atau pelabuhan muat/singgah yang ditetapkan untuk melengkapi pemenuhan ketentuan prosedur ekspor hasil perikanan.
124
Lampiran 11 (lanjutan) (3) Setiap pemindahan ikan dari kapal penangkap ikan ke kapal pengangkut ikan atau dari kapal pengangkut ikan ke kapal pengangkut ikan yang lain wajib dilakukan di pelabuhan pangkalan atau pelabuan muat/singgah yang ditetapkan, di bawah pengawasan petugas yang ditunjuk. (4) Bagi kapal penangkap ikan yang beroperasi di luar wilayah pengelolaan perikanan Indonesia, pemindahan ikan hasil tangkapan dilakukan berdasarkan ketentuan internasional atau regional yang berlaku di wilayah perikanan dimaksud. Pasal 20 (1) Perusahaan perikanan yang telah memperoleh SPI dapat mengajukan permohonan perubahan SPI. (2) Permohonan perubahan SPI sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dilakukan sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak diterbitkannya SPI. (3) Dalam hal permohonan perubahan SPI diajukan sebagai akibat perubahan alat penangkap ikan, fisik dan fungsi kapal, maka terlebih dahulu wajib dilakukan pemeriksaan fisik dan dokumen kapal. Pasal 21 (1) Direktur Jenderal paling lambat 11 (sebelas) hari kerja sejak diterimanya permohonan SPI secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), pasal 15 dan pasal 20, telah menerbitkan Surat Pembayaran Pungutan Hasil Perikanan (SPP-PHP) bagi perusahaan perikanan Indonesia atau Surat Perintah Pembayaran Pungutan Peikanan Asing (SPP-PPA) bagi perusahaan perikanan asing, atau menerbitkan surat penolakan. (2) Berdasarkan SPP-PHP atau SPP-PPA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), paling lambat dalam jangka waktu 1 (satu) bulan pemohon melaksanakan pembayaran dengan menggunakan Surat Setoran Penerimaan Bukan Pajak (SSBP) melalui Bank Persepsi dan menyerahkan bukti setor (SSBP) kepada Direktur Jenderal.
125
Lampiran 11 (lanjutan) (3) Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pemohon tidak melaksanakan pembayaran, maka pemohon SPI dinyatakan batal. (4) Direktur Jenderal paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya bukti setor (SSBP), telah menerbitkan SPI. (5) Dalam hal permohonan SPI ditolak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kepada perusahaan perikanan diberikan kesempatan untuk mengajukan kembali permohonan SPI. Sumber: Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan
4) Surat Izin Kapal penangkut Ikan (SIKPI)
Bagian Ketiga Surat Izin Kapal pengangkut Ikan (SIKPI) Pasal 23 (1) Setiap kapal pengangkut ikan, baik berbendera Indonesia maupun berbendera asing yang akan melakukan pengangkutan ikan, wajib dilengkapi dengan SIKPI. (2) SIKPI bagi kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia terdiri dari: a) SIKPI yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal bagi kapal pengangkut ikan yang diopersikan secara tunggal; b) SIKPI yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal bagi kapal pengangkut ikan yang diopersikan dalam satuan armada penangkapan ikan; c) SIKPI yang diterbitkan oleh Gubernur atau pejabat yang ditunjuk; dan d) SIKPI yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk. (3) Bentuk dan format sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)n ditetapkan sebagai berikut: a) SIKPI yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal bagi kapal pengangkut ikan yang dioperasikan secara tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, menggunakan bentuk dan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 15;
126
Lampiran 11 (lanjutan) b) SIKPI yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal bagi kapal pengangkut ikan yang dioperasikan dalam satuan armada penangkapan ikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b, menggunakan bentuk dan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 16; c) SIKPI yang diterbitkan oleh Gubernur atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c, menggunakan bentuk dan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 17; dan d) SIKPI yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d, menggunakan bentuk dan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 18. (4) SIKPI bagi kapal pengangkut ikan berbendera asing terdiri dari: a) SIKPI yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal bagi kapal pengangkut ikan yang dioperasikan secara tunggal; dan b) SIKPI yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal bagi kapal pengangkut ikan yang dioperasikan dalam satuan armada penangkap ikan. (5) Bentuk dan format SIKPI sebagaimana dimasud dalam ayat (4) ditetapkan sebagai berikut: a) SIKPI yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal bagi kapal pengangkut ikan yang dioperasikan secara tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf a, menggunakan bentuk dan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 19; dan b) SIKPI yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal bagi kapal pengangkut ikan yang dioperasikan dalam satuan armada penangkapan ikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf b, menggunakan bentuk dan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 20. Pasal 24 (1) Untuk SIKPI yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal bagi kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a dan huruf b, permohonannya diajukan oleh perusahaan perikanan Indonesia kepada Direktur Jenderal dan wajib dilengkapi dengan:
127
Lampiran 11 (lanjutan) a) fotocopy IUP atau Surat Persetujuan penanaman Modal/Izin Usaha yang dikeluarkan oleh instansi yang berwewenang di bidang penanaman modal berdasarkan APIPM; b) fotocopy tanda pendaftaran kapal (Grosse Akte); c) rekomendasi hasil pemeriksaan fisik dan dokumen kapal dari pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal berdasarkan hasil pemeriksaan oleh Tim Pemeriksaan Fisik Kapal, yag dilampiri ringkasan hasil pemeriksaan fisik; dan d) surat
perjanjian
kerjasama
pengangkutan
antara
perusahaan
pengangkutan/pengumpul ikan dengan pemilik ikan, kecuali digunakan untuk mengangkut hasil tangkapan sendiri. (2) Untuk SIKPI yang diterbitkan oleh Gubernur atau pejabat yang ditunjuk bagi kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c, permohonannya diajukan oleh perusahaan perikanan Indonesia kepada Gubernur atau pejabat yang ditunjuk dan sekurang-kurangnya wajib dilengkapi dengan: a) fotocopy IUP; b) fotocopy tanda pendaftaran kapal (Grosse Akte); c) rekomendasi hasil pemeriksaan fisik dan dokumen kapal dari Dinas Perikanan Provinsi atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan hasil pemeriksaan oleh Tim Pemeriksaan Fisik Kapal di Daerah setempat, yang dilampiri ringkasan hasil pemeriksaan fisik. dan d) surat
perjanjian
kerjasama
pengangkutan
antara
perusahaan
pengangkutan/pengumpul ikan dengan pemilik ikan, kecuali digunakan untuk mengangkut hasil tangkapan sendiri. (3) Untuk SIKPI yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk bagi kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf d, permohonannya diajukan oleh perusahaan perikanan Indonesia kepada Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk dan sekurang-kurangnya wajib dilengkapi dengan: a) fotocopy IUP;
128
Lampiran 11 (lanjutan) b) fotocopy tanda pendaftaran kapal (Grosse Akte); c) rekomendasi hasil pemeriksaan fisik dan dokumen kapal dari Dinas Perikanan Provinsi atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan hasil pemeriksaan oleh Tim Pemeriksaan Fisik Kapal di Daerah setempat, yang dilampiri ringkasan hasil pemeriksaan fisik; dan d) surat
perjanjian
kerjasama
pengangkutan
antara
perusahaan
pengangkutan/pengumpul ikan dengan pemilik ikan, kecuali digunakan untuk mengangkut hasil tangkapan sendiri. Pasal 25 Permohonan SIKPI bagi kapal pengangkut ikan yang diopersikan dalam satuan armada penangkapan ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf b, wajib diajukan kepada Direktur Jenderal bersamaan dengan: a) pengajuan permohonan SPI baru, atau b) pengajuan perubahan SPI, untuk kapal penangkap ikan yang sebelumnya dioperasikan secara tunggal. Pasal 26 (1) Untuk SIKPI yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal bagi kapal pengangkut berbendera asing yang dioperasikan secara tunggal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) huruf a, permohonannya diajukan oleh perusahaan perikanan Indonesia kepada Direktur Jenderal dan wajib dilengkapi dengan: a) fotocopy IUP atau Izin Usaha yang diterbitkan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang penanaman modal; b) daftar ABK; c) fotocopy paspor atau Buku Pelaut (Seaman Book) Nahkoda; d) rekomendasi hasil pemeriksaan fisik dan dokumen kapal dari pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal berdasarkan hasil pemeriksaan oleh Tim Pemeriksaan Fisik Kapal, yag dilampiri ringkasan hasil pemeriksaan fisik; e) surat
perjanjian
kerjasama
pengangkutan
antara
perusahaan
pengangkutan/pengumpul ikan dengan pemilik ikan, kecuali digunakan untuk mengangkut hasil tangkapan sendiri; dan
129
Lampiran 11 (lanjutan) f) fotocopy surat perjanjian sewa kapal. (2) Untuk SIKPI yang terbitkan oleh Direktur Jenderal bagi kapal pengangkut yang dioperasikan dalam satuan armada penangkapan ikan, permohonannya diajukan oleh perusahaan perikanan asing kepada Direktur Jenderal, wajib dilengkapi dengan: a) fotocopy IUP perusahaan perikanan asing; b) fotocopy paspor atau Seaman Book Nahkoda dan daftar ABK; dan c) rekomendasi hasil pemeriksaan fisik dan dokumen kapal dari pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal berdasarkan hasil pemeriksaan oleh Tim Pemeriksaan Fisik Kapal, yang dilampiri ringkasan hasil pemeriksaan fisik. Pasal 27 Permohonan SIKPI bagi kapal pengangkut ikan berbendera asing yang diopersikan dalam satuan armada penangkapan oleh perusahaan perikanan asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) huruf b, wajib diajukan kepada Direktur Jenderal bersamaan dengan: a) pengajuan permohonan SPI baru, atau b) pengajuan perubahan SPI, untuk kapal penangkap ikan yang sebelumnya dioperasikan secara tunggal; Pasal 28 (1) SIKPI bagi kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia diterbitkan oleh Direktur Jenderal apabila: a) telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1); dan b) telah membayar Pungutan Pengusahaan Perikanan yang dibuktikan dengan tanda bukti setor. (2) SIKPI bagi kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia diterbitkan oleh Gubernur atau pejabat yang ditunjuk apabila telah memenuhi: a) persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); dan b) persyaratan lain yang ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi setempat.
130
Lampiran 11 (lanjutan) (3) SIKPI bagi kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia diterbitkan oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk apabila telah memenuhi: a) persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3); dan b) persyaratan lain yang ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota setempat. Pasal 29 SIJPI bagi kapal pengangkut ikan berbendera asing yang diopersikan secara tunggal diterbitkan oleh Direktur Jenderal apabila: a) telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1); dan b) telah membayar Pungutan Pengusahaan Perikanan yang dibuktikan dengan tanda bukti setor. Pasal 30 SIKPI bagi kapal pengangkut ikan berbendera asing yang dioperasikan dalam satuan armada penangkapan ikan oleh perusahaan perikanan asing diterbitkan oleh Direktur Jenderal apabila: a) telah memenuhi peryaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2); dan b) SPI bagi kapal penangkap ikan yang didukungnya telah diterbitkan. Pasal 31 (1) Direktur Jenderal paling lambat 11 (sebelas) hari kerja sejak diterimanya permohonan SIKPI secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1), pasal 26 dan Pasal 27, telah menerbitkan Surat Perintah Pembayaran Pungutan Hasil Perikanan (SPP-PHP), atau menerbitkan surat penolakan. (2) Berdasarkan SPP-PPP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), paling lambat dalam jangka waktu 1 (satu) bulan pemohon melaksanakan pembayaran dengan menggunakan Surat Setoran Penerimaan Bukan Pajak (SSBP) melalui Bank Persepsi dan menyerahkan bukti setor (SSBP) kepada Direktur Jenderal.
131
Lampiran 11 (lanjutan) (3) Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pemohon tidak melaksanakan pembayaran, maka pemohon SIKPI dinyatakan batal. (4) Direktur Jenderal paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya bukti setor (SSBP), telah menerbitkan SIKPI. (5) Dalam hal Direktur Jenderal menolak permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kepada perusahaan perikanan diberikan kesempatan untuk mengajukan kembali permohonan SIKPI. Sumber: Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan