www.parlemen.net
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN ACEH
JAKARTA 2006
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN ACEH -------------I.
PENDAHULUAN Kesepakatan damai yang dituangkan dalam Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia disambut hangat oleh masyarakat Aceh, rakyat Indonesia, dan dunia internasional. Hal ini menunjukkan komitmen Indonesia untuk menyelesaikan berbagai sengketa tidak lagi menggunakan kekerasan dan senjata melainkan lewat berbagai kesepakatan, negosiasi dan jabat tangan secara adil dan bermartabat. Patut disadari bahwa perdamaian abadi dan keadilan sosial adalah amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) Tahun 1945 sebagai negara yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan secara adil dan beradab. Indonesia tidak hanya peduli kepada perdamaian di negara-negara lain melainkan juga peduli kepada perdamaian internal. Perdamaian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka tersebut patut didukung oleh kekuatankekuatan politik, termasuk Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) yang merupakan lembaga perwakilan daerah di tingkat nasional. Karena perdamaian tersebut merupakan perwujudan dari keinginan seluruh rakyat Indonesia. Di samping itu, kesepakatan damai hanya dapat tercapai apabila masing-masing pihak yang terlibat konflik dapat sating mendukung dan membangun rasa saling percaya. Aceh sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan sekaligus bersifat istimewa telah mempunyai pengaturan pemerintahan daerah sendiri berupa Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sepanjang usia Republik Indonesia, hanya Aceh, DKI Jakarta, Yogyakarta dan Papua yang mendapatkan status sebagai provinsi otonomi khusus, daerah khusus, daerah istimewa, atau gabungan daerah istimewa dengan daerah otonomi khusus. Status tersebut tidak diiringi dengan perbaikan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat Aceh. Selain daerah istimewa dan daerah dengan status otonomi khusus, Aceh juga dikenal sebagai daerah konflik, kemudian menjadi daerah bencana paling besar pada awal abad ke-21 ini. Dengan situasi yang paradoks itu, diperlukan kesadaran semua pihak untuk mengembalikan Aceh kepada situasi normal, tetapi tetap dengan keistimewaan dan kekhususannya. Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Berdasarkan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka akan segera dikeluarkan undang-undang baru tentang penyelenggaraan pemerintahan Aceh. Oleh karena itu, UndangUndang Nomor 18 Tahun 2001 perlu ditelaah kembali secara menyeluruh. Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU PA) sangat diperlukan dalam upaya menciptakan kondisi penyelenggaraan pemerintahan Aceh ke arah yang demokratis dan adil. DPD RI sebagai lembaga negara yang merupakan representasi dari seluruh daerah di Indonesia sangat peduli dengan permasalahan dan perkembangan Aceh. Berbagai Iangkah telah dilakukan oleh DPD RI, termasuk sebelumnya memberikan pertimbangan atas kedudukan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh dan Nias, serta membentuk tim khusus dalam menangani bencana alam di Aceh dan Nias. DPD RI memberikan perhatian penuh kepada Aceh terlebih dalam perannya sebagai lembaga negara yang ditugaskan konstitusi untuk memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan daerah, tanpa harus kehilangan kepedulian atas kepentingan bangsa dan negara. II.
PANDANGAN DAN PENDAPAT DPD DPD RI telah melakukan pembahasan secara intensif terarah, Komprehensif, dan holistik guna memberikan pandangan dan pendapat terhadap RUU PA dengan tetap memperhatikan aspirasi masyarakat Aceh yang berkembang dengan melihat langsung kondisi Aceh melalui kunjungan kerja. DPD RI telah mengundang para tokoh dari berbagai kalangan dan narasumber dari berbagai disiplin ilmu untuk memberikan koreksi serta saran sehingga RUU PA secara substansi akademis dan aspiratif dapat dipertanggung jawabkan. Pandangan dan pendapat tersebut disusun dengan didasarkan pada RUU PA yang berasal dari Pemerintah dan DPRD NAD dengan mengkaji latar belakang dan perumusan muatan mated yang terdapat dalam pasal-pasal, Khususnya menyangkut pasal-pasal yang secara substansial sangat krusial untuk dikritisi bersama. Secara urnum, dalam mengkaji dan menyikapi RUU PA perlu dicermati secara komprehensif meliputi aspek filosofis, aspiratif, dan yuridis. Aspek filosofis yaitu tetap dalam koridor sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek aspiratif yaitu masukan dan saran dari berbagai Dihak, termasuk pakar dan kelompok masyarakat Iainnya baik yang isampaikan secara tertulis maupun melalui kunjungan kerja DPD RI. Aspek yuridis yaitu 1) kesesuaian substansi undang-undang dengan UUD Tahun 1945, 2) kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah dan undang-undang terkait Iainnya gang berlaku nasional, 3) kesesuaian dengan undang-undang tentang keistimewaan dan otonomi khusus bagi Aceh, 4) mempertimbangkan kepentingan khusus Aceh dan memperhatikan butir-butir Nota Kesepahaman, dengan melihat dampaknya bagi kepentingan daerah lain, nasional dan internasional. Tetapi. aspek komprehensif itu juga harus mengandung unsur terobosan-terobosan politik baru, karena Perubahan UUD 1945 telah secara nyata membuka peluang bagi dibentuknya daerah-daerah khusus dan lain-lainnya dengan kewenangan yang berbeda antardaerah melalui prinsip desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Secara filosofis dan legalistik RUU PA berada dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan landasan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pancasila adalah dasar negara dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Dengan prinsip itu, pada dasarnya perbedaan bentuk pemerintahan di daerah tidak menjadi persoalan, selama tujuan akhirnya adalah demi tercapainya tujuan bangsa dan negara. Perumusan RUU PA harus tetap mengindahkan dan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: •
UU PA harus bersifat visioner, menyongsong masa depan yang lebih adil, bermartabat dan berkesinambungan.
•
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 merupakan pemenuhan aspirasi rakyat Aceh di masa lalu oleh pemerintah, sehingga undangundang ini merupakan motivasi untuk pelaksanaan syariat Islam seperti yang tertuang dalam semangat RUU PA mengenai Kewenangan Mahkamah Syari'ah. •
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Undang-undang ini mengandung makna komitmen Pemerintah atas tuntutan keadilan bagi rakyat Aceh khususnya dalam pembagian hasil pendapatan Sumber Daya Alam antara Pusat dan Daerah. Pada saat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dicabut karena berlakunya UU PA, maka substansi esensial berupa hak dan wewenang otonomi khusus yang selama ini telah dilimpahkan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Provinsi NAD, seyogyanya tidak boleh berkurang bahkan perlu diperjelas dan dipertegas kembali. Selain itu pasal-pasal penting dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dimasukkan ke dalam UU PA, sehingga terbangun rangkaian kesinambungan yang tidak putus dengan pemerintahan sebelumnya.
•
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daarah. Undang-undang ini dapat menjadi rujukan inovatif dalam kerangka penyelenggaraan otonomi daerah di tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Yaitu, pembagian urusan pemerintahan tidak hanya terbatas sampai di tingkat provinsi, kabupaten dan kota namun juga sampai kepada gampong (setingkat desa) yang berhak untuk menyelenggarakan urusan rumah tangganya. Serta dapat dijadikan landasan untuk perspektif pemekaran daerah yang disesuaikan dengan tingkat prioritas dan dinamika masyarakat di masa depan.
•
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang Undang-uncang ini hendaknya segera dilaksanakan untuk mengejar ketertinggalan pembangunan dan pengembangan daerah. Dalam kaitan ini Pemda Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah menoeluarkan Qanun Nomor 4 Tahun 2004 tentang Tata Niaga Pemasukan dan Pengeluaran Barang Melalui Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang dari dan ke Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tetapi dalam pelaksanaannya diabaikan oleh pemerintah. Oleh karenanya, peraturan pelaksanaan untuk undang-undang ini perlu secara konsisten dilimpahkan kepada Qanun dengan memperhatikan norma-norma hukum internasional.
•
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Undang-undang ini bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Usaha pertahanan dilaksanakan dengan membangun, memelihara, mengembangkan dan menggunakan kekuatan Pertahanan Negara berdasarkan prinsipprinsip demokrasi, hak asasi manusia, kesejahteraan umum, lingkungan hidup, ketentuan hukum nasional, hukum internasional dan kebiasaan internasional, serta prinsip hidup berdampingan secara damai. Sebagai wilayah paling barat yang berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga, seyogyanya juga dipikirkan tentang strategi pertahanan Aceh yang juga bisa melibatkan seluruh elemen pertahanan negara.
•
Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 perlu ditambahkan dalam konsideran karena undang-undang ini mengatur soal-soal internal anggota TNI, termasuk hak dan kewajibannya. Sebagai bagian penting dari unsur pertahanan negara, TNI telah menunjukkan sumbangsihnya kepada bangsa dan negara Indonesia.
•
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Undang-undang ini memungkinkan Kepolisian Negara Republik Indonesia di Aceh dalam melaksanakan fungsi-fungsi kepolisian lain, misalnya dapat membentuk Kepolisian Khusus seperti Polisi Syari'ah. Namun, syarat-syarat bagi anggota kepolisian syari'ah yang akan ditugaskan di Aceh memerlukan s~sterrr rekrutrnen khusus dan kurikulum khusus. •
BAB XL, Ketentuan Penutup, Pasal 202 Undang-undang sektoral jangan sampai memangkas atau mengurangi makna dan wewenang RUU PA, serta harus dihindari tumpang tindih atau berbenturan dengan RUU PA. Penyesuaian undang-undang sektoral secara rinci harus dimuat dalam UU PA, sehingga UU PA nantinya diberlakukan sebagai lex specialis. Dengan demikian undangundang sektoral tunduk kepada UU PA. Berdasarkan pertimbangan tersebut, DPD RI sesuai dengan fungsi dan kewenangannya memberikan pandangan dan pendapat atas muatan materi RUU PA sebagai bahan pertimbangan bagi DPR RI dalam menyusun, membahas, dan mengesahkan RUU PA menjadi undang-undang, sebagai berikut: a Konsideran Mengingat Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI perlu dicantumkan dalam Konsideran Mengingat untuk mempertegas pengertian bahwa fungsi, tugas serta sistem pertahanan dan keamanan negara dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diatur secara konstitusional. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pengaturan Dasar Pokok-Pokok Agraria perlu dicantumkan dalam Konsideran Mengingat untuk mempertegas dan memperjelas pengaturan dan pengeloiaan pertanahan secara konsisten sesuai dengan norma, standar dan prosedur yang berlaku secara nasional sebagaimana yang tercantum dalam Bab XXIX tentang Pertanahan dalam RUU PA. b BAB II, Pembagian Aceh dan Kawasan Khusus Pasal 5 menegaskan bahwa pembentukan, penghapusan, dan penggabungan kabupaten/kota, kecamatan, mukim, dan gampong/kelurahan sesuai peraturan perundang-undangan. Terhadap rumusan Pasal 5 tersebut, DPD RI memandang bahwa rumusan tersebut sangat diperlukan untuk mengakomodir keinginan masyarakat Aceh untuk pemekaran daerah. c BAB IV, Kewenangan Aceh dan Kewenangan Kabupaten/Kota Dalam RUU Pemerintahan Aceh disebutkan bahwa selain ada 6 kewenangan yang menjadi urusan pemerintah [Pasal 7 ayat (2)], ada urusan pemerintahan lain yang oleh peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai kewenangan Pemerintah [Pasal 7 ayat (3)]. Apa yang dimaksud "urusan pemerintahan lain" sehingga menjadi kewenangan Pemerintah karena d,tafsirkan ada tumpang tindih dengan kewenangan Aceh menyangkut sektor publik diluar 6 (enam) kewenangan pemerintah. Dalam konteks pelaksanaan otonomi seluas-luasnya bagi daerah yang menyandang status keistimewaan seperti NAD, DPD RI mengharapkan adanya ketegasan dari kebijakan Pemerintah yang secara eksplisit dan jelas dapat terakomodir dalam UndangUndang Pemerintahan Aceh sekaligus mengakomodir esensi penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana tertuang dalam Nota Kesepahaman. d BAB X, Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota. Pasal 61 ayat (1) telah mengatur bahwa "Pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota,Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik dan/atau partai politik lokal".
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
e
f
g
Dalam mewujudkan demokratisasi, DPD RI berpendapat bahwa perlu memberikan kesempatan kepada calon perseorangan untuk ikut serta dalam pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Aceh. Figur-figur calon kepala daerah yang tidak terakomodasi melalui partai po:itik atau gabungan partai politik terbuka kesempatan sebagai calon perseorangan. Syarat calon perseorangan haruslah didukung oleh minimal 1% (satu persen) dari jumlah pemilih serta merupakan akumulasi dari paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari jumlah kabupaten/kota untuk gubernur/wakil gubernur dan kecamatan untuk bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota. Sehubungan dengan hal tersebut, DPD RI merekomendasikan, calon perseorangan Iangsung diakomodir oleh Komite Independen Pemilihan (KIP). BAB XI, Partai Politik Lokal Pasal 67 mengatur mengenai pembentukan partai politik lokal oleh penduduk Aceh. Sesuai dengan Pasal 28 UUD 1945, DPD RI mendukung konsep pembentukan partai politik lokal di Aceh. Partai politik lokal diharapkan dapat menjadi sarana pendidikan politik rakyat yang efektif dan merupakan representasi dari partisipasi politik rakyat untuk memberikan peran sertanya dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah dengan tujuan yang dapat diwujudkan secara konsisten, konsekuen dan bertanggungjawab, serta tetap mempertahankan keutuhan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. BAB XVII, Mahkamah Syariah Pasal 101 ayat (1) menyebutkan bahwa "Peradilan Syari'at Islam di Aceh sebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syari'ah yang bebas dari pengaruh pihak manapun". Mengenai Mahkamah Syari'ah ini, DPD RI merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut Mahkamah Syari'ah di Aceh merupakan salah satu bentuk peradilan khusus dan menjadi bagian dari peradilan nasional sesuai UUD Tahun 1945 Pasal 24 ayat (3) "Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman di atur dalam Undang-undang". Peradilan Syari'ah mempunyai sifat berdiri sendiri yang lepas dari peradilan umum. Dengan demikian Mahkamah Syari'ah juga akan mengemban fungsi-fungsi peradilan agama. la mempunyai fungsi mengatur hal-hal yang berkaitan dengan Syari'at Islam seperti Syakhsiyah, Muamalah dan Jinayah. Qanun yang antara lain mengatur pelaksanaan ketentuan pidana dalam Mahkamah Syari'ah memiliki tafsir lex spesialis derogate lex generalis terhadap penetapan sanksi dalam pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Dengan demikian sanksi yang akan dicantumkan dalam Qanun merupakan pengecualian dari ketentuan pada Pasal 143 ayat (2) dan Pasal 145 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. BAB XXIV, Keuangan Pasal 142 ayat (1) menyatakan, "dana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 huruf c merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang dtujukan untuk pembiayaan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan yang besarnya 1 % (satu persen) dari plafon dana alokasi umum nasional selama 5 (lima) tahun". Melihat dari ketidakadilan yang selama ini dirasakan oleh hampir semua masyarakat Aceh ditambah dengan kondisi akibat bencana tsunami, terutama dilihat dari jumlah penduduk miskin, berpendidikan rendah dan kesehatan yang buruk, hendaknya dapat dijadikan pelajaran bagi kita semua untuk dapat bertindak bijaksana dan obyektif atas kondisi tersebut. Untuk itu, pembangunan Aceh ke depan selayaknya mengutamakan Indeks Pembangunan Manusia berdasarkan standar kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja. Parameter-parameter yang objektif selayaknya diberikan, berikut Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
h
tahapan-tahapannya, tidak sekadar kebijakan yang bersifat tambal sulam. Tersedia momentum dan kesempatan yang sangat luas untuk mencapai Indeks Pembangunan Manusia yang baik di Aceh, terutama karena banyaknya bantuan masyarakat internasional pasca-tsunami. Berangkat dari pemikiran tersebut dikaitkan dengan usulan dana tambahan oleh Pemerintah sebesar 1 % dari Dana Afokasi Umum Nasional maka patut untuk ditinjau dan dikaji kembali. Sedangkan tuntutan masyarakat Aceh untuk meminta 5% (lima persen) dana tambahan yang bersifat permanen dapat dipahami. Namun demikian dengan pertimbangan kemampuan keuangan negara dan mengingat solidaritas terhadap daerah-daerah lainnya, maka DPD RI mengusulkan dana tambahan tersebut sebesar 3% (tiga persen) dari plafon dana alokasi umum selama 15 (lima belas) tahun dalam rangka mendorong proses percepatan pemulihan pembangunan yang tertinggal selama tiga dekade. BAB XXIX, Pertanahan Pasal 161 ayat (1) mengatur bahwa Rakyat Aceh memiliki hak-hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. DPD RI merekomendasikan bahwa masalah pertanahan dan pengelolaan sumber daya alam perlu merujuk undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Pasal 2 ayat (4), yaitu hak-hak atas tanah tetap memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan prinsip otonomi daerah.
III.
KESIMPULAN Berdasarkan pertimbangan dan telaah pasal demi pasal, DPD memandang perlu agar DPR dan Pemerintah untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh menjadi Undang-Undang dengan memperhatikan secara sungguhsungguh pandangan dan pendapat DPD atas rancangan undang-undang dimaksud. Berkenaan dengan pasal-pasal lain dari RUU Pemerintahan Aceh yang secara substansial tidak dikritisi oleh DPD, secara prinsip DPD sepaham dengan RUU Pemerintahan Aceh yang disampaikan oleh Pemerintah. DPD RI menyadari walaupun keikutsertaan DPD RI dalam pembahasan RUU hanya pada awal Pembicaraan Tingkat I, namun bila diperlukan DPD masih bersedia untuk dilibatkan dalam pembahasan lanjutan guna memperjelas pandangan dan pendapat DPD yang telah sampaikan. Berkenaan dengan pandangan ini, perlu kami sampaikan pula bahwa DPD akan melakukan tugas pengawalan terhadap implementasi undang-undang tentang Pemerintahan Aceh ini sebagai bentuk tanggung jawab dalam menjalankan kewajiban konstitusionalnya berdasarkan UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003. DPD akan mengoptimalkan perannya sebagai lembaga yang memperjuangkan kepentingan daerah dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia.
IV.
PENUTUP Pertimbangan DPD RI atas RUU PA untuk dapat ditelaah dengan bijak karena kehadiran undang-undang baru ini merupakan momentum bersejarah untuk mengantarkan Aceh menuju masyarakat yang adil, sejahtera clan bermartabat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Jakarta, 15 Maret 2006 DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA PIMPINAN
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net