PANDANGAN ATAS SEKITARKU - 32 Ternyata kita kemarin belum menyinggung sama sekali penggandaan sesuatu yang tersimpan secara digital. Baru yang analog saja. Mengenai pengertian digit dan digital dalam KBBI, adalah sebagaimana kutipan dibawah ini [yang mungkin tambah membingungkan]. Enaknya, ya itulah, “bukan analog”. di·gi·tal a berhubungan dengan angka-angka untuk sistem perhitungan tertentu; berhubungan dengan penomoran di·gi·ta·li·sa·si n proses pemberian atau pemakaian sistem digital: di·git n 1 letak angka pada bilangan; 2 angka Arab dari 0—9; setiap angka yang terdapat dalam deret angka yang tidak merujuk kepada sistem desimal, misal nomor telepon; -- biner digit berdasar dua (tentang bilangan pada sistem bilangan; -- uji digit yang secara aritmetik berhubungan dengan data lainnya yang dapat digunakan untuk menguji ketepatan data tersebut
Dan ternyata uraian tentang analog dalam KBBI, makin membuat tambah bingung, antara lain ana·log a bersangkutan dengan analogi; sama; serupa; ana·lo·gi n 1 persamaan atau persesuaian antara dua benda atau hal yg berlainan; kias: 2 Ling kesepadanan antara bentuk bahasa yg menjadi dasar terjadinya bentuk lain; 3 Mik sesuatu yg sama dl bentuk, susunan, atau fungsi, tetapi berlainan asal-usulnya sehingga tidak ada hubungan kekerabatan; 4 Sas kesamaan sebagian ciri antara dua benda atau hal yg dapat dipakai untuk dasar perbandingan; meng·a·na·lo·gi·kan v membuat sesuatu yg baru berdasarkan contoh yg sudah ada; mereka-reka bentuk kata baru dng mencontoh bentuk yg telah ada Karena sama-sama membingungkan, ya sudah tidak usah didefinisikan saja ya. Tetapi anda, dalam penerapan keseharian akan merasakan beda antara yang analog dengan yang digital. Setuju bukan? Anda bisa membedakan rekaman suara dalam kelompok analog, seperti piringan hitam [yang berdasarkan lekukan], pita, kaset [yang magnetik], dengan kelompok digital seperti floppy-disk [8” dan 5 ¼”], disket, hardisk, flashdisk, CD, DVD dan format-format lainnya yang anda dengarkan melalui berbagai gadget dan komputer anda. Begitu juga untuk video dan data. Bahkan juga pernah merasakan antara telepon analog dan telepon digital, siaran radio yang analog maupun digital, dan juga siaran televisi yang analog dan digital. Seakan-akan semua yang analog pelahan tetapi pasti akan digantikan dengan yang digital. Atau malah sudah semuanya?
Dikotomi antara analog dan digital ini, harus dibedakan antara yang berkenaan dengan proses dan tampilan. Baik gambar yang dikiri maupun yang di kanan, adalah sama-sama multi tester atau AVO meter yang prosesnya secara analog, namun tampilannya yang dikiri tetap analog sedang yang dikanan sudah digital. Dalam hal tampilan yang terlihat oleh mata, menjadi lebih mudah untuk membedakannya. Peralatan yang ditayangkan digambar di bawah ini, kesemuanya menghasilkan tampilan suara yang analog, namun proses pengolahan suara tersebut dilakukan secara berbeda. Misalnya gramofon [1], radio [2] dan cassette player [3] memproses secara analog [dari input sampai output], sedangkan MP3 Player [4] dan dari peralatan mutakhir lainnya, memproses secara digital baru kemudian pada tahap akhir dikonversi menjadi analog. Karena telinga kita, [konon] tidak dapat menerima masukan berupa yang digital, hanya analog saja. 1
2
3
4
“Grandfather’s Clock? No.” Ini adalah alat pemutar cakram musik, buatan tangan yang dibuat di Jerman dengan merk dagang Komet, yang katanya di dunia ini hanya bersisa dua saja. Sebuah di Jerman dan sebuah lagi di Museum [Istana] Sultan Siak, di Riau. Cakram yang berisi “rekaman musik” tersebut berupa pelat logam tak berkarat dengan diameter yang cukup besar [~ 50 cm] dan cukup tebal, dengan lubanglubang pendek dan panjang yang memanjang dalam alur membentuk spiral, dan hanya untuk satu lagu. Lagunya adalah musik klasik dari Mozart dan Bethoven. Yang kelihatan putih seperti piringan penunjuk jam pada Grandfather’s Clock tersebut, adalah cakram logam yang berisi lagu, yang diletakkan secara vertikal dan diputar dengan mekanisme pegas seperti gramofon yang kemudian mengikutinya. Beruntung, sewaktu saya berkunjung ke sana sempat juga diperdengarkan salah satu lagu dari koleksi yang ada. Bila ada kesempatan ke Siak, jangan lewatkan kesempatan.
Kalau dibandingkan dengan suara dari berbagai alat yang ada sekarang, bukan lagi “bainas samaa’ wal ardh” alias antara langit dan bumi, nahkan “bainas samaa’ was sumur” alias antara langit dan sumur, biar lebih jauh perbandingannya. Walau dengan suara dari alat yang murahan sekalipun. Tetapi kalau itu diperdengarkan pada peralihan abad XIX-XX yang lalu, apalagi di tepian Sangai Siak yang tentu masih lengang, tentu akan lain nuansa kenikmatannya. Bukankah ujung-ujungnya itu yang dicari?
Evolusi di dunia piringan atau cakram juga berlangsung sejak lama, dan sepertinya masih terus berlangsung hingga kini. Dari CD yang hanya 700 Mb atau 0,7 Gb telah hidup berdampingan dengan DVD yang sekarang mampu menyimpan 4,7 Gb yang setara dengan 120 menit video [dan audio]. Dan sepertinya sudah muncul HD DVD, yang mungkin akan segera beredar di negeri kita [mungkin menunggu drivernya terpasang di aneka alat yang ada] yang mampu menyimpan sebesr 30 Gb, walau dengan ukuran fisik sebesar CD bukan sebesar Laser Disk yang dulu juga pernah populer. Mungkin nanti CD tinggal berarti singkatan Celana Dalam saja.
Jika anda memperhatikan informasi yang tertera dalam piringan hitam pada gambar pada halaman sebelumnya, ada yang tertulis 33 1/3 rpm dan yang satunya 45 rpm. Artinya berputar dengan kecepatan sudut yang tetap [CAV – constant angular velocity], walau memiliki standar yang berbeda tetapi bisa diputar dalam satu alat yang sama. Tetapi agak aneh juga ya pemilihannya, yang satu 33 1/3 yang satunya 45, kenapa bukan 30 dengan 45, atau dengan perbandingan gigi 2:3. Entahlah. Piringan atau cakram yang lainnya, generasi berikutnya, walaupun kebanyakan masih menganut cara CAV, tetapi juga ada yang CLV – constant linear velocity, dan bahkan CAA – constant angular acceleration. Perubahan yang paling mendasar dari penyimpanan data dalam pita dibanding dalam cakram adalah dalam cara mengaksesnya. Kalau pita harus secara sekuensial [pernah kan anda dibuat jengkel bila habis mendengarkan satu lagu lalu mau pindah ke lagu lain yang berjauhan urutannya], tidak demikian halnya dengan cakram, bisa berganti ke yang mana saja, tidak harus urut. Kembali ke perihal semula, yaitu tentang penggandaan. Kalau masih menggunakan piringan hitam [apalagi piringannya Komet yang di Siak] – kecuali pabrik pembuatnya – hampir mustahil untuk menggandakannya. Karena itu, di jaman piringan hitam lagu-lagu kuranglah populer di kalangan rakyat kebanyakan karena tidak merakyat, antara lain karena harga piringan dan pemutarnya, relatif belum terjangkau. Jadi hanya kalangan tertentu saja yang bisa menikmatinya, masyarakat umumnya hanya mendengar dari siaran radio yang juga baru beberapa jam saja seharinya. Agak seringnya malah bila ada pengantin, dimana sering juga diperdengarkan lagu-lagu yang berasal dari piringan hitam oleh pemilik pengeras suara yang disewa. Setidaknya itu yang berlangsung di daerah kelahiranku dulu, mungkin juga berbeda dengan tempat lain ya.
Keadaan berubah drastis setelah munculnya Compact Cassette [atau disebut saja kaset] yang diciptakan oleh Philips, dan hebatnya lagi penemuan tersebut konon tidak dipatenkan [konon atas tekanan dari Sony]. Walaupun dengan ukuran fisik kaset yang sama, ada yang berkemampuan dari 60 menit, 90 menit dan 120 menit [untuk kedua sisi – side A dan side B], walau ada juga yang lainnya untuk keperluan khusus. Bagi mereka yang hidup di 4 dekade terakhir milenium ke 2, bisa dipastikan mengenal kaset ini. Selain dijual dalam bentuk kosongan untuk keperluan merekam sendiri, juga tersedia yang pre-recoded dengan isi lagu-lagu yang sama dengan yang tersedia dalam bentuk piringan hitam. Bahkan pada masa jayanya, kaset pre-recorded juga tersedia dengan isi ceramah, wayang, ludruk dan lain-lainnya. Mudahnya isi rekaman untuk digandakan, bahkan dengan peralatan kelas rumah tangga, hingga suatu saat tersedia kaset bajakan dengan harga Rp 1.000 [atau Rp 10.000 ya] dapat tiga. Tapi jangan bertanya tentang mutunya, karena salah satu kelemahan dari perekaman secara analog ini, adalah menurunnya mutu setelah beberapa kali direkam dan diputar. Dan keunggulan perekaman dengan digital, adalah tidak menurunnya kualitas rekaman, walau diakses dan digandakan secara berulang-ulang. Katanya, lho. Selain itu, juga kapasitasnya yang sangat besar sekali, dalam berbaga bentuk format rekaman, baik untuk teks, gambar, suara dan juga gambar bergerak. Walaupun banyak format yang bisa digunakan, tetapi fasilitas untuk mengubah dari satu format ke format yang lainnya, membuat rekaman dan penggandaan secara digital ini sangatlah populer. Dan yang paling berpengaruh, kemudahan mendigitalkannya.
Dan semua proses dan pengolahan penggandaan tersebut, dapat dilakukan hanya dengan menggunakan komputer beserta peripheral yang diperlukan mulai dari skala rumah tangga. Apalagi dengan berkembangnya pemotretan secara digital, yang langsung mematikan pemotretan dengan menggunakan film seluloid dan membuat kamera analog sebaik apapun harus menjalani pensiun dini, semuanya menjadi semakin mudah saja. Telepon genggampun, selain untuk menelpon dan mengirimkan SMS, juga bisa melakukan pemotretan, perekaman suara, perekaman gambar bergerak, menyimpan hasilnya dan bahkan mengirimkan ke pihak lain, semuanya dalam sekejap saja, tanpa perlu tambahan peralatan. Dan kompatibilitas antara komputer [dengan berbagai jenis dan bentuknya] dengan telepon genggam [apalagi yang tergolong smartphone] semakin memperkuat posisi keduanya dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa salah satunya, apalagi keduanya, banyak orang merasakan adanya kekurangan yang tidak tergantikan, dan bahkan bisa sewot dan terasa lemah lunglai. Kalau saat ini anda mendengar kata komputer, yang dimaksud tentulah komputer digital. Tetapi adakah komputer analog sebelum itu? Bagaimanakah keberadaannya? Kita lihat sebentar lagi ya, mungkin ada yang tertarik [hanya karena belum pernah memperhatikan saja]. ٓ َ ى َء Fa biayyi alaa’i Rabbikuma tukadzdzibaan. ان ِ َ فَ ِبأ ِ َاَل ِء َر ِب ُك َما تُك َِذب Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Saifuddien Sjaaf Maskoen