LAMPIRAN KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 /DPD RI/IV/2010-2011 TENTANG PANDANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KEAMANAN NASIONAL
JAKARTA 2011
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Perubahan dinamika lingkungan strategis pasca perang dingin telah berdampak pada penataan ulang sektor keamanan di banyak negara melalui program reformasi sektor keamanan. Di Indonesia, agenda reformasi sektor keamanan itu salah satunya meliputi perubahan di level regulasi dan kebijakan. Namun demikian, perubahan-perubahan di level regulasi selama ini dinilai belum cukup sehingga Pemerintah menginisiasi RUU Keamanan Nasional melalui Surat Presiden Nomor: R-28/Pres/05/2011 tanggal 23 Mei 2011 yang ditujukan kepada DPR RI dan dengan tembusan kepada DPD RI. Rancangan Undang-Undang tentang Keamanan Nasional (Kamnas) sebetulnya telah muncul sejak tahun 2005.1 Pada saat itu RUU Kamnas, yang semula bernama RUU
Pertahanan
dan
Keamanan
Negara
(Hankamneg)2,
diajukan
atas
usulan/inisiatif Pemerintah melalui Departemen Pertahanan.3 Pada tahun 2007 RUU Hankamneg kemudian berubah nama menjadi RUU Keamanan Nasional.4 Sejak awal kemunculannya, RUU Keamanan Nasional telah menimbulkan kontroversi dan tentangan dari banyak kalangan baik itu dari DPR, akademisi maupun kelompok masyarakat sipil. Sebagian besar dari mereka menilai RUU Keamanan Nasional tidak menghormati tata nilai hak asasi manusia dan prinsip good governence.5 Di awal tahun 2009, pembahasan RUU Keamanan Nasional semakin memanas di parlemen dan akhirnya RUU Keamanan Nasional gagal disepakati dan disahkan 1
“Menhan; RUU kamnas jangan setali tiga uang”: http://www.detiknews.com/read/2005/12/23/194725/505196/10/menhan-ruu-keamanan-nasional-jangansetali-tiga-uang?nd992203605 2 “TNI –Polri tetap dipisah”; http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=117984 3 :Menhan ajukan empat RUU ke DPR”: http://www.mimbarpini.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=743 4 “RUU Kamnas; Dephan Tetap Pegang Kendali”: http://www.arsip.net/id/link.php?lh=VQECAlFVCAFX 5 Soal kamnas; jangan ada ego sektoral”: http://nasional.kompas.com/read/2008/03/26/2040527/Soal.Kamnas.Jangan.ada.Ego-Sektoral.
1
oleh DPR periode 2004-2009. RUU Keamanan Nasional kembali menjadi pembahasan pada 2011 setelah Pemerintah kembali menyerahkan RUU tersebut ke parlemen. Namun demikian, RUU Kamnas versi Pemerintah 2011 kembali mendapatkan kritik dari banyak kalangan baik itu dari anggota DPR, akademisi maupun masyarakat sipil. Kritik terhadap RUU Kamnas sebenarnya hampir sama dengan kritik sebelumnya yakni RUU Kamnas tidak menghormati tata nilai HAM, good governance, dimensi ancaman serta ruang lingkup yang diatur terlalu luas sehingga bernuansa sekuritisasi.
1.2. Maksud dan Tujuan Menanggapi Surat Presiden terkait dengan RUU Keamanan Nasional, DPD RI merumuskan suatu Pandangan Umum DPD RI atas RUU Keamanan Nasional. Walaupun RUU Kamnas ini secara eksplisit bukan tergolong sebagai isu yang terkait dengan tugas dan kewenangan DPD akan tetapi karena ketentuan-ketentuan yang diatur dalam RUU ini terkait dengan kepentingan daerah maka DPD memandang perlu untuk menyampaikan Pandangan sebagai bahan masukan bagi DPR dalam melakukan pembahasan bersama Pemerintah. Tujuannya adalah agar setiap rumusan ketentuan dalam RUU ini dapat merupakan kebijakan yang benar-benar menjawab kebutuhan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi terutama oleh unsur-unsur penyelenggaraan keamanan dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat serta berada dalam bingkai supremasi hukum yang menjamin perlindungan HAM.
1.3. Dasar Dasar pambahasan RUU ini dilandaskan pada Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengenai Dewan Perwakilan Daerah, UU No 27 Tahun 2009 tentang DPR, MPR, DPD, dan DPRD, UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan DPD mengenai Tata Tertib DPD.
2
1.4. Ruang Lingkup Materi naskah ini mencakup ruang lingkup tentang Pandangan Umum DPD terhadap isu-isu sentral yang tertuang dalam RUU Kamnas beserta naskah akademiknya dan Pandangan Khusus terhadap Pasal Per Pasal RUU Kamnas.
3
BAB II DASAR PEMIKIRAN
2.1. Pengertian Keamanan Seperti dikutip oleh Komisi Konstitusi, (suatu lembaga yang secara khusus dibentuk oleh MPR untuk mengkaji dan mengajukan usulan perubahan UUD 1945 pada tahun 2004), pada awal mulanya konsep keamanan hanya menyangkut pengertian yang berkaitan dengan keamanan suatu negara, yakni : ”closely tied to a state’s defense of sovereign interests by military means. At its most fundamental level, the term security has meant the effort to protect a population and territory againts organized force while advancing state interests through competitive behavior.”6 Karena hanya menyangkut keamanan negara, istilah keamanan acapkali disebut sebagai keamanan nasional. Karena itu pasca Perang Dunia II: ”national security was seen primarily as the protection from external invasion, an attitude primarily driven by the war. As a result, the original concept had a strong military component.”7 Walaupun bagi Amerika Serikat, pemahaman istilah tersebut diperluas sehingga menjadi ”the protection of the United States from major threats to our territorial, political, or economic well-being,”8 konsep keamanan nasional tetap saja dikaitkan dengan jaminan perlindungan keamanan negara. Dalam literatur kepolisian pengertian keamanan secara umum adalah: “keadaan atau kondisi bebas dari gangguan fisik, maupun psikis, terlindunginya keselamatan jiwa dan terjaminnya harta benda dari segala macam ancaman gangguan dan bahaya”. Dengan melihat pengertian tentang keamanan sebagaimana dimaksud di atas, jelaslah bahwa keamanan memiliki pengertian yang sangat luas, tidak lagi hanya menyangkut bidang militer saja. Istilah ”security” juga bahkan digunakan dalam bidang keuangan/perdagangan saham (sekuritas). Karena itu kita tidak bisa serta 6
Patrick J. Garrity mengutip Geoffrey D. Dabelko dan David D.Dabelko Stephen Cambone (1998), A. New Structure for National Security Policy Planning, hlm.107. 12 Christopher Schoemaker (1991), The NSC Staff, Counseling the Council, hlm.3 – 4. 8 Ibid, hlm. 5.
4
merta menggunakan istilah keamanan untuk suatu pengertian belaka. Pada dewasa ini ada istilah-istilah ”international security”, ”world security”, ”global security”. Istilah ”national security” yang digunakan Amerika Serikat dalam ”national security council” menjangkau perang di Afghanistan dan Irak. Setelah peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat dibentuk Departement of Homeland Security. Ada juga istilah societal security dan ethnic security, karena itu harus jelas apa yang dimaksud yang hendak diamankan bila menggunakan istilah security. 9 Alan Collins dalam bukunya ”Security and South East Asia : Domestic, Regional and Global Issues” tahun 2003, mengajukan pertanyaan para pakar tentang security : What does it mean to be secured ? What is to be secured and what constitutes a threat? Secara tradisional, negaralah yang menjadi perhatian, baik kedaulatan ataupun integritas wilayah dari ancaman militer dari luar. Perhatian demikian terutama terdapat pada masa perang dingin. Semenjak tahun 1994 dengan keluarnya The Human Development Report dari UNDP, dikenal istilah ”human security” yang mengidentifikasi 7 (tujuh) elemen yang merupakan human security, yaitu (1) economic security, (2) food security, (3) health security, (4) environmental security, (5) personal security, (6) community security, (7) political security. Fokus Human Security adalah manusia, bukan negara. Banyak pula pakar berpendapat, walaupun ”security of the people” menjadi tujuan utama, namun itu dapat dicapai dengan memperkuat state security. Berdasarkan uraian di atas istilah keamanan mempunyai pengertian yang beraneka ragam sehingga tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi harus dikaitkan dengan sesuatu. Pengertian istilah keamanan sangat tergantung pada kata yang mengikutinya. Ditinjau dari tatanannya, paling tidak kita bisa mengelompokkan ada 4 (empat) kategori keamanan, yaitu: (1) International Security; (2) National (State) Security; (3) Public Security (And Order), dan (4) Human Security. 10
9
Prof. Dr. Awaloedin Djamin, dalam makalah : Kerancuan Istilah “Pertahanan (Defence)” dan “Keamanan (Security)” Dalam Kaitan Tugas TNI dan Polri, Jakarta, April 2004. 10 Ibid.
5
2.1.1. Domain Keamanan Negara, Keamanan Umum, dan Keamanan Manusia Sehubungan dengan beranekanya pengertian keamanan, maka permasalahannya adalah: apakah konsep keamanan negara mencakup keseluruhan masalah keamanan kehidupan dalam negara, misalnya keamanan umum (Kamtibmas) dan keamanan manusia (human security). Keamanan negara adalah hanyalah salah satu bidang keamanan yaitu yang mencakup upaya untuk menjamin keamanan negara sebagai suatu entitas. Walau saling terkait, keamanan negara berada dalam domain yang berbeda dengan keamanan umum. Keamanan negara menyangkut kepentingan eksistensi, keutuhan, dan kedaulatan negara serta keselamatan bangsa, sedangkan keamanan umum menyangkut kepentingan eksistensi/kelangsungan hidup dan ketentraman individu/kelompok orang yang (pada umumnya) hidup dalam negara. Kelompok orang dalam domain pertama disebut rakyat (people) yang terikat dalam persetambatan politik, sedangkan kelompok yang kedua disebut masyarakat (society/community) yang terikat dalam persetambatan sosial. Karena itu ancaman/gangguan terhadap keamanan
negara
belum
tentu
merupakan
ancaman/gangguan
terhadap
ketentraman individu/kelompok/masyarakat. Selanjutnya, keamanan negara dan keamanan umum juga memiliki domain yang berbeda dengan keamanan manusia yang bersifat individual/privat. Keamanan manusia pada dasarnya menyangkut perlindungan atas: (1) hak-hak dasar individu, mencakup: hak hidup, kedudukan sama di mata hukum, perlindungan terhadap diskriminasi yang berbasis ras, etnik, jenis kelamin atau agama; (2) hak-hak legal, mencakup: akses mendapatkan perlindungan hukum serta hak untuk mendapatkan proses hukum yang sah; (3) kebebasan sipil, meliputi: kebebasan berpikir berpendapat dan menjalankan ibadah agama/ kepercayaan; (4) hak-hak kebutuhan dasar, terdiri atas: akses ke bahan pangan, jaminan dasar kesehatan dan terpenuhinya kebutuhan hidup minimum; (5) hak-hak ekonomi, meliputi: hak untuk bekerja, hak rekreasi serta hak jaminan sosial; dan (6) hak-hak politik, yang mencakup: hak dipilih dan memilih dalam jabatan-jabatan politik serta hak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara. Perbedaan prinsip keamanan manusia dengan keamanan negara dan keamanan umum terletak pada sumber ancaman. Ancaman terhadap keamanan manusia 6
hampir sebagian besar justru bersumber dari aktor keamanan negara dan keamanan umum. Dibandingkan dengan aktor keamanan umum yang notabene adalah penegak hukum, aktor keamanan negara mempunyai peluang yang lebih besar mengancam perlindungan atas hak-hak tersebut. Telah menjadi catatan sejarah bahwa kepentingan keamanan negara membuka peluang intervensi atas persoalan kehidupan sehari-hari warga masyarakat dan individu. Negara wajib menjamin kebutuhan keamanan dalam segenap aspek kehidupan dalam negara, seperti keamanan dan ketertiban umum sampai keamanan manusia (human security) yang menjadi hak setiap warga negara, tetapi tidak berarti bahwa yang
dimaksud
dengan
keamanan
negara
adalah
totalitas dari
segenap
permasalahan keamanan yang ada dalam suatu negara. Pengaturan untuk menjamin keamanan bidang lain selain keamanan negara dituangkan dalam masing-masing peraturan perundang-undangan yang terkait, misalnya UU tentang Polri, UU tentang HAM, dan lain-lain. Di sini permasalahannya tidak hanya sekadar persoalan ruang lingkup, tetapi mengandung konsekuensi yang lebih mendalam. Karena pada gilirannya akan membuka peluang intervensi atas nama keamanan negara atas persoalan-persoalan kehidupan sehari-hari warga masyarakat dan individu.11
2.1.2. Memahami Konsep Keamanan Nasional
Penggunaan terma “nasional” dalam konsep “keamanan nasional” mengundang perdebatan yang serius karena akan mencerminkan ruang lingkup konsep. Apakah Kamnas mencakup segenap masalah keamanan secara luas, mulai dari keamanan negara sampai keamanan publik dan privat atau keamanan manusia, atau hanya terbatas pada keamanan “national”. Dalam percakapan sehari-hari tema nasional memberi kesan yang berarti menyeluruh (pusat sampai daerah, semua daerah, semua lapisan masyarakat). Contoh, keluarga berencana nasional, badan pertanahan nasional, dan pendidikan nasional. Sementara itu, “national” dalam Bahasa Inggris berarti nasional dalam pengertian negara atau bangsa.
11
Lihat George Junus Aditjondro, Munir, Imam Prasodjo dan Bambang Widjodjanto dalam Indonesia Di Tengah Transisi, Propatria, 2002.
7
Sejalan dengan perkembangan pemahaman tentang security, pada pasca Perang Dunia II, ruang lingkup konsep keamanan nasional (national security) seperti dikutip oleh Komisi Konstitusi (2004) dari Christopher Schoemaker hanya mencakup “the protection from external invasion, an attitude primarily driven by the war”. Pemahaman yang senada juga ditekankan berbagai literatur, mulai dari pengertian umum dalam kamus (Peter Salim, 2002) sampai pengertian-pengertian khusus yang diberikan oleh pengamat (Edy Prasetyono, 2005; Kusnanto Anggoro, 2004). Pengertian-pengertian tersebut menekankan pada pemahaman yang khusus dalam arti obyeknya, sehingga keamanan nasional tidak mencakup seluruh aspek keamanan dalam suatu negara tetapi difokuskan pada ancaman terhadap negara dan tujuan vital nasional. Sejalan dengan uraian-uraian tersebut, sejumlah pengamat mengemukakan bahwa “pengertian keamanan nasional cenderung berorientasi kepada masalah pertahanan dan masalah hubungan luar negeri. Sebagai bahan renungan Andi Widjajanto yang merujuk Barry Buzan, Ole Waever, dan Jaap de Wilde menekankan: “Ketiga pakar strategi ini memperingatkan para pembuat kebijakan untuk tidak terburu-buru mengeskalasi suatu isu menjadi isu keamanan (sekuritisasi). Suatu isu hanya dapat dikategorikan sebagai isu keamanan jika isu tersebut menghadirkan ancaman nyata (existential threats) terhadap kedaulatan dan keutuhan teritorial negara. Isu keamanan juga hanya akan ditangani oleh aktor militer jika ancaman yang muncul disertai dengan aksi kekerasan bersenjata dan telah ada kepastian bahwa negara telah mengeksplorasi semua kemungkinan penerapan strategi non-kekerasan”12 Buzan, Weaver dan Williams mengatakan bahwa sekuritisasi merupakan versi ekstrim dari politisasi dimana pola pergerakan sekuritisasi membawa politik demokrasi melewati batas aturan yang telah diterapkan.13 Sekuritisasi, dalam hal ini,
12
Prof. Dr. Farouk Muhammad, Keamanan dan Aktor Keamanan, makalah ilmiah: Jakarta, 2003. Buzan, Barry, Ole Weaver, dan Jaap de Wilde (1998) Security: A New Framework for Analysis (Boulder, CO: Lynne Rienner) seperti dikutip Paul D Williams (ed) (2008) dalam Security Studies: an Introduction. (New York: Routledge) hal 126 13
8
berada dititik persilangan antara implementasi demokrasi oleh sebuah pemerintahan atau tindakan otoriter untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi.14 Proses sekuritisasi merubah tata cara politik rutin yang biasa dijalankan pada kondisi normal, dan melimitasi diskusi dan debat yang oleh para pengambil kebijakan dipersepsikan dapat menghambat aksi yang diperlukan untuk menyelesaikan sebuah permasalahan. Sekuritisasi mendefinisikan ulang pilihan-pilihan solusi yang dapat diterapkan dalam menyelesaikan sebuah permasalahan kepada opsi-opsi yang cepat dan koersif, seringkali berbentuk pengerahan instrumen militer, dan mendelegitimasi solusi-solusi jangka panjang dan negosiasi.15 Proses sekuritisasi kemudian dapat membawa dampak buruk terhadap komunitas sosial dimana proses tersebut terjadi. Adanya penekanan pada solusi yang reaktif dan situasional mengakibatkan minimnya pemikiran terbaik untuk menyelesaikan masalah dengan opsi yang menitikberatkan pada korban yang mungkin jatuh akibat proses tersebut. Proses sekuritisasi telah menjadi pengamatan banyak pihak, dan membawa kekhawatiran bahwa proses ini seringkali akan digunakan oleh negara dalam
menyelesaikan
sebuah
permasalahan
yang
terjadi.
SBY
sendiri
mengingatkan: “… agar kita berhati-hati dalam pengambilan keputusan berkenaan dengan wilayah yang kritikal, yaitu the use of military force” (Susilo B. Yudhoyono, 2004).
2.2 Amanat UUD 1945 dan Aspek Legalitas 2.2.1. Amanat UUD 1945 Prinsip dasar tentang politik keamanan tertuang dalam Pasal 27 UUD NRI Tahun 1945
yang
menegaskan
bahwa:
“(1)
segala
warga
negara
bersamaan
kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya; (2) tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; (3) setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.” Pada Bab XII Pasal 30 UUD 1945. Pasal 30 amandemen menyebutkan bahwa: 14
Didier Bigo. International Political Sociology dalam Paul D Williams (ed) (2008) Security Studies: an Introduction. (New York: Routledge) hal 126 15 Ibid
9
(1)
Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
(2)
Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.
(3)
Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
(4)
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
(5)
Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syaratsyarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur dengan undang-undang.
Berangkat dari Pasal 30 UUD 1945 tersebut terlihat bahwa Konstitusi tidak berbicara tentang "keamanan nasional" tetapi "pertahanan dan keamanan negara" atau "keamanan negara". Pasal 30 juga tidak berbicara tentang keamanan insani, melainkan hanya menyangkut ancaman terhadap keamanan negara. Pengaturan terkait keamanan insani tertuang dalam Pasal 28. Jika gangguan terhadap
keamanan
insani
sudah
sedemikian
krusial
sehingga
keutuhan
negara/bangsa sudah terancam maka isu keamanan insani dapat menjadi porsi keamanan negara. Akan tetapi gangguan terhadap keamanan insani yang masih dalam kondisi normal/biasa cukup ditangani secara reguler oleh institusi yang bersangkutan.
10
2.2.2. Aspek Legalitas Suatu rancangan peraturan perundang-undangan keberadaannya harus memiliki landasan filosofis, landasan normatif, dan landasan sosiologis. Landasan filosofis terkait dengan ide negara (staatsidee) yang hendak diwujudkan. Hal ini berhubungan dengan prinsip-prinsip dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang mengilhami konstitusi. Landasan normatif terkait dengan sistem hukum yang berlaku secara keseluruhan. Suatu rancangan undang-undang harus disusun berdasarkan logika dan konsistensi baik vertikal maupun horisontal dari keseluruhan norma hukum yang ada. Sedangkan landasan sosiologis adalah kondisi sosial yang mendasari adanya kebutuhan pengaturan masalah tertentu. Lebih lanjut, pembuatan suatu RUU harus selalu mempertimbangkan asas-asas pembuatan peraturan perundang-undangan. Pasal 5 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan memuat asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagai berikut: a. Kejelasan tujuan. Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat. Setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk
peraturan
perundang-undangan
yang
berwenang.
Peraturan
perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang. c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Pembentukan
peraturan
perundang-undangan
harus
benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang undangannya. d. Dapat dilaksanakan. Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis. 11
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan. Setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan
dan
bermanfaat
dalam
mengatur
kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. f. Kejelasan rumusan. Setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. g. Keterbukaan. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan.
2.3. Hak Asasi Manusia (HAM) dan Human Security Dengan dijadikannya demokrasi sebagai sistem politik maka sudah menjadi keharusan bagi seluruh komponen bangsa untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Pada esensinya, hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. HAM sesungguhnya telah menjadi perhatian dan perjuangan umat manusia bersamaan dengan perkembangan peradaban mencapai kemuliaan kehidupan manusia. HAM adalah anak sejarah yang dilahirkan dan diperjuangkan oleh umat manusia. Maka universalitas HAM tidak bisa dipungkiri lagi. Konsepsi dasar HAM adalah pengakuan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam hal hak dan martabatnya. Semua manusia dikaruniai akal budi dan hati nurani untuk saling berhubungan dalam semangat persaudaraan. Konsepsi hak asasi manusia 12
membuat perbedaan status, seperti ras, gender, agama, dan status sosial menjadi tidak relevan secara politis dan hukum yang menuntut adanya perlakuan yang sama. Jika konsepsi HAM telah menjadi suatu keyakinan dan suara hati nurani, maka adalah hak asasi seseorang untuk mempertahankan, menyampaikan keyakinan tersebut. Dalam konteks itu, hak asasi manusia adalah hak yang tidak dapat dicabut, dalam arti seseorang tidak dapat berhenti menjadi manusia, tidak peduli betapa jahatnya dia bertingkah, atau betapa zalimnya ia diperlakukan. Pada dekade kini HAM tidak lagi sebatas nilai tetapi telah menjadi bagian dari norma hukum internasional yang wajib dipatuhi dan ditaati masing-masing negara. Banyak perjanjian-perjanjian internasional telah dilahirkan sehingga menuntut negara untuk menghormati dan mengimplementasikannya. Dalam konteks kenegaraan, peran negara dalam penegakkan HAM meliputi upaya pemenuhan (to fullfil), perlindungan (to protect), penghormatan (to respect), promosi atau sosialisasi (to promote) nilainilai dan hukum HAM yang ada. Pada hakikatnya Hak Asasi Manusia juga merupakan salah satu inti dari konsep human security (keamanan insani) dimana keamanan manusia pada dasarnya menyangkut perlindungan atas: (1) Hak-hak dasar individu, mencakup, hak hidup, kedudukan sama didepan hukum, perlindungan terhadap diskriminasi yang berbasis ras, etnik, jenis kelamin atau agama; (2) Hak-hak legal, mencakup: akses mendapatkan perlindungan hukum, serta hak untuk mendapatkan proses hukum yang sah; (3) Kebebasan sipil, meliputi: kekebasan berpikir, berpendapat dan menjalankan ibadah agama/kepercayaan; (4) Hak-hak kebutuhan dasar, terdiri atas: akses kebutuhan bahan pangan, jaminan dasar kesehatan dan terpeliharanya kebutuhan hidup minimum; (5) Hak-hak ekonomi, meliputi: hak untuk bekerja, hak untuk rekreasi serta hak jaminan sosial: dan (6) Hak-hak politik, yang mencakup: hak dipilih dan memilih dalam jabatan-jabatan politik serta hak untuk berpartisipasi dalam penyelenggara negara. Substansi human security yang menjadikan HAM sebagai inti nilai didalamnya sesungguhnya tertuang dengan jelas dalam Pasal 28 UUD 1945. Dalam hal yang lebih khusus adalah sangat penting untuk memahami adanya kesepakatan tentang hak-hak asasi minimal yang tidak boleh dilanggar dalam keadaan atau situasi 13
apapun, dimana hak-hak asasi minimal itu disebut sebagai non derogable rights atau hak-hak asasi yang tidak boleh dilanggar. Hak-hak minimal tersebut meliputi hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (Pasal 28 I UUD 1945). Terkait dengan itu maka tidak boleh dan tidak dibenarkan negara dengan atas nama keamanan nasional melanggar hak-hak asasi itu apalagi hak yang bersifat nonderogable rights. Meski pada praktiknya, isu HAM acapkali bertentangan dengan upaya pertahanan dan penegakan keamanan negara yang cenderung bersifat represif. Karena itu, perlu ada kebijakan penegakan keamanan insani. Perwujudan dari kewajiban warga negara dalam ikut membela dan menjamin keamanan negara juga harus dilakukan atas dasar kesadaran berlandaskan asas proporsional dan profesional. Dalam tata kelola keamanan menjadi penting bagi aktor-aktor keamanan untuk menjadikan nilai-nilai dan hukum HAM yang ada sebagai nilai dan rambu-rambu dasar dalam menjalankan tugas dan tindakannya.
2.4. Prinsip-Prinsip Ketatanegaraan a.Supremasi Sipil Pada dasarnya prinsip supremasi sipil mengandung makna adanya kekuasaan sipil mengendalikan aktor-aktor keamanan negara melalui pejabat-pejabat sipil yang dipilih oleh rakyat. Prinsip ini mensyaratkan agar militer, polisi, dan intelijen tunduk dan patuh terhadap otoritas sipil sesuai dengan tata aturan hukum yang berlaku. Pengendalian otoritas sipil terhadap aktor-aktor keamanan negara itu diarahkan pada upaya pengendalian sipil secara obyektif dengan cara memperbesar profesionalisme aktor-aktor keamanan. Lebih lanjut, dalam sistem pemerintahan Presidensial maka Presiden memegang kekuasaan eksekutif tertinggi. Karenanya, Presiden berwenang untuk menentukan kebijakan umum keamanan nasional, berwenang untuk melakukan pengerahan kekuatan bersenjata dan menetapkan status darurat yang dalam level tertentu perlu 14
mendapatkan persetujuan parlemen. Dalam konstitusi secara tegas menyebutkan bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara serta kepolisian. Dengan demikian, tidak dimungkinkan kewenangan-kewenangan tersebut dilakukan oleh aktor negara lainnya selain Presiden. Pada prinsipnya pengelolaan fungsi keamanan negara bersifat terpusat. Fungsi keamanan negara tidak diserahkan ke daerah yang telah diberi otonomi. Sebagai organisasi yang sifatnya terpusat keberadaan aktor-aktor keamanan berada di bawah kendali Presiden sebagaimana ditegaskan dalam konstitusi. Esensi kontrol dan kendali terpusat tersebut sesungguhnya memiliki fungsi untuk membangun dan mengarahkan pembangunan kekuatan pertahanan dan keamanan yang terukur, efektif, dan efisien. Sebab, jika fungsi pertahanan dan keamanan didesentralisasikan maka dapat mempersulit negara untuk membangun kesatuan sistem pertahanan dan keamanan negara yang komprehensif. Selain itu, prinsip terpusat juga mengandung makna perlu adanya pengalokasian anggaran untuk aktor-aktor keamanan yang dilakukan secara terpusat melalui APBN. Sifat sentralitas dalam pengalokasian anggaran itu ditegaskan dalam UU tentang Pertahanan Negara dan UU tentang Polri. Dengan demikian, prinsip sentralitas
tidak
memberi
kemungkinan
bagi
aktor-aktor
keamanan
untuk
mendapatkan anggaran di luar APBN (non-budgeter). Sebab, dalam praktiknya, penggunaan dana-dana di luar APBN oleh lembaga-lembaga negara mengakibatkan suburnya praktik korupsi. Di masa reformasi, dana-dana non-budgeter menjadi bagian agenda dan tuntutan yang harus dihapuskan (kecuali mobilisasi). Dalam kondisi negara yang mengalami eskalasi ancaman keamanan yang tinggi, maka pemerintah dapat menetapkan status keadaan darurat militer. Oleh karena itu, negara dapat melakukan mobilisasi terhadap rakyat untuk kepentingan pertahanan negara dan menjaga integritas wilayah Indonesia. b. Transparansi dan Akuntabilitas Prinsip transparansi dan akuntabilitas secara sederhana dapat diartikan sebagai prinsip yang menginginkan adanya keterbukaan dan pertanggungjawaban negara
15
kepada publik ketika mengelola dan menjalankan seluruh tugas dan fungsi kenegaraannya. Keterbukaan atau transparansi dalam perkembangannya menjadi salah satu prinsip atau pilar negara demokrasi demi terwujudnya kontrol sosial. Transparansi dan kontrol sosial dibutuhkan untuk dapat memperbaiki kelemahan mekanisme kelembagaan demi menjamin kebenaran dan keadilan. Partisipasi secara langsung sangat dibutuhkan karena mekanisme perwakilan di parlemen tidak selalu dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Ini adalah bentuk representation in ideas yang tidak selalu inheren dalam representation in presence. Transparansi menyiratkan makna pentingnya akses informasi bagi warga negara untuk mengetahui segala tindakan yang dilakukan negara. Sebagai wujud dari konsepsi kedaulatan rakyat, rakyat harus mengetahui segala hal tentang penyelenggaraan negara yang menyangkut kepentingan seluruh rakyat, atau yang disebut sebagai kepentingan publik. Sebab, jika publik tidak mengetahui segala sesuatu tentang penyelenggaraan negara, maka dengan sendirinya rakyat tidak dapat menjalankan fungsi kedaulatannya. Akibatnya, negara menjadi organ yang terpisah dan otonom dari publik. Pemerintahan berubah menjadi pemerintahan birokratik otoriter. Sedangkan prinsip akuntabilitas mengandung makna: pertama, perlu adanya pemerintahan yang bertanggungjawab, yang segala perbuatan dan tindakannya bisa diawasi dan dikendalikan oleh masing-masing lembaga negara sesuai dengan fungsinya serta bisa diawasi oleh warga negara. Ini merupakan lawan dari pemerintahan yang tiranik dan otoritarian yang bisa berbuat dan bertindak sesuka hati tanpa kendali sama sekali. Kedua, hak-hak warga negara perlu dikedepankan agar memungkinkan bagi masyarakat untuk mengawasi kinerja lembaga-lembaga negara.
Pada
dasarnya
prinsip
akuntabilitas
mengharuskan
perlunya
pertanggungjawaban publik seorang pemimpin kepada yang dipimpin atau dalam hal ini kepada warga negaranya. Dalam konteks tata kelola keamanan, seluruh aktor-aktor keamanan diberikan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan seluruh tugas, tindakan, dan anggaran yang digunakan kepada Presiden maupun kepada parlemen. Hal ini membawa 16
konsekuensi pentingnya fungsi pengawasan (oversight) oleh parlemen, DPD dan juga mengharuskannya (DPR, DPD, maupun Pemerintah) untuk bersikap transparan dan mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada publik, dengan memberikan akses informasi yang luas kepada publik kendati dalam hal-hal tertentu bersifat rahasia dalam jangka waktu yang ditentukan DPR, DPD, maupun Pemerintah patut untuk membukanya kepada publik.
2.5. Pengelolaan Keamanan Negara Pengelolaan keamanan negara yang dilakukan oleh TNI, Polri, dan intelijen selama ini tentunya didasarkan pada mandat dan kewenangan yang telah diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI dan regulasi bidang keamanan lain yang terkait. Harus diakui terbentuknya beberapa aturan tersebut merupakan capaian positif dari reformasi sektor keamanan, meski masih terdapat beberapa kelemahan. Di dalam Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: (a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
(b)
menegakkan
hukum;
dan
(c)
memberikan
perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam Pasal 7 UU No. 34 Tahun 2004 disebutkan bahwa tugas pokok TNI meliputi operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang yang meliputi mengatasi gerakan separatisme bersenjata; mengatasi pemberontakan bersenjata; mengatasi aksi terorisme; mengamankan wilayah perbatasan; mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis; melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri; mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta
keluarganya;
memberdayakan
wilayah
pertahanan
dan
kekuatan
pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta; membantu tugas pemerintahan di daerah; membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang; membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia; membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan 17
kemanusiaan; membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue);
serta
membantu
Pemerintah
dalam
pengamanan
pelayaran
dan
penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan. Namun demikian tugas operasi militer selain perang itu baru bisa dilakukan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara (Pasal 7 ayat (3)). Berdasarkan kedua undang-undang itu maka sebenarnya
ketentuan yang
membedakan tugas dan fungsi TNI dan Polri sudah cukup memadai, sementara Undang-Undang tentang Intelijen masih dalam proses pembahasan oleh Pemerintah dan DPR. Dalam konteks itu, upaya pertahanan relatif tidak ada permasalahan. Upaya pembinaan keamanan umum pada umumnya juga tidak ada permasalahan. Permasalahan timbul ketika menghadapi gangguan-gangguan keamanan dari dalam negeri yang menunjukkan eskalasi yang meningkat, yang tidak dapat dihadapi melalui skema upaya pertahanan atau status darurat militer tetapi juga dipandang tidak mampu lagi dihadapi dengan skema penegakan keamanan umum. Hal inilah yang dalam beberapa kasus menimbulkan permasalahan hubungan antara TNI dan Polri dalam mengatasi kondisi dan situasi tersebut. Dalam beberapa kasus seperti di Poso, Sampit, Ambon, Sambas, dan terorisme (internasional) acapkali terjadi ketidakcocokan, ketidaksinkronan dan bahkan terjadi bentrokan antara personil TNI dan Polri dalam mengatasi persoalan yang terjadi. Tidak jarang pula terjadi overlapping dan tumpang tindih kerja diantara keduanya. Alhasil, situasi itu justru menimbulkan kerumitan sendiri di lapangan dalam menjaga kondisi keamanan. Sebagai contoh dalam penanggulangan kasus terorisme, anggota Detasemen 88 (antiteror) Polda Jawa Tengah menilai bahwa menurutnya seseorang yang dicurigai terkait dengan bom di Jimbaran dan Kuta gagal ditangkap karena terlalu banyaknya satuan Intel yang turun dan tak berkomunikasi. Target sudah kabur karena ternyata di tempat itu sudah ada intel Kopassus, intel kodam, dan sebagainya. Menurutnya seperti ada rivalitas dan tidak ada komunikasi sehingga banyak hal menjadi mubazir.16
16
Koran Tempo, 3 Oktober 2005
18
Lebih dari itu, Panglima TNI yang ketika itu dijabat oleh Jenderal TNI Endriartono Sutarto menyatakan bahwa sejak awal reformasi tercatat telah terjadi bentrok antara anggota TNI dan Polri sebanyak 15 (lima belas) kali. Mulai dari Ambon, Sampit, Jambi, Aceh Barat, Bogor, dan di Yapen Waropen, hingga Papua. Dalam perjalanannya, kasus bentrok yang melibatkan anggota kedua institusi tersebut masih saja terjadi hingga sekarang. Kasus-kasus bentrokan antara personil TNI dan Polri serta terjadinya tumpang tindih kerja antara TNI dan Polri tentu saja dilatarbelakangi oleh banyak aspek. Mulai dari masalah ego sektoral dan perbedaan pemahaman tentang reformasi sejak proses pemisahan tahun 1999. Namun demikian, alasan yang lebih mendasar adalah bahwa hal itu terjadi karena sejak ditetapkannya Tap MPR No VI dan VII Tahun 2000 karena terdapat kecenderungan bahwa penanganan gangguan keamanan dilakukan secara sektoral. Polri merasa dirinya sebagai penanggungjawab keamanan, sementara TNI cenderung bersikap "lepas tangan" karena memandang diri hanya sebagai kekuatan pertahanan. Situasi “grey area” itulah yang membuat terjadinya konflik dan ketegangan antara TNI dan polri. Terkait dengan persoalan itu, Presiden SBY di atas KRI Nusa Nive tanggal 18-06-2005 (penanda tanganan MoU antara Panglima TNI dan Kapolri) menyikapi dengan menyatakan bahwa “…kalau ada masalah-masalah yang belum klop di antara piranti lunak itu, maka menjadi kewajiban kita ke depan nanti untuk membikin klop sehingga tidak ada perbedaan tafsir, tidak ada daerah yang vakum, juga tidak ada yang overlap. Kalau overlap itu bagian dari koordinasi, sinkronisasi dan sinergi, saya kira wajar dalam organisasi yang mengemban tugas dalam hubungan yang besar tadi. Tetapi kalau overlap dan kevakuman itu karena absennya pengaturan di dalam piranti lunak, maka kita harus isi sehingga lebih pasti, tidak memberikan persoalan di lapangan. Mari kita pedomani itu sebagai rujukan berpikir kita”.17
17
Op.Cit, Prof. Dr. Farouk Muhamad, Kajian konstitusional hal 3.
19
2.6. Perbantuan Situasi ini terjadi karena belum dirumuskannya aturan UU mengenai perbantuan kekuatan TNI dalam rangka membantu tugas Polri. DPD RI mendorong Pemerintah untuk segera menyelesaikan UU yang dimaksud.
2.7. Perbandingan Negara Lain 2.7.1. Amerika Serikat Christopher Schoemaker menekankan bahwa “national security” di Amerika Serikat mengandung pengertian: “the protection of the United States from major threats to our territorial, political, or economic well-being”. AS menggunakan istilah “national” untuk pengertian negara federasi (USA), bukan “state” yang berarti negara bagian. Bahkan bagi AS “national security” adalah keamanan kawasan dunia yang mengancam negara AS, sementara untuk keamanan dalam negeri mereka mengembangkan “homeland security”.18 Pembentukan National Security Act di AS merubah drastis struktur militer dan intelijen Amerika Serikat dan secara langsung mempengaruhi kebijakan luar negeri Amerika Serikat.19 Ditandatangani oleh presiden Harry S Truman pada tanggal 26 Juli 1947.20Undang-undang ini merubah bentuk organisasi militer di Amerika Serikat termasuk berdirinya Angkatan Udara secara terpisah dari Angkatan Darat, dan diperbolehkannya Angkatan Laut Amerika Serikat untuk mempunyai kemampuan tempur udara. Undang undang ini juga secara nyata membentuk komunitas intelijen Amerika Serikat dengan didirikannya The Central Intelligence Agency (CIA) dan sebuah jabatan khusus yang menangani intelijen pusat. Undang-undang ini membentuk National Security Council atau Dewan Keamanan Nasional yang merupakan sebuah komite yang terdiri dari sebelas kursi anggota yang diketuai oleh presiden Amerika Serikat.
Undang-undang
ini
kemudian
mengalami
perubahan
besar
saat
18
Op.Cit, Prof. Dr. Farouk Muhamad (keamanan nasional dalam keamanan ), hal 4 http://www.suite101.com/content/national-security-act-of-1947-a101052 20 http://www.nationalmuseum.af.mil/factsheets/factsheet.asp?id=1845 19
20
ditandatanganinya National Security Reform Act dan Terrorism Prevention Act of 2004. Dewan Keamanan Nasional menjadi tempat utama bagi terjadinya perumusan masalah-masalah keamanan nasional Amerika Serikat. Dewan ini bertugas khusus untuk memberikan masukan kepada Presiden Amerika Serikat mengenai hal-hal apa saja yang menyangkut keamanan nasional termasuk integrasi kebijakan domestik, luar negeri, dan militer yang dimaksudkan untuk mendukung kinerja militer dan instrumen negara termasuk departemen-departemen dan agensi lainnya untuk berkoordinasi dalam bidang-bidang yang termasuk keamanan nasional. Dalam hal pengaturan mengenai status darurat, Amerika Serikat memberlakukan pengaturan mengenai status darurat dalam undang-undang yang terpisah, yaitu The National Emergencies Act of 1976. Aktor keamanan yang diatur dalam National Security Act, meliputi:21 (1) National Security Council; (2) National Security Resources Board; (3) Jajaran Departemen Pertahanan, termasuk; Angkatan Darat, Laut dan Udara.
Sementara itu, komunitas intelijen mencakup: (1)
The Office of the Director of National Intelligence;
(2)
The Central Intelligence Agency;
(3)
The National Security Agency;
(4)
The Defense Intelligence Agency;
(5)
The National Geospatial-Intelligence Agency;
(6)
The National Reconnaisance Office;
(7)
Kantor-kantor lainnya yang berada dibawah departemen pertahanan yang bertugas untuk mengumpulkan data intelijen melalui program-program pengintaian;
(8)
Elemen intelijen angkatan termasuk angkatan darat, angkatan laut, angkatan udara, marinir, FBI, dan departemen energi;
(9) 21
Biro Intelijen dan riset Departemen Luar Negeri Amerika Serikat;
http://intelligence.senate.gov/nsaact1947.pdf
21
(10) Kantor Intelijen dan Analisis Departemen Keuangan Amerika Serikat; (11) Elemen-elemen Departemen Keamanan Dalam Negeri (Homeland Security) yang berkenaan dengan analisis intelijen, termasuk kantor intelijen lepas pantai; (12) Elemen-elemen intelijen lainnya yang ditunjuk oleh Presiden maupun Direktur Intelijen Nasional yang termasuk kedalam komunitas Intelijen. Berangkat dari penjelasan itu maka bisa dilihat bahwa pengaturan keamanan nasional di AS bersifat terbatas yakni lebih ditujukan pada pengaturan manajemen keamanan negara. Tugas Dewan Keamanan Nasional tidak sampai menentukan status keamanan nasional melainkan hanya memberikan rekomendasi dan laporan kepada Presiden tentang kondisi keamanan nasional. Penentuan penetapan kondisi keamanan nasional ditentukan oleh Presiden. Pengaturan tentang status darurat tidak diatur dalam Undang-Undang Keamanan Nasional tetapi diatur dalam undangundang yang terpisah. Tidak ada lembaga koordinasi keamanan nasional daerah/negara bagian yang diatur dalam UU Keamanan Nasional AS.
2.7.2. Turki Secara mendasar, Turki menetapkan Undang-Undang yang berhubungan dengan masalah keamanan nasionalnya kedalam 6 (enam) undang-undang terpisah, yaitu: (1)
Undang-Undang No. 7111 mengenai pembentukan otoritas khusus keadaan darurat 24 jam dalam penerapan undang-undang kegawat daruratan22
(2)
Undang-Undang Kegawat Daruratan No. 293523
(3)
Undang-Undang Mobilisasi Perang No. 294124
(4)
Undang-Undang No. 2945 mengenai Dewan Keamanan Nasional dan Sekretariat Jenderal Dewan Keamanan Nasional 25
22
711 sayılı Nöbetçi Memurluğu Kurulmasını ve Olağanüstü Hal Tatbikatlarında Mesainin 24 Saat Devamını Sağlayan Kanun diakses melalui alamat http://www.sisud.org.tr/index.php?option=com_content&view=article&id=33:711-sayili-nobetci-memurlugukurulmasini-ve-olaganustu-hal-tatbikatlarinda-mesainin-24-saat-devamini-saglayankanun&catid=10:kanun&Itemid=38 23 2935 Sayılı Olağanüstü Hal Kanunu diakses melalui alamat http://www.sisud.org.tr/index.php?option=com_content&view=article&id=32:2935-sayili-olaganustuhal-kanunu&catid=10:kanun&Itemid=38 24 2941 Sayılı Seferberlik ve Savaş Hali Kanunu diakses melalui alamat http://www.sisud.org.tr/index.php?option=com_content&view=article&id=30:2941-sayili-seferberlik-vesavas-hali-kanunu&catid=10:kanun&Itemid=38
22
(5)
Undang-Undang No. 7126 mengenai Pertahanan Sipil 26
(6)
Undang-Undang No. 5902 mengenai Bencana dan Manajemen Kedaruratan: Organisasi dan Tanggung Jawab Presiden27
Dewan Keamanan Nasional di Turki didirikan pada tahun 1961 dengan kalimat yang tertera pada Artikel 111 pada Konstitusi 1961 Turki. Dewan ini terdiri dari Presiden, Perdana Menteri, Deputi Perdana Menteri, Menteri Hukum dan Keadilan, Kepala Staf Militer Turki, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan Nasional, Menteri Luar Negeri, dan Pemimpin Angkatan Darat, Laut, Udara, dan Pasukan Wajib Militer (Gendarmarie). Artikel ke-4 Undang-Undang No. 2945 mengenai Dewan Keamanan Nasional Turki menyatakan bahwa Dewan Keamanan Nasional Turki berkewajiban memberikan saran pada isu-isu yang termasuk kedalam identifikasi dan implementasi dari koordinasi yang dianggap perlu untuk keamanan negara. Perdana Menteri dan jajaran menteri lalu akan membawa rekomendasi kebijakan untuk kemudian dipertimbangkan dan ditetapkan menjadi sebuah kebijakan. Artikel ke-5 Undang-Undang No. 2945 mengenai Dewan Keamanan Nasional Turki menyatakan bahwa dewan ini akan mengadakan pertemuan setiap dua bulan atau apabila diperlukan oleh Perdana Menteri atas usulan Presiden. Pertemuan Dewan akan dipimpin oleh Presiden, dan apabila Presiden berhalangan akan dapat digantikan oleh perdana menteri. Sekretaris Jenderal Dewan Keamanan Nasional Turki dipilih oleh Perdana Menteri Turki dengan persetujuan Presiden.
25
2945 Sayılı Milli Güvenlik Kurulu ve Milli Güvenlik Kurulu Genel Sekreterliği Kanunu diakses melalui alamat http://www.sisud.org.tr/index.php?option=com_content&view=article&id=29:2945-sayili-milliguvenlik-kurulu-ve-sekreterligi-kanunu&catid=10:kanun&Itemid=38 26 7126 Sayılı Sivil Savunma Kanunu diakses melalui alamat http://www.sisud.org.tr/index.php?option=com_content&view=article&id=28:7126-sayili-sivil-savunmakanunu&catid=10:kanun&Itemid=38 27 5902 Sayılı Afet ve Acil Durum Yönetimi Başkanlığının Teşkilat ve Görevleri Hakkında Kanun diakses melalui alamat http://www.sisud.org.tr/index.php?option=com_content&view=article&id=27:5902-sayili-afet-ve-acildurum-yonetimi-bakanlar-hakkinda-kanun&catid=10:kanun&Itemid=38
23
BAB III PANDANGAN UMUM
3.1.
Kebutuhan
Pembentukan
Undang-Undang,
Penamaan,
dan
Aspek
Legalitas DPD berpandangan bahwa pembentukan RUU Keamanan Nasional patut dipertanyakan secara konstitusional. Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, Pasal 30 UUD 1945 tidak berbicara tentang "keamanan nasional" tetapi "pertahanan dan keamanan negara" atau "keamanan negara". Pertahanan dan keamanan negara (Hankamneg/Kamneg) sebagaimana ditegaskan Pasal 30 UUD NRI Tahun 1945 sesungguhnya menjelaskan tentang usaha menjaga kepentingan eksistensi, keutuhan dan kedaulatan negara dari ancaman yang datangnya dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Keamanan negara mencakup upaya untuk menjamin keamanan negara sebagai suatu entitas dimana negara (state) menjadi subyek dan obyek dari upaya mengejar kepentingan keamanan. Hal ini di dasarkan atas pandangan bahwa semua fenomena keamanan adalah fenomena tentang negara dan karenanya negara menjadi inti dalam upaya menjaga keamanan negara. Karena itu, ancaman/gangguan terhadap keamanan negara belum
tentu
merupakan
ancaman/gangguan
terhadap
keamanan
manusia/kelompok/masyarakat. Berbicara tentang keamanan negara tentu tidak perlu berbicara tentang perkelahian dua orang penduduk, apalagi perkelahian suami istri. Juga tidak perlu mencakup pernyataan pendapat seseorang yang berbeda dengan pemerintah atau bahkan mengkritisi kebijakan pemerintah, seperti yang kita alami di masa lalu. Tetapi keamanan negara juga tidak hanya berbicara tentang ancaman invasi militer dari luar negeri. Pemberontakan atau gerakan separatis bersenjata bahkan konflik komunal yang menimbulkan kerusuhan yang anarkis dapat mengancam keamanan negara.
24
DPD juga berpandangan bahwa penggunaan terma “nasional” dalam konsep “keamanan nasional” juga mengundang perdebatan yang serius karena akan mencerminkan ruang lingkup konsep. Berdasarkan gambaran pengertian yang diuraikan diatas dapat dikemukakan bahwa konsep keamanan nasional tidak lalu berarti keamanan secara nasional. Keamanan nasional lebih mengandung pengertian keamanan suatu negara sebagai satu kesatuan (entitas), bukan totalitas keseluruhan masalah keamanan, yaitu keamanan negara dan keamanan kehidupan dalam suatu negara. Meski hakikat keamanan nasional sesungguhnya perwujudan dari keamanan yang menyeluruh (comprehensive security),28 namun demikian pengertian keamanan nasional semestinya terbatas pada "keamanan negara", artinya keamanan dari ancaman terhadap negara sebagai suatu entintas, baik dari luar maupun dari dalam negeri, yang membahayakan eksistensi, keutuhan dan kedaulatannya serta keselamatan bangsanya. Dalam konteks itu, menjadi penting untuk pembuat kebijakan agar tidak terburu-buru mengeskalasi suatu isu menjadi isu keamanan (sekuritisasi). Hal itu dikarenakan sekuritisasi mendefinisikan ulang pilihan-pilihan solusi yang dapat diterapkan dalam menyelesaikan sebuah permasalahan kepada opsi-opsi yang cepat dan koersif, seringkali berbentuk pengerahan instrumen militer, dan men-delegitimasi solusisolusi jangka panjang dan negosiasi. Proses sekuritisasi kemudian dapat membawa dampak-dampak buruk terhadap komunitas sosial dimana proses tersebut terjadi. Adanya penekanan pada solusi yang reaktif dan situasional mengakibatkan minimnya pemikiran terbaik untuk menyelesaikan masalah dengan opsi yang menitikberatkan pada korban yang mungkin jatuh akibat proses tersebut. Suatu isu hanya dapat dikategorikan sebagai isu keamanan jika isu tersebut menghadirkan ancaman nyata (existential threats) terhadap kedaulatan dan keutuhan teritorial negara. Isu keamanan juga hanya akan ditangani oleh aktor militer jika ancaman yang muncul disertai dengan aksi kekerasan bersenjata dan 28
comprehensive security meyakini bahwa ancaman dapat tertuju bukan hanya kepada wilayah negara dan otoritas negara tetapi juga pada segala sesuatu yang langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan kesejahteraan manusia (konsep multidimensional) sehingga mengharuskan negara menyiapkan beragam aktor keamanan untuk mengelolanya.
25
telah ada kepastian bahwa negara telah mengeksplorasi semua kemungkinan penerapan strategi non-kekerasan”. DPD mengakui dan menyambut positif langkah pemerintah yang memasukkan isu keamanan
insani
yang
intinya
adalah
berbicara
tentang
pengakuan
dan
perlindungan HAM sebagai pasal yang diatur dalam RUU Keamanan Nasional. Keamanan insani yang intinya adalah pengakuan HAM memang ditegaskan dalam Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945. Namun demikian, gangguan terhadap isu keamanan insani baru bisa menjadi ancaman terhadap keamanan negara apabila gangguan terhadap keamanan insani sudah sedemikian krusial sehingga keutuhan negara/bangsa sudah terancam. Akan tetapi jika gangguan terhadap keamanan insani yang masih dalam kondisi normal/biasa cukup ditangani secara reguler oleh institusi yang bersangkutan. Itu artinya pengaturan tentang keamanan insani sebenarnya sudah diatur dalam peraturan perundangan lain yang sudah ada dan tidak perlu lagi diatur dalam undang-undang keamanan nasional (keamanan negara) semisal telah diatur dalam UU Kesehatan, UU HAM, dan lain-lain. RUU Keamanan Nasional cukup mencantumkan dan menegaskan bahwa nilai-nilai HAM yang terkandung dalam Konstitusi sebagai dasar mengingat dan sebagai asasasas dalam RUU itu serta pentingnya pengaturan mengenai perlindungan hak-hak korban dalam RUU Keamanan Nasional. Di lain pihak, DPD berpandangan bahwa dalam aspek legalitas penamaan RUU Keamanan Nasional tidak sejalan dengan UUD 1945 sehingga secara langsung tentunya juga tidak selaras dengan tata cara pembentukan peraturan perundangundangan yang mensyaratkan bahwa pembuatan peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada UUD. Pembentukan RUU Keamanan Nasional juga belum secara utuh memenuhi asas-asas dalam pembuatan suatu peraturan perundangundangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004. Hal itu terlihat dari rumusan pengaturan RUU Kamnas yang terkait dengan masalah sistematika dan pilihan kata atau terminologi dan bahasa hukumnya belum jelas dan belum mudah dimengerti, sehingga menimbulkan berbagai macam interpretasi. Di sini secara legalitas, RUU Keamanan Nasional berada pada posisi 26
yang lemah sehingga mudah untuk dibatalkan melalui judicial review oleh Mahkamah Konstitusi apabila ada pihak tertentu yang ingin menggugatnya. Hal ini juga sejalan dengan pandangan sebagian besar masyarakat hasil kunjungan DPD ke daerah. Dengan demikian apabila Pemerintah hendak membuat RUU Keamanan Nasional maka RUU ini semestinya adalah RUU tentang Hankamneg atau RUU tentang Kamneg. Tetapi jika ada kesepakatan menamakan RUU Kamnas maka juga harus disepakati bahwa substansinya hanya menyangkut keamanan negara.
3.2. Ruang Lingkup dan Ancaman DPD berpandangan bahwa ruang lingkup keamanan dan jenis ancaman dalam RUU ini terlalu luas, akibatnya, aktor atau unsur-unsur penyelenggara keamanan nasional yang disebut dalam RUU akan memiliki peran terkait semua jenis keamanan guna menangani semua jenis ancaman mulai dari ancaman militer sampai sampai ancaman tidak bersenjata. Kondisi ini menimbulkan terjadinya tumpang tindih tugas dan fungsi antar aktor keamanan. Dalam spektrum yang begitu luas RUU Kamnas bias sekuritisasi. DPD berpandangan bahwa sesuai dengan Pasal 30 UUD NRI Tahun 1945 ayat (1) dan ayat (2) sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka ruang lingkup keamanan nasional semestinya terbatas pada pengaturan tentang pertahanan dan keamanan (keamanan
negara) dalam
menghadapi
ancaman
terhadap
keutuhan
dan
kedaulatan negara serta keselamatan bangsa baik yang datang dari dalam negeri maupun luar negeri. Hal ini juga sejalan dengan hasil kunjungan DPD di beberapa daerah yang sebagian besar masyarakat meminta agar ruang lingkup RUU Keamanan Nasional sebaiknya terbatas pada pertahanan dan keamanan negara sesuai dengan Konstitusi. DPD berpandangan penjelasan tentang Pasal 17 ayat (3) dan ayat (4) tentang ancaman aktual dan potensial berpotensi bagi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) mengingat penentuan ancaman aktual dan potensial itu ditetapkan oleh Presiden melalui keputusan Presiden (Pasal 17 ayat (4)). Akibatnya, Presiden dapat menentukan
secara
sepihak
semua
hal
yang
menurutnya
mengancam 27
kekuasaannya sebagai ancaman yang potensial dan aktual yang mengancam keamanan nasional. Itu artinya bisa saja kelompok yang kritis terhadap negara, demonstrasi mahasiswa, demonstrasi buruh, demonstrasi petani, pers yang kritis dapat dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan nasional. DPD berpandangan bahwa ancaman terhadap keamanan negara haruslah nyata (existential threat) yakni ancaman terhadap kedaulatan negara, keutuhan negara dan keselamatan bangsa baik yang datang dari dalam dan luar negeri. Ancaman tersebut meliputi agresi, terorisme bersenjata, konflik komunal yang menimbulkan kerusuhan massal, spionase, sabotase, pelanggaran wilayah, kerusuhan masa yang anarkis, ancaman keamanan laut dan keamanan udara sebagaimana telah dijelaskan dalam bab sebelumnya. Isu keamanan negara jelas menyangkut ancaman yang bersumber dari luar negeri (eksternal), yaitu invasi militer, agresi militer dan pelanggaran wilayah berbatasan negara. Sementara itu, dari berbagai pengalaman penanganan ancaman terhadap keamanan negara ancaman yang bersumber dari dalam negeri (internal) dapat dikategorikan sebagai berikut : (1) pemberontakan bersenjata, (2) gerakan separatis bersenjata, (3) konflik komunal yang anarkis dan menimbulkan kerusuhan massa, dan (4) kejahatan terhadap keamanan negara sebagaimana tercakup dalam Bab Kesatu Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). DPD juga berpandangan bahwa berbagai bentuk ancaman terhadap keamanan negara meliputi ancaman ideologi, perdagangan manusia dan ancaman lainnya. Munculnya isu dan kasus NII yang melakukan rangkaian “cuci otak” terhadap masyarakat khususnya generasi muda telah membawa banyak korban. Indoktrinasi dan ideologisasi yang dilakukan NII selama ini dilakukan dengan memanfaatkan berbagai problematika sosial yang dihadapi masyarakat seperti kemiskinan dan kebodohan. Demikian juga kasus-kasus TKI di luar negeri memerlukan penyelesaian menyeluruh dengan melibatkan
semua aktor penyelenggara
pemerintahan,
termasuk aparat keamanan. Fungsi aktor keamanan ditujukan kepada upaya untuk melindungi dan mengamankan warga negara yang sedang bekerja di luar negeri. Oleh karena itu, sebaiknya diatur dalam batang tubuh dan bukan di dalam penjelasan. Di bagian penjelasan cukup dijelaskan bahwa ancaman terhadap ideologi adalah segala upaya untuk menggantikan, menolak dan menghancurkan 28
ideologi negara Pancasila dengan cara kekerasan. Begitu pula dengan bentuk ancaman lainnya juga sebaiknya diatur dalam batang tubuh dan bukan penjelasan. Untuk
menghadapi
ancaman
ideologi
maka
penanggulangannya
lebih
mengedepankan tindakan preventif (pencegahan) dengan menempatkan lembagalembaga negara non-koersif
seperti
Kementerian Pendidikan dan Kementerian
Agama untuk menanggulanginya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Penggunaan lembaga-lembaga koersif khususnya institusi kepolisian di dalam menanggulangi ancaman ideologi baru bisa dilakukan apabila ancaman ideologi tersebut diikuti dengan tindakan kekerasan. Hal ini juga sejalan dengan hasil kunjungan DPD ke beberapa daerah yang sebagian besar masyarakat mengkhawatirkan kondisi pada saat ini dimana terdapat pandangan ideologi disebagian kelompok masyarakat yang ingin menggantikan dan bahkan telah merusak ideologi Pancasila dengan cara kekerasan. Namun, hal tersebut tidak lekas berarti bahwa penanganan terhadap ancaman ideologi dan ancaman
tidak
nyata
(non
existential
threats)
dapat
dihadapi
dengan
kekuatan/kekuasaan represif baik dengan alasan melanggar hukum maupun dengan tindakan kekerasan (corave power).
3.3.Struktur dan Kedudukan DPD berpandangan bahwa mengingat penataan aktor-aktor keamanan itu berada dalam sistem negara demokrasi maka adalah penting untuk menjadikan prinsip supremasi sipil sebagai dasar pijakan didalam menata sistem keamanan nasional sebagaimana telah dijelaskan dalam bab sebelumnya. Di dalam sistem negara demokrasi adalah sebuah kewajiban bagi seluruh aktor keamanan, tidak hanya militer, untuk tunduk dan patuh pada otoritas politik yang telah terpilih melalui pemilihan umum. Selain itu penting untuk dipertegas dalam RUU ini bahwa Presiden memiliki kewenangan dalam mengendalikan pengerahan kekuatan-kekuatan aktor keamanan di dalam menghadapi dinamika ancaman keamanan nasional yang terjadi yang sesuai dengan tata aturan hukum yang berlaku. DPD juga berpandangan bahwa RUU ini baru mengatur tentang pemisahan antara institusi pembuat kebijakan dibidang pertahanan (Menteri Pertahanan) dengan 29
institusi pelaksana kebijakan (Panglima TNI). Sementara untuk aktor keamanan lainnya belum dilakukan pemisahan demikian. Di dalam sistem negara demokrasi menjadi penting untuk memisahkan antara institusi pembuat kebijakan dengan institusi pelaksana kebijakan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas kerja dan mempertegas akuntabilitas masing-masing kelembagaan.
3.4. Dewan Keamanan Nasional DPD berpandangan bahwa kewenangan Dewan Keamanan Nasional terlalu luas yakni sampai memiliki kewenangan untuk menetapkan kondisi keamanan nasional sesuai dengan eskalasi ancaman sebagaimana diatur dalam Pasal 25 butir b RUU. Sudah seharusnya penetapan status keamanan nasional menjadi kewenangan Presiden. DPD
berpandangan
bahwa
dalam
membangun
sistem
keamanan
yang
terkoordinasi, maka perlu dibentuk suatu Dewan Keamanan Nasional (DKN). DKN merupakan perangkat kepresidenan yang bertugas untuk membantu Presiden dalam hal: (1) menentukan masalah-masalah yang dapat dikategorikan sebagai masalah keamanan nasional; (2) merekomendasikan alternatif kebijakan dalam menangani masalah keamanan nasional tersebut; dan (3) menganalisa dan mengevaluasi dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan Presiden. Signifikansi DKN dimaksudkan sebagai forum bagi instrumen keamanan nasional terutama bagi pimpinan lembaga-lembaga utama unsur penyelenggara keamanan nasional dalam memberikan masukan-masukan terhadap permasalahan strategis dan kebijakan-kebijakan keamanan nasional. Pembentukan DKN yang menjalankan fungsi sebagai advisory board bagi Presiden dalam keamanan nasional dengan memberikan arah kebijakan dan rekomendasi bagi terciptanya sistem keamanan nasional yang komprehensif. Pada level operasional DKN akan berfungsi untuk memastikan mekanisme koordinasi antar instrumen utama keamanan nasional khususnya terkait dengan perumusan kerjasama antar instansi.
30
DPD berpandangan tidak perlu ada pembentukan Sekjen Dewan Keamanan Nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 26 RUU Kamnas. Pelaksana harian Sekjen DKN sebaiknya dilakukan oleh Menkopolhukam yang membawahi dua fungsi, yaitu kesekretariatan administratif dan fungsi kajian yang dapat dilaksanakan oleh Lemhamnas. DKN diketuai oleh Presiden dan beranggotakan anggota tetap dan anggota tidak tetap. Anggota tetap terdiri dari Wakil Presiden, Menkopolhukam, (yang sekaligus berperan sebagai Sekjen), Menkokesra, Menteri Pertahanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman, serta Jaksa Agung dan Kepala Badan Intelijen, Kapolri, Panglima TNI. Sedangkan anggota tidak tetap adalah menteri/pejabat terkait, pakar-pakar bidang pertahanan dan keamanan yang dipilih oleh Presiden.
3.5. Hubungan Antar dan Kewenangan Unsur Penyelenggara Keamanan DPD berpandangan bahwa karena tujuan pembentukan RUU ini adalah untuk sinkronisasi dan harmonisasi antar aktor keamanan sebagaimana diucapkan Presiden dan telah dijelaskan dalam bab sebelumnya maka sudah semestinya RUU Keamanan Nasional mengatur tentang hubungan antar dan kewenangan unsur penyelenggara keamanan nasional khususnya terkait dengan hubungan kerjasama dan koordinasi antara TNI dan Polri (interagency cooperation). Pengaturan tentang hubungan antar aktor keamanan lebih ditujukan pada aspek manajerial daripada kewenangan masing-masing aktor. DPD berpandangan bila dilihat dari persoalan pengelolaan keamanan sebagaimana telah dijelaskan dalam bab sebelumnya maka RUU Kamnas harusnya lebih mengatasi persoalan “grey area” yang seringkali membuat terjadinya konflik dan ketegangan antara personil TNI dan Polri. Dengan demikian seharusnya situasi grey area itulah yang ditangani dengan membentuk regulasi politik tentang keamanan nasional (keamanan negara) yang di dalamnya salah satunya mengatur tentang hubungan
kerjasama
dan
koordinasi
antar
aktor
keamanan
(interagency
cooperation).
31
Dari hasil kunjungan DPD ke daerah diperoleh masukan dari aktor pelaksana (TNI, Polri, dan Intelijen) yang meminta agar substansi pengaturan RUU ini sebaiknya juga mengatur tentang hubungan kerjasama antar aktor keamanan karena kelemahan pengaturan itu telah menimbulkan permasalahan dilapangan dalam hubungan kerjasama antar aktor keamanan khususnya antara TNI dan Polri dalam kerangka tugas perbantuan dan tugas operasi militer selain perang. Kewenangan khusus DPD berpandangan bahwa dalam sistem negara demokrasi penting untuk melakukan diferensiasi tugas dan fungsi antar aktor keamanan. Dalam kerangka itu, maka kewenangan, tugas, dan fungsi aktor-aktor keamanan yang akan diatur dalam RUU Kamnas harus sesuai dengan tugas dan fungsi yang telah diatur dalam UU organiknya yakni untuk TNI mengacu kepada UU tentang TNI, untuk Polri mengacu kepada UU tentang Polri dan untuk intelijen mengacu kepada regulasi yang terkait dengan UU tentang Intelijen. Kenyataan yang ditemukan bahwa RUU Keamanan Nasional juga memberikan kewenangan khusus baru bagi aktor-aktor keamanan tertentu untuk memeriksa, menangkap dan menyadap sebagaimana terlihat dalam Pasal 54 huruf e jo Pasal 20.
Pemberian
kewenangan
khusus
untuk
melakukan
pemeriksaan
dan
penangkapan kepada aktor keamanan yang bukan merupakan bagian dari aparat penegak hukum tersebut mengancam penegakkan hukum, HAM, dan demokrasi itu sendiri. Pemberikan kewenangan menangkap kepada institusi diluar aparat penegak hukum akan merusak mekanisme criminal justice system. Penting untuk diingat bahwa kewenangan penangkapan dan pemeriksaan sebagai bentuk upaya paksa dalam proses penegakan hukum hanya bisa dan boleh dilakukan oleh aparat penegak hukum seperti Polri, Jaksa, dan lembaga penegak hukum lainnya. Lebih dari itu, pemberian kewenangan penangkapan dan pemeriksaan kepada lembaga yang bukan menjadi bagian dari sistem penegakkan hukum akan menimbulkan tumpang tindih kerja antar aktor keamanan. Hal ini akan menimbulkan kerumitan dalam tata kelola sistem keamanan nasional dan menimbulkan persoalan dalam pertanggungjawaban (akuntabilitas) dalam pelaksanaaanya. 32
Selain itu, pemberian kewenangan khusus kepada seluruh aktor keamanan untuk dapat melakukan penyadapan tanpa secara bersamaan mengatur mekanisme yang rinci dalam proses penyadapan akan mengancam hak-hak privasi warga negara dan kebebasan pers (Pasal 54 huruf e). Itu artinya RUU Kamnas memberikan “cek kosong” bagi kepada aktor-aktor keamanan untuk melakukan penyadapan. Adalah suatu hal yang sangat berbahaya apabila mekanisme penyadapan tidak diatur secara rinci dalam perundang-undangan. Pengaturan yang tidak rinci akan sangat mudah disalahgunakan untuk kepentingan kekuasaan (abuse of power). Mengacu kepada Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PPU-1/2003; No. 012016-019/PUU-IV/2006; No. 5/PUU-VIII/2010, MK berpendapat perlu ditetapkan perangkat peraturan tersendiri tentang penyadapan setingkat undang-undang untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan kewenangan untuk penyadapan dan perekaman. Hal ini sejalan dengan sebagian pandangan masyarakat hasil kunjungan DPD ke daerah yang mengkhawatirkan dan bahkan menolak pemberian kewenangan khusus menangkap, memeriksa dan menyadap kepada aktor keamanan yang bukan menjadi bagian dari aparat penegak hukum karena hal itu akan mengembalikan kondisi politik seperti pada masa lalu yang cenderung represif.
3.6. Forum Koordinasi Keamanan Nasional Daerah Berdasarkan hasil rapat dengar pendapat/FGD di beberapa daerah, DPD berpandangan bahwa sudah ada Komunitas Intelijen Daerah dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah, dengan demikian apakah perlu untuk membentuk kembali Forum Koordinasi Keamanan Nasional Daerah (Pasal 32 jo Pasal 33). Apabila memang mau diatur Forum Koordinasi Keamanan Nasional Daerah atau Komunitas Intelijen Daerah maka harus jelas tugas, kewenangan, fungsi dan mekanismenya dan hal itu dapat diatur di dalam RUU ini atau cukup diatur melalui Keputusan Presiden. Dari hasil kunjungan DPD ke daerah, sebagian masyarakat menilai bahwa yang terpenting adalah penjelasan yang lebih rinci tentang tugas dan mekanisme kerja 33
Forum Koordinasi Keamanan Nasional Daerah atau Komunitas Intelijen Daerah di dalam kebijakan Pemerintah.
3.7. Pengawasan DPD berpandangan bahwa pengawasan terhadap aktor-aktor keamanan negara harus dilakukan secara multilayer oversight (pengawasan berlapis) sebagaimana telah dijelaskan dalam bab sebelumnya dengan melibatkan pengawasan oleh Internal/melekat aktor keamanan, pengawasan eksekutif, pengawasan legislatif, pengawasan yudikatif, pengawasan publik melalui komisi-komisi independen (Komnas HAM, Kompolnas, Komisi Ombudsman) serta pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. DPD berpandangan rumusan Pasal 54 huruf e tentang pengawasan penggunaan khusus tidak sepadan dengan kategori pengawasan melekat (Pasal 54 huruf a), pengawasan eksekutif (Pasal 54 huruf b), pengawasan legislatif (Pasal 54 huruf c) dan pengawasan publik (Pasal 54 huruf d) sebagai bentuk pengawasan yang berlapis. Dengan demikian tidak diperlukan adanya pengaturan pengawasan penggunaan khusus (Pasal 54 huruf e) secara tersendiri di bab tentang pengawasan itu mengingat pengawasan yang dilakukan secara melekat (internal), eksekutif, legislatif dan publik harus meliputi pengawasan atas semua aspek baik itu khusus maupun tidak khusus. Pengawasan ditujukkan sebagai suatu proses kegiatan dari suatu lembaga atau pimpinan untuk mengetahui, apakah hasil pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan para pelaksana sesuai dengan rencana, perintah tujuan atau kebijakan yang ditentukan. Pengawasan merupakan proses pengamatan dari pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Pengawasan bersifat “fact finding” dalam arti bahwa pelaksanaan fungsi pengawasan ditujukan untuk menemukan fakta-fakta tentang bagaimana tugas dijalankan. Pengawasan juga bersifat preventif yang berarti bahwa proses pengawasan itu dijalankan untuk mencegah timbulnya penyimpangan-penyimpangan dan penyelewengan dari rencana yang telah ditentukan. Pengawasan juga berarti mendeterminasi apa yang telah dilaksanakan dengan maksud mengevaluasi prestasi kerja, dan bila perlu 34
menerapkan tindakan korektif, sehingga hasil pekerjaan sesuai dengan rencana. Pengawasan dapat dianggap sebagai aktivitas untuk menemukan dan mengoreksi penyimpangan-penyimpangan terhadap hasil yang dicapai dari aktivitas-aktivitas yang direncanakan.
35
BAB IV PANDANGAN KHUSUS (Pandangan Atas Pasal Per Pasal)
1. Konsideran Mengingat Dasar mengingat RUU Kamnas belum menjadikan tata nilai HAM sebagai salah satu dasar mengingat di dalam RUU. Hal itu dapat dilihat dari tidak dimasukkannya pasal-pasal tentang HAM dalam Kostitusi (Pasal 28 A sampai Pasal 28 I) dan undang-undang tentang HAM di dalam dasar mengingat RUU. Padahal perlindungan terhadap HAM adalah inti dari keamanan. Hal ini dapat menimbulkan persoalan pada penegakkan HAM.
2. Pasal 1 ayat (1) (Pengertian Kamnas) Pengertian keamanan nasional terlalu luas dan rumusannya masih sumir. Keamanan nasional seharusnya diartikan sebagai keamanan dari ancaman terhadap negara sebagai suatu entintas, baik dari luar maupun dari dalam negeri, yang membahayakan eksistensi, keutuhan dan kedaulatan bangsa. Selain itu, redaksional dan rumusan Pasal 1 nomor 1 tentang pengertian keamanan nasional rumusan, terminologinya dan redaksinya multitafsir. Padahal mengacu pada Pasal 5 huruf f UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan maka setiap peraturan perundang-undangan harus jelas rumusannya yakni pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
3. Pasal 1 butir 2 jo Pasal 16 jo Pasal 17 beserta penjelasannya (Pengertian Ancaman). Definisi, spektrum, sasaran, jenis dan bentuk ancaman terlalu luas dan multi tafsir (Pasal 1 ayat (2) jo Pasal 16 jo Pasal 17). Bentuk ancaman yang 36
mengkategorikan pemogokan massal, penghancuran nilai-nilai moral dan etika bangsa, kebodohan, ketidakadilan, diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi sebagai bentuk ancaman keamanan nasional jelas-jelas karet dan mulltitafsir dan mengancam kebebasan. Apalagi penjelasan tentang Pasal 17 ayat (3) dan ayat (4) tentang ancaman aktual dan potensial berpotensi penyalahgunaan kekuasaan mengingat penentuan ancaman aktual dan potensial itu ditetapkan secara sepihak oleh Presiden melalui Keputusan Presiden (Pasal 17 ayat (4)). Dengan demikian Presiden dapat menentukan secara sepihak semua hal yang menurutnya mengancam kekuasaannya sebagai ancaman yang potensial dan aktual yang mengancam keamanan nasional. Itu artinya bisa saja kelompok yang kritis terhadap negara, demonstrasi mahasiswa, demonstrasi buruh, pers yang kritis dapat
dianggap
sebagai
ancaman
terhadap
keamanan
nasional.
aksi
mahasiswa, aksi buruh, aksi petani, pers yang kritis, dapat dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan nasional.
4. Pasal 1 butir 12 (Pengertian Ancaman Bersenjata) Redaksional dan rumusan Pasal 1 nomor 1 tentang pengertian ancaman bersenjata tidak begitu jelas rumusannya, terminologinya, dan redaksinya. Apakah yang termasuk ancaman bersenjata dalam keamanan nasional juga meliputi perkelahian antara dua orang yang menggunakan senjata tajam seperti celurit atau golok. Mengacu pada Pasal 5 huruf f UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan maka setiap peraturan perundang-undangan harus jelas rumusannya yakni pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
5. Pasal 25 poin b (Kewenangan DKN) Kewenangan Dewan Keamanan Nasional terlalu luas yakni sampai memiliki kewenangan untuk menetapkan kondisi keamanan nasional sesuai dengan 37
eskalasi ancaman sebagaimana diatur dalam Pasal 25 point b RUU kamnas. Pemberian kewenangan itu kepada DKN sama saja dengan mengambil alih kewenangan Presiden. Sudah seharusnya penetapan status keamanan nasional menjadi kewenangan Presiden. DKN merupakan perangkat pembantu presidenan yang bertugas untuk: 1) menentukan masalah-masalah yang dapat dikategorikan sebagai masalah keamanan
nasional;
(2)
merekomendasikan
alternatif
kebijakan
dalam
menangani masalah keamanan nasional tersebut; (3) menganalisa dan mengevaluasi dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan Presiden.
6. Pasal 26 (Sekjen DKN) Tidak perlu ada pembentukan Sekjen Dewan Keamanan Nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 26. Pelaksana harian Sekjen DKN sebaiknya dilakukan oleh Menkopolhukam yang berfungsi sebagai kesekretariatan DKN yang bersifat administratif. Sementara untuk fungsi kajian dalam DKN sebaiknya dilakukan oleh Lemhanas.
7. Pasal 30 ayat (2) (Kewenangan Pembuatan Kebijakan). Pasal 30 ayat (2) dan ayat (3) makin mempertegas penyatuan kewenangan antara institusi pembuat kebijakan dengan institusi pelaksana kebijakan. Hal ini berbeda dengan pengaturan kewenangan TNI sebagaimana di atur dalam RUU ini (Pasal 27 jo Pasal 30 ayat (1)) yang sudah memisahkan kewenangan antara institusi
pembuat
kebijakan
(Kementerian
Pertahanan)
dengan
institusi
pelaksana kebijakan (Panglima TNI). Sebaiknya RUU ini perlu mengatur pemisahan kewenangan Polri yakni untuk pembuat kebijakan dilakukan oleh Kompolnas dan untuk pelaksana kebijakan dilakukan oleh Kapolri. Demikian pula halnya dengan intelijen, dimana pembuat kebijakan dapat dilakukan Menhan sesuai kebijakan yang disarankan Dewan Keamanan Nasional. Hal ini untuk memisahkan akuntabilitas antara aktor penanggungjawab atas kebijakan dan aktor yang bertanggungjawab secara 38
operasional. Dengan demikian pertanggungjawabannya menjadi jelas. Hal ini merupakan prasyarat demokrasi yang mensyaratkan perlunya diferensiasi fungsi dan kerja antar aktor pembuat kebijakan dengan aktor pelaksana kebijakan.
8. Pasal 33 (Forum Koordinasi Keamanan Nasional Daerah) Pembentukan
Forum
Koordinasi
Keamanan
Nasional
Daerah
perlu
dipertimbangkan secara matang, mengingat telah ada Komunitas Intelijen Daerah dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah di tingkat daerah yang berfungsi sebagai media komunikasi dan koordinasi antar komunitas intelijen daerah. (Pasal 32 jo Pasal 33) Apabila memang diarahkan untuk membentuk Forum Koordinasi Keamanan Nasional Daerah atau Komunitas Intelijen Daerah, maka harus diperjelas dan tegas tentang tugas, kewenangan, fungsi dan mekanismenya dan hal itu dapat diatur dalam RUU Kamnas atau cukup diatur melalui Keputusan Presiden.
9. Pasal 34 khususnya Pasal 34 ayat (2) (Pengerahan TNI pada Tertib Sipil) Pengaturan tentang pengerahan TNI pada status tertib sipil bias sekuritisasi sebagaimana dapat dilihat pada Pasal 34 jo Pasal 12. Sudah semestinya status tertib sipil tidak termasuk dalam status keamanan nasional. Selain itu kondisi tertib sipil juga tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan lain berkait dengan hukum tata negara dan di dalam Undang-Undang Darurat No. 23/1959.
10. Pasal 54 (Pengawasan) Rumusan Pasal 54 huruf e tentang kategori pengawasan penggunaan khusus tidak sepadan dengan kategori pengawasan melekat (Pasal 54 huruf a), pengawasan eksekutif (Pasal 54 huruf b), pengawasan legislatif (Pasal 54 huruf c) dan pengawasan publik (Pasal 54 huruf d) sebagai bentuk pengawasan yang berlapis.
39
Dengan demikian tidak diperlukan adanya pengaturan pengawasan penggunaan khusus (Pasal 54 huruf e) secara tersendiri di bab tentang pengawasan itu mengingat pengawasan yang dilakukan secara melekat (internal), eksekutif, legislatif dan publik harus meliputi pengawasan atas semua aspek baik itu khusus maupun tidak khusus. Lebih dari itu Penjelasan Pasal 54 huruf e yang mengatur tentang kuasa khusus untuk melakukan pemeriksaan dan penangkapan dan penyadapan oleh unsur keamanan nasional (Pasal 20) yang bukan merupakan bagian dari aparat penegak hukum (TNI dan BIN) mengancam penegakkan hukum, HAM dan demokrasi itu sendiri. Pemberikan kewenangan menangkap kepada institusi diluar aparat penegak hukum akan merusak mekanisme criminal justice system. Penting untuk diingat bahwa kewenangan penangkapan sebagai bentuk upaya paksa dalam proses penegakan hukum hanya bisa dan boleh dilakukan oleh aparat penegak hukum seperti Polisi, Jaksa, dan lembaga penegak hukum lainnya.. Pemberian kewenangan penangkapan kepada lembaga yang bukan menjadi bagian sari sistem penegakkan hukum akan menimbulkan tumpang tindih kerja antar aktor keamanan. Hal ini akan menimbulkan kerumitan dalam tata kelola sistem
keamanan
nasional
dan
menimbulkan
persoalan
dalam
pertanggungjawaban (akuntabilitas) dalam pelaksanaaanya. Sedangkan terkait dengan pemberian kewenangan khusus kepada seluruh aktor keamanan untuk dapat melakukan penyadapan tanpa secara bersamaan mengatur mekanisme yang rinci dalam proses penyadapan akan mengancam hak-hak privasi warga negara dan kebebasan pers. Itu artinya RUU Kamnas memberikan “cek kosong” bagi kepada aktor-aktor keamanan untuk melakukan penyadapan. Adalah suatu hal yang sangat berbahaya apabila mekanisme penyadapan tidak diatur secara rinci dalam perundang-undangan. Pengaturan yang tidak rinci akan sangat mudah disalahgunakan untuk kepentingan kekuasaan (abuse of power). Mengacu kepada Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PPU1/2003; No. 012-016-019/PUU-IV/2006; No. 5/PUU-VIII/2010, MK berpendapat 40
perlu ditetapkan perangkat peraturan tersendiri tentang penyadapan setingkat undang-undang untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan kewenangan untuk penyadapan dan perekaman.
11. Pasal 55 dan Pasal 56 (Anggaran). Pasal 55 dan Pasal 56 sebaiknya diganti karena membuka ruang adanya pembiayaan kepada aktor keamanan selain dari APBN. Karena fungsi pertahanan dan keamanan adalah terpusat dan tidak didesentralisasikan maka pembiayaan untuk aktor keamanan hanya diperbolehkan melalui APBN. Karenanya perlu ada penegasan pasal yang menyebutkan bahwa pembiayaan untuk aktor-aktor keamanan dibayai melalui APBN kecuali mobilisasi.
12. Pasal 10 - Pasal 15 jo Pasal 44- Pasal 52 (Status Keadaan Keamanan) Penetapan status hukum keadaan perang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) tentang status wilayah darurat perang bersifat ambigu karena disebutkan bahwa status keadaan perang diterapkan di sebagian atau seluruh wilayah nasional. Seharusnya dalam situasi status keadaan perang maka pemberlakukannya adalah di seluruh wilayah nasional bukan di sebagian wilayah. Selain itu pengaturan tentang status darurat militer bias sekuritisasi karena pengaturan status darurat militer dalam RUU ini tidak rinci dan tidak dijadikan sebagai opsi terakhir yakni setelah status tertib sipil gagal dilakukan. Dalam pengalaman status darurat militer di Aceh, Pemerintah terlalu cepat untuk menerapkan status keadaan keamanan menjadi status darurat militer sementara upaya-upaya negosiasi belum secara penuh dilakukan dan penerapan status keadaan keamanannya belum didahului dengan status yang lebih rendah gradasinya yakni status darurat sipil misalnya. Implikasinya terjadilah beberapa kasus-kasus pelanggaran HAM di Aceh semasa darurat militer.
41
Pengaturan tentang status keamanan nasional yakni tentang keadaan darurat sebaiknya diberikan Rambu-Rambunya saja dalam RUU Keamanan Nasional dan pengaturan lebih lanjut dengan menyempurnakan UU No. 23 Tahun 1959.
13. Pasal 50 sampai dengan Pasal 52 (Penanggulangan Bencana) Tidak perlu diatur mengenai status penanggulangan bencana di dalam RUU Kamnas mengingat hal itu telah diatur dalam peraturan perundangan lain yakni UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan telah memiliki badan
tersendiri
untuk
mengatasi
bencana
yakni
Badan
Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB).
14. Pasal 23 ayat (2) (Peran Kepala BIN) Rumusan Pasal 23 tentang keberadaan kepala BIN sebagai unsur utama penyelenggara sistem intelijen nasional masih sumir dan belum jelas. Apakah disini kepala BIN sebagai koordinator? Bagaimana mekanisme koordinasinya bila kepala BIN sebagai unsur utama penyelenggara sistem intelijen nasional.
15. Pasal 47 ayat (4) (Pelibatan Warga Dalam Darurat Militer) RUU Kamnas berupaya untuk melegalisasi satuan-satuan sipil bersenjata atau milisi dalam darurat militer sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat (4). Hak dan kewajiban warga negara dalam upaya pembelaan negara haruslah diatur secara jelas baik bentuk dan sarananya namun penjelasan pasal tersebut sangat luas dan multitafsir sehingga dapat menjadi dasar hukum untuk menggunakan pasal ini untuk membentuk satuan-satuan sipil bersenjata atau milisi selama darurat militer.
42
16. Pasal 35 ayat (6) jo Pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat (4) (Pembentukan Komponen Cadangan) Pembahasan RUU Komponen Cadangan Pertahanan Negara (KCPN) yang mendapatkan tantangan luas dari masyarakat ternyata masih dilanjutkan dalam RUU Kamnas. Pasal 35 ayat (3) jo Pasal 35 ayat (6) jo. Pasal 36 ayat (1) hingga ayat (4) RUU Kamnas menyatakan penentuan unsur utama dan unsur pendukung ditetapkan oleh Presiden. Pengaturan komponen cadangan melalui penetapan Presiden adalah tidak tepat dan tidak pada tempatnya. Pengaturan KCPN melalui penetapan Presiden akan membuka ruang masalah baru dalam beberapa aspek yakni bertentangan dengan HAM terkait dengan tidak diaturnya hak penolakan warga atas keyakinan (conscientious objection) ; menimbulkan konflik horizontal mengingat dalam RUU Kamnas melihat pelibatan masyarakat sebagai komponen cadangan tidak hanya untuk menghadapi ancaman dari luar namun termasuk menghadapi ancaman dari dalam bahkan ancaman yang tidak bersenjata (Pasal 36 ayat (4)). Pengaturan komponen cadangan dan komponen pendukung sebaiknya diatur dalam undang-undang.
17. Pasal 8 (Keamanan ke Dalam) Rumusan Pasal 8 tentang keamanan ke dalam sepertinya tidak tepat dan terlalu luas. Istilah yang sering digunakan terkait dengan usaha untuk menghadapi persoalan dalam negeri adalah keamanan dalam negeri (internal security).
18. Pasal 42 (Penanggulangan Ancaman Keamanan Laut). Pengaturan ancaman keamanan laut dengan menempatkan TNI AL sebagai salah satu aktor keamanan utama terkesan hanya menjadikan TNI AL sebagai institusi yang hanya perlu di atur dalam RUU Kamnas ini. Sementara TNI AL salah satu bagian dari komponen utama TNI dan juga hanyalah salah satu komponen yang bertanggungjawab dalam penanggulangan keamanan di laut. Pengaturan ancaman keamanan di laut perlu diatur dengan jelas tentang aktor keamanan yang berperan sebagai aktor utama dan sebagai aktor pendukung keamanan laut. 43
19. Pasal 9 (Keamanan Keluar) Pengaturan tentang keamanan keluar sebagaimana diatur dalam Pasal 9 belum sepenuhnya menekankan pada pentingnya peranan diplomasi sebagai ujung tombak dalam penanggulangan keamanan keluar. Dalam rezim hubungan antara negara di masa kini, diplomasi adalah tonggak pertama dalam hubungan antar negara dan pelibatan militer merupakan pilihan terakhir setelah pilihan diplomasi atau setelah pilihan lunak lainnya telah gagal.
20. Pasal 3 Bab II (Tujuan Keamanan Nasional) Rumusan Pasal 3 tentang tujuan penyelenggaraan keamanan nasional belum kongkrit dan masih terlalu umum. Padahal mengacu pada Pasal 5 huruf f UU No. 10/2004 tentang tata cara pembuatan peraturan perundang-undangan maka setiap peraturan perundang-undangan harus jelas rumusannya yakni pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga
tidak
menimbulkan
berbagai
macam
interpretasi
dalam
pelaksanaannya. Dengan demikian UU yang ideal adalah UU yang paling sedikit menimbulkan multi-interpretasi.
21. Perlu Dimasukan Pasal Yang Mengatur Tentang: a. Kekhususan pengaturan otonomi pada Provinsi Papua dan NAD. b. Bahwa UU ini tidak memberikan kewenangan upaya paksa atau kewenangan khusus lain yang dapat merampas hak asasi atau kebebasan seseorang. c. Perlu mengatur hubungan kerjasama antar aktor keamanan (interagency cooperation), khususnya mempertegas konsep perbantuan TNI kepada Polri dengan
meletakkan
jabatan-jabatan
yang
dapat
digunakan
untuk
penyusunan RUU/RPP Perbantuan.
44
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan a. Ruang Lingkup RUU Keamanan Nasional semestinya terbatas pada masalah keamanan
negara.
Keamanan
negara
sesungguhnya
menyangkut
kepentingan eksistensi, keutuhan dan kedaulatan negara serta keselamatan bangsa. Dengan demikian keamanan negara mencakup upaya untuk menjamin keamanan negara sebagai suatu entitas. b. Ancaman terhadap keamanan nasional adalah ancaman terhadap kedaulatan dan keutuhan teritorial negara (ancaman keamanan negara). Ini berarti bahwa ancaman terhadap keamanan nasional dapat berbentuk
ancaman
yang menggunakan kekuatan bersenjata dan terorganisasi yang dinilai mempunyai kemampuan membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa, baik itu yang datangnya dari dalam negeri maupun luar negeri. Ancaman itu berupa: agresi, pelanggaran wilayah, pemberontakan bersenjata, sabotase, spionase, aksi teror bersenjata (terorisme internasional), ancaman keamanan laut dan udara, konflik komunal yang anarkis dan menimbulkan kerusuhan masal. Selain itu, ancaman terhadap keamanan negara juga dapat berbentuk ancaman non fisik, ancaman ideologis, dan lain-lain. Ini tidak berarti bahwa penanganan terhadap ancaman ideologi dan non fisik lainnya dapat dihadapi dengan tindakan represif yang dapat melanggar HAM apalagi tindakan kekerasan (coercive power). c. RUU Keamanan Nasional seharusnya lebih dominan membahas tentang hubungan koordinasi dan kerjasama antar aktor keamanan (interagency cooperation)/tugas perbantuan dalam menanggulangi ancaman terhadap keamanan negara. Pengaturan tentang hubungan antar aktor keamanan lebih ditujukan pada aspek manajerial daripada kewenangan masing-masing aktor.
45
d. RUU
Keamanan
Nasional
semestinya
konsisten
dengan
konsideran
menimbang (RUU ini dimaksudkan untuk melakukan sinkronisasi dan harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan yang ada) sehingga tidak mengatur kewenangan baru kepada aktor-aktor keamanan dan harus merujuk pada UU Organiknya yakni UU TNI, UU Polisi, dan UU Intelijen yang sedang dibentuk. e. RUU Kamnas perlu memisahkan kewenangan Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dan kewenangan Presiden sebagai Ketua Dewan Keamanan Nasional. Dengan demikian penetapan status keamanan nasional merupakan wewenang Presiden dan bukan Dewan Keamanan Nasional. f. Kantor Menkopolhukam dapat diperankan sebagai Sekretariat DKN dan Menkopolhukam secara ex-officio berperan sebagai Sekretaris DKN. Sementara untuk fungsi kajian dalam DKN sebaiknya dilakukan oleh Lemhanas. g. RUU Kamnas perlu memisahkan antara institusi pembuat kebijakan dengan institusi
pelaksana
kebijakan.
Institusi
pembuat
kebijakan
adalah
kementerian, sedangkan institusi pelaksana kebijakan meliputi TNI, Polri, dan Intelijen h. Ketentuan tentang keadaan darurat dapat diberikan rambu-rambunya saja dalam RUU Keamanan Nasional dan pengaturan lebih lanjut dengan menyempurnakan UU No. 23 Tahun 1959.
5.2. Rekomendasi 1. Mengingat ketentuan yang tercantum dalam RUU Kamnas ini masih banyak mengandung kelemahan-kelemahan baik itu secara substansial maupun redaksional dan tanpa mengurangi arti pentingnya RUU ini maka adalah tepat bagi pemerintah untuk kembali menyempurnakan RUU Keamanan Nasional dengan mempertimbangkan masukan-masukan dari DPD sebagaimana termuat dalam pandangan ini. 2. Dalam hal DPR bersama pemerintah memandang perlu melanjutkan pembahasan atas RUU Kamnas ini atau melakukan pembahasan atas RUU yang telah diperbaharui, DPD mengharapkan untuk diikutsertakan dalam pembahasan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22 D UUD 1945 atau setidak-tidaknya dalam pembicaraan tingkat I sesuai ketentuan Pasal 150 UU 46
MD3, mengingat ketentuan-ketentuan yang diatur dalam RUU ini sangat berkaitan dengan kepentingan daerah dan masyarakat di daerah.
Ditetapkan di Jakarta Pada tangal 15 Juli 2011
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA PIMPINAN, Ketua,
H. IRMAN GUSMAN, SE., MBA. Wakil Ketua,
Wakil Ketua,
GKR. HEMAS
Dr. LAODE IDA
47