PANDANGAN ATAS SEKITARKU - 42 Ada sesuatu yang khas dalam makanan yang diolah dengan memasak. Aneka cara memasak sering diterapkan, yang berbeda satu dengan yang lain. Ada yang hanya menerapkan satu cara, tetapi ada pula yang mengkombinasikan berbagai cara tersebut. Di zaman baheula, konon ummat manusia menikmati makanannya dalam keadaan as she is, artinya tidak diolah atau dimasak atau dalam bahasa yang lebih canggih, tidak diproses terlebih dahulu. Setelah manusia mengenal api, dalam keadaannya yang paling sederhana yaitu api terbuka dari nyala ranting-ranting atau dedaunan, seperti halnya bila saat anak-anak muda sekarang melakukan api unggun dalam suatu acara bersama rekan-rekannya, mereka mulai melakukan reformasi, dan berevolusi. Karena ternyata lebih enak. Dengan berkembangnya kemampuan manusia dalam mengelola panas, teknik memasakpun mengalami perkembangan, dengan menggunakan berbagai media pengantar seperti yang kita kenal saat ini, misalnya dengan merebus, mengukus, menyangrai, menggoreng, mengoven dan sebagainya. Bahkan sudah tidak lagi menggunakan api dalam artian yang sesungguhnya melainkan hanya memperoleh suhu yang tinggi dengan cara lain seperti panas dari tahanan atau induksi aliran listrik dan gelombang mikro [microwave] yang dihasilkannya, walau teknik yang paling sederhana dan tua – yaitu membakar secara langsung dalam api terbuka atau bara api [barbeque] masih tetap dilakukan, yang justru memberikan pesona tersendiri.
Ketika tahun 1994, setelah dirawat gara-gara kadar kholesterol dan tri-gliserida dalam darahku yang keduanya mencapai ~ 325, saya pernah harus hanya memakan jenis tertentu saja dan hanya boleh direbus atau dikukus saja. Untung masih boleh bergaram serta berbumbu dan berasa agak pedas [walau tak suka pedas]. Jurus memakan hidangan dengan sambal, adalah jurus yang ampuh dalam menyantap makanan secara agak terpaksa, agar cepat-cepat segera dikunyah dan ditelan, guna memenuhi target volume dalam mengenyangkan perut segera tercapai untuk memenuhi kebutuhan kalori dalam menunjang kegiatan sebagai mahasiswa. Tentunya di saat harga si rawit tidak sedang tinggi-tingginya. Pernah teman-teman dan saya menerima seorang mahasiswa asal Korea Selatan yang memperoleh bea siswa dari Yayasan Penyiaran Islam, Surabaya untuk menuntut ilmu di Fakultas Ekonomi, Universitas Padjadjaran bernama Abdul Hamid Woo Sung Kim [semoga Allah swt menyayanginya di alam baka]. Sebagai umumnya orang Korea, dia sangat suka sekali akan pedas. Jatah sambal untuk beberapa orang serumah – yang merupakan jurus ampuh melawan kekurang lezatan - sering dihabiskan olehnya, pada hal harga cabai rawit dan cabai keriting di Pasar Simpang, Dago sedang berada di titik kulminasi – walau tidak disiarkan oleh RRI seperti di jamannya Pak Harmoko. Apalagi sambal kita yang dibumbuhi dengan terasi tunu yang tidak sampai sinusongahe [terasi ditunu gosong tengahe]. Tepinya saja yang gosong sudah kacau. Sudah jadi arang, tak ada lagi semerbak khas nya. Apalagi gosong di bagian tengahnya. Amburadul. Terpaksa, diambil langkah penyelamatan anggaran dengan cara menambahkan sesuatu, berdasarkan pengalaman adanya peningkatan rasa pedas bila kita menyantap sop ditambah sambal. Maka, menambahkan merica, pada racikan sambal bisa menjadi penyelamat atas kemungkinan overbudget. Dan, “Very hot, very hot” katanya. Berhasil. Jus do it, entah apa sebabnya belum tahu.
Lupakan saja dulu pengalaman yang kurang menyenangkan tersebut, dan tidak usah dipikirkan terlalu mendalam untuk mencari tahu, mengapa merica dan cabai rawit akan saling menguatkan, walau kita bisa merasakan ada beda rasa antara pedasnya cabai rawit, cabai keriting, cabai merah, paprika dan merica. Sinusongahe, tidaklah mungkin terjadi selama kita masih memanggangnya seperti selama ini, ditusuk dengan lidi dan diletakkan di atas api langsung, karena bisa dipastikan berdasarkan kaidah perpindahan panas, maka bagian luar [kulitnya] yang akan lebih dahulu mencapai suhu lebih tinggi, dan bila tidak hati-hati, bisa mengalami kegosongan seperti pada daging steak disamping ini. Tentunya diperlukan keahlian berdasar pengalaman [dan akan lebih mudah, bila memahami kaidah yang berlaku dalam proses tersebut secara ilmiah] agar luarnya belum gosong tetapi dalamnya sudah masak. Jangan sampai malah luarnya gosong, tetapi dalamnya masih mentah. Saya sengaja memakai kata gosong walau bernuansa bahasa daerah Jawa, dan bukannya kata hangus yang berkonotasi negatif. Dan kita juga mengenal tahapan yang dinyatakan dengan “kurang gosong” untuk yang under spec, dan “kegosongen” untuk yang slightly over spec. Serta gosong untuk off spec alias BS atau afkir dan harus dikesampingkan [rejected]. Dan kita sering mendengar ibu-ibu kita mengomentari hasil gorengan anaknya dengan kata “kurang sak-srengan” seperti ketika menggoreng kerupuk atau tempe, serta aneka gorengan lainnya. Tapi jangan sampai terlalu lama memberikan ekstra waktu karena kalau – telat ngangkate [terlambat mengangkatnya] - nanti bisa gosong sehingga harus rejected. Betapa aroma terasi bakar yang menyebar ke seluruh rumah telah mengucurkan air liur banyak orang.
Kalau tadi tentang cabai dan merica, agar ditinggalkan sejenak dulu, tetapi mengenai pergosongan ini sangatlah menarik. Betapa banyak kegiatan masak-memasak yang akan dipengaruhinya, baik yang memanggang, menggoreng atau yang lainnya, boleh dibilang selain merebus dan memanaskan dengan gelombang mikro [kecuali dengan teknik tertentu yang juga bisa bikin gosong]. Gosong tidaklah diinginkan, apalagi terlalu gosong. Tetapi sesaat sebelum gosong, sangatlah didambakan oleh pemasak dan yang akan menyantapnya. Masih coklat muda, belum coklat apalagi hitam. boleh dilihat dimakan jangan
The Maillard Reaction, itulah permasalahan pokok dari semua itu, yang kita saksikan dan kita nikmati selama ini, bahkan oleh para pendahulu kita semenjak dikenalnya api, jauh sebelum reaksi atau proses itu sendiri dikenali oleh Maillard di tahun 1910. Karena pelajaran kimia di sekolah dari dulu sampai sekarang masih merupakan momok bagi anak-anak, apalagi melihat gambar dan istilah seperti pada gambar ini, mungkin akan menjadi kurang atau tidak menarik bagi anda untuk membacanya, apalagi membahasnya. Rumus bangun dan istilah-istilah yang asing di telinga, akan lebih membuat kita cepat bosan, dan enggan untuk membacanya. Bagi yang tertarik, bisa melihatnya di tautan dibawah gambar ini. Mungkin karena yang membawakannya [bukan saya], anda bisa jadi tertarik untuk menyimaknya. The singer not the song, bisa sebagai awalan agar anda jadi tertarik.
http://www.dailymotion.com/video/xhcu95_the-maillard-reaction_fun
Louis-Camille Maillard, menemukan keberadaan reaksi itu bukanlah karena sengaja mencari, melainkan secara kebetulan ketika mencari sesuatu yang lain, yaitu ketika sedang mencoba membuat protein buatan. Lain yang dicari, lain pula yang diperoleh. Itu memang sering terjadi. Kebetulan? Bukan, rencana Allah. Reaksi ini, patut menjadi perhatian mereka yang suka akan memasak, walau tidak suka akan ilmu kimia yang dipelajari di sekolah, karena reaksi ini akan memberikan sesuatu berupa aroma, rasa, dan warna yang ketiganya akan merupakan faktor utama penentu keberhasilan pada hasil olahan kita. Maillard hanyalah menemukan, membuka yang selama ini telah diciptakan Allah swt, dan masih merupakan hal-hal yang ghaib. Reaksi Maillard ini seharusnyalah diajarkan di sekolah, bukannya Solvay, Haber-Bosch dan lain lain. Tiga serangkai aroma, rasa dan warna, merupakan kombinasi yang harus ada pada setiap masakan. Ketiadaan salah satu unsurnya, akan menghilangkan keberadaan dua yang lain. Salah satu sebabnya, adalah kemampuan yang ada pada diri kita untuk mendeteksi aneka aroma dibanding untuk mendeteksi aneka rasa yang hanya melalui 9000 titik saraf, sebagai pendeteksi rasa manis, asin, pahit, asam dan mungkin bisa ditambahkan sedap alias umami, walau ada yang mengatakan umami atau sedap itu adalah resultan dari keempat rasa itu. Tetapi bagaimanakah dengan indra penciuman kita untuk mendeteksi aroma? Ternyata aroma memberikan daya tarik yang paling besar bagi kita untuk menikmatinya. Ada pendapat yang dinyatakan seperti Pareto, bahwa kelezatan yang kita nikmati 20% berasal dari rasa dan 80% dari aroma atau flavour masakan tersebut, salah satu sebabnya karena penciuman kita memiliki 5-10 juta saraf penerima yang berkelompok dalam 1000 jenis berbeda dan mampu mendeteksi 10.000 macam aroma. Termasuk gosong.
Adalah dua orang, Richard Axel dan Linda B. Buck yang secara bersama menerima Hadiah Nobel di bidang Kedokteran pada tahun 2004 lalu, atas penemuannya tentang reseptor aroma dan organisasi dari sistem penciuman, sehingga kita bisa mengetahui akan hal tersebut.
Richard Axel
Linda B. Buck
Jika anda ingin mengetahuinya lebih dulu, sila lihat disini dan disini dimana diuraikan secara sederhana dan agak populer apa dan bagaimana cara kerja reseptor aroma dan organisasi dari sistem penciuman tersebut. Tetapi bila anda berprofesi sebagai pencicip rasa minuman atau makanan, maka mutlak anda harus mengetahuinya agar bisa menjaganya dalam kondisi yang selalu prima. Dan juga bila seorang dokter.
Tentu anda tidak keberatan dan dengan ikhlas mengizinkan saya untuk meneruskan tentang reaksi Maillard ini pada kesempatan mendatang, karena kalau diceritakan pada kesempatan ini masih akan panjang, sedang kalau disingkat anda akan kecewa. Anda tentu merasakan bagaimana sedapnya paduan sambel terasi bila ditambah dengan jeruk purut dan disantap dengan ikan bakar atau ikan asap, apapun jenis ikannya. Ternyata ada kenyataan yang baru ditemukan oleh para ahli gastronomi, bahwa perpaduan dua aroma [atau lebih] yang mungkin karena adanya kesamaan atau kesesuaian antara molekul keduanya, yang memberikan efek saling memperkuat. Adalah seorang ilmuwan firmenich1 François Benzi, yang pada sebuah loka karya internasional tentang gastronomi yang pertama di Erice, memiliki gagasan untuk memadukan suatu makanan dan suatu aroma, yang sama-sama memiliki kesesuaian/kesamaan senyawa, seperti senyawa indole seperti yang ada pada babi dan bunga melati. Dan itu terbuktikan. Sayang sebagian besar kita tidak boleh membuktikan, haram.
1
Ilmu tentang bau-bauan [tentunya yang sedap] seperti aroma minyak wangi dan makanan.
Allah swt sangatlah sayang kepada hamba-Nya yang mengikuti perintah-Nya. Dalam salah satu daftar yang dicontohkan, adalah menyantap pisang yang diberi cengkeh. He he, ini kan sudah dilakukan oleh nenek-nenek kita sejak dahulu, berupa setup pisang yang sangat nyaman dan segar untuk teman berbuka puasa. Lho, kan itu ada kayumanis atau cinnamon yang juga digunakan? Ada kaidah subtitusi juga berlaku di dunia masak-memasak, misalnya strawberi dengan tomat, atau basil [kemangi] dengan kombinasi ketumbar, cengkeh dan pekak [bunga lawang]. Lak yo tambah ribet, gampangan kemangi. Tetapi bila anda di negeri yang tidak ada kemangi, adanya yang itu, ya tentu cara ini berguna. Karena basil mengandung zat linalool [ketumbar], estragol [bunga lawang] dan eugenol [cengkeh]. Dan begitulah antara cengkeh dan kayumanis, bisa saling dipertukarkan dan saling memperkuat. Bagi anda yang tertarik untuk mencoba kombinasi makanan yang eksotis, sila unduh dan baca Flavor Pairing serta mengeksplore lebih lanjut tautan yang ada disana. Semoga anda menemukan sesuatu yang mempesona. ٓ َ ى َء Fa biayyi alaa’i Rabbikuma tukadzdzibaan. ان ِ َ فَبِأ ِ َاَل ِء َربِ ُك َما تُك َِذب Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Saifuddien Sjaaf Maskoen