www.parlemen.net
LIPI
PANDANGAN LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA TENTANG RUU PEMERINTAHAN ACEH DISAMPAIKAN DALAM RAPAT DENGAR PENDAPAT DENGAN PANSUS RUU PA DPR RI
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA Jakarta, 6 Maret 2006
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
PANDANGAN LIPI TENTANG RUU PEMERINTAHAN ACEH DISAMPAIKAN DALAM RAPAT DENGAR PENDAPAT DENGAN PANSUS RUU PA DPR RI Jakarta, 6 Maret 2006
Sehubungan dengan permintaan Panitia Khusus Rancangan Undang-undang tentang Pemerintahan Aceh DPR RI, di bawah ini disampaikan beberapa pandangan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengenai RUU tersebut: I.
Pandangan Umum
•
Pembahasan dan diskusi tentang RUU Pemerintahan Aceh bagaimana pun harus bertolak dari desain besar agenda desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Problematiknya, desain besar itu justru tidak dimiliki, baik oleh pemerintah yang menyiapkan RUU ini maupun DPR yang membahasnya. Benar bahwa RUU PA merupakan implementasi dari nota kesepahaman (MoU) antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), namun materi RUU ini tentu saja tidak bisa "didikte" oleh MoU Helsinki karena konteks kesepakatan tersebut adalah sebagai prasyarat bagi tercapainya perdamaian menyeluruh di Aceh.
•
Adanya sebuah desain besar tentang agenda desentralisasi dan otonomi daerah -yang unsur-unsur pokoknya disepakati oleh pemerintah, DPR, dan segenap pemangku kepentingan jelas penting sebagai dasar berpijak bagi penyusun UU untuk menilai kualitas sebuah RUU, apakah berada dalam koridor konsitusi negara atau tidak. Naskah akademik suatu RUU mestinya bertolak dari desain besar tersebut.
•
Suatu desain besar sekurang-kurangnya mencakup: (1) Pilihan perspektif teoritis tertentu yang agak jelas, sehingga struktur, ruang lingkup, dan arah agenda desentralisasi dan otonomi daerah menjadi cukup jelas. Kejelasan pilihan terhadap perspektif teoritis desentralisasi akan memperjelas pula, apakah otoritas pemerintah daerah dalam bidang tertentu lebih bersifat pelimpahan tugas, pendelegasian, dan perbantuan dari pemerintah di atasnya (Pusat), atau penyerahan, pembagian, dan pendistribusian; (2) Kejelasan mengenai format dan status sistem pemerintahan daerah, apakah merupakan duplikasi sekaligus turunan dari sistem pemerintahan nasional -dalam hal ini yang cenderung mengarah pada format presidensiil-seperti diamanatkan oleh UUD 1945 hasil amandemen, atau suatu format pemerintahan lokal yang terpisah sekaligus berbeda dari sistem pemerintahan nasional. Kejelasan diperlukan agar sistem pemerintahan daerah tidak berubah-ubah mengikuti "selera" para penyusun UU; (3) Kejelasan mengenai sistem perwakilan di daerah pun menjadi sangat penting untuk didiskusikan dan kemudian disepakati garis-garis besarnya. Kejelasan mengenai soal ini penting agar status DPRD benar-benar jelas, sebagai bagian Pemerintah Daerah (eksekutif), atau semacam lmbaga legislatif lokal yang memiliki hak-hak politik yang relatif sama dengan parlemen di tingkat nasional.
•
Ditinjau dari implementasi dalam aturan-perundangan, diakui atau tidak, pemerintah dan DPR dewasa ini menerapkan empat level otonomi daerah, yaitu (1) otonomi luas pada tingkat kabupatenlkota; (2) otonomi terbatas pada tingkat propinsi; (3) daerah khusus atau istimewa pada tingkat propinsi; dan (4) otonomi khusus pada tingkat propinsi. Posisi Aceh dewasa ini seperti isi UU No. 18 Tahun 2001 adalah gabungan dari daerah istimewa di satu pihak, dan daerah dengan otonomi khusus di pihak lain.
•
Pertanyaannya kemudian, apakah RUU PA yang sedang dibahas ini hendak konsisten dengan posisi Propinsi Aceh dewasa ini, atau lebih merupakan perluasan, atau sebaliknya merupakan penyempitan atasnya?
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
•
Apabila disepakati bahwa MoU Helsinki adalah "jalan tengah" antara tuntutan kemerdekaan yang diajukan oleh GAM dan tawaran otonomi khusus oleh pemerintah, maka cakupan dan ruang lingkup RUU PA mestinya adalah "UU No. 18 Tahun 2001 Plus". Artinya, cakupan kekuasaan dan otonomi yang dimiliki oleh pemerintahan Aceh dalam RUU PA mestinya tidak boleh kurang dari UU No. 18 Tahun 2001, namun lebih merupakan perluasan atasnya.
II. Model Ideal Otonomi Daerah dan Masalah "Pemerintahan Sendiri" II.1 Model Ideal Otonomi Daerah Secara teoritis, dikenal ada 3 (tiga) model Otonomi Daerah, yang umumnya diaplikasikan di negara-negara yang bertentuk kesatuan (unitary state). Tiga model otonomi daerah tersebut adalah: 1. Otonomi Terbatas. Apabila kewenangan yang diserahkan kepada pemerintah sangat terbatas, yakni hanya sebahagian kecil saja dari kewenangan diluar kewenangan pokok dan kewenangan sektoral pemerintah pusat. Dengan demikian maka hak otonomi yang dimiliki oleh "daerah" dalam pengambilan keputusan maupun dalam implementasi kebijakan akan sangat terbatas. 2. Otonomi Luas. Apabila kewenangan yang diserahkan kepada pemerintah sangat luas, yakni sebahagian besar (bahkan hampir seluruh) dari kewenangan-kewenangan sektoral diluar kewenangan pokok yang dimiliki oleh pemerintah pusat. Dengan demikian maka hak otonomi yang dimiliki oleh "daerah" dalam pengambilan keputusan maupun dalam implementasi kebijakan akan sangat luas. Otonomi Luas dalam hal ini lebih dalam pengertian hak yang Was dimiliki oleh pemerintah daerah berserta masyarakat daerah, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam implementasi kebijakan, atas kewenangan-kewenangan yang telah diserahkan oleh perintah pusat kepada pemerintah daerah. 3. Otonomi Khusus. Apabila "daerah" hanya diberi kewenangan luas dalam mengelola urusan-urusan tertentu, baik yang merupakan bagian dari kewenangan pokok pernerintah pusat, maupun kewenangan-kewenangan sektoral yang sangat khusus sifatnya. Sementara untuk negara-negara yang bertentuk federal, umumnya hanya mengenal 1 (satu) model Otonomi Daerah, yaitu apa yang dikenal dengan Otonomi Penuh. Dalam model Otonomi Penuh ini, relasi kekuasaan antara pemerintah federal dan negara-negara bagian didasarkan pada prinsip "pemisahan kekuasaan" (separation of power), dan oleh karenanya, maka kewenangan yang dimiliki oleh negara-negara bagian adalah seluruh kewenangan-kewenangan diluar kewenangan pokok yang dimiliki oleh pemerintah pusat. Dengan demikian, maka "daerah" (negara bagian) memiliki hak penuh, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam implementasi kebijakan atas seluruh urusan diluar kewenangan pokok yang telah didefinisikan menjadi milik pemerintah pusat (federal). Secara singkat, perbedaan karakteristik dari relasi kekuasaan dan model otonomi daerah pada negara federal dan negara kesatuan, dapat dilihat pada Matriks berikut: Self Fovernance
Desentralisasi
Otonomi Daerah
Negara Federal
Pemisahan Kekuasaan (Separation of Power)
Otonomi Penuh
Negara Kesatuan
Berbagi Kekuasaan/Kewenangan (Sharing of Power)
• Otonomi Luas • Otonomi Khusus • Otonomi Terbatas
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
II.2 Konsep Dasar "Pemerintahan Sendiri" (Self Governance): Prinsip Dasar dari Sistem Self Governance: (1) Adanya unit-unit pemerintahan yang secara legal-formal memiliki hak otonom atau berstatus independen; (2) Tetapi diantara unit pemerintahan tersebut tetap terintegrasi dan saling mengisi serta membutuhkan (interdependensi) satu dengan lainnya; dan (3) Adanya koorporasi dan kompetisi antar unit-unit pemerintahan dalam upaya mencapai suatu tujuan kolektif yang telah desepakati. Sementara itu persyaratan yang harus dipenuhi: (1) Harus adanya pengaturan secara spesifik tentang mekanisme check and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan; dan (2) Masyarakat (those who are governed) harus memiliki hak kebebasan yang sama dalam mengekpresikan kepentingannya vis-a-vis pemerintah, serta memiliki hak konstitusi dalam mengendalikan otoritas yang dijalankan oleh pemerintah. 1.
2.
3.
4.
5.
Secara historis, konsep self governance memang sangat dipengaruhi oleh ide federalisme. Rasionalitas teoritisnya cukup sederhana, yaitu dengan bentuk negara federal maka diyakini akan lebih memungkinkan unit-unit pemerintahan memiliki otonomi penuh, sehingga lebih dapat menjamin ditegakkannya kedaulatan rakayat, atau terwujudnya apa yang Ostrorn (1991: 5-6) sebut sebagai a system of governance that would be appropriate to circumstance where people govern rather than presuming that governments govern. Dalam upaya merealisasikan cita-cita people govern tersebut, maka desain institusi penyelenggara negara, harus bersifat polycentric, yaitu: Suatu sistem pemerintahan yang terdiri dari sejumlah unit, dimana antara unit pemerintahan satu dengan lainnya secara legal formal berstatus otonom, tetapi tetap terintegrasi dan saling akomodasi (inter-dependensi) guna mencapai suatu tujuan yang telah disepakati secara kolektif (Ostrom, 1991: 224). Definisi sistem poly centric tersebut secara jelas memperlihatkan sedikitnya ada tiga prinsip dasar yang harus ditegakkan dalam sistem self governance: (a) adanya unitunit pemerintahan yang secara legal-formal berstatus OTONOM; (b) tetapi diantara unit pemerintahan tersebut tetap terintegrasi dan Baling mengisi serta membutuhkan (interdependensi) satu dengan lainnya; dan (c) adanya koorporasi dan kompertisi antar unitunit pemerintahan dalam upaya mencapai tujuan kolektif yang telah desepakati. Bahwa sistem self governance hanya akan mampu merefleksikan dirinya dalam bentuk sistem "pemerintahan sendiri" yang demokratis (democratic self governance system) bila terpenuhinya beberapa prasyarat utama, antara lain: (a) harus adanya pengaturan secara spesifik tentang mekanisme check and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan itu sendiri; dan (b) masyarakat (those who are governed) harus memiliki hak kebebasan yang sama dalam mengekpresikan kepentingannya vis-a-vis pemerintah, serta memiliki hak konstitusi dalam mengendalikan otoritas yang dijalankan oleh pemerintah (Ostrom, 1991:227). Bila beberapa syarat utama tersebut tidak dipenuhi, maka praktik sistem "pemerintahan sendiri" juga sangat potensial membawa sejumlah bahaya. Diantara bahaya yang dimaksud adalah, akan terjadinya sentralisasi kekuasaan pada unit-unit pemerintahaan yang ada, ketika prinsip pembagian kekuasaan dilakukan, dan hak otonomi penuh diberikan, namun tidak disertai oleh pengaturan mekanisme check and balances yang jelas, dan tidak berperannya secara maksimal partisipasi masyarakat.
III.
Pemerintahan Sendiri dalam konteks NKRI
1.
Dengan menyimak secara teliti konsep dasar tentang keterkaitan antara konsep self governance dan ide federalisme, maka sangat jelas tergambarkan bahwa bentuk negara federal, dan praktik self governance bukanlah tujuan akhir, tetapi hanya sebagai sarana Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
atau media untuk mewujudkan apa yang Ostrom (1991) sebut sebagai people govern rather than governments govern. Dalam bahasa yang lebih konkrit, tujuan akhir yang hendak dicapai tidak lain adalah menegakkan kedaulatan rakyat. Dengan pemaknaan sistem self governance hanya sebagai salah satu "alat" untuk mewujudkan "kedaulatan rakyat", maka sesungguhnya is pun dapat tumbuh dan bekerja dalam bingkai Negara Kesatuan. Dengan kerangka pemahaman seperti ini, maka tidak berlebihan bila dikatakan bahwa, upaya untuk terus mempertentangkan antara sistem self governance dengan bentuk Negara Kesatuan adalah sesuatu yang tidak sepenuhnya relevan. Pengalaman negara-negara federal, antara lain, menunjukkan bahwa praktik self governace dalam penyelenggaraan pemerintahan, telah dimanifestasikan dalam bentuk adanya pemisahan kekuasaan (separation of power) antara pemerintah federal (pemerintah pusat) dan negara-negara bagian (pemerintah daerah). Prinsip relasi kekuasaan pada negara yang berbentuk federal tersebut, tidak dapat diadopsi dalam format "yang sama dan sebangun" pada negara-negara yang berbentuk kesatuan. Ini karena, secara teoritis, negara kesatuan tidak mengenal adanya pernisahan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah, tetapi lebih dalam bentuk pembagian kekuasaan (sharing of power). Dengan prinsip sharing of power ini, maka pemerintah pusat, selain memiliki kewenangan pokok, juga memiliki kewenangan sektoral yang harus dikelola secara berasama-sama dengan pemerintah daerah melalui azas desentralisasi. Dengan prinsip sharing of authorities tersebut, maka maka status otonomi yang dimiliki oleh "daerah" pun akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah. Bila kewenangan yang diserahkan sangat terbatas (hanya sebahagian kecil kewenangan sektoral diluar kewenangan pokok pemerintah pusat) maka hak yang dimiliki "daerah" dalam pengambilan keputusan maupun dalam implementasi kebijakan akan sangat terbatas, dan otonomi yang dimiliki akan lebih bersifat otonomi terbatas. Sebaliknya, jika "daerah" diberi kewenangan luas dalam mengelola seluruh urusan/sektor diluar kewenangan pokok pemerintah pusat, maka otonomi yang dimiliki "daerah" pun akan lebih bersifat otonomi luas. Sementara, bila yang terjadi adalah, "daerah" hanya diberi kewenangan luas dalam mengelola urusan/sektor tertentu, maka otonomi yang dimiliki akan lebih bersifat otonomi khusus. Jadi di sini sangat jelas terlihat, bahwa bentuk otonomi paling tinggi yang dapat dimiliki oleh "daerah" dalam konteks Negara Kesatuan adalah otonomi luas (bukan otonomi penuh).
IV. Masalah-masalah Krusial dan Solusi bagi Aceh IV.1. Beberapa Masalah Krusial •
Calon independen. Peluang bagi kandidat perseorangan dan/atau independen dalam pilkada mestinya dibuka, sehingga pencalonan dalam pilkada tidak hanya melalui satu pintu partai dan/atau gabungan partai politik. Kekhawatiran bahwa proses pilkada menjadi lebih rumit -karena kandidat menjadi lebih banyak-tidak cukup beralasan jika disepakati bahwa persyaratan bagi calon independen dirancang lebih ketat. Misalnya saja melalui prasyarat dukungan minimal dan penyetoran dana penjaminan (deposit) kepada Komite Independen Pemilihan (KIP) -yang akan dikembalikan jika menang, dan tidak dikembalikan jika kandidat independen tersebut kalah.
•
Pemerintahan sendiri. Konsep "pemerintahan sendiri dalam kerangka NKRI" tidak perlu dikhawatirkan jika hal itu dipandang sebagai "jalan tengah" antara tuntutan merdeka di satu pihak, dan tawaran otonomi khusus di pihak lain. Titik temu ataupun solusi antara RUU PA usulan DPRD Aceh dan RUU PA usulan pemerintah dapat dicapai dengan menyepakati bahwa "pemerintahan sendiri" tersebut harus dilaksanakan atas dasar Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
prinsip NKRI dan eksistensinya hanya sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. •
Akuntabilitas Elite dan Partisipasi Masyarakat. RUU PA mestinya tidak hanya terfokus pada pengaturan tentang distribusi kekuasaan di antara elite Jakarta dan elite lokal di Aceh, atau di antara sesama elite lokal, melainkan juga harus mengatur mekanisme pertanggung-jawaban elite politik lokal secara transparan terhadap rakyat Aceh. Di sisi lain, RUU mestinya memberi peluang dan akses yang luas bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara politik sehingga rakyat dapat turut mengawasi pemerintah dan wakil-wakilnya di DPRA dan DPRK.
•
Relasi PA dan DPRA. Kalau ada desain besar tentang arah desentralisasi dan otonomi daerah -sehingga jelas apa perbedaan otonomi terbatas, otonomi luas, daerah istimewa dan otonomi khusus/sangat luas-jmestinya relasi pemerintahan Aceh dan DPRA tidak perlu dipersoalkan. Jika penyusun UU konsisten bahwa otonomi khusus memang berbeda dengan otonomi luas dan otonomi terbatas, maka relasi PA-DPRA tidak harus sama dengan hubungan Pemda-DPRD yang dianut oleh UU No. 32 tahun 2004. Artinya, format DPRA sebagai lembaga legislatif lokal tidak perlu dipersoalkan jika pengaturan demikian justru diciptakan untuk menjamin adanya mekanisme checks and balances di antara unsur-unsur pemerintahan Aceh. Sebagai konsekuensi logisnya, DPRA mestinya memiliki hak mengajukan rancangan Qanun dan rancangan APBA.
•
Qanun Pemerintah Aceh. Status Qanun jelas tidak mungkin diperlakukan sama dengan Peraturan Pemerintah (PP). Oleh karena itu, pengaturan lebih lanjut atas UU PA hanya bisa dilakukan melalui PP sebagaimana berlaku dalam sistem perundanganundangan RI. Meskipun demikian, Qanun bisa saja mengatur urusan-urusan tertentu dalam hubungan segitiga PA-DPRA/DPRK-rakyat Aceh sepanjang tidak bertentangan aturan perundangan lain.
IV.2. Solusi Untuk Aceh: Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, yang berstatus sebagai daerah istimewa dan diberi kewenangan luas untuk mengatur dan mengurus sendri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Sehubungan dengan itu: 1. Untuk tetap dapat mempraktikkan sistem self governance di Aceh, namun tidak melanggar prinsip dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka diantara model yang paling realitis untuk diterapkan adalah memposisikan Aceh tetap sebagai unit pemerintahan daerah, namun memiliki status Otonomi Luas, dan hak untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri. 2. Dengan model seperti ini, maka kekhawatiran akan keberadaan "Aceh" sebagai "negara dalam negara" dapat terhilangkan. Namun pada sisi lain, praktik self governance tidak kehilangan essensinya, karena dengan status otonomi luas akan menjamin pemerintahan daerah di Aceh untuk memiliki kewenangan luas dalam mengatur rumah tangganya. 3. Bila solusi tentang status "otonomi luas" tersebut dapat dipertimbangkan, maka halhal mendasar yang perlu diatur secara spesifik dan eksplisit di dalam UndangUndang Pemerintahan Aceh (UU PA), antara lain: -
Prinsip dan Mekanisme Relasi Kekuasaan/Kewenangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Aceh: Relasi kekuasaan diatur berdasarkan prinsip "pembagian kewenangan" (sharing of authorities). Atau dengan kata lain, bukan "pemisahan kekuasaan" (seperation of power) antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan prinsip dasar seperti ini, maka kalau pun
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Aceh diberi kewenangan luas mengelola ruamah tangganya, namun hal tersebut merupakan "pembagian kewenangan" oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. -
Kedudukan, Tugas dan Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Aceh: DPRD Aceh adalah Lembaga Legislatif daerah Aceh, dan oleh karenanya DPRD Aceh memiliki fungsi Legislasi, Pengawasan, dan fungsi Anggaran. Dalam kedudukannya sebagai Lembaga Legislatif Daerah, maka tidak semua keptusan DPR-RI yang berkaitan dengan Aceh harus mendapat persetujuan DPRD Aceh.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net