TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri)
LAPORAN SINGKAT PANJA RUU TENTANG PERTANAHAN KOMISI II DPR RI (Bidang Pemerintahan Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kepemiluan, Pertanahan dan Reforma Agraria) -----------------------------------------------------------------------------------------------------Tahun Sidang : 2013-2014 Masa Persidangan : III Rapat Ke : -Jenis Rapat : Rapat Dengar Pendapat Umum Sifat Rapat : Terbuka Hari/Tanggal : Rabu, 26 Februari 2014 Waktu : 10.00 WIB - Selesai Tempat : Ruang Rapat Komisi II DPR RI (Gd. Nusantara /KKIII) Acara : Mendapatkan masukan terhadap RUU tentang Pertanahan Ketua Rapat : Drs. Abdul Hakam Naja, M.Si/Wakil Ketua Komisi II DPR RI Sekretaris Rapat : Dra. Hani Yuliasih, M.Si/Kabag.Set Komisi II DPR RI Hadir : A. Tamu 1. Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, SH., MCL., MPA 2. Prof. Dr. Nurhasan Ismail, SH.,M.Si 3. Dr. Kurniawarman, SH.,M.Hum B. 12 orang dari 25 Anggota Panja RUU Pertanahan Komisi II DPR RI I.
PENDAHULUAN 1. Rapat Dengar Pendapat Umum Panja RUU Tentang Pertanahan Komisi II DPR RI pada hari Rabu tanggal 26 Februari 2014 dibuka pukul 10.45 WIB yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Yth. Drs. Abdul Hakam Naja, M.Si dan dinyatakan terbuka untuk umum. 2. Ketua Rapat menyampaikan agenda Rapat Dengar Pendapat Umum Panja RUU Tentang Pertanahan Komisi II DPR RI dengan pakar (Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, Prof. Dr. Nurhasan Ismail, SH.,M.Si, Dr. Kurniawarman, SH.M.Hum) pada hari ini yakni mencari masukan terhadap RUU tentang Pertanahan. 3. Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono SH., MCL., MPA menyampaikan beberapa masukan terkait RUU Pertanahan diantaranya yakni: a. Pembentukan pengadilan pertanahan belum diperlukan karena, antara lain: ketidakjelasan kompetensi yuridis pengadilan khusus pertanahan. Perkara perdata dan pidana terkait masalah pertanahan diadili di Pengadilan Negeri, perkara pertanahan yang bersifat administratif diselesaikan melalui PTUN. Jika ingin mengusulkan, barangkali dapat dipikirkan pembentukan “kamar“ pertanahan dalam lingkup peradilan umum dengan mendiskusikan hal ini dengan Mahkamah Agung, satu dan lain hal agar bila dalam satu kasus pertanahan
meliputi aspek perdata, pidana, dan Tata Usaha Negara, perkara itu dapat diputus secara komprehensif sehingga dapat dieksekusi. Yang mendesak untuk dibentuk terkait dengan konflik/sengketa pertanahan yang “extra-ordinary”, masif, berdampak luas, lintas sektoral sebagai akibat ketidakadilan distribusi penguasaan dan pemilikan tanah (kasus Mesuji, Sape, Sri Tanjung, dsb) adalah Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria sebagaimana diuraikan dalam Naskah Akademik RUU Pertanahan dan pokokpokok pengaturannya telah dirumuskan dalam tiga pasal dalam draf RUU Pertanahan tanggal 23 Maret 2013. Ketiadaan Komisi ini berakibat bahwa konflik/sengketa yang bersifat extra-ordinary tersebut tidak pernah dapat diselesaikan dengan tuntas. Keberadaan Komnas Penyelesaian Konflik Agraria ini diperlukan dalam rangka impelementasi transitional justice. b. Hapusnya hak atas tanah yang (semula) diberikan di atas tanah ulayat sebagai perwujudan pengakuan yang “genuine” dan obyektif terhadap hak ulayat Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 9 ayat (2) RUUP. Rumusan DIM Pemerintah belum sepenuhnya mewujudkan pengakuan yang “genuine” dan obyektif tersebut. c. Pengertian asas pemisahan horisontal. Rumusan DIM Pemerintah justru menunjukkan bahwa Pemerintah menganut asas perlekatan (natrekking) atau vertikal yang dianut dalam hukum perdata. Secara komprehensif, Penjelasan Umum butir 6 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah telah menjabarkan tentang pengertian asas pemisahan horisontal. d. Perumusan batas maksimum ukuran luasan hak atas tanah dalam RUUP tidak tepat karena: Jika sudah ditetapkan ukuran luasan, dan suatu saat akan dilakukan perubahan, hal itu memerlukan perubahan UU; Ukuran luasan seyogyanya diatur dan dimuat dalam peraturan perundangundangan pelaksanaan UU ini sehingga lebih mudah jika suatu saat akan diubah. Contoh: 1) UU No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian; penegasan tentang luas maksimum diatur dalam Kepmen Agraria No. SK 978/Ka/1960. 2) Untuk luasan maksimum tanah yang dapat dipunyai oleh perusahaan diatur dalam Permenag/Ka. BPN No. 2 Tahun 1999 tentang Ijin Lokasi. Seyogianya mengenai ukuran luasan maksimum dimuat dalam peraturan pelaksanaan RUU Pertanahan. 4. Prof. Dr. Nurhasan Ismail SH.,M.Si menyampaikan beberapa masukan terkait RUU Pertanahan diantaranya yakni: a.
RUU ini merupakan penjabaran dari UU Pokok Agraria, maka cukup menimbangnya mengacu pada UU No.5 Tahun 1960 dan tidak perlu menegaskan sebagai pelaksanaan langsung Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Jika dinyatakan sebagai pelaksanaan Pasal 33 (3) UUD, maka RUU ini dapat dinilai sejajar dengan UUPA.
b.
Pemerintah mengusulkan perubahan dengan menghapus frase “sebagai organisasi kekuasaan dari rakyat Indonesia Tanggapan : Frase “sebagai organisasi kekuasaan dari rakyat Indonesia” mempunyai makna strategis untuk mengingatkan bahwa negara Indonesia lahir dari bangsa Indonesia dan bukan lahir dengan sendirinya sehingga hal tersebut tetap penting. Dengan lahirnya hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka hak ulayat sudah berakhir. Tanggapan : Usulan Pemerintah tersebut tidak tepat karena jika kembali pada Negara berarti RUU ini akan menjadi instrumen untuk menghapus Hak Ulayat MHA secara pelan dan sistematis.
c.
Pemerintah mengusulkan untuk merumuskan kembali substansi mengenai penguasaan dan pemilikan tanah yang sesuai dengan ketentuan Pasal 4 UUPA. Tanggapan: Rumusan RUU sebenarnya penegasan dari ketentuan dalam UUPA tentang asas pemisahan horizontal. Kalau mengikuti rumusan usulan Pemerintah berarti tidak mempertegas namun sekedar mengulang. Jika benda-benda di atas dan/atau di bawahnya hendak ditempatkan sebagai kepunyaan pemegang hak atas tanah, maka harus ditegaskan dengan syarat tertentu. Hal ini sudah ada dalam Pasal 13 ayat (2) b Kesimpulannya : tidak diakomodasi tidak masalah
d.
Frase “pelepasan Hak Ulayat” dapat menimbulkan tafsir bahwa dengan pelepasan itu berarti sudah tidak berstatus sebagai bagian Hak Ulayat + tafsir demikian tidak akan konsisten dengan ketentuan Pasal 9 ayat (2) yaitu setelah berakhir HGU, tanah kembali pada Hak Ulayat
e.
Untuk komoditas perkebunan diberikan dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektar. Jika semangatnya pemerataan dan mencegah terjadinya kesenjangan penguasaan tanah yang akan berakibat konflik, angka 10 ribu Ha sebenarnya sudah sangat luas + sungguh2 perlu pendapat ahli di bidang pertanian dan perkebunan.
f.
Penentuan luas 12 Ha memang patut dipertanyakan karena UUPA sendiri menentukan 25 Ha atau lebih. Yang harus dipertimbangkan adalah kepentingan yang hendak diujudkan dari ketentuan ini : 1) Jika kepentingannya agar ada perbedaan antara kelompok usaha kecil dengan besar maka perlu ketentuan batasan luas yang harus memenuhi syarat tersebut dengan pengertian luas di bawah 12 Ha dinilai sebagai usaha kecil. 2) Namun jika kepentingannya agar semua usaha dengan HGU harus memenuhi syarat, maka usulan pemerintah layak dipertimbangkan
5. Dr. Kurniawarman,SH.,M.Hum menyampaikan beberapa masukan terkait RUU Pertanahan diantaranya yakni: a) Terkait sanksi, pemerintah juga menambahkan sanksi administrasi (DIM 545550). Namun yang menjadi problem selama ini adalah lembaga penegak sanksi tersebut. Pelanggaran-pelanggaran ketentuan landreform saja selama ini tidak jalan. Perlu dipikirkan lembaga penegak hukum atas sanksi-sanksi tersebut. Oleh karena itu, penolakan pemerintah terhadap pengadilan khusus pertanahan kontradiktif dengan usulan tambahan ini.
b) Usulan pemerintah: Pasal 4 ayat (1) sbb: “Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah.” Usulan ini agaknya tidak bisa diterima karena pertentangan dengan semangat otonomi daerah dalam NKRI. Sifat sentralistik ini justru merupakan salah satu yang harus dikoreksi sesuai dengan kebijakan desentralisasi. c) Usulan pemerintah, Pasal 5 ayat (1) sbb: “Hak pengelolaan dapat dilaksanakan oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perusahaan Umum Perumahan Nasional.” Catatan: Usul pemerintah juga tidak dapat diterima karena bertentangan dgn hakikat Hak Pengelolaan itu sendiri. Karena Hak Pengelolaan Lahan (HPL) merupakan bagian dari Hak Menguasai Negara (bukan tanah hak) maka hanya pemerintah/daerah saja yang dapat memegangnya. Pasal 5 ayat (1) ini justru dimaksudkan sbg koreksi terhadap salah kaprah HPL selama ini. Sehingga, DIM 63 juga tidak dapat diterima d) Usul pemerintah, Pasal 7 ayat (3): “Pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan subjek hak atas tanah yang melakukan kegiatan sesuai dengan perjanjian penyerahan pemanfaatan tanah.” Catatan: tidak perlu diubah karena dalam hukum perdata, istilah “orang” memang meliputi perorangan (person) dan badan hukum (rechtpersoon). Jika dirasa perlu keterangan, cukup dimuat di dalam Penjelasannya. e) Usulan pemerintah: Pasal 9 ayat (2) sbb: “Dalam hal jangka waktu Hak Atas Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir atau hapus karena sebab tertentu maka tanahnya menjadi tanah Negara”. Usulan ini terkesan logis mengingat pengertian hak atas tanah menurut UUPA. Tetapi di sinilah salah satu arti penting lahirnya RUU Pertanahan ini yaitu untuk menjawab persoalan yang dituntut oleh MHA selama ini. Oleh karena itu usulan pemerintah agaknya tidak dapat diterima. Ketentuan ini justeru dimaksudkan untuk menyelaraskan RUU Pertanahan ini dengan pengakuan hak ulayat di dalam UUD 1945 sebagaimana dirujuk pada Ketentuan Megingat RUU ini. f) Usulan pemerintah ditambah Pasal 9A sbb: “Tanah Ulayat dengan berlakunya Undang-Undang ini dapat diberikan kepada pihak lain dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Sewa untuk Bangunan”. Usulan pemerintah sudah terakomodasi di dalam Pasal 10, jadi tidak perlu penambahan. Tanah ulayat memang dapat diberikan kepada pihak lain dengan hak tertentu, dan selama ini hal itu sudah lazim terjadi. g) Terhadap Pasal 13 (1) Pemerintah mengusulkan perubahan substansi mengenai penguasaan dan pemilikan tanah yang sesuai dengan ketentuan Pasal 4 UUPA: Penguasaan dan pemilikan Tanah pada asasnya mencakup penguasaan dan pemilikan atas bangunan, tanaman, dan benda lain yang berkaitan dengan tanah di atas dan/atau di bawahnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini. Ketentuan ini sebetulnya perwujudan dari asas pemisahan horizontal dalam hukum adat, berbeda dengan konteks Pasal 4 UUPA yang terkait dengan ruanglingkup pengertian tanah yang bisa dijadikan hak, dan kewenangan pemilik
tanah memanfaatkan ruang dan sumberdaya alam. Usulan perubahan dan penambahan (DIM 104) Pasal 13 ini agaknya tidak perlu. Lagi pula maksud usulan ini juga sudah dimuat di dalam Pasal 13 ayat (2). h) Pemerintah mengusulkan tambahan materi terkait hak atas satuan rumah susun dan hak guna ruang angkasa. Kedua usulan pemerintah ini baik tetapi tidak termasuk ke dalam pengertian tanah. Dan hal itu juga telah diatur di dalam UU tersendiri II. KESIMPULAN Setelah Ketua Rapat menyampaikan pengantar rapat dan memberikan kesempatan kepada Pimpinan dan Anggota Panja RUU Pertanahan Komisi II DPR RI untuk menyampaikan pendapat/pandangannya serta saran dapat disimpulkan bahwa masukanmasukan dari para pakar (Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, Prof. Dr. Nurhasan Ismail, SH.,M.Si., Dr. Kurniawarman, SH.,M.Hum) tersebut akan dijadikan masukan-masukan yang sangat berarti dalam rangka pembahasan RUU Pertanahan yang akan dilaksanakan Komisi II DPR RI. III. PENUTUP Rapat ditutup Pukul 13.20 WIB. KETUA RAPAT,
Ttd
DRS. ABDUL HAKAM NAJA, M.Si A-126 .