Hairani, dkk., Faktor Dominan Anak Menjadi Anak Jalanan …
KAJIAN MEDIASI SEBAGAI KEBIJAKAN HUKUM DALAM MENYELESAIKAN KONFLIK PERKARA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI/NIAGA DAN HAM KELAS 1A MEDAN
Mangatas Sitohang, Tan Kamello, Muba Simanihuruk
Abstract: PERMA No. 2 of 2003 is the attempt of Supreme Court in overcoming the accumulation of matters in Court Institution, there is about 21,000 matter cases in Supreme Court until February 2004 and there is about 605 unsolved civil matter cases in State Court of Medan until September 2004. In addition, this study will find the satisfactory solution for parties to matter, and they will enjoy more regulate life. Therefore, it is important to understand the implementation of PERMA No.2 of 2003 above. Thus, the objective of this study is to find out the solution of civil matter through meditation in State Court of Medan and the opinion of respondent about mediation itself. This research found that the success and selection toward mediation is related to type of civil matter tends to civil matter of commercial business that matters relates to family matter. This research also found the orientation of lawyer’s tendency to interest of client was successful to conduct the mediation, compared to lawyers’ tendency to make his professionalism interest as a priority. The respondent of mediation in the court is very low, although the practice of mediation is part of their daily life. This research recommends the importance of socialization about mediation to all level of community, particularly to lawyers, and judges. In addition, there is a great urgency for realization of implementation the instruction of PERMA No. 2 of 2003, so that the relevant assignment of mediator can run well. Keywords: mediation, civil matter through mediation PENDAHULUAN Dilihat dari kuantitas maupun kualitasnya, penyelesaian yang dilakukan di lembaga peradilan formal tidak lebih baik dari penyelesaian yang dilakukan di luar ruang pengadilan, baik yang menyangkut persengketaan bisnis maupun persengketaan karena persoalanpersoalan sehari-hari. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja tetapi juga di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. (Margono, 2000:68; Lovenheim, 1989: 19-24; Mc. Adams, 1992: 190-197). Secara kuantitas penyelesaian perkaraperkara perdata yang dapat diselesaikan melalui lembaga peradilan sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah perkara perdata yang didaftarkan. Secara kualitas penyelesaian perkara perdata melalui lembaga-lembaga peradilan formal lebih cenderung hanya memuaskan salah satu pihak, sehingga potensi munculnya kembali persengketaan di antara yang berperkara menjadi
lebih besar dan cenderung melibatkan pihak lainnya. (Manan, 2003; Salman S, 2001: 1-13). Banyak bukti yang mencerminkan tidak efektifnya penyelesaian perkara perdata melalui jalur pengadilan. Tidak efektifnya penyelesaian perkara-perkara perdata melalui jalur pengadilan, di samping hukum acara perdata yang ada cenderung lebih bernuansa pada pendekatan konflik, juga memberikan ruang yang luas bagi masuknya pengaruh-pengaruh atau tekanan-tekanan yang bersifat psikis, politis, ekonomis dan sosial. Namun demikian, suatu ironi apabila hingga saat ini ketidaksempurnaan penyelesaian sengketa perdata belum dijadikan alasan atau motivasi untuk mencari alternatifalternatif yang lebih cerdas, tetapi justru sebaliknya, masyarakat, terutama masyarakat yang telah memiliki kesadaran hukum yang relatif tinggi cenderung lebih senang menyelesaikan suatu perselisihan atau konflik perdata melalui jalur pengadilan, bahkan saat ini terkesan adanya perkara perdata yang terlalu dipaksakan dan melibatkan banyak pihak.
Mangatas Sitohang adalah Staf Pengadilan Negeri Medan Tan Kamello dan Muba Simanihuruk adalah Dosen MSP SPs USU
32
Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2
Pada satu sisi, terjebaknya dan tergiringnya masyarakat terhadap anggapan bahwa pengadilan sebagai satu-satunya upaya hukum, sudah sangat mengakar dan membudaya. Di samping itu pihak-pihak yang berperkara akan mengalami kerugian, baik secara material maupun non-material; bahkan penyelesaian perkara perdata melalui lembaga peradilan secara konvensional cenderung memicu dan memotivasi pihak-pihak yang berperkara saling unjuk kekuatan. Pada sisi lain, terutama pada komunitas kalangan bisnis upaya penyelesaian sengketa perdata justru menghindari pendekatan jalur pengadilan, karena dianggap tidak efektif (Margono, 2000:87; Salman S, 2001:5). Mereka lebih senang memanfaatkan penyelesaian sengketa perdata di luar ruang pengadilan, jika masih negosiasi, konsiliasi ataupun arbitrase yang jadi alternatif tidaklah menjadi masalah, tetapi yang banyak menimbulkan masalah apabila dilakukan melalui cara-cara yang tidak legal, misalnya adanya sinyal berkembangnya bisnis jasa debt colector yang melibatkan oknumoknum preman, bahkan oknum aparat penegak hukum (Harahap, 2001:3; Gautama, 1996: 13). Berdasarkan perkembangan itu, di samping pertimbangan-pertimbangan pragmatis pelaksanaan hukum acara perdata, lembaga peradilan pun tampaknya menyadari bahwa pendekatan perdamaian dalam penyelesaian konflik atau sengketa yang bersifat perdata perlu segera diadopsi. Undang-Undang No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan misalnya, merupakan perwujudan yang serius dalam menerapkan pendekatan perdamaian dalam penyelesaian sengketa perdata. Mengingat sangat kuatnya pengaruh pendekatan konflik dalam menyelesaikan sengketa perdata, baik dari pihak pelaksana lembaga peradilan (Hakim dan Pengacara) maupun pihak yang mencari keadilan (masyarakat), diperkirakan pelaksanaan dari keseriusan Mahkamah Agung dengan dikeluarkannya PERMA No.2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di pengadilan akan menghadapi persoalan yang serius. Selain itu kepercayaan terhadap mediator sebagai penentu keberhasilan praktek pendekatan perdamaian merupakan suatu persoalan baru, sehingga studi mengenai pelaksanaan penyelesaian sengketa perdata pasca Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 di Pengadilan Negeri/Niaga dan
HAM Kelas I A Medan perlu diketahui. Demikian pula pola dan persepsi masyarakat yang telah terfragmentasi mengenai lembaga peradilan, terutama di antara masyarakat awam yang cenderung menggunakan pendekatan konflik melalui lembaga peradilan dan komunitas bisnis yang cenderung menggunakan pendekatan koflik melalui jalur di luar pengadilan dalam menyelesaikan sengketa perdata. Oleh karena itu, studi ini menekankan permasalahan pada penyelesaian sengketa perdata di Pengadilan Negeri/Niaga Kelas I-A Medan pasca pemberlakuan peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun 2003, dan tanggapan masyarakat mengenai penyelesaian sengketa perdata melalui forum mediasi atau pendekatan perdamaian. METODE Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan key informan yang dipilih adalah Ketua Pengadilan Negeri dengan alasan sebagai pimpinan yang berwenang menunjuk dan menentukan hakim mediator dan sekaligus menerima laporan penyelesaian perkara, Ketua Pengadilan banyak mengetahui mengenai kebijakan dan implementasi proses mediasi di Pengadilan Negeri/Niaga dan HAM Kelas I A Medan. Sementara key informan lainnya merupakan para hakim selaku mediator yaitu orang yang terlibat langsung dalam proses mediasi beserta para pihak yang berperkara. Untuk mengungkap tanggapan masyarakat mengenai penyelesaian perkara perdata melalui mediasi, terdiri dari 2 orang informan dari unsur pengacara, 2 orang dari kepolisian (Kapolsek Medan Sunggal dan Kasat Reskrim), 2 orang tokoh masyarakat dan 18 orang masyarakat. Data penelitian ini dikumpulkan melalui studi dokumentasi untuk mengetahui jumlah berkas perkara perdata yang penyelesaian perkaranya menggunakan mediasi dan untuk menelusuri proses penyelesaian perkara, wawancara mendalam kepada key informan dan informan. Seluruh data yang terkumpul kemudian dikonstruksikan menjadi suatu bentuk laporan yang dapat menggambarkan pelaksanaan penyelesaian sengketa perdata di pengadilan Negeri/Niaga Kelas IA Medan dan tanggapan masyarakat/responden mengenai penyelesaian sengketa perdata melalui jalur mediasi.
33
Sitohang, dkk., Kajian Mediasi sebagai Kebijakan Hukum …
PEMBAHASAN Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya dalam Pendahuluan, bahwa pendekatan perdamaian dalam menyelesaikan konflik di Indonesia bukanlah hal yang baru, tetapi jauh sebelumnya rakyat Indonesia telah mempraktekkan cara-cara perdamaian dalam penyelesaian sengketa dalam kehidupan mereka sehari-hari, sebagai contoh pada masyarakat Karo dikenal dengan “Runggun” dan di Minangkabau dikenal adanya lembaga hakim perdamaian yang secara umum berperan sebagai mediator dan konsiliator (Margono, 2000:38). Peran pihak ketiga dalam proses penyelesaian konflik melalui pendekatan perdamaian sangat diperlukan, Harris dan Ben Rilley (2000); Mial dkk. (2000); Wijardjo, dkk. (2001); Situmorang (1993); Evans, dkk. (2002); Bonhoeffer (1954), banyak membahas mengenai peran pihak ketiga dalam proses penyelesaian konflik, antara lain adalah: 1. Sebagai Konsiliator. Tujuan utama konsiliasi adalah untuk membantu mengidentifikasi isuisu terpenting yang menyebabkan ketegangan, dan untuk meredakan ketegangan dan menggerakkan kedua pihak untuk melakukan interaksi langsung (negosiasi) mengenai isu-isu yang teridentifikasi. 2. Sebagai Fasilitator. Seorang fasilitator membahas hubungan dan isu-isu antara pihak-pihak yang bertikai. Fasilitator membawa wakil-wakil kedua pihak, biasanya dalam lingkungan yang netral, kemudian memimpin pertemuan-pertemuan bersama atau terpisah untuk mengamati persepsipersepsi yang ada antara kedua pihak, dan mendorong secara aman dan tidak mengancam, dan mendorong analisis bersama mengenai masalah tersebut. 3. Arbitrator. Pihak ketiga yang berfungsi sebagai arbitrator memberikan otoritas dan legitimasi kepada proses pendahulu yang memungkinkan arbitrator menerapkan solusi kepada semua pihak yang berkonflik secara adil. Arbitrator mendengar semua pihak, mempertimbangkan keunggulan-keunggulan pandangan tersebut, dan membangun pemecahan masalah dengan adil. 4. Mediator pada proses mediasi murni. Peran mediator murni adalah untuk memfasilitasi negosiasi langsung mengenai isu-isu
34
terpenting, dengan tujuan menghasilkan penyelesaian yang permanen. Mediator murni tidak memiliki kekuasaan diluar keadaan negosiasi, dan kekuatan yang ia miliki dalam negosiasi bergantung pada persetujuan pihak-pihak yang bertikai. Selain itu, mediator berperan penting dalam menggarisbawahi akibat-akibat proposal dan opsi: dengan menempatkan dirinya dalam peran pihak lain, mediator dapat menstimulasi ujian terhadap proposal tersebut. 5. Mediator dalam proses mediasi dengan kekuasaan. Mediasi dengan kekuasaan merupakan pengembangan mediasi murni, namun dengan perbedaan penting: mediator memiliki kekuasaan, yang didapatkan dari kedudukannya di luar lingkungan negosiasi, untuk membujuk kedua pihak untuk taat. Mediator dengan kekuasaan ini memiliki tujuan sama dengan mediasi murni, namun menggunakan cara yang lain: ia memiliki posisi tawar terhadap semua pihak yang bertikai. Dalam penyelesaian konflik yang terjadi saat ini, Pengadilan berfungsi sebagai pihak ketiga. Sehingga masyarakat lebih cenderung memakai jalan melalui pengadilan daripada secara pedekatan perdamaian kekeluargaan. PERMA No.2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan merupakan salah satu upaya untuk melembagakan/mengintegrasikan pendekatan-pendekatan perdamaian yang telah ada di pengadilan. PERMA ini dipandang sebagai salah satu kebijakan publik. Hal ini dapat dilihat dari pertimbangan Mahkamah Agung mengenai lahirnya PERMA No. 2 Tahun 2003, dan dengan mengadopsi ketentuan yang termuat dalam UU RI No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa khususnya pasal 1 dan pasal 6. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa hingga September 2004 jumlah berkas perkara perdata di Pengadilan Negeri/Niaga dan HAM Medan, hanya sedikit yang berhasil di putus, yaitu sekitar 24,3 persen. Dan dari 7 berkas penyelesaian perkara perdata yang menggunakan mediasi, yang berhasil mewujudkan kesepakatan damai hanya 3 proses mediasi. Minimnya penyelesaian perkara perdata melalui mediasi sebagai salah satu proses
Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2
yang dianjurkan atau sebagai alternatif yang utama, sesuai dengan pasal 2 PERMA No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, belum populer pelaksanaannya di Pengadilan Negeri/Niaga dan HAM Kelas I A Medan. Di samping itu dari 7 kasus perkara perdata yang menggunakan mediasi, ternyata hanya 3 kasus yang berhasil menyelesaikan kesepakatan damai, sedang selebihnya gagal. Menurut salah seorang informan Hakim Pengadilan Negeri/Niaga dan HAM Medan pelaksanaan PERMA No. 2 Tahun 2003 tersebut masih mengalami kendala, terutama berhubungan dengan persoalan teknis administratif, yakni hingga saat ini daftar mediator, seperti yang digariskan pada BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 2, belum ada dan belum ada satu orang Hakim pun di lingkungan PN Medan yang telah mempunyai “Sertifikat Mediator”. Hal yang dikemukakan di atas terutama mengenai kualifikasi Hakim adalah suatu fakta yang tidak dapat dibantah, karena hingga saat berlangsungnya penelitian jumlah Hakim di lingkungan Pengadilan Negeri/ Niaga dan HAM Medan hanya 26 orang dan tidak ada satupun di antara mereka yang telah memperoleh “Sertifikat Mediator”. Sertifikat Mediator menjadi penting untuk menentukan seorang mediator yang berkualitas dan telah menjalani pendidikan khusus untuk itu. Hal ini dikaitkan kembali dengan tujuan proses mediasi yang untuk menyelesaikan sengketa atau konflik yang terjadi di antara para pihak dengan cara dan kesepakatan para pihak yang memungkinkan para pihak merasa tidak ada yang dirugikan. Oleh karena itu, analisis sementara mengenai minimnya penyelesaian perkara perdata dengan proses mediasi adalah kemungkinan karena kurangnya kemampuan atau tidak adanya bekal yang memadai bagi para Hakim untuk mempengaruhi, menjelaskan dan memandu para pihak secara cerdas agar mau menerima atau paling tidak mempertimbangkan proses mediasi sebagai alternatif penyelesaian, terutama pada saat berlangsungnya sidang pertama, sesuai dengan ketentuan BAB II Tahap Pra Mediasi Pasal 3, ayat (1) PERMA No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Sehubungan dengan hal di atas, Ketua Pengadilan Negeri/Niaga dan HAM Medan, menyatakan bahwa daftar mediator seperti yang
dikehendaki oleh PERMA No. 2 Tahun 2003 belum dapat direalisasikan, karena belum adanya kebijakan lanjut dari PERMA tersebut yang terkait dengan prosedur pelaksanaan operasional terutama mengenai penunjukkan mediator baik dari lingkungan pengadilan maupun yang berasal dari luar pengadilan. Kemudian, mengenai mediator yang seharusnya direkrut dari orangorang yang telah memperoleh pendidikan, pelatihan khusus mengenai mediasi, hingga saat ini institusi yang berwenang menerbitkan sertifikat mediator masih belum jelas. Namun menurutnya, proses mediasi sama sekali tidak tergantung pada hal tersebut karena yang terpenting adalah adanya kemauan dan sikap para hakim untuk mengembangkan sikap yang mampu semaksimal mungkin untuk mendorong terselenggaranya proses mediasi. Ini adalah faktor yang masih dalam proses transisi menuju arah yang lebih baik, di samping faktor dari para pihak yang berperkara yang masih memiliki orientasi yang menganggap jalan terbaik adalah pembuktian siapa yang benar melalui proses pemeriksaan perkara. Di luar lingkungan pengadilan saat ini telah ada mediator yang memiliki sertifikat, yaitu pada lembaga Pusat Mediasi Nasional, sedangkan sebagai pilot proyek mediasi sesuai Perma No. 2 Tahun 2003 hingga saat ini yang ditunjuk adalah PN Jakarta, PN Surabaya, dan PN Padang. Informasi lain yang diperoleh dari informan pihak yang berperkara adalah mengenai harta bersama. Informasi itu mengungkapkan bahwa ia tidak bersedia menempuh mediasi karena kepuasan pribadi, yaitu ia merasa menang dengan cara menguras sebanyak-banyaknya sumber daya lawan, karena ia berkeyakinan masih memiliki sumber daya yang jauh lebih banyak dari pihak lawan. Sehingga walaupun pada akhirnya ia kalah dalam persidangan ia tidak merasa rugi, karena tujuan utamanya bukanlah untuk menang di Pengadilan. Dari informasi di atas, tergambar bahwa sengketa perdata yang terjadi, yakni mengenai pembagian harta bersama yang secara formal merupakan perkara perdata yang dilatarbelakangi motivasi ekonomi, ternyata jauh lebih luas dengan adanya motivasi balas dendam untuk merugikan pihak lawan secara ekonomi, sosial dan psikologis. Motivasi tersebut menentukan jalannya dan berhasilnya proses mediasi yang dilakukan. Karena, jika yang menjadi motivasi hanya
35
Sitohang, dkk., Kajian Mediasi sebagai Kebijakan Hukum …
bersifat ekonomis saja, maka dapat dipastikan para pihak akan lebih terbuka untuk mempertimbangkan proses mediasi dalam menyelesaikan perkara mereka. Namun, karena motivasinya tidak murni ekonomis maka tujuan lain adalah bagaimana agar penyelesaian perkara berjalan lebih panjang, rumit, bertele-tele dan penuh dengan ketidakpastian. Sehingga penyelesaian sengketa dengan proses mediasi tidak berhasil untuk kasus dengan motivasi seperti ini. Walaupun mediator berkeinginan kuat untuk mempengaruhi para pihak dengan kasus bersifat psikologis seperti di atas untuk melakukan mediasi. Maka dapat dipastikan diperlukan seorang mediator yang memiliki keahlian untuk melakukan negosiasi yang lebih bersifat sugesti dibandingkan hanya sekedar memandu dan mengarahkan para pihak yang bersengketa. Oleh karena itulah, diperlukan Hakim yang telah mengikuti pelatihan khusus dan telah memperoleh Sertifikat Mediator. Informasi lain dari salah seorang key informan (Hakim) mengungkapkan adanya kecurigaan yang berlebihan terhadap proses mediasi yang bersumber dari kualifikasi mediator. Maka, isu penting yang harus dibangun dalam menjawab mengapa penyelesaian perkara perdata di Pengadilan Negeri/Niaga dan HAM Medan cenderung menolak dengan mediasi adalah bersumber dari sosok mediator. Dalam hal ini rekomendasi penting yang dapat diajukan dalam rangka implementasi PERMA No. 2 Tahun 2003, adalah mempersiapkan calon-calon mediator yang kredibel, paling tidak berasal dari para Hakim yang telah memperoleh Sertifikat Mediator. Pernyataan di atas di dukung oleh pernyataan dari informan kuasa hukum yang sedang berperkara yang mengatakan bahwa sebagai kuasa hukum, dia berkewajiban untuk mempertimbangkan secara matang dan cermat setiap peluang atau celah hukum yang mungkin dapat merugikan kliennya. Karena hal itu akan berimbas pada kredibilitas dan profesionalismenya sebagai kuasa hukum yang apabila rekomendasinya untuk mediasi ternyata hasilnya di luar harapan, sama artinya dengan menggali kuburan sendiri. Untuk tawaran mediasi, dia menyatakan belum yakin dapat memuaskan semua pihak khususnya kliennya. Karena ia melihat dan mengamati adanya kecenderungan pelaksanaan
36
mediasi yang formalitas belaka di mana mediator dalam hal ini berasal dari para Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan dari PN Medan belum sepenuhnya dapat berlaku netral sehingga besar kemungkinan proses mediasi akan mengalami jalan buntu dan tidak akan mempercepat proses penyelesaian. Untuk itu, rekomendasinya untuk menerima tawaran mediasi tergantung pada siapa yang menjadi mediator, karena tidak semua Hakim dapat efektif menjadi mediator. Tidak adanya informan yang pernah mendengar istilah mediasi mencerminkan sosialisasi yang minim dan isu mengenai mediasi yang begitu penting kurang diekspos, sebagai akibat dari berbagai kemungkinan, seperti minimnya kasus-kasus penyelesaian melalui proses mediasi atau terbatasnya media yang tertarik untuk meliput persoalan-persoalan mediasi, ketimbang isu-isu lainnya. Kesan terhadap lembaga peradilan sebagai suatu institusi yang dapat diandalkan untuk memehuhi kebutuhan masyarakat luas belum menjadi pilihan yang populer di masyarakat, demikian pula terhadap perangkatperangkat pendukung yang lazim sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari proses peradilan, seperti jasa pengacara, dan polisi sebagai salah satu institusi penegakan hukum. Gambaran ini menunjukkan bahwa adanya citra yang buruk dari lembaga peradilan yang berkembang di masyarakat, sehingga gejala seperti ini sebenarnya sangat tidak dikehendaki, tidak hanya untuk tujuan dalam arti yang sempit tetapi juga dalam arti yang lebih luas, yakni citra lembaga peradilan yang sedemikian buruk di mata para informan dapat menimbulkan preseden yang tidak kondusif bagi upaya-upaya penegakan hukum dan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap hukum, sehingga pada akhirnya dikhawatirkan turut memberikan kontribusi terhadap semakin merebaknya kasus-kasus tindakan main hakim sendiri di kalangan masyarakat luas akhir-akhir ini yang sudah sampai pada titik yang mengkhawatirkan. Citra buruk yang berkembang di masyarakat bahkan sampai pada tanggapan yang lebih ekstrim seperti pendapat salah satu informan yang menyatakan susah untuk menyandarkan diri kepada aparat penegak hukum, karena semua urusan harus dibarengi dengan uang, deking dan sebagainya. Jadi, menurutnya kalau bisa janganlah berurusan
Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2
dengan “Polisi”, “Jaksa”, “Pengacara” atau lainnya. Ia berpendapat lebih baik perkara yang terjadi diselesaikan dengan preman karena lebih cepat selesai daripada apabila ditangani oleh aparat. Gejala seperti inilah yang sering memicu individu, kelompok maupun masyarakat dengan mudahnya melakukan suatu tindakan melanggar hukum, karena adanya anggapan tindakantindakan tersebut dapat diselesaikan hanya dengan berdamai, padahal penyelesaian perkaraperkara yang dianjurkan melalui jalur perdamaian adalah perkara-perkara perdata bukan pidana seperti penganiayaan dan pengeroyokan. Nuansa perdamaian yang sebenarnya masih hidup subur di masyarakat merupakan suatu potensi besar bagi suksesnya proses mediasi di Pengadilan. Namun, cara-cara perdamaian yang dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat selalu dibarengi dengan pertimbangan-pertimbangan kedekatan, kepercayaan secara sosiologis dan psikologis. Sedangkan pada praktek-praktek di Pengadilan, derajat kepercayaan masing-masing pihak terhadap lembaga, orang maupun profesi telah tercemar atau paling tidak telah ada stereotipe yang mungkin bias, seperti misalnya menyangkut persoalan-persoalan variabel uang sogok, kerumitan prosedural, referensi yang sama sekali kosong mengenai orang yang berperan sebagai juru damai dan sebagainya (tidak adanya ikatan emosional), sehingga setiap tawaran, anjuran untuk melakukan mediasi ditanggapi sebagai cara atau alat yang dapat mengeksploitasi para pihak, sehingga mediasi bukan menjadi pilihan yang tepat bagi mereka. Dari hasil wawancara mendalam terhadap informan yang dilakukan di Kecamatan Medan Sunggal, yakni ditemukan pola yang hampir sama merujuk pada beberapa hal, yakni sebagai berikut: 1. Praktek penyelesaian konflik yang tergolong pada perkara perdata di daerah penelitian dengan menggunakan cara-cara perdamaian merupakan hal yang biasa dan telah lama berlangsung, bahkan sejak mereka masih kecil, namun yang berbeda adalah kalau dulu orang-orang yang berperan sebagai tokoh sentral dalam proses perdamaian adalah orang-orang yang dianggap memiliki perilaku panutan, antara lain para alim ulama, para orang-orang tua (yang dituakan) dan umumnya mereka memiliki daya atau kharisma khusus yang saat ini tidak pernah
lagi ditemui, di mana yang menjadi tokoh sentral dalam menyelesaikan perkara-perkara konflik antar warga lebih banyak didominasi oleh tokoh-tokoh OKP (Organisasi Kepemudaan), ataupun kalau ada alim ulama atau pimpinan pemerintahan berperan dalam penyelesaian masalah, mereka didampingi juga oleh tokoh-tokoh OKP tersebut. Istilah Mediasi juga belum pernah di dengar. 2. Isu mengenai perdamaian di Pengadilan tampaknya kurang menarik bagi informan, karena yang mereka tahu proses perdamaian di Pengadilan pasti memerlukan prosedur yang rumit, waktu yang lama, biaya yang mahal, yang lemah pasti di paksa untuk menerima kesepakatan-kesepakatan yang sebenarnya bertentangan dengan fakta dan kejadian yang sebenarnya dan hanya mengenyangkan perut para pengacara, sementara pihak yang bertingkai dipastikan tidak ada mendapatkan keuntungan apapun. 3. Isu lain yang terekam adalah pola penyelesaian perkara persengketaan yang tumbuh di masyarakat dimulai dari tingkat yang paling rendah hingga tingkat yang paling tinggi (dihindari) yaitu: • Pada level terendah biasanya penyelesaian konflik yang terjadi dapat didamaikan antara pihak-pihak yang bertikai yang di fasilitasi oleh sesama warga atau tetangga. • Level selanjutnya adalah penyelesaian konflik dengan cara melakukan perdamaian yang setengah dipaksa, yaitu sebagai tokoh sentral (mediator) di sini biasanya adalah para tokoh-tokoh OKP (Preman), kepala lingkungan, Ketua STM, Lurah, tokoh-tokoh yang segani karena atribut pekerjaannya (Polisi, Tentara, PM dan sebagainya). • Pada level berikutnya penyelesaian konflik yang terpaksa dilakukan oleh salah satu pihak dengan cara mengadu ke kantor polisi, tetapi bukan untuk tujuan agar kasusnya dilanjutkan ke tahap atau proses selanjutnya (ke pihak Kejaksaan atau Pengadilan), tetapi lebih cenderung untuk memberikan tekanan fisik, psikis, kepada orang-orang sebagai lawan agar bersedia memenuhi beberapa keinginan sebagai syarat tercapainya perdamaian.
37
Sitohang, dkk., Kajian Mediasi sebagai Kebijakan Hukum …
•
Adanya kasus konflik yang sampai ke tingkat pengadilan, biasanya adalah karena salah satu pihak benar-benar menginginkan kerugian yang sebesarbesarnya terhadap pihak lawannya, salah satu pihak merasa tidak puas kalau hanya perselisihan mereka selesai dalam bentuk perdamaian dan tujuan dari salah satu pihak tersebut memang bukan untuk berdamai tetapi menang untuk terus bertarung sampai siapa yang mampu bertahan. Selain itu pula dapat terjadi karena salah satu pihak yang didampingi oleh kuasa hukum. Dari temuan di atas, dapat disimpulkan bahwa tanggapan informan terhadap Pengadilan sebagai lembaga peradilan masih jauh dari harapan, yaitu adanya kecenderungan sebagian peserta memberikan streotipe yang cenderung mendiskritkan institusi ini. Oleh karena itu tanggapan mereka terhadap penyelesaian perkara perdata melalui mediasipun menjadi tidak objektif lagi, karena sudah diawali dari adanya frame atau kerangka berpikir yang menganggap Pengadilan sebagai ajang untuk melakukan eksploitasi pada masyarakat yang mencari keadilan. Penyelesaian perdamaian dalam menyelesaikan kasus-kasus perselisihan perdata yang terjadi di masyarakat sudah berlangsung sejak lama dan hingga kini masih tetap dipraktekkan. Pola penyelesaian yang mereka kembangkan dalam menyelesaikan perkaraperkara perdata, ternyata memiliki pola yang unik dan sedikit aneh, karena ternyata dalam kehidupan masyarakat telah terjadi pembentukan pola adaptasi yang berkembang sebagai upaya untuk mengisi ruang yang tersisa atau ruang yang masih kosong dari kesempatan-kesempatan yang belum dapat dipenuhi oleh lembaga-lembaga formal (Pengadilan), dan lembaga-lembaga tradisional, seperti lembaga adat. Hal ini dimungkinkan karena informan tinggal di kawasan perkotaan yang heterogen, menjadikan pilihan terhadap institusi atau pranata-pranata etnisitas yang masih ada, justeru menimbulkan masalah yang baru, karena kebiasaan atau tata cara penyelesaian sengketa suku mana yang harus dijadikan sebagai media dalam penyelesaian sengketa di antara warga tentunya sulit untuk disepakati. Temuan penelitian mengenai pola adaptasi penyelesaian sengketa yang bersifat
38
perdata di tengah-tengah masyarakat, baik dalam lingkungan keluarga, antara keluarga maupun antar warga yang digambarkan di atas, dapat sesuai dengan argumentasi Suyud Margono, S.H, yang menyatakan sebagai berikut: “Masyarakat Indonesia berada pada persimpangan jalan. Transisi dari masyarakat agraris (pedesaan) ke masyarakat industri (perkotaan) menyebabkan terjadinya benturanbenturan nilai. Nilai-nilai tradisional yang dipegang teguh oleh generasi terdahulu mulai luntur, sedangkan nilai-nilai baru (modern) belum sepenuhnya terbentuk dan diterima. Sengketa yang terjadi saat ini antara lain terdiri atas: (1) sengketa tradisional (berkisar tentang keluarga, warisan dan tanah), (2) sengketa bisnis yang rumit serta sarat dengan unsur keuangan, perbankan modern, peraturan perundangan etika, pemenuhan kontrak dan sebagainya, (3) sengketa lingkungan yang rumit dengan masalah pembuktian ilmiah dan hubungan administrasi pusat daerah, dan (4) sengketa tenaga kerja yang diwarnai dengan masalah hak asasi, reputasi negara, dan perhatian masyarakat internasional. Pada masa transisi ini, cara penyelesaian sengketa tradisional dengan bantuan pemuka masyarakat, kepala adat dan agama atau sesepuh keluarga, cenderung terbatas pada sengketa keluarga, perkawinan, dan warisan. Pada kelompok di mana sistem tradisional ini melembaga dan membudaya (seperti masyarakat Sumatera Barat), peranan figur-figur ini tidak efektif lagi, apalagi untuk menyelesaikan sengketa-sengketa modern. Masyarakat masa kini menilai kemampuan seseorang untuk membantu menyelesaikan masalah tidak lagi hanya berdasarkan lanjutnya usia, padatnya pengalaman, atau kearifan orang tersebut. Dalam mencari penengah, masyarakat menuntut penengah yang memiliki pengetahuan mengenai permasalahan yang dihadapi dan telah mencapai prestasi tinggi di bidang objek sengketa dan lingkungan sosialnya. Jalan lain banyak ditempuh oleh masyarakat sekarang untuk menyelesaikan sengketa adalah jalur hukum. Dengan berkembangnya kesadaran hukum masyarakat dan melemahnya pengaruh lembaga-lembaga tradisional, anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh pihak lain sering mencari keadilan ke lembaga resmi. Namun, sangat disayangkan bahwa lembaga peradilan sebagai lembaga penegak hukum modern sedang dilanda “musibah”. Saat sekarang, kepercayaan
Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2
masyarakat terhadap lembaga peradilan sangat rendah. Rendahnya kepercayaan masyarakat terlihat dari banyaknya kasus yang diajukan ke Mahkamah Agung untuk kasasi. Hal ini menunjukkan bahwa putusan pengadilan tinggi dan pengadilan negeri dianggap belum merupakan keputusan yang terbaik dan adil” (Margono, 2000: 85-86). Dengan demikian secara alamiah pola adaptasi dalam penyelesaian konflik tentunya sejalan dengan pertimbangan-pertimbangan pragmatis, seperti pola yang dikembangkan pada gambar.
KESIMPULAN PERMA No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan merupakan suatu kebijakan hukum dari Mahkamah Agung yang muncul dari pertimbangan akan kemungkinan terjadinya penumpukan perkara di pengadilan, proses penyelesaian perkara yang lebih cepat, murah serta dapat memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan atau penyelesaian yang memuaskan atas sengketa yang dihadapi, memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam
Pola Penyelesaian Sengketa Perdata dengan Cara Perdamaian yang Berkembang di Daerah Penelitian
BERDAMAI
WARGA /TETANGGA SEBAGAI TOKOH SENTRAL (MEDIATOR)
RINGAN
TOKOH OKP, ALIM ULAMA, LURAH, KEPLING, INDIVIDU (ATRIBUT POLISI, TENTARA, DSB) SEBAGAI TOKOH SENTRAL (MEDIATOR)
KANTOR POLISI SEBAGAI TOKOH SENTRAL (MEDIATOR)
BERTARUNG
PENGADILAN NEGERI
BERAT
Sumber: Rekonstruksi dari hasil wawancara mendalam terhadap informan mengenai penyelesaian sengketa yang terjadi di lingkungan warga di daerah penelitian Kecamatan Medan Sunggal, September-Oktober 2004.
penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif) dan sebagainya, merupakan suatu kebijakan hukum yang dinilai cukup realistis dan diperkirakan tidak akan banyak mengalami hambatan dalam implementasinya, mengingat jauh sebelumnya proses yang menempatkan pihak ketiga sebagai tokoh sentral dalam menyelesaikan sengketa atau mirip dengan mediasi (arbitrase) maupun praktekpraktek perdamaian secara budaya, sebelumnya telah mengakar dalam kehidupan masyarakat. Namun, sebaliknya perubahan terjadi dalam kehidupan masyarakat, terutama institusiinstitusi seperti itu mengalami perubahan yang
menyebabkan ia tidak fungsional lagi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, sehingga secara teoretis implementasi dari PERMA No. 2 Tahun 2003 akan banyak mengalami hambatan yang berarti. Temuan penelitian ini tampaknya menggambarkan gejala itu, yakni implementasi PERMA No. 2 Tahun 2003 telah mengalami hambatan yang berarti di Pengadilan Negeri/Niaga dan HAM Medan, yaitu dari 799 berkas perkara perdata yang masuk ke Pengadilan Negeri/Niaga dan HAM Medan, hanya 7 berkas yang menyelesaikan perkara
39
Sitohang, dkk., Kajian Mediasi sebagai Kebijakan Hukum …
perdata melalui mediasi dengan catatan hanya 3 kasus yang berhasil menuntaskan proses mediasi. Penelitian ini juga menemukan gambaran mengenai gejala dihindarinya mediasi dalam menyelesaikan perkara perdata, berkaitan dengan peran para kuasa hukum masing-masing para pihak, di mana ada kecenderungan para kuasa hukum lebih menonjolkan tujuan profesionalisme, ketimbang tujuan utama kliennya. Temuan lainnya adalah perkara perdata yang bersifat bisnis komersil memberikan gambaran yang lebih memungkinkan untuk memilih dan berhasil dalam proses mediasi, ketimbang jenis perkara perdata yang melibatkan atau bersumber dari perselisihan hubungan sosial maupun psikologis yang menggambarkan kecenderungan sebaliknya. Temuan penelitian mengenai tanggapan masyarakat mengenai proses mediasi di pengadilan adalah tidak satu pun informan pernah mendengar istilah mediasi. Namun, pendekatan mediasi akrab dalam kehidupan sehari-hari informan. Temuan lainnya adalah bahwa pendekatan perdamaian dalam penyelesaian sengketa yang terjadi di kalangan masyarakat, menurut informan memiliki pola yang berorientasi pada penyelesaian di luar jalur pengadilan dengan menempatkan pihak ketiga sebagai tokoh sentral (mediator) dari berbagai kalangan, seperti masyarakat biasa, kepala lingkungan, oknum polisi, oknum tentara, oknum polisi militer, bahkan tokoh-tokoh pimpinan organisasi kepemudaan. Pilihan terhadap kantor polisi dan pengadilan sebagai media penyelesaian sengketa merupakan pilihan yang paling dihindari.
40
SARAN Berdasarkan temuan-temuan penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini menyarankan beberapa hal sebagai berikut: 1. Disarankan kepada lembaga peradilan untuk lebih meningkatkan sosialisasi, terhadap masyarakat, kalangan penasehat Hukum khususnya mengenai mediasi sebagai salah satu alternatif dalam penyelesaian sengketa perdata dengan menggunakan pendekatanpendekatan perdamaian, baik melalui media, penyuluhan hukum, melalui lembagalembaga formal maupun informal. 2. Disarankan kepada Pimpinan atau Ketua Pengadilan Negeri/Niaga dan HAM Medan untuk lebih mendorong para hakim Pengadilan Negeri/Niaga dan HAM Medan mengupayakan penyelesaian sengketa perdata melalui mediasi. 3. Disarankan kepada para kuasa hukum para pihak, baik yang sedang berperkara maupun pada perkara-perkara perdata ke depan untuk lebih mempertimbangkan pendekatan mediasi dalam rangka memberikan penyelesaian yang lebih tepat bagi para pihak yang bersengketa. 4. Disarankan kepada pihak-pihak yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai pelaksanaan mediasi, untuk memasukkan variabelvariabel lain yang berhubungan dengan pelaksanaan mediasi.
Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2
DAFTAR PUSTAKA
Evans, Alice Frazer, Robert A. Evans dan Ronald S. Kraybill, 2002, Panduan Pemimpin: Terampil Membangun Perdamaian, Terjemahan F.A. Soeprapto, Yogyakarta: Kanisius. Harahap, M. Yahya, 2001. Arbitrase Ditinjau dari: Reglemen Acara Perdata (Rv); Peraturan Prosedur BANI; Internasional Centre For The Settlement Of Investment Disputes (ICSID); UNCITRAL Arbitation Rules; Convention Of The Recognition And Endforcement Of Foreign Arbitral Award; PERMA No. 1 Tahun 1990, Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika. Harris, Peter dan Ben Rilly (ed). 2000. Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan Untuk Negosiator, International IDEA. Lovenheim, Peter, 1989. Mediate Donit Litigate. New York: Mc Graw Hill Publishing, Co. Manan, Bagir, 2003. Kata Sambutan Dalam “Mediasi Dan Perdamaian”, Jakarta: Mahkamah Agung, R.I. Margono, Suyud, 2000, ADR (Alternative Dispute Resolution&Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia. Mc. Adams, Tony, 1992, Law Business and Society, Third Edition, Boston: Irwin. Salman S, R. Otje., 2001. Kontekstualitasi Hukum Adat dalam Proses Penyelesaian Sengketa, dalam Djarab, Hendarmin, dkk (editor). “Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia: Mengenang Alm. Prof. Dr. Komar Kantaatmadja, S..H., LL.M., Bandung: Penerbit Pt. Citra Aditya Bakti, Hal. 1-13. Situmorang, Victor M., 1992, Perdamaian dan Perwasitan, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Wijardjo dkk, 2001. Konflik Bahaya atau Peluang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
41