IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Proses Pengolahan Bumbu Pasta Ayam Goreng Proses pengolahan bumbu pasta ayam goreng meliputi tahapan sortasi, penggilingan, penumisan, dan pengentalan serta pengemasan. Sortasi bahan merupakan proses pemilihan bahan-bahan dengan kriteria segar dan tidak busuk. Sortasi ini dilakukan untuk memisahkan bahan yang rusak agar tidak ikut dalam proses pembuatan bumbu pasta. Kemudian dilakukan pengupasan kulit untuk rempah basah dan pencucian terhadap rempah tersebut. Proses ini dilakukan agar kotoran yang menempel di bahan hilang. Untuk rempah kering,
langsung
ditimbang.
Selanjutnya
rempah
basah
dilakukan
penimbangan sesuai komposisi bumbu pasta ayam goreng. Kemudian dilanjutkan
dengan
penggilingan
terhadap
bahan-bahan
tersebut.
Penggilingan bertujuan untuk memperkecil ukuran terhadap bahan-bahan tersebut dan mencampur bahan baik yang basah maupun yang kering agar homogen. Untuk mempercepat proses penggilingan, dilakukan penambahan air sebanyak 180 ml. Penggilingan menyebabkan terjadinya perubahan aroma, tekstur, dan warna bumbu. Pada saat penggilingan struktur sel bahan rusak, sehingga flavor yang terkandung dalam bahan terlepas dan bercampur. Flavor memiliki komponen yang bersifat volatil dan non volatil. Komponen flavor yang bersifat volatil akan menguap selama penggilingan. Semakin halus hasil penggilingan, maka semakin banyak flavor yang menguap. Proses penggilingan sangat berpengaruh terhadap perubahan warna bahan pangan yang dapat memecah sel-sel dalam pigmen tanaman, kemudian pigmen akan keluar dan sebagian akan rusak atau teroksidasi karena kontak dengan udara. Warna bumbu hasil penggilingan dengan penambahan air adalah kuning cerah. Warna kuning mendominasi karena adanya pigmen yang terkandung pada kunyit. Setelah mengalami proses penggilingan, bumbu ini mendapat perlakuan pemanasan. Perlakuan pemanasan dilakukan dengan cara penumisan bumbu yang didasarkan pada kebiasaan memasak yang pada umumnya menumis
20
bumbu terlebih dahulu sebelum diolah lebih lanjut. Selain itu, penumisan juga bertujuan untuk membunuh mikroba patogen dan mikroba pembusuk yang dapat mengakibatkan kerusakan pada saat penyimpanan. Waktu penumisan adalah waktu yang diperlukan untuk memasak bumbu hingga mengeluarkan bau menyengat. Bau yang menyengat ini timbul karena komponen-komponen penyusun bumbu, yaitu rempah-rempah yang mengeluarkan volatil yang terkandung di dalamnya. Proses penumisan dilakukan selama 20 menit. Pengadukan pada proses penumisan dilakukan secara manual. Bumbu tanpa penambahan karagenan dan CMC dijadikan sebagai kontrol. Sedangkan bumbu untuk perlakuan ditambahkan natrium benzoat, kemudian dilakukan pengentalan dengan penambahan karagenan : CMC (1.05 % : 0.15 %) dan karagenan : CMC (1.05 % : 0.2 %). Proses pengentalan dilakukan selama 15 menit sambil diaduk secara manual. Bumbu pasta ayam goreng yang telah diolah kemudian dikemas dalam kemasan nilon + LLDPE dan PET + LLDPE. Minyak goreng yang digunakan untuk menumis adalah minyak kelapa sawit. Hal ini dikarenakan minyak sawit baik dan umum digunakan untuk pangan karena mengandung asam lemak tidak jenuh yang tinggi. Minyak kelapa sawit mengandung 39 - 45 % asam oleat yang merupakan asam lemak tidak jenuh (Ketaren, 1986). Penggunaan minyak kelapa sawit pada bumbu karena harganya yang terjangkau, mudah diperoleh, mengandung asam lemak tidak jenuh, dan menghasilkan tekstur bumbu yang disukai konsumen. Selama proses penumisan dapat menyebabkan terjadinya perubahan aroma, warna, dan tekstur pada bumbu pasta ayam goreng. Penumisan juga dapat menguapkan senyawa volatil pada bahan. Hal ini dikarenakan senyawa volatil pada bahan bersifat tidak stabil bila dipanaskan. Hasil analisa kualitatif terhadap tekstur, aroma, dan warna bumbu pasta ayam goreng setelah proses pengolahan disajikan pada Tabel 5. Tekstur bumbu pasta ayam goreng setelah mengalami penumisan terjadi perubahan, awalnya minyak melapisi permukaan bumbu, kemudian terjadi penguapan air dan peresapan minyak ke dalam bumbu. Selain mengakibatkan perubahan aroma dan tekstur, penumisan juga mengakibatkan terjadinya
21
perubahan warna. Bumbu pasta yang awalnya berwarna kuning cerah, setelah pemanasan mengalami perubahan warna menjadi kuning. Penambahan karagenan dan CMC diduga dapat mengikat air dan menyerap warna sehingga zat warna terikat dengan minyak mengalami pencoklatan non enzimatis akibat adanya pemanasan. Selain itu, adanya kandungan karbohidrat dan protein yang tinggi memungkinkan terjadinya reaksi Maillard yaitu reaksi antara karbohidrat, khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer. Gugus amina primer biasanya tedapat pada bahan awal sebagai asam amino. Hasil reaksi tersebut menghasilkan bumbu pasta ayam goreng berwarna kuning kecoklatan. Tabel 5. Hasil Penampakan Fisik Pengolahan Bumbu Pasta Ayam Goreng Tanpa Penambahan Karagenan dan CMC
Penambahan Karagenan dan CMC (1.05 % : 0.15 %)
Penambahan Karagenan dan CMC (1.05 % : 0.2 %)
Tekstur
Cair
Pasta
Aroma Warna
Menyengat Kuning Cerah
Menyengat Kuning Kecoklatan
Pasta (lebih padat dan lebih kering) Menyengat Kuning Lebih Kecoklatan
Analisis
B. Karakteristik Bumbu Pasta Ayam Goreng Karakteristik bumbu pasta ayam goreng yang diamati dalam penelitian ini adalah sifat fisiko kimia (kadar air, kadar lemak, kadar abu, kadar serat, kadar protein, kadar asam lemak bebas/FFA, dan pH) dan uji penerimaan panelis/organoleptik (rasa, aroma, warna, dan tekstur) baik terhadap bumbu pasta itu sendiri maupun aplikasi bumbu pasta pada ayam goreng. 1. Sifat Fisiko Kimia Bumbu pasta ayam goreng sebelum disimpan perlu dianalisa untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi selama penyimpanan. Berikut karakteristik bumbu pasta ayam goreng sebelum disimpan.
22
Tabel 6. Karakteristik Bumbu Pasta Ayam Goreng Karakteristik
Kadar Air (% bb) Kadar Lemak (% bk) Kadar Abu (% bk) Kadar Serat (% bk) Kadar Protein (% bk) Kadar FFA (% bk) pH (% bk)
Tanpa Penambahan Karagenan dan CMC
Penambahan Karagenan dan CMC (1.05 % : 0.15 %)
Penambahan Karagenan dan CMC (1.05 % : 0.2 %)
66.15
50.99
49.81
16.17
15.26
14.73
1.75
3.86
4.51
5.61
7.01
7.04
5.55
10.84
14.34
4.56
4.56
4.30
5.05
5.25
5.35
a. Kadar Air Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan metode azeotropik. Metode tersebut dipilih karena menurut Day dan Underwood (1993), metode distilasi azeotropik sangat cocok digunakan untuk bahan-bahan yang mengandung lemak dan komponen-komponen yang mudah menguap disamping air sehingga mengurangi kesalahan negatif akibat hilangnya komponen-komponen volatil saat pemanasan sehingga menunjukkan nilai kadar air yang lebih besar dari seharusnya. Hal tersebut sesuai dengan karakteristik bumbu pasta ayam goreng yang mengandung lemak yang cukup tinggi dan mengandung rempahrempah sebagai komposisi utama penyusun bumbu pasta ayam goreng. Rempah-rempah memiliki komponen-komponen yang mudah menguap apabila dipanaskan pada suhu tinggi. Hasil analisa kadar air bumbu pasta ayam goreng disajikan pada Gambar 3.
23
70.00
Kadar Air (%)
60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 A1
A2
A3
Perlakuan
Keterangan: A1 : Tanpa Penambahan Karagenan dan CMC A2 : Penambahan Karagenan dan CMC (1.05 % : 0.15 %) A3 : Penambahan Karagenan dan CMC (1.05 % : 0.2 %)
Gambar 3. Kadar Air Bumbu Pasta Ayam Goreng Pada Gambar 3 dapat diketahui bahwa bumbu tanpa penambahan karagenan dan CMC memiliki kadar air yang tinggi yaitu 66.15 %. Hal ini disebabkan oleh bahan rempah penyusun bumbu ini memiliki kandungan air yang cukup tinggi. Sedangkan bumbu dengan penambahan karagenan 1.05 % dan CMC 0.2 % memiliki kadar air yang lebih rendah dibandingkan dengan karagenan 1.05 % dan CMC 0.15 % yaitu 49.81 % dan 50.99 %.
Hal ini dikarenakan oleh proses
penumisan yang dilakukan lebih lama dan pada wadah terbuka, sehingga terjadi penguapan air. Bahan rempah penyusun bumbu ini merupakan bahan yang mudah menguap sehingga kondisi bumbu menjadi tidak stabil. Selain itu, terjadi peningkatan kekentalan bumbu pasta ayam goreng disebabkan karena terjadinya kenaikan energi panas sehingga ikatan hidrogen antara air dan CMC pecah, sehingga air yang terikat pada rantai polimer CMC menjadi lebih sedikit daripada sebelum dipanaskan. Hal inilah yang menyebabkan bumbu pasta dengan penambahan CMC lebih banyak akan menunjukkan kadar air yang lebih rendah.
24
b. Kadar Lemak Bumbu pasta merupakan produk berlemak, sehingga lemak yang terdapat di dalam bumbu pasta dapat menyebabkan penurunan mutu selama penyimpanan di antaranya terjadinya penyimpangan bau dan rasa. Menurut Ketaren (1986), lemak dapat mengabsorbsi zat menguap yang dihasilkan dari bahan lain. Banyaknya bahan makanan lain selama penyimpanan akan menyebabkan absorbsi bau oleh lemak yang menyebabkan terjadinya penyimpangan bau (off odour). Bumbu tanpa penambahan karagenan dan CMC memiliki kandungan lemak yang lebih tinggi daripada bumbu dengan penambahan karagenan dan CMC. Hal ini disebabkan oleh kemampuan karagenan dan CMC menangkap lemak yang terdapat dapat bumbu pasta ayam goreng sehingga kandungan lemak yang telah terperangkap tidak dapat keluar lagi, maka ketika dianalisis kandungan lemak ini tidak dapat terdeteksi. Selain itu, karagenan dan CMC yang digunakan hanya bersifat sebagai pengental sehingga terjadi penurunan kadar lemak secara signifikan. c. Kadar Abu Kadar abu merupakan unsur-unsur mineral sebagai sisa yang tertinggal setelah bahan dibakar sampai bebas karbon. Menurut Desrosier (1988), abu merupakan mineral-mineral organik yang memiliki ketahanan cukup tinggi terhadap suhu pemanasan sehingga keberadaannya dalam bahan pangan cenderung tetap. Hasil analisa kadar abu bumbu pasta ayam goreng disajikan pada Gambar 4. Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa kadar abu dari bumbu tanpa perlakuan memiliki nilai terendah yaitu 1.75 %. Sedangkan kadar abu dari bumbu dengan penambahan karagenan 1.05 % dan CMC 0.2 % menunjukkan nilai tertinggi yaitu 4.51 %. Semakin tinggi konsentrasi CMC, maka semakin tinggi pula kadar abu. Tingginya kadar abu ini menunjukkan bahwa kandungan mineral dan ion-ion organik dari bahan-bahan yang ditambahkan dalam formulasi bumbu pasta ayam
25
goreng tergolong tinggi. Karagenan dan CMC mengandung kalsium, fosfor, dan zat besi yang tinggi.
Kadar Abu (%)
5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 A1
A2
A3
Perlakuan
Keterangan: A1 : Tanpa Penambahan Karagenan dan CMC A2 : Penambahan Karagenan dan CMC (1.05 % : 0.15 %) A3 : Penambahan Karagenan dan CMC (1.05 % : 0.2 %)
Gambar 4. Kadar Abu Bumbu Pasta Ayam Goreng d. Kadar Serat Kandungan serat pada bumbu rempah cukup tinggi. Kandungan serat tertinggi yaitu pada bumbu dengan penambahan karagenan 1.05 % dan CMC 0.2 % yaitu 7.04 %. Sedangkan nilai terendah ditunjukkan oleh bumbu tanpa penambahan karagenan dan CMC yaitu 5.61 %. 8.00
Kadar Serat (%)
7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 A1
A2
A3
Perlakuan
Keterangan: A1 : Tanpa Penambahan Karagenan dan CMC A2 : Penambahan Karagenan dan CMC (1.05 % : 0.15 %) A3 : Penambahan Karagenan dan CMC (1.05 % : 0.2 %)
Gambar 5. Kadar Serat Bumbu Pasta Ayam Goreng 26
Tingginya kandungan serat pada bumbu pasta ayam goreng dikarenakan oleh adanya karagenan yang memiliki kandungan serat yang tinggi sehingga bumbu dengan penambahan karagenan akan menunjukkan nilai kadar serat yang lebih tinggi. Hasil analisa kadar serat bumbu pasta ayam goreng disajikan pada Gambar 5. e. Kadar Protein Protein merupakan substrat yang dapat digunakan langsung oleh mikroorganisme sebagai media pertumbuhannya. Selain itu, kadar protein juga menentukan mutu suatu bahan pangan. Hal ini dikemukakan oleh Winarno et al. (1980) yang menyatakan bahwa pada umumnya kadar protein di dalam bahan pangan menentukan mutu bahan pangan itu sendiri. Bumbu tanpa penambahan karagenan dan CMC mengandung protein (5.55 %) relatif lebih rendah daripada bumbu dengan penambahan karagenan dan CMC (1.05 % : 0.15 %) dan (1.05 % : 0.2 %) yaitu 10.84 % dan 14.35 %. 16.00
Kadar Protein (%)
14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 A1
A2
A3
Perlakuan
Keterangan: A1 : Tanpa Penambahan Karagenan dan CMC A2 : Penambahan Karagenan dan CMC (1.05 % : 0.15 %) A3 : Penambahan Karagenan dan CMC (1.05 % : 0.2 %)
Gambar 6. Kadar Protein Bumbu Pasta Ayam Goreng Peningkatan kadar protein signifikan dengan penambahan CMC karena fungsi CMC sebagai pengental diperoleh dengan adanya interaksi gugus polarnya dengan protein. Selain itu, karagenan juga 27
mengandung protein yang cukup tinggi sehingga bumbu dengan penambahan karagenan dan CMC menunjukkan kadar protein yang tinggi pula. Hasil analisa kadar protein bumbu pasta ayam goreng disajikan pada Gambar 6. f. Kadar Asam Lemak Bebas Asam lemak bebas terukur merupakan hasil dari reaksi hidrolisis antara air dan trigliserida. Reaksi hidrolisis minyak dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu: (1) jumlah air yang dilepaskan dalam minyak, semakin banyak jumlahnya, semakin cepat proses hidrolisis terjadi, (2) suhu yang digunakan untuk menggoreng, semakin tinggi suhunya semakin cepat pembentukan asam lemak bebas, (3) kecepatan turnover minyak, (4) banyaknya remahan produk di minyak akan semakin mempercepat pembentukan asam lemak bebas (Ketaren, 1986). Kadar asam lemak bebas tanpa penambahan karagenan dan CMC menunjukkan nilai tertinggi yaitu 4.56%. Penambahan air dalam formulasi akan mempengaruhi kadar asam lemak bebas bumbu pasta ayam goreng. Kadar air bumbu tanpa penambahan karagenan dan CMC lebih tinggi dibandingkan dengan bumbu yang diberikan penambahan karagenan dan CMC sehingga diasumsikan air yang dilepaskan ke minyak menjadi lebih banyak sehingga terjadi reaksi hidrolisis. Adanya hubungan antara kadar air dan kadar asam lemak bebas menyebabkan semakin tinggi kadar air, maka semakin tinggi pula kadar asam lemak bebasnya.Hal ini mempengaruhi kualitas minyak goreng dimana kualitas minyak goreng menjadi
menurun diakibatkan asam lemak
bebasnya meningkat. g. pH Nilai pH bumbu berkisar antara pH 5.0 sampai 6.0. Nilai pH tertinggi ditunjukkan oleh bumbu dengan penambahan karagenan 1.05 % dan CMC 0.2 % yaitu 5.35. Hal ini dikarenakan karagenan merupakan basa kuat dan CMC asam lemah sehingga dengan
28
peningkatan CMC maka pH yang ditunjukkan semakin tinggi. Hasil analisa pH bumbu pasta ayam goreng disajikan pada Gambar 7. Bahan makanan dengan pH yang lebih besar dari 5.3 termasuk dalam golongan makanan berasam rendah. Dari hasil pengukuran ini dapat diduga bahwa jika terjadi penghambatan pertumbuhan mikroba olah bumbu, penyebabnya bukan karena pH, karena nilai pH bumbu tidak cukup rendah untuk menghambat pertumbuhan mikroba. Bakteri pada umumnya mulai terhambat pertumbuhannya pada pH dibawah 5.0 dan diatas 8.5 (Fardiaz, 1992). 6.00 5.00
pH
4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 A1
A2
A3
Perlakuan
Keterangan: A1 : Tanpa Penambahan Karagenan dan CMC A2 : Penambahan Karagenan dan CMC (1.05 % : 0.15 %) A3 : Penambahan Karagenan dan CMC (1.05 % : 0.2 %)
Gambar 7. pH Bumbu Pasta Ayam Goreng 2. Uji Organoleptik Uji organoleptik yang dilakukan merupakan uji hedonik panelis terhadap rasa, aroma, warna dan tekstur bumbu pasta ayam goreng. a. Uji Organoleptik terhadap Bumbu Penilaian organoleptik terhadap rasa dan aroma bumbu pasta ayam goreng oleh 30 panelis menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Hal ini diduga komposisi bahan baku yang digunakan juga tidak berbeda antar perlakuan. Pelakuan yang dikaji dalam penelitian ini adalah pada penambahan karagenan dan CMC sebagai pengental.
29
Penilaian organoleptik terhadap warna bumbu pasta ayam goreng menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Bumbu dengan perlakuan penambahan karagenan 1.05 % dan CMC 0.15 % menunjukkan warna yang tidak berbeda nyata dengan bumbu yang ditambah karagenan 1.05 % dan CMC 0.2 %. Sedangkan bumbu pasta ayam goreng tanpa penambahan karagenan dan CMC memiliki warna yang berbeda dengan bumbu yang ditambah karagenan dan CMC. Warna bumbu pasta ayam goreng tanpa penambahan karagenan dan CMC kuning cerah, sedangkan warna bumbu pasta ayam goreng dengan penambahan karagenan dan CMC kuning kecoklatan. Penambahan karagenan dan CMC diduga dapat mengikat air dan menyerap warna sehingga zat warna terikat dengan minyak mengalami pencoklatan non enzimatis akibat adanya pemanasan. Selain itu, adanya kandungan karbohidrat dan protein yang tinggi memungkinkan terjadinya reaksi Maillard yaitu reaksi antara karbohidrat, khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer. Gugus amina primer biasanya tedapat pada bahan awal sebagai asam amino. Hasil reaksi tersebut menghasilkan bumbu pasta berwarna kuning kecoklatan. Hasil penilaian panelis terhadap warna bumbu pasta ayam goreng dilihat pada Gambar 8. 4.00
Warna Bumbu
3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 A1
A2
A3
Perlakuan
Keterangan: A1 : Tanpa Penambahan Karagenan dan CMC A2 : Penambahan Karagenan dan CMC (1.05 % : 0.15 %) A3 : Penambahan Karagenan dan CMC (1.05 % : 0.2 %)
Gambar 8. Warna Bumbu Pasta Ayam Goreng
30
Hasil organoleptik
terhadap tekstur bumbu pasta ayam goreng
menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai bumbu pasta dengan penambahan karagenan dan CMC. Hasil penilaian panelis dapat dilihat pada Gambar 9. 4.00
Tekstur Bumbu
3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 A1
A2
A3
Perlakuan
Keterangan: A1 : Tanpa Penambahan Karagenan dan CMC A2 : Penambahan Karagenan dan CMC (1.05 % : 0.15 %) A3 : Penambahan Karagenan dan CMC (1.05 % : 0.2 %)
Gambar 9. Tekstur Bumbu Pasta Ayam Goreng Tekstur yang disukai panelis adalah tekstur yang tidak terlalu cair dan tidak terlalu kental. Adanya penambahan karagenan dan CMC dalam bumbu pasta ayam goreng menyebabkan penurunan kadar air selama pemanasan bumbu pasta karena adanya CMC sebagai hidrokoloid yang memiliki kemampuan mengikat air sehingga terbentuk tekstur yang kental. b. Uji Organoleptik terhadap Aplikasi Bumbu Pada Ayam Goreng Penilaian organoleptik terhadap rasa dan aroma aplikasi bumbu pasta pada ayam goreng menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Panelis lebih menyukai bumbu dengan penambahan karagenan 1.05 % dan CMC 0.15 %. Bumbu pasta merupakan produk berlemak sehingga dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan bau dan rasa. Selain itu, zat-zat pembentuk citarasa dan aroma pada bumbu pasta bersifat mudah menguap dan tidak stabil sehingga menyebabkan adanya perbedaan rasa dan aroma ketika pengaplikasian bumbu pasta pada ayam goreng. Hasil 31
penilaian panelis terhadap rasa dan aroma aplikasi bumbu pasta pada ayam goreng dapat dilihat pada Gambar 10 dan 11. 4.00
Rasa Bumbu
3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 A1
A2
A3
Perlakuan
Keterangan: A1 : Tanpa Penambahan Karagenan dan CMC A2 : Penambahan Karagenan dan CMC (1.05 % : 0.15 %) A3 : Penambahan Karagenan dan CMC (1.05 % : 0.2 %)
Gambar 10. Rasa Bumbu Pasta Aplikasi pada Ayam Goreng 4.00
Aroma Bumbu
3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 A1
A2
A3
Perlakuan
Keterangan: A1 : Tanpa Penambahan Karagenan dan CMC A2 : Penambahan Karagenan dan CMC (1.05 % : 0.15 %) A3 : Penambahan Karagenan dan CMC (1.05 % : 0.2 %)
Gambar 11. Aroma Bumbu Pasta Aplikasi pada Ayam Goreng Hasil organoleptik terhadap warna bumbu menunjukkan panelis lebih menyukai warna bumbu pasta dengan penambahan karagenan 1.05 % dan CMC 0.15 %. Perbedaan warna dapat disebabkan oleh lamanya waktu penggorengan dan suhu penggorengan. Penambahan karagenan dan CMC diduga dapat mengikat air dan menyerap warna sehingga zat warna terikat dengan minyak mengalami pencoklatan non 32
enzimatis akibat adanya pemanasan. Hal inilah yang menyebabkan warna kecoklatan yang terbentuk pada pengaplikasian ayam goreng menjadi lebih menarik. 4.00
Warna Bumbu
3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 A1
A2
A3
Perlakuan
Keterangan: A1 : Tanpa Penambahan Karagenan dan CMC A2 : Penambahan Karagenan dan CMC (1.05 % : 0.15 %) A3 : Penambahan Karagenan dan CMC (1.05 % : 0.2 %)
Gambar 12. Warna Bumbu Pasta Aplikasi pada Ayam Goreng Penilaian
organoleptik
terhadap
tekstur
oleh
30
panelis
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Hal ini diduga komposisi bahan baku yang digunakan, waktu ungkep ayam, dan waktu penggorengan juga tidak berbeda antar perlakuan. Pelakuan yang dikaji dalam penelitian ini adalah pada penambahan karagenan dan CMC sebagai pengental. Untuk memilih produk terbaik dari ketiga perlakuan berdasarkan analisis fisiko kimia dan uji penerimaan panelis sehingga produk yang terbaik yang diperoleh dapat dilanjutkan pada proses selanjutnya yaitu penyimpanan selama 51 hari. Ketiga perlakuan antara lain (1) bumbu tanpa penambahan karagenan dan CMC, (2) bumbu dengan penambahan karagenan 1.05 % dan CMC 0.15 %, (3) bumbu dengan penambahan karagenan 1.05 % dan CMC 0.2 %. Produk terbaik sebagai bumbu yang paling tepat untuk dilakukan penyimpanan yaitu faktor perlakuan dengan penambahan karagenan 1.05 % dan CMC 0.15 %.
33
C. Perubahan Mutu Bumbu Pasta Selama Penyimpanan Selama proses penyimpanan, produk pangan dapat mengalami kerusakan. Kerusakan ini dapat memunculkan beberapa reaksi yang berbeda dan menyebabkan penurunan mutu serta kehilangan kandungan nutrient. kerusakan secara fisik juga dapat menurunkan umur simpan produk pangan (Labuza,1982). Perubahan mutu dapat dilihat dari seberapa besar kenaikan atau penurunan trend yang terjadi pada setiap parameter. Parameter mutu yang diamati selama penyimpanan meliputi kadar air, kadar VRS, kadar asam lemak bebas, dan total mikroba. Hasil analisis selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 8, 9, 10, dan 11. 1. Kadar Air Perubahan kadar air bumbu pasta ayam goreng pada kemasan nilon + LLDPE dan PET + LLDPE dengan suhu penyimpanan 30˚C, 35˚C, dan 45˚C dapat dilihat pada Gambar 13. Berdasarkan grafik pada gambar tersebut, dapat dilihat bahwa nilai kadar air cenderung naik pada semua jenis kemasan dan suhu penyimpanan selama waktu penyimpanan. Jika dilihat dari nilai slope kenaikan kadar air, bumbu yang mengalami kenaikan terbesar adalah kemasan PET + LLDPE terutama pada suhu 45°C. Ini didukung dengan slope peningkatan total mikroba yang relatif besar pada suhu dan kemasan tersebut. Perubahan kadar air pada bumbu pasta ayam goreng disebabkan karena sifatnya yang higroskopis. Higroskopis adalah kemampuan suatu zat untuk menyerap molekul air dari lingkungannya baik melalui absorbsi atau adsorpsi. Suatu zat disebut higroskopis jika zat itu mempunyai kemampuan menyerap molekul air yang baik. Jika kelembaban relatif lingkungan tinggi, bahan akan menyerap sejumlah air dari lingkungan untuk menyesuaikan dengan kelembaban relatif lingkungan. Hal ini menyebabkan nilai kadar air mengalami peningkatan. Selain itu, penambahan karagenan yang mengalami sineresis selama penyimpanan mempengaruhi peningkatan kadar air pada bumbu.
34
y = 0.0850x + 49.8365 R² = 0.9644
Kadar Air (%)
58.00 56.00
y = 0.0292x + 53.0720 R² = 0.9678
54.00
y = 0.0596x + 53.7087 R² = 0.9721
52.00 50.00
Linear (Nilon+LLDPE 30°C) Linear (Nilon+LLDPE 35°C) Linear (Nilon+LLDPE 45°C)
48.00 0
8
16
24
32
40
48
56
Lama Penyimpanan (hari)
Kadar Air (%)
(a) 58.00
y = 0.0828x + 50.5976 R² = 0.9462
56.00
y = 0.1031x + 51.0039 R² = 0.9564
54.00
y = 0.1007x + 51.5766 R² = 0.9669
52.00
Linear (PET+LLDPE 30°C)
50.00
Linear (PET+LLDPE 35°C) Linear (PET+LLDPE 45°C)
48.00 0
8
16
24
32
40
48
56
Lama Penyimpanan (hari)
(b) Gambar 13. Grafik Perubahan Kadar Air Kemasan (a) Nilon + LLDPE, (b) PET + LLDPE Selama Penyimpanan Peningkatan suhu penyimpanan merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan laju sineresis pada karagenan. Peningkatan tersebut disebabkan oleh terjadinya peningkatan kontraksi pada gel dan bertambahnya molekul-molekul air yang terbentuk di dalam bumbu pasta. Selain itu, adanya suasana asam dan kenaikan suhu (pemanasan) menyebabkan laju sineresis semakin tinggi. Pada suasana asam dan suhu yang meningkat, mengakibatkan ikatan double helix polimer karagenan menjadi membesar, sehingga gel berkontraksi dan menjadi rapuh. Kontraksi dan pengkerutan ini cenderung memeras air yang termobilisasi di dalam gel, sehingga mengakibatkan molekul air yang diikat akan keluar dari gel karagenan. Pendugaan ini diperkuat dengan pernyataan Sunanto (1995) yang menyatakan bahwa terjadinya sineresis
35
disebabkan oleh kontraksi pada gel akibat terbentuknya ikatan-ikatan baru antara polimer dari struktur gel. Perubahan kadar air bumbu pasta ayam goreng juga dipengaruhi oleh permeabilitas kemasan. Permeabilitas tiap-tiap kemasan berbeda dan akan berpengaruh pada laju transmisi uap air. Semakin kecil laju transmisi uap air suatu kemasan menunjukkan semakin sedikit jumlah uap air yang mampu menembus bahan. Laju transmisi uap air pada kemasan nilon + LLDPE yang digunakan dalam penelitian ini cukup tinggi dibandingkan kemasan PET + LLDPE. Kemasan
PET + LLDPE seharusnya dapat
mempertahankan kadar air bumbu pasta ayam goreng yang dikemas di dalamnya. Akan tetapi, peningkatan kadar air bumbu pasta ayam goreng yang dikemas pada PET + LLDPE pada penelitian ini justru paling tinggi. Hal ini dikarenakan tingginya laju transmisi oksigen pada kemasan ini sehingga mikroba aerobik mudah tumbuh dan berkembang biak menyebabkan terjadinya pemecahan glukosa dan penguraian nutrisi yang mampu menyebabkan bumbu terlihat berair. Pengaruh tingginya permeabilitas terhadap uap air dan gas dapat menyebabkan laju kerusakan produk akan semakin cepat. 2. Kadar VRS (Volatile Reducing Subtances) Nilai VRS sangat ditentukan oleh jumlah senyawa volatil yang bersifat mereduksi yang ada di dalam bumbu pasta ayam goreng. Senyawa volatil pada bumbu pasta ayam goreng akan keluar setelah bumbu mengalami proses penghancuran. Oleh sebab itu, bumbu yang telah dihancurkan akan memilki bau yang lebih kuat daripada sebelum mengalami proses penghancuran. Perubahan kadar VRS bumbu pasta ayam goreng pada kemasan nilon + LLDPE dan PET + LLDPE dengan suhu penyimpanan 30˚C, 35˚C, dan 45˚C dapat dilihat pada Gambar 14. Nilai VRS bumbu pasta ayam goreng selama penyimpanan mengalami penurunan. Penurunan kadar VRS ini disebabkan karena terjadi penguapan bahan-bahan volatil yang terkandung pada bumbu pasta ayam goreng. Semakin lama bumbu disimpan dan semakin tinggi suhu
36
penyimpanan, maka penguapan bahan-bahan volatil yang dikandungnya semakin besar. Berdasarkan hasil analisis, nilai kadar VRS dari bumbu pasta ayam goreng yang dihasilkan dan disimpan pada kondisi suhu yang lebih tinggi yaitu 45°C memberikan hasil yang lebih rendah dibandingkan nilai VRS bumbu pasta ayam goreng yang disimpan pada suhu 30°C. Perbedaan nilai VRS pada kondisi suhu yang lebih rendah dibandingkan pada kondisi suhu yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh pada kondisi suhu yang lebih rendah selama proses penyimpanan menyebabkan kehilangan senyawa-senyawa volatil (pereduksi) oleh pengaruh termal yang dapat dihindari. Kadar VRS (meq./g)
81.00
y = -0.0422x + 80.7486 R² = 0.9729
80.00
y = -0.0653x + 79.5965 R² = 0.9980
79.00 78.00
y = -0.0597x + 79.0897 R² = 0.9737
77.00
Linear (Nilon+LLDPE 30°C) 76.00
Linear (Nilon+LLDPE 35°C)
75.00
Linear (Nilon+LLDPE 45°C) 0
8
16
24
32
40
48
56
Lama Penyimpanan (hari)
(a) Kadar VRS (meq./g)
80.00
y = -0.0480x + 79.6023 R² = 0.9621
79.00
y = -0.0380x + 79.0591 R² = 0.9713
78.00
y = -0.0587x + 78.9725 R² = 0.9567
77.00
Linear (PET+LLDPE 30°C)
76.00
Linear (PET+LLDPE 35°C) Linear (PET+LLDPE 45°C)
75.00 0
8
16
24
32
40
48
56
Lama Penyimpanan (hari)
(b) Gambar 14. Grafik Perubahan Kadar VRS Kemasan (a) Nilon + LLDPE, (b) PET + LLDPE Selama Penyimpanan Laju penurunan nilai kadar VRS bumbu pasta ayam goreng selama penyimpanan diduga dapat dipengaruhi oleh jenis kemasan yang 37
digunakan. Jenis kemasan yang memiliki nilai permeabilitas gas tinggi tidak mampu menahan hilangnya komponen-komponen volatil pada bumbu pasta. Jika dilihat dari slope kenaikan kadar VRS, penurunan kadar VRS paling besar terjadi pada bumbu pasta ayam goreng yang disimpan dalam kemasan nilon + LLDPE. Hal ini disebabkan oleh terjadi pertukaran uap air dengan udara luar relatif lebih mudah pada nilon + LLDPE. Kondisi ini menyebabkan senyawa volatil bumbu ikut terbawa keluar bersama uap air sehingga senyawa volatil yang tertinggal dalam bumbu semakin berkurang. 3. Kadar Asam Lemak Bebas Kadar asam lemak bebas bumbu pasta ayam goreng sebelum disimpan adalah sebesar 4.55%. Perubahan kadar asam lemak bebas bumbu pasta ayam goreng pada kemasan nilon + LLDPE dan PET + LLDPE dengan suhu penyimpanan 30˚C, 35˚C, dan 45˚C dapat dilihat pada Gambar 15. Berdasarkan grafik pada gambar tersebut, dapat dilihat bahwa nilai kadar asam lemak bebas cenderung naik pada semua jenis kemasan dan suhu penyimpanan selama waktu penyimpanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan, maka tingkat kenaikan kadar asam lemak bebas bumbu pasta ayam goreng juga semakin tinggi. Pada Gambar 15 menunjukkan pengaruh suhu terhadap asam lemak bebas selama penyimpanan. Gambar tersebut menunjukkan bahwa bumbu pasta ayam goreng yang disimpan pada suhu 30°C memiliki nilai rata-rata asam lemak bebas yang paling rendah dibandingkan dengan yang disimpan pada suhu 35°C dan 45°C. Asam lemak bebas yang disimpan pada suhu 45°C memiliki nilai rata-rata asam lemak bebas paling tinggi. Peningkatan asam lemak bebas disebabkan terbentuknya persenyawaan peroksida akibat proses hidrolisis asam-asam lemak jenuh dan proses oksidasi asam-asam lemak tak jenuh. Slope peningkatan kadar asam lemak bebas yang dikemas pada nilon + LLDPE relatif kecil. Hal ini disebabkan oleh laju transmisi terhadap oksigen yang rendah mengakibatkan sulitnya terjadi oksidasi. Hal ini
38
menyebabkan kandungan asam lemak bebas yang lebih rendah pada kemasan nilon + LLDPE. Kadar FFA (%)
30.00
y = 0.2977x + 3.4396 R² = 0.9568
25.00
y = 0.3256x + 4.2716 R² = 0.9589
20.00 15.00
y = 0.4491x + 4.1134 R² = 0.9542
10.00
Linear (Nilon+LLDPE 30°C) Linear (Nilon+LLDPE 35°C) Linear (Nilon+LLDPE 45°C)
5.00 0.00 0
8
16
24
32
40
48
56
Lama Penyimpanan (hari)
(a) Kadar FFA (%)
30.00
y = 0.3327x + 3.2380 R² = 0.9584
25.00
y = 0.4375x + 2.7950 R² = 0.9529
20.00 15.00
y = 0.4887x + 2.7034 R² = 0.9433
10.00
Linear (PET+LLDPE 30°C) Linear (PET+LLDPE 35°C) Linear (PET+LLDPE 45°C)
5.00 0.00 0
8
16
24
32
40
48
56
Lama Penyimpanan (hari)
(b) Gambar 15. Grafik Perubahan Kadar Asam Lemak Bebas Kemasan (a) Nilon + LLDPE, (b) PET + LLDPE Selama Penyimpanan Menurut Winarno (1980), laju oksidasi lemak berbanding lurus dengan peningkatan suhu dan suplai oksigen, sehingga semakin tinggi suhu penyimpanan dan semakin besar suplai oksigen maka semakin cepat produk mengalami ketengikan. Peningkatan kadar asam lemak bebas yang disimpan pada suhu 45°C lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan kadar asam lemak bebas yang disimpan pada suhu 30°C dan 35°C. Tingginya nilai asam lemak bebas disebabkan oleh adanya kerusakan minyak pada bumbu karena proses pemanasan selama penyimpanan. Nilai kadar air yang semakin meningkat selama penyimpanan juga mempengaruhi nilai kadar asam lemak bebas. Adanya sejumlah air dalam minyak dapat menyebabkan terjadinya proses
39
hidrolisis sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan minyak (Ketaren, 1986). Selain itu, disebabkan pula oleh kontaminasi yang terjadi selama penyimpanan. Kontaminasi terjadi karena adanya penyimpanan mikroorganisme dengan bumbu pasta dalam inkubator. Mikroorganisme tersebut dapat menghasilkan asam yang dapat meningkatkan nilai asam lemak bebas. 4. Total Mikroba Pada Gambar
16 dapat dilihat total mikroba meningkat sejalan
dengan lamanya waktu penyimpanan. Walaupun telah mengalami proses penumisan, pada bumbu masih terdapat mikroba. Pertumbuhan mikroba diduga disebabkan oleh proses penumisan yang dilakukan di tempat terbuka dan juga adanya mikroba kontaminan yang masuk ke bumbu selama pengambilan sampel. Pada Gambar 16 disajikan grafik perubahan total mikroba bumbu pasta ayam goreng selama penyimpanan. Menurut Winarno et al. (1980), proses pemanasan pada pengolahan pangan bertujuan untuk mematikan mikroorganisme yang sensitif terhadap panas. Namun jika suhu dan waktu pemanasan kurang tepat, maka tidak akan mematikan mikroorganisme atau hanya menyebabkan sel mengalami kerusakan. Pemanasan ini disebut dengan pemanasan subletal. Dalam pengolahan pangan, sel-sel yang mengalami kerusakan karena pemanasan subletal mungkin dapat sembuh kembali menjadi selsel normal dan berkembang biak selama penyimpanan di dalam medium yang baik. Sebagian besar bakteri dalam bentuk vegetatifnya akan mati pada suhu 82 - 94°C, tetapi banyak spora bakteri yang masih tahan pada suhu air mendidih 100°C selama 30 menit. Standar jumlah mikroba yang diijinkan dalam makanan adalah maksimal 105 koloni/g atau 5 log koloni/g (Nur dan Satiawiharja, 1999). Berdasarkan standar tersebut, bumbu pasta ayam goreng sudah tidak aman secara mikrobiologi pada hari ke-51. Selama penyimpanan, jumlah total mikroba bumbu pasta ayam goreng mengalami peningkatan. Jika dikaitkan dengan suhu dan jenis kemasan
40
yang digunakan, slope peningkatan total mikroba bumbu pasta ayam goreng yang dikemas pada PET + LLDPE relatif tinggi seiring dengan peningkatan suhu penyimpanan. Hal ini disebabkan oleh mikroorganisme aerobik dapat tumbuh dan berkembang baik pada suhu 45°C dan yang disimpan pada kemasan tersebut. 6.00
Total Mikroba (LogKoloni/gram)
5.00 4.00 3.00
30°C 35°C
2.00
45°C
1.00 0.00 1
15
30
45
Lama Penyimpanan (hari)
(a)
Total Mikroba (LogKoloni/gram)
6.00 5.00 4.00 30°C
3.00
35°C
2.00
45°C
1.00 0.00 1
15
30
45
Lama Penyimpanan (hari)
(b) Gambar 16. Grafik Perubahan Total Mikroba Kemasan (a) Nilon + LLDPE, (b) PET + LLDPE Selama Penyimpanan Slope peningkatan total mikroba bumbu pasta ayam goreng yang dikemas pada nilon + LLDPE relatif kecil. Proses penumisan yang dilakukan pada wadah terbuka diduga menyebabkan spora mikroba aerobik masih bertahan hidup. Selama penyimpanan, spora tersebut tumbuh menjadi sel vegetatif. Penyimpanan bumbu pasta ayam goreng dalam kemasan nilon + LLDPE yang memiliki laju transmisi oksigen 41
yang relatif kecil mengakibatkan mikroba aerobik tersebut semakin sulit tumbuh. D. Pendugaan Umur Simpan Bumbu Pasta Ayam Goreng Penentuan umur simpan produk dengan metode ASS (Accelerated Storage Studies) atau sering disebut dengan ASLT dilakukan dengan menggunakan parameter kondisi lingkungan yang dapat mempercepat proses penurunan mutu produk pangan. Salah satu keuntungan metode ASS yaitu waktu pengujian relatif singkat (3−4 bulan), namun ketepatan dan akurasinya tinggi (Herawati, 2008). Metode akselerasi yang dilakukan adalah dengan pendekatan semiempiris dengan bantuan persamaan Arrhenius dengan teori kinetika yang menggunakan orde nol dan orde satu untuk produk pangan. Pemilihan parameter kritis produk ditentukan oleh parameter mutu yang paling berpengaruh dalam menyebabkan kerusakan produk sehingga mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap produk tersebut. Parameter mutu yang dijadikan sebagai parameter kritis dalam pendugaan umur simpan bumbu pasta ayam goreng ini adalah parameter kadar asam lemak bebas karena bumbu ini mengandung minyak yang mudah tengik yang merupakan faktor penting dalam menentukan umur simpan bumbu pasta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas yang signifikan pada bumbu pasta ayam goreng seiring dengan peningkatan suhu penyimpanan. Penentuan titik kritis dapat dilakukan dengan penelitian atau berdasarkan sumber pustaka yang relevan. Pada penelitian ini, titik kritis kadar asam lemak bebas ditentukan berdasarkan penelitian uji titik kritis. Nilai maksimal kadar asam lemak bebas untuk bumbu pasta ayam goreng adalah 35%. Nilai tersebut yang akan digunakan sebagai titik kritis pada pendugaan umur simpan bumbu pasta ayam goreng. Selain itu, parameter lain misalnya kadar air dan kadar vrs tidak dapat digunakan sebagai parameter kritis. Kadar air merupakan parameter penting yang sangat berpengaruh pada mutu produk pangan basah. Kadar air pada produk pangan basah akan berpengaruh pada parameter mutu yang lain. Kadar VRS merupakan parameter penting yang berpengaruh pada mutu
42
produk pangan terutama bumbu pasta ayam goreng karena akan mempengaruhi aroma dari bumbu pasta tersebut. Namun, kadar air dan kadar VRS tidak dapat digunakan karena nilai keragaman yang sangat rendah sehingga tidak dapat digunakan untuk menghitung umur simpan secara semiempiris dengan menggunakan persamaan Arrhenius. Dalam pendugaan umur simpan yang perlu dilakukan adalah membuat analisis regresi linier perubahan mutu dari masing-masing kemasan dan suhu penyimpanan. Korelasi hubungan kadar asam lemak bebas dan waktu penyimpanan untuk reaksi ordo nol dan ordo satu disajikan pada Tabel 7. Table 7. Korelasi Penurunan Mutu Kadar Asam Lemak Bebas Korelasi Jenis Kemasan
Ordo Nol Ordo Satu 30°C 35°C 45°C 30°C 35°C 45°C Nilon + LLDPE 0.9568 0.9589 0.9542 0.9489 0.9541 0.9603 PET + LLDPE 0.9584 0.9529 0.9433 0.9414 0.9444 0.9375 Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa perhitungan umur simpan berdasarkan parameter kritis kadar asam lemak bebas dihitung menggunakan reaksi ordo nol. Persamaan regresi linier perubahan mutu kadar asam lemak bebas bumbu pasta ayam goreng dapat dilihat pada Lampiran 12. Dengan demikian diperoleh nilai k untuk masing-masing jenis kemasan dan suhu penyimpanan seperti pada Tabel 8. Tabel 8. Nilai k dan ln k Parameter Asam Lemak Bebas Nilon+LLDPE PET+LLDPE k ln k k ln k 303 0.0033 0.2977 -1.2117 0.3327 -1.0005 308 0.0032 0.3256 -1.1221 0.4375 -0.8267 318 0.0031 0.4491 -0.8005 0.4887 -0.7160 Keterangan : k=konstanta penurunan mutu ; T=suhu penyimpanan T (K)
1/T
Nilai k diperoleh dari persamaan regresi linear. Nilai k sama dengan nilai a pada persamaan regresi linear. Nilai k digunakan untuk menduga umur simpan bumbu pasta ayam goreng pada kemasan dan suhu yang berbeda berdasarkan persamaan Arrhenius. Persamaan Arrhenius digunakan untuk 43
menghitung k perhitungan berdasarkan grafik hubungan antara ln k percobaan sebagai sumbu y dengan 1/T (suhu dalam Kelvin) sebagai sumbu x (Gambar 17). Dari grafik tersebut dapat diketahui persamaan ln k untuk masing-masing kemasan. 1/T x 103 (K) 0.0000 0.0031 -0.2000
0.0032
0.0032
0.0033
0.0033
0.0034 y = -2,708.25x + 7.70 R² = 0.9906
Ln k
-0.4000 -0.6000
y = -2,256.97x + 6.51 R² = 0.9138
-0.8000
Linear (nilon) Linear (PET)
-1.0000 -1.2000 -1.4000
Gambar 17. Grafik Hubungan ln k dan 1/T Berdasarkan persamaan regresi yang diperoleh pada Gambar 17, maka dapat ditentukan persamaan penurunan mutu sebagai berikut : • Kemasan Nilon + LLDPE Y
= -2708.25 x + 7.70
ln k
= -2708.25 (1/T) + 7.70
Nilai derajat kemiringan dari persamaan garis tersebut merupakan nilai dari –E/R dari persamaan Arrhenius sehingga diperoleh nilai energi aktivasi dari bumbu pasta ayam goreng sebagai berikut: -E/R
= -2708.25K
E
= (2708.25) x (1.986 kal/mol K)
E
= 5378.58 kal/mol K
Nilai intersep merupakan nilai ln k0 dari persamaan Arrhenius, sehingga diperoleh nilai k0 yang merupakan konstanta yang tidak bergantung terhadap suhu. Dengan menggunakan persamaan Arrhenius maka diperoleh: ln k0
= 7.70
k0
= 2218.31
44
Dengan demikian laju peningkatan kadar asam lemak bebas bumbu pasta ayam goreng yang dikemas dengan kemasan nilon + LLDPE adalah: k
= 2218.31 e
⎛1⎞ − 2708 .25 ⎜ ⎟ ⎝T ⎠
/ hari
• Kemasan PET + LLDPE Y
= -2286.97 x + 6.51
ln k
= -2286.97 (1/T) + 6.51
Nilai derajat kemiringan dari persamaan garis tersebut merupakan nilai dari –E/R dari persamaan Arrhenius sehingga diperoleh nilai energi aktivasi dari bumbu pasta ayam goreng sebagai berikut: -E/R
= -2286.97 K
E
= (2286.97) x (1.986 kal/mol K)
E
= 4541.92 kal/mol K
Nilai intersep merupakan nilai ln k0 dari persamaan Arrhenius, sehingga diperoleh nilai k0 yang merupakan konstanta yang tidak bergantung terhadap suhu. Dengan menggunakan persamaan Arrhenius maka diperoleh: ln k0
= 6.51
k0
= 669.94
Dengan demikian laju peningkatan kadar asam lemak bebas bumbu pasta ayam goreng yang dikemas dengan kemasan PET + LLDPE adalah: k
= 669.94 e
⎛1⎞ − 2286 .97 ⎜ ⎟ ⎝T ⎠
/ hari
Nilai Ln k diplotkan dengan kebalikan suhu mutlak (1/T), sehingga diperoleh grafik seperti terlihat pada Gambar 17. Berdasarkan persamaan regresi yang diperoleh pada Gambar 17, dapat diketahui nilai E, ln k0, k0, dan k tiap kemasan dan suhu penyimpanan, sehingga persamaan penurunan mutu dapat ditentukan. Dari persamaan penurunan mutu tersebut, dilakukan perhitungan umur simpan dengan ordo nol.
45
Tabel 9. Nilai E, ln k0, k0, dan k tiap Suhu Penyimpanan Parameter Asam Lemak Bebas Kemasan E (kal/mol) ln k0 k0 30˚C k 35˚C 45˚C
Nilon + LLDPE 5378.58 7.70 2218.31 0.29 0.38 0.50
PET + LLDPE 4541.92 6.51 669.94 0.35 0.44 0.55
Nilai titik kritis kadar asam lemak bebas adalah 35 %. Sedangkan nilai awal kadar asam lemak bebas adalah 4.55 %. Perhitungan umur simpan berdasarkan orde nol adalah nilai titik kritis dikurangi dengan nilai awal kadar asam lemak bebas, kemudian dibagi dengan nilai k (laju peningkatan kadar asam lemak bebas) yang diperoleh berdasarkan perhitungan Arrhenius, dapat dilihat sebagai berikut : Kemasan Nilon + LLDPE Suhu 30˚C =
35.00 − 4.55 = 105.00 hari = 3 bulan, 15 hari 0.29
Suhu 35˚C =
35.00 − 4.55 = 80.13 hari = 2 bulan, 20 hari 0.38
Suhu 45˚C =
35.00 − 4.55 = 60.90 hari = 2 bulan, 1 hari 0.50
Kemasan PET + LLDPE Suhu 30˚C =
35.00 − 4.55 = 87.00 hari = 2 bulan, 27 hari 0.35
Suhu 35˚C =
35.00 − 4.55 = 69.20 hari = 2 bulan, 9 hari 0.44
Suhu 45˚C =
35.00 − 4.55 = 55.36 hari = 1 bulan, 25 hari 0.55
Penyimpanan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu 1 bulan 21 hari. Berdasarkan perhitungan umur simpan orde nol baik kemasan nilon +LLDPE maupun kemasan PET + LLDPE mencapai umur simpan yang melebihi
46
waktu penyimpanan selama penelitian ini. . Hasil perhitungan umur simpan secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Umur Simpan Bumbu Pasta Ayam Goreng Suhu Penyimpanan 30°C 35°C 45°C
Umur Simpan (hari) Nilon + LLDPE
PET + LLDPE
105.00 80.13 60.90
87.00 69.20 55.36
Berdasarkan parameter asam lemak bebas, perbedaan umur simpan antar kemasan dan suhu penyimpanan terlihat jelas. Bumbu pasta ayam goreng pada kedua kemasan memiliki umur simpan semakin pendek dengan semakin meningkatnya suhu penyimpanan. Pendugaan umur simpan dengan parameter asam lemak bebas menunjukkan bahwa umur simpan bumbu pasta ayam goreng terbaik yang dikemas dengan kemasan nilon + LLDPE karena lebih baik dalam mempertahankan mutu sehingga umur simpannya lebih lama. Dengan demikian nilon + LLDPE lebih baik digunakan dibandingkan PET + LLDPE.
47