20
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Perusahaan 4.1.1 Sejarah Perusahaan Pada awalnya, bank ini bernama PT Bank CIC Internasional Tbk (Bank CIC) yang pertama kali didirikan pada Mei 1989 dan Mulai beroperasi sebagai Bank Umum pada tahun 1990, kemudian meningkatkan statusnya sebagai Bank Devisa pada tahun 1993. Bank secara resmi menjadi Bank Publik pada 25 Juni 1997 pada saat melakukan Penawaran Umum atau Initial Public Offering (IPO) dan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan Bursa Efek Surabaya (BES). Dalam rangka memperkuat struktur permodalan, selanjutnya Bank telah melakukan Penawaran Umum Terbatas atau Rights Issue I, II, III, IV dan V pada Maret 1999, Juli 2000, Maret 2003, Juni 2003 dan Juni 2007. Melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada tanggal 22 Oktober 2004, Bank memperoleh persetujuan dari pemegang saham untuk melakukan penggabungan usaha (merger), melalui peleburan PT Bank Danpac Tbk (Bank Danpac) dan PT Bank Pikko Tbk (Bank Pikko) untuk bergabung ke dalam Bank CIC, serta berubah nama menjadi PT Bank Century Tbk. Penggabungan usaha ini telah mendapat persetujuan Bank Indonesia melalui Keputusan Gubernur Bank Indonesia No. 6/87/KEP.GBI/2004 tanggal 6 Desember 2004, yang kemudian Akta Perubahan Anggaran Dasar Bank memperoleh pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Menteri No C-30117 HP.01.04. TH.2004 tanggal 14 Desember 2004. Selanjutnya Bank Indonesia juga telah memberikan persetujuan perubahan penggunaan izin usaha dari PT Bank CIC Internasional Tbk (Bank CIC) menjadi PT Bank Century Tbk (CenturyBank) melalui Keputusan Gubernur Bank Indonesia Nomor 6/92/KEP.GBI/2004 tanggal 28 Desember 2004.
21
Pada tanggal 21 November 2008, terjadi pengambilalihan perseroan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berdasarkan keputusan
Komite
Stabilitas
Sistem
Keuangan
(KSSK)
No.
04/KSSK.03/2008, sebagai salah satu langkah penyelamatan kesehatan ekonomi nasional dan juga Bank Mutiara, Tbk oleh pemerintah, karena Bank Century pada saat itu ditetapkan sebagai bank berstatus gagal oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) . Rebranding pada tanggal 3 Oktober 2009 dengan sebelumnya ditetapkan SK Gubernur BI melalui surat No. 11/47/KEP.GBI/2009 tertanggal 16 September 2009 merupakan awal manajemen dalam mengembangkan kembali Mutiara Bank. Pengembangan tersebut antara lain
pencanangan
filosofi
SPIRIT,
perubahan
visi-misi,
perubahan corporate culture, pencanangan business plan dan strategi baru Bank Mutiara. Filosofi SPIRIT adalah Service Excellent, professionalism,
Integrity,
Relationship,
Innovative
dan
Trust,
merupakan usaha Bank Mutiara dalam metamorfosa menjadikan SPIRIT
sebagai corporate
culture dengan
tujuan
fokus
pada
peningkatan layanan untuk nasabah. Sepanjang tahun 2009, manajemen telah mengimplementasikan tiga (3) fase rencana bisnis yaitu fase survival, fase built the foundation dan fase focusing business melalui 5 (lima) transformasi, yaitu perubahan citra, peningkatan kondisi keuangan, pengembangan bisnis, penajaman Good Corporate Governance (GCG) dan manajemen risiko, serta penyempurnaan organisasi dan infrastruktur pendukung. Pada 2010, kinerja Bank Mutiara kembali meraih beberapa pencapaian. Dana Pihak Ketiga (DPK) yang pada awal Januari 2010 sebesar Rp 5,95 triliun, mengalami pertumbuhan nyata, yakni pada posisi September 2010 menjadi Rp 7,750 triliun atau tumbuh 30,25%. Lebih dari itu, Bank Mutiara saat ini telah berhasil menjadi bank dengan “Peringkat Bagus” dalam Kategori Bank dengan kegiatan usaha terfokus pada segmen usaha tertentu dari InfoBank.
22
Pencapaian Bank Mutiara yang terkini adalah penempatan kantor karu Bank Mutiara di Gedung Barckley, Sudirman, kav 22-23 (Barckley’s House) Jakarta Selatan pada tanggal 22 November 2010. Selain itu, untuk terus memenuhi kebutuhan nasabah, Bank Mutiara juga meluncurkan Layanan Priority Banking. Layanan ini akan memberikan fasilitas khusus untuk para nasabah sebagai personal assistant. 4.1.2 Strategi Transformasi Bank Mutiara Perubahan nama Bank Century menjadi Bank Mutiara merupakan bagian
yang
tidak
terpisahkan
dari
transformasi
(perubahan
menyeluruh) yang dilakukan setelah pengambilalihan oleh pemerintah. Lima (5) Strategi Transformasi Bank Mutiara adalah : a.
Pengembangan Bisnis
b.
Perbaikan image Perusahaan
c.
Perbaikan Kondisi Keuangan
d.
Penyempurnaan Organisasi dan infrastruktur Pendukung
e.
Penajaman GCG dan Manajemen Risiko Berbagai strategi dan program telah disiapkan oleh manajemen
baru yang profesional dan terpercaya untu menjadikan Bank Mutiara sebagai Bank Fokus Terbaik Pilihan Masyarakat dan menjadi salah satu bank terkemuka di Indonesia, aman dan terpercaya, memiliki layanan istimewa, menghasilkan produk-produk bermutu, investasi yang berharga dengan performa terpercaya, bersih dan kuat layaknya sebuah mutiara. Fokus bisnis yang dilakukan Bank mutiara adalah : a.
Consumer 1) Menjadi bank pilihan dalam layanan pembiayaan segmen konsumtif dengan penawaran produk menarik dan kompetitif. 2) Sebagai mitra utama pilihan pembiayaan kredit konsumtif oleh perusahaan keuangan Indonesia
b.
Retail Funding 1) Menjadi bank pilihan dalam memenuhi layanan kebutuhan transaksi untuk “mass affluent”
23
2) Menjadi bank penyedia jasa layanan prima, khususnya pada kelompok nasabah utama bank. c.
Treasury & Corporate Funding 1) Menjadi bank penyedia kebutuhan produk treasury utama dan lengkap yang mendukung pengembangan bisnis nasabah utama bank. 2) Menjadi salah satu bank penyedia layanan transaksi bagi institusi pemerintah dan korporasi.
d.
Small & Medium Enterprise (SME) 1) Menjadi bank utama di segmen SME dengan fokus pada wilayah di mana cabang berada dan pusat bisnis. 2) Menjadi transaction bank untuk nasabah segmen SME dengan menyediakan beragam produk dan layanan.
4.1.3 Visi dan Misi Visi “Menjadi Bank Fokus Terbaik Pilihan Masyarakat” adalah sebuah tujuan untuk memperjelas arah pencapaian Bank Mutiara, yaitu fokus usaha pada segmen retail tanpa mengabaikan segmen lainnya dan mampu memberikan standar pelayanan bermutu. Dengan visi ini, Bank Mutiara berusaha menjadi bank yang dipilih oleh mayarakat, karena dapat menjadi tempat berinvestasi yang aman dan terpercaya bagi nasabah dan investor. Visi Bank Mutiara : a.
Bank Fokus : Bank yang kegiatan usahanya fokus pada segmen retail tanpa mengabaikan segmen lainnya.
b.
Terbaik : Bank yang mampu memberikan standar pelayanan bermutu. Bank juga mampu memberikan jasa perbankan yang menguntungkan.
c.
Pilihan Masyarakat : Bank yang dipilih oleh masyarakat karena dapat menjadi tempat menyimpan dana yang aman dan terpercaya bagi nasabah. Menjadi pilihan tempat kerja terbaik. rUntuk mewujudkan visi tersebut, Mutiara Bank menjalankan
misi “Memberikan yang Terbaik dengan Mengutamakan Pelayanan,
24
Kenyamanan dan Kepuasan Nasabah untuk Hasil Maksimal”. Dengan berbagai langkah untuk memberikan layanan perbankan yang melebihi pesaing dikelasnya dan menyediakan jasa pelayanan perbankan berbasis teknologi. Semua misi ini diimplementasikan lewat senyuman ramah dan hangat tiap karyawan Mutiara Bank dalam memberikan pelayanan cepat dan akurat, sehingga memberikan kesan tersendiri bagi nasabah, memberikan perasaan aman dalam bertransaksi dan menguntungkan bagi semua pihak. Misi Bank Mutiara : a.
Memberikan yang Terbaik : Mampu melampaui layanan perbankan yang melebihi pesaing di kelasnya. Mampu menyediakan jasa pelayanan perbankan berbasis teknologi.
b.
Dengan
Mengutamakan
Pelayanan
:
Mampu
memberikan
pelayanan ramah, cepat dan akurat. c.
Kenyamanan : Mampu memberikan fasilitas pendukung yang mengesankan bagi nasabah. Mampu memberikan perasaan aman dalam bertransaksi.
d.
Kepuasan Nasabah : Mampu memberikan pelayanan yang lebih dari yang diharapkan oleh nasabah.
e.
Hasil Optimal : Memberikan keuntungan bagi semua pihak.
4.2. Perkembangan dan Proyeksi Trend CAR Capital Adequacy Ratio (CAR) atau rasio Kecukupan Penyediaan Modal Minimum (KPMM) adalah salah satu rasio keuangan bank yang digunakan untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan risiko, misalnya kredit yang diberikan. CAR dapat diketahui melalui perbandingan antara modal dengan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Sesuai dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 26/20/Kep/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/2/BPPP masing-masing tanggal 29 Mei 2003, maka bank diwajibkan untuk menyediakan modal minimum CAR (8%). Berdasarkan pada matriks kriteria penetapan peringkat faktor permodalan
25
pada Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004 diperoleh standar untuk KPMM seperti disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Penetapan peringkat KPMM Rasio KPMM lebih tinggi sangat nyata dibandingkan Peringkat I dengan rasio KPMM yang ditetapkan dalam ketentuan. Rasio KPMM lebih tinggi cukup nyata dibandingkan Peringkat II dengan rasio KPMM yang ditetapkan dalam ketentuan. Rasio KPMM lebih tinggi secara marjinal dibandingkan Peringkat III dengan rasio KPMM yang ditetapkan dalam ketentuan (8% < KPMM < 9%). Peringkat IV Rasio KPMM di bawah ketentuan berlaku Rasio KPMM dibawah ketentuan berlaku dan Bank Peringkat V cenderung menjadi tidak solvable Sumber : Bank Indonesia, 2004 Semakin tinggi rasio CAR, semakin baik permodalan yang dimiliki oleh bank, sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil. Berikut ini perkembangan dan proyeksi trend CAR Bank Mutiara, seperti dimuat pada Gambar 2.
Trend Analysis Plot for CAR (%) Linear Trend Model Yt = 10,9248 - 0,143370*t
20
Variable A ctual Fits Forecasts
10
A ccuracy Measures MA PE 38,419 MA D 6,006 MSD 131,561
CAR (%)
0 -10 -20 -30 -40 2006
2007
2008
2009 Tahun
2010
2011
Gambar 2. Grafik perkembangan dan proyeksi trend CAR Berdasarkan grafik perkembangan CAR di atas, pada tahun 2006 sampai triwulan III tahun 2008, CAR Bank Mutiara berada di atas 8%. Namun, penurunan secara drastis terjadi pada triwulan IV tahun 2008 menjadi
26
-39,62%. Hal itu disebabkan oleh modal bank yang menyentuh angka negatif, yaitu -Rp1.450 milyar, sebagai akibat dari penarikan dana secara besarbesaran oleh para nasabah. Sebagai bagian dari upaya penyelamatan dan restrukturisasi bank, pemerintah melalui LPS memberikan dana talangan (bailout) kepada Bank Mutiara. Perhitungan perkiraan biaya penanganan sebesar jumlah kekurangan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) yang ditetapkan oleh LPP dan dapat ditambah dengan junlah tertentu yang dipandang perlu oleh LPS. Sampai dengan 31 Des 2008, LPS telah melakukan penambahan modal Rp4.977 milyar. Hal tersebut berdampak pada CAR Bank Mutiara untuk periode selanjutnya. Pada triwulan I tahun 2009, CAR Bank Mutiara meningkat -8,13%. Namun, angka tersebut masih di bawah nilai minimal yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Modal Bank Mutiara pada saat itu minus Rp305,90 milyar. Berangsur-angsur CAR Bank Mutiara mengalami perbaikan. Hal ini karena suntikan modal untuk ketiga kalinya dari LPS Rp1,55 triliyun. Sampai dengan triwulan III tahun 2011, CAR Bank Mutiara berada di atas 8%. Hal ini mengindikasikan bahwa Bank Mutiara mampu menutupi penurunan aktiva yang terjadi sebagai akibat dari kerugian-kerugian bank yang disebabkan oleh aktiva berisiko. Proyeksi trend CAR Bank Mutiara untuk tiga (3) periode ke depan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Proyeksi trend CAR Periode 2011 (triwulan IV) 2012 (triwulan I) 2012 (triwulan II)
CAR (%) 7,48391 7,34054 7,19717
Kecenderungan pada proyeksi trend CAR pada tiga (3) periode ke depan adalah menurun, yaitu berada di bawah ketentuan yang berlaku (8%). Oleh karena itu, bank perlu menjaga modal dan mengawasi Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) agar nilai CAR tetap berada di atas 8%. 4.3. Perkembangan dan Proyeksi Trend NPL NPL adalah rasio jumlah kredit pada tingkat kolektibilitas tiga (3) sampai dengan lima (5) terhadap total kredit yang diberikan oleh bank. Sesuai
27
dengan ketetapan yang dibuat oleh Bank Indonesia, kredit bermasalah (NPL) dihitung dengan menggunakan NPL Gross, atau NPL yang belum mempertimbangkan Perhitungan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP). Berdasarkan pada matriks kriteria penetapan peringkat faktor permodalan pada Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004 diperoleh standar untuk NPL seperti disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Penetapan peringkat NPL Peringkat I Perkembangan rasio sangat rendah. Peringkat II Perkembangan rasio rendah. Peringkat III Perkembangan rasio moderat atau rasio berkisar antara 5% sampai dengan 8%. Peringkat IV Perkembangan rasio cukup tinggi. Peringkat V Perkembangan rasio tinggi. Sumber : Bank Indonesia, 2004 NPL merupakan indikator mutu aset suatu bank. Semakin tinggi rasionya akan menyebabkan semakin tinggi kredit macet yang dimiliki bank. Perkembangan dan proyeksi trend NPL Bank Mutiara dimuat pada Gambar 3. Trend Analysis Plot for NPL (%)
Quadratic Trend Model Yt = -9,93280 + 4,43272*t - 0,135446*t**2 50
Variable A ctual Fits Forecasts
40
A ccuracy Measures MA PE 150,353 MA D 9,838 MSD 124,938
NPL (%)
30 20 10 0
2006
2007
2008
2009 Tahun
2010
2011
Gambar 3. Grafik perkembangan dan proyeksi trend NPL Berdasarkan grafik perkembangan NPL, hanya sedikit nilai NPL yang berada di bawah 5%, yaitu triwulan III dan IV tahun 2007 dan triwulan I, II dan III tahun 2008. Sisanya nilai NPL berada di atas 5%. Hal tersebut
28
mengindikasikan bahwa jumlah kredit bermasalah pada Bank Mutiara terbilang tinggi. Nilai NPL terendah adalah 2,87% yang terjadi pada triwulan III tahun 2008. Namun, NPL langsung melonjak tinggi pada triwulan IV tahun 2008 menjadi 35,17%. Hal tersebut disebabkan oleh meningkatnya jumlah kredit bermasalah dari 150 milyar menjadi Rp 1.674 milyar. Nilai NPL tertinggi adalah 42,96% yang terjadi pada triwulan II tahun 2009, dengan jumlah kredit bermasalah pada saat itu mencapai Rp 1.873 milyar dan jumlah kredit yang diberikan Rp 4.362 milyar. Tingginya jumlah kredit bermasalah pada Bank Mutiara disebabkan oleh pihak bank yang cenderung menetapkan bunga pinjaman di atas bunga yang berlaku di pasar karena jumlah Dana Pihak Ketiga (DPK) dari deposito di Bank Mutiara lebih tinggi dibanding tabungan. Ini berarti suku bunga yang harus dibayar bank kepada nasabah menjadi tinggi. Hal itu membuat penetapan suku bunga kredit yang tinggi. Padahal, kreditor belum tentu sanggup untuk membayar pokok ditambah bunganya yang tinggi. Dengan demikian, jumlah default (gagal bayar) yang terjadi meningkat. Hal ini menjadikan NPL Bank Mutiara berada di atas level normal NPL perbankan pada umumnya. Proyeksi trend NPL Bank Mutiara untuk tiga (3) periode ke depan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Proyeksi trend NPL Periode 2011 (triwulan IV) 2012 (triwulan I) 2012 (triwulan II)
NPL (%) 18,4358 16,2317 13,7567
Kecenderungan pada proyeksi trend NPL pada tiga (3) periode ke depan adalah menurun. Meskipun NPL memiliki kecenderungan menurun, nilai proyeksi trend NPL masih berada di atas 5%, maka bank tetap harus mengawasi aktivitas penyaluran kredit kepada kreditur untuk menurunkan nilai NPL. 4.4. Perkembangan dan Proyeksi Trend NIM Rasio NIM digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengelola aktiva produktifnya untuk menghasilkan pendapatan bunga
29
bersih. Pendapatan bunga bersih diperoleh dari pendapatan bunga dikurangi beban bunga. Berdasarkan pada matriks kriteria penetapan peringkat faktor permodalan pada Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004 diperoleh standar untuk NIM seperti disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Penetapan peringkat NIM Peringkat I Marjin bunga bersih sangat tinggi. Peringkat II Marjin bunga bersih tinggi. Peringkat III Marjin bunga bersih cukup tinggi atau rasio NIM berkisar antara 1,5% sampai dengan 2%. Peringkat IV Marjin bunga bersih rendah mengarah negatif. Peringkat V Marjin bunga bersih sangat rendah atau negatif. Sumber : Bank Indonesia, 2004 Semakin besar rasio NIM, maka akan meningkatkan pendapatan bunga atas aktiva produktif yang dikelola bank, sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil. Grafik perkembangan dan proyeksi trend NIM Bank Mutiara yang dimuat pada Gambar 4. Trend Analysis Plot for NIM (%) Linear Trend Model Yt = 3,45198 - 0,122846*t
5
Variable A ctual Fits Forecasts
4
A ccuracy Measures MA PE 78,1163 MA D 0,8803 MSD 1,2820
NIM (%)
3 2 1 0 -1 2006
2007
2008
2009 Tahun
2010
2011
Gambar 4. Grafik perkembangan dan proyeksi trend NIM Nilai NIM Bank Mutiara pada tahun 2006 sampai triwulan III tahun 2008 berada di atas 1,5%. Artinya NIM Bank Mutiara pada periode tersebut, berada di atas standar cukup tinggi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Namun, memasuki triwulan IV tahun 2008, NIM mengalami penurunan
30
drastis dari 3,93% menjadi -0,85%. Hal ini disebabkan oleh penurunan pendapatan bunga bersih -134,24%, karena jumlah beban bunga lebih besar dari pendapatan bunga, sehingga pendapatan bunga bersih menjadi negatif, dan berdampak pada negatifnya NIM pada periode tersebut. Pada periode selanjutnya, NIM Bank Mutiara fluktuatif dan belum menyentuh titik 1,5%. Hal ini mengindikasikan bahwa Bank Mutiara belum mampu mengelola aktiva produktifnya dalam menghasilkan pendapatan bunga bersih dengan baik seperti tahun-tahun sebelumnya. Proyeksi trend NIM Bank Mutiara untuk tiga (3) periode ke depan disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Proyeksi trend NIM Periode 2011 (triwulan IV) 2012 (triwulan I) 2012 (triwulan II)
NIM (%) 0,503676 0,380830 0,257984
Kecenderungan pada proyeksi trend NIM pada tiga (3) periode ke depan adalah menurun. Pada 2011 (triwulan IV), NIM berada di atas standar minimal yang ditetapkan BI (0,5%). Namun, NIM menurun pada dua (2) periode selanjutnya menjadi di bawah 0,5%. Oleh karena itu, bank harus mengantisipasi penurunan tersebut dengan meningkatkan pendapatan bunga bersih dan mengawasi nilai rata-rata aktiva produktif. 4.5. Perkembangan dan Proyeksi Trend BOPO Rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), atau rasio yang sering disebut rasio efisiensi ini digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengendalikan biaya operasional terhadap pendapatan operasional. Berdasarkan pada matriks kriteria penetapan peringkat faktor permodalan pada Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004 diperoleh standar untuk BOPO seperti disajikan pada Tabel 10.
31
Tabel 10. Penetapan peringkat BOPO Peringkat I Tingkat efisiensi sangat baik. Peringkat II Tingkat efisiensi baik. Peringkat III Tingkat efisiensi cukup baik atau rasio BOPO berkisar antara 94% sampai dengan 96%. Peringkat IV Tingkat efisiensi buruk. Peringkat V Tingkat efisiensi sangat buruk. Sumber : Bank Indonesia, 2004 Semakin kecil rasio ini berarti semakin efisien biaya operasional yang dikeluarkan bank yang bersangkutan, sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil. Berikut ini perkembangan dan proyeksi trend BOPO Bank Mutiara yang dimuat pada Gambar 5. Trend Analysis Plot for BOPO (%) Growth Curve Model Yt = 105,446 * (0,994770**t)
Variable A ctual Fits Forecasts
1200
BOPO (%)
1000
A ccuracy Measures MA PE 15,9 MA D 59,0 MSD 55388,6
800 600 400 200 0 2006
2007
2008
2009 Tahun
2010
2011
Gambar 5. Grafik perkembangan dan proyeksi trend BOPO Berdasarkan grafik di atas nilai BOPO terlihat stabil. Namun, pada triwulan IV tahun 2008 nilai BOPO melonjak tajam dari 91,85% menjadi 1226,28%. Pada triwulan IV tahun 2008, pendapatan operasi menurun drastis dibanding triwulan sebelumnya -86,75%. Hal itu terutama disebabkan oleh penurunan pendapatan bunga bersih hingga menyentuh angka negatif, ditambah dengan beban operasional meningkat tajam 1924,90%. Setelah LPS menyuntikkan dana ke Bank Mutiara sebagai upaya penyelamatan, pendapatan operasi Bank Mutiara meningkat dan beban
32
operasi menurun drastis, sehingga BOPO Bank Mutiara mengalami perbaikan. BOPO pada triwulan I tahun 2009 menurun tajam menjadi 67,97%. Pada periode selanjutnya BOPO Bank Mutiara mulai stabil kembali, yaitu berada di bawah angka maksimum (96%), sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. Proyeksi trend BOPO Bank Mutiara untuk tiga (3) periode ke depan disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Proyeksi trend BOPO Periode 2011 (triwulan IV) 2012 (triwulan I) 2012 (triwulan II)
BOPO (%) 92,9764 92,4901 92,0064
Kecenderungan pada proyeksi trend BOPO pada tiga (3) periode ke depan adalah menurun. Hal ini menunjukkan tingkat efisiensi semakin baik, karena BOPO berada di bawah standar maksimum BOPO (94%). Oleh karena itu, bank perlu melakukan pengawasan pada pengeluaran biaya operasional agar nilai BOPO berada di bawah standar maksimum sesuai ketetapan BI. 4.6. Perkembangan dan Proyeksi Trend ROA ROA merupakan perbandingan antara laba bersih sebelum pajak yang berhasil diperoleh perusahaan terhadap total aset yang dimiliki. Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan atas aktiva yang dimiliki oleh perusahaan dan juga untuk melihat bagaimana efektivitas dari keseluruhan operasi perusahaan. Berdasarkan pada matriks kriteria penetapan peringkat faktor permodalan pada Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004 diperoleh standar untuk ROA seperti disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Penetapan peringkat ROA Peringkat I Perolehan laba sangat tinggi. Peringkat II Perolehan laba tinggi. Peringkat III Perolehan laba cukup tinggi, atau rasio ROA berkisar antara 0,5% sampai dengan 1,25%. Peringkat IV Perolehan laba Bank rendah atau cenderung mengalami kerugian (ROA mengarah negatif). Peringkat V Bank mengalami kerugian yang besar (ROA negatif). Sumber : Bank Indonesia, 2004
33
Semakin besar ROA suatu bank, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut. Berikut ini perkembangan dan proyeksi trend ROA Bank Mutiara yang dimuat pada Gambar 6. Trend Analysis Plot for ROA (%)
S-Curve Trend Model Yt = (10**2) / (59,5813 + 1612,97*(0,642308**t)) Variable Actual Fits Forecasts
0
ROA (%)
-10
Curv e Parameters Intercept 0,05979 Asy mptote 1,67838 Asy m. Rate 0,64231
-20 -30
Accuracy Measures MAPE 64,546 MAD 3,238 MSD 126,195
-40 -50 -60 2006
2007
2008
2009 Tahun
2010
2011
Gambar 6. Grafik perkembangan dan proyeksi trend ROA Berdasarkan grafik di atas, nilai ROA tahun 2006 sampai triwulan III 2008 relatif stabil. Namun, penurunan drastis terjadi pada triwulan IV 2008. Penurunan tersebut terutama sangat dipengaruhi oleh penarikan dana masyarakat dalam jumlah besar pada akhir 2008 sebagai ekses dari pemberitaan negatif permasalahan yang dialami oleh bank, termasuk penetapan Bank Century sebagai bank berstatus gagal. Pada tahun selanjutnya, kinerja keuangan Bank Mutiara mengalami perbaikan. Hal itu merupakan akibat dari upaya pertolongan dari pemerintah berupa pengucuran dana dari LPS secara berangsur, maka ROA bank Mutiara mengalami peningkatan dari triwulan I sampai IV tahun 2009. Peningkatan ini menunjukkan perbaikan manajemen yang dilakukan oleh Bank Mutiara, sehingga Bank Mutiara dapat mengembalikan citra positif kepada masyarakat atas rebranding (pergantian nama) dari Bank Century menjadi Bank Mutiara pada 3 Oktober 2009, sehingga labanya menunjukkan peningkatan dibanding tahun 2008. Proyeksi trend ROA Bank Mutiara untuk tiga (3) periode ke depan disajikan pada Tabel 13.
34
Tabel 13. Proyeksi trend ROA Periode 2011 (triwulan IV) 2012 (triwulan I) 2012 (triwulan II)
ROA (%) 1,67666 1,67728 1,67767
Kecenderungan pada proyeksi trend ROA pada tiga (3) periode ke depan adalah meningkat. ROA berada di atas standar yang ditetapkan BI (1,25%). Oleh karena itu, untuk meningkatkan laba sesuai dengan proyeksi trend, peningkatan ROA tersebut harus tetap dijaga dengan mengawasi nilai pada rata-rata total aktiva yang diimbangi terhadap perolehan laba sebelum pajak Bank Mutiara. 4.7. Perkembangan dan Proyeksi Trend LDR Loan to Deposit Ratio (LDR) adalah
rasio keuangan perusahaan
perbankan yang berhubungan dengan aspek likuiditas. Rasio ini merupakan perbandingan antara kredit yang diberikan dengan Dana Pihak Ketiga (DPK). Kredit yang diberikan tidak termasuk kredit kepada bank lain, sedangkan dana pihak ketiga meliputi giro, tabungan, simpanan berjangka dan sertifikat deposito. LDR digunakan untuk menilai kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana yang dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Berdasarkan pada matriks kriteria penetapan peringkat faktor permodalan pada Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004 diperoleh standar untuk LDR seperti disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Penetapan peringkat LDR Peringkat I 50%
100%
120%
Sumber : Bank Indonesia, 2004 Semakin tinggi LDR suatu bank, semakin rendah kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan, sehingga kemungkinan suatu bank dalam
35
kondisi bermasalah akan semakin besar. Berikut ini perkembangan dan proyeksi trend LDR Bank Mutiara yang dimuat pada Gambar 7. Trend Analysis Plot for LDR (%)
S-Curve Trend Model Yt = (10**3) / (12,6533 + 147,999*(0,703412**t)) Variable A ctual Fits Forecasts
90 80
LDR (%)
70
Curv e Parameters Intercept 6,2246 A sy mptote 79,0309 A sy m. Rate 0,7034
60 50
A ccuracy Measures MA PE 19,345 MA D 8,935 MSD 121,549
40 30 20 10 0 2006
2007
2008
2009 Tahun
2010
2011
Gambar 7. Grafik perkembangan dan proyeksi trend LDR Berdasarkan grafik di atas, LDR Bank Mutiara pada tahun 2006 sampai triwulan III tahun 2008 berada di bawah 50%. Dalam hal ini, LDR tersebut masuk dalam kategori cukup sehat. LDR terendah terjadi pada triwulan III tahun 2006, yaitu 21,1%. Artinya, bank hanya menyalurkan dana sebesar 21,1% dari seluruh dana yang dihimpun dan sisanya (78,9%) dari seluruh dana yang dihimpun tidak tersalurkan kepada pihak yang membutuhkan. LDR mengalami peningkatan dari 47,59% pada triwulan III tahun 2008 menjadi 93,16% pada triwulan IV tahun 2008. Karena menurunnya dana pihak ketiga -53,30%. Penurunan itu dikarenakan banyak nasabah yang menarik dananya sebagai akibat dari pemberitaan negatif tentang Bank Century di media-media, baik cetak maupun elektronik. Proyeksi trend LDR Bank Mutiara untuk tiga (3) periode ke depan disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Proyeksi trend LDR Periode 2011 (triwulan IV) 2012 (triwulan I) 2012 (triwulan II)
LDR (%) 78,7490 78,8324 78,8912
36
Kecenderungan pada proyeksi trend LDR pada tiga (3) periode ke depan adalah meningkat. Peningkatan tersebut masih masuk dalam peringkat II (75%
37
Probability Plot of RESI1 Normal
99
Mean StDev N KS P-Value
95 90
Percent
80
-1,35158E-16 0,7873 23 0,132 >0.150
70 60 50 40 30 20 10 5
1
-2
-1
0 RESI1
1
2
Gambar 8. Normal P-P Plot nilai residual terstandarisasi Pada tampilan grafik normal plot, titik-titik menyebar di sekitar garis diagonal, dengan penyebaran mengikuti arah garis diagonalnya. Selain itu, pengujian ini diperkuat dengan perhitungan statistik bahwa Nilai-P(0.150) lebih besar dari α=5%, artinya residual menyebar normal. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa model regresi memenuhi asumsi normalitas, sehingga layak untuk digunakan dalam penelitian ini. 4.8.2 Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji, apakah dalam model regresi yang terbentuk ada korelasi yang tinggi, atau sempurna di antara peubah bebas atau tidak. Jika dalam model regresi yang terbentuk terdapat korelasi tinggi, atau sempurna di antara peubah bebas maka model regresi tersebut dinyatakan mengandung gejala multikolinear. Untuk
mengetahui
apakah
model
tersebut
terdapat
multikolinearitas dapat dilakukan dengan mencari besarnya Variance
38
Inflation Factor (VIF) dan nilai tolerance. Jika nilai VIF kurang dari 10 dan nilai tolerance lebih dari 0,10 maka model tersebut bebas multikolinearitas. Tabel 16. Nilai VIF Predictor
Coef
SE Coef
t
P
VIF
Constant
-0.6483
0.5868
-1.10
0.282
W1
3.6926
0.3323
11.11
0.000
1.0
W2
7.7220
0.5295
14.58
0.000
1.0
Dari tabel di atas terlihat bahwa nilai VIF untuk komponen W1 dan W2 bernilai 1,0 atau kurang dari 10, maka masalah multikolinearitas
telah
teratasi
dengan
menggunakan
regresi
komponen utama. 4.8.3 Uji Heterokesdastisitas Adanya Heteroskedastisitas dalam pengolahan data pada penggunaan
model
Ordinary
Least
Square
(OLS)
dapat
mengakibatkan estimator metode kuadrat terkecil tidak mempunyai ragam minimum dan perhitungan standar erorr tidak dapat dipercaya sehingga uji F dan uji t tidak memberikan hasil yang diharapkan. Oleh karena itu, pada pengujian dengan model OLS diusahakan data tidak mengandung masalah heteroskedastisitas. Tabel 17. Uji Heterokesdastisitas Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey F-statistic Obs*R-squared Scaled explained SS
0,727242 1,559261 3,724210
Prob. F(2,20) Prob. Chi-Square(2) Prob. Chi-Square(2)
0,4956 0,4586 0,1553
Berdasarkan Tabel 17, terlihat bahwa nilai-p(0,1553) lebih besar dari α=5%, maka model penelitian ini memenuhi asumsi klasik bebas heterokesdastisitas atau model homokesdastisitas.
39
4.8.4 Uji Autokorelasi Uji autokorelasi bertujuan untuk mengetahui apakah ada korelasi antara anggota serangkaian data observasi yang diuraikan menurut waktu (time-series), atau ruang (cross-section). Konsekuensi dari adanya autokorelasi dalam suatu regresi berarti ragam contoh tidak dapat menggambarkan ragam populasinya. Untuk mengetahui apakah dalam model terdapat autokorelasi atau tidak, maka dilakukan uji Durbin-Watson (uji Dw) seperti Gambar 9.
Positif 0
dl 1,168
No Autocorelation du 1,543
1,880
2
Negatif 4-du 2,457
4-dl 2,832
4
Gambar 9. Autokorelasi Hasil uji autokorelasi dengan Durbin Watson menunjukkan angka 1,880, batas bawah (dl) dan batas atas (du), dengan jumlah peubah bebas k = 2 (terdapat 2 komponen dalam model, W1 dan W2) dan jumlah sampel n = 23, maka dl = 1,168 dan du = 1,543. Berdasarkan uji di atas, terlihat bahwa nilai Durbin Watson 1,880 terletak di daerah no autocorelation, sehingga
dapat disimpulkan
bahwa model ini terbebas dari asumsi klasik statistik autokorelasi. 4.9. Analisis Perhitungan Hasil dari perhitungan menggunakan Minitab 14 terhadap peubah bebas (CAR, NPL, NIM, BOPO dan LDR) dan peubah
terikat (ROA)
menunjukkan nilai koefisien determinasi atau R Square 0,944. Nilai R Square tersebut menunjukkan variasi ROA dapat dijelaskan oleh variasi CAR, NPL, NIM, BOPO dan LDR 94,4%, atau peubah CAR, NPL, NIM, BOPO dan LDR mampu memengaruhi ROA 94,4% dan sisanya (5,6%) dijelaskan oleh faktor lain di luar penelitian.
40
4.9.1 Uji F Uji simultan dengan menggunakan Uji F bertujuan untuk mengetahui pengaruh secara bersama-sama peubah bebas terhadap peubah terikat. Hasil uji F pada output Minitab 14 dapat dilihat pada tabel ANOVA. Apabila F hitung > F tabel, maka peubah bebas berpengaruh secara simultan terhadap peubah terikat. Sedangkan, Uji F dengan probabilitas value dapat dilihat dari besar probabilitas value dibandingkan alpha yang ditetapkan yaitu sebesar 0,05. Berikut ini Tabel ANOVA untuk uji F dimuat pada Tabel 18. Tabel 18. ANOVA Source
DF
Regression
2
Sum of Mean Squares Square 2662,1 1331,1
Residual Error
20
158,4
Total
22
2820,5
F
p
168,09
0,000
7,9
Nilai pada F tabel 3,493, sedangkan nilai F hitung 168,09, maka F hitung lebih besar dari F tabel dan nilai p = 0,000 lebih kecil dari α = 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa CAR, NPL, NIM, BOPO dan LDR secara simultan mampu menjelaskan perubahan pada ROA, atau model dinyatakan cocok atau fit. 4.9.2 Uji t Uji t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu peubah bebas secara individual dalam menerangkan variasi peubah terikat (Kuncoro, 2003). Peubah dikatakan memiliki pengaruh nyata jika nilai │t-hitung│lebih besar dari 1,96. Hasil uji t dimuat pada Tabel 19.
41
Tabel 19. Uji t Simpangan Peubah Baku X1 0,074509 X2 0,061891 X3 0,045647 X4 0,086313 X5 0,05733
Koefisien 0,4756 0,0948 0,1484 -0,0262 0,0387
t-hitung 6,383366 1,532393 3,251663 -0,30371 0,675799
Keterangan nyata tidak nyata nyata tidak nyata tidak nyata
Berdasarkan perhitungan regresi komponen utama, didapatkan model regresi sebagai berikut : 𝑌� = -2,88483 + 0,4756 X 1 + 0,0948 X 2 + 0,1484 X 3 - 0,0262 X 4 + 0,0387X 5 ..............................................................(9) Analisa uji t untuk mengetahui pengaruh peubah bebas terhadap peubah terikat adalah : a.
Konstanta -2,88483, artinya jika CAR, NPL, NIM, BOPO dan LDR bernilai 0, maka nilai ROA adalah -2,88483.
b.
Peubah CAR memiliki nilai t-hitung 6,383366, yaitu lebih besar dari t tabel 1,96, artinya bahwa CAR berpengaruh nyata dan positif terhadap ROA. Nilai koefisien pada CAR adalah 0,4756, artinya jika CAR meningkat 1%, maka ROA akan meningkat 0,4756%, dengan asumsi peubah lainnya tetap.
c.
Peubah NPL memiliki nilai t-hitung 1,532393, yaitu lebih kecil dari t tabel 1,96, artinya bahwa NPL tidak berpengaruh nyata terhadap ROA. Nilai koefisien pada NPL adalah 0,0948, artinya jika NPL meningkat 1%, maka ROA akan meningkat 0,0948%, dengan asumsi peubah lainnya tetap.
d.
Peubah NIM memiliki nilai t-hitung 3,251663, yaitu lebih besar dari t tabel 1,96, artinya bahwa NIM berpengaruh nyata dan positif terhadap ROA. Nilai koefisien pada NIM adalah 0,1484, artinya jika NIM meningkat 1%, maka ROA akan meningkat 0,1484%, dengan asumsi peubah lainnya tetap.
e.
Peubah BOPO memiliki nilai t-hitung -0,30371, yaitu lebih kecil dari t tabel 1,96, artinya bahwa BOPO tidak berpengaruh nyata
42
terhadap ROA. Nilai koefisien pada BOPO adalah 0,086313, artinya jika BOPO meningkat 1%, maka ROA akan meningkat 0,086313%, dengan asumsi peubah lainnya tetap. f.
Peubah LDR memiliki nilai t-hitung 0,675799, yaitu lebih kecil dari t tabel 1,96, artinya bahwa LDR tidak berpengaruh nyata terhadap ROA. Nilai koefisien pada LDR adalah 0,05733, artinya jika LDR meningkat 1%, maka ROA akan meningkat 0,05733%, dengan asumsi peubah lainnya tetap.
4.9.3 Analisis Pengaruh CAR terhadap ROA Dari hipotesis pertama menyatakan bahwa CAR berpengaruh positif tehadap ROA. Dari hasil penelitian diperoleh nilai t-hitung 6,383366 dan koefisien regresinya 0,4756. Hal ini menunjukkan bahwa CAR memiliki pengaruh positif terhadap ROA secara nyata. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin besar CAR, maka ROA yang diperoleh bank akan semakin besar. Semakin besar CAR, maka semakin tinggi kemampuan permodalan bank dalam menjaga kemungkinan timbulnya risiko kerugian kegiatan usahanya, sehingga kinerja bank juga meningkat. Kecukupan
modal
bank
mencerminkan
modal
sendiri
perusahaan. Semakin besar kecukupan modal bank, yaitu dengan memanfaatkan secara optimal modal sendiri dapat meningkatkan tingkat profitabilitas perusahaan yang tercermin dalam ROA, karena dengan modal yang besar, manajemen bank dapat leluasa dalam menempatkan
dananya
ke
dalam
aktivitas
investasi
yang
menguntungkan dan berpotensi meningkatkan laba perusahaan.
Pengaruh CAR yang nyata terhadap ROA ini juga didukung oleh suntikan modal yang diberikan pemerintah kepada Bank Mutiara. Alasan pemerintah menyuntikkan dana tersebut pertama adalah untuk menaikkan nilai CAR. Perhitungan perkiraan biaya penanganan (bailout) yaitu sebesar jumlah kekurangan modal untuk membentuk nilai CAR agar sesuai dengan standar minimum BI (8%). Usaha tersebut berdampak pada ROA yang meningkat seiring dengan
43
peningkatan CAR. Dengan demikian Ha 1 yang menyatakan bahwa CAR memiliki pengaruh yang positif terhadap ROA diterima, atau dengan kata lain tolak Ho 1. 4.9.4 Analisis Pengaruh NPL terhadap ROA Hipotesis kedua menyatakan bahwa NPL berpengaruh negatif terhadap ROA. Dari hasil penelitian diperoleh nilai t-hitung 1,532393 dan koefisien regresinya 0,0948. Hal ini menunjukkan bahwa NPL tidak memiliki pengaruh nyata terhadap ROA, yaitu mengindikasikan bahwa resiko usaha bank yang tercermin dalam NPL tidak berpengaruh terhadap ROA, karena kerugian perusahaan akibat kredit macet ditopang modal yang dimiliki oleh perusahaan. Terkait dengan koefisien regresi yang bertanda positif, yakni berbeda dengan tanda di hipotesis kedua terjadi karena kenaikan NPL tidak mengakibatkan menurunnya ROA, sebab nilai Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) Bank Mutiara yang tinggi dapat menutupi kredit bermasalah. Laba perbankan masih dapat meningkat dengan NPL yang tinggi, karena sumber laba selain dari bunga, seperti fee based income relatif tinggi. Dengan demikian, Ha 2 yang menyatakan bahwa NPL memiliki pengaruh negatif terhadap ROA ditolak, atau dengan kata lain terima Ho 2. 4.9.5 Analisis Pengaruh NIM terhadap ROA Hipotesis ketiga menyatakan bahwa NIM berpengaruh positif terhadap ROA. Dari hasil penelitian diperoleh nilai t-hitung 3,251663 dan koefisien regresinya 0,1484. Hal ini menunjukkan bahwa NIM memiliki pengaruh positif terhadap ROA secara nyata. Perubahan suku bunga dan mutu aktiva produktif pada perusahaan perbankan dapat menambah laba bagi perusahaan, sehingga semakin besar perubahan NIM Bank Mutiara, maka semakin besar profitabilitas yang dapat diperoleh Bank Mutiara, yang ditunjukkan oleh ROA.
Hal ini menunjukkan kemampuan manajemen bank dalam menghasilkan bunga bersih, sehingga berpengaruh pada tingkat
44
pendapatan bank terhadap total asetnya. Meningkatnya pendapatan bunga bersih, yang merupakan selisih antara total biaya bunga dan total pendapatan bunga telah mengakibatkan bertambahnya laba sebelum pajak. Pendapatan bunga bersih
yang tinggi akan
mengakibatkan meningkatnya laba sebelum pajak, sehingga ROA bertambah.
Salah satu komponen pembentuk ROA adalah laba
sebelum pajak, maka, secara tidak langsung jika pendapatan bunga bersih meningkat maka laba yang dihasilkan bank juga meningkat, sehingga akan meningkatkan kinerja keuangan bank tersebut. Dengan demikian, Ha 3 yang menyatakan bahwa NIM memiliki pengaruh yang positif terhadap ROA diterima, atau dengan kata lain Ho 3 ditolak. 4.9.6 Analisis Pengaruh BOPO terhadap ROA Hipotesis keempat menyatakan bahwa BOPO berpengaruh negatif terhadap ROA. Dari hasil penelitian diperoleh nilai t-hitung -0,30371 dan koefisien regresinya -0,0262. Hal ini menunjukkan bahwa BOPO tidak memiliki pengaruh negatif dan nyata terhadap ROA. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa tingkat efisiensi Bank Mutiara tidak memiliki dampak, atau pengaruh terhadap tingkat pendapatan, atau profitabilitas Bank Mutiara yang diwakili oleh ROA. Nilai negatif yang ditunjukkan BOPO menunjukkan bahwa semakin kecil BOPO, menunjukkan semakin efisien bank dalam menjalankan aktifitas usahanya. BOPO yang kecil menunjukkan bahwa biaya operasional
bank
operasionalnya,
hal
sehingga
lebih tersebut
kecil dari
pendapatan
menunjukkan
bahwa
manajemen bank sangat efisien dalam menjalankan aktivitas operasionalnya. Dengan demikian, Ha 4 yang menyatakan bahwa BOPO memiliki pengaruh yang negatif terhadap ROA ditolak, atau dengan kata lain terima Ho 4 . 4.9.7 Analisis Pengaruh LDR terhadap ROA Hipotesis kelima menyatakan bahwa LDR berpengaruh positif terhadap ROA. Dari hasil penelitian diperoleh nilai t-hitung 0,675799,
45
sedangkan koefisien regresinya 0,0387. Hal ini menunjukkan bahwa LDR tidak memiliki pengaruh nyata terhadap ROA. Hasil penelitian ini
mengindikasikan
bahwa
kemampuan
manajemen
dalam
menyalurkan kredit dari pihak ketiga kepada pihak kreditur tidak berpengaruh terhadap tingkat pendapatan, atau profitabilitas Bank Mutiara yang diwakili oleh ROA. Penyebab tidak ada pengaruh LDR terhadap ROA adalah karena pihak Bank Mutiara masih belum memaksimalkan penyaluran kredit dari DPK. Selain itu, jumlah kredit macet pada Bank Mutiara masih tinggi, sehingga kredit yang disalurkan tidak berpengaruh terhadap laba bank. Dengan demikian, Ha 5 yang menyatakan bahwa LDR memiliki pengaruh yang positif terhadap ROA ditolak, atau dengan kata lain terima Ho 5 . 4.10. Implikasi Manajerial Berdasarkan hasil perhitungan analisis regresi komponen utama, maka terlihat bahwa nilai koefisien untuk masing-masing peubah yang memiliki pengaruh paling besar dan nyata terhadap ROA Bank Mutiara adalah CAR dengan nilai koefisien transformasi regresi 0,4756 dan NIM dengan nilai koefisien transformasi regresi 0,1484. Hal lainnya, terdapat peubah-peubah yang tidak memiliki pengaruh nyata terhadap ROA, namun peubah-peubah tersebut tetap harus diperhatikan oleh pihak Bank Mutiara. Peubah-peubah tersebut meliputi NPL dengan
koefisien 0,4756, LDR
dengan koefisien 0,0387 dan BOPO dengan koefisien -0,0262. Hasil penelitian ini menunjukkan hal-hal yang perlu diperhatikan, baik oleh pihak manajemen perusahaan (emiten) dalam pengelolaan perusahaan, dan oleh para investor dalam menentukan strategi investasinya agar usaha tersebut mendatangkan keuntungan. Implikasi manajerial dari hasil penelitian ini untuk masing-masing peubahnya adalah sebagai berikut : 1.
CAR memiliki pengaruh paling nyata terhadap ROA. Besarnya koefisien rasio CAR adalah 0,4756. Nilai koefisien ini menujukkan bahwa CAR memiliki pengaruh besar bagi ROA. Hal ini berarti tingkat kecukupan modal suatu bank merupakan faktor penting yang harus
46
dipenuhi. Bagi pihak emiten, merujuk pada penelitian ini, diharapkan selalu menjaga tingkat kecukupan modalnya, sehingga pada akhirnya dengan tercukupinya tingkat kecukupan modal, maka kinerja keuangan bank akan meningkat dan berdampak pada profitabilitas yang meningkat.
Salah
satu
caranya
dengan
meningkatkan
modal
perusahaan, yaitu meningkatkan penawaran saham ke publik dan mengundang investor strategik dan mitra strategik baru, baik lokal maupun asing untuk berinvestasi. Selain itu, emiten juga harus berhatihati dalam melakukan pengelolaan bank, agar tidak terjebak dalam pengambilan risiko tinggi (high risk) yang dapat membahayakan keadaan bank, seperti investasi di sektor yang tidak dikuasai oleh bank, pembelian surat berharga yang mempunyai rating rendah dan menyalurkan kredit kepada pihak-pihak terkait, sehingga risiko batas maksimum pemberian kredit (legal lending limit) menjadi lebih tinggi dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. Kemudian, bagi investor, rasio CAR dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menetukan strategi investasinya. Karena semakin besar CAR suatu bank, maka semakin tinggi ROA, yang berarti semakin tinggi kinerja keuangan bank tersebut. 2.
Peubah berikutnya yang memiliki pengaruh nyata terhadap ROA adalah NIM dengan koefisien 0,1484. Hal ini berarti NIM memiliki pengaruh positif terhadap ROA. Bagi pihak emiten, NIM menunjukkan berapa besar bunga bersih yang diperoleh bank tersebut, dimana bunga merupakan hasil dari kegiatan utama bank, yaitu sebagai pihak penyalur dana kepada pihak yang membutuhkan. Oleh karena itu, emiten harus memperhatikan penentuan suku bunga simpanan, baik giro, deposito dan tabungan yang mana bank harus selalu mengikuti dengan cermat, seperti tingkat inflasi, suku bunga luar negeri dan juga suku bunga bank pesaing, serta perkembangan ekonomi baik di dalam maupun luar negeri. Jika pihak emiten dapat menjaga agar rasio NIM berada pada posisi yang tinggi, laba yang diperoleh akan tinggi. Dengan tingginya laba yang diperoleh, maka kinerja keuangan Bank Mutiara akan
47
meningkat. Bagi pihak investor, rasio NIM dapat digunakan sebagai salah satu acuan untuk menentukan strategi investasi. Semakin tinggi rasio NIM, maka semakin tinggi pula kemampuan bank tersebut memperoleh pendapatan bunga bersih, sehingga banyak investor yang tertarik berinvestasi ke bank tersebut. 3.
Terdapat juga peubah yang tidak memiliki pengaruh nyata terhadap ROA Bank Mutiara. Salah satunya NPL dengan koefisien 0,4756. Semakin tinggi NPL, maka semakin tinggi jumlah kredit bermasalah yang dialami oleh suatu bank. Bagi pihak emiten, perlu menjaga agar persentase NPL tidak membesar, atau maksimal sesuai ketentuan BI (5%). Jika lebih dari yang ditetapkan, akan meningkatkan biaya untuk menutupi jumlah kredit macet. Pihak emiten dapat melakukan usaha untuk memperkecil kemungkinan terjadinya kredit macet dengan cara, emiten harus lebih giat dalam menghimpun dana tabungan masyarakat, karena kebanyakan beban bunga yang harus dibayar oleh emiten adalah bunga untuk deposito yang biayanya relatif tinggi. Hal itu membuat penetapan bunga kredit tinggi, sehingga berimplikasi pada banyaknya kredit macet. Selain itu, setiap pelepasan kredit/pinjaman, bank wajib memenuhi prosedur kredit yang telah ditetapkan, seperti pinjaman harus ditutupi dengan agunan yang memadai dan memenuhi syarat legalitas, serta marketable. Calon debitur harus dikenal oleh bank dan memiliki reputasi baik. Selain itu, sesuai penilaian bank, usaha yang dibiayai adalah usaha prospektif dan profitable, serta bank mengadakan monitoring terhadap pinjaman yang diberikan, sehingga dapat dihindari site streaming, atau penyalahgunaan kredit. Bank juga harus mempunyai sistem penyelamatan kredit yang memadai, sehingga apabila terjadi kredit bermasalah dapat segera diatasi. Bagi pihak investor, hendaknya melihat jejak rekaman NPL suatu bank. Jika, NPL bank tinggi, maka jumlah kredit macet pada bank tersebut juga tinggi.
4.
Dari hasil penelitian menunjukkan LDR tidak memberikan pengaruh nyata terhadap ROA dan mempunyai koefisien 0,0387, namun pihak emiten tetap harus menjaga nilai dari LDR, karena LDR merupakan
48
salah satu indikator kesehatan bank yang ditetapkan oleh BI. Emiten harus memperhatikan penyaluran kredit dari dana pihak ketiga kepada kreditur. Artinya, jumlah kredit yang disalurkan harus disesuaikan dengan jumlah dana pihak ketiga sesuai dengan standar BI. Hal ini untuk menjaga tingkat likuiditas emiten jika sewaktu-waktu terdapat penarikan dana dari nasabah. Bagi pihak investor, LDR dapat dijadikan acuan untuk menentukan strategi investasinya. Semakin likuid suatu bank, maka dapat disimpulkan penyaluran kredit yang dilakukannya berjalan dengan baik, maka investor akan tertarik untuk berinvestasi di bank tersebut, karena yakin investasi yang ditanamkan akan selalu menghasilkan keuntungan bagi dirinya. 5.
Peubah BOPO juga tidak memiliki pengaruh nyata terhadap ROA Bank Mutiara. Bagi pihak emiten, pergerakan
BOPO haruslah menjadi
perhatian agar perusahaannya selalu berada pada tingkat efisiensi baik, agar sesuai dengan peraturan BI. Emiten harus dapat memperkecil besarnya BOPO, sehingga biaya operasional yang dikeluarkan bank bersangkutan akan semakin efisien. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melakukan validasi atas setiap biaya yang akan dikeluarkan, apakah memang perlu dikeluarkan, atau tidak, seperti penentuan besarnya biaya promosi dan menghindari denda yang dikenakan oleh institusi pemerintah (BI/Pajak) sebagai akibat dari ketidakpatuhan terhadap pemenuhan ketentuan yang telah ditetapkan. Di sektor pendapatan operasi, bank wajib meningkatkan fee based income seoptimal mungkin,
seperti
pengenaan
tarif
atas
biaya
transaksi
yang
menggunakan jasa bank (fee transfer, provisi kredit, komisi Bank Garansi, fee transaksi valuta asing dan biaya bank lainnya). Sedangkan, Bagi investor, BOPO dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan strategi investasinya. Bank Mutiara harus senantiasa memperhatikan tingkat kesehatan bank dengan menjaga nilai rasio CAR, NPL, NIM, BOPO dan LDR berada di bawah standar yang ditetapkan BI (minimal peringkat III) untuk meningkatkan laba yang diwakili oleh ROA. Dengan laba yang tinggi, bank
49
akan mampu untuk melakukan ekspansi dan memberikan kepercayaan kepada investor yang akan menanamkan modalnya di bank.