II. TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Pembangunan Berkelanjutan di Pulau Kecil Pembangunan yang dilaksanakan di pulau-pulau kecil mengacu pada konsep pembangunan wilayah pesisir, hal ini karena sekalipun ekosistem perairan di pulau-pulau kecil sangat beragam dibanding dengan ekosistem perairan yang terdapat di wilayah pesisir daratan dan pulau besar (Salm dan Clark, 1984), namun kondisi ekologis dan sosial budaya masyarakat pesisir yang bermukim di pulau kecil relatif tidak berbeda secara signifikan dengan masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir pulau besar (Brookfield, 1990). Mengacu pada filosofis di atas, maka pemerintah menyatukan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berada dalam satu payung Dirjen PPPK. Secara ekologis letak pulau kecil terpisah dari Pulau induk (maindland) dengan batasan yang pasti, dan terisolasi dari habitat lain. Karena keterisolirannya ini menimbulkan nilai keunggulan-keunggulan tertentu, terutama keanekaragaman vegetasi dan biota laut, memiliki spesies endemik yang tinggi (Holling et al, 1973). Walaupun berukuran kecil namun secara ekologis, ekonomi, sosial-budaya mampu meningkatkan skala ekonomi dari pengelolaan sumberdaya yang ada. Beberapa batasan tentang pulau kecil adalah pulau yang luasnya ≤ 1.000 km2 atau berpenduduk < 100.000 jiwa (Brookfield, 1990) pendapat yang sama juga dianut oleh Nakajima dan Machida, (1990). Oleh Sugandhy (1980) mengutip dari UNESCO pulau yang luasnya < 10.000 km2 dengan penduduk < 500.000 jiwa, pendapat yang sama juga dikemukakan Dahuri (2002). Pulau yang luasnya < 2000 km2 adalah pulau kecil (Tresnadi, 1998), Hehanusa dan Haryani (1998) menambahkan pulau yang luasnya < 2.000 km2 dan lebarnya < 10 km2, sedangkan Bengen (2001) pulau kecil adalah pulau yang mempunyai luas ≤ 10.000 km2 atau lebarnya < 10 km2, sementara DKP (2001) pulau kecil adalah pulau dengan ukuran luasnya ≤ 10.000 km2, dengan jumlah penduduk 200.000 orang. Jumlah pulau kecil dan sangat kecil di Indonesia ada sekitar 931 buah yang berpenghuni dan sekitar 16.557 buah pulau yang tidak berpenghuni (Dahuri, 2002).
13
Hasil
konferensi
Negara-negara
tentang
lingkungan
hidup
dan
pembangunan yang dilaksanakan di Rio de Janeiro Brasil (1992) yang dikenal dengan “Agenda 21”. Mengamanatkan arah pembangunan berkelanjutan tentang masalah kelautan dan wilayah pesisir, yakni pembangunan berkelanjutan pulaupulau kecil (Cicin Sain dan Knecht, 1998). Implementasi dari semangat “Agenda 21”, maka visi pembangunan kawasan pesisir, pantai dan pulau-pulau kecil oleh Direktorat Jenderal PPPK DKP (2000) adalah untuk mencegah munculnya konflik pemanfaatan, menjamin keberlanjutan pemanfaatan, serta optimalisasi ruang dan sumberdaya untuk peningkatan kesejahteraan dan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi nasional. Selanjutnya menurut Dahuri (2002) pembangunan kelautan, pantai, pesisir dan pulau-pulau kecil harus dilakukan secara terpadu
antara
dimensi yang bersifat “contraint based development” yakni harus berkelanjutan secara ekonomi efisien dan optimal, secara sosial budaya berkeadilan, secara ekologis tidak melampaui daya dukung lingkungan, dan secara politik menjadi perekat bangsa. Dimensi keterpaduan pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga diperkuat oleh Beatley et al, (1994), dan World Coast Conference (1993). Dalam pandangan Beller et al, (1990) pembangunan berkelanjutan di pulau kecil sangat ditentukan oleh kemampuan penduduknya mempertahankan sumberdaya milik pulau tersebut, seperti: (1) energi, air, dan sumberdaya lainnya; (2) sistem alami; (3) tekhnologi; (4) fleksibiltas penduduk atas ekses pembangunan; (5) ketahanan ekosistem dari bencana alam; (6) kerjasama pemerintah dan masyarakat dalam mencegah kerusakan lingkungan; (7) tata nilai budaya. Menurut Cicin Sain dan Knecht, (1998) keberlanjutan pembangunan di wilayah pesisir perlu memperhatikan ekonomi, lingkungan dan keadilan sosial. Kenchington (1995) harus memperhatikan isu biologis, budaya, geologis, yurisdiksi, hukum dan administrasi, politik dan birokrasi, serta sosial dan ekonomi. Wilayah pesisir dapat memenuhi konsep pembangunan berkelanjutan kalau berlanjut secara ekologis, ekonomi, lingkungan, keadilan, moral dan kelembagaan (OECD,1993). Konsep pembangunan berkelanjutan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil harus memperhatikan 4 aspek (Reid, 1995) dalam Kay dan Alder (1999), yaitu:
14
1. Terintegrasinya konsep “equity”, lingkungan dan ekonomi dalam paradigma pengambilan keputusan. 2. Dipertimbangkan secara khusus aspek ekonomi. 3. Dipertimbangkan secara khusus aspek lingkungan Menurut Bengen dan Rizal (2002) pemanfaatn sumberdaya pesisir dan pulaupulau kecil di Indonesia perlu memperhitungkan hal-hal berikut: 1. Rehabilitasi kawasan pesisir dan lautan yang telah mengalami kerusakan 2. Internalisasi biaya eksternalitas ke dalam setiap kegiatan pembangunan 3. Penetapan retribusi atas setiap pemanfaatan sumberdaya kelautan 4. Laut dikelolah secara “co-management” 5. Reorientasi laut sebagai milik negara ke milik rakyat 6. Laut harus dianggap sebagai bagian dari ekosistem global. Pulau kecil yang tak berpenghuni tapi letaknya di jalur perdagangan atau memiliki sumberdaya alam berlimpah akan sangat bermanfaat bagi pembangunan bangsa, berfungsi sebagai benteng perlindungan kehidupan manusia, ekosisitemnya berperan mengatur iklim global dan pengontrol dinamika El-Nino, siklus hidrologi dan biogeokimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah dan penunjang sistem kehidupan (Dahuri, 1998). Keterisolirannya pulau kecil banyak menghadapi kendala dalam pembangunan ekonomi (Hess, 1990). Memiliki kewajiban lebih besar dalam pembangunan infrastruktur, pendidikan, penelitian, dan pemasaran (Hein, 1990) karena itu ketergantungan terhadap bantuan pihak luar sangat tinggi (Hein, 1990). Disamping banyak kendala pulau-pulau kecil memiliki satu atau lebih sistem ekologi pesisir dan sumberdaya pesisir bersifat alamiah, terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, pantai berpasir, pantai berbatu, esturia, laguna dan delta), bersifat buatan meliputi kawasan pemukiman, pariwisata, budidaya ikan. Sumberdaya alam di Pulau-Pulau kecil juga terdiri dari sumberdaya alam terpulihkan, mamalia laut, rumput laut, mangrove dan terumbu karang, dan yang tak terpulihkan. Walaupun banyak kendala, beberapa pulau kecil berhasil membangun menjadi maju (Hamnett, 1990)
15
Sebagai sebuah pulau kecil Gebe sangat tergantung terhadap wilayah luar, masyarakatnya sangat membutuhkan tersedianya usaha ekonomi alternatif untuk mempertahankan keberlanjutan kehidupan. Dengan berakhirnya penambangan nikel, muncul permasalahan-permasalahan yang terkait dengan kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakat, seperti terjadi pengangguran, pendapatan masyarakat dan daerah menurun. Kondisi ini dipastikan lebih parah lagi manakala tidak diantisipasi sejak dini agar tidak terjadi gejolak sosial di masyarakat. Mengacu pada kondisi ini, kemudian mencuat perlu adanya kebijakan pembangunan sektor ekonomi alternatif yang layak dan berkelanjutan dengan mengandalkan potensi sumberdaya Pulau Gebe. 2. 2. Konsep dan Pengaruh Pertambangan Nikel Sumberdaya nikel merupakan logam yang berasosiasi dengan tanah dan bebatuan, umumnya terdapat di perut bumi pada kedalaman 2 sampai 10 meter dari top soil dan sub soil (Sukandarrumidi, 1998). Hasil penelitian Darijanto (1999) di Pulau Gebe, menunjukan pelapukan secara intensif batuan peridotit serpentinit menghasilkan endapan nikel lateritik dan kobalt yang ekonomis untuk ditambang. Jenis nikel yang ekonomis terdiri dari nikel Saprolit dan Limonit. Nikel saprolit berada di daerah punggungan, karena pembentukan zona saprolit yang menghasilkan jenis nikel saprolit yang berkualitas tinggi lebih banyak dipengaruhi struktur batuan asal dibandingkan terhadap morfologinya (Darijanto, 1999). Tambang dapat memberikan nilai tambah, jika deposit yang tersimpan di perut bumi dieksploitasi secara efektif (Yusgiantoro, 2000) sehingga dapat memberikan manfaat secara ekonomi bagi kesejahteraan rakyat, pembangunan wilayah, pertumbuhan industri dan perdagangan, serta peningkatan pendapatan nasional dan daerah, juga merupakan salah satu landasan terpenting pembangunan nasional Indonesia (Katili, 1998).
Penambangan, meliputi pengambilan dan
persiapan untuk pengolahan lanjutan dari benda padat, cair dan gas (Yusgiantoro,
16
2000), semua usaha yang dilakukan untuk mengambil bahan galian dengan tujuan dimanfaatkan lebih lanjut bagi kepentingan manusia Boegel (1976). Penambangan nikel dapat dilakukan secara terbuka dan tertutup, termasuk penggalian, pengerukan dan penyedotan untuk mengambil deposit yang ada di dalamnya (VonBulow, 1993). Penambangan nikel dimulai dengan penebangan pohon dan semak-semak selanjutnya dilakukan pemindahan tanah permukaan ke tempat penampungan sementara (Suhala dan Supriatna, 1995). Untuk memenuhi persyaratan ekspor bijih nikel dari seluruh lokasi penambangan dicampur dengan kandungan nikel paling rendah 2,1%. Bijih nikel Saprolit diproduksi lanjut di Pomalaa menjadi Ferronikel (FeNi), sedangkan biji nikel Limonit seluruhnya dijual ke Australia. Menurut UU. Nomor 11 Tahun 1967 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1980, jenis sumberdaya pertambangan dibagi menjadi tiga golongan (A, B, dan C), dan untuk jenis nikel termasuk dalam golongan A (strategis), untuk pertahanan dan keamanan perekonomian negara. Bahan galian golongan
A
diusahakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), golongan B diusahakan oleh BUMN atau kerjasama swasta, golongan C diusahakan oleh Badan Usaha Swasta (BUS) dan rakyat. Pengusahaannya harus memiliki ijin penambangan yang disebut Kuasa Pertambangan (KP), dengan tugas melakukan: penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan. Kuasa pertambangan berisi hal-hal penting meliputi: letak dan luas wilayah pengusahaan tambang, yang disertai dengan peta dan batas-batasnya (Sukadarrumidi, 1998), seperti: (1) Penyelidikan umum, 1 KP maksimum 5.000 ha sampai 5 KP (25.000 ha); (2) Eksplorasi, satu KP maksimum 2.000 ha, dan paling banyak 5 KP (10.000 ha); (3) Eksploitasi, satu KP maksimum 1.000 ha dan paling banyak 5 KP ( 5.000 ha); (4) Jangka waktu berlakunya KP, yaitu: KP penyelidikan umum waktunya 1 tahun, perpanjang 1 tahun; KP eksplorasi 3 tahun, kemungkinan perpanjangan 2 kali 1 tahun. Untuk mendapatkan Kuasa Pertambangan dilakukan perjanjian Kontrak Karya antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan yang mengusahakan penggalian tambang (UU. Nomor 11 Tahun 1967, dan UU. Nomor 1 Tahun 1967). Peraturan
17
Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 1986 Tentang penyerahan sebagian urusan pemerintah di bidang pertambangan kepada Pemerintah Daerah Tingkat I, yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah mengelolah bahan galian golongan C. Substansi UU. Nomor 22 tahun 1999 dan UU. Nomor 25 tahun 1999 menjelaskan daerah otonom berwenang mengelolah sumberdaya yang terdapat di daerahnya, seperti memberi ijin usaha penyelidikan umum dan eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan. Menurut Abdurrahman dan Setiawan (1999) pelaksanaan UU. Nomor 22 Tahun 1999 di sektor pertambangan umum dapat berjalan dengan baik dan mampu memberikan
kontribusi
maksimal
pada
wilayah
pengembangan kegiatan sektor non tambang,
dan
menjadi
pemicu
perlu adanya kerjasama antar
daerah-daerah otonom yang mempunyai kewenangan mengelolah sumberdaya tambang di wilayahnya (pasal 10, UU. No. 22/1999), pemerintah pusat menentukan kebijaksanaan makro perencanaan
pendayagunaan sumberdaya
tambang (pasal 7 ayat 2 UU No. 22/1999). Peran pemerintah pusat sebagai instrumen optimalisasi pendayagunaan sumberdaya tambang, Sujana (1996) peran pemerintah pusat dalam menyusun rencana makro pengelolaan tambang harus secara detail, efektif dan sistematik. Mangkusubroto (1995) perlu perencanaan sistematik terhadap pengusahaan pertambangan berskala operasi antara 25 –30 tahun bahkan lebih dari 50 tahun. Penambangan nikel dilakukan dengan cara mengeduk pelapukan batuan ultrabasa (peridotite), sehingga praktis seluruh tubuh tanah diambil (Sudrajat, 1999). Bagian permukaan tanah ditampung pada tempat tertentu sebagai tanah penutupan kembali saat rehabilitasi. Salah satu dampak penyebab kerusakan lingkungan di indonesia adalah kerusakan yang disebabkan kegiatan pertambangan. Penambangan yang dilakukan PT Free Port di Papua telah menimbulkan pengaruh terhadap suatu wilayah yang sangat luas, mulai dari lokasi pertambangan di ketinggian sekitar 300 meter diatas permukaan laut membujur ke selatan hingga ke daerah pesisir dan laut Arafura (Purwadhi, 2002). Hasil citra
18
Landsat-TM tahun 2000, luas wilayah daratan yang mendapat pengaruh limbah penambangan adalah 36 ha, sedangkan luas wilayah laut sebesar 84 ha. Dampak penambangan terhadap sumberdaya tanah, seperti: (1) Kerusakan bentuk permukaan bumi; (2) Menumpuknya ampas buangan; (3) polusi udara; (4) Erosi dan sedimentasi; (5) Terjadi penurunan permukaan bumi; (6) kerusakan karena transportasi alam dan yang diakibatkan pengangkutan alat-alat berat (Sudrajat, 1999), permukaan tanah runtuh sehingga menjadi gersang dan sukar dihijaukan kembali (Katili, 1998), menimbulkan erosi dan sedimentasi, terjadinya pemadatan tanah, terganggunya flora dan fauna yang disekitar wilayah tambang (Kusnoto dan Kusumodirdjo, 1995), terjadi perubahan iklim (Hardiyanti, 2000). Naiola, et. al. (1996) kegiatan penambangan dapat mengakibatkan: (1) perubahan sifat fisik dan kimia tanah: (2) pengurangan sejumlah spesies tumbuhan maupun hewan; (3) Kanopi/tajuk tumbuhan menjadi terbuka, sehingga suhu tanah naik; (4) Faktor mikrolimat berubah (klimat disekitar daerah tumbuh aktif); (5) terdorongnya water table lebih mendekati permukaan tanah. Terjadinya kolongkolong bekas galian tambang dan turunnya permukaan bumi (Koesnaryo, 1996) seperti yang terjadi di Pulau Bangka, di Pomala, di Pulau Kijang, tambang batu bara, dan nikel di Pulau Gebe. Ampas buangan atau tailing banyak terjadi di lokasi pertambangan emas seperti di Kalgoorlie Australia Barat, Free Port, dan tambang emas di teluk Buyat Minahasa (2004). Industri mineral di Kanada menghasilkan 1 milyar ton batuan penutup dari kegiatan penambangan dan 950.000 ton lumpur dari hasil ekstraksi logam per hari (Barton, 1993) . Saptaningrum (2001) dalam penelitiannya di Pulau Bangka, menyimpulkan faktor waktu setelah penambangan berhubungan dengan perubahan sifat fisik dan kimia tanah, pada awal penambangan kadar pasir sangat tinggi dan akan berangsur turun sampai tahun ke-15, sebaliknya kadar pasir dan liat menjadi sangat rendah dan berangsur tinggi pada tahun ke-15. Parameter pH, C, N, P, K dan Fe, mengalami kenaikan, sedangkan KTK mengalami kenaikan pada tahun ke-5. Penambangan menyebabkan terangkatnya mineral tertentu yang kemudian meracuni vegetasi dan meningkatkan kemasaman tanah (Greene, 1988).
19
Perairan atau badan air seperti sungai, danau dan laut, serta air tanah sangat rentan terhadap kegiatan-kegiatan disekitarnya terutama kegiatan eksploitasi tambang. Hasil penelitian Purwadi (2002), penambangan di lembah Cartenz dan lembah Wanagon Papua, menyebabkaan buangan limbah tambang yang menyusur sepanjang sungai bermuara ke pantai dan telah merubah ekosistem akuatik. Hasil penelitian yang dilakukan Rompas (2002), aktifitas penambangan di Minahasa menyebabkan 2000 ton limbah setiap hari dibuang ke Teluk Buyat, dan rata-rata 100.000 ton limbah aktifitas tambang yang dibuang ke Teluk Senunu Sumbawa Nusa Tenggara Barat, yang menyebabkan kerusakan ekosistem, terumbu karang dan perikanan di sekitar perairan. Limbah penambangan yang terbawa air ke hilir, menurunkan kualitas perairan yang dapat merubah ekosistem perairan dan komunitas biota air (Vesilind et. al, 1990). Aliran permukaan yang mengandung logam berat akan mencemari perairan permukaan maupun air tanah, selanjutnya merusak keadaan lingkungan dengan aktifitas sistemik dan keadaan cuaca yang buruk (Koyanagi, 1994). Hasil penelitian Deocadiz dan Montano, 1999) di Ranong Thailand partikel-partikel dari limbah tambang yang tersuspensi ke perairan dan mengendap telah menyebabkan kematian tiram dan populasi fitoplanton. Biota yang hidup pada medium terbatas (sungai, danau dan teluk) akan sangat menderita pada kondisi tercemar (Darmono, 1995). Tanah dengan tingkat kemasaman tinggi mengakibatkan logam-logam berat menjadi lebih larut, dan saat erosi dapat tercuci ke daerah hilir, sehingga mencemari lingkungan perairan sekitar (Greene, 1988). Keberadaan usaha industri pertambangan juga berpotensi merusak sumberdaya nilai-nilai sosial budaya lokal dan ekonomi masyarakat yang bermukim di wilayah lingkar tambang (Mangkusubroto, 1995), juga berpengaruh terhadap lingkungan sosial budaya, ekonomi dan warisan nasional (Barton, 1993), memberi kontribusi terhadap devisa negara dan menyediakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, serta menjamin terciptanya kesejahteraan (Salim, 1989), memproses sumberdaya tambang dan mendayagunakan sumberdaya manusia dalam menunjang pembangunan berkelanjutan (Kantor Meneg LH, 1994), merupakan sumber mata pencaharian, mempengaruhi pola kepemilikan
20
lahan, pemanfaatan dan penguasaan sumberdaya alam, pertumbuhan dan perkembangan fasilitas sosial yang pada gilirannya menurunkan tingkat kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat (Djajadiningrat, 2001). Menyediakan bahan baku bagi industri, devisa negara, kesempatan kerja, pengembangan wilayah, dan kualitas SDM, serta penguasaan tekhnologi (Sujana, 1996), juga mengemban misi pembangunan sektoral (Mangkusubroto, 1995). Menurut Sembiring (1997) yang didukung oleh Haswanto (2000), pertambangan menciptakan iklim saling menguntungkan antara kepentingan pengembangan wilayah, sedangkan Amri (2002) pertambangan skala besar mampu membawa perubahan terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang bermukim di wilayah lingkar tambang. Kondisi sosial ekonomi masyarakat Pulau Gebe yang terjadi pada saat sekarang adalah menurunnya pendapatan. Rata-rata pendapatan nelayan sebelum PT ANTAM berhenti beroperasi adalah Rp 50.000,- per hari, namun setelah penambangan berhenti rata-rata pendapatan nelayan Rp 25.000,- per hari, dengan frekwensi penangkapan menurun dari 5 kali seminggu menjadi 3 kali seminggu. Pendapatan rata-rata petani turun dari Rp 30.000,-perhari menjadi rata-rata Rp 15.000,- (Anonim, 2003). Pendapatan rata-rata tukang ojek turun dari Rp 35.000 perhari menjadi Rp 20.000,- perhari. Pendapatan buruh terminal rata-rata perhari Rp 20 000,- menjadi
Rp15.000,-perhari (Anonim, 2003). Pada saat ini ada
sejumlah 218 bekas karyawan perusahaan yang tetap berdomisili di Gebe tidak mempunyai pekerjaan tetap, terjadinya unjuk rasa dan tuntutan pesangon yang sesuai, serta
pembayaran
desakan agar dilakukan perbaikan sarana dan
prasarana umum, seperti listrik, air minum dan dermaga pelabuhan laut (Anonim, 2003).
21
2. 3. Keberlanjutan Kehidupan Setelah Penambangan Kekayaan sumber daya alam senantiasa dibanggakan sebagai salah satu keunggualan komparatif bangsa, namun dewasa ini kebanggaan tersebut mulai dipertanyakan kesasihannya, seiring dengan eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan secara besar–besaran tanpa memperhatikan aspek lingkungan dan keberlanjutannya. Keunggulan komparatif tersebut akan dapat dibangun dengan bertumpuk pada keunggulan komparatif yang dimiliki, namun pencapaian keunggulan kompetitif itu mungkin akan memerlukan jangka waktu yang relatif lama. Percepatan pencapaian keunggulan kompetetif itu mungkin dicapai dengan memanfaatkan sentuhan teknologi dan manajemen profesional. Tanpa sumber daya alam terjaga baik, tentu upaya pencapaian keunggulan kompetetif bangsa akan menjadi mustahil. Penilaian terhadap tersedianya stok volume sumberdaya alam di suatau daerah, dapat dilakukan melalui pendekatan kesejahteraan. Disadari bahwa semakin banyak persediaan atau volume sumberdaya alam di suatu daerah (wilayah) akan semakin sejahtera masyarakat yang mendiami wilayah tersebut, karena sumberdaya alam yang ada dapat dimanfaatkan dalam jangka panjang. Lingkungan alam (Biospher) yang meliputi : air, atmospir, flora dan fauna serta energi adalah merupakan sumber bahan mentah bagi proses produksi dan sebagai penampung limbah (natural asilmilator). Biosper itu ada yang hidup seperti mineral, air, dan udara, dan selalu berada dalam kondisi yang seimbang melalui aliran energi dan daur ulang secara terus-menerus dalam suatu ekosistem, yang oleh Karlen (1997) untuk memenuhi keseimbangan kehidupan perlu dijaga kelestariannya.
Keberlanjutan
ekologis
dibutuhkan
dalam
pengelolaan
sumberdaya, karena sebagai media sentral bagi kehidupan dan proses untuk ekosistem global Wagner dan Hudson (1997). Selanjutnya tanah harus diakui sebagai suatu system kehidupan dinamis yang muncul melalui suatu keseimbangan unik dan interaksi dari komponen biologi, kimia dan fisik tanah (Karlen, 1997). Karena pentingnya tanah dalam melangsungkan
kehidupan
22
ekosistem, maka Wagner dan Hutson (1997) mengatakan mutu dan kualitas tanah perlu dipelihara dari degradasi dan penurunan kualitasnya. Upaya memelihara lingkungan ekologis agar dapat berlanjut dapat dilakukan: (1) Memelihara integritas tatanan lingkungan/ekosistem agar system penunjang kehidupan tetap berlanjut; (2) Memelihara keanekaragaman hayati. Menurut Barry (1997) keberlanjutan menghendaki: (1) Hasil sumberdaya alam yang dieksploitasi, tingkat produktivitas jangka panjangnya tetap dipertahankan; (2). Keuntungan penipisan sumberdaya alam tak terpulihkan perlu diinvestasikan dalam kapital manusia, teknologi, maupun kapital buatan manusia; (3). Kapasitas lingkungan untuk menerima dan mengasimilasi pembuangan tidak dilampaui atau dirusak. Menurut Barry, (1997) penurunan pada satu stok mineral dan hutan harus diganti dengan penambahan lebih banyak sekolah dan pabrik, setiap penduduk lokal harus diberikan kebebasan memperbaiki kehidupannya melalui investasi sumberdaya SDM, energi, modal setiap saat dan dapat memperoleh keuntungan dari modal yang ditanamkan tersebut secara proporsional (Watt, 1973). Dalam
melangsungkan
kehidupannya
manusia
tergantung
kepada
keanekaragaman sumber daya alam untuk pangan, energi, papan, obat-abatan, inspirasi dan banyak lagi kebutuhan lain (Barry, 1997). Keanekaragaman sumber daya alam dan manusia telah mempunyai keterkaitan yang erat dan saling mendukung selama puluhan ribu tahun. Sumberdaya alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup memiliki karakter penting yaitu bersifat terpulihkan dan tak terpulihkan (Suparmoko 2000). Cara masyarakat memanfaatkan keanekaragaman sumberdaya alam menentukakan kelestarian sumber daya ini, dan cara msyarakat mengelolahnya akan menetukan produktifitas sumber daya yang penting ini dan kelestaraian fungsi-fungsi ekologisnya. Kegiatan manusia telah membantu keanekaragaman sumberdaya, dan telah meningkatkan komunitas di dalam lingkungan yang tertentu melalui praktek pengelolaan sumberdaya alam tersebut. Disisi lain manusisa juga menyebaban menurunnya keanekaragaman sumberdaya alam beserta fungsi-fungsi ekologis yang dihasilkan. Munurunnya mutu keanekaragaman sumberdaya alam dapat dilihat dari laju kepunahannya. Hubungan keanekaragaman sumberdaya alam
23
dapat digambarkan dalam diagram siklus interaksi. Dari sudut pandang antroposentris, interaksi dimulai dari faktor-faktor pendorong yang ada di masyarakat, sepeti untuk memenuhi kebutuhan, inspirasi dan fungsi-fungsi ekologis sebagai pendukung kehidupan. Faktor pendorong ini mempengaruhi dampak kegiatan manusia pada keanekaragaman sumberdaya alam, dampak tersebut kemudian akan mempengaruhi kondisi dan dinamika keanekaragaman sumberdaya alam, yang kemudian mempengaruhi nilai-nilai dan fungsi keanekaragaman sumberdaya alam dan pada gilirannya akan mempengaruhi pula ketersedian dan kualitas sumberdaya alam dalam memenuhi kebutuhan manusia dan juga menjamin kelestariaanya. Sementara itu, kondisi dan dinamika, nilainilai dan dampak kegiatan manusia pada keanekaragaman sumberdaya alam dapat pula diupayakan melalui peningkatan kesadaran masyarakat untuk menjadi faktor pendorong bagi berubahnya pola konsumsi efesiensi pemanfaatan sumberdaya dan apresiasi masyarakat. Pengelohan sumberdaya alam terpulihkan dan takterpulihkan harus memberi jaminan bagi keberlanjutan kehidupan, seperti kontribusi pada pertumbuhan sektor jasa dan peningkatan kualita sumberdaya manusia, tanpa merusak sistem alam, sehingga rantai kehidupan
ekosistem tetap terjaga.
Eksploitasi sumberdaya tambang yang takterbaharukan, harus diganti dengan peningkatan pengembangan masyarakat dan peningkatan taraf hidup masyarakat. Dengan terjaganya sistem alam akan dapat mendorong eksistensi keberlanjutan sistem sosial masyarakat. Pada masa lalu eksploitasi sumberdaya alam dilakukan dengan lebih bertujuan pada pertumbuhan ekonomi untuk memenuhi hajat hidup masyarakat, namun eksploitasi sumberdaya alam untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat disaat ini lebih peduli pada aspek tekanan ekologi (ekological stress), seperti menurunya sifat pisik dan kimia tanah, kualitas air, udara, maupun hilangnya vegetasi dan hutan terhadap kondisi dan prospek ekonomi. Tidak terjaganya sumberdaya alam yang mengakibatkan degradasi terhadap sistem alam dan sistem sosial, dapat menimbulkan krisis kehidupan masyarakat secara sosial ekonomi dan lingkungan hidup (Salim,1989), sedangkan
24
krisis ekologi terjadi karena negara, pemodal, dan sistem pengetahuan ”modern” telah mereduksi alam menjadi onggokan komoditi yang bisa direkayasa dan dieksploitasi untuk memperoleh keuntungan ekonomi jangka pendek. Industri keruk kekayaan tambang telah mengganggu dan menghancurkan fungsi ekologis dan keseimbangan alam (Katili, 1998). Eksploitasi sumberdaya alam bagi pembangunan dan kehidupan masyarakat, harus tetap dijaga, sehingga walaupun generasi mendatang memiliki volume sumberdaya alam yang jumlahnya mungkin relatif sedikit, namun memiliki tingkat tekhnologi dan pengetahuan yang lebih baik, serta sumberdaya kapital buatan manusia yang lebih memadai. Eksploitasi deposit tambang (sumberdaya takterbarukan) yang tidak mengindahkan aspek-aspek pelestarian dapat mengakibatkan terganggunya sistem alam yang akan berdampak pada sistem sosial ekonomi (Salim, 1991). Perlu ada keselarasan antara pembangunan ekonomi dengan aspek lingkungan, dan antara lingkungan dengan faktor sosial budaya (Sahlins, 1968). Pembangunan membutuhkan pencapaian keberlanjutan pada dimensi sosial, ekonomi, dan ekologi (Djajadiningrat, 2001). Haeruman (1983) pertambangan sekalipun terletak di daerah pinggiran yang umumnya dihuni penduduk berpendapatan rendah, namun kegiatan ini tetap bersifat padat modal, yang dapat mengancam kepunahan sumberdaya hayati dan satwa. Keberlanjutan kehidupan masyarakat di lokasi lingkar tambang dapat dipertahankan dengan adanya keseimbangan antara eksploitasi sumberdaya alam takterbarukan dengan sistem alam dan sistem sosial yang ada. Menurut Kolopaking (2000) pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi dengan berbasis eksploitasi sumberdaya alam, menyebabkan sebagian besar tatanan lembaga-lembaga dan nilai-nilai sosial masyarakat di daerah terpinggirkan dan mengalami kerusakan, selanjutnya ekonomi lokal terpinggirkan dan melemahkan kemampuan masyarakat mengatasi masalah di daerah. Masalah sosial ini penting karena setiap kegiatan pembangunan di kawasan yang berpenghuni dapat mengancam kehidupan manusia (Soemardjan dan Soemardi, 1976). Masuknya pendatang berprofesi tenaga kerja dengan membawa prilaku sosial yang berbeda dengan masyarakat setempat, akan terjadinya pembauran
25
nilai-nilai sosial kedua masyarakat sehingga terjadi suatu proses perubahan sosial dan pergeseran nilai-nilai (Djajadiningrat, 2001). Gillin dan Gillin dalam Soekanto (1982) pertemuan nilai-nilai sosial yang berbeda, serta hubungan antara struktur sosial yang berbeda, kemungkinan dapat menimbulkan dua hal, yakni (1) gesekan gesekan sosial, dan (2) interaksi sosial yang bersifat assosiatif. Djajadiningrat (2001) keberlanjutan sosial dinyatakan dalam “keadilan sosial”, harga diri manusia dan peningkatan kualitas hidup manusia”, dengan sasaran tercapainya : (1).Stabilitas penduduk; (2) memenuhi kebutuhan dasar manusia; (3) mempertahankan keanekaragaman budaya; dan (4) Mendorong partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan. Keberlanjutan kehidupan juga ditentukan oleh sumberdaya buatan manusia, seperti: sarana, tekhnologi, modal, fasilitas umum (Anonim, 2003). Menurut Myrdal (1979) peningkatan jumlah penduduk merupakan faktor kunci masalah lingkungan. Goldscheider (1971) ada dua proses dasar dalam setiap system kependudukan, yaitu jumlah orang yang masuk dan keluar dari suatu populasi. Daerah pertambangan itu mulanya merupakan wilayah terpencil yang sulit dijangkau oleh budaya modern karena hanya didiami masyarakat asli, namun dengan kehadiran perusahaan kemudian menjadi penarik gerak masuk penduduk. Migrasi masuk dapat bersifat assosiatif dan disasosiatif (Gillin dan Gillin dalam Soekanto, 1982). Asosiatif (mendekatkan) bilamana proses itu menimbulkan kerjasama, asmilasi, akulturasi dan akomodasi yang saling menguntungkan antara penduduk asli dengan pendatang, sebaliknya proses disasosiatif terjadi apabila antara penduduk asli dengan pendatang selalu timbul persaingan, kontroversi dan konflik karena kesenjangan sosial ekonomi. Sitorus (1998) untuk menghindari timbul gesekan sosial perlu memberdayakan masyarakat lokal, seperti berpartisipasi dalam pembangunan, perumahan, pendidikan, kesehatan, listrik, air minum dan sarana/ prasarana, dan saluran limbah. Menurut Gautama dan Kurniadi (1996) gerak masuk dapat menimbulkan pandangan dari masyarakat asli bahwa, perusahaan telah merusak sumberdaya kehidupan mereka. Haswanto (2000) bagi masyarakat setempat, setiap kegiatan yang menggunakan peralatan tekhnologi, tenaga kerja yang berdatangan dari luar
26
wilayah Tambang dapat mempengaruhi pola sosial budaya masyarakat asli. Dalam jangka panjang bila kesenjangan ini tidak diatasi, menurut Loekman (1997) akan memicu kerawanan sosial. Sumanegara dan Orlensandra (1996) untuk membangun hubungan harmonis antara penduduk asli dengan pendatang perlu dilakukan upaya meningkatkan kemampuan masyarakat asli, melalui kemandirian masyarakat untuk aktif pada kegiatan-kegiatan yang bermuara pada perbaikan kesejahteraan hidup. Sumardjan dan Soemardi (1976) penambangan adalah suatu usaha masif yang dapat menarik penduduk masuk ke wilayah sekitar tambang, yang selanjutnya memunculkan lapangan kerja baru, sementara lesuhnya ekonomi dapat mengurangi lapangan kerja, akibatnya akan terjadi migrasi penduduk ke luar (kasus di Singkep dan Pulau Gebe). Keadaan seperti ini, selanjutnya membuat wilayah bekas tambang ibarat kota mati (Loekman, 1997).
2. 4. Masyarakat dan Strategi Meningkatkan Kehidupan Masyarakat adalah kelompok sosial terkecil yang bertempat tinggal di daerah tertentu, yang di dalamnya mengandung seluruh aspek sosial. Menurut Haviland (1993) prilaku ekonomi suatu masyarakat mempunyai makna yang lebih luas lagi, yaitu sebagai suatu proses material yang tidak hanya bertujuan untuk memenuhi kepuasan, namun yang penting bagaimana proses itu dikembangkan oleh masyarakat (Johson dan Earle, 1967). Kehidupan manusia berkaitan dengan habitat ekonomi yang terdiri dari: masyarakat
pengumpul makanan, petani
menetap dan peternak massal. Johson dan Earle (1967), selanjutnya di dalam pendekatan evolusi kultural, bentuk dasar prilaku ekonomi suatu masyarakat, tercermin pada pola hubungan ekonomi subsistem yang berbasis pada rumah tangga dan berorientasi pengamanan. Ngadiyono (1984) masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah lama hidup dan bekerjasama satu sama lain, sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sendiri sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu. Sekelompok manusia yang tersebar, yang mempunyai kebiasaan, anutan, sikap dan perasaan persatuan yang selalu sama (Gillin dan Gillin 1956 dalam Ngadiyono, 1984).
27
Manusia yang secara relatif mandiri, cukup lama hidup bersama, mendiami satu wilayah, memiliki kebudayaan sama dan melakukan sebagian besar kegiatannya didalam kelompok tersebut (Horton, 1999). Menurut Sitorus (1998), kelompok manusia yang telah hidup dan bekerjasama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur dan menganggap diri mereka sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan secara jelas. Dalam pandangan Soekanto (1982) masyarakat terdiri dari unsur-unsur: (1) manusia yang hidup bersama; (2) bercampur dalam waktu yang lama; (3) sadar sebagai satu kesatuan komunitas; (4) sadar sebagai satu system hidup bersama. Koentjaraningrat (1990) masyarakat dikategorikan dalam matriks yang terdiri dari sumbu horizontal (satuan-satuan sosial) dan sumbu vertikal (unsur pengikat satuan sosial). Masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil, adalah satu bagian dari continuum peradaban yang berada pada tiap komunitas dan mencirikan kebudayaan Folk (Redfield dalam Koentjaraningrat, 1990). Banyak masyarakat yang hidup di pulau-pulau kecil di Indonesia merupakan representasi komunitas desa petani dan desa terisolir, dengan salah satu ciri ekonomi adalah kebutuhan hidup terbatas dapat dipenuhi sendiri. Jumlah penduduk pulau kecil sangat terbatas, sehingga prilaku kerjasama sangat dominan (Soemardjan dan Soemardi, 1976) namun kalau sudah berhadapan dengan penduduk luar, umumnya merasa terpinggirkan, ini karena isolasi geografis lingkungan yang membentuk prilaku pergaulan mereka (Koentjaraningrat, 1990). Karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karaktersitik masyarakat agraris, Satria (2002) karena sumberdaya yang dihadapi merupakan sumberdaya terbuka dan tidak terbuka, cara pengolahan lahan, sifat produksi (bergerak dan tidak bergerak), pola panen (kontrol dan tidak terkontrol). Firth dan Raymond (1969) masyarakat nelayan memiliki kemiripan dengan masyarakat petani (misalnya sifat usaha berskala kecil, peralatan dan organisasi pasar sangat rendah). Suatu masyarakat dikatakan memiliki tingkat kehidupan yang sejahtera secara sosial dan ekonomi, jika di wilayah tersebut tersedia lapangan kerja yang
28
secara ekonomis dapat efisien serta layak, secara ekologi lestari, dan secara sosial berkeadilan (Dahuri, 2003). Untuk meningkatkan tingkat kehidupan masyarakat Pulau kecil, maka konsep pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP) dapat dipakai, karena tujuannya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat pesisir. Pelaksanaan program PEMP dilakukan melalui tahapan (1) partisipasi masyakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengembangan, pelestarian pembangunan ekonomi, masyarakat, dan wilayah; (2) Kemandirian pembangunan masyarakat dan wilayah; (3) Kemitraan sejajar antara masyarakat, pemerintah dan pihak swasta dalam mengembangkan kegiatan (DKP, 2002). Selanjutnya, untuk meningkatkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat di wilayah pesisir, adalah: (1) Meningkatkan pendapatan untuk kegiatan pengentasan kemiskinan, selain itu untuk perbaikan akses pelaku yang terdiri dari: (a) akses terhadap sumberdaya; (b) akses terhadap modal; (c) Akses terhadap pasar; (d) Akses terhadap tekhnologi. (2) Penerapan secara utuh, prinsip pembinaan masyarakat miskin di pesisir dengan pendekatan kelompok, kemitraan, keluarga, serta berprinsip pada keserasian dan keswadayaan. (3) Perencanaan pola pelatihan bagi masyarakat. (4) Penggunaan berbagai skim kredit pada usaha yang mempunyai peluang besar melalui prinsip pendekatan kelompok, keluarga, kepemimpinan kelompok, dan sambil bekerja. Sedangkan kebijakan operasional pembinaan masyarakat pesisir, meliputi: (a) Memanfaatkan efisiensi pemanfaatan ruang pesisir, pantai dan Pulau Pulau kecil, tempat masyarakat pesisir melaksanakan ekonomi. (b) Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. (c) Peningkatan pendayagunaan SDA untuk memenuhi konsumsi domestik, ekspor dan bahan baku industri berbasis sumberdaya kelautan. (d) Memberdayakan masyarakat pesisir, pantai dan pulaupulau kecil dalam mengelolah SDA secara berkelanjutan (e) Memperkaya dan meningkatkan mutu SDA,
pengelolaan SDA secara bertanggungjawab, serta
konservasi dan rehabilitasi lingkungan SDA yang rusak.
29
2. 5. Konflik Sosial dan Persepsi Masyarakat Kegiatan eksploitasi penambangan nikel di Pulau Gebe telah menimbulkan implikasi pada terjadinya corak perubahan lingkungan sosial masyarakat yang bersifat positif
maupun negatif. Soekanto (1982) faktor-faktor menyebabkan
munculnya konflik di dalam suatu masyarakat karena adanya perbedaan individu, perbedaan budaya, perbedaan kepentingan, dan terjadinya perubahan sosal di dalam masyarakat. Perbedaan individu/budaya terjadi karena perbedaan lingkungan yang membentuk ke dua belah pihak yang melahirkan prinsip-prinsip nilai kebiasaan atau tatacara yang berbeda. Konflik dapat terjadi jika masing-masing pihak tidak dapat menerima atau menghormati prinsip atau sistem nilai yang dimiliki pihak lain. Bila kedua unsur yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan masyarakat ini semakin terpolarisasi antara unsur dominan dan yang dipinggirkan, maka konflik dapat mengarah menjadi tindak kekerasan (Turner, 1998). Ketidakmerataan distribusi faktor-faktor produksi, umumnya dirasakan oleh masyarakat lokal yang bermukim di sekitar wilayah lingkar pertambangan, padahal penduduk asli yang bermukim di sekitar wilayah lingkar tambang selalu mengharapkan program pengembangan masyarakat yang dapat meningkatkan kehidupan masyarakat setempat. Salah satu faktor terjadinya konflik di Maluku Utara tahun 1999, adalah dari konflik sosial akibat gap sosial antara pendatang dan penduduk asli, akibat terjadi ketimpangan program pengembangan masyarakat yang dilaksanakan PT NHM (Tomagola, 2000). Presepsi adalah suatu proses kognetif seseorang di dalam mengartikan alam yang ada di sekitarnya wilayah mukimnya, melalui indra penglihatan, pendengaran, perasaan, dan penciuman. Thordinke (1968) persepsi merupakan suatu proses pengamatan seseorang yang berasal dari komponen kognitif yang sangat dipengaruhi oleh faktor pengalaman, proses belajar, cakrawala dan pengetahuannya, sedangkan menurut Sarwono (1999) persepsi merupakan proses pencaharian informasi untuk dipahami. Pandangan seseorang terhadap suatu
30
fenomena dapat bersifat konotatif dan denotatif, menolak atau menerima, suka atau tidak suka terhadap obyek yang dihadapinya. Gandadipoetera dalam Illahi (2000) menyatakan persepsi masyarakat terhadap lingkungan sangat dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi, budaya dan pendidikan. Seseorang akan memberi persepsi positif terhadap lingkungan, apabila lingkungan tersebut memberikan kesejahteraan kepadanya, sebaliknya jika lingkungan tidak mampu meningkatkan kesejahteraan, ia cendrung memberi nilai negatif terhadap lingkungan yang dihadapinya. Selanjutnya Thordinke (1968) menyatakan persepsi seseorang dapat terbentuk melalui faktor hereditas dan lingkungan dimana yang bersangkutan melakukan interaksi. Sebagai cermin penglihatan, kekaguman, kepuasan, serta harapan individu terhadap lingkungan (Edmund dan Letey, 1973) dan interpretasi terhadap suatu lingkungan oleh individu yang didasarkan pada latar belakang budaya, nalar dan pengalaman.
2. 6. Indeks Keberlanjutan Kehidupan Masyarakat di Pulau Kecil Kajian tentang keberlanjutan kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Pulau kecil pada bagian terdahulu memang cukup singkat tetapi maknanya sangat luas. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan kehidupan di Pulau kecil yang berkelanjutan mencakup seluruh aspek kehidupan. Aspek-aspek tersebut meliputi beberapa dimensi besar, yang pada setiap dimensi kehidupan ini dapat dideskripsikan variabel atau atribut yang digunakan sebagai indikator keberlanjutan kehidupan. Secara umum dapat disimpulkan adanya 3 dimensi besar yang terkait dengan keberlanjutan kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Pulau Gebe sebagai masyarakat yang hidup di wilayah pesisir dan Pulau kecil. Dimensi yang dikaji meliputi dimensi ekologi, ekonomi, dan sosial-budaya. Dimensi ekologi merupakan dimensi kunci karena keberkelanjutan kehidupan masyarakat sangat ditentukan oleh kesinambungan pemanfaatan SDA dan jasa lingkungan. Dimensi etika, politik dan kelembagaan dapat dicakup didalam dimensi sosial budaya. Teknologi, sarana dan prasarana merupakan dimensi ekonomi. Pada setiap
31
dimensi terdapat banyak atribut, namun untuk memudahkan analisis dan agar hasil analisis dapat menunjukan keberlanjutan yang siginifikan maka atribut yang memiliki kontribusi besar dan akurat menjadi pilihan utama dimensi tersebut. Atribut ekologi dipilih untuk mencerminkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan Pulau-Pulau kecil berdampak secara ekologis terhadap keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan serta ekosistem tersebut sehingga kegiatan pemanfaatannya dapat berlangsung secara berkelanjutan pula. Suatu praktek pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan yang melebihi daya dukungnya akan mengarah kepada ketidakberlanjutan aktifitas tersebut (Aziz, 1998). Selanjutnya ketidakefisiensi dari pada alokasi sumberdaya alam dan berlangsungnya
kerusakan
ekosistem,
akan
membuat
pertumbuhan
dan
pembangunan di masa mendatang tidak berlanjut. Kerusakan yang terdapat pada` ekosistem tanah dan air (laut) dan pencemaran pada setiap ekosistem, serta upayaupaya untuk pencegahan, semuanya ini dapat dinilai sebagai atribut ekologis (Dahuri, 2002). Parameter-parameter ekonomi dapat mencerminkan bagaimana kegiatan pemanfaatan SDA dan lingkungan yang terdapat di Pulau-Pulau kecil berdampak secara ekonomis terhadap keberlanjutan kegiatan tersebut yang pada akhirnya juga akan berdampak pada keberlanjutan ekologis. Menurut Holtus (1999) pertumbuhan ekonomi di banyak negara sangat dipengaruhi oleh keuntungan eksploitasi sumberdaya laut dan pesisir. Di Amerika Serikat, sepertiga dari GDP (Gross Domestic Product) diperoleh dari kontribusi sumberdaya pesisir dan laut, serta satu dari enam pekerjaan berkaitan dengan lautan. Parameter sosial, adalah indiator-indikator yang dinilai dapat mencerminkan suatu sistem pemanfaatan SDA dan lingkungan Pulau-Pulau kecil berdampak terhadap keberlanjutan sosial masyarakat setempat yang selanjutnya berdampak terhadap keberlanjutan ekologi. Aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan (ekologi) merupakan tiga aspek utama yang harus seimbang didalam pembangunan berkelanjutan (Bengen dan Rizal, 2002). Tingkat pendidikan, kesehatan, perumahan, partisipasi, komunikasi dan informasi, adat istiadat, konflik, hukum dan kelembagaan, merupakan parameter-parameter yang dapat mendorong
32
terciptanya rasa keadilan sosial di masyarakat. Terjadinya frekuensi konflik yang tinggi, akan dapat mengancam keberlanjutan kehidupan sosial. Parameter hukum dan kelembagaan dalam dimensi sosial budaya, adalah indikator tersedianya perangkat hukum dan kelembagaan untuk mendorong keberlanjutan pemanfaatan SDA dan lingkungan Pulau-Pulau kecil. Tegaknya peraturan dan perundangan, adat dan agama/kepercayaan, adanya aparat penegak hukum dan tokoh adat yang disegani, merupakan contoh untuk menjamin keberlanjutan pemanfaatan SDA dan lingkunan. Menurut Bengen dan Rizal (2002), kearifan masyarakat adat merupakan pilar yang mampu mempertahankan kelestarian SDA. Hasil studi Bank Dunia di negara-negara Kepulauan Pasifik (World Bank,1999) menyimpulkan bahwa kepatuhan masyarakat pesisir tertinggi dicapai pada saat peraturan terlihat relevan dan dapat diadopsi oleh pemuka masyarakat setempat sebagai aturan lokal. Hal ini berarti bahwa ketersediaan peraturan yang memadai, proses sosialisasi, adanya kelompok tradisional yang dinamis, adanya tokoh masyarakat setempat, keadilan, transparansi, dan demokrasi sangat menentukan keberlanjutan pembangunan.
2. 7. Multidimensional Scaling Analisis “multidimensional scaling” merupakan salah satu metode “multivariate” yang dapat menangani data yang “non-metric”. Metode ini juga dikenal sebagai salah satu metode ordinasi dalam ruang (dimensi) yang diperkecil. Ordinal sendiri merupakan proses yang berupa “plotting” titik obyek (posisi) di sepanjang sumbu-sumbu yang disusun menurut hubungan tertentu dalam sebuah system grafik yang terdiri dari atau lebih sumbu (Legendre dan Legendre,1983). Melalui metode ordinal, keragaman multi dimensi dapat diproyeksikan didalam bidang yang lebih sederhana dan mudah dipahami. Metode ordinasi juga memungkinkan peneliti memperoleh banyak informasi kuantitatif dari nilai proyeksi yang dihasilkan. Pendekatan multidimensional telah telah dikembangkan untuk analisis lingkungan dimana salah satu metode yang digunakan adalah metode multidimensional scaling (Nijkamp, 1980).
33
Legendre dan Legendre (1983) menyebutkan bahwa semua metode ordinasi didalam ruang yang diperkecil disebut secara umum sebagai metode analisis faktor mengingat semuanya didasarkan pada ekstraksi “eigenvector” atau faktor dari matriks asosiasi. Metode ordinal dalam ruang yang diperkecil selain “multidimensional scaling” antara lain adalah komponen utama (PCA), dan analisis korespondensi (correspondence analysis). Multidimensional scaling berkaitan dengan permasalahan bahwa untuk sejumlah asosiasi yang diamati antara setiap pasang N obyek, ditemukan sebuah wakil asosiasi dari obyek tersebut dalam dimensi yang diperkecil sedemikian sehingga dugaan wakil asosiasi obyek-obyek ini hampir sama dengan asosiasi awal (Johnson dan Wichern, 1988 ). Ketika asosiasi diukur dalam skala interval atau rasio maka metodenya disebut metric multidimensional scaling dan jika data diukur dalam skala ordinal atau nominal maka metode analisisnya disebut nonmetric multi dimensional scaling. Jarak yang dipertahankan dalam hal ini adalah urutan peningkatan jarak, karena jarak dari obyek yang diukur secara nonmetrik tidak memenuhi persyaratan jarak yang metric, yaitu: 1. Jika a = b, maka D (a,b)=0 2. Jika a≠D(b,a)>0 3. D(a,b) = D(b,a) 4. D(a,b) + D(b,c)≥D(a,c) Penyimpangan karakteristik jarak setelah ordinasi dibandingkan dengan sebelum ordinasi diukur dalam sebutan “stress” yakni % penyimpangan dari karakteristik awal. Makin kecil nilai stress berarti makin besar representasi jarak dapat dipertahankan pada analisis ordinasi dalam ruang yang diperkecil atau hasil analisis makin dapat dipercaya. Nilai stress = 10 % dianggap cukup sedang; stress = 20 % dianggap kurang (Johnson dan Wichern, 1988). Namun demikian dengan pendekatan RAPFISH penggunaan kriteria stress ≤ 25 % untuk dapat menerima hasil analisis multidimensional scaling. Nilai stress akan sangat dipengaruhi oleh dimensi akhir yang dibuat, makin besar dimensi akhir yang dibuat makin kecil nilai stress.