BAB II
EKSPLORASI ISU BISNIS
2.1
Latar Belakang Isu Bisnis
Bagaimana seharusnya untuk mengelola suatu instansi pemerintahan yang berhubungan dengan masyarakat umum? Pertanyaan ini kerap muncul dalam banyak diskusi mengenai kebijakan publik yang mengandung unsur‐unsur politis (Hughes, 1998). Apa yang harus pemerintah lakukan? Banyak pendapat yang muncul berkaitan dengan pertanyaan ini. Salah satu pendapat yang dapat dijadikan acuan adalah pendapat dari Corbett (1992) tentang manajemen pada suatu instansi publik. Menurut Corbett: “Manajemen pada instansi publik harus terdiri dari mekanisme kontrol, pengarahan, pengawasan, dan evaluasi terhadap fungsi‐fungsi yang ada pada suatu departemen dan pihak berwenang, untuk memastikan bahwa manajemen pada instansi publik telah dilakukan dengan efektif dan efisien”. Pertanyaan berikutnya yang muncul yaitu, sampai sejauh mana keterlibatan pemerintah sebaiknya dilakukan dalam masalah‐masalah yang menyangkut sektor publik? Jawaban untuk pertanyaan tersebut kembali kepada kewenangan pemerintah. Untuk Indonesia, mekanisme mengenai pengaturan masalah‐masalah yang berkaitan dengan sektor publik telah tercantum dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 1. Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa bumi, air dan segala isinya yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Pemerintah dapat mendirikan suatu perusahaan atau badan hukum yang dimiliki dan diatur oleh pemerintah. Bahwa kepemilikan pemerintah terhadap badan usaha tersebut menimbulkan banya kontroversi, hal tersebut merupakan justifikasi dari tanggung jawab pemerintah untuk melindungi kepentingan publik (Miah, 1988). Masih banyak pendapat lain yang mendukung pengelolaan sektor publik untuk diserahkan kepada pemerintah, 17
tetapi pada dasarnya hendaknya siapapun yang mengelola suatu bidang yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, hendaknya memperhatikan kepentingan masyarakat tersebut dan harus menjamin bahwa dalam pelaksanaannya
tidak
terdapat
penyimpangan
terhadap
pemenuhan
kebutuhan publik. Pengelolaan sektor publik saat ini masih belum dapat dikatakan baik. Akibatnya banyak peluang untuk menjadi organisasi yang lebih global, dengan berkembangnya teknologi informasi dan peluang untuk membangun suatu kerjasama internasional, masih belum dapat dioptimalkan. Sebagai reaksi akan kegagalan tersebut, pemerintah mencoba untuk melakukan reformasi atas sistem manajerial dan anggaran dalam instansi publik ke dalam suatu sistem kepemimpinan yang baru, dimana dilakukan otonomi atau desentralisasi dalam hal pengambilan keputusan (Savoie, 1994). Perubahan paradigma tersebut juga berpengaruh terhadap fokus dari pimpinan instansi publik dari yang sebelumnya, hanya mematuhi perintah atasan menjadi lebih fokus pada pengambilan keputusan berdasarkan masukan data/fakta yang diperoleh. Dari organisasi yang sebelumnya hanya melakukan proses dan prosedur yang sudah ada saja, menjadi organisasi yang bertujuan pada pengalokasian sumber daya yang optimal dan melakukan perencanaan strategi untuk mencapai hasil yang baik (Aucion, 1990). Perubahan yang terjadi dapat diklasifikasikan menjadi 2 macam yaitu (Forster, Graham & Wanna, 1996): 1. “Orientasi Manajerial”. Kondisi ini mencakup perubahan pada pelaksanaan sistem birokrasi. Perubahan ini merupakan suatu evolusi dari teknik‐teknik manajerial, dan berorientasi pada hasil, bukan proses. 18
Perubahan tipe ini berlangsung dalam kerangka kerja politis dan struktur administratif yang ada. 2. “Orientasi Struktural”. Kondisi ini merupakan perubahan revolusioner yang ditujukan untuk memperbesar keikutsertaan masyarakat umum dalam suatu bentuk aktifitas yang baru, mengubah keikutsertaan publik, atau bahkan menghilangkannya dari aktifitas yang sebelumnya. 2.2
Permasalahan Isu Bisnis
Berdasarkan kebutuhan akan perubahan tersebut, maka kemudian Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 tahun 2005 mengenai Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU). Peraturan ini memungkinkan institusi layanan publik milik pemerintah untuk dapat mandiri dengan tujuan agar pelayanan menjadi lebih profesional dengan tidak mengutamakan mencari keuntungan. Sesuai dengan pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Perbendaharaan Negara disebutkan bahwa: ”Badan Layanan Umum adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas (Kementerian Hukum dan HAM,2005).” Penjelasan tersebut secara spesifik menunjukkan bahwa BLU merupakan suatu instansi yang berfokus pada pelanggan atau customer. Karakteristik entitas dari Badan Layanan Umum (Departemen Keuangan, n.d.), yaitu: •
Berkedudukan sebagai lembaga pemerintah yang tidak dapat dipisahkan dari kekayaan negara;
•
Menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan masyarakat;
•
Tidak bertujuan untuk mencari laba; 19
•
Dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan produktivitas ala korporasi;
•
Rencana kerja, anggaran dan pertanggungjawabannya dikonsolidasikan pada instansi induk;
•
Penerimaan baik pendapatan maupun sumbangan dapat digunakan secara langsung;
•
Pegawai dapat terdiri dari pegawai negeri sipil dan bukan pegawai negeri sipil;
•
Bukan subyek pajak.
Berdasarkan karakteristiknya, BLU memang tidak bertujuan untuk mencari laba. Akan tetapi dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan oleh masyarakat, maka BLU harus dikelola secara otonom dan memiliki fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan secara efisien dan produktif seperti layaknya korporasi, sehingga dapat meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum, serta menerapkan praktek bisnis yang sehat melalui good corporate governance. Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah mengenai Badan Layanan Umum, maka diharapkan pada masa‐masa yang akan datang diharapkan akan tumbuh sejumlah lembaga/instansi pemerintah yang juga dikelola dengan manajemen modern dan berfokus kepada masyarakat dengan mengedepankan kualitas pelayanan serta efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya. Bidang‐bidang kegiatan pemerintahan yang layak menerapkan BLU adalah (Departemen Keuangan, n.d.): •
Instansi yang memberikan layanan barang/jasa, seperti rumah sakit, perguruan tinggi, balai benih dan lembaga litbang; 20
•
Instansi yang berfungsi mengelola kawasan, seperti otorita dan kawasan ekonomi terpadu;
•
Instansi yang berfungsi mengelola dana‐dana khusus untuk meningkatkan ekonomi masyarakat seperti penyelenggaraan dana bergulir untuk masyakarakat.
Keberadaan rumah sakit sebagai tumpuan pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia saat ini adalah sangat penting. Namun, fungsi yang disandangnya tersebut ternyata kurang mampu untuk diterjemahkan dalam pelaksanaan kegiatan sehari‐hari. Banyak masyarakat yang mengeluh mengenai kualitas pelayanan rumah sakit yang dinilai masih rendah. Keluhan tersebut terutama ditujukan terhadap rumah sakit yang berada di daerah (RSUD) atau rumah sakit milik pemerintah. Penyebab dari banyaknya keluhan yang terjadi disebabkan karena masalah keterbatasan dana, sehingga baik RSUD maupun rumah sakit milik pemerintah tidak dapat mengembangkan mutu layanannya. Hal ini disebabkan karena peralatan medis yang terbatas, maupun kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang rendah. Seluruh Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dan rumah sakit milik pemerintah perlu mempersiapkan diri untuk menjadi Badan Layanan Umum (BLU). Konsep BLU tersebut memungkinkan rumah sakit untuk mengelola pendapatannya sendiri dan menggunakannya secara langsung untuk pemenuhan kebutuhan operasionalnya. Dengan konsep ini diharapkan bahwa tidak akan terjadi stagnasi pembiayaan sehingga rumah sakit dapat mengembangkan mutu pelayanannya untuk melayani masyarakat Indonesia. Pengelolaan keuangan secara mandiri diharapkan dapat menjadikan pelayanan terhadap publik lebih profesional, tanpa terhambat birokrasi. Perubahan ini
21
memungkinkan untuk mengelola rumah sakit seperti institusi bisnis yang berorientasi kepada masyarakat sebagai pelanggan atau customer. 2.3
Posisi Permasalahan Isu Bisnis
Tujuan dari dibentuknya Badan Layanan Umum (BLU) ini seperti dijelaskan dalam sosialisasi oleh Humas Departemen Keuangan Republik Indonesia bahwa (Departemen Keuangan, n.d.): 1. Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum; 2. Fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas; 3. Penerapan praktek bisnis yang sehat. Dijelaskan pula bahwa dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah tentang Badan Layanan Umum, diharapkan pada masa‐masa mendatang akan tumbuh sejumlah lembaga/instansi pemerintah yang juga dikelola secara modern dengan mengedepankan kualitas pelayanan serta efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya. Pemerintah sadar bahwa mereka harus meningkatkan performa dari instansi yang berhubungan dengan pelayanan publik, dan hal tersebut tidak dapat dilakukan dengan prinsip birokrasi yang ada saat ini. Instansi pemerintah harus diberikan suatu kebebasan dalam mengatur keuangannya sendiri, sehingga dapat melakukan proses penciptaan nilai terhadap masyarakat yang lebih baik lagi. Reformasi pada instansi pemerintah ini, dilakukan untuk mengikuti langkah‐langkah atau aktifitas yang dilakukan oleh sektor swasta.
22
Model BLU juga membuat instansi pemerintah terjebak antara sistem manajerial publik, yang membutuhkan transparansi dan tanggung jawab kepada pemerintah, dengan sistem manajerial perusahaan swasta yang berbasiskan komersial. Perbedaan lingkungan dalam hal manajemen perusahaan publik dengan swasta, menyebabkan perlunya suatu perencanaan strategi yang berbeda pula. Perencanaan strategi tersebut harus dilakukan untuk menjawab tantangan dalam pelaksanaan BLU ini. Tantangan yang harus dihadapi oleh para rumah sakit yang diharapkan untuk menjadi Badan Layanan Umum ini adalah bagaimana untuk menyeimbangkan antara tanggung jawab terhadap pemerintah dan masyarakat, setelah diserahkan pengelolaan instansi secara otonom, dengan kebutuhan untuk selalu bertindak cepat, dalam rangka menangkap peluang yang ada, dalam rangka proses inovasi dan pengembangan terhadap pelayanan publik. 2.4
Perumusan Conceptual Framework
Pada proyek akhir ini, dasar pemikiran awal yang digunakan adalah mengacu kepada perubahan dalam pengelolaan instansi, dari yang tadinya dikelola oleh pemerintah, menjadi dikelola secara mandiri dan inovatif seperti layaknya institusi bisnis. Faktor‐faktor yang dapat mempengaruhi perubahan dalam pengelolaan instansi, menjadi instansi yang otonom dan inovatif ini dapat ditentukan dan dijelaskan satu per satu sehingga terbentuklah peta pemikiran konseptual seperti Gambar 2.1 di bawah ini. Faktor‐faktor ini ditentukan melalui studi pustaka dan juga mengacu kepada pendapat para pemerhati dalam hal perubahan status badan hukum rumah sakit menjadi Badan Layanan Umum.
23
Pengelolaan Keuangan Perkembangan
Kinerja Instansi
Teknologi
& Peluang Tumbuh
Rumah Sakit Mata Cicendo
Persaingan / Kompetisi
Sumber Daya
Kebutuhan
Strategi Instansi
Masyarakat
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Konseptual
2.5
Analisis Situasi Bisnis
Rumah sakit merupakan salah satu pelayanan publik yang harus terus‐menerus ditingkatkan pelayanannya. Pelayanan yang diberikan oleh pihak rumah sakit harus menuju service excellence (standar pelayanan prima), yaitu pelayanan yang berorientasi pada customer. Perubahan status badan hukum rumah sakit merupakan suatu upaya untuk dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Akan tetapi perubahan tersebut mengakibatkan pihak rumah sakit harus melakukan pembenahan dalam pengelolaan aktifitasnya. Salah satu faktor yang mendasari perubahan tadi adalah adanya aturan‐aturan maupun prosedur yang terlalu mengikat dan tidak fleksibel dalam pengelolaan 24
sumber daya yang ada, yang menyebabkan kinerja rumah sakit tidak optimal. Berdasarkan faktor tersebut, yang menjadi permasalahan di dalam menjalankan roda organisasi rumah sakit, maka dipandang perlu untuk dilakukan perubahan bentuk status hukum yang ideal. Perubahan ini harus dilakukan untuk menjadikan bentuk badan hukum yang terbaik dan terpilih, yang dapat diimplementasikan di RS pemerintah. Dasar dari perubahan bentuk status hukum rumah sakit adalah adanya otonomi/kewenangan mandiri di dalam mengelola rumah sakit untuk meningkatkan pelayanan kesehatan secara efektif dan efisien. 2.5.1
Analisis terhadap Pengelolaan Keuangan
Pengelolaan keuangan di rumah sakit menjadi isu utama dalam perubahan bentuk badan hukum, menjadi Badan Layanan umum yang terjadi saat ini. Selama ini pengelolaan keuangan, karena masih bestatus perusahaan jawatan, maka penerimaan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) harus diserahkan ke kas negara, dan rumah sakit tidak diperkenankan untuk memakai langsung uang yang diterima melalui jasa pelayanan masyarakat, meskipun rumah sakit membutuhkan dana untuk kepentingan pelayanan. Menurut Ketua Umum Asosiasi Rumah Sakit Daerah Indonesia (Arsada), Hanna Permana Subanegara (Departemen Kesehatan, n.d), 80% kondisi RSUD saat ini masih dikelola secara birokratis, sedangkan 20% sisanya sudah dikelola secara swadana. Pengelolaan dengan metode birokratis berarti bahwa RSUD dikelola dan mendapatkan anggaran dari kas pemerintah. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya justru RSUD‐RSUD tersebut yang memberikan setoran kepada kas pemerintah dan harus diberikan dalam waktu satu kali 24 jam.
25
2.5.2
Analisis terhadap Sumber Daya Instansi
Saat ini pengelolaan sumber daya yang ada di lingkungan instansi rumah sakit belum dilakukan dengan baik. Pemanfaatan sumber daya yang ada masih terbentur dengan adanya aturan‐aturan yang membatasi rumah sakit untuk dapat mengoptimalkan kinerja sumber daya yang ada, baik manusia maupun asset‐aset yang rumah sakit miliki. Selama ini karena terbentur masalah birokrasi dalam hal persetujuan penggunaan sumber daya, menyebabkan rumah sakit menjadi terkesan lambat dalam melakukan suatu inovasi dan pengembangan kualitas layanannya. Fleksibilitas dalam pemanfaatan aset dan pengelolaan sumber daya manusia yang dimiliki akan memberikan kesempatan kepada pihak rumah sakit untuk mengoptimalkan aktifitas‐aktifitas yang berlangsung, terutama dalam hal operasional instansi dan peningkatan sumber daya manusia. Dengan fleksibilitas dalam pengelolaan secara mandiri, pihak rumah sakit dapat memaksimalkan kinerja aset yang ada, termasuk dengan melakukan suatu proses pemeliharaan untuk memastikan bahwa peralatan yang ada dapat digunakan sesuai dengan fungsinya. 2.5.3
Analisis terhadap kondisi persaingan
Globalisasi membawa dampak yang sangat besar dalam perubahan kondisi persaingan yang ada di dunia ini. Dengan semakin mudahnya mendapatkan informasi maka kesempatan tersebut membuka peluang terhadap kompetisi yang akan lebih luas lagi. Sebagai contoh, pada saat ini orang‐orang kaya di Indonesia lebih memilih untuk berobat ke luar negeri, seperti Singapura, untuk mendapatkan kualitas pelayanan yang lebih baik, dengan harga yang kompetitif. Selain itu, saat ini semakin banyak pilihan bagi masyarakat Indonesia dalam memilih fasilitas pelayanan kesehatan mereka, menyusul 26
banyaknya rumah sakit maupun klinik milik swasta yang menawarkan kenyamanan dan kualitas pelayanan yang lebih, jika dibandingkan dengan rumah sakit milik pemerintah. Selama ini, rumah sakit milik pemerintah masih diasosiasikan dengan kotor, kumuh, dan dalam penyelenggaraannya tidak professional. Pihak swasta tentunya melihat suatu peluang dengan banyaknya masyarakat Indonesia yang berobat ke luar negeri dan dengan kondisi rumah sakit di Indonesia saat ini. Persaingan dalam memperebutkan konsumen, masyarakat yang ingin berobat kemudian menjadi semakin tinggi. Apabila tidak ada suatu terobosan dalam hal pelayanan yang dilakukan oleh rumah sakit pemerintah maka dapat dipastikan bahwa mereka akan kalah dalam bersaing dengan rumah sakit maupun klinik milik swasta yang sedang menjamur. 2.5.4
Analisis terhadap strategi instansi
Rumah Sakit Mata Cicendo saat ini merupakan rumah sakit mata pusat rujukan nasional dalam hal kesehatan mata. RSM Cicendo memiliki visi untuk dapat menjadi pusat rujukan kesehatan mata yang mendunia. Untuk dapat mewujudkan visi tersebut, maka RSM Cicendo harus memiliki strategi instansi yang dapat menopang terwujudnya visi tersebut. Pemerintah mensyaratkan kepada instansi yang akan mengajukan perubahan status menjadi Badan Layanan Umum untuk membuat suatu rencana strategi bisnis yang berisikan program mengenai kegiatan yang akan dilakukan dan berorientasi pada hasil yang ingin dicapai dalam waktu 1 sampai dengan 5 tahun ke depan. Strategi yang dikembangkan oleh instansi tersebut harus mengakomodir baik potensi, peluang dan kendala yang mungkin timbul dalam perkembangan instansi. 27
2.5.5
Analisis terhadap perkembangan teknologi
Dewasa ini perkembangan teknologi kesehatan sangat pesat, menyusul banyaknya
penemuan
dan
terobosan
yang
terjadi
dalam
bidang
semikonduktor. Perkembangan tersebut menyebabkan banyaknya penemuan mengenai teknologi dan alat‐alat yang dapat membantu untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Teknologi‐teknologi yang baru tersebut memungkinkan untuk melakukan efisiensi dalam hal pelayanan dan peningkatan kualitas pelayanan. Apabila RSM Cicendo tidak dapat memanfaatkan kemajuan teknologi ini maka tujuan dari pembentukan Badan Layanan Umum, yang berkomitmen untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, tidak akan berpengaruh secara signifikan. 2.5.6
Analisis terhadap kebutuhan masyarakat
Secara global, badan kesehatan dunia, World Health Organization (WHO), bekerjasama dengan International Agency for Prevention of Blindness (IAPB) telah mencanangkan satu inisiatif global untuk penanggulangan masalah kesehatan mata dan kebutaan di seluruh dunia, yaitu program Vision 2020, “the right to sight”. Tujuannya adalah menurunkan jumlah kebutaan yang dapat dicegah menjadi 0.5% pada tahun 2020, dan memberikan hak untuk melihat pada semua penduduk dunia. Tujuan ini pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas kehidupan. Karena itu program ini melibatkan peran serta aktif pemerintah, WHO, profesi kesehatan, institusi filantrofis, dan Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional yang terlibat program pencegahan kebutaan serta sektor bisnis yang menyangkut kesehatan mata seperti Carl‐Zeiss, Scan Optic, perusahaan obat maupun Bank Internasional dan individu yang kesemuanya akan bekerja sama dalam satu tim dunia (global partnership). 28
Sampai saat ini diperkirakan terdapat 45 juta penderita kebutaan (80% dapat dicegah) dan 135 juta penduduk menderita gangguan penglihatan di dunia. 90% penderita tersebut adalah penduduk negara berkembang; 9 juta penderita buta hidup di India, 6 juta di China, 7 juta di Afrika, dan 3 juta di Indonesia. Diketahui pula bahwa masyarakat yang tinggal di negara berkembang mempunyai kemungkinan untuk menjadi buta 5‐10 kali lebih besar dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di negara maju. Jumlah ini bertambah dengan penderita baru sebanyak 7 juta penduduk yang menjadi buta setiap tahun. Bila upaya penanggulangan dan pencegahan kebutaan tidak ditingkatkan, jumlah penduduk buta akan meningkat menjadi lebih dari 100 juta pada tahun 2020 (Sirlan, n.d). Masyarakat Indonesia dewasa ini semakin sadar akan pentingnya kesehatan mata untuk meningkatkan perkembangan intelektual dan produktivitas mereka. Bagi masyarakat yang mampu dan mengerti, masalah kesehatan ini bukan merupakan kendala, namun bagaimana dengan masyarakat yang tidak mampu dan tidak mengerti? Bagaimana pemerintah menyediakan pelayanan kesehatan mata agar dapat dijangkau oleh masyarakat miskin dan tidak mampu? Keberadaan Rumah Sakit Mata Cicendo, merupakan salah satu bentuk upaya pemerintah dalam mengatasi masalah kesehatan mata melalui pelayanan kesehatan mata spesialis. Untuk itu RSM Cicendo harus melakukan suatu perubahan dalam pengelolaan manajemen rumah sakit sehingga dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat akan kesehatan mata. 2.5.7
Analisis terhadap kinerja instansi dan peluang untuk tumbuh
Rumah Sakit Mata Cicendo bertanggung jawab untuk dapat melakukan evaluasi kinerja. Hasil evaluasi pengukuran pencapaian kinerja ini dapat dijadikan gambaran mengenai apakah target dari instansi terhadap kegiatan 29
yang telah dilakukan telah berhasil atau tidak. Rumah Sakit Mata Cicendo juga bertanggung jawab untuk dapat melakukan identifikasi mengenai peluang‐ peluang yang harus ditangkap dan dijadikan pelayanan, sebagai bagian dari rencana strategi bisnis untuk pertumbuhan instansi. Hasil evaluasi dan indentifikasi peluang ini dapat dijadikan acuan untuk melakukan perubahan dalam pengelolaan instansi sehingga diharapkan dapat terjadi perbaikan kondisi instansi sesuai dengan kebutuhan akan pencapaian visi dan rencana strategi instansi. 2.6
Akar Masalah
Untuk dapat sukses dalam melakukan mengimplementasikan perubahan pengelolaan instansi rumah sakit untuk menjadi Badan Layanan Umum maka terdapat dua langkah yang harus dilakukan, seperti ditunjukkan Gambar 2.2. PERUBAHAN BUDAYA INSTANSI
PERUBAHAN PADA INTERNAL ORGANISASI
PERUMUSAN RENCANA STRATEGI
PERUBAHAN PENGELOLAAN INSTANSI RUMAH SAKIT MENJADI BADAN LAYANAN UMUM
PERUBAHAN PENGELOLAAN KEUANGAN
PERUBAHAN PADA SISTEM BIROKRASI
PELAPORAN DAN TANGGUNG JAWAB KEPADA PEMERINTAH & MASYARAKAT
Gambar 2.2. Perumusan Akar Masalah
Langkah yang pertama adalah dengan melakukan perubahan pada internal organisasi dan juga perubahan pada sistem birokrasi yang berhubungan 30
dengan pemerintah. Perubahan pada internal organisasi harus dilakukan dengan melakukan perubahan pada budaya instansi dan juga dengan merumuskan rencana strategi yang akan dilakukan. Suatu instansi harus memiliki budaya yang tepat dan kuat yang dapat mendukung dan sesuai dengan strategi pengelolaan bisnis sehingga mampu menjaga pertumbuhan di masa sekarang dan yang akan datang. Perubahan pada sistem birokrasi meliputi perubahan dalam pengelolaan keuangan instansi dan juga pada mekanisme pelaporan dan tanggung jawab kepada pemerintah dan masyarakat. Untuk mengadakan peninjauan terhadap budaya instansi, maka perlu dilakukan suatu penelitian yang bertujuan untuk mengidentifikasi budaya instansi yang ada saat ini dan budaya yang diperlukan oleh suatu instansi/organisasi untuk dapat menjawab semua tantangan bisnis, sehingga instansi tersebut dapat mengatasi kesenjangan antara budaya perusahaan yang diinginkan dengan budaya perusahaan yang ada saat ini. Dengan cara demikian perusahaan dapat menentukan perilaku pengelolaan atau manajerial yang tepat untuk memperkuat budaya instansi yang diinginkan untuk meningkatkan efisiensi, keefektifan serta produktivitas instansi.
31
32