Rubrik Utama
TANTANGAN DAN STRATEGI
Kelembagaan Pangan Indonesia Oleh:
Dr. Ir. Harianto, MS
Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
10
Volume 20 No. 1 Juni 2015
Agrimedia
Peran Pangan Bagi Ekonomi Indonesia Salah satu dasar penting bagi Indonesia yang unggul adalah kualitas sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya manusia tidak saja ditunjukkan oleh tingkat pendidikan, keterampilan, ataupun intelektualitas yang tinggi, tetapi dicerminkan juga oleh manusia yang sehat jasmani dan mampu melakukan fungsinya dengan optimal. Komponen utama untuk pembangunan manusia adalah kecukupan pangan. Asupan pangan yang cukup dan dalam komposisi gizi makro dan mikro-nutrisi yang berimbang, terutama sejak usia dini, akan berdampak positif bagi peningkatan kualitas sumberdaya manusia (Block, 2003). Dengan kata lain, Indonesia yang unggul di masa depan memerlukan jaminan tercapai dan terjaganya ketahanan pangan rakyat. Secara umum ketahanan pangan dapat ditunjukkan oleh “setiap orang di setiap saat memiliki akses, baik secara fisik maupun ekonomi, terhadap pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan kehidupan yang sehat dan produktif”. Secara tersirat terdapat empat syarat yang harus terpenuhi agar ketahanan pangan tercapai, yaitu (a) ketersediaan pangan, (b) aksesibilitas, (c) kerentanan pangan, dan (d) keberlanjutan (Gross et al, 2000). Ketersediaan pangan merupakan syarat penting bagi ketahanan pangan. Pangan perlu tersedia pada berbagai tingkatan, dari produsen sampai konsumen, dan dari tingkat nasional sampai di tingkat lokal. Namun demikian ketersediaan yang cukup belumlah menjamin tercapainya ketahanan pangan. Aksesibilitas, atau kemampuan rumahtangga untuk menguasai pangan yang cukup, merupakan komponen penting lain yang harus ada dalam ketahanan pangan. Akses rumahtangga atau individu terhadap pangan dapat melalui pasar atau non-pasar (transfer atau bantuan). Aksesibilitas memberi penekanan pada pentingnya pendapatan rumahtangga dan program bantuan, baik melalui transfer pendapatan ataupun bantuan pangan. Ketahanan pangan yang berkelanjutan adalah ketahanan pangan yang mampu mengatasi risiko yang ditimbulkan oleh berbagai perubahan domestik maupun luar negeri. Setiap individu dalam keadaan apapun, seperti terjadi paceklik pangan atau krisis ekonomi, harus mampu memperoleh akses terhadap
Agrimedia
pangan yang cukup. Pada tahun-tahun mendatang dapat diperkirakan akan tetap ada segmen masyarakat di Indonesia yang mengalami ketidak-tahanan pangan. Oleh sebab itu untuk memperoleh ketahanan pangan yang berkelanjutan perlu dibangun kelembagaan pangan yang mampu menjamin setiap individu warga negara memiliki akses terhadap pangan yang cukup. Pangan memiliki peran yang penting untuk mencapai Indonesia yang maju, modern, dan kompetitif. Indonesia memiliki bentang daratan dan lautan yang luas dan berada pada daerah tropis, dimana sinar matahari dapat diperoleh sepanjang tahun dan fluktuasi musimnya relatif rendah. Kesuburan tanah dan keragaman hayati yang dimilikinya juga merupakan potensi besar bagi sumber ketersediaan pangan yang beraneka. Oleh sebab itu pangan seharusnya menjadi faktor pendukung, dan bukannya faktor pembatas atau penghambat bagi tercapainya Indonesia yang maju dan sejahtera. Produksi pangan primer dan industri pengolahan makanan memberikan sumbangan yang penting terhadap output nasional, penyerapan tenaga kerja, maupun pengurangan kemiskinan. Sektor pangan memiliki keterkaitan terhadap pengembangan industri hulu, seperti industri sarana produksi dan peralatan pertanian, maupun industri hilir beserta pemasaran dan perdagangannya. Semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat, maka akan semakin turun permintaan langsung terhadap bahan pangan primer. Semakin tinggi pendapatan masyarakat, maka semakin tinggi permintaan terhadap kandungan jasa dan bahan penolong yang terdapat dalam pangan (Norton et al, 2006). Dengan kata lain, grading, standardisasi,
Volume 20 No. 1 Juni 2015
11
Rubrik Utama
peningkatan kualitas, pengemasan, dan pengolahan, akan menjadi komponen penting dalam pangan yang sampai ke konsumen Indonesia. Berbagai aktivitas tambahan yang diperlukan sebelum pangan sampai ke konsumen tentunya dapat menciptakan kesempatan kerja dan nilai tambah dalam perekonomian. Banyaknya keterkaitan ke belakang dan ke depan sektor pangan dan kemungkinan panjangnya rantai nilai dari panen sampai pangan siap dikonsumsi, mengindikasikan bahwa urusan pangan tidak hanya menjadi tanggungjawab atau tugas satu kementerian, tetapi menjadi urusan lintas kementerian atau lembaga. Ketersediaan pangan yang cukup, terutama bahan pangan pokok seperti beras, juga menjadi prasyarat bagi tercapainya Indonesia yang maju, sejahtera dan kompetitif. Beberapa alasan dapat dikemukakan mengapa ketersediaan pangan perlu terus diperhatikan. Pertama, pangan sampai saat ini masih menduduki pangsa penting dalam asupan kalori rumahtangga, terutama rumahtangga pendapatan rendah atau miskin (Timmer, 2004). Kedua, beras masih menjadi komponen yang besar dalam pangsa pengeluaran rumahtangga untuk pangan (Cahya, 2015). Oleh sebab itu, kenaikan harga pangan, terutama beras, di tingkat konsumen secara langsung dapat menyebabkan daya beli rumahtangga turun dengan cepat. Ketiga, harga pangan pokok masih menjadi salah satu acuan penting dalam penetapan besaran upah di tingkat regional maupun di tingkat perusahaan. Peningkatan harga pangan akan menyebabkan meningkatnya tekanan untuk menaikkan upah pekerja industri maupun jasa. Jika peningkatan upah terjadi dan tidak disertai dengan naiknya produktivitas, maka daya saing industri atau jasa akan turun. Keempat, sifat permintaan dan penawaran pangan pokok yang relatif kurang elastis dibandingkan dengan produk industri atau jasa,
12
Volume 20 No. 1 Juni 2015
sehingga apabila terjadi perubahan maka harga pangan cenderung berubah lebih fluktuatif. Dengan demikian kelembagaan yang mengurusi pangan dari hulu sampai hilir, perlu memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam mengantisipasi tingginya risiko produksi dan risiko harga yang ada. Kelembagaan pangan yang strukturnya tambun dan kaku akan kesulitan untuk melakukan respon yang cepat dan tepat terhadap dinamika pasar pangan. Ketersediaan pangan pokok bagi rakyat dapat bersumber dari produksi domestik maupun dari impor. Interaksi perdagangan antar negara yang semakin terbuka menjadikan sumber pangan dapat datang dari manapun. Jika ketersediaan pangan pokok domestik tidak memadai, maka terbuka peluang untuk memanfaatkan pangan pokok di pasar internasional. Pada masa lalu, pasar beras internasional dapat diandalkan sebagai salah satu sarana untuk melakukan stabilitas harga beras dalam negeri, karena harga beras di pasar internasional relatif stabil (Dawe, 2008). Namun demikian bukan berarti pembangunan ekonomi mengabaikan ketersediaan pangan yang bersumber dari domestik. Produksi pangan domestik harus terus ditingkatkan karena memiliki peran penting sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Di samping itu, sampai saat ini terdapat risiko yang besar apabila ketersediaan pangan asal domestik terabaikan. Pertama, pasar pangan pokok belum sepenuhnya mengikuti mekanisme atau kaidah yang menjamin efisiensi. Negara-negara penghasil pangan pokok lebih memprioritaskan kebutuhan pangan domestiknya masing-masing dan setelah itu menjual sisanya ke pasar dunia . Akibatnya, jumlah pangan pokok yang diperjualbelikan di pasar internasional jauh lebih rendah daripada jumlah total yang diproduksi (Childs dan Baldwin, 2010), sehingga pergerakan harga pangan pokok dunia juga cenderung
Agrimedia
lebih fluktuatif relatif terhadap produk industri dan jasa. Kedua, dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat internasional atas lingkungan hidup, maka di masa datang akan terjadi persaingan antara produk pertanian untuk digunakan sebagai bahan pangan dengan produk pertanian untuk digunakan sebagai bioenergi. Harga energi yang meningkat dapat berdampak pada peningkatan harga pangan. Ketiga, ketersediaan pangan dapat menjadi faktor penentu stabilitas pertahanan dan keamanan negara. Pengalaman pada masa lalu mengajarkan bagaimana kekurangan pangan pokok terutama beras dapat berimbas pada stabilitas keamanan. Penduduk yang besar dan tersebar dalam wilayah yang luas dan terpotong-potong oleh lautan menyulitkan mendatangkan bahan pangan pokok ke pasar di tingkat konsumen dalam waktu cepat dan dalam jumlah yang tepat. Kelemahan Kelembagaan Pangan Saat Ini Ketersediaan kalori per kapita yang berasal dari sumber pangan domestik pada dasarnya sudah mencukupi. Namun kecukupan ketersediaan ini masih belum dapat diperoleh secara merata oleh setiap warga negara. Berbagai kasus rawan pangan dan gizi yang muncul, terutama pada kelompok balita dan ibu hamil atau menyusui, serta anak stunting menunjukkan bahwa ketersediaan pangan yang cukup belum menjamin terjadinya ketahanan pangan (Berger et al, 2008). Kondisi ini tentunya harus terus diperbaiki agar dapat diperoleh sumberdaya manusia yang berkualitas dan berdaya saing di masa depan. Perbaikan dapat dilakukan pada sisi produksi maupun di sisi konsumsi pangan.
Agrimedia
Konsumsi pangan penduduk Indonesia diperkirakan masih akan terus meningkat, baik dari aspek kuantitas maupun kualitas. Peningkatan konsumsi terutama disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan. Bahkan untuk konsumsi beras yang diperkirakan akan menurun pada saat pendapatan masyarakat meningkat, ternyata masih menunjukkan keterkaitan yang positif. Artinya, beras belum menjadi bahan pangan yang bersifat inferior. Ketergantungan masyarakat yang tinggi pada sumber kalori dari beras menandakan program diversifikasi pangan belum berhasil dengan baik. Dengan semakin meningkatnya pendapatan masyarakat diharapkan pada masa datang sumber kalori yang dikonsumsi menjadi lebih beragam. Masyarakat yang pendapatannya semakin tinggi diharapkan tingkat ketergantungannya pada sumber kalori dari starchy food semakin berkurang, dan sebaliknya mengkonsumsi lebih banyak sumber kalori yang kualitasnya lebih tinggi, seperti ikan, susu, telur, ataupun daging (Harianto, 2001). Konsumsi pangan yang terus meningkat tentunya perlu diimbangi oleh peningkatan produksi yang lebih besar lagi. Jika pertumbuhan produksi berada di bawah pertumbuhan konsumsi, maka dalam jangka panjang Indonesia akan mengalami defisit pangan dan ketergantungan pada sumber pangan dari luar negeri akan meningkat. Pada sisi produksi, kenaikan dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas dan atau luas panen. Produktivitas masih dimungkinkan untuk meningkat, yaitu dengan memanfaatkan teknologi usahatani yang lebih unggul, baik dalam bentuk benih ataupun metode budidayanya. Untuk menunjang peningkatan produktivitas tersebut diperlukan juga infrastruktur dan kelembagaan penunjang yang lebih baik, baik di sisi hulu maupun di hilirnya.
Volume 20 No. 1 Juni 2015
13
Rubrik Utama
Luas panen juga masih mungkin untuk diperluas. Perluasan terutama perlu diarahkan ke luar daerah Jawa atau diarahkan pada pemanfaatan lahan kering yang saat ini relatif tersedia. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian-penelitian untuk mencari benih atau metode tanam yang sesuai bagi lahan-lahan yang tingkat kesuburannya tidak seperti di Jawa atau yang bukan lahan sawah. Peningkatan luas panen secara ekstensif dapat dilakukan melalui pembaruan agraria. Dengan pembaruan agraria diharapkan juga luas penguasaan lahan per petani dapat meningkat, sehingga distribusi pendapatan menjadi lebih baik. Pembaruan agraria di samping dapat meningkatkan produksi pangan juga dapat memperbaiki penyebaran penduduk agar lebih merata. Namun sangat disayangkan pembaharuan agrarian sampai saat ini belum memperoleh dukungan kebijakan yang nyata dan operasional. Kelembagaan publik yang mendukung aspek produksi pangan sampai saat ini terutama dibebankan pada Kementerian Pertanian. Sedangkan pada era otonomi daerah ini Kementerian Pertanian tidak memiliki jangkauan yang memadai untuk sampai pada tingkat petani. Kementerian Pertanian juga tidak memiliki kewenangan untuk dapat secara efektif mempengaruhi kinerja sektor hulu pertanian, seperti industri pupuk, obat-obatan, dan infrastruktur pertanian. Untuk urusan di luar on-farm (produksi usahatani), kinerja Kementerian Pertanian sangat tergantung pada keberhasilan aspek koordinasi dengan kementerian atau lembaga lain. Ketahanan pangan yang dimiliki Indonesia masih rentan terhadap gejolak yang terjadi di sisi produksi, pemasaran, dan pasar pangan internasional. Produksi pangan meskipun menunjukkan kecenderungan meningkat tetapi sering berfluktuasi pada jangka pendek. Produksi yang fluktuatif yang dikombinasikan dengan sifat permintaan pangan yang cenderung tidak elastis, menjadikan harga pangan naik dan turun secara tajam. Sifat produksi pangan yang cenderung musiman dan konsumsi yang merata sepanjang tahun, menjadikan fungsi lembaga pengolahan dan penyimpanan menjadi penting. Harga pangan yang melonjak-lonjak sepanjang tahun 2015 merupakan salah satu indikator lemahnya kelembagaan pangan di Indonesia.
14
Volume 20 No. 1 Juni 2015
Kelembagaan pangan yang bersifat publik maupun privat ternyata belum mampu menyelaraskan penawaran dengan permintaan, sehingga ekonomi Indonesia rentan menghadapi instabilitas harga pangan. Gejolak harga tidak saja terjadi di tingkat petani produsen tetapi juga di tingkat konsumen pangan. Pasar pangan yang ditengarai cenderung berstruktur monopolistik ataupun oligopolistik sering disebut sebagai sumber gejolak harga pangan. Sedangkan secara teoritis gejolak harga bisa terjadi di semua struktur pasar. Harga di pasar yang berstruktur oligopolistik bahkan cenderung lebih stabil dibanding pasar yang bersifat persaingan. Pentingnya keterlibatan pemerintah dalam pasar pangan bukan hanya karena harga-harga pangan yang fluktuatif, tetapi karena pangan masih menjadi sarana penting bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah melalui berbagai kebijakan dan lembaga yang dimilikinya dapat mempengaruhi produksi, konsumsi, pemasaran, atau pasar pangan untuk menjamin terwujudnya ketahanan pangan yang berkelanjutan.
Agrimedia
Saat ini ada dua lembaga pemerintah yang menjadi penggerak utama urusan ketahanan pangan, yaitu Dewan Ketahanan Pangan (DKP) dan Badan Ketahanan Pangan (BKP). Sesuai penjelasan dalam Peraturan Presiden nomor 83 tahun 2006, DKP merupakan lembaga non-struktural yang beranggotakan 18 kementerian dan lembaga negara yang terkait urusan pangan. Ketua DKP adalah Presiden RI, dan ketua hariannya adalah Menteri Pertanian, sedangkan sekretarisnya adalah Kepala BKP. Secara umum tugas DKP adalah membantu Presiden dalam (1) merumuskan kebijakan pangan yang meliputi bidang penyediaan pangan, distribusi pangan, cadangan pangan, pengeneka-ragaman pangan, pencegahan dan penanggulangan masalah pangan dan gizi; (2) melaksanakan evaluasi dan pengendalian pemantapan ketahanan pangan nasional; dan (3) membangun koordinasi program ketahanan pangan dengan seluruh pemangku kepentingan. Berdasarkan rumusan Perpres tersebut terlihat bahwa tugas DKP sangat penting bagi pembangunan ketahanan pangan di Indonesia, terutama dalam tataran perumusan kebijakan, koordinasi, dan evaluasi.
Pada tataran operasional, peran DKP dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian melalui sekretariat yang dilaksanakan secara ex officio oleh Badan Ketahanan Pangan (BKP). BKP melaksanakan tugas rutin kesekretariatan dan fasilitasi koordinasi anggota DKP atau kelompok kerja dalam melaksanakan pertemuan untuk menyusun kajian-kajian ataupun merumuskan bahan masukan bagi draft kebijakan. BKP adalah salah satu unit bertaraf eselon I di Kementerian Pertanian. Sedangkan urusan ketahanan pangan menyangkut koordinasi 18 kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian. Kewenangan BKP yang terbatas menyulitkan BKP untuk menjalankan fungsinya, terutama fungsi koordinasi. Sesuai dengan rentang kewenangan yang dimilikinya, BKP pada akhirnya hanya sukses dalam merumuskan konsep dan kajiankajian yang terkait dengan ketahanan pangan. Ketidak-sesuaian (mismatch) antara besarnya tugas dan kecilnya kewenangan yang dimiliki BKP, telah menjadikan urusan ketahanan pangan menjadi salah satu titik lemah pemerintahan.
Agrimedia
Di samping DKP dan BKP, pemerintah juga memiliki lembaga yang bernama Bulog untuk melaksanakan berbagai tugas, terutama yang berkaitan dengan pangan pokok beras. Bulog bertugas mengamankan harga pembelian pemerintah di tingkat petani, mengelola stok milik pemerintah, mendistribusikan raskin, serta menjaga kestabilan harga di tingkat konsumen. Pada saat-saat tertentu Bulog juga ditugaskan untuk menstabilkan harga pangan lain seperti gula, kedelai, ataupun daging. Bulog memiliki status sebagai perusahaan umum (Perum). Status ini menjadikan Bulog tidak saja mengemban tugas pelayanan publik tetapi juga bertugas untuk memperoleh keuntungan. Pada satu sisi status Perum menguntungkan Bulog, terutama dari sudut pandang fleksibilitas dibandingkan dengan Kementerian ataupun lembaga pemerintah nonkementerian. Namun pada sisi yang lain, status Perum telah menjadikan Bulog kurang efektif untuk menjadi instrumen kebijakan yang sepenuhnya bersifat publik. Sebagai Perum keputusan yang diambil Bulog lebih didasarkan pada analisis manfaat privat versus biaya privat, sedangkan kebijakan publik didasarkan atas manfaat sosial versus biaya sosial. Dengan demikian sebagaimana DKP dan BKP, Bulog juga mengalami mismatch antara tugas/fungsi dengan statusnya. Jika kondisi ini terus terjadi, maka tidak mengherankan apabila ke depan Bulog akan terus menjadi sorotan publik atas kinerjanya dan pro dan kontra atas posisinya.
Volume 20 No. 1 Juni 2015
15
Rubrik Utama
Dengan terbitnya Undang-Undang nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan, maka ada peluang untuk melakukan penataan ulang terhadap kelembagaan pangan agar menjadi lebih efektif dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Lembaga pangan yang dibutuhkan adalah lembaga yang mampu mengawal proses tercapainya ketahanan pangan dengan tugas dan wewenang yang memadai. Ketahanan pangan yang urusannya bersifat lintas sektor membutuhkan lembaga yang kuat. Perlunya Pangan
Transformasi
Kelembagaan
Pemerintah sejak lama menyadari bahwa pangan adalah komoditas strategis yang pengelolaannya tidak dapat dibiarkan sepenuhnya berjalan sesuai dengan mekanisme pasar. Pemerintahan Sukarno memberi perhatian yang besar pada urusan pangan melalui Program Padi Sentra. Program ini memperkenalkan varietas unggul nasional maupun lokal yang dianggap memiliki produktivitas unggul (Mufti, 2009). Dalam penerapan varietas unggul tersebut, partisipasi masyarakat didorong diantaranya melalui pembentukan Komando Operasi Gerakan Makmur (KOGM). KOGM ini dibentuk berdasarkan Instuksi Presiden Nomor 1 tahun 1959. Program ini kurang berhasil yang disebabkan antara lain karena lemahnya infrastruktur dan sifatnya yang top-down, serta kondisi politik yang tidak kondusif. Pada masa pemerintahan Suharto dibentuk Kementerian Negara Urusan Pangan. Dua tahun berikutnya, untuk pertama kalinya Indonesia memiliki Undang-Undang Pangan (UU No 7 tahun 1996), yang pada tahun 2012 diamandemen menjadi UU No 18 tahun 2012. Dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 Tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Menteri Negara disebutkan Menteri Negara Urusan Pangan, disingkat Menpangan, mempunyai tugas pokok mengenai hal-hal yang berhubungan dengan pangan. Kementerian Urusan Pangan kemudian berubah menjadi Kementerian Pangan, Hortikultura, dan Obatobatan, dan terus berlanjut sampai pemerintahan BJ Habibie dengan nama Kementerian Pangan dan Hortikultura (Harianto, 2013).
16
Volume 20 No. 1 Juni 2015
Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid penanganan ketahanan pangan tetap berfokus pada komoditas beras dan urusannya diserahkan kepada Departemen Pertanian. Pada masa ini dibentuk Badan Urusan Ketahanan Pangan (BUKP) melalui Keppres nomor 136 tahun 1999, yang tentunya berada di bawah Menteri Pertanian. Tugas utama BUKP adalah melaksanakan kajian dan pengembangan ketahanan pangan. Sedangkan distribusi beras tetap dilakukan oleh Bulog, sebagaimana kebijakan pemerintahpemerintah sebelumnya. Setelah Presiden Wahid digantikan oleh Megawati, BUKP dilebur dengan Sekretariat Pengendali Bimas (yang diatur dengan Keppres Nomor 40 Tahun 1997) menjadi Badan Bimas Ketahanan Pangan. BBKP merupakan unit kerja setingkat eselon I dalam struktur Departemen Pertanian, dan ditetapkan berdasarkan Keppres nomor 177 tahun 2000. Tugas dari BBKP adalah melaksanakan pengkajian, pengembangan, dan koordinasi pemantapan ketahanan pangan. Untuk pelaksanaan tugas pemantapan ketahanan pangan di daerah, propinsi maupun kabupaten/kota, dibentuk unit kerja struktural ketahanan pangan dengan tetap berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi. Unit kerja struktural ketahanan pangan di propinsi dan kabupaten/kota memiliki struktur kelembagaan yang bervariasi, baik dalam bentuk institusi/unit kerja maupun eselonisasinya, seperti ada yang berbentuk kantor, subdinas, bagian, bidang, unit pelaksana teknis, sekretariat, ataupun seksi, baik yang berdiri sendiri maupun unit kerja yang digabungkan dengan unit lain atau berada di bawah dinas teknis. Unit kerja ketahanan pangan di propinsi maupun kabupaten/kota memiliki tugas secara umum membantu Gubernur dan Bupati/ Walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam bidang ketahanan pangan. Mengingat ketahanan pangan mencakup aspek antar sektor, maka untuk lebih memperkuat forum koordinasi ketahanan pangan yang ada dibentuklah Dewan Bimas Ketahanan Pangan melalui Keppres nomor 41 tahun 2001. Dewan Bimas Ketahanan Pangan (DBKP) tersebut merupakan hasil transformasi dari Sekretariat Pengendali Bimbingan Massal (Sekdal Bimas). Lembaga
Agrimedia
ini memiliki tugas mengkoordinasi perumusan kebijakan di bidang pemantapan ketahanan pangan nasional, serta melakukan evaluasi dan pengendalian pelaksanaan pemantapan ketahanan pangan nasional. Keppres Nomor 41 tersebut kemudian disempurnakan menjadi Keppres nomor 132 tahun 2001 dengan beberapa perubahan. Perubahan nama DBKP menjadi Dewan Ketahanan Pangan (DKP), untuk menghilangkan citra yang selama ini melekat bahwa Bimas hanya terfokus kepada intensifikasi tanaman pangan saja. Perubahan juga dilakukan pada jabatan Ketua Dewan, yang sebelumnya dijabat oleh Wakil Presiden RI diubah menjadi oleh Presiden RI. Pada periode pemerintahan Megawati, melalui Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 2003, Bulog berubah status dari lembaga pemerintah non-departemen (LPND) menjadi Perum. Kelembagaan BBKP pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono diubah menjadi Badan Ketahanan Pangan (BKP) pada akhir tahun 2005. Tugas BKP sesuai dengan Peraturan Presiden RI nomor 10 tahun 2005 adalah melaksanakan pengkajian, pengembangan, dan koordinasi di bidang pemantapan ketahanan pangan. Namun BKP bukan merupakan lembaga implementasi tetapi berfungsi sebagai lembaga koordinasi baik dalam rumusan kebijakan maupun pelaksanaan kebijakan. Kinerja kelembagaan merupakan kemampuan suatu kelembagaan untuk menggunakan sumberdaya yang dimilikinya secara efisien untuk menghasilkan output yang sesuai dengan tujuannya dan relevan dengan kebutuhan pengguna. Kelembagaan pangan telah mengalami perubahan dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya. Sejak zaman pemerintahan Sukarno sampai pada pemerintahan SBY, kelembagaan pangan masih berfokus pada pengamanan ketahanan
Agrimedia
pangan beras. Tidak mengherankan keberhasilan kelembagaan pangan publik dalam urusan perberasan dapat dikatakan melebihi kinerja dalam urusan komoditas pangan yang lain. Namun, perubahan kelembagaan pangan dari waktu ke waktu tersebut, secara substansial tidak mengalami perubahan yang mendasar. Perubahan yang mendasar hanya terjadi pada lembaga Bulog, yaitu saat berubah dari LPND menjadi Perum. Dengan berubahnya status Bulog, maka kewenangan yang dimilikinya menjadi sangat terbatas. Bulog hanyalah salah satu dari banyak perusahaan yang berada di bawah binaan Kementerian BUMN. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Bulog lebih bersifat korporat dan bukan kebijakan yang setara dengan lembaga publik. Bulog telah menjadi sekedar pelaksana instrumen kebijakan yang telah diputuskan pemerintah. Dengan kata lain, Bulog bekerja atas perintah dan tidak memiliki fleksibilitas untuk mengambil keputusan yang terkait dengan harga pembelian pemerintah di tingkat petani dan keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan impor pangan sebagai bagian dari penguatan ketahanan pangan. Transformasi diperlukan untuk menghilangkan kelemahan kelembagaan pangan yang selama ini ada. Transformasi adalah perubahan yang bersifat strategis dan mendasar. Perubahan-perubahan yang terjadi selama ini lebih bersifat incremental dan tidak mengubah lembaga pangan secara substansial. Permasalahan pangan yang dihadapi Indonesia bersifat kompleks dan lintas sektor. Salah satu sifat kelembagaan pangan yang harus ada adalah mampu melakukan koordinasi dengan efektif antarkementerian dan lembaga.
Volume 20 No. 1 Juni 2015
17
Rubrik Utama
DKP memiliki kemampuan koordinatif ini, tetapi menjadi tidak efektif karena focal point-nya tetap ada di Kementerian Pertanian. Ketahanan pangan direduksi menjadi urusannya Kementerian Pertanian dan ketahanan pangan identik dengan produksi pangan. Kelembagaan pangan yang kuat dan efektif hanya mungkin jika itu berada langsung di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. Pembentukan kelembagaan pangan bisa belajar dari pembentukan UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan). Unit kerja ini dibentuk Presiden SBY untuk menjalankan tugas-tugas khusus, terutamanya membantu Presiden dalam melakukan pengawasan dan pengendalian pembangunan sehingga mencapai sasaran pembangunan nasional secara penuh. Unit kerja ini melaksanakan pengawasan, debottlenecking untuk mengurai masalah-masalah yang terjadi dalam implementasi, melakukan kajian cepat permasalahan yang berpotensi strategis yang dapat menghambat keberhasilan program, dan melaksanakan tugastugas khusus dari Presiden dan Wakil Presiden untuk menyelesaikan ataupun memberi saran-saran penyelesaian masalah dalam waktu cepat. Kelembagaan pangan yang kuat dan efektif minimal memiliki posisi dan wewenang seperti UKP4 ini, sehingga dengan demikian status Bulog seperti saat ini bukan manjadi masalah. Bulog sepenuhnya bisa dijadikan sebagai salah satu instrumen kebijakan pangan tanpa harus diubah statusnya menjadi LPNK (Lembaga Pemerintah Non Kementerian) lagi. Referensi
Block S. 2003. Nutrition Knowledge, Household Coping, and the Demand for Micronutrient-Rich Foods. Food Policy and Applied Nutrition Program Discussion Paper Number 20. TUFTS Nutrition. http://www.nutrition.tufts.edu/documents/ fpan/wp20-demand_params.pdf Childs N, Baldwin K. 2010. Price Spikes in Global Rice Markets Benefit U.S. Growers, at Least in the Short Term. www.ers.usda.gov/umberwaves. Dawe D. 2008. Can Indonesia Trust the World Rice Market? Bulletin of Indonesian Economic Studies, 44(1): 115-132. Gross R, Schoeneberger H, Pfeifer H, Preuss HA. 2000. The Four Dimensions of Food and Nutrition Security: Definitions and Concepts. FAO. Available at: www.fao.org/elearning/course/fa/en/pdf/p01_rg_concept.pdf Harianto. 2001. Pendapatan, Harga, dan Konsumsi Beras. Dalam Suryana, A. dan Mardianto, S. (ed). Bunga Rampai Ekonomi Beras. LPEM-FEUI. Mufti HR. 2009. Kebijakan Pangan pada Masa Sebelum Orde Baru. FIB-UI. Tersedia di: http://lib. ui.ac.id/file?file=digital/127365-RB04H191kKebijakan%20pangan-Analisis.pdf. Harianto (ed). 2013. Penataan Kelembagaan Pangan Nasional. Kantor Staf Khusus Presiden RI Bidang Pangan dan Energi. Norton, GW, Alwang J, Masters WA. 2006. Economics of Agricultural Development: World Food Systems and Resource Use. Routledge, New York. Timmer P. 2004. Food Security in Indonesia: Current Challenges and the Long-Run Outlook. Center for Global Development Working Paper Number 48. Available at: http://papers.ssrn.com/so13/ papers.cfm?abstarct_id=997415.
Berger SG, de Pee S, Bloem MW, Halati S, Semba RD. 2008. Malnutrition and Morbidity Among Children Not Reached by the National Vitamin A Capsule Programme in Urban Slum Areas of Indonesia. Public Health, 122(4): 371-378.
18
Volume 20 No. 1 Juni 2015
Agrimedia