ANALISIS CORAK PERKEMBANGAN USAHATANI UBI JALAR SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA (Studi Kasus Desa Cikarawang dan Desa Purwasari Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor)
SABILIL HAKIMI AMIZUAR
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Corak Perkembangan Usahatani Serta Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya (Studi Kasus Desa Cikarawang dan Desa Purwasari Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2014 Sabilil Hakimi Amizuar NIM H34100149
ABSTRAK SABILIL HAKIMI A. Analisis Corak Perkembangan Usahatani Ubi Jalar Serta FaktorFaktor Yang Mempengaruhinya (Studi Kasus : Desa Cikarawang dan Desa Purwasari Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor). Dibimbing oleh NUNUNG KUSNADI. Pertumbuhan industri-industri hilir pengolahan ubi jalar yang pesat memicu peningkatan ketersediaan ubi jalar sebagai bahan makanan sebesar 70 persen ketersediaan ubi jalar diserap oleh industri pengolahan ubi jalar di Indonesia. Hal ini mendorong intensifitas usahatani ubi jalar untuk meningkatkan tingkat komersialisasinya Namun kontribusi perekonomian Indonesia yang tidak merata mengakibatkan pembangunan infrastruktur dan aksesibilitas pasar ubi jalar yang tidak sama pada setiap daerah sehingga mempengaruhi tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar akibat adanya perbedaan infrastruktur dan aksesibilitas pasar dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat komersialisasii ubi jalar. Penelitian ini dilakukan pada dua Desa yaitu Cikarawang dan Purwasari dimana Desa Cikarawang yang memiliki akses pasar yang lebih dekat dan infrastruktur yang lebih baik daripada Desa Purwasari. Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar di Desa Cikarawang lebih tinggi daripada tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar di Desa Purwasari yaitu 60.58 persen untuk Desa Cikarawang dan 49.84 persen untuk Desa Purwasari. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat komersialsasi usahatani di pengaruhi oleh infrastrutur dan aksesibilitas pasar. Adapun faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi tingkat komersialisasi pada kedua desa adalah luas lahan, jumlah tanggungan keluarga petani, dan harga jual ubi jalar. Kata kunci: aksesibilitas pasar, infrastruktur, tingkat komersialisasi, ubi jalar.
ABSTRACT SABILIL HAKIMI A. The Analysis of Sweet Potato Farming Commercialization Level and Its Determinant Factors (A case of sweet potato smallholder farmers in Cikarawang and Purwasari, Dramaga, Bogor) Supervised by NUNUNG KUSNADI. The massive growth of sweet potato downstream industries in Indonesia has triggered the excalation of sweet potato availability as derivated product ingredient. Almost seventy percent of national sweet potato production was processd by industries. It leads to sweet potato intensification to increase its level of commercialization. However the uneven distribution of Indonesia economy contribution leads to a different infrastructure and market accessibility development. This study that was conducted in two villages namely Cikarawang and Purwasari aimed to identify the level of commercialization of sweet potato farming due to differences in infrastructure and market accessibility and to analyze the factors that affect the level of commercialization of sweet potato farming. Cikarawang has a closer market accessibility and better infrastructure than Purwasari. The result showed that level of commercialization of sweet potato farming in Cikarawang higher than level of commercialization of sweet potato farming in Purwasari (60.58 persent for Cikarawang and 49.84 persent for the Purwasari ). This indicated that the level of commercialization of swet potato farming was determined by infrastructure and market accessibility. The significant factor that influence level of commercialization of sweet potato farming in both two villages are land , farmer family size, and the price of sweet potato. Keywords: infrastructure, level of commercialization, market accessibility, sweetpotato.
ANALISIS CORAK PERKEMBANGAN USAHATANI UBI JALAR SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA (Studi Kasus Desa Cikarawang dan Desa Purwasari Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor)
SABILIL HAKIMI AMIZUAR
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PRAKATA Alhamdulillah, Segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala berkat segala kemurahan dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Corak Perkembangan Usahatani Ubi Jalar Serta Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya (Studi Kasus Desa Cikarawang dan Desa Purwasari Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor)”. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Nunung Kusnadi, MS selaku dosen pembimbing yang telah membantu penulisan skripsi ini. Terima kasih penulis ucapkan pula kepada ibu Dr Ir Dwi Rachmina MSi selaku dosen penguji utama dan Ibu Eva Yolynda Aviny SP MSi selaku dosen penguji komisi pendidikan Departemen Agribisnis. Selanjutnya terima kasih juga disampaikan kepada tim peneliti dari Departemen Agribisnis yang diketuai oleh Ibu Dr Ir Netty Tinaprilla MM atas data-data di lapangan dari penelitiannya yang berjudul “Pengembangan Usahatani Ubi Jalar melalui Peningkatan Pendapatan dan Efisiensi untuk Mendukung Diversifikasi Pangan”. Di samping iu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ahmad Bastari ketua kelompok tani Hurip di Desa Cikarawang dan Bapak Adi Suardi ketua kelompok tani Rawasari di Desa Purwasari yang telah membantu selama pengumpulan data usahatani ubi jalar dilapangan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan motivasinya. Terakhir penulis sampaikan salam semangat dan terima kasih kepada temen-teman Agribisnis 47 IPB dan sahabat-sahabat yang selalu memberi dukungan dan bantuan dalam pembuatan skripsi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2014 Sabilil Hakimi Amizuar
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
ABSTRAK
ii
ABSTRACT
ii
PRAKATA
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
4
Manfaat Penelitian
4
Ruang Lingkup Penelitian
5
TINJAUAN PUSTAKA
5
Subsistensi Pertanian : Indikator Pengukuran dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya
5
Hubungan Kebijakan Pemerintah Terhadap Transisi Pertanian Subsisten ke Komersial
6
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka Pemikiran Operasional METODE PENELITIAN
8 8 13 15
Lokasi dan Waktu
15
Jenis dan Sumber Data
15
Metode Penarikan Sampel dan Pengumpulan Data
15
Pengolahan dan Analisis Data
16
GAMBARAN UMUM PENELITIAN
19
Karakteristik Wilayah
19
Karakteristik Petani Responden
20
HASIL DAN PEMBAHASAN
22
Struktur Biaya Usahatani Ubi Jalar
22
Tingkat Komersialisasi Usahatani Ubi jalar
24
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Komersialisasi Usahatani Ubi Jalar 26 Hubungan Tingkat Komersialisasi Terhadap Keuntungan Usahatani SIMPULAN DAN SARAN
29 32
Simpulan
32
Saran
32
DAFTAR PUSTAKA
33
LAMPIRAN
35
RIWAYAT HIDUP
38
DAFTAR TABEL 1 Perkembangan ketersediaan ubi jalar sebagai bahan makanan dan alokasi konsumsi ubi jalar di Indonesia, 2009-2013a) 2 Perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi ubi jalar di Indonesia tahun 2008-2013a) 3 Karakteristik petani responden di Desa Cikarawang dan Desa Purwasari 4 Struktur biaya usahatani ubi jalar per hektar per musim di Desa Cikarawang dan Desa Purwasari 5 Analisis tingkat komersialisasi usahatani dilihat dari rasio indikatorindikator tingkat komersialisasi usahatani antara Desa Cikarawang dan Purwasari 6 Hasil pendugaan model fungsi regresi terhadap tingkat komersialisasi usahatani 7 Penerimaaan usahatani ubi jalar per hektar di Desa Cikarawang dan Desa Purwasari 8 Keuntungan usahatani ubi jalar per hektar dan R/C rasio di Desa Cikarawang dan Desa Purwasari
2 3 21 23
24 26 30 31
DAFTAR GAMBAR 1 Tingkat Komersialisasi Usahatani 2 Kerangka Operasional
12 14
DAFTAR LAMPIRAN 1 Output analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar 2 Analisis keuntungan per hektar usahatani ubi jalar di Desa Cikarawang dan Desa Purwasari
36 37
PENDAHULUAN Latar Belakang Usahatani komoditi pangan yang subsisten pernah terjadi ketika Indonesia dengan perekonomiannya yang lemah belum bisa memproduksi pangan secara cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Seperti yang terjadi di Jawa dan Madura pada tahun 1963 hanya 21 persen hasil padi yang dijual ke pasar dan sebagian besar lainnya dikonsumsi keluarga petani (Mubyarto, 1989). Salah satu komoditi pangan yang dibudidayakan sebagai makanan pengganti ketika beras tidak cukup pada saat itu adalah komoditi ubi jalar. Usahatani ubi jalar dilakukan oleh para petani dengan orientasi memenuhi kebutuhan pangan keluarga sendiri. Ubi jalar diposisikan sebagai secondary crop yang dibudidayakan oleh petani pada lahan sempit yang hasil panennya hanya cukup untuk menjadi makanan pokok keluarga petani jika produksi padinya tidak mencukupi untuk konsumsi keluarganya. Seiring dengan semakin membaiknya pertumbuhan ekonomi Indonesia, pembangunan infrastruktur pasar, dan penerapan teknologi pertanian, usahatani ubi jalar saat ini dilakukan dengan intensif sehingga komoditi ubi jalar saat ini mengalami perkembangan dengan meningkatnya ketersediaan ubi jalar per kapita per tahun sebagai bahan makanan di Indonesia dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Berdasarkan data neraca bahan makanan ubi jalar, laju peningkatan penggunaan ubi jalar sebagai bahan makanan adalah sebesar 4.26 persen per tahun yaitu dari 7.8 kg/kapita/tahun pada tahun 2009 menjadi 9.15 kg/kapita/tahun pada tahun 2013. Peningkatan ketersediaan ubi jalar sebagai bahan makanan mengindikasikan bahwa permintaan terhadap ubi jalar juga mengalami peningkatan baik untuk di konsumsi untuk rumah tangga maupun untuk bahan baku industri hilir yang mengolah ubi jalar menjadi produk-produk turunan. Sebagian ubi jalar yang tersedia sebagai bahan makanan diserap untuk konsumsi rumah tangga di Indonesia dalam wujud ubi jalar primer yang belum diolah menjadi produk turunan. Berdasarkan data konsumsi menurut Pusdatin yang mengacu kepada hasil Susenas BPS, besaran konsumsi dalam wujud ubi jalar primer pada rumah tangga di Indonesia dari tahun 2009 sampai 2013 berfluktuasi namun laju pertumbuhannya mempunyai kecendrungan mengalami peningkatan sebesar 2.28 persen per tahun yaitu dari 2.24 kg/kapita/tahun pada tahun 2008 menjadi 2.35 kg/kapita/tahun pada tahun 2013 seperti yang tersaji pada Tabel 1. Peningkatan konsumsi ubi jalar sebagai bahan makanan ini dipicu oleh pertumbuhan industri-industri hilir yang menghasilkan produk-produk turunan dari ubi jalar. Sebagai contoh di Kuningan Jawa Barat terdapat PT. Galih Estetika yang mengolah ubi jalar menjadi produk-produk turunan yang memiliki nilai tinggi dengan kualitas ekspor seperti tepung ubi jalar, fried frozen, dan pasta beku (steamed frozen). Selain PT. Galih estetika ada beberapa perusahaan lain seperti PT. Cianjur Asri Mandiri (Jawa Barat); PT. Sumberboga Abadi, PT. Twas Prospekta, Kern Farm (Jawa Tengah); PT. Randutatah Agro Cemerlang, Ganken Farm, Arjuno Flora (Jawa Timur); PT. Toyota Bio Indonesia (Lampung). Masing-masing perusahaan tersebut menerima jatah (quota) untuk ekspor produk
2 turunan ubi jalar. PT. Galih Estetika memiliki kuota terbesar dengan harus memasok 600 ton/bulan atau 150 ton/minggu atau sekitar 7 container 20 feet/minggu sehingga untuk memenuhi kuota ekspor PT Galih Estetika bermitra dengan 2500 petani ubi jalar yang tersebar di Pulau Jawa (Widodo et al, 2005). Tabel 1 Perkembangan ketersediaan ubi jalar sebagai bahan makanan dan alokasi konsumsi ubi jalar di Indonesia, 2009-2013a) Tahun
2009 2010 2011 2012 2013 Laju Pertumbuhan (%) a
Ketersediaan (kg/kapita/ tahun) 7.80 7.45 7.86 8.89 9.15 4.26
Konsumsi Rumah Tangga (kg/kapita/ tahun) 2.24 2.29 2.87 2.35 2.35 2.28
Konsumsi Industri Ubi Jalar (kg/kapita/ tahun) 5.56 5.16 4.99 6.54 6.80 6.13
) Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian
Pada Tabel 1 tersedia data besaran konsumsi ubi jalar yang terserap ke industri hilir nasional pengolahan makanan berbahan dasar ubi jalar dari hasil selisih antara ketersedian per kapita ubi jalar dengan konsumsi per kapita rumah tangga. Berdasarkan Tabel 1 tersebut, besaran pasokan ubi jalar yang terserap ke industri pengolahan ubi jalar juga berfluktuasi dari tahun 2009 sampai 2013 namun memiliki laju pertumbuhan yang meningkat yaitu sebesar 6.13 persen per tahun dari 5.56 kg/kapita/tahun pada tahun 2009 mencapai 6.80 kg/kapita/tahun pada tahun 2013. Dengan demikian pada periode 2009 sampai 2013 rata-rata besaran yang terserap ke industri pengolahan makanan berbahan dasar ubi jalar adalah 70 persen dari ketersediaan ubi jalar (Pusdatin, 2013). Peningkatan laju penyerapan ubi jalar oleh industri pengolahan makanan berbahan dasar ubi jalar (off-farm) secara tidak langsung memicu peningkatan pula pada produksi nasional ubi jalar. Terlihat dalam kurun waktu 6 tahun pertumbuhan produksi ubi jalar Indonesia cenderung meningkat rata-rata 6.72 persen per tahun dari 1 881 761 ton pada tahun 2008 menjadi 2 594 064 ton pada tahun 2013. Produktivitas nasional ubi jalar juga mengalami peningkatan dengan rata-rata diatas angka pertumbuhan produksi yaitu mencapai 8.41 persen per tahun, namun pertumbuhan luas panennya mengalami penurunan yaitu dengan rata-rata 1.40 persen per tahun seperti dikemukakan pada Tabel 2 berikut.
3 Tabel 2 Perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi ubi jalar di Indonesia tahun 2008-2013a) Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Rata-rata a
Luas Panen (Ha) % 174 561 183 874 5.34 181 073 -1.52 178 121 -1.63 178 298 0.09 161 703 -9.30 176 271 -1.40
Produktivitas (ku/ha) % 107.80 111.92 3.82 113.27 1.21 123.29 8.85 139.29 12.97 160.42 15.16 125.99 8.41
Produksi (ton) 1 881 761 2 057 913 2 051 046 2 196 033 2 483 467 2 594 064 2 210 714
% 9.36 -0.33 7.07 13.08 4.45 6.72
) Badan Pusat Statistik
Pertumbuhan positif laju produksi nasional serta meningkatnya laju penyerapan komoditi ubi jalar baik ke industri hilir pengolahan makanan berbahan dasar ubi jalar maupun untuk konsumsi rumah tangga dalam kurun waktu 5 tahun terakhir memperlihatkan suatu dinamisasi yang positif dari sisi supply (produksi) dan demand (permintaan) yang menjadikan ubi jalar sebagai komoditi bisnis. Implikasinya adalah kegiatan usahatani ubi jalar tidak hanya bertujuan untuk konsumsi sendiri, namun akan berorientasi kepada profit dan permintaan/pasar. Keadaan ini akan mempengaruhi corak usahatani ubi jalar yang berkemungkinan arah tujuan dari usahatani ubi jalar berubah dari subsisten menjadi komersil. Pembangunan infrastruktur serta kontribusi perekonomian nasional yang tidak merata di setiap daerah mempengaruhi perkembangan corak usahatani komoditi ubi jalar. Daerah dengan pembangunan infrastruktur yang lambat serta perekonomian yang lemah karena aksesibilitas pasar yang sulit membuat tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar rendah. Sebagai contoh di Provinsi Papua terbatasnya sarana transportasi dalam akses ke pasar dan industri pengolahan ubi jalar membatasi usahatani dan perdagangan ubi jalar. Usahatani ubi jalar tidak dikelola secara intensif karena 75 persen untuk konsumsi manusia dan ternak sedangkan 25 persen dari hasil panen yang dijual (Limbongan dan Soplanit, 2007). Adapun daerah yang memiliki infrastruktur, aksesibilitas pasar, dan pertumbuhan industri pengolahan ubi jalar yang baik contohnya seperti di Provinsi Jawa Barat secara tidak langsung berpengaruh pada pengelolaan usahatani ubi jalar yang intensif. Pada data tahun 2012 Provinsi Jawa Barat yang menjadi sentra produksi ubi jalar nasional, dengan luas panen 26 531 Ha yang lebih sempit dari pada Provinsi Papua yaitu 33 071 Ha dapat memproduksi ubi jalar lebih banyak daripada Provinsi Papua yaitu 436 577 ton berbanding dengan 345 095 ton untuk Provinsi Papua serta produktivitas ubi jalar di Provinsi Jawa Barat sebesar 165.55 kw/ha lebih tinggi daripada Provinsi Papua sebesar 104.35 kw/ha (Kementan, 2013). Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa pembangunan infrastruktur pasar dan pertumbuhan industri hilir pengolahan ubi jalar di Provinsi Jawa Barat memiliki pengaruh terhadap tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar melalui pengelolaan usahatani dengan intensifitas tinggi. Intensifitas usahatani ubi jalar yang tinggi dikarenakan tujuan dari usahatani tersebut bukan hanya untuk memproduksi ubi jalar yang dikonsumsi sendiri
4 namun untuk menyuplai kebutuhan pasar ubi jalar sehingga petani mendapatkan profit dari usahataninya. Perumusan Masalah Pertumbuhan makroekonomi suatu negara melalui pembangunan infrastruktur dan aksesibilitas pasar kepada industri pengolahan produk turunan mempengaruhi tingkat komesialisasi usahatani (Pingali dan Rosegrant, 1995). Perekonomian negara Indonesia yang semakin membaik berimplikasi pada berkembangnya pasar ubi jalar yaitu dengan meningkatnya pertumbuhan industriindustri pengolahan makanan berbasis ubi jalar sehingga memicu peningkatan intensifitas usahatani ubi jalar yang terlihat pada pertumbuhan poduksi dan produktivitas dalam kurun waktu tahun 2009 sampai 2013. Peningkatan intensifitas usahatani ubi jalar mengindikasikan adanya perkembangan corak usahatani atau tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar saat ini. Kontribusi perekonomian Indonesia yang tidak merata mengakibatkan pembangunan infrastruktur dan aksesibilitas pasar ubi jalar yang tidak sama pada setiap daerah. Sebagaimana yang telah diuraikan pada latar belakang dengan memberikan contoh pada dua daerah yaitu Provinsi Papua dan Provinsi Jawa Barat bahwa perbedaan dalam infrastruktur dan aksesibilitas pasar kepada industri-industri hilir berbasis ubi jalar mempengaruhi tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar melalui intensifitas pengelolaan usahatani yang berbeda, maka pertanyaan yang muncul adalah: 1. Bagaimana pengaruh infrastruktur & aksesibilitas pasar terhadap tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar? 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi tingkat komersialisasi atau corak usahatani ubi jalar serta bagaimana pengaruhnya? Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengidentifikasi tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar akibat adanya perbedaan infrastruktur dan aksesibilitas pasar. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi corak usahatani ubi jalar Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi : 1. Sebagai bahan informasi bagi Petani ubi jalar dalam pengambilan keputusan pada usaha budidaya ubi jalar yang dilakukan. 2. Sebagai tambahan informasi dan masukan bagi Pemerintah daerah dalam upaya penyusunan strategi dan kebijakan pertanian terutama menyangkut ubi jalar. 3. Sebagai bahan pembelajaran bagi penulis dalam melakukan penulisan ilmiah dan penelitian. 4. Sebagai informasi bagi para peneliti yang akan melakukan penelitian lebih lanjut pada bidang yang sama.
5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan pada petani ubi jalar di Desa Cikarawang dan Desa Purwasari. Analisis tingkat komersialisasi diukur secara kuantitatif dengan indikator-indikator ekonomi. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat komersialisasi melalui analisis regresi berganda.
TINJAUAN PUSTAKA Subsistensi Pertanian : Indikator Pengukuran dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Berbagai pandangan dari para ahli ekonomi telah mendeskripsikan definisi dari pertanian subsisten. Menurut Mubyarto (1989) pertanian yang subsisten adalah suatu sistem bertani di mana tujuan utama dari seorang petani untuk memenuhi keperluan hidupnya beserta keluarganya. Definisi mengenai pertanian subsisten secara kuantitatif juga telah dijelaskan oleh Wharton (1969) yaitu petani yang subsisten adalah yang menjual kurang dari 50 persen dari seluruh hasil panennya. Orientasi petani yang subsisten adalah memproduksi pangan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Subsistensi pertanian merupakan suatu hal yang kompleks yang membutuhkan pengukuran dengan indikator-indikator yang dapat mendeskripsikan tingkat subsistensi dari suatu usahatani. Ellis (1993) dalam Kostov dan Lingard (2002) mendefinisikan subsistensi pertanian dengan memberikan indikator di mana usahatani subsisten dapat diukur dengan besar proporsi tenaga kerja dalam keluarga yang lebih banyak daripada tenaga kerja luar keluarga serta penggunaan input komersil yang tidak intensif yang mengakibatkan produksi output yang rendah. Sebagai contoh Rahayu (2001) menggunakan indikator rasio upah tenaga kerja tingkat subsistensi usahatani padi ladang Luar Baduy (Jalupang Mulya) sebesar 66.02 persen lebih mengarah ke komersial dibanding Baduy Luar (Kanekes) karena proporsi tenaga kerja luar keluarga lebih besar daripada tenaga kerja dalam keluarga. Selain itu Rahayu (2001) juga menggunakan indikator rasio biaya input tenga kerja tingkat subsistensi usahatani padi ladang Luar Baduy (Jalupang Mulya) sebesar 26.61 persen lebih mengarah ke komersial dibanding Baduy Luar (Kanekes) karena proporsi input modern yang dibeli lebih besar daripada menggunakan input sendiri yang ada di dalam keluarga. Proses transisi usahatani yang subsisten menjadi usahatani yang komersil dipengaruhi oleh berbagai faktor-faktor yang dilihat dari mikroekonomi rumah tangga petani. Mathijs dan Noev (2002) telah mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat rumah tangga petani pada era transisi pertanian ini untuk berpartisipasi dalam pasar dan bisa keluar dari pola usahatani yang subsisten. Ada 10 karakteristik rumah tangga petani yang digunakan untuk mengukur tingkat komersialisasi petani pada 4 negara ekonomi transisi yaitu, (1) umur pelaku usahatani, (2) pendidikan, (3) Skala rumah tangga, (4) pendapatan, (5) kepemilikan mobil, (6) keanggotaan di koperasi, (7) kepemilikan lahan, (8) kepemilikan mesin budidaya, (9) Kepemilikan ternak, dan (10) jarak akses ke pasar.
6 Umur petani memiliki pengaruh penting dalam proses transisi usahatani subsisten kepada usahatani yang komersial. Suatu usahatani yang dimulai oleh petani yang sudah tua akan lebih subsisten dari pada usahatani yang dimulai dari petani yang masih muda. Kostov dan Lingard (2002) kebanyakan usahatani subsisten dilakukan oleh para pensiunan yang susah mencari kerja karena sudah tua sehingga bertahan hidup dengan melakukan usahatani yang subsisten adalah salah satu sumber mata pencahariannya di desa. Faktor lain yang mempengaruhi tingkat komersialisasi usahatani adalah lahan. Lahan merupakan salah satu faktor produksi kunci keberhasilan usahatani. Semakin luas lahan maka akan semakin besar penjualan dan surplus dari output usahatani (Mathjis dan Noev, 2002). Sebagai contoh menurut Lerman dan Mirzakhanian (2001) dalam Mathjis dan Noev (2002) di Negara Armenia petani yang komersil memiliki luas lahan yang lebih luas dari pada petani yang tidak komersil. Skala rumah tangga atau jumlah tanggungan keluarga petani juga memberikan dampak kepada transisi usahatani subsisten ke usahatani komersil. Petani yang subsisten melakukan usahatani dengan orientasi pemenuhan kebutuhan sendiri dan keluarga setalah tujuan ini terpenuhi barulah petani tersebut menjual sisa hasil panennya. Produksi output usahatani yang rendah dan jumlah tanggungan keluarga petani yang banyak akan semakin membuat petani melakukan subsistensi usahatani seperti yang dikemukakan oleh Mathjis dan Noev (2002) bahwa skala rumah tangga yang lebih kecil akan membentuk surplus produksi yang lebih banyak dan marketable. Faktor lain yang mempengaruhi upaya transisi subsistensi usahatani menuju pertanian yang komersil adalah akses kepada kredit sebagai bantuan modal petani merupakan hal yang penting bagi petan sebagai upaya untuk membentuk usahatani yang komersil. Menurut Mathjis dan Noev (2002) akses kepada kredit menjadi salah satu faktor dominan yang mempengaruhi proses komersialisasi usahatani. Adapun problem yang dihadapi oleh petani yang subsisten dalam meminta kredit dari suatu bank adalah tidak dimilikinya angunan (collateral) sebagai jaminan sehingga dibutuhkan suatu sistem yang didukung oleh pemerintah dalam menciptakan sumber-sumber pendanaan bagi para petani subsisten dengan syarat yang memudahkan mereka. Proses komersialisasi usahatani subsisten erat hubungannya dengan perkembangan ekonomi di suatu daerah. Petani akan menjadi semakin komersil apabila memiliki akses kepada sumber ekonomi yaitu pasar. Akses kepada pasar akan sangat mempengaruhi tingkat komersialisasi usahatani. Menurut Mathjis dan Noev (2002) dalam penelitiannya dijelaskan bahwa jarak kepada pasar memiliki korelasi yang positif terhadap tingkat komersialisasi dimana petani yang tinggal dekat pasar akan memiliki akses yang lebih baik untuk menjual output dan mendapatkan input modern untuk meningkatkan produksi usahatani. Hubungan Kebijakan Pemerintah Terhadap Transisi Pertanian Subsisten ke Komersial Istilah mengenai subsisten dapat merujuk ke berbagai tingkat analisis atau agregasi, seperti produksi subsisten, tingkat subsistensi hidup, pertanian subsisten, ekonomi subsisten, dan petani subsisten. Khususnya mengenai yang terakhir tidak
7 ada definisi yang konsesus. Namun, kebanyakan akademisi sepakat bahwa pertanian subsisten dapat dikaitkan dengan kemiskinan, rendahnya tingkat teknologi, produksi tidak efisien, dan rendahnya tingkat komersialisasi (Mathijs and Noev, 2002). Pertanian yang subsisten merupakan perkembangan yang lambat. Selain itu, petani subsisten juga tidak responsif terhadap pasar dan kebijakan pemerintah (Wharton, 1969; Lerman, 2001; von Braun and Lohlein, 2001; Bruntrup and Heidhues, 2002). Tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara memiliki korelasi yang kuat dengan komersialisasi usahatani. Menurut Pingali dan Rosegrant (1995) komersialisasi sistem pertanian merupakan fenomena yang umum dan irreversible yang dipicu oleh pertumbuhan ekonomi. Tingkat komersialisasi bervariasi antar benua dan antar negara-negara dalam satu benua pada arah perubahan yang sama di seluruh dunia. Kebijakan-kebijakan mengenai liberalisasi perdagangan yang sedang diimplementasikan di negara-negara berkembang bisa mengingkatkan percepatan proses terjadinya komersialisasi. Tren komersialisasi membutuhkan pergeseran paradigma dalam perumusan kebijakan pertanian dan penentuan prioritas penelitian. Paradigma tentang swasembada pangan pokok yang telah menjadi patokan kebijakan di negara-negara berkembang menjadi semakin usang dengan pertumbuhan ekonomi. Paradigma yang relevan untuk abad ke-21 adalah penekanan pada masa depan pertanian yaitu dengan kebijakan memaksimalkan pendapatan rumah tangga petani daripada menghasilkan surplus pangan. Komersialisasi sistem pertanian diharapkan dapat menjadi perubahan yang substansial dalam organisasi produksi. Strategi jangka panjang yang penting untuk memfasilitasi kelancaran transisi ke pola komersial adalah investasi di pasar pedesaan, infrastruktur transportasi dan komunikasi untuk memfasilitasi integrasi ekonomi pedesaan, investasi pada penelitian untuk meningkatkan produktivitas, dan peningkatan pemberian modal untuk petani kecil. Salah satu faktor yang dapat mempercepat komersialisasi pertanian adalah kemampuan petani dalam akses pasar yang harus didukung dengan kebijakan suatu negara dengan membuat atmosfir pasar yang ramah dan berkeadilan bagi pelaku usahatani. Menurut Kostov dan Lingard (2002) pola usahatani subsisten tidak mungkin mengalami perubahan mendadak menjadi komersil dalam jangka menengah dan harus diperhitungkan ketika kebijakan-kebijakan mengenai pertanian, lingkungan dan daerah akan dirancang dan diimplementasikan. Aspek terkait adalah pertanian subsisten memerlukan kebijakan khusus untuk mempercepat proses transformasi pertanian subsisten menjadi komersial yaitu dengan meningkatkan infrastruktur pasar dan efisiensi pasar. Namun faktor yang paling berpengaruh yang berdampak pada penghidupan yaitu dengan pengembangan ekonomi secara keseluruhan, pengentasan kemiskinan, dan pembangunan pedesaan. Komersialisasi erat hubungannya dengan tingkat pendapatan petani sehingga peningkatan kesejahteraan petani dapat dilakukan dengan transisi dari pola subsisten ke komersial.
8
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Klasifikasi Usahatani Berdasarkan Corak Usahatani Corak usahatani terbagi menjadi dua, yakni usahatani subsisten dan usahatani komersial. Usahatani subsisten adalah suatu sistem bertani dimana tujuan petani hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya (Mubyarto, 1989). Sedangkan usahatani komersial berorientasi kentungan yang dihasilkan dengan menjual produksi dari usahatani untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat banyak. Secara umum, petani yang masih menerapkan pola subsisten merupakan petani kecil. Soekartawi (1986) mengatakan pola subsisten ini biasanya dilakukan oleh petani kecil. Usahatani tersebut memiliki keterbatasan dalam hal sumberdaya seperti kekurangan modal, pendapatan yang rendah, dan memiliki keterbatasan sumber daya dalam mengakses faktor-faktor produksi dalam berusahatani. Adapun ciri-ciri petani kecil yang memiliki corak usahatani subsisten menurut Hernanto (1996) adalah: a. Luas lahan sempit b. Tingkat produktifitas tanah rendah. c. Tingkat kesuburan tanah rendah. d. Faktor-faktor yang mempengaruhi produktifitas rendah. e. Pendapatan petani rendah. f. Kedudukan petani pada garis kemiskinan di pedesaan. g. Status sosial petani rendah. h. Mobilitas fisik dan ekonomi rendah. i. Tingkat efisiensi ekonomis maupun teknis rendah. j. Tingkat produktifitas tenaga kerja rendah. Dari ciri-ciri diatas terdapat faktor penyebab corak subsisten usahatani dan juga akibat dari faktor penyebab yang dapat diklasifikasikan menjadi dua kriteria yaitu kriteria ekonomi dan kriteria sosial. Luas lahan yang sempit, tingkat produktifitas dan kesuburan tanah yang rendah, faktor-faktor yang mempengaruhi produktifitas usahatani rendah, tingkat efisiensi ekonomis dan teknis yang rendah, dan tingkat produktifitas tenaga kerja yang rendah merupakan faktor sebab petani berproduksi secara subsisten. Faktor penyebab ini mengakibatkan tingkat pendapatan petani rendah. Hal ini dapat dijadikan indikator subsistensi usahatani pada kriteria ekonomi. Adapun kriteria sosial meliputi tingkat hidup petani. Dari ciri-ciri diatas tingkat hidup petani dipengaruhi oleh kedudukan petani pada garis kemiskinan di pedesaan, status sosial petani yang rendah serta mobilitas sosial yang rendah. Mobilitas sosial berhubungan dengan keterbukaan terhadap akses informasi atau penerimaan dalam adopsi inovasi. Petani subsisten akan sulit sekali menerima perubahan. Dalam melakukan usahatani mereka cenderung mempertahankan pola yang telah ada. Jadi lambat sekali dalam mengadakan perubahan.
9
Karakteristik Empat Unsur Pokok Usahatani Subsisten dan Komersil Untuk mencapai keberhasilan usahatani seorang petani harus bisa mendapatkan faktor-faktor produksi usahatani yang mempengaruhi usahatani tersebut. Hernanto (1996) menyatakan bahwa keberhasilan usahatani dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor-faktor pada usahatani itu sendiri (internal) dan faktor-faktor di luar usahatani (eksternal). Adapun faktor internal antara lain para petani pengelola, lahan, tenaga kerja, modal, tingkat teknologi, jumlah keluarga, dan kemampuan petani dalam mengaplikasikan penerimaan keluarga. Di sisi lain, faktor eksternal yang berpengaruh pada keberhasilan usahatani adalah tersedianya sarana transportasi dan komunikasi, aspek-aspek yang menyangkut pemasaran hasil dan bahan usahatani (harga jual, harga saprodi, dan lain-lain), fasilitas kredit, dan sarana penyuluhan bagi petani. Soekartawi et al. (1986) menyatakan bahwa ilmu usahatani pada dasarnya memperhatikan cara-cara petani memperoleh dana dengan memadukan sumberdaya yang ada dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan usahatani selalu ada empat unsur pokok yang biasa disebut faktor produksi yaitu lahan, tenaga kerja, modal, waktu dan pengelolaan (manajemen) yang terbatas ketersediaanya. Kondisi perekonomian petani yang berbeda mengakibatkan tidak semua petani dapat menguasai keempat unsur pokok tersebut dengan baik. Perbedaan akses petani dalam kepemilikan unsur-unsur usahatani memiliki hubungan dengan orientasi usahataninya. Dalam mengidentifikasi suatu usahatani keempat unsurunsur pokok usahatani dapat dijadikan sebagai dasar pemahaman mengenai karakteristik usahatani yang nantinya dikatakan usahatani subsisten atau komersial. Petani yang subsisten tidak dapat berkembang karena memiliki keterbatasan dalam kepemilikan dan penguasaan empat unsur pokok usahatani. Adapun petani komersil memiliki akses yang besar dalam menguasai keempat unsur-unsur pokok usahatani tersebut. Uraian berikut akan menjelaskan keempat unsur pokok usahatani secara singkat untuk memberikan gambaran akan suatu usahatani yang dikatakan komersil atau subsistem berdasarkan perbedaan status kepemilikan keempat unsur-unsur pokok usahatani tersebut. a. Lahan Lahan merupakan faktor produksi yang mewakili unsur alam dan lahan merupakan faktor yang relatif langka dibanding dengan faktor produksi lain serta distribusi penguasaannya tidak merata di masyarakat. Lahan usahatani dapat berupa pekarangan, sawah, tegalan dan sebagainya. lahan memiliki beberapa sifat yaitu : (1) luasnya relatif atau dianggap tetap, (2) tidak dapat dipindah-pindahkan dan (3) dapat dipindahtangankan atau diperjualbelikan. Lahan usahatani dapat diperoleh dengan membeli, menyewa, pemberian negara, membuka lahan sendiri, ataupun wakaf. Faktor produksi lahan/tanah mempunyai kedudukan yang paling penting karena besarnya balas jasa yang diterima oleh tanah dibandingkan faktor-faktor lainnya (Mubyarto, 1994). Pentingnya penguasahaan lahan akan mempengaruhi tingkat komersialisasi usahatani. Tingkat komersialisasi usahatani secara konsisten meningkat seiring dengan penguasaan/kepemilikan lahan yang lebih luas (Lerman, 2004). Petani yang berorientasi kepada penjualan hasil panen sesuai dengan permintaan pasar akan berusaha untuk memperluas penguasaan lahannya
10 untuk menambah produksi komoditi komersilnya karena memiliki akses untuk hal tersebut. Dalam memperluas lahanya petani komersil akan menyewa lahan tambahan yang dimiliki oleh orang lain. Adapun petani dengan usahatani subsisten karena tujuan usahataninya untuk kebutuhan sendiri dan keluarganya lahan yang dikuasainya sangat terbatas yang luasnya kurang dari 0.5 ha dan tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk menambah lahannya melauli tanah sewa. b. Tenaga Kerja Tenaga kerja menjadi pelaku usahatani yang diperlukan dalam menyelesaikan berbagai macam kegiatan produksi. Tenaga kerja dalam usahatani dibedakan ke dalam tiga jenis yaitu tenaga kerja manusia, tenaga kerja ternak, dan tenaga kerja mekanik. Tenaga kerja manusia dibedakan menjadi tenaga kerja pria, wanita, dan anak-anak yang dipengaruhi umur, pendidkan, keterampilan, pengalaman, tingkat kesehatan dan kondisi lainnya. Oleh karena itu dalam praktiknya, digunakan satuan ukuran yang umum untuk mengatur tenaga kerja yaitu jumlah jam dan hari kerja total. Tenaga kerja usahatani dapat diperoleh dari dalam dan luar keluarga. Jika terjadi kekurangan tenaga kerja maka petani mempekerjakan buruh yang berasal dari luar keluarga dengan memberi upah. Tenaga kerja ternak digunakan untuk pengolahan tanah dan angkutan. Begitu pula dengan tenaga kerja mekanik yang digunakan untuk pengolahan lahan, penanaman, pengendalian hama, serta pemanenan. Pembahasan mengenai tenaga kerja dalam pertanian di Indonesia dibedakan ke dalam persoalan tenaga kerja dalam usahatani subsisten dan ke dalam persoalan tenaga kerja dalam usahatani komersial. Menurut Wharton (1969) pada usahatani subsisten penyumbang terbesar tenaga kerja usahatani berasal dari dalam keluarga petani karena petani yang berorientasi subsisten memiliki keterbatasan biaya untuk mengupah tenaga kerja dari luar keluarga. Adapun sebaliknya petani dengan tingkat komersialisasi yang lebih tinggi akan menyerap tenaga kerja luar keluarga yang lebih banyak daripada tenaga kerja dalam keluarga. Selain menggunakan tenaga kerja manusia, petani komersil juga menggunakan tenaga kerja mekanik agar produksi yang diharapkan semakin bertambah baik skala maupun kualitasnya karena berorientasi pasar. c. Modal Modal adalah faktor produksi dalam usahatani setelah lahan dan tenaga kerja. Modal merupakan barang atau uang yang bersama-sama dengan faktor produksi lain dan tenaga kerja serta manajemen menghasilkan barang-barang baru yaitu produk pertanian. Penggunaan modal untuk membantu meningkatkan produktivitas baik lahan maupun tenaga kerja guna meningkatkan pendapatan dan kekayaan petani. Modal dalam suatu usahatani untuk membeli sarana produksi serta pengeluaran selama kegiatan usahatani berlangsung. Sumber modal usahatani diperoleh dari milik sendiri, pinjaman atau kredit (kredit formal, non formal, dan lain-lain), warisan, usaha lain, atau kontrak sewa. Pembicaraan masalah modal dalam usahatani tidak bisa lepas dari pembicaraan mengenai kredit (Mubyarto, 1994). Permasalahan yang dibahas disini mengenai kredit dalam usahatani adalah akses terhadap modal pinjaman/kredit karena dapat mempengaruhi usahatani. Kemudahan petani dalam mengakses kepada kredit tidak semua sama yang dipengaruhi oleh perkembangan fasilitas dan infrastruktur daerah petani tersebut. Hal ini memilki hubungan dengan tingkat komersialisasi usahatani sejalan dengan pernyataan Mathijs dan
11 Noev (2002) bahwa akses kepada modal sering disebutkan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi komersialisasi usahatani. Persyaratan angunan/jaminan dalam mengakses kredit di bank menjadi salah satu penghambat yang menyulitkan petani kecil subsisen untuk mengembangkan usahataninya agar mengarah ke komersial demi pendapatan yang lebih besar. Berbeda dengan petani komersil yang mudah mengakses kredit di bank karena memiliki aset yang bisa dijadikan sebagai jaminan. d. Pengelolaan usahatani Pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani untuk menentukan, mengorganisir, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi dengan sebaik baiknya sehingga mampu memberikan produksi pertanian sedemikian rupa sebagaimana yang diharapkan. Untuk dapat menjadi pengelola yang berhasil, maka pemahaman mengenai prinsip teknis maupun ekonomis harus dikuasi oleh pengelola. Kemampuan dalam mengelola usahatani yang baik akan menjadikan setiap keputusan baik teknis maupun ekonomis akan memberikan risiko sekecil mungkin bagi usahanya dan memberikan keuntungan yang maksimum. Pengelolaan usahatani akan semakin baik apabila didasari dengan pemahaman akan ekonomi pertanian. Pemahaman tersebut akan bermanfaat dalam mengukur efisiensi usahatani. Salah satu pemahaman ekonomi yang digunakan pengelola usahatani untuk mencapai efisiensi adalah analisa pendapatan marjinal atau analisa biaya marjinal. Petani dengan usahatani subsisten memiliki cara pengelolaan yang berbeda dengan petani yang usahataninya berorientasi pasar. Pengelolaan yang efisien dilakukan oleh petani subsisten dengan berfokus pada pendapatan marjinal yaitu besarnya hasil produksi tidak pada rendahnya biaya untuk memproduksi hasil itu (Mubyarto, 1994). Adapun petani dengan tujuan produksi adalah pasar dan keuntungan akan menemui saingan produk yang sama dengan harga sama sehingga pengelolaan usahatani berpusat pada analisis biaya marjinal yaitu agar dapat meproduksi output yang kualitas sama namun dengan biaya yang semurah-murahnya. Indikator Pengukuran Tingkat Komersialisasi Usahatani Menurut Wharton (1969) subsistensi secara garis besar terdiri dari dua bagian yaitu produksi yang subsisten dan tingkat hidup subsisten. Produksi subsisten lebih banyak berkaitan dengan aspek ekonomi petani dalam ha1 ini berupa lahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi produktifitas lahan. Sedangkan tingkat hidup subsisten merupakan cerminan dari produksi subsisten. Beberapa formula pengukuran tingkat subsitensi usahatani diperoleh dari beberapa kriteria Wharton (1969), yang cukup strategis untuk menilai tingkat subsistensi usahatani ubi jalar yaitu : a. Nilai umum, sikap, dan motivasi b. Tujuan berproduksi c. Pengambilan keputusan d. Tingkat teknologi yang diimplementasikan para petani dibandingkan dengan rekomendasi dinas pertanian setempat e. Derajat komersialisasi dari produki usahatani ubi jalar, diukur dengan rasio tingkat penjualan produk usahatani terhadap total produksi
12 f. Derajat komersialisasi dari input usahatani ubi jalar, diukur dengan rasio belanja faktor input terhadap total biaya faktor input atau rasio upah tenaga kerja terhadap total tenaga kerja g. Tingkat sumbangan pendapatan usahatani dalam ekonomi keluarga petani h. Tingkat pendayagunaan lembaga pertanian setempat Dengan kriteria diatas dapat mengukur tingkat komersialisasi pada suatu atau wilayah usahatani. Menurut Hernanto (1996) tingkat komersialisasi ini dijelaskan melalui derajat skala yang memiliki tiga tingkatan yaitu statis/subsisten sebagai tingkat terendah, transisi/semi komersial dan tingkat dinamis/komersial. I
II
STATIS
III
TRANSISI
100% SUBSISTEN
DINAMIS
KOMERSIAL 100%
0% KOMERSIAL
SUBSISTEN 0 %
Gambar 1 Tingkat Komersialisasi Usahatani Menurut Wharton (1969) ada empat kriteria pengukuran tingkat komersialisasi usahatani yaitu : a. Kriteria ekonomi 1) Rasio tingkat penjualan produk usahatani (RTPPU) Menurut kriteria ini usahatani subsisten di gambarkan dengan baik sebagai tingkat konsumsi terbesar dari produksinya. RTPPU =
𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉 𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩 𝐲𝐲𝐲𝐲𝐲𝐲𝐲𝐲 𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝 𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉 𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩 𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭
2) Rasio upah tenaga kerja atau rasio biaya input beli (RUTK atau RBIB) Menurut kriteria ini modernisasi (komersial) dalam proses pertanian mewajibkan perlunya intensifikasi biaya (belanja) faktor input produksi di dalam proses usahatani. RUTK =
𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉 𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭 𝐛𝐛𝐛𝐛𝐛𝐛𝐛𝐛𝐛𝐛 𝐟𝐟𝐟𝐟𝐟𝐟𝐟𝐟𝐟𝐟𝐟𝐟 𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢 𝐲𝐲𝐲𝐲𝐲𝐲𝐲𝐲 𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝 𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉 𝐛𝐛𝐛𝐛𝐛𝐛𝐛𝐛𝐛𝐛 𝐟𝐟𝐟𝐟𝐟𝐟𝐟𝐟𝐟𝐟𝐟𝐟 𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢 𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭
Atau, 𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉 𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭 𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤 𝐲𝐲𝐲𝐲𝐲𝐲𝐲𝐲 𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝 RBIB = 𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉 𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭 𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤 𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭
3) Tingkat Teknologi Menurut kriteria ini usahatani yang komersil melakukan kegiatan budidaya dengan menggunakan teknologi yang intensif diantaranya adalah teknologi kimia berupa penggunaan pupuk, teknologi biologis berupa penggunaan bibit unggul dengan produktiftas tinggi, dan teknologi mekanis berupa penggunaan alat-alat pertanian untuk meningkatkan efisiensi teknis usahatani. 4) Kebebasan membuat keputusan Menurut kriteria ini usahatani atau petani subsisten kurang atau tebatas dalam tingkat pembuatan keputusan. Biasanya keputusan dalam berusahatani dipengaruhi oleh adat dan budaya setempat. b. Kriteria sosial budaya 1) Faktor-faktor non-ekonomi dalam membuat keputusan
13 Menurut kriteria ini ciri khusus usahatani atau petani subsisten adalah besarnya pengaruh (jika tidak dominan) dari pertimbangan sosial budaya dalam proses produksi dan penggunaan tenaga kerja. 2) Derajat atau ukuran hubungan dengan dunia luar Menurut kriteria ini usahatani subsisten adalah suatu usahatani yang kurang berhubungan dengan dunia luar. 3) Hubungan alami antar individu Kriteria ini cenderung untuk membedakan penduduk yang mengistimewakan ‘sistem kekeluargaan’ dari hal yang menyangkut individualistis dalam melakukan hubungannya, sebagaimana dikemukakan oleh Hoselitz (1960) dalam Wharton (1963). 4) Perbedaan psikologi Beberapa partisipan petani merasa karakteristik psikologi sebagai tujuan akhir dan sebagai aksi implementasi akhir. Seluruh motivasi dan bermacamnya sikap yang terlihat pokok dalam efek tersebut khususnya pada prilaku sosial dan ekonomi. c. Kriteria perkembangan (pertumbuhan) Menurut kriteria ini usahatani subsisten adalah suatu usahatani yang proses peningkatan perkembangannya lambat, tidak terlihat perubahan baik dalam kegiatan produksi maupun pemasaran Kerangka Pemikiran Operasional Pertumbuhan industri-industri hilir pengolahan ubi jalar yang pesat memicu peningkatan ketersediaan ubi jalar sebagai bahan makanan sebesar 70 persen ketersediaan ubi jalar diserap oleh industri pengolahan ubi jalar di Indonesia. Hal ini mendorong intensifitas usahatani ubi jalar untuk meningkatkan tingkat komersialisasinya Namun kontribusi perekonomian Indonesia yang tidak merata mengakibatkan pembangunan infrastruktur dan aksesibilitas pasar ubi jalar yang tidak sama pada setiap daerah sehingga mempengaruhi tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar. Penelitian ini dilakukan dengan metode studi kasus. Objek penelitian ini adalah usahatani ubi jalar di Desa Cikarawang dan Desa Purwasari dimana Desa Cikarawang yang memiliki akses pasar yang lebih dekat dan infrastruktur yang lebih baik daripada Desa Purwasari. Dengan adanya perbedaan akses pasar dan infrastruktur antara kedua desa akan dianalisis tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar pada masing-masing desa serta faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar. Penelitian ini melakukan analisis tingkat komersialisasi menggunakan indikator-indikator ekonomi, yaitu: rasio komersialisasi output, rasio upah tenaga kerja, rasio biaya input beli, dan rasio tingkat pendapatan tunai petani. Setelah itu, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat komersialisasi ubi jalar dengan analisis regresi berganda. Adapun variabel-variabel yang digunakan sebagai faktor adalah luas lahan ubi jalar, umur, pengalaman, tangungan keluarga, tingkat pendidikan, harga jual ubi jalar dan dummy desa (perbedaan aksesibilitas pasar dan infrastruktur) Secara sederhana kerangka pemikiran operasional di dalam penelitian ini dapat dilihat dalam gambar berikut ini :
14 • Pertumbuhan industri-industri hilir pengolahan ubi jalar yang pesat memicu peningkatan ketersediaan ubi jalar sebagai bahan makanan. • Sebesar 70 persen ketersediaan ubi jalar diserap oleh industri pengolahan ubi jalar di Indonesia sehingga mendorong intensifitas usahatani ubi jalar untuk meningkatkan tingkat komersialisasi usahatani. • Namun kontribusi perekonomian Indonesia yang tidak merata mengakibatkan pembangunan infrastruktur dan aksesibilitas pasar ubi jalar yang tidak sama pada setiap daerah. • Hal ini mempengaruhi tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar melalui intensifitas pengelolaan usahatani yang berbeda
Diperlukannya analisis corak perkembangan usahatani ubi jalar dengan pengukuran tingkat komersialisasi serta faktor-faktor yang mempengaruhinya
Desa Cikarawang
Desa Purwasari
Perbedaan Akses Fasilitas Ekonomi dan Infrastruktur
Penentuan Corak Dengan Analisis Tingkat Komersialisasi Usahatani Ubi Jalar : 1. Rasio Komersialisasi Output (RKO) 2. Rasio Upah Tenaga Kerja (RUTK) 3. Rasio Biaya Input Beli (RBIB) 4. Rasio Tingkat Pendapatan Tunai (RTPT)
• •
• Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Corak/Tingkat Komersialisasi Usahatani : • Luas Pengusahaan Lahan • Umur • Pengalaman • Tangungan Keluarga • Tingkat Pendidikan • Harga Jual Output • Dummy Desa (Perbedaan aksesibilitas pasar dan infrastruktur)
•
Tingkat Komersialisasi Usahatani Ubi Jalar: Usahatani Subsisten (statis) Usahatani Semi Subsisten mengarah ke subsisten (transisistatis) Usahatani Semi Subsisten mengarah ke komersial (transisidinamis) Usahatani Komersial
Hubungan Tingkat Komersialisasi dengan Keuntungan Usahatani Ubi Jalar • Analisis R/C rasio
Gambar 2 Kerangka Operasional
15
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Desa Cikarawang dan Desa Purwasari Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat dipilih karena Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi ubi jalar nasional di Indonesia yaitu sebesar 436 577 ton (Kementan, 2013). Kabupaten Bogor dipilih karena dalam kurun waktu tahun 2010 sampai 2012 memiliki laju pertumbuhan produksi ubi jalar yang paling tinggi yaitu 12.24 persen per tahun (BPS, 2013). Kemudian Kecamatan Dramaga dipilih secara purposive karena memiliki produktivitas ubi jalar yang paling tinggi dari seluruh kecamatan di Kabupaten Bogor yaitu sebesar 210.98 kw/ha (BPS, 2013). Adapun pemilihan Desa Cikarawang dan Desa Purwasari juga secara purposive karena perbedaan jarak yang jelas bagi kedua desa untuk mengakses pasar. Hal ini untuk memudahkan peneliti dalam menganalisis pengaruh perbedaan infrastruktur desa dalam mengakses pasar terhadap corak usahatani ubi jalar. Secara letak geografis Desa Cikarawang memiliki akses yang cepat untuk menjangkau pasar dan fasilitas ekonomi di Kota Bogor dibandingkan dengan Desa Purwasari yang jauh dari Kota Bogor. Desa Cikarawang didukung dengan subsistem penunjang yang lebih memadai daripada Desa Purwasari seperti gabungan kelompok tani, bank, posdaya, dan lain-lain. Selain itu di Desa Cikarawang ada unit bisnis pengolahan ubi jalar yang sudah berjalan dalam skala home industri sehingga dengan perbandingan-perbandingan antar kedua Desa tersebut dapat diidentifikasi perbedaan tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar antara Desa Cikarawang dan Purwasari. Pengambilan data dilakukan pada bulan Agustus sampai Oktober 2013 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan juga data sekunder baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data primer diperoleh dari hasil observasi langsung dilapang, wawancara langsung dengan petani maupun pengisian kuesioner. Data primer yang diambil meliputi : (1) profil rumah tangga petani responden, (2) data usahatani, meliputi ; jenis, jumlah, harga input dan output yang digunakan, (3) aset usahatani, pola dan intensitas tanam, (4) penggunaan tenaga kerja, (5) pendapatan petani dari usahatani, (6) teknologi yang digunakan dalam budidaya, dan (7) sistem pemasaran serta permodalan. Adapun data-data sekunder diproleh dari sumber-sumber yang relevan seperti buku, jurnal, dan data-data yang didapat dari dinas instansi terkait seperti Departemen Pertanian, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, Badan Pusat Statistik, Perpusatakaan, serta bahan-bahan pustaka lainnya seperti internet dan hasil-hasil penelitian terdahulu. Metode Penarikan Sampel dan Pengumpulan Data Pengambilan responden dilakukan dengan metode simple random sampling. Adapun sample frame untuk Desa Cikarawang adalah semua petani yang
16 tergabung di kelompok tani Hurip sedangankan di Desa Purwasari adalah semua petani yang tergabung di di kelompok tani Rawasari dengan pertimbangan kedua poktan tersebut sedang berusahatani ubi jalar. Total responden yang diwawancarai sebesar 40 petani, Pengambilan responden dari kedua Desa dilakukan secara proporsional. Total populasi petani ubi jalar dari Desa Cikarawang sebanyak 60 petani sehingga sampel yang diambil sebanyak 26 petani adapun dari Desa Purwasari total populasi petani ubi jalar sebanyak 30 orang sehingga sampel yang diambil sebanyak 14 petani. Adapun rumus pengambilan sampel sebagai berikut: Responden Cikarawang :
Responden Purwasari :
𝐒𝐒𝐒𝐒 = 𝐒𝐒𝐒𝐒 =
P1 x 40 P1 + P2 P2 x 40 P1 + P2
Keterangan : S1 = Sampel Petani Desa Cikarawang S2 = Sampel Petani Desa Purwasari P1 = Populasi Petani Desa Cikarawang P2 = Populasi Petani Desa Purwasari Adapun metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung dengan petani responden dengan bantuan kuesioner. Kuesioner tebagi menjadi dua bagian yaitu bagian A yang berisi pertanyaan berkaitan dengan rumah tangga petani dan bagian B yang berisi pertanyaan berkaitan dengan usahatani ubi jalar. Selain wawancara, informasi juga diperoleh melalui observasi dari penelitian terdahulu, buku, artikel, dan literatur jurnal sebagai kelengkapan penunjang penelitian ini. Pengolahan dan Analisis Data Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif, yang dilakuka secara komparatif yaitu dengan membandingkan data dari kedua desa yaitu Desa Cikarawang dan Desa Purwasari yang melakukan usahatani ubi jalar. Data yang diperoleh dari lapang diolah dengan analisis tingkat subsistensi usahatani. Analisis dilakukan dengan bantuan kalkulator, Microsoft Excell 2007 dan SPSS. Analisis Tingkat Komersialisasi Usahatani Analisis tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar diukur dengan indikatorindikator ekonomi. Indikator-indikator ekonomi tersebut adalah : a. Rasio Komersialisasi Output (RKO) Rasio komersialisasi output merupakan indikator yang mengukur tingkat komersialisasi usahatani berdasarkan perbandingan besar output yang dijual terhadap total output yang dihasilkan. Menurut kriteria ini bahwa usahatani komersial digambarkan dengan proporsi output usahatani yang dijual lebih besar daripada output yang dikonsumsi sendiri. 𝑹𝑹𝑹𝑹𝑹𝑹 =
𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉 𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩 𝐲𝐲𝐲𝐲𝐲𝐲𝐲𝐲 𝐝𝐝𝐝𝐝 𝐣𝐣𝐣𝐣𝐣𝐣𝐣𝐣 𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉 𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭 𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩
17 b. Rasio Upah Tenaga Kerja (RUTK) Indikator selanjutnya untuk mengukur tingkat komersialisasi usahatani adalah rasio biaya upah tenaga kerja luar keluarga terhadap total biaya upah tenaga kerja. Suatu usahatani akan semakin komersil jika nilai rasio biaya upah tenaga kerja luar keluarga semakin besar karena usahatani yang komersil merupakan usahatani yang banyak menggunakan tenaga kerja luar keluarga. 𝑹𝑹𝑹𝑹𝑹𝑹𝑹𝑹 =
𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉 𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭 𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤 𝐥𝐥𝐥𝐥𝐥𝐥𝐥𝐥 𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤 𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉 𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭 𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭 𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤
𝑹𝑹𝑹𝑹𝑹𝑹𝑹𝑹 =
𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉 𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭 𝐛𝐛𝐛𝐛𝐛𝐛𝐛𝐛𝐛𝐛 𝐟𝐟𝐟𝐟𝐟𝐟𝐟𝐟𝐟𝐟𝐟𝐟 𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢 𝐲𝐲𝐲𝐲𝐲𝐲𝐲𝐲 𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝 𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉 𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭 𝐛𝐛𝐛𝐛𝐛𝐛𝐛𝐛𝐛𝐛 𝐟𝐟𝐟𝐟𝐟𝐟𝐟𝐟𝐟𝐟𝐟𝐟 𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢
𝑹𝑹𝑹𝑹𝑹𝑹𝑹𝑹 =
𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉 𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩 𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭 𝐮𝐮𝐮𝐮𝐮𝐮𝐮𝐮𝐮𝐮𝐮𝐮𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚𝐚 𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉𝐉 𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭 𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩𝐩 𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭𝐭 𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤𝐤
c. Rasio Biaya Input Beli (RBIB) Menurut indikator rasio biaya input beli tingkat komersialisasi usahatani diukur dari rasio biaya input yang dibeli terhadap total biaya input yang digunakan untuk berusahatani ubi jalar. Suatu usahatani yang komersial akan memiliki struktur biaya dengan proporsi biaya tunai input beli yang lebih besar daripada biaya yang diperhitungkannya.
d. Rasio Tingkat Pendapatan Tunai (RTPT) Analisis tingkat komersialisasi usahatani diukur dengan rasio tingkat pendapatan tunai. Rasio ini adalah besar proporsi pendapatan tunai usahatani keluarga petani terhadap total pendapatan tunai keluarga petani dalam satu tahun. Suatu usahatani yang komersial akan memberikan kontribusi pendapatan yang besar kepada total pendapatan keluarganya.
Hasil persentase tingkat komersialisasi didapatkan dengan mengakumulasikan seluruh hasil dari setiap indikator kemudian secara sistematis dapat digolongkan menjadi 4 golongan: a. Usahatani Subsisten (statis), dimana persentase tingkat komersialisasinya sebesar 0-25% b. Usahatani Semi Subsisten mengarah ke subsisten (transisi-statis), dimana persentase tingkat komersialisasinya sebesar 25-50% c. Usahatani Semi Subsisten mengarah ke komersial (transisi-dinamis), dimana persentase tingkat komersialisasinya sebesar 50-75% d. Usahatani Komersial (dinamis), dimana persentase tingkat komersialisasinya sebesar 75-100%. Analisis Struktur Biaya Usahatani Biaya usahatani terdiri dari dua bagian, yaitu biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai merupakan biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk membeli input secara tunai seperti biaya pemupukan, biaya obat-obatan, biaya tenaga kerja luar keluarga, biaya sewa lahan, dan biaya pajak. Adapun biaya yang diperhitungkan merupakan biaya yang dikeluarkan petani terhadap input yang berasal dari bukan beli selain itu juga biaya yang harus diperhitungkan untuk setiap komponen milik sendiri seperti biaya tenaga kerja dalam keluarga, biaya penyusutan alat-alat, dan sewa lahan milik.
18 Dalam pengklasifikasian suatu usahatani kepada subsisten atau komersial struktur biaya menjadi indikator untuk melihat tingkat komersialisasi dari segi intensifitas usahatani. Intensifitas usahatani ini dilihat dari adopsi teknologi pada usahatani dan penggunaan tenaga kerja usahatani. Pada luasan lahan dan komoditi yang sama suatu usahatani yang tinggi tingkat komersialisasinya akan banyak mengeluarkan biaya untuk melakukan usahatani dengan teknologi yang intensif. Menurut Hernanto (1996) bentuk-bentuk teknologi tersebut dapat berupa cara budidaya yang lebih baik, introduksi teknologi kimia seperti pupuk dan pestisida, introduksi teknologi biologis seperti bibit-bibit unggul dan introduksi teknologi mekanis meliputi alat-alat pertanian yang dapat mereduksi tenaga kerja. Kemudian dari sisi penggunaan tenaga kerja, usahatani yang lebih komersil akan lebih banyak menggunakan tenaga kerja luar keluarga dari pada tenaga kerja dalam keluarga yang mana hal ini akan mempengaruhi struktur biaya usahatani. Model Regresi Berganda Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat komersialisasi usahatani dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan model regresi berganda. Variabel dependen (Y) adalah tingkat komersialisasi usahatani. Variabel independen (X) adalah karakteristik petani responden yang terdiri dari luas pengusahaan lahan (X1), umur (X2), pengalaman (X3), tanggungan keluarga (X4), tingkat pendidikan (X5), harga jual output (X6). dan Dummy Desa (X7). Analisis ini digunakan untuk melihat hubungan antara variabel dependen dan variabel independen. Penjelasan lebih lengkap yaitu melalui pendekatan statistik dalam hubungan antara X dan Y. Dengan demikian, metode penduga yang digunakan adalah metode kuadrat terkecil atau Ordinary Least Square (OLS). Metode ini digunakan untuk menguji nilai F-hitung, t-hitung dan R2. Oleh karena itu, kelayakan model tersebut akan diuji berdasarkan asumsi OLS, meliputi multikolinieritas, homoskedastisitas dan normalitas error. Apabila asumsi tersebut dapat dipenuhi maka koefisien regresi (parameter) yang diperoleh merupakan penduga linier terbaik yang tidak bias (Gujarati, 1999). Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C) Analisis R/C rasio digunakan untuk mengetahui tingkat keuntungan relatif dari suatu kegiatan usaha. R/C rasio ini menunjukkan pendapatan kotor yang diterima untuk setiap rupiah yang dikeluarkan. Analisis R/C Rasio juga dibedakan menjadi R/C Rasio Tunai dan R/C Rasio Total. R/C Rasio Tunai = R/C Rasio Total =
𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃
𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇 𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵 𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇
𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃 𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵 𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇
Menurut Soekartawi (2006), analisis R/C Rasio dapat juga dirumuskan sebagai berikut : a = R/C R = Py. Y C = FC + VC
19 a =
𝑃𝑃𝑃𝑃 .𝑌𝑌
𝐹𝐹𝐹𝐹+𝑉𝑉𝑉𝑉
Keterangan : a : Analisis Rasio (R/C) R : Penerimaan C : Biaya Py : Harga Output Y : Output FC : Biaya Tetap (Fixed Cost) VC : Biaya Variabel (Variable Cost) Menurut Hernanto (1989), analisis R/C Rasio digunakan untuk menganalisis usahatani dalam periode tertentu. Apabila dari hasil perhitungan R/C didapatkan nilai lebih dari 1, berarti penerimaan yang diperoleh lebih besar daripada setiap satuan biaya yang dikeluarkan, atau dengan kata lain usahatani yang dilakukan meenguntungkan. Sedangkan apabila R/C rasio bernilai kurang dari 1, maka penerimaan yang diperoleh lebih kecil dari tiap biaya yang dikeluarkan, hal ini berarti usaha yang dijalankan tidak menguntungkan. Dalam penelitian ini besar R/C rasio usahatani ubi jalar di Desa Cikarawang akan dibandingkan dengan besar R/C rasio usahatani ubi jalar di Desa Purwasari. Perbandingan ini bertujuan untuk mengetahui apakah tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar yang berbeda pada kedua desa akan mempengaruhi keuntungan usahatani yang didapatkan.
GAMBARAN UMUM PENELITIAN Karakteristik Wilayah Letak dan Luas Wilayah Desa Cikarawang dan Desa Purwasari Desa Cikarawang terletak dalam wilayah administratif Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Batas-batas wilayah Desa Cikarawang adalah sebagai berikut: Sebelah utara : Sungai Cisadane Sebelah selatan : Sungai Ciapus Sebelah barat : Sungai Ciaduan (pertemuan Sungai Ciapus dan Cisadane) Sebelah timur : Kelurahan Situ Gede Secara geografis jarak Desa Cikarawang ke pusat Kecamatan Dramaga sekitar 5 km. Adapun jarak Desa Cikarawang ke pusat Kota Bogor sekitar 9.5 km. Luas wilayah Desa Cikarawang adalah 250 654 ha. Desa Purwasari juga terletak dalam wilayah administratif Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Secara geogrrafi jarak Desa Purwasari ke pusat Kecamatan Dramaga sekitar 10 km dan jarak ke pusat Kota Bogor sejauh 14 km. Desa Purwasari berbatasan dengan Desa Petir di sebelah utara dan timur, dan Desa Sukajadi di sebelah selatan sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Desa Situ Daun. Luas wilayah Desa Purwasari yaitu 211016 ha.
20 Karakteristik Petani Responden Petani responden dalam penelitian ini adalah petani yang melakukan kegiatan usahatani ubi jalar di dua desa yaitu Desa Purwasari dan Desa Cikarawang serta telah melaksanakannya minimal selama satu musim terakhir pada tahun 2013. Petani responden berjumlah 40 petani. Pada penelitian ini karakteristik petani responden terdiri dari usia, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, pengalaman berusahatani, luas pengusahaan lahan, status usaha dan status kepemilikan lahan. Tabel 3 menjelaskan perbandingan karakteristik petani responden antara Desa Cikarawang dan Desa Purwasari. Penjelasan mengenai perbandingan karakteristik petani responden untuk mendeskripsikan pengaruh yang didapatkan akibat dari perbedaan dua desa antara Desa Cikarawang dengan Desa Purwasari terhadap akses fasilitas ekonomi yang akan menentukan tingkat komersialisasi.. Desa Cikarawang memiliki akses fasilitas ekonomi yang lebih dekat karena lokasinya yang dekat dengan kota Bogor. Adapun Desa Purwasari jauh dari akses fasilitas ekonomi yang tersedia di kota. Dari 7 karakteristik yang diperbandingkan tidak seluruhnya dapat menjelaskan dampak dari perbedaan lokasi kedua desa terhadap akses fasilitas ekonomi di kota. Pada wilayah Desa Cikarawang petani responden memiliki umur rata-rata 54 tahun dengan kisaran 30 sampai 75 tahun. Adapun di wilayah Desa Purwasari rata-rata umur responden sebesar 46 tahun dengan kisaran 30 sampai 72 tahun. Rata-rata umur Desa Cikarawang lebih tua daripada Desa Purwasari. Perbedaan karakteristik umur petani responden pada kedua desa secara deskriptif tidak menjeaskan pengaruh yang ditimbulkan akibat perbedaan desa terhadap akses fasilitas ekonomi. Adapun untuk karakteristik tingkat pendidikan petani Desa Cikarawang memiliki persentase tingkat pendidikan lebih tinggi dibandingkan dengan Desa Purwasari. Petani responden Desa Cikarawang yang tamat SMA dan SMP berturut-turut adalah sebanyak 23.08 persen dan 19.23 persen sedangkan di Desa Purwasari berturut-turut sebanyak 7.14 persen dan 14.29 persen. Bedasarkan data tersebut membuktikan bahwa secara deskriptif perbedaan jarak akses suatu desa terhadap fasilitas ekonomi di kota mempengaruhi tingkat pendidikan sebagai karakteristik petani. Namun, baik di Desa Cikarawang mauun Purwasari tidak ada petani responden di kedua Desa yang sampai pada tingkat pendidikan ketegori Diploma, Sarjana, dan Pasca Sarjana. Tanggungan keluarga petani rata-rata di Desa Purwasri sebesar 3 orang lebih besar daripada Desa Cikarawang sebesar 2 orang. Banyaknya tanggungan keluarga petani dipengaruhi oleh umur petani yaitu semakin tua umur petani semakin kecil tanggungan keluarganya, dikarenakan petani responden yang berumur tua memiliki anak yang sudah lepas dari tanggungan orang tua. Hal ini terjadi di kedua desa seperti di Desa Cikarawang yang rata-rata umur petani responden lebih tua daripada Desa Purwasari maka memiliki rata-rata tanggungan keluarga yang lebih kecil daripada di Desa Purwasari. Namun perbedaaan karakteristik tanggungan keluarga petani responden pada kedua desa secara deskriptif tidak menjeaskan pengaruh yang ditimbulkan akibat perbedaan desa terhadap akses fasilitas ekonomi.
21 Pengalaman petani responden yang paling rendah adalah dua tahun, sedangkan pengalaman paling lama pada petani responden adalah 60 tahun. Petani di Desa Cikarawang memiliki pengalaman berusahatani ubijalar rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan Desa Purwasari yaitu berturut-turut sebesar 28.27 tahun dan 18.57 tahun. Secara deskriptif perbedaan karakteristik pengalaman petani responen pada kedua desa tidak menjeaskan pengaruh yang ditimbulkan akibat perbedaan desa terhadap akses fasilitas ekonomi. Tabel 3 Karakteristik petani responden di Desa Cikarawang dan Desa Purwasari Uraian
Umur (tahun) 20-30 31-45 46-60 >60 Tingkat Pendidikan Tidak Tamat SD/Sederajat Tamat SD/Sederajat Tamat SMP Tamat SMA Tanggungan Keluarga (orang) 1-2 3-4 5-6 Pengalaman Usahatani (tahun) < 15 15-30 > 30 Luas Pengusahaan Lahan (m2) < 1000 1000 - < 3000 3000 - ≤ 5000 > 5000 Status Usaha Ubi Jalar Usaha Utama Usaha sampingan Status Kepemilikan Lahan Milik Garap
Desa Cikarawang Persentase (%)
Desa Purwasari Persentase (%)
3.85 23.08 42.30 30.77
Total Orang
Persentase (%)
7.14 50.00 35.72 7.14
2 13 16 9
5.00 32.50 40.00 22.50
7.69 50.00 19.23 23.08
21.43 57.14 14.29 7.14
5 19 9 7
12.50 47.50 22.50 17.50
64.00 28.00 8.00
53.85 46.15 0.00
21 16 3
52.50 40.00 7.50
15.38 53.85 30.77
50.00 35.72 14.28
12 18 10
30.00 45.00 25.00
0.00 73.00 23.07 3.83
14.28 78.57 7.14 0.00
2 30 7 1
5.00 75.00 17.50 2.50
69.23 30.77
57.14 42.86
27 13
67.50 32.50
96.15 3.85
92.86 7.14
38 2
95.00 5.00
Luas lahan yang ditanami ubi jalar yang dimiliki petani beragam yaitu dari luas 100 m2 hingga 10 000 m2. Rata-rata luas pengusahaan lahan untuk ubi jalar yang dimiliki petani Desa Cikarawang sebesar 2300 m2 lebih luas dibandingkan Desa Purwasari sebesar 1 600 m2. Pada Desa Cikarawang tidak ada petani yang berusahatani ubi jalar dengan luas lahan kurang dari 1 000 m2 namun ada sebesar 14.28 persen di Desa Purwasari. Persentase luas pengusahaan lahan terbesar baik
22 Desa Cikarawang maupun Desa Purwasari ada pada kisaran 1 000 m2 sampai kurang dari 3 000 m2 yaitu berturut-turur sebesar 73 persen dan 78.57 persen. Kisaran luas pengusahaan lahan 3 000 m2 sampai 5 000 m2 sebesar 23.07 persen untuk Desa Cikarawang dan 7.14 persen untuk Desa Purwasari. Adapun petani yang berusahatani ubi jalar dengan luas lahan lebih dari 5 000 m2 hanya ada di Desa Cikarawang yaitu sebesar 3.83 persen. Ada hal yang menarik pada karakteristik luas pengusahaan lahan yaitu suatu desa yang memiliki akses yang dekat kepada fasilitas ekonomi akan meningkatkan komersialisasi bisnis suatu usahatani yang berdampak pada luas pengusahaan lahan. Hal ini terlihat pada Desa Cikarawang yang memiliki akses fasilitas ekonomi yang lebih dekat daripada Desa Purwasari mempengaruhi luas pengusahaan lahan ubi jalar. Perbedaan kedua desa terhadap akses fasilitas ekonomi mendeskripsikan pengaruh terhadap karakteristik status usaha ubi jalar petani responden. Pada Desa Cikarawang akses fasilitas ekonomi seperti akses yang lebih dekat kepada pasar di Kota Bogor daripada Desa Purwasari membuat usahatani ubijalar merupakan salah satu bisnis yang menjadi pilihan utama bagi petani. Hal ini terlihat pada persentase petani Desa Cikarawang yang menjadikan pekerjaan berusahatani ubi jalar sebagai mata pencaharian utama yaitu sebesar 69.23 persen lebih besar daripada Desa Purwasari yaitu sebesar 57.14 persen. Adapun petani yang menjadikan pekerjaan usahatani ubi jalar sebagai pekerjaan sampingan sebesar 30.77 persen untuk Desa Cikarawang lebih kecil dari 42.86 persen untuk Desa Cikarawang. Bagi petani responden yang menjadikan pekerjaan usahatani ubi jalar sebagai pekerjaan sampingan pekerjaan utamnya diantaranya sebagai supir angkot, buruh tani, dan pedagang. Status kepemilikan lahan responden Desa Cikarawang dan Purwasari terbagi menjadi dua, yaitu lahan milik sendiri dan lahan garap. Pada umumnya baik petani responden di Desa Cikarawang maupun Purwasari kepemilikan lahan merupakan lahan milik sendiri yaitu berturut-turut sebanyak 96.15 persen dan 92.86 persen. Adapun sisanya status kepemilikan lahan merupakan lahan garap.
HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Biaya Usahatani Ubi Jalar Biaya usahatani terdiri dari dua bagian, yaitu biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai merupakan biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk membeli input secara tunai seperti biaya pemupukan, biaya obat-obatan dan biaya tenaga kerja luar keluarga. Adapun biaya yang diperhitungkan merupakan biaya yang dikeluarkan petani terhadap input yang berasal dari bukan beli selain itu juga biaya yang harus diperhitungkan untuk setiap komponen milik sendiri seperti biaya tenaga kerja dalam keluarga, dan biaya penyusutan alat-alat. Tabel 4 menyajikan gambaran struktur biaya usahatani petani responden di Desa Cikarawang dan Purwasari.
23 Tabel 4 Struktur biaya usahatani ubi jalar per hektar per musim di Desa Cikarawang dan Desa Purwasari Biaya Usahatani
Biaya Tunai Pupuk Pestisida Tenaga Kerja LK Total Biaya Tunaia Biaya Diperhitungkan Bibit Tenaga Kerja DK Penyusutan Alat Pertanian Total Biaya Diperhitungkan Total Biaya a
Cikarawang Rupiah n = 26
(%)
Purwasari Rupiah (%) n = 14
1 990 098 42 077 2 229 749 4 261 924
24.34 0.52 27.27 52.14
987 206 19 651 2 857 481 3 864 338
10.94 0.22 31.67 42.83
1 169 231 2 171 441 572 246 3 912 917 8 174 842
14.30 26.56 7.00 47.86 100.0
1 293 611 3 593 418 270 310 5 157 339 9 021 677
14.34 39.83 3.00 57.17 100.00
Biaya irigasi dan pajak PBB tidak dimasukkan dalam komponen biaya tunai
Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa Desa Cikarawang memiliki tingkat komersialisasi yang lebih tinggi dibandingkan Desa Purwasari jika dilihat dari penggunaan atau adopsi teknologi dalam berusahatani. Introduksi teknologi pupuk lebih intensif dilakukan petani di Desa Cikarawang daripada petani di Desa Purwasari dilihat dari proporsi biaya pupuk dan pestisida. Proporsi biaya pupuk dan pestisida di Desa Cikarawang sebesar 24.34 persen sedangkan di Desa Purwasari sebesar 10.94 persen. Pupuk yang digunakan dalam usahatani ubi jalar di kedua desa terbagi menjadi dua yaitu pupuk organik dan pupuk non organik. Pupuk organik yang digunakan berupa pupuk kandang adapun pupuk non organik yang digunakan diantaranya adalah urea, TSP, KCL, NPK, dan pupuk daun. Adapun proporsi biaya yang dikeluarkan untuk introduksi teknologi mekanis dilihat dari besar biaya penyusutan alat-alat pertanian. Introduksi teknologi mekanis lebih banyak dilakukan petani di Desa Cikarawang daripada petani di Desa Purwasari dengan proporsi biaya sebesar 7 persen untuk Desa Cikarawang dan 3 persen untuk Desa Purwasari. Hal ini menunjukkan usahatani di Desa Cikarawang lebih komersil daripada usahatani di Desa Purwasari karena memiliki intensifitas teknologi yang lebih tinggi. Selain dilihat dari adopsi teknologi usahatani, intensifitas usahatani juga dilihat dari penggunaan tenaga kerja. Berdasarkan Tabel 4 proporsi biaya tunai yang dikeluarkan petani di Desa Cikarawang untuk tenaga kerja luar keluarga lebih besar daripada proporsi biaya diperhitungkan untuk tenaga kerja dalam keluarga. Adapun di Desa Purwasari sebaliknya penggunaan tenaga kerja dalam keluarga lebih banyak daripada tenaga kerja luar keluarganya. Hal ini mendeskripsikan bahwa usahatani di Desa Cikarawang lebih komersil karena dilakukan lebih intensif daripada usahatani di Desa Purwasari. Secara keseluruhan di Desa Cikarawang memiliki tingkat komersialisasi yang lebih tinggi daripada Desa Purwasari. Hal ini dilihat dari besarnya proporsi biaya tunai per hektar yang dikeluarkan oleh Desa Cikarawang sebesar 52.14 persen dari total biaya yang lebih besar daripada biaya tunai per hektar di Desa Cikarawang sebesar 42.84 persen dari total biaya.
24 Biaya irigasi dan pajak PBB tidak dimasukkan dalam komponen biaya tunai dikarenakan biaya irigasi dan biaya pajak PBB bukan kriteria untuk melihat perbedaan tingkat komersialisasi suatu usahatani pada struktur biaya usahatani. Biaya irigasi di Desa Cikarawang sebesar Rp 19 231 adapun di Desa Purwasari tidak ada biaya irigasi yang berarti bahwa irgasi di Desa Purwasari tidak dikelola dengan baik sehingga infrastruktur irigasi di Desa Cikarawang lebih baik daripada infrastruktur irigasi di Desa Purwasari. Adapun biaya pajak PBB di Desa Cikarawang sebesar Rp 319 679 lebih besar daripada biaya pajak PBB di Desa Purwasari sebesar Rp 237 798 hal ini dikarenakan lokasi Desa Cikraawang merupakan daerah komersil karena lebih dekat dengan Kota Bogor. Tingkat Komersialisasi Usahatani Ubi jalar Pengukuran tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar pada Desa Cikarawang dan Purwasari menggunakan beberapa indikator yaitu rasio komersialisasi output, rasio biaya input beli, rasio upah tenaga kerja luar keluarga, dan rasio tingkat pendapatan usahatani. Besar tingkat komersialisasi adalah hasil rata-rata dari keseluruhan indikator-indikator yang telah dihitung. Adapun hasil rasio dari masing-masing indikator dan besar tingkat komersialisasi dapat dilihat pada Tabel 5. Rasio komersialisasi output merupakan indikator yang mengukur tingkat komersialisasi usahatani berdasarkan perbandingan besar output yang dijual terhadap total output yang dihasilkan. Jika dilihat dari tujuan produksi dalam usahatani ubi jalar antara Desa Cikarawang dan Purwasari tidak ada perbedaan. Kebanyakan hasil usahatani ubi jalar di dua desa tersebut untuk dijual daripada dikonsumsi sendiri karena ubi jalar bukanlah makanan pokok bagi kedua desa tersebut melainkan beras. Selain itu, motivasi petani untuk menjual hasil usahatani adalah permintaan pasar yang selalu ada disetiap harinya untuk komoditi ubi jalar yang akan dijadikan makanan cemilan atau olahan. Berdasarkan Tabel 5 besar rasio output yang dijual terhadap total produksinya di Desa Cikarawang sebesar 99.73 persen adapun pada Desa Purwasari sebesar 97.44 persen. Berdasarkan rasio ini mengindikasikan bahwa kedua desa telah melakukan usahatani yang komersil karena menjual hasil outputnya lebih banyak daripada output yang dikonsumsi sendiri. Tabel 5 Analisis tingkat komersialisasi usahatani dilihat dari rasio indikatorindikator tingkat komersialisasi usahatani antara Desa Cikarawang dan Purwasari Indikator Tingkat Komersialisasi
Rasio komersialisasi output Rasio biaya input beli Rasio upah tenaga kerja Rasio tingkat pendapatan usahatani Tingkat komersialisasi usahatani
Desa Cikarawang (%) n = 26 99.73 57.04 51.11 34.47 60.59
Desa Purwasari (%) n = 14 97.44 38.37 47.54 16.09 49.84
Rata-Rata Keseluruhan (%) n = 40 98.90 50.50 49.86 28.04 56.83
25 Menurut indikator rasio biaya input beli tingkat komersialisasi usahatani diukur dari rasio biaya input yang dibeli terhadap total biaya input yang digunakan unuk berusahatani ubi jalar. Tingkat komersialisasi akan semakin tinggi jika nilai rasio biaya input beli dalam usahatani semakin besar karena dalam kriteria ini suatu usahatani komersial adalah suatu usahatani yang faktor inputnya lebih banyak dibeli daripada milik sendiri atau segalanya yang berasal dari bukan beli. Dari hasil yang tertera pada Tabel 5 bahwa besar nilai rasio biaya input beli untuk Desa Purwasari sebesar 38.37 persen lebih rendah dibandingkan Desa Cikarawang yang memiliki rasio sebesar 57.04 persen. Berdasarkan hasil yang didapatkan dari indikator rasio biaya input beli corak usahatani Desa Cikarawang lebih komersil dibandingkan dengan Desa Purwasari. Indikator selanjutnya untuk mengukur tingkat komersialisasi usahatani adalah rasio biaya upah tenaga kerja luar keluarga terhadap total biaya upah tenaga kerja. Suatu usahatani akan semakin komersil jika nilai rasio biaya upah tenaga kerja luar keluarga semakin besar karena usahatani yang komersil merupakan usahatani yang banyak menggunakan tenaga kerja luar keluarga. Berdasarkan Tabel 5 besar rasio upah tenaga kerja luar keluarga di Desa Cikarawang sebesar 51.11 persen lebih besar daripada Desa Purwasari sebesar 47.54 persen. Hal ini menunjukkan bahwa corak usahatani Desa Cikarawang lebih komersial dibandingkan dengan Desa Purwasari. Selain itu, hal ini juga menunjukkan bahwa salah satu kriteria dari petani kecil adalah banyak menggunakan tenaga kerja dalam keluarga daripada menggunakan tenaga kerja luar keluarga seperti yang dilakukan oleh petani Desa Purwasari. Salah satu indikator yang dapat menjadi ukuran tingkat komersialisasi suatu usahatani adalah rasio tingkat pendapatan usahatani terhadap total pendapatan rumah tangga petani. Tingkat komersialisasi usahatani akan semakin tinggi seiring semakin besarnya proporsi pendapatan usahatani terhadap total pendapatan rumah tangga. Dalam penelitian ini besarnya pendapatan rumah tangga merupakan pendapatan yang dihasilkan selama satu tahun dan dibandingkan dengan pendapatan usahatani selama dua musim dengan asumsi 1 tahun ada dua musim tanam dan menghasilkan pendapatan yang sama tiap musimnya. Hasil perhitungan membuktikan bahwa besar rasio tingkat pendapatan usahatani untuk Desa Cikarawang sebesar 34.47 persen lebih tinggi daripada Desa Purwasari yang memiliki rasio sebesar 16.09 persen sehingga corak usahatani Desa Cikarawang lebih komersil dibandingkan dengan Desa Purwasari. Adapun secara keseluruhan tingkat komersialisasi dihitung dengan merataratakan seluruh besar rasio yang dihasilkan dari tiap-tiap indikator komersialisasi. Tingkat komersialisasi di Desa Cikarawang sebesar 60.59 persen lebih tinggi daripada Desa Purwasari yaitu sebesar 49.84 persen sehingga corak usahatani di Desa Cikarawang lebih komersial dari Desa Cikarawang. Hal ini sesuai dengan harapan bahwa Desa Cikarawang lebih komersial karena Desa Cikarawang yang memiliki akses pasar kota yang lebih dekat daripada Desa Purwasari. Selain itu Desa Cikarawang juga memiliki akses yang cepat kepada lembaga-lembaga penunjang seperti gabungan kelompok tani, penyuluh, dan bank karena lokasi Desa Cikarawang yang lebih dekat dengan kota dibandingkan dengan Desa Purwasari.
26 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Komersialisasi Usahatani Ubi Jalar Pada penelitian ini analisis keseluruhan variabel menggunakan metode analisis regresi berganda. Adapun variabel-variabel yang dianalisis untuk dilihat pengaruhnya terhadap tingkat komersialisasi usahatani merupakan karakteristik petani responden yaitu luas pengusahaan lahan (X1), umur (X2), pengalaman (X3), tanggungan keluarga (X4), tingkat pendidikan (X5), harga jual output (X6). dan Dummy (X7). Data-data primer dari masing-masing variabel baik dependen maupun independen pada dinormalisasikan terlebih dahulu bertujuan untuk menyetarakan satuan antar variabel setelah itu diolah dengan regresi linear berganda. Hasil pendugaan fungsi regresi terhadap tingkat komersialisasi usahatani dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Hasil pendugaan model fungsi regresi terhadap tingkat komersialisasi usahatani Variabel Konstanta Luas Pengusahaan Lahan (X1) Umur (X2) Pengalaman (X3) Tanggungan Keluarga (X4) Pendidikan (X5) Harga Jual Output (X6) Dummy (X7) R-sq R-sq (adj) α F hit F tabel
Koefisien Regresi 38.938 28.728 -0.042 0.017 -3.161 0.875 11.880 2.469
Koefisien Simpangan Baku 13.473 9.374 0.205 0.167 1.402 1.919 6.054 4.049
T-Hitung
P-Value
2.890 3.065 -0.204 0.104 -2.255 0.456 1.962 0.610
0.007 0.004 0.840 0.918 0.031 0.652 0.048 0.546
= 53.1% = 42.9% = 5% = 5.18 = 2.34
Berdasarkan Tabel 6, hasil pendugaan model fungi regresi tingkat komersialisasi menunjukkan bahwa nilai F-hitung sebesar 5.18 nilai ini lebih besar daripada nilai F-tabel yaitu 2.34. Kondisi ini menjelaskan bahwa model layak digunakan. Selain uji F kelayakan model fungsi dilihat dari nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 53.1 persen. Nilai koefisien determinasi (R2) tersebut memiliki arti bahwa 53.1 persen pengaruh tingkat komersialisasi usahatani dijelaskan oleh modeldugaan yang diperoleh, sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain diluar model. Hal ini menyimpulkan bahwa ada faktor-faktor lain diluar model yang dapat mempengaruhi tingkat komersialisasi usahatani. Tujuh variabel yang dianalisis untuk dilihat pengaruhnya terhadap tingkat komersialisasi menunjukkan tanda koefisien regresi yang sesuai harapan. Namun pada taraf nyata 5 persen hanya terdapat tiga variabel yang berpengaruh nyata terhadap tingkat komersialisasi karena besar P-value yang lebih rendah dari 5 persen. Tiga variabel tersebut adalah luas pengusahaan lahan (X1), tanggungan keluarga (X4), dan harga jual output (X6).
27 Luas lahan hingga saat ini menjadi isu strategis dalam pengembangan pertanian Indonesia. Besar kecilnya luas pengusahaan lahan sangat mempengaruhi tingkat komersialisasi yang berdampak pada pendapatan usahatani. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini bahwa luas pengusahan lahan merupakan variabel yang memiliki korelasi tertinggi terhadap tingkat komersialisasi. Berdasarkan hasil statistik variabel luas pengusahaan lahan memiliki nilai korelasi yang positif yaitu sebesar 28.73 yang menyatakan bahwa semakin besar luas lahan yang ditanami ubi jalar maka akan semakin besar tingkat komersialisasinya dimana peningkatan luas lahan sebesar 1 ha akan meningkatkan tingkat komersialisasi usahatani sebesar 28.73 persen dengan asumsi semua variabel lain tetap (ceteris paribus). Pengaruh luas lahan yang ditanami ubi jalar signifikan terhadap tingkat komersialisasi ubi jalar dengan besar P-valuenya 0.004 (0.4 persen) yang kurang dari taraf nyata 5 persen karena luas lahan menjadi faktor penentu dalam keputusan untuk meningkatkan penjualan hasil panen dari produksi usahatani ubi jalar. Semakin luas lahan yang ditanami ubi jalar akan meningkatkan proporsi output yang dijual setelah kebutuhan konsumsi sendiri untuk rumah tangga petani terpenuhi. Kemudian jika dilihat dari penggunaan input semakin luas lahan ubi jalar maka penggunaan input semakin meningkat pula. Peningkatan penggunaan input mendorong petani untuk membeli input modern untuk menghasilkan produksi yang optimal sehingga meningkatkan rasio biaya input beli. Pada penggunaan tenaga kerja juga akan meningkat seiring dengan peningkatan luas lahan. Sumber daya manusia dalam keluarga yang dimiliki petani terbatas maka penggunaan tenaga kerja luar keluarga akan semakin besar sehingga berimplikasi dalam meningkatnya rasio upah tenaga kerja luar keluarga. Oleh sebab itu peningkatan luas lahan ubi jalar dapat meningkatkan tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar berdasarkan pengaruhnya yang terjadi pada indikator-indikator tingkat komersialisasi usahatani. Umur memiliki korelasi yang negatif terhadap tingkat komersialisasi yang ditunjukkan dengan nilai koefisien regresi sebesar -0.042 menyatakan bahwa petani yang memulai melakukan usahatani ubi jalar pada umur yang sudah tua dan kurang produktif (pensiunan) memiliki tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar yang semakin menurun dimana berdasarkan interpretasi hasil statistik semakin bertambah tua 1 tahun umur seorang petani dalam memulai usahatani ubi jalar maka akan menurunkan tingkat komersialisasinya sebesar 0.042 persen dengan asumsi semua variabel lain tetap (ceteris paribus). Hal ini dikarenakan petani yang sudah tua orientasinya dalam melakukan usahatani ubi jalar untuk menopang kehidupan dirinya dan istri/suaminya sedangkan tanggungannya untuk anakanaknya sudah lepas karena sudah bisa hidup secara mandiri sehingga komersialisasi usahataninya rendah. Korelasi umur yang negatif terhadap tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar juga memperlihatkan bahwa rendahnya minat pemuda terhadap pertanian akan berpengaruh pada proses komersialisasi usahatani yang akan semakin lambat sehingga hal ini dapat menjadi masalah dalam proses komersialisasi usahatani. Namun variabel umur tidak berpengaruh signifikan jika dilihat berdasarkan nilai P-value yang lebih besar dari taraf nyata 5 persen yaitu mempunyai nilai sebesar 0.840 (84.0 persen) sehingga kekhawatiran tersebut tidak menjadi masalah yang signifikan terhadap proses komersialisasi usahatani.
28 Pengalaman berusahatani ubi jalar sebagai karakteristik petani responden juga dijadikan variabel untuk dilihat pengaruhnya terhadap tingkat komersialisasi. Berdasarkan nilai koefisien regresi yang positif yaitu sebesar 0.017 menyatakan bahwa semakin bertambah pengalaman berusahatani maka tingkat komersialisasi semakin meningkat pula dimana peningkatan pengalaman berusahatani selama 1 tahun maka akan meningkatkan tingkat komersialisasi sebesar 0.017 persen dengan asumsi semua variabel lain tetap (ceteris paribus). Hal ini dikarenakan petani yang berpengalaman kaya akan pengetahuan teknik budidaya ubi jalar yang baik dan menggunakan input-input modern sebagai upaya meningkatkan produksi ubi jalar sehingga semakin meningkatkan penjualan ubi jalar ke pasar. Namun variabel ini memiliki besar P-value yang lebih tinggi dari taraf nyata 5 persen yaitu sebesar 0.918 (91.8 persen) sehingga pengalaman berusahatani tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat komersialisasi karena faktor pengalaman merupakan hal yang relatif dalam pengaruhnya terhadap tingkat komersialisasi ubi jalar dimana bisa saja petani dengan pengalamannya yang sedikit memiliki tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar yang tinggi karena memiliki akses yang mudah terhadap sumber-sumber daya.. Banyaknya tanggungan keluarga petani ubi jalar ternyata memiliki pengaruh nyata terhadap tingkat komersialisasi dengan nilai P-value sebesar 0.031 (3.1 persen) yang lebih rendah dari taraf nyata 5 persen. Hasil olahan data dengan SPSS memberikan nilai koefisien regresi sebesar -3.16 yang berarti bahwa bertambahnya tanggungan keluarga petani akan menurunkan tingkat komersialisasi usahataninya dimana tambahan tanggungan keluarga sebanyak 1 orang akan berdampak pada menurunnya tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar sebesar 3.16 persen dengan asumsi semua variabel lain tetap (ceteris paribus). Pada penelitian ini meningkatnya tanggungan keluarga dapat berimplikasi pada penurunan tingkat komersialisasi secara signifikan hal ini dapat dilihat dari pengaruh yang terjadi pada indikator-indikator tingkat komersialisasi. Petani kecil yang memiliki sumber daya terbatas akan memprioritaskan output usahataninya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga terlebih dahulu daripada menjualnya sehingga makin bertambah tanggungan keluarga petani maka akan menurunkan tingkat komersialisasinya. Indikator rasio biaya input juga berpengaruh dengan meningkatnya tanggungan keluarga. Semakin meningkat tanggungan keluarga maka petani akan memiliki pengeluaran tunai yang lebih sedikit untuk membeli input karena sehingga alokasi uang tunai banyak dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Kemudian petani dengan tanggungan kelurga yang besar memiliki tenaga kerja dalam keluarga yang banyak sehingga dalam pengelolaan usahataninya rasio upah tenaga kerja luar keluarga semakin menurun. Tingkat pendidikan memiliki pengaruh positif terhadap tingkat komersialisasi usahatani. Variabel tingkat pendidikan memiliki nilai korelasi regresi sebesar 0.875 nilai ini dapat diinterpretasikan bahwa petani dengan pendidikan yang semakin baik maka akan mempengaruhi tingkat komersialisasi yang akan meningkat juga. Pendidikan menjadi penting bagi pelaku usahatani ubi jalar sebagai upayanya untuk meningkatkan tingkat komersialisasi usahataninya. Namun variabel tingkat pendidikan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat komersialisasi dilihat dari besar P-value 0.652 (65.2 persen) yang lebih besar dari taraf nyata 5 persen hal ini menyatakan bahwa masalah pendidikan
29 petani tidak menjadi faktor yang terlalu serius dalam upaya meningkatkan tingkat komersialisasi. Variabel selanjutnya yang dilihat pengaruhnya terhadap tingkat komersialisasi adalah harga jual output. Harga jual output berpengaruh nyata terhadap tingkat komersialisasi dengan P-value yang lebih rendah dari taraf nyata 5 persen yaitu 0.048 (4.8 persen). Nilai koefisien regresi variabel harga output sebesar 11.88 menyatakan bahwa harga jual ubi jalar sebagai faktor yang paling mempengaruhi tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar setelah variabel luas lahan yang ditanami ubi jalar. Semakin meningkatnya harga jual ubi jalar yang diterima petani maka petani akan meningkatkan penjualan ubi jalarnya sehingga berpengaruh kepada meningkatnya tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar dimana peningkatan harga jual output sebesar Rp 1 000 akan meningkatkan tingkat komersialisasi sebesar 11.88 persen. Hal ini dikarenakan harga jual ubi jalar merupakan salah satu faktor yang penting untuk pemicu seorang petani dalam melakukan komersialisasi usahatani ubi jalar melalui indikator-indikator tingkat komersialisasi dimana harga jual ubi jalar yang mahal akan memicu petani untuk meningkatkan proporsi ubi jalar yan djual darpada untuk dikonsumsi sendiri. Kemudian akibat dari harga jual yang baik akan meningkatkan intensifitas pengelolaan usahatani melalui penggunaan input yang intensif dan pengunaan tenaga kerja luar keluarga yang profesional. Oleh sebab itu pemerintah sebaiknya dapat mengatur pasar melalui peninngkatan bargaining power petani dalam memasarkan hasil pertaniannya agar insentif yang diterima petani melalui harga jual ubi jalar semakin besar sehingga dapat meningkatkan tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar. Variabel Dummy Desa menjelaskan perbedaan akses desa terhadap fasilitas ekonomi. Nilai 1 untuk Desa Cikarawang yang memiliki akses dekat terhadap fasilitas ekonomi dan nilai 0 untuk Desa Purwasari yang akses terhadap fasilitas ekonominya jauh. Berdasarkan analisis regresi berganda, dummy desa memiliki nilai korelasi yang positif yaitu 2.47 yang berarti semakin baik infrastruktur dan dekat jarak akses fasilitas pasar akan meningkatkan tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar. Namun nilai P-value yang lebih besar dari taraf nyata memberikan tanda bahwa perbedaan infrastruktur dan akses kepada pasar antara Desa Cikarawang dan Desa Purwasari tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perbedaan tingkat komersialisasi antara kedua desa itu sehingga belum cukup bukti bahwa perbedaan infrastruktur dan akses kepada pasar mempengaruhi tingkat komersialisasi. Hal ini dikarenakan indikator-indikator yang digunakan untuk pengukuran tingkat komersialisasi hanya dengan indikator ekonomi namun sebaiknya ada pula indikator sosial yang ikut digunakan untuk pengukuran tingkat komersialisasi. Hubungan Tingkat Komersialisasi Terhadap Keuntungan Usahatani Penerimaan Usahatani Analisis penerimaan usahatani ubi jalar berdasarkan atas produksi per luas lahan yang telah dikonversi menjadi satu hektar dalam satu musim. Pada saat penelitian, petani responden rata-rata menggunakan varietas AC, dikarenakan permintaan pasar yang cukup tinggi.
30 Analisis terhadap pemintaan usahatani terdiri dari penerimaan tunai dan penerimaan tidak tunai. Penerimaan tunai merupakan penerimaan yang langsung diterima oleh petani dalam bentuk uang unai dari hasil penjualan ubi jalarnya. Sedangkan penerimaan non tunai adalah penerimaan yang didapatkan secara tidak langsung dalam bentuk uang melainkan berupa ubi jalar untuk konsumsi. Produksi ubi jalar merupakan keseluruhan hasil panen yang diperoleh petani pada setiap lahan yang diusahakan, karena tidak ada kegiatan sortir hasil panen. Tabel 7 Penerimaaan usahatani ubi jalar per hektar di Desa Cikarawang dan Desa Purwasari URAIAN Produksi ubi jalar yang dijual per hektar (kg) Produksi ubi jalar yang dikonsumsi per hektar (kg) Harga (Rp/kg) Penerimaan Tunai (Rp) Penerimaan Non Tunai (Rp) Penerimaan total
Cikarawang Rupiah n = 26 12 216 33 1 646 20 109 928 55 080 20 165 008
Purwasari Rupiah n = 14 13 783 362 1 286 17 720 530 465 607 18 186 137
Penerimaan usahatani ubi jalar dihitung dari hasil perkalian antara jumlah hasil produksi ubi jalar dengan harga. Berdasarkan Tabel 7 besar rata-rata produksi ubi jalar per hektar yang dijual pada musim tanam 2013 pada Desa Cikarawang adalah 12 216 kg/ha dengan persentase 99.73 % dari total produksi. Harga jual rata-rata ubi jalar di Desa Cikarawang adalah Rp 1 646/kg. Adapun produksi ubi jalar per hektar yang dijual pada Desa Purwasari adalah 13 783 kg/ha dengan persentase 97.44 % dari total produksi. Harga jual rata-rata ubi jalar di Desa Purwasari lebih murah dari pada di Desa Cikarawang yaitu Rp 1 286/kg. Penerimaan total yang diperoleh petani dari hasil penjualan ubi jalar adalah Rp 20 165 008 untuk Desa Cikarawang dan Rp 18 186 137 untuk Desa Purwasari. Penerimaan total usahatani ubi jalar di Desa Cikarawang lebih besar daripada penerimaan total usahatani di Desa Purwasari padahal rata-rata produktivitas ubi jalar per hektar di Desa Purwasari lebih besar dari pada di Desa Cikarawang namun harga jual ubi jalar di Desa Cikarawang lebih mahal daripada harga jual ubi jalar di Desa Purwasari. Hal ini membuktikan bahwa dengan semakin meningkatnya tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar akan berpengaruh pada harga jual ubi jalar yang berimplikasi pada meningkatnya penerimaan total usahatani ubi jalar. Keuntungan Usahatani Ubi jalar Keuntungan usahatani merupakan selisih antara penerimaan usahatani dengan biaya usahatani. Komponen keuntungan usahatani meliputi keuntungan atas biaya tunai dan keuntungan atas biaya total. Baik keuntungan atas biaya tunai maupun keuntungan atas biaya total di Desa Cikarawang lebih besar dibandingkan Desa Purwasari. Rincian keuntungan dan R/C rasio usahatani ubi jalar pada kedua desa dapat dilihat pada Tabel 8.
31 Usahatani dengan tingkat komersialisasi yang lebih tinggi seharusnya akan menghasilkan nilai R/C rasio yang lebih besar pula. Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa nilai R/C rasio atas biaya tunai di Desa Purwasari sebesar 4.43 lebih tinggi daripada Desa Purwasari yaitu sebesar 4.38. Pada penelitian ini usahatani ubi jalar di Desa Cikarawang dengan tingkat komersialisasi yang lebih tinggi dari usahatani ubi jalar di Desa Purwasari, memiliki nilai R/C yang lebih rendah daripada Desa Purwasari. Hal ini dikarenakan besarnya pengeluaran biaya tunai untuk usahatani ubi jalar di Desa Cikarawang tidak diimbangi dengan peningkatan penerimaan melalui peningkatan produktivitas. Produktivitas usahatani ubi jalar di Desa Cikarawang sebesar 12.2 ton/ha yang lebih rendah daripada produktivitas usahatani ubi jalar di Desa Purwasari sebesar 13.7 ton/ha menjadi penyebab nilai R/C atas biaya tunai usahatani ubi jalar di Desa Cikarawang lebih rendah daripada nilai R/C atas biaya tunai usahatani ubi jalar di Desa Purwasari. Adapun penyebab rendanya produktivitas usahatani ubi jalar di Desa Cikarawang kemungkinan karena berlebihannya pemakain input pupuk kimia yang tidak efisien sehingga menurunkan produksi ubi jalar. Tabel 8 Keuntungan usahatani ubi jalar per hektar dan R/C rasio di Desa Cikarawang dan Desa Purwasari URAIAN
Penerimaan total Total biaya tunai Biaya total Keuntungan atas biaya tunai Keuntungan atas biaya total R/C atas biaya tunai R/C atas biaya total
Cikarawang Rupiah n=26 20 165 008 4 600 834 8 513 751 15 564 174 11 651 257 4.38 2.37
Purwasari Rupiah n=14 18 186 137 4 102 136 9 259 475 14 084 001 8 926 662 4.43 1.96
Adapun nilai R/C rasio atas biaya total di Desa Cikarawang sebesar 2.37 lebih tinggi daripada Desa Puwasari yaitu sebesar 1.96. Pada usahatani ubi jalar di Desa Cikarawang memliki biaya total yang lebih rendah karena adanya adopsi teknologi mekanis yang dilihat dari biaya penyusutan alat-alat pertanian mengefisienkan biaya teknis usahatani ubi jalar sehingga biaya yang diperhitungkan untuk membayar upah tenaga kerja dalam keluarga lebih rendah daripada usahatani ubi jalar di Desa Purwasari dapat dilihat di Tabel 4. Hal ini membuktikan bahwa usahatani ubi jalar di Desa Cikarawang yang lebih komersil akan lebih menguntungkan daripada usahatani ubi jalar di Desa Purwasari dilihat dari nilai R/C rasio atas biaya total karena usahatani yang mengarah kepada komersil akan mengadopsi teknologi yang dapat mengefisienkan biaya usahatani dan meningkatan penerimaan.
32
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan tujuan penelitian yang telah diuraikan, maka simpulan yang didapatkan dari penelitian ini adalah: 1. Perbedaan infrastruktur dan aksesibilitas pasar mempengaruhi tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar. Semakin baik infrastruktur suatu daerah dan mudahnya aksesibilitas pasar akan meningkatkan tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar. Desa Cikarawang yang memiliki akses pasar yang lebih dekat dan infrastruktur yang lebih baik dari pada Desa Purwasari tingkat komersialisasi usahatani ubi jalarnya lebih tinggi daripada Desa Purwasari karena infrastruktur dan akses pasar mempengaruhi tingkat komersialisasi usahatani. Corak usahatani bagi Desa Cikarawang adalah semi komersial mengarah ke komersial (Transisi Dinamis) sedangkan Desa Purwasari adalah semi komersial mengarah ke subsisten (Transisi Statis). 2. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar adalah luas penusahaan lahan, harga jual output, dan tanggungan keluarga petani. Adapun faktor yang tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar adalah umur, pengalaman, dan tingkat pendidikan. 3. Perbedaan tingkat komersialisasi juga berdampak pada tingkat keuntungan usahatani. Tingkat keuntungan tunai dan total Desa Cikarawang lebih tinggi dibandingkan dengan Desa Purwasari. Hal ini menunjukkan bahwa semakin komersial suatu usahatani maka akan meningkatkan keuntungan usahatani. Saran Berdasarkan hasil dan pembahasan serta kesimpulan maka disarankan: 1. Pembangunan infrastruktur menjadi faktor penting dalam peningkatan tingkat komersialisasi usahatani di Indonesia karena akan memberikan kemudahan kepada para petani dalam mengakses pasar untuk menjualkan hasil-hasil produksi usahataninya maka pemerintah hendaknya melakukan perbaikan infrastruktur-infrastruktur seperti jalan menuju pasar, jembatan penghubung, dan alat-alat transportasi sehingga pendistribusian hasil panen dapat dilakukan dengan cepat. Selain itu pemerintah hendaknya juga dapat memperbaiki sistem tataniaga usahatani ubi jalar agar penetapan harga jual ubi jalar dapat menguntungkan petani sehingga dapat meningkatkan tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar karena harga jual memiliki korelasi positif dan signifikan terhadap tingkat komersialisasi ubi jalar. 2. Untuk penelitian selanjutnya hendaknya pengukuran tingkat komersialisasi tidak hanya menggunakan indikator ekonomi namun juga dengan indikator sosial.
33
DAFTAR PUSTAKA Baransano, M. 2011. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Melalui Diversifikasi Pangan Lokal di Papua Barat [skripsi]. Manokwari (ID): Universitas Negri Papua. [BPS] Badan Pusat Statitik Nasional. Berbagai tahun. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Ubi Jalar Indonesia Tahun 2008-2012. Jakarta : Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statitik Nasional. 2013. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka 2013. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statitik Nasional. 2013. Kabupaten Bogor Dalam Angka 2013. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statitik Nasional. 2013. Kecamatan Dramaga Dalam Angka 2013. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik. Gujarati D. 1999. Ekonometrika Dasar. Alih bahasa Sumarno Zain. Jakarta (ID) : Erlangga. Hernanto F. 1996. Ilmu Usahatani. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. [Kementan] Kementrian Pertanian Republik Indonesia. 2013. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Provinsi Jawa Barat dan Papua. Jakarta (ID). Kostov P dan Lingard J. 2002. Subsistence Farming in Transitional Ekonomies: Lessons from Bulgaria. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. Bogor (ID): ScienceDirect. hlm 23-94; [diunduh 2013 Des 14]. Tersedia pada: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0743016701000262 Lerman Z. 2004. Policies and Institution For Commercialization of Subsistence Farms in Transition Countries. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. Bogor (ID): ScienceDirect. hlm 461-479; [diunduh 2013 Des 14]. Tersedia pada: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1049007804000545. Limbongan J. dan Soplanit A. 2007. Ketersediaan Teknologi dan Potensi Pengembagan Ubi Jalar (Ipomea batatas L.) di Papua [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. Jakarta (ID): Litbang Deptan. hlm 131-138; [diunduh 2014 Jun 5]. Tersedia pada: http://www.pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/p3264072.pdf. Mathijs E dan Noev N. 2002. Commercialization and Subsistence in Transaction Agriculture: Empirical Evidence from Albania, Bulgaria, Hungary and Romania. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. Bogor (ID): Kuleuven. hlm 1-30; [diunduh 2013 Des 14]. Tersedia pada: https://www.lirias.kuleuven.be/bitstream/123456789/203315/1/cp02ma88.pdf. Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta (ID) : LP3ES. Pingali P dan Rosegrant M. 1995. Agricultural Commercialization and Diversification: Processes and Policies. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. Bogor (ID): ScienceDirect. hlm 171-185; [diunduh 2013 Des 14]. Tersedia pada: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/0306919295000124. [Pusdatin]Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2013. Buletin Konsumsi Pangan. Jakarta (ID). Rahayu, Y. 2001. Perbandingan Usahatani Padi Ladang Baduy Luar dan Luar Baduy Dilihat Dari Tingkat Efisiensi dan Subsistensi Usahatani (Studi Kasus di
34 Desa Kanekes dan Desa Jalupang Mulya, Kec. Leuwi Damar Kab. Lebak. Prop. Jawa Barat). [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Soekartawi. 2006. Analisis Usahatani. Jakarta (ID): UI-Press. Soekartawi, Soeharja A, Dillon JL, Hardaker JB. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Jakarta (ID): UI-Press. Wharton, C, R. 1969. Subsistence Agriculture and Economic Development. Chicago (ID) : Aldine Publishing Company. Widodo Y, Ginting E, Prasetyanti N. 2005. Tantangan Keberlanjutan Sistem Agribisnis Ubi Jalar Dan Kebijakan Yang Diperlukan. Dalam Prosiding Teknologi Inovatif Pascapanen untuk Pengembangan Industri Berbasis Pertanian. S. Hardaningsih et al (Eds.) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian. hlm 1253-1264.
35
LAMPIRAN
36 Lampiran 1 Output analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar b
Model Summary Model
R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the
Durbin-Watson
Estimate 1
.729
a
.531
.429
9.58146
2.189
a. Predictors: (Constant), DUMMY, LAHAN, TANGGUNGAN, PENDIDIKAN, UMUR, HARGAJUAL, PENGALAMAN b. Dependent Variable: KOMERSIALISASI a
ANOVA Model
Sum of Squares
1
Df
Mean Square
F
Regression
3327.702
7
475.386
Residual
2937.739
32
91.804
Total
6265.441
39
Sig.
5.178
.001
b
a. Dependent Variable: KOMERSIALISASI b. Predictors: (Constant), DUMMY, LAHAN, TANGGUNGAN, PENDIDIKAN, UMUR, HARGAJUAL, PENGALAMAN Coefficients Model
a
Unstandardized Coefficients
Standardized
t
Sig.
Coefficients B
Std. Error
(Constant)
38.938
13.473
LAHAN
28.728
9.374
-.042
PENGALAMAN TANGGUNGAN
Beta 2.890
.007
.391
3.065
.004
.205
-.040
-.204
.840
.017
.167
.021
.104
.918
-3.161
1.402
-.298
-2.255
.031
PENDIDIKAN
.875
1.919
.064
.456
.652
HARGAJUAL
11.880
6.054
.306
1.962
.048
2.469
4.049
.094
.610
.546
UMUR 1
DUMMY
a. Dependent Variable: KOMERSIALISASI Residuals Statistics Minimum Predicted Value
Maximum
a
Mean
Std. Deviation
N
34.2576
83.0958
56.8263
9.23719
40
-19.80015
15.97900
.00000
8.67909
40
Std. Predicted Value
-2.443
2.844
.000
1.000
40
Std. Residual
-2.067
1.668
.000
.906
40
Residual
a. Dependent Variable: KOMERSIALISASI
37 Lampiran 2 Analisis keuntungan per hektar usahatani ubi jalar di Desa Cikarawang dan Desa Purwasari Uraian A. PENERIMAAN TUNAI 1 Produksi ubi jalar yang dijual (kg) 2 Harga (Rp/kg) Nilai (Rp) B. PENERIMAAN DIPERHITUNGKAN 1 Produksi ubi jalar yang dikonsumsi (kg) 2 Harga (Rp/kg) Nilai (Rp) PENERIMAAN TOTAL C. BIAYA TUNAI 1 Pupuk Organik 2 Urea 3 TSP 4 KCL 5 NPK 6 Perangsang Umbi 7 Pupuk Daun 8 Pestisidan Cair 9 Tenaga Kerja LK 10 Biaya Irigasi 11 PBB BIAYA TUNAI TOTAL D. BIAYA DIPERHITUNGKAN 1 Bibit 2 Tenaga Kerja DK 3 Penyusutan BIAYA DIPERHITUNGKAN TOTAL BIAYA TOTAL PENDAPATAN TUNAI PENDAPATAN TOTAL R/C RASIO TUNAI R/C RASIO TOTAL
Desa Cikarawang
Desa Purwasari
12 216 1 646 20 109 928
13 783 1 286 17 720 530
33 1 646 55 080 20 165 008
362 1 286 465 607 18 186 137
1 350 890 72 692 14 000 7 692 488 284 5 769 50 769 42 076 2 229 748 19 230 319 679 4 600 834
561,619.05 195,428.57 0 0 201 587 0 28 571 19 650 2 857 481 0 237 797 4 102 136
1 169 231 2 171 441 572 246 3 912 917 8 513 751 15 564 174 11 651 257 4.38 2.37
1 293 611 3 593 418 270 310 5 157 339 9 259 457 14 084 001 8 926 662 4.43 1.96
38
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 29 Januari 1993. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Ayahanda H. Amizuar Sidi Tanjung, BA dan Ibunda Dra. Hidayati Razak. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama pada tahun 2007 di SMP Islam Terpadu Al-Binaa Bekasi. Pendidikan lanjutan menengah atas di SMA Islam Terpadu Al-Binaa Bekasi selesai pada tahun 2010. Semua pendidikan penulis berada di Kabupaten Bekasi Provinsi Jawa Barat. Penulis diterima pada Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur tes tulis Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada tahun 2010. Selama menjalankan perkuliahan penulis tercatat sebagai pengurus Himpunan Profesi Mahasiswa Agribisnis (HIPMA) 2 tahun berturut yaitu pada periode 2011-2012 sebagai staf divisi kewirausahaan dan pada periode 2012-2013 sebagai ketua divisi kewirausahaan. Selain itu penulis juga aktif di kegiatan sosial salah satunya adalah menjadi Mahasiswa Pendamping Kelembagaan POSDAYA (Pos Pemberdayaan Keluarga) yang meupakan salah satu kegiatan P2SDM-LPPM IPB. Beberapa prestasi pernah diraih oleh penulis selama menjadi mahasiswa IPB diantaranya adalah lolos pendanaan proposal lomba Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM) selama 2 tahun berturut-turut yaitu pada tahun 2012 untuk PKMKewirausahaan dan pada tahun 2013 untuk PKM-Penelitian kedua-duanya mengenai Agribisnis. Selain itu prestasi lainya adalah menjadi finalis lomba Asia Social Inovation Camp tingkat Indonesia pada tahun 2014 dan pernah menjadi finalis mahasiswa berprestasi tingkat Departemen Agribisnis pada tahun 2012.