DAFTAR ISI Ekspedisi Citarum Wanadri 2009........................2 Muara Gembong, Bekasi......................................4 Sekilas Potret Masyarakat Muara..........................9 Pencemaran Air: Berkah atau Bencana?............18
Fotografi: Veronica Wijaya, Candra Samekto, Diella Dachlan Editor: Candra Samekto. Teks & Layout: Diella Dachlan xx
Ekspedisi Citarum Wanadri 2009 Penyusuran sungai Citarum dari hulu hingga hilir menjadi salah satu kegiatan ekspedisi Wanadri pada tahun 2009 ini. Wanadri merupakan perhimpunan penempuh rimba dan pendaki gunung, yang didirikan pada tahun 1964 berlokasi di Bandung. Dalam kegiatan ekspedisi ini, Wanadri melakukan pendataan dan pendokumentasian di sepanjang sungai Citarum. Selain mengamati kondisi sungai berikut permasalahannya, ekspedisi ini juga akan merekam sisi sosial masyarakat yang hidup di sepanjang aliran sungai Citarum melalui kegiatan wawancara dan diskusi. Persiapan kegiatan dilakukan sejak pertengahan tahun 2009 dengan dukungan dari berbagai pihak, termasuk kontribusi para anggota senior Wanadri dan sumber pendanaan lainnya. Rencananya, ekspedisi ini akan dilaksanakan dalam kurun waktu sekitar enam hingga sembilan bulan, yang juga akan diikuti oleh para anggota Wanadri dari berbagai angkatan. Kegiatan ekspedisi kali ini dikhususkan untuk merekam kawasan muara Citarum di daerah Bekasi. Selain mendapatkan data dan dokumentasi yang merekam kondisi fisik dan sosial kehidupan di sungai Citarum, diharapkan pula agar kegiatan ini dapat menjadi bagian dari kampanye kepedulian isu-isu dan permasalahan Citarum kepada masyarakat luas. 2
3
Muara Gembong, Bekasi Daerah muara Sungai Citarum yang berada di Kabupaten Bekasi yaitu Muara Gembong, terletak sekitar 64 kilometer dari pusat Kota Bekasi. Secara administratif, kecamatan ini berada di antara Jakarta Utara dan Kabupaten Kerawang. Usaha perikanan banyak ditemui di daerah ini, misalnya tambak ikan bandeng, keramba ikan di sungai dan laut yang dikelola kelompok-kelompok individu, penangkapan ikan laut, kepiting dan udang oleh nelayan.
4
Menurut penduduk setempat, sampai menjelang akhir tahun 80-an, kawasan ini dulunya memiliki kawasan hutan bakau yang luas. Monyet banyak ditemui disini, demikian juga satwa lain seperti burung dan ular.
5
Kini kondisinya jauh berbeda. Dengan semakin pesatnya perkembangan penduduk di daerah ini, beralihnya fungsi lahan hutan bakau menjadi lahan usaha dan permukiman, maka keberadaan satwa tersebut semakin tersingkir dan jarang terlihat. Dari segi lingkungan, kondisi sungai pun mengalami penurunan dan mulai menghadapi berbagai masalah. Salah satu masalah yang paling sering dikeluhkan oleh penduduk sekitar adalah pembuangan limbah industri yang diduga berasal dari Kerawang dan Bekasi. Limbah ini bukan hanya membuat air sungai menjadi berbau, tetapi juga mengakibatkan ikan mati, sehingga merugikan usaha perikanan.
6
Masalah banjir yang datang setiap tahun antara bulan Desember dan Februari pun menyebabkan kerugian bagi penduduk setempat, seperti usaha tambak ikan merugi, gagal panen, dan penyakit. Di pertemuan antara sungai dan laut lepas, juga terjadi pendangkalan akibat endapan lumpur yang semakin lama semakin tebal. Di lokasi ini ketinggian air di beberapa tempat hanya mencapai setengah meter. Sehingga hal ini menyulitkan bagi perahu nelayan yang seringkali kandas. Menurut laporan media, sekitar sebelas hilir sungai di pantai utara Kabupaten Bekasi ini mengalami pendangkalan sepanjang 2 kilometer ke arah laut. Sebelas hilir itu di antaranya Muara Bendera (Citarum), Muara Mati, Muara Besar, Muara Kuntul, Muara Jaya, Muara Gobah, Muara Blacan, Sungai Labuh, Cikarang Bekasi Laut, Muara Bungin, dan Muara Beting. (Koran Tempo, 15 Juli 2008)
7
Bencana akibat daya rusak air sepertinya tidak berhenti sampai di sini. Bahaya Abrasi masih terus mengancam hingga saat ini. Pada beberapa puluh tahun yang lalu bibir pantai masih sekitar 200 hingga 300 meter dari bibir pantai yang terlihat saat ini (Republika, 16 Juni 2007). Dalam dua tahun terakhir ini abrasi yang terjadi nampak semakin parah. Penggerusan pantai ini dikatakan telah menghilangkan sekitar seribu hektar lahan tambak petani. Penduduk sekitar menengarai bahwa pencurian pasir laut dan kerusakan hutan mangrove sebagai penyebab percepatan terjadinya abrasi (Koran Tempo, 19 Agustus 2004).
8