Laporan Foto
Menyusuri Citarum Bersama Masyarakat Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWSC)
Komunitas Menyusur Citarum Cieunteung Kini Sungai Yang Kini Mati Ibarat Toko Serba Ada Kampung Adat di Kelokan Sungai Apa Kata Mereka?
xx
DAFTAR ISI
Komunitas Menyusur Citarum
2
Cieunteung Kini
6
Sungai Yang Kini Mati
10
Ibarat Toko Serba Ada
14
Kampung Adat di Kelokan Sungai
18
Apa Kata Mereka?
20
Sumber: Solusi Aspiratif Penanganan Masalah Sungai Mati oleh Dr.Ir.Dede Rohmat, M.T Dinas Pariwisata Budaya Propinsi Jawa Barat
Foto: Ng Swan Ti /Dok Cita-Citarum Teks dan Layout: Diella Dachlan
Komunitas Menyusur
CITARUM
omunitas-komunitas yang tergabung dalam Perhimpunan Kelompok Kerja Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum bersama masyarakat di Kecamatan Bale Endah dan Dayeuh Kolot, melaksanakan kegiatan susur sungai Citarum selama seminggu, yaitu mulai tanggal 27 September hingga 3 Oktober.
K
Penyusuran sungai dilakukan mulai dari Sapan hingga ke Nanjung, dengan fokus untuk menyisir dan melihat permasalahan di daerah-daerah yang sering terkena banjir. Kecamatan Bale Endah dan Dayeuh Kolot Kabupaten Bandung menjadi langganan banjir, terutama jika hujan deras turun. Selain kerugian moril dan material, Banjir menyebabkan permasalahan baru, yaitu saling curiga di antara masyarakat. “Ada yang bilang kalau banjir besar ini akibat daerah hulu yang gundul dan gerusan tanah masuk ke sungai hingga sungai dangkal. Lalu ada lagi yang bilang karena sungai Citarum ini diluruskan.” Kata Edi Yusuf, tokoh masyarakat Cigosol, Andir, yang akrab dipanggil Abah Edi. Saling tuding karena permasalahan banjir ini pun terjadi di tingkat masyarakat. “Karena itu, kami berharap melalui kegiatan ini, masyarakat bersama-sama dapat mengetahui kondisi permasalahan dengan lebih jelas agar tidak saling tuding lagi” Kata Abah Edi, yang juga merupakan koordinator kegiatan susur Citarum bersama masyarakat ini. “Selama ini kita hanya mendengar permasalahan banjir dan Sungai Citarum dari media dan pemerintah. Sebagai masyarakat, kami ingin mengetahui sendiri benarkah apa yang dikatakan itu, kami ingin mengenali permasalahan sungai di daerah kami ini lebih jauh” Kata Deni Riswandi atau Kang Deni, Ketua Perhimpunan Kelompok Kerja Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum. 2
Kalau dari sisi instansi pemerintahan, permasalahannya lain lagi, permasalahan ditangani di instansi yang berbeda-beda. “Sebagai masyarakat, kami seringkali bingung untuk melaporkan ke beberapa instansi yang berbeda-beda. Padahal kalau ada penanganan terpadu dan instansi pemerintah bisa bekerja lebih luwes antar instansi, akan lebih mudah menangani kompleksnya permasalahan di Citarum”. Kata Kang Deni. Photo by: Diella Dachlan/Doc. Cita-Citarum
Anak Sungai dan Sungai Mati Penyusuran sungai dilakukan juga di anak-anak sungai Citarum seperti Sungai Citarik, Cikeruh, Cikaranyapu, Cikapundung, Cisangkuy, Citepus, Cijagra dan Ciputat. “Tim dibagi menjadi tim susur yang menggunakan perahu motor dan perahu dayung, dan tim darat yang menggunakan motor atau mobil” Abah Edi menjelaskan. “Selain melihat kondisi anak-anak sungai, juga sekalian sosialisasi kegiatan bersama masyarakat yang dilalui dan juga untuk mengetahui harapan masyarakat”. Total seluruh anggota susur sungai yaitu 50 orang yang terdiri dari komunitas lembaga swadaya masyarakat, unsur Muspika (RT, RW, Kecamatan), remaja karang taruna dan Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWSC). Selain menyusuri anak sungai, tim penyusur juga melihat kondisi beberapa bekas sungai (oxbow) dari normalisasi Sungai Citarum. Bekas sungai seperti di daerah Cigosol, Kelurahan Andir, kondisinya memprihatinkan. Daerah ini sebagian besar tertutup sampah. Jika bukan penduduk setempat, agak sulit melihat kalau daerah ini dulunya merupakan sungai yang cukup lebar. Meskipun demikian, ada pula bekas sungai yang masih dimanfaatkan masyarakat sebagai tempat beternak ikan dan pemancingan, seperti di daerah Mekarrahayu. Kondisi airnya pun masih baik dan tempat ini menjadi tempat rekreasi warga sekitarnya. 3
Difasilitasi oleh Balai Besar Wilayah Sungai Citarum Kegiatan penyusuran sungai bersama masyarakat ini difasilitasi oleh Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWSC) Ir. Mudjiadi, M.Sc. Melalui Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pendayagunaan Tata Guna Air Tanah (PTGA) dan PPK Operasi dan Pemeliharaan (OP), BBWSC membantu fasilitasi alat seperti mesin perahu, pelampung dan juga logistik lainnya untuk menunjang kegiatan penyusuran sungai ini. Survey bersama masyarakat ini juga perlu untuk persiapan penanganan jangka pendek banjir nanti. Masyarakat akan membantu memetakan lokasi-lokasi yang perlu segera ditangani seperti untuk pengerukan, perbaikan tanggul, yang memang menjadi mandat dari BBWSC”. Kata Pak Asep Kuryana, PPK PTGA. Menurut Pak Asep, masyarakat lebih mengenali permasalahannya sendiri, karena sehari-hari mereka yang tinggal di sana. “Kami membantu memfasilitasi saja, semoga hasilnya dapat berguna untuk mengkomunikasikan kondisi dan situasi saat ini kepada masyarakat sendiri.” Kata Pak Asep. “Inginnya, kami juga mengajak instansi pemerintah seperti dari Kementerian Lingkungan Hidup, Bappenas, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Pertanian dan Kementerian Kesehatan agar semuanya ikut serta.” Kang Deni berharap. “Untuk kegiatan ini, kami mengajak rekan-rekan jurnalis untuk ikut serta agar semakin banyak masyarakat yang mengetahui kondisi Sungai Citarum”. Hasil penyusuran sungai ini menurut rencana, akan dipresentasikan oleh tim penyusur sungai kepada BBWSC dan masyarakat.
Cieunteung Kini Cieunteung, sebuah desa yang terletak di sisi bawah jembatan Bale Endah dan persis di sisi sungai Citarum, menjadi salah satu daerah paling parah terimbas banjir, terutama jika hujan deras turun di daerah Majalaya dan Banjaran. Tanggul setinggi 1.5 meter yang dibangun antara desa dan sungai, tidak sanggup menahan luapan air yang bisa mencapai ketinggian 3 meter jika hujan deras turun berhari-hari seperti yang terjadi di awal tahun ini. Akibatnya air masuk ke desa dan merendam rumah-rumah warga. Ketika banjir besar datang sebagaimana yang terjadi di akhir tahun 2009 dan awal tahun 2010, dari atas jembatan Bale Endah, desa Cieunteung berubah menjadi ibarat danau besar, dimana batas antara sungai dan desa tidak lagi jelas. Banjir pun meninggalkan lumpur tebal yang ketika awal tahun 2010 menutupi nyaris seluruh desa dan membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menyingkirkannya. Situasi ini membuat sebagian besar warganya memilih bertahan di pengungsian di bangunan-bangunan umum di daerah Bale Endah. Salah satu yang paling parah terkena banjir adalah RW 20 dengan penduduk sekitar 370 keluarga atau 1,047 jiwa. Menurut data Posko banjir Desa Cieunteung (per tanggal 29 September 2010), sekitar 30 kk atau 180 jiwa penduduk masih bertahan di pengungsian. 6
“Sekarang setiap hujan turun, hati saya tidak bisa tenang. Banjir bisa datang sewaktuwaktu. Sejak banjir akhir tahun lalu, sampai sekarang masih banyak warga yang memilih bertahan di pengungsian. Mereka hanya kembali ke rumah pada siang hari untuk membersihkan rumah” Kata Pak Rohmat, wakil ketua RW 20, yang juga merupakan salah satu pengurus Posko banjir Cieunteung. Banjir besar kembali datang pada sebelum Hari Raya Idul Fitri, 8 September yang lalu, dan Idul Fitri dirayakan warga di pengungsian. Kini lumpur tidak lagi setebal awal tahun 2010, dimana lumpur mencapai lebih dari setengah meter di berbagai tempat. Kalau dulu jalan desa tidak bisa dilalui karena tertutup lumpur tebal, kini meskipun becek dan tergenang air, tetapi masih dapat dilalui kendaraan dan berjalan kaki. Namun hingga kini bekas-bekas banjir tetap terasa. Di sana-sini terlihat warga mengecat ulang tembok rumahnya, namun tetap saja tidak dapat menghapus bekas batas banjir yang membentuk garis coklat panjang di tembok rumah. Perahu-perahu kayu masih terlihat di sisi jalan desa dan jika kita melongok ke dalam rumah-rumah di Cieunteung, banyak rumah yang terlihat kosong tanpa barang. Tanda “Rumah ini dijual atau dikontrakkan” terlihat di beberapa rumah.
xx
Sungai Citarum kini lebih lebar tapi juga lebih dangkal. Pengerukan dan upaya memperdalam sungai memang dapat menjadi alternatif solusi dari permasalahan yang ada saat ini.
“Harga tanah disini murah, kalau tidak salah 1 tumbak-nya (14 meter) hanya Rp 1 juta. Siapa yang mau tinggal di daerah yang terusterusan terkena banjir?” Kata Pak Rohmat setengah bertanya pada dirinya sendiri. Menanggapi isu relokasi, Pak Rohmat mengatakan saat ini ada kerisauan warga karena adanya informasi simpang siur mengenai kejelasan relokasi. “Ada yang bilang kalau tanah ini sengaja dibeli murah karena akan dijadikan tempat wisata, ada yang bilang lokasi relokasi di gunung yang aksesnya susah, masih belum jelas mana yang benar”. Kata Pak Rohmat. Yang diharapkan warga adalah kejelasan mengenai isu pemindahan ini. Harapan beliau adalah lokasi baru nanti lebih layak dan tidak terlalu jauh dan jika benar kalau ada pembebasan tanah, maka beliau berharap harganya layak atau tidak dibeli dengan harga yang terlalu murah.
8
Mesin penyedot air. “Biaya operasional mesin ini cukup mahal karena kapasitasnya juga besar. Sehari bisa makan bensin 100 liter, wah tidak kuat deh kalau hanya swadaya masyarakat” Kata Pak Rohmat, wakil ketua RW 20 desa Cieunteung.
Sungai dangkal tidak dapat menahan ribuan meter kubik air yang datang melintasi sungai ketika hujan datang. Namun solusi ini tidak tepat untuk solusi jangka panjang. Perlu upaya terpadu, baik struktural ( seperti pembuatan tanggul dan pengerukan) dan non-struktural (penghijauan, pertanian ramah lingkungan dan tidak menanam tanaman sayuran di lerenglereng gunung, perbaikan tata ruang) juga harus dilakukan.
xx
Kondisi oxbow di Cigosol
Sungai Yang Kini Mati Masuknya tanah dalam jumlah besar ke dalam
sungai membuat sungai semakin dangkal dan daya tampung sungai berkurang. Akibatnya, air sungai limpas atau luber ke sisi-sisi sungai yang menyebabkan genangan air di daerah sekitarnya. Salah satu alternatif penanggulangan permasalahan seperti ini yang dilakukan secara struktural (membutuhkan pembangunan fisik) adalah dengan cara meluruskan sungai. Pelurusan sungai atau yang dikenal dengan istilah normalisasi sungai bertujuan untuk membantu mengalirkan curah hujan yang masuk ke dalam sungai dengan cepat, dan meningkatkan daya tampung meningkat. Sehingga laju air sungai di musim hujan akan lebih cepat mengalir dari hulu ke hilir. Di sisi lain, normalisasi sungai meninggalkan bekas kelok-kelok sungai yang disebut dengan istilah Oxbow. Normalisasi Sungai Citarum dilakukan sejak tahun 1990-an. Normalisasi ini dilakukan juga pada anakanak sungai Citarum seperti Sungai Cisangkuy. Ketika menyusuri sungai Citarum di wilayah Bale Endah, terlihat beberapa bekas kelok-kelok sungai.
10
Kondisinya berbeda-beda Daerah Cigosol, kelurahan Andir, Kecamatan Bale Endah, adalah salah satu desa yang dilewati aliran Sungai Cisangkuy. Setelah normalisasi, bekas sungai ini sama sekali tidak terlihat tanda-tanda kehidupan bekas sungai. Lahan ini kini ditutupi oleh gulma, ilalang dan sampah. Sungai yang dulunya mengalir dan digunakan warga untuk beraktifitas sehari-hari dari mandi, mencuci hingga kegiatan rekreasi seperti berenang dan memancing, kini seperti sungai mati. Hanya genangan air dan cerita penduduk setempat-lah yang mengingatkan bahwa kalau lokasi ini dulunya adalah sungai. Penduduk masih mengingat batasnya sebelum tertutup tanah dan sampah.
xx
Permasalahan lain di sungai mati ini antara lain permasalahan genangan air atau banjir jika musim hujan tiba. Masalah lainnya adalah buruknya kondisi sanitasi karena genangan air dan sampah yang tertinggal setelah banjir. Selain itu penyalahgunaan terhadap lahan sungai mati, antara lain dengan mendirikan bangunan tanpa ijin dan menjadikan area tersebut menjadi tempat sampah baru. Lahan sungai mati ini statusnya milik negara. Sungai mati ini jika ditata dan dimanfaatkan dengan benar dapat menjadi ruang terbuka untuk warga sekitar, misalnya dengan memanfaatkannya sebagai taman. Atau bisa juga menggunakan bekas aliran air sebagai tempat beternak ikan. Jika di Cigosol, kondisi sungai mati ini amat memprihatinkan, berbeda kondisinya dengan oxbow di Cigosol, di Kampung Mahmud di daerah Mekarrahayu, Kecamatan Marga Asih. Bekas sungai Citarum yang disodet ini masih digunakan warga kampung ini sebagai tambak untuk tempat memancing. Airnya relatif bersih. Tanah hasil penggalian sungai di ujung daerah oxbow kini digunakan warga kampung itu untuk ditanami padi. Kondisi keseluruhannya lebih rapi dan tertata. Sesungguhnya, jika dimanfaatkan dengan baik dan benar, bekas sungai ini masih bisa berfungsi dan dimanfaatkan oleh warga sehingga tidak perlu menjadi sungai mati.
Sungai lama di Kampung Mahmud yang masih digunakan warga
xx
xx
Ibarat Toko Serba Ada Sungai seringkali masih digunakan sebagai tempat membuang sampah. Jika dulu membuang sampah ke sungai ini tidak langsung terlihat efek kotornya, dengan pertumbuhan penduduk yang pesat dan permukiman serta industri di sepanjang sungai yang tumbuh pesat dalam 20 tahun terakhir ini, dalam sekejap sungai bisa terlihat seperti tempat pembuangan akhir (TPA).
Sungai Citepus bermuara ke Sungai Citarum
Menyusuri sungai dengan perahu karet bermesin
motor tidaklah berjalan lancar. Perahu sering berhenti karena baling-balingnya tersangkut sampah kain atau plastik. Perahu mengarungi sungai bersama dengan sampah-sampah yang mengambang di sepanjang badan sungai. Di beberapa tempat terlihat gundukan sampah di sisi-sisi sungai. Ketika hujan, sampah pun akan jatuh ke sungai. Tidak hanya itu, seringkali terlihat warga yang membuang sampah dengan melemparnya langsung ke sungai. Di Bojong Citepus, anak sungai Citarum, misalnya. Pemulung yang memungut sampah dengan menggunakan perahu sekilas tidak terlihat sedang mendayung di atas air. Lebar badan sungai nyaris tidak terlihat karena tertutup sampah. Mengenaskan memang. Jika Anda berhenti sejenak di pinggir sungai ini, cobalah ambil waktu sejenak untuk melihat barang-barang yang ada mengambang perlahan-lahan di atas air. Ibarat toko serba ada, demikianlah kondisi sungai ini. 16
Botol-botol plastik, bungkus rokok, bungkus sabun, kemasan makanan dan minuman dari berbagai macam merk. Sendal jepit, sepatu, kain, ban bekas, botol kaca, dan lain sebagainya. Ketiadaan tempat pembuangan sampah di tingkat RT disebut-sebut menjadi penyebab warga membuang sampah ke sungai. Ada juga yang menyebutkan bahwa perilaku dan kebiasaan membuang sampah tidak pada tempatnya juga menjadi alasan utama. Sekali lagi saling tuding dan duga-menduga terjadi, siapa yang harus bertanggungjawab terhadap sampah ini? Membuang sampah di sungai memang praktis, karena dalam waktu sekejap, sampah akan hilang bersama aliran air. Namun jika sungai yang bertanggung jawab atas sampah yang dibuang ke badannya, maka kita semua ikut merasakan dampak “kekenyangan” sungai terhadap sampah, yang seringkali muncul dalam wujud bencana. 17
Kampung Adat di Kelokan Sungai Jika Anda berjalan-jalan menyusuri Sungai Citarum, masuk ke daerah Cilampeni menuju Curug Jompong, mampirlah ke Kampung Mahmud, sebuah kampung kecil yang terletak di salah satu kelokan Sungai Citarum yang kini sudah diluruskan. Kampung Mahmud secara administratif masih masuk ke dalam wilayah Desa Mekarrahayu, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung. Ciri tanda masuk kampung ini adalah papan nama “Makom Mahmud”. Yang menjadi ciri khas desa ini adalah sebagian besar bangunan rumah warganya terbuat dari bambu dan bentuknya masih berupa rumah panggung. Menurut sumber-sumber literatur yang ada, hal ini merupakan bagian dari adat dari kampung ini, yaitu melarang masyarakatnya membuat bangunan dari tembok, memelihara binatang ternak seperti kambing dan angsa. Namun Kampung Mahmud saat ini berbeda. Di sana-sini terdapat bangunan bertembok bata. Binatang ternak seperti kambing pun terlihat di desa ini. Kampung Mahmud, dengan penduduk sekitar 200 kepala keluarga dengan luas daerah sekitar 4 hektar, terdapat makam-makam tokoh agama dan pendiri kampung Mahmud. Sehingga kampung ini ramai dikunjungi oleh pengunjung untuk berziarah, terutama di malam Jumat, atau di hari-hari besar umat Islam lainnya. 18
Bekas sungai Citarum lama yang dibuat tanggul oleh warga untuk jalan kampung
Konon, pendiri Kampung Mahmud, Embah Eyang Abdul Manaf, masih keturunan Syarif Hidayatullah, seorang wali yang berasal dari Cirebon. Nama Mahmud, menurut cerita, diambil dari nama tempat ketika Embah Eyang Abdul Manaf naik haji ke Mekkah. Menurut cerita turun temurun, segenggam tanah yang dibawa beliau dari Mekkah mengubah rawa yang terletak di belakang kampung ini menjadi lahan kering, sehingga dapat dibangun permukiman warga hingga sekarang. Dede (38 tahun), seorang warga Kampung Mahmud yang ditemui sedang mengerjakan sawahnya mengatakan di belakang kampung ini terdapat hutan yang menurut adat Sunda adalah hutan larangan. Hutan larangan adalah kearifan setempat untuk menjaga kelestarian lingkungan dengan menetapkan daerah-daerah yang dilindungi, dimana pohon tidak boleh ditebang dan binatang tidak boleh diburu. “Tapi sejak jaman Belanda pun, hutan larangan ini sudah ditebang dan berubah menjadi kebun” kata Dede. Pada tahun 2000, Sungai Citarum yang mengalir melalui kampung Mahmud ini diluruskan. Bekas sungai Citarum lama masih dapat ditemui di belakang kampung ini. Airnya relatif masih bersih dibandingkan dengan Sungai Citarum baru. 19
“Dulu warga menggunakan Sungai Citarum untuk mandi, cuci dan mengambil air untuk minum dan memasak. Ketika mulai banyak limbah, warga tidak berani memakai air sungai, maka di kampung ini warga menggunakan sumur tanah.” Cerita Dede. Sungai Citarum lama masih dimanfaatkan warga kampung untuk memancing dan beternak ikan. Pohon-pohon bambu di sekitar sungai lama memberikan keteduhan sehingga kegiatan memancing atau sekedar bersantai sering dilakukan bukan saja oleh warga kampong, namun juga masyarakat pengunjung. Gambaran kehidupan relijius terlihat dari penampilan warga Kampung Mahmud. Terlihat rata-rata kaum laki-laki menggunakan sarung dan baju koko untuk beraktivitas, sedangkan kaum perempuannya menggunakan penutup kepala seperti selendang atau jilbab. Untuk pekerjaan sehari-hari, mayoritas penduduk kampung bekerja sebagai petani. Usaha pembuatan mebel dari kayu pun terlihat di berbagai sudut kampung. Sayangnya ketika mengunjungi Kampung Mahmud, para tetua yang memahami sejarah kampung ini sedang tidak berada di tempat, sehingga keingintahuan lebih jauh mengenai asal usul dan adat istiadat kampung apik di kelokan Sungai Citarum ini terpaksa harus ditunda di lain waktu. 20
Apa Kata Mereka
Teteh Emil “Ingin Sungai Dikeruk” Teh Emil masih mengingat dengan baik sungai Citarum yang dulu jernih. “Saya dulu sering mandi-mandi di sungai Citarum.” Kenang Teh Emil (32 tahun) warga RW 20 Cieunteung. “Waktu itu sungainya jernih, dasarnya masih bisa kelihatan. Bukan saja kami anak-anak yang berenang, ibu-ibu juga kadang ikut mandi-mandi di sini dan mencuci beras pun di sungai”. Menurut Teh Emil, seiring dengan berjalannya waktu, aktivitas warga di sungai pelan-pelan berkurang. “Kalau tidak salah sekitar tahun 1980an, ketika sungai mulai ada limbahnya. Air tiba-tiba berwarna hitam, jadi warga tidak berani mandi atau bermain di sungai” Cerita Teh Emil. Banjir akibat meluapnya sungai Citarum, tak luput ikut menerjang rumah Teh Emil yang berada di sisi sungai. “Barang-barang pada hilang, hanyut dibawa air. Sekarang rumah kami kosong” 22
Setelah berulangkali menghadapi masalah banjir, Teh Emil sempat pindah ke daerah Manggahang. Menurutnya, tidak lama beliau dan kedua anaknya tinggal di sana, mereka memutuskan untuk kembali ke Cieunteung. “Di sana jauh, jadi nambah ongkos untuk anak sekolah, jadi biar banjir saya tetap memilih disini” Kata Teh Emil. Suaminya menjadi pedagang di Jakarta dan hanya kembali sekali-sekali ke kampungnya. Teh Emil berharap agar sungai Citarum segera dikeruk. Menurutnya pengerukan akan mengembalikan kedalaman sungai, sehingga banjir tidak lagi masuk ke rumah dan kampungnya.
Abah Ayi “Aktifkan Sungai Mati” Abah Ayi, warga desa Cigosol RW 09, Kelurahan Andir sudah 25 tahun tinggal di daerah ini. Menurut beliau kalau dulu banjir bisa diperkirakan, misalnya karena musim hujan dan hujan turun berharihari. “Airnya pun naik pelan-pelan sehingga kami bisa mengungsi. Sejak 2005, banjir lebih sering datang. Yang parah awal 2010 ini, hujan sedikit saja sudah banjir”. Cerita Abah Ayi. Cigosol terletak di tepi Sungai Citarum dan Cisangkuy. Daerah ini pun merupakan salah satu daerah yang terkena normalisasi sungai. Abah Ayi tampak bersemangat ketika menceritakan tentang bekas sungai Cisangkuy. Normalisasi sungai meninggalkan sungai mati yang kini beralih lahan menjadi rawa. Becek, penuh sampah dan berbau. Jika tidak dijelaskan bahwa daerah itu adalah bekas sungai, sepintas tampak hanya seperti selokan dan lahan becek. 23
Untuk menunjukkan bekas sungai yang kini mati, Abah Ayi mengajak kami untuk naik ke atap seorang warga yang berlantai tiga untuk menunjukkan batas-batas bekas sungai yang dulu. “Seandainya bekas sungai ini bisa diaktifkan lagi untuk tempat air jika banjir, apakah banjir bisa berkurang di kampung kami?” Abah Ayi bertanya, setengahnya pada dirinya sendiri. Anganangan Abah Ayi melihat bekas sungai itu dapat dimanfaatkan untuk beternak ikan. “Setidaknya bisa ditanam ikan mas, nila, gabus, lele. Lumayan untuk tambahan, daripada jadi tempat sampah seperti ini” Kata Abah Ayi.
Kang Dodi “Ingin Sungai Bersih Lagi” Kang Dodi (29 tahun) dulunya bekerja di pabrik plastik. Sejak di-PHK tahun 2007, Kang Dodi memutuskan untuk menjadi pengepul plastik, mengumpulkan plastik dari lokasi-lokasi pemulungan plastik dari sungai. Setelah plastik dikumpulkan dari pemulung, plastik kemudian dipilah berdasarkan jenisnya. “Ada jenis-jenis plastik yang harga jualnya berbeda-beda”. Kata Kang Dodi. Misalnya plastik bening besar lembaran akan berbeda harga jual per kilogramnya dengan jenis plastik kresek yang sering digunakan untuk berbelanja. “Jika sudah dicuci, plastik jenis Highdensity polyethylene harga per kilogramnya yaitu Rp 6,000. Sedangkan plastic Polypropylene (PP), per kilogram dalam keadaaan bersih mencapai Rp 4,000.” Kata Kang Dodi yang fasih menerangkan tentang jenis-jenis plastik industri itu. Mencuci plastik dilakukan Kang Dodi di sungai. “Saya dulu mencuci plastik di aliran limbah di pabrik tekstil yang di pinggir jalan itu” Katanya Kang Dodi. Menurutnya, dengan mencuci di buangan air limbah dalam waktu singkat plastiknya jadi cepat xx bersih dibandingkan kalau dicuci di aliran
air sungai. Hal ini karena zat kimia di dalam buangan limbah itu mempecepat plastik kotor berubah menjadi bersih. Namun diakuinya, mencuci plastik di air limbah bukannya tanpa resiko. Gatal-gatal dan iritasi kulit sehari-hari dialaminya. “Kalau sudah gatal, jangan pernah digaruk, akan semakin parah. Biarkan saja dan nantinya ditaburkan bedak saja” Kata Kang Dodi memberi tips. Namun saat ini Kang Dodi mencuci plastik di aliran Sungai Citarum. “Sekarang pihak pabrik selalu menanyakan dimana plastikplastik ini dicuci. Mereka tahu kalau plastik dicuci di air yang bersih atau tidak dari tingkat kejernihan plastik. Harga jualnya pun sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan mencuci di air limbah” kata Kang Dodi. Kini Kang Dodi memiliki lapak usaha plastik miliknya sendiri dan dapat mempekerjakan buruh lepasan. Daerah Cilampeni tempatnya bekerja tak luput dari serangan banjir. “Pernah air mencapai sepinggang di awal tahun 2010 yang lalu, padahal lihat batas air masih jauh di bawah itu kalau dalam kondisi biasa” Ceritanya.
Abah Edi “Berhenti Saling Menyalahkan!” Kampung Abah Edi, di Cigosol Kelurahan Andir, sejak lima tahun belakangan ini menjadi langganan banjir. Ketinggian air mencapai lebih dari setengah meter. Menjelang Lebaran Idul Fitri yang lalu, kampung ini kembali disambangi banjir.
Tahun 1986, Yani Septiani, anak perempuan sulungnya yang masih bayi, sempat terjatuh ke genangan banjir ketika hendak mengungsi. Dua puluh tiga tahun kemudian, Yani menikah ketika banjir besar kembali datang ke Cigosol.
Genangan air di rumah-rumah warga, membuat warga merayakan Idul Fitri di tengah suasana banjir. Diirini takbir Idul Fitri, warga masih sibuk mengungsi dan mengamankan barang-barang.
“Dia sampai menangis karena pada saat menikah pun, banjir datang lagi” Kata Abah Edi mengenang.
“Kalau anak-anak di tempat lain saat itu sudah rapi memakai baju baru, anakanak di tempat kami berenang di air banjir” Cerita Abah Edi menahan haru. Menurut Abah Edi, kampungnya dari dulu memang seringkali tergenang jika hujan deras, tetapi kondisi banjir tidak separah saat ini. Paling tidak, genangan air dulu hanya mencapai mata kaki atau lutut. 25
Abah Edi berharap persoalan banjir ini dapat tuntas diselesaikan oleh semua pihak.“Percuma kalau saling menyalahkan. Kita ini harus mencari solusi bersama untuk mengatasi banjir” tegas beliau.
Pak Ujang “Dulu Citarum Lebih Dalam” Pak Ujang (60 tahun) sejak tahun 1965 sudah bekerja di sungai Citarum, menjadi penyeberang perahu di desa Bojong Rancamanyar. Masyarakat Sunda menyebut jenis penyeberangan itu sebagai Getek. Tambang sepanjang sekitar 100 meter direntangkan dari satu sisi ke sisi lainnya di sungai. Ketika menyebrangkan penumpang, penyebrang perahu merambat disepanjang tali dengan cara menariknya untuk menggerakkan perahu. Dengan cara ini, penyebrang perahu menjadi kemudi arah perahu mengikuti arah rentangan tali. “Dulu Sungai Citarum ini lebih sempit tapi lebih dalam. Sekarang jauh lebih lebar, tapi juga kedalamannya juga berkurang. Sekarang paling tinggal 2-3 meter, kalau dulu 4 meter pun lebih”
26
Katanya. “Dulu banyak ikan seperti ikan mas, nila, patin dan lele. Kalau sekarang yang banyak hanya ikan sapu-sapu yang tahan dengan lingkungan kotor” Perahu Pak Ujang dapat mengangkut sekitar 15 orang. “Ramainya kalau pagi, karyawan tempat golf itu menyebrang dengan perahu saya”. Sehari-hari pendapatan Pak Ujang berkisar antara Rp 20,000 – Rp 30,000. Sebagai sampingan, Pak Ujang juga berkebun menanam singkong di lahan dekat tempat perahunya dan menerima pekerjaan menyabit rumput. Pak Ujang memiliki 6 anak dan 8 cucu.
Pak Iksan “Menyiapkan Perahu” Pak Iksan (60 tahun). Pak Iksan, warga desa Bojong Citepus, tinggal persis di sebelah aliran sungai Citepus. Demi berjaga-jaga jika air banjir datang, Pak Iksan menyimpan perahu di rumahnya. “Perahu ini bisa untuk memulung, tetapi juga berguna ketika banjir.” Kata Pak Iksan.
Ibu Dede “Bapak Pergi Ketika Banjir” Ibu Dede, ketika ditemui di depan rumahnya yang berfungsi sebagai warung, tidak dapat menahan air matanya ketika menceritakan soal banjir. “Barang hanyut, rumah terendam”. Ceritanya. Yang memilukan hatinya ketika bercerita suaminya meninggal ketika banjir besar. “Bingung mau dikuburkan dimana, semua orang sibuk, air tinggi lagi.Akhirnya Bapak dimakamkan jauh dari sini” Ceritanya terputus hingga disana. Kenangan itu terlalu memilukan baginya.
27
Kang Aa “Hanya 200 Ribu Sebulan” Kang Aa (20 tahun) panggilannya, sejak tahun 2001, sehari-hari memulung sampah plastik dan rongsokan di aliran Sungai Citepus di desa Bojong Citepus. “Biasanya memulung mulai dari pagi hingga sore hari”. Pendapatannya dari hasil memulung sebulannya sekitar Rp 200,000. Meskipun belum berkeluarga, Kang Aa mengaku pendapatannya itu sangat minim untuk mencukupi kebutuhannya.
Teteh Ratmini “Tidak Kuatir Gatal-Gatal” Ratmini, yang dipanggil Teteh Ratmini, meskipun baru berusia 32 tahun, sudah memiliki satu cucu dari anak perempuan sulungnya. Sehari-hari Teteh Ratmini membantu pekerjaan suaminya memilahmilah plastik dan mencucinya di sungai, di daerah Cilampeni. Ketika ditanya apakah Teteh kuatir terhadap limbah yang mungkin berada di sungai, Teteh menggeleng. “Saya tidak pernah gatal-gatal, biasa saja” Katanya. Yang mengganggu bagi Teteh adalah banjir. “Semua plastik ini jadi terendam, apalagi kalau airnya sampai sepinggang” Kata Teteh Ratmini. Dari hasil memilah dan membersihkan plastik, hasilnya lumayan untuk menyekolahkan anak bungsunya Siti Hani, yang duduk di kelas 2 SD. 28
xx
xx
xx
www.citarum.org