JAKSEL MENYAPA
DNA Pajak
M
enyusuri keinginan pihak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menyertakan pajak dalam kurikulum dunia pendidikan akhir-akhir ini memberi masyarakat sebuah wacana baru. Wacana penyertaan pajak dalam kurikulum dianggap sebagai langkah yang pas untuk mulai menyadarkan masyarakat Indonesia yang bisa dikatakan tak sepenuhnya sadar akan pajaknya. Hilangnya kesadaran masyarakat untuk memenuhi kewajiban perpajakannya dianggap menyulitkan kinerja DJP untuk mengumpulkan semaksimal mungkin penerimaan negara yang diamanahkan. Sehingga ide menyertakan pajak dalam kurikulum dianggap sebagai jalan pintas mengurai kesadaran pajak dalam diri masyarakat. Lantas apakah hanya kesadaran pajak saja yang diharapkan? Apakah langkah penyertaan ini menjadi solusi praktis dalam menyadarkan masyarakat? Sulit memang memastikannya akan tetapi ada sebuah benang merah yang bisa ditarik dari ide ini. Pada dasarnya penyertaan pajak dalam kurikulum adalah bagian menggagas penciptaan generasi muda sadar pajak atau lebih gampangnya lagi paham pajak sedari kecil. Langkah inilah yang sebenarnya ingin dicapai. Bahkan kalau dipermudah lagi penyertaan pajak dalam kurikulum adalah bagian dari menDNA kan pajak sejak dini. Apa yang dilakukan DJP adalah proses penciptaan sebuah DNA pajak dalam diri masyarakat Indonesia. Secara ilmu biologi DNA yang merupakan singkatan dari Deoxyribose Nucleic Acid merupakan pembawa sifat yang ditanamkan pada diri seseorang baik sifat dominan maupun resesif. Untuk kategori pajak mungkin tidak ada istilah dominan atau resesif, yang ditarik dari sini adalah ciri pembawa sifatnya. Pendidikan dianggap mampu mewakili pajak dalam menyuntikkan pembawa sifat ini kepada para
penerus bangsa sejak dini. Siapa pun tahu pendidikan telah akrab kita jajaki sejak dini. Mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas hampir seluruh masyarakat di negeri ini menikmatinya. Itu belum termasuk berbagai program pemerintah semisal wajib belajar sembilan tahun yang semakin memudahkan masyarakat untuk berguru di meja-meja sekolahan. Inilah yang menjadi dasar mengapa pajak seharusnya diikutsertakan dalam pendidikan. Sifat pendidikan yang di Indonesia sudah dapat dirasakan secara mudah oleh seluruh masyarakat dan sifatnya yang masif diberikan setiap hari membuat penanaman DNA pajak berpeluang untuk berhasil dilaksanakan. Tentunya pemikiran ini lah yang membuat wacana penyertaan pajak menjadi sangat penting. Lantas dimanakah peran pemerintah terkait penyertaan pendidikan dalam pajak. Untuk kali ini Pandu Pajak punya jawabannya. Linda Megawati, S.E. Anggota komisi XI DPR RI langsung mengutarakan opininya pada Pandu Pajak. Sosok srikandi Parta Demokrat ini menjelaskan dukungannya akan pentingnya pengajaran pajak sejak dini. Akan tetapi, penyertaan pajak dalam kurikulum juga harus mendapat beberapa masukan. Bagaimana masukan beliau, Pandu Pajak akan membahasnya secara rinci pada kolom Opini. Setelah membaca rinci pendapat dari pemerintah yang diwakilkan oleh Linda Megawati, S.E. selanjutnya para pembaca dapat menyimak pendapat lainnya dari seorang tenaga pengajar yang sudah berpengalaman. Redaksi pandu pajak menyertakan pendapat Suhardi tenaga pengajar yang telah membaktikan dirinya selama dua puluh dua tahun di dunia pendidikan. Suhardi yang saat ini bertugas di SMA Islam Sudirman memberikan pandangannya terkait ide penyertaan pajak dalam kurikulum. Lewat pengalamannya, beliau membagikan bagaimana sistem terbaik yang dapat diterapkan dalam proses penyertaan pajak dalam kurikulum. Beliau juga membagikan kelemahan dan
kelebihan masuknya pajak dalam kurikulum. Pembaca dapat menyimak pendapat beliau pada kolom Sumbang Suara. Tentunya setelah membaca kedua pendapat dari narasumber yang kompeten tersebut tak lengkap bila tidak ditambah dengan pemaparan eksklusif Pandu Utama. Seperti biasa akan ada pembahasan yang berbobot terkait wacana penyertaan pajak dalam kurikulum. Pembahasan berjudul "Memacu Kesadaran Pajak Lewat Pendidikan" memberi tahu pembaca bagaimana memandang seutuhnya terkait ide penyertaan pajak dalam kurikulum. Berbagai masalah hingga kelebihan yang akan dihadapi dan dicapai DJP akan diulas secara lengkap dalam pembahasan ini. Selain itu, pada kolom Edu Pajak akan dibahas bagaimana sebenarnya pemanfaatan dana pajak yang dikumpulkan oleh DJP. Lewat kolom ini akan dijelaskan secara gamblang penggunaan dana APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) sesungguhnya sehingga masyarakat diharapkan mampu memandang peran pajak dalam APBN tersebut dan mau untuk sadar akan pentingnya pajak bagi negara. Pada edisi terakhir akan tetap ada hasil jepretan para cameraman Kanwil DJP Jakarta Selatan yang akan menambah warna dalam edisi Pandu Pajak ini. Hasil jepretan kegiatan Kader Pandu Pajak yang melibatkan para guru ini menjadi bukti bahwa Kanwil DJP Jakarta Selatan tak pernah melupakan peran para guru dalam mendiseminasikan pemahaman pajak. Akhirnya semoga dengan semua sajian dalam Pandu Pajak ini akan menambah pengetahun perpajakan kita. Selamat membaca dan semoga kita bisa sadar bahwa semua fasilitas yang kita nikmati saat ini tak ada yang lepas dari pajak. Say No To Free Rider. (pp)
Redaksi menerima tulisan Saudara, baik opini, artikel maupun pendapat. Silakan mengirimkan ke
[email protected]
Pembina: Kepala Kanwil DJP Jakarta Selatan • Pengarah: Kepala Bidang P2Humas • Dewan Redaksi: Kasi Penyuluhan, Kasi Pelayanan, Kasi Humas • Redaktur Berita: Dedy Antropov, Aris Hidayat Kurniawan, Ade Firmansyah, Hardison • Redaktur Foto: Eko Cayo Putranto, Mahyudin • Tim Layout: Syahrul Yani, Firmania Ayu Ambari • Sekretariat: Fera Fanda • Alamat Redaksi: Bidang P2 Humas Kanwil DJP Jakarta Selatan Gedung Utama KPDJP Lantai 24 Jalan Jenderal Gatot Subroto Kav. 40-42 Jakarta Selatan 12190 • email:
[email protected].
OPINI
Mengenal Pajak Sedari Usia Dini Oleh : Linda Megawati, S.E. (Anggota Komisi XI DPR RI)
P
ersoalan pajak saat ini masih memprihatinkan banyak kalangan. Walaupun di sisi lain penerimaan negara melalui pajak mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Masih adanya 'permainan' antara oknum pengusaha dan oknum pegawai pajak yang kerapkali melakukan tindakan yang merugikan negara. Hal ini membuat sektor pajak mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan karena dengan banyaknya metode ataupun cara yang digunakan oleh pemerintah untuk mengamputasi tindakan yang merugikan negara ini, tetap saja masih ada celah untuk melakukan penyimpanganpenyimpangan. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan beberapa waktu lalu mengharapkan pendidikan pajak bisa dimulai sedini mungkin, yakni setidaknya dari sejak Sekolah Dasar. DJP kini tengah berbicara dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memasukkan pendidikan pajak sejak dini, tidak hanya memasukkan perhitungan pajak penghasilan (PPh) ke kurikulum SMA. DJP ingin penyertaan pembelajaran pajak dimulai sejak SD karena sejak kecil pun setiap warga negara harus paham pajak. Pada saat sekarang, para pelajar hanya mengetahui tata cara menghitung PPh saja tapi tidak tahu filosofi pajak bahwa negara ini tidak bisa jalan tanpa pajak. Kalau masuk kurikulum di SD sampai SMA, akan ada klasifikasi pengajaran, jadi tidak heran selama ini banyak tidak mengerti pajak. Sejujurnya saya menyambut baik adanya usulan agar masalah pajak masuk dalam kurikulum sekolah
PANDU PAJAK
sebagai salah satu upaya menyadarkan kewajiban membayar pajak bagi warga negara.Walaupun masih diperlukan kajiankajian untuk memastikan apakah pendidikan pajak dapat dimasukkan ke dalam kurikulum nasional. Kajian ini digunakan untuk mengetahui aspek-aspek yang dibutuhkan jika nantinya pajak disertakan ke dalam kurikulum. Adanya dorongan untuk memperkenalkan pajak di usia dini. Linda meyakini, hal ini untuk mencetak generasi yang peduli akan pajak sehingga mereka menyadari kalau membayar pajak adalah kewajiban warga negara. Menurut Linda, pajak sangat penting perannya untuk membangun perekonomian negara seperti membangun infrastruktur, pendidikan, listrik dan sebagainya. Untuk itu, menurut saya, urgensi penyertaan pajak dalam kurikulum tidak lepas dari fungsi strategis pajak sebagai penopang pembangunan negara. Jika pemasukan negara melalui pajak dapat dimaksimalkan maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa maju yang tidak kalah bersaing dengan bangsa lainnya. Pajak merupakan kewajiban dan tanggung jawab warga negara karena berfungsi ibaratnya otot dan darah bagi manusia, sehingga semakin besar setoran pajak semakin kuat negara. Bangsa yang besar dan kuat adalah bangsa yang peduli akan kewajiban membayar pajak. •
KANWIL JAKARTA SELATAN
MEI 2013
3
PANDU UTAMA
Memacu Kesadaran Pajak Lewat
Pendidikan Ide menyertakan pajak ke dalam kurikulum pendidikan menjadi sebuah wacana yang cukup santer dalam beberapa bulan terakhir. Solusi menggabungkan materi pajak dalam bahan ajar sekolah menjadi sebuah solusi yang dianggap mampu mengatasi kesadaran pajak di tengah masyarakat Indonesia yang masih bisa dikatakan sangat rendah. Namun menyertakan pajak dalam kurikulum menimbulkan berbagai asumsi.
S
alah satu asumsi yang mengemuka adalah kemungkinan rendahnya tingkat kesadaran tersebut dialaskan kepada dunia pendidikan yang tak sepenuhnya menopang pajak dalam memberikan informasi sedini mungkin sehingga banyak masyarakat yang belum sadar pajak pada saat usia produktifnya. Siapa pun sadar peran pajak dalam beberapa tahun terakhir. Pajak telah menjadi urat nadi negara ini dalam pembangunannya. Beban pajak yang semakin meningkat setiap tahunnya membuat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai institusi penanggung jawab penerimaan negara harus menggiatkan berbagai upaya untuk mencari wajib pajak dan objek pajak baru. Atas dasar inilah sisi dunia pendidikan mulai disentuh. Bisa dikatakan sejak lama dunia pendidikan bukanlah dunia yang cukup ramah dengan pajak. Tak ada jenjang strata pendidikan tingkat awal mulai dari sekolah dasar hingga sekolah
4
Pendidikan pajak sejak dini
menengah atas yang mau memberikan pelajaran terkait perpajakan. Kalaupun ada materi perpajakan yang diajarkan lebih dilekatkan kepada pelajaran ekonomi untuk bab-bab tertentu saja tanpa menyertakan permasalahan teknisnya. Perpajakan saat ini lebih identik dengan kemampuan teknis yang mulai diperkenalkan pada saat pendidikan tinggi hingga pendidikan keahlian tertentu. Hal ini dianggap menjadi alasan yang mampu melemahkan pajak di mata warga negara sehingga pajak dianggap membebani karena yang paham akan pajak adalah kalangan berpendidikan tinggi dan tidak menyentuh masyarakat sedari dini. Maka untuk memacu kesadaran pajak sedari kecil jenjang pendidikan mulai coba diusahakan untuk didekatkan dengan pajak. Sadar Pajak Sedari Kecil Memperkenalkan pajak sedari dini menjadi sedikit jawaban atas rendahnya kesadaran pajak dalam diri masyarakat Indonesia saat ini. Pajak yang pada dasarnya merupakan kewajiban yang mengikat kepada setiap warga negara dan telah dilegalkan secara UndangUndang Dasar (UUD) 1945 ternyata tak sepenuhnya dipatuhi oleh masyarakat. Akibatnya peran pajak yang sangat penting dalam pembangunan tak sepenuhnya terpenuhi. DJP pada dasarnya telah melakukan berbagai langkah untuk mendekat dengan dunia pendidikan seperti
PANDU PAJAK
KANWIL JAKARTA SELATAN
melaksanakan tax goes to school, high school tax roadshow hingga berbagai kegiatan lainnya yang dekat dengan pelajar. Namun kegiatan ini dinilai belum terlalu berhasil karena sifatnya yang hanya temporary dan tidak merangkul banyak pihak (massif). Atas dasar tersebut kegiatan menyadarkan pajak mulai dibangun dengan tahap awal mengenalkannya kepada para pelajar sedari kecil. Langkah tersebut dimulai dengan mencanangkan pajak dalam materi kurikulum dengan menggunakan konsep layaknya apa yang telah dilakukan terhadap pendidikan anti korupsi dan pengetahuan pengurangan risiko bencana yang selama ini telah diterapkan dalam kurikulum pendidikan. Pada praktiknya usulan memasukkan pajak dalam kurikulum diawali dengan menyelaraskan peran pajak sebagai bagian dari empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika. Mungkin langkah awal dan paling bijak ditawarkan dengan menyisipkan pajak sebagai bagian dari mata pelajaran Kewarganegaraan yang saat ini diajarkan dari mulai jenjang pendidikan sekolah dasar hingga sekolah menengah atas di Indonesia. Pajak yang merupakan salah satu unsur empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara sangat cocok untuk diterapkan pada pelajaran ini. Pertimbangan lainnya pengenalan pajak lewat MEI 2013
PANDU UTAMA pendidikan kewarganegaraan juga telah sesuai dengan materi bab per bab yang selama ini diajarkan. Misalnya unsur perpajakan bisa dimasukkan dalam bab cinta tanah air, bela negara hingga tanggung jawab sebab kewajiban pajak yang telah dituangkan dalam UUD 1945 yang juga menjadi dasar utama pembelajaran pendidikan kewarganegaraan telah sesuai untuk diterapkan. Pelajaran kewarganegaraan yang dianggap saat ini sangat berangan-angan dan sering dilupakan oleh para warga negara karena memberikan contoh yang tak terlihat nyata di lapangan mungkin dapat diubah asumsinya
kepada anak sekolah terutama kalangan sekolah dasar yang bisa dikatakan sama sekali tak mengerti pajak. Petunjuk teknis yang belum ada ini masih ditambah lagi dengan dilema kemampuan tenaga pengajar yang bisa dikatakan miskin informasi dan kreativitas dalam pembelajaran. Misalnya saja untuk pajak saat ini yang umum dikenal oleh tenaga pengajar hanya sebatas pajak yang dekat dengan mereka seperti Pajak Kendaraan Bermotor hingga Pajak Bumi dan Bangunan yang notabene akan pindah ke pemerintah daerah juga sehingga keterbatasan ini akan membuat tenaga pengajar kesulitan menerapkan peng-
dengan memberikan contoh nyata seperti membayar pajak sebagai bagian dari cinta tanah air, bela negara hingga tanggung jawab.
ajaran pajak. Kalau pun penerapan wacana menerapkan pajak sebagai suplemen dalam pendidikan kewarganegaraan mungkin untuk kalangan pemula seperti anak sekolah dasar cukup berhasil pada tahap pemahaman dan pengenalan. Nah, masalahnya yang jauh lebih penting dan sedang dituju adalah terkait kesadarannya. Setalah paham dan mengenal maka kesadaranlah yang dituju. Untuk menyadarkan pajak inilah yang perlu ada pembahasan lebih rinci. Siapa pun tahu sistem pengajaran yang telah diterapkan di Indonesia selama ini lebih banyak mengandalkan kepada cukup tahu saja tanpa ada pengamalan atas pelajaran tersebut. Hingga bangku sekolah menengah atas kita dicekoki berbagai pelajaran yang ternyata
Fleksibilitas Pajak Dalam Pendidikan Namun, penerapan penyertaan pajak dalam kurikulum pendidikan sejujurnya tak semudah yang dibayangkan. Siapapun tahu bagaimana pandangan sisi negatif masyarakat terhadap pajak saat ini. Hal ini belum ditambah lagi dengan belum berhasilnya pajak dalam membenahi sisi negatif tersebut. Selanjutnya petunjuk teknis hingga penerapan pajak yang masih dianggap eksklusif dan hanya diajarkan di pendidikan tinggi tak semudah itu saja untuk disederhanakan dan diajarkan
PANDU PAJAK
KANWIL JAKARTA SELATAN
membuat kita hanya terkesan memahami tapi tidak mampu mempraktikkannya. Misalnya saja pelajaran kewarganegaraan yang substansinya bermuara pada UUD 1945, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika hingga Negara Kesatuan Indonesia telah diajarkan sejak bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah atas bahkan diajarkan pada semester awal di beberapa pendidikan tinggi tetapi faktanya masih ada saja kegiatan pengingkaran terhadap empat pilar berkebangsaan dan bernegara tersebut. Masih ada makar yang dilakukan di berbagai daerah hingga tindak korupsi yang mendustai jiwa cinta tanah air. Apakah penerapan pajak juga ingin seperti ini yang hanya manis dalam teorinya tetapi tak ada aksi di lapangannya. Inilah yang harus lebih dipikirkan lagi dalam menyertakan substansi pajak dalam pendidikan. Fleksibilitas pajak masih perlu dipertanyakan. Materi pajak yang bisa dikatakan sangat banyak dan berkembang sesuai kegiatan ekonomi membutuhkan update yang terus menerus. Kekakuan dalam sistem pendidikan kita tentunya menolak update ini karena kegiatan pembaruan kurikulum bukanlah kerja tahunan dan cobacoba saja sehingga mudah untuk diutak atik. Fleksibilitas materi perpajakan pun harus menyesuaikan dengan kakunya sistem pendidikan ini yang menjadi perkerjaan rumah besar dalam menyertakan pajak pada kurikulum. Selain itu penerapan pajak dalam kurikulum pun mempertanyakan apakah para pelajar siap untuk menerimanya. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Ilmu Administrasi FISIP UI mungkin mampu menjadi pertimbangan. Hasil kajian salah satu Universitas tersebut membuktikan bahwa kalangan pelajar sekolah menengah atas belum sepenuhnya memahami urgensi pemungutan pajak. Bahkan lebih mencengangkan lagi para pelajar tersebut juga belum sepenuhnya memahami bahwa penerimaan pajak digunakan untuk kepentingan masyarakat umum termasuk manfaat tidak langsung yang dapat dimanfaatkan oleh para pelajar sendiri. Kalau sudah begini bagaimana meyakinkan pajak mulai pelajar sekolah
MEI 2013
5
PANDU UTAMA dasar jika pelajar sekolah menengah atas yang secara pendidikan sudah lebih paham substansi perpajakan sendiri ternyata belum sepenuhnya paham. Memacu tak sekedar memburu Permasalahan-permasalahan inilah yang perlu terlebih dahulu dipikirkan pada saat menuangkan ide menyertakan pajak dalam kurikulum. Mulai dari model materi yang akan diberikan hingga penerapannya dalam dunia nyata turut menjadi pertimbangan. Harus terlebih dahulu ada assestment yang jelas terkait materi perpajakan yang akan diajarkan dalam kurikulum sehingga nantinya pajak yang diajarkan bukan hanya menjadi ilmu yang akrab sebagai teori tapi tak terpraktikkan dalam dunia nyata seperti kebanyakan pelajaran yang diterapkan selama ini. Selain itu penyertaan pajak dalam kurikulum juga turut mempertimbangkan hasil nyatanya di lapangan. Pajak yang kerap didengungkan sebagai pembiayaan dalam pembangunan ternyata tak terlalu mengena pada sisi pelajar. Buktinya bisa terlihat dari hasil kajian seperti yang telah dibahas di atas. Bahkan untuk mengetahui kemana dana perpajakan saja pelajar sekolah menengah atas tidak tahu. Disinilah materi perpajakan perlu lebih dikaji lagi. Secara ilmu pengetahuan bisa dikatakan ilmu pajak sebagai ilmu alat yang dapat diukur layaknya matematika. Ilmu tersebut pun dapat diukur layaknya matematika yang juga punya rumus dan dampaknya. Begitu juga dengan pajak, pajak bukanlah ilmu normatif tetapi dapat dirasakan secara langsung. Misalnya penerapan pajak yang baik mengakibatkan pembangunan yang sejahtera dan kemakmuran rakyat. Nah, inilah yang tidak dirasakan oleh masyarakat selama ini. Banyak yang belum paham dikemanakan pemanfaatan uang pajaknya bahkan lebih parah lagi banyak yang tak sadar sebenarnya telah membayar pajak. Seandainya benar-benar ingin menyertakan pajak dalam kurikulum terlebih dahulu harus mampu memacu pajak itu lebih dekat kepada masayarakat. Cara memacunya dengan membuktikan bahwa hasil pembangunan seperti jembatan, sekolah, jalan, hingga berbagai fasilitas lainnya dibiayai oleh
6
“
Memperkenalkan pajak sedari dini menjadi sedikit jawaban atas rendahnya kesadaran pajak dalam diri masyarakat Indonesia saat ini. Pajak yang pada dasarnya merupakan kewajiban yang mengikat kepada setiap warga negara, telah dilegalkan secara UUD 1945 ternyata tak sepenuhnya dipatuhi oleh masyarakat.
”
pajak. Seharusnya ada semisal tagline yang memberitahukan bahwa pembangunan fasilitas ini sepenuhnya dibiayai oleh pajak. Tentunya cara ini dilakukan dengan membangun kemitraan terlebih dahulu dengan berbagai kementerian yang berwenang. Kalau sudah begini, kegiatan memacu masyarakat sadar pajak akan lebih mudah. Pemahaman pajak sebagai pelajaran yang sebenarnya dekat dengan setiap masyarakat lebih mudah digambarkan dengan memberi contoh buktinya di lapangan bukan hanya sekedar memberi teori materi saja. Selain itu pertimbangan untuk pembuatan materi perpajakan juga harus memikirkan kompetensi tenaga pengajar. Tenaga pengajar yang lebih dekat dengan pajak daerah sudah mulai diperkenalkan dengan pajak pusat seperti pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai. Misalnya dengan memberikan
PANDU PAJAK
KANWIL JAKARTA SELATAN
formulir 1721 A1 dan A2 untuk pelaporan SPT Tahunan yang ternyata saat ini belum sepenuhnya diketahui pemanfaatannya oleh tenaga pengajar bahkan masih banyak tenaga pengajar yang belum pernah sekali pun memperolehnya. Selain itu mulai diperkenalkan juga sanksi hukum atas tidak melapor tersebut. Untuk tugas ini giliran penyuluhan pajak yang harus digiatkan. Mulai dari guru yang menjadi pondasi dasar dalam pendidikan harus dikuatkan. Jangan sampai ada guru yang masih miskin pengetahuan pajaknya sehingga tak mampu membaginya dengan para pelajarnya. Bukti di lapangan sudah ada, fondasi guru sudah kuat langkah selanjutnya yang tak kalah penting adalah menentukan konsep dasarnya perpajakannya ini akan dibawa kemana. JIka awalnya kegiatan penyertaan pajak dilakukan untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya pajak selanjutnya yang perlu dipikirkan bagaimana membuat mereka untuk mau membayar pajak. Jangan hanya memburu kesadaran masyarakat sedari dini tanpa ada pemicunya kelak. Lagi-lagi jangan sampai terjadi ilmu pajak hanya paham dan ahli dalam teori saja tetapi dapat mempraktikkannya. Mengakomodasi itu semua ada beberapa langkah yang dapat dilakukan terlebih dahulu antara lain dengan membangun sebuah konsep pelajaran perpajakan yang mempertimbangkan kemampuan guru dan pelajar dalam menyerap pengetahuan perpajakan secara menyeluruh, perlu ada pertimbangan kelemahan dan kekuatan dalam penyusunan materi perpajakan yang akan dibuat dan bagaimana memberikan materi tersebut secara menyenangkan dan sederhana sehingga jangan sampai penambahan materi perpajakan nantinya justru dianggap hanya sebagai materi formalitas yang diujikan lewat sistem evaluasi ujian tanpa mampu menghasilkan pelajar yang sadar pajak di kemudian hari. Semoga ada harapan untuk menyiapkan sebuah materi yang sederhana dan mampu mengakomodasi itu semua sehingga materi perpajakan dalam kurikulum lebih mudah untuk didesiminasikan. (pp) MEI 2013
SUMBANG SUARA
Pajak Laksana Air Kehidupan Selama ini mungkin bisa dikatakan dunia pendidikan sedikit menjauh dengan pajak. Dalam setiap kurikulum yang telah dirancang oleh pemerintah belum sama sekali mampu mengakomodasi pengetahuan pajak. Pertanyaan pun mengemuka apakah benar dunia pendidikan melupakan pajak sehingga tidak mau memberikan ruang untuk mengakomodasikannya.
P
ertanyaan ini bisa dikatakan tak sepenuhnya benar. Setidaknya hal tersebut diungkapkan oleh Suhardi. Sosok guru yang telah mengabdikan dirinya di dunia pendidikan selama lebih dari dua puluh dua tahun ini membagikan pandangannya terkat pajak dalam dunia pendidikan. Sosok pendidik yang telah lama menghabiskan masa baktinya di SMA Islam Sudirman ini berkenan membagikan pendapatnya bahwa pajak dan pendidikan sesungguhnya bisa saling menopang dan mendukung. Bagaimana pendapat beliau sesungguhnya terkait pajak dan pendidikan. Redaksi Pandu Pajak bakal mengulasnya secara eksklusif melalui hasil wawancara langsung dengan Suhardi. Bagaimana pandangan Bapak terhadap pajak? Kita memandangnya secara ekonomi karena kebetulan saya memiliki background ekonomi. Secara ekonomi saya dapat memandang pajak ini layaknya air dalam sebuah rumah tangga bukan listrik. Mengapa begitu, kalau saya umpamakan seperti listrik, listrik itu kan dapat diganti dengan api bila tidak ada. Tetapi kalau kita umpamakan air maka lain ceritanya. Tidak ada apapun yang bisa menggantikan air dalam rumah tangga sehari-hari. Nah pajak itu layaknya juga air jadi semua orang seharusnya sadar bahwa pajak itu pun tak bisa digantikan dan harus benar-benar disadarkan. Pajak itu harus mampu disadarkan kepada seluruh masyarakat sedemikian rupa layaknya kalau Islam itu ada zakat. Namun, kalau zakat kan secara definisi asasnya untuk orang-orang yang membutuhkan sedangkan pajak beda. Asas
pajak digunakan untuk penyelengga-raan negara sehingga filosofi air tadi benarbenar mampu membuat seluruh masyarakat sadar. Pajak seperti Air, maksud Bapak? Secara filosofisnya yaitu tadi semua orang butuh air dan tidak bisa tergantikan. Seharusnya pajak pun seperti itu semua orang harus butuh pajak dan tidak ada alasan tidak untuk tidak membutuhkannya. Inilah yang belum sepenuhnya disadarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kepada seluruh warga negara Indonesia. Selain itu mengapa saya menggangap pajak itu layaknya air, itu juga terkait dengan sifat dari air itu sendiri. Kita bisa tahu air itu kan mengalir dengan membawa segalanya. Membawa bagian yang bersih dan juga bagian kotornya. Tetapi pada ujung-ujungnya semua yang terbawa tersebut akan menjadi bermanfaat. Air yang kotor sekalipun akan bermuara ke laut nantinya. Melalui proses sedemikian rupa atau proses fisikanya akhirnya menguap karena panas dan memenuhi awan. Dari awan kemudian turun ke bumi sebagai hujan yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh manusia. Akhirnya kan bisa dikatakan bahwa air itu membawa kesejukan. Begitu juga dengan pajak, seharusnya pajak pun begitu. Jangan sampai setelah susah-susah menagihnya dari wajib pajak justru tidak berakhir menjadi apa-apa sehingga rasa kesejukan yang seperti ditawarkan oleh air tidak ada pada pajak. Kalau dalam dunia pendidikan bagaimana pajak ini menurut Bapak? Secara dunia pendidikan pajak itu tentunya dapat bersinergi dengan
PANDU PAJAK
KANWIL JAKARTA SELATAN
Suhardi
pendidikan saat ini. Menurut pengalaman saya dalam pembuatan kurikulum saya sangat mendukung pajak itu ada dalam kurikulum. Kalau bisa dikatakan saat ini masyarakat sangat tidak memahami pajak. Berapa banyak orang yang tak sadar bahwa dirinya ternyata telah atau sedang dipungut pajak dan jumlah orang yang tidak sadar ini bukan puluhan atau ratusan tapi mencapai ribuan. Nah, peran pendidikan itu bisa diman-faatkan sebagai panglimanya. Lewat pendidikan, kita pahamkan dulu akan pentingnya pajak, diperkenalkan dulu. Setelah paham baru disadarkan. Layaknya dalam agama Islam kita kan diperintahkan terlebih dahulu untuk Iqra' membaca. Setelah dibaca baru diamalkan. Begitu juga dengan pajak, dipahamkan dulu baru disadarkan. Inilah yang belum sepenuhnya dilakukan oleh DJP sehingga masih banyak pandangan bahwa pajak itu adalah beban jadi wajar saja orang takut membayar pajak. Misalnya saja apabila ada orang pajak yang datang, pasti dalam pikiran setiap orang kedatangan orang pajak itu gak jauh-jauh dari bakalan menarik pajak yang kurang, mencari wajib pajak baru
MEI 2013
7
SUMBANG SUARA yang belum dipajaki atau bakalan diperiksa sehingga menakutkan. Kalau terkait sinergi pendidikan dan pajak ini, adakah contoh nyatanya? Dari sisi kacamata pendidikan, pajak ini bisa dikatakan ilmu alat yang mirip dengan matematika secara sisi penggunaannya. Dalam dunia pendidikan juga diperkenalkan istilah analisis terhadap logika terkait lingkungan. Nah, pajak ini bisa diterapkan seperti itu. Misalnya unsur pajak layaknya matematika dan apabila analisis ini dipadukan maka dapat dimulai terjadinya sinergi. Kita kan bisa mulai sedikit demi sedikit memperkenalkan pajak ini lewat penulisan soal ada unsur pajaknya.Tidak perlu yang terlalu teknis. Cukup hal-hal biasa sajalah terlebih dahulu karena kalau sudah teknis kan dapat lebih diperdalam di perguruan tinggi. Namun inilah yang belum sepenuhnya dilakukan oleh DJP. Menurut Bapak apa yang sebenarnya membuat hal ini belum bisa dilakukan di DJP? Saya lihat saat ini bisa dikatakan belum semua pegawai pajak sadar bahwa mereka semua itu adalah humas (hubungan masyarakat) pajak. Kita bisa lihat kalau ke kantor pajak masih ada yang merasa tidak dilayani dengan baik. Masih ada yang merasa bagian ini hanya tugas si ini yang ini tugas si itu jadi tidak sepenuhnya merasa sebagai humas. Kalau pun ada humasnya jumlah petugasnya terbatas. Misalnya saja seperti humas Kanwil (Kantor Wilayah) DJP Jakarta Selatan yang jumlahnya hanya sedikit. Bisa dibayangkan dengan jumlah yang sedikit itu bagaimana bisa menyadarkan seluruh masyarakat yang mencapai daerahdaerah. Itu masih di Kanwil DJP Jakarta Selatan bagaimana dengan di seluruh Indonesia. Tentunya kalau semua pegawai pajak sadar bahwa mereka humas pajak tentunya tugas ini dapat lebih dipermudah. Selain itu masalah lainnya, masyarakat kita ini masih penuh dengan rasa kecurigaan. Ini sih memang masalah sejak dari zaman dahulu. Selalu ada kecurigaan. Misalnya saja pegawai pajak dengan tingginya remunerasi yang diberikan memunculkan rasa curiga. Kalau ada pegawai pajak yang kaya dicurigai. Kejadian ini makin diperparah dengan adanya oknum yang benar-benar memang menyimpang seperti Gayus
8
yang semakin membuat mindset masyarakat susah diubah. Apalagi penggabaran dari media yang semakin deras semakin membuat justifikasi bahwa pegawai pajak itu seperti Gayus. Padahal generalisasi ini salah. Namanya setiap manusia pasti ada kesalahan. Manusia kan tempatnya salah jadi jangan sampai satu kesalahan itu menggeneralisasi seluruhnya. Atas masalah-masalah inilah yang belum sepenuhnya mampu diakomodasi oleh pihak DJP yang membuat susah setiap orang untuk sadar membayar pajak. Bagaimana saran Bapak agar pajak bisa masuk ke dalam dunia pendidikan? Jujur saat ini, saya sedang meran-cang agar anak-anak di sekolah saya menerima pelajaran pajak. Setidaknya ada satu SKS yang sedang saya usahakan agar pajak diajarkan. Pelajar juga musti tahu peran pajak yang akrab selama ini di lingkungan mereka. Ini saya coba jadikan sebagai pilot project di sekolah. Jadi layaknya air tadi, dimensi pajak itu benar-benar dirasakan sedari dini. Nah, bagaimana dengan peran pajak. Disinilah pajak harus berperan. Kita bisa mulai dengan melakukan MOU (Memorandum of Understanding) antara sekolah dan pihak DJP atau minimal Kanwil. Nanti Kanwil menurunkan tenaga karyawannya yang mampu mendidik. Setidaknya dimulai berbagi pengalaman bagaimana memungut pajak, apa masalahnya, yang mudah-mudah saja sehingga lebih mengena dengan para pelajar. Jadi kan sedari dini kita sudah memasukkan pajak dalam mindset mereka. Tapi inilah tantangannya sehingga pajak dan pendidikan itu belum bisa akur. Tantangan seperti apa yang Bapak maksud? Tantangannya ya kembali lagi seperti masalah tadi. Pajak belum mengena kepada seluruh masyarakat. Saya sering bertanya-tanya mengapa pajak tidak berani mengatakan bahwa bangunan ini dibiayai dari pajak. Mengapa pajak tidak berani. Seolah-olah habis manis sepah dibuang. Sudah mengumpulkan uang pajak malah tidak tahu dikemanakan sehingga semua menyalahkan DJP kalau pembangunan tidak berjalan dengan baik. Kapan DJP mau meng-counter pemberitaan negatif media. Buatlah semacam berita yang bagus. Masak di DJP tidak ada berita positif yang bisa ditayangkan.
PANDU PAJAK
KANWIL JAKARTA SELATAN
Kalau bisa DJP punya siaran sendiri menjelaskan berita positif DJP. Akibatnya kalau pun pajak masuk ke pendidikan kita susah memberi contoh nyata kepada pelajar. Kita bisa bilang bahwa bangunan ini dibiayai dari pajak tapi mana buktinya, justru yang tertulis nama bangunannya tidak ada unsur pajaknya. Kalau begini ilmu akan cenderung susah menyebarnya karena tidak ada bukti di lapangan. Saran Bapak terhadap permasalahan tersebut? Saya ingin semua pegawai pajak itu sadar bahwa mereka adalah humas pajak. Semua tahu bagaimana melayani yang baik. Saya senang pajak sudah open tetapi saya lihat humasnya belum bisa terorganisir dengan instansi-instansi lain sehingga berbagai kerja sama dengan pajak masih sulit dilakukan. Padahal kalau ada masalah masih bisa dibicarakan dengan baik lewat cara win win solution semua diuntungkan. Saya sarankan pegawai pajak itu berubah minimal dimulai dari sifatnya, sikapnya serta perilakunya dalam melayani wajib pajak. Semua merasa pajak itu tugas bersama tidak berpan-dangan picik bahwa tugas ini hanya dikerjakan oleh si ini tetapi semua bersama-sama bekerja. Selain itu untuk mengatasi rasa kecurigaan dari masyarakat kenapa sih para pegawai pajak tidak mencoba untuk secara terang-terangan berani menunjukkan berapa banyak harta kekayaannya lewat pengumuman di kantor-kantor pajak sehingga semua orang tahu dari mana harta tersebut tidak ada lagi kecurigaan. Kalau ini bisa saya salut dengan pajak. Selain itu dana yang telah dikumpulkan pajak sebisanya diketahui peruntukannya kemana. Walaupun ya memang sulit karena masalah penggunaannya ada di masing-masing kementerian.Tapi kalau bisa skema ini diubahlah. Misal subsidi, DJP harus berani mengatakan bahwa subsidi tersebut berasal pajak.Tunjukkan yang positif-positif dari pajak. Sehingga kalau sudah begini kan control public itu ada. Semua merasa pembangunan itu milik bersama dan kalau merusak atau mengotori artinya merusak dan mengotori diri sendiri. Seperti di Singapura, semua takut di denda, begitu juga dengan pajak. Orang pajak tidak boleh hanya mengumpulkan saja tetapi harus berani mengatakan kemana uang tersebut dikelola. (pp) MEI 2013
EDU PAJAK
PANDU PAJAK
KANWIL JAKARTA SELATAN
MEI 2013
9
EDU PAJAK
10
PANDU PAJAK
KANWIL JAKARTA SELATAN
MEI 2013
SOROT LENSA
Penganugerahan Pemenang Kader Pandu Pajak oleh Kanwil DJP Jakarta Selatan
Pemberian Rompi oleh Kanwil DJP Jakarta Selatan dan Universitas Pancasila, menandai Pelaksanaan Kader Pandu Pajak
Salah Satu Peserta Kader Pandu Pajak yang Sedang Melakukan Presentasi
Pihak Universitas Pancasila dan Kanwil DJP Jakarta Selatan bersama Para Guru Kader Pandu Pajak
PANDU PAJAK
KANWIL JAKARTA SELATAN
MEI 2013
11
KPP Madya Jakarta Selatan Jalan Ridwan Rais No. 5A-7, Gambir, Jakarta Pusat 10110, Telp: 021-3447971, 3447972, 3504170. Fax: 021-3447971 •KPP Pratama Jakarta Setiabudi Satu Jalan Rasuna Said Blok B Kav. 8, Jakarta Selatan 12190, Telp: 021-5254237-5253622, Fax: 021-5252825 •KPP Pratama Jakarta Setiabudi Dua Jalan Rasuna Said Blok B Kav. 8, Jakarta Selatan 12190, Telp: 021-5254237-5253622, Fax: 021-5252825 •KPP Pratama Jakarta Setiabudi Tiga Jalan Raya Pasar Minggu No. 11, Pancoran, Jakarta Selatan 12780, Telp: 021-7993028-7992961, Fax: 021-7994253 • KPP Tebet Jalan Tebet Raya No. 9, Jakarta Selatan, Telp: 021-8296869,8296937, Fax: 021-8296901 •KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Satu Gedung Patra Jasa Lantai 1 & 14, Jalan Jend. Gatot Subroto-Jakarta, Telp: 021-52920983, 52921276, Fax: 021-52921274 •KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Dua Jalan Ciputat Raya No. 2 Pondok Pinang, Jakarta Selatan 12310, Telp: 021-75818842,75908704, Fax: 021-75818874 •KPP Kebayoran Baru Tiga Jalan K.H. Ahmad Dahlan No. 14 A, Jakarta Selatan 12130, Tel: 021-7245735,7245785, Fax: 021-7246627 •KPP Pratama Jakarta Kebayoran Lama Jalan Ciledug Raya No. 65, Jakarta Selatan 12250, Telp: 021-5843105-5843109, Fax: 021-5860786 •KPP Pratama Jakarta Mampang Prapatan Jalan Raya Pasar Minggu No. 1, Jakarta Selatan 12780, Telp: 021-79191232 /7949574-5/7990020, Fax: 021-7949575 •KPP Pratama Jakarta Pancoran Jalan T.B. Simatupang Kav. 5 Kebagusan, Jakarta Selatan 12520, Telp: 021-7804462, 7804667, 7804451. Fax: 021-7804862 •KPP Pratama Jakarta Cilandak Jalan T.B. Simatupang Kav. 32, Jakarta Selatan 12560, Telp: 021-78843521-23, Fax: 021-78836258 •KPP Pratama Jakarta Pasar Minggu Jalan T.B. Simatupang Kav. 39, Jakarta Selatan 12510, Telp: 021-7816131-4 /78842674, Fax: 021-78842440.