BAB 2 DATA DAN ANALISA
2.1
Sumber Data Data data dan informasi yang digunakan untuk mendukung proyek tugas akhir ini akan diambil dari berbagai sumber, diantaranya : 1.
Literatur : buku dan artikel dari media elektronik maupun non elektronik.
2.
Wawancara / Interview dengan pihak pihak terkait.
3.
Survey / kuesioner yang dilakukan secara online
2.1.1 Data Umum Dalam pasal 19 KHA menyebutkan definisi mengenai apa yang disebut sebagai kekerasan terhadap anak. Ditegaskan, segala bentuk kekerasan mental dan fisik, cedera atau penggunaan, penelantaran atau perlakuan yang menjadikan anak terlantar, perlakuan salah atau eksploitasi serta penyalahgunaan seksual, adalah kekerasan terjadap anak.
Mitos kekerasan yang masyarakat lebih banyak ketahui daripada faktanya Ada beberapa mitos kekerasan pada anak yang kita sebagai masyarakat lebih banyak ketahui daripada faktanya, berikut hal yang perlu kita ketahui mengenai kekerasan dan pengabaian pada anak : •
Mitos 1 : Kekerasan dan pelecehan pada anak hanya berupa tindakan secara fisik. Faktanya , kekerasan fisik hanya salah satu jenis kekerasan pada anak. Pengabaian dan kekerasan secara emosional
7
8 juga berdampak merusak, melukai dan karena korban masih labil, mereka dapat dengan mudah merasa terluka lebih dalam. •
Mitos 2 : Kekerasan pada anak hanya dilakukan oleh “orang tua yang jahat”. Faktanya , memang mudah mengatakan orang tua jahat – lah yang selalu menyiksa anak mereka. Namun tidak semua pelaku dengan sengaja melukai dan mencelakau anak mereka. Beberapa dari mereka bisa jadi merupakan korban kekerasan itu sendiri dan merka menjadi tidak mengetahui bagaimana cara membesarkan anak. Ataupun orang tua tersebut mengalami gangguan kejiwaan atau masalah kekerasan.
•
Mitos 3 : Kekerasan pada anak tidak terjadi pada “keluarga baik – baik”. Faktanya , tidak selalu kekerasan pada anak terjadi pada keluarga miskin ataupun mereka yang tinggal di lingkungan yang keras. Kekerasan pada anak bisa terjadi kepada siapa saja, tidak memandang ras, ekonomi, ataupun budaya. Seringkali keluarga yang terlihat bahagia dari luar sebetulnya lebih sering menyembunyikan masalah mereka.
•
Mitos 4 : Kebanyakan pelaku kekerasan merupakan orang yang tidak dikenal . Faktanya , memang orang yang tidak dikenal / stranger biasa yang melakukan tindak kekerasan pada anak, tapi pada kenyataannya yang menjadi pelaku kekerasan paling banyak adalah orang yang dikenal dekat dan bahkan keluarga anak itu sendiri.
9 •
Mitos 5 : Anak yang menjadi korban kekerasan selalu tumbuh menjadi penyiksa juga. Faktanya , memang masalah kekerasan dalam rumah tangga sering menjadi lingkaran setan, selalu berulang baik disadari maupun tidak oleh si korban dan pelaku. Tapi tidak jarang juga beberapa korban dari kekerasan yang selamat memiliki motivasi kuat untuk melindungi dan menjaga anak mereka, sehingga apa yang mereka alami tidak terjadi pada anak – anak mereka.
Apa itu Child Neglect ? Penelantaraan pada anak merupakan tipe penyiksaan pada anak yang terlihat seperti hal umum dan biasa, sehingga kadang kita tidak mengetahui bahwa hal tersebut merupakan bagian dari penyiksaan terhadap anak. Anak yang sudah agak besar bahkan tidak menunjukan tanda – tanda korban pengabaian di masyarakat, bahkan mereka seringkali menyembunyikannya dengan melakukan kegiatan yang seharusnya orang tua mereka lakukan, tapi pada akhirnya korban pengabaian ini tidak mendapatkan kebutuhan fisik dan psikis yang mereka butuhkan dari orang tua. Hal yang termasuk dalam pengabaian terhadap anak adalah seperti gagal menyediakan kebutuhan dasar anak, baik berupa perhatian dan ksaih sayang, maupun secara lahiriah seperti makanan, pakaian, kesehatan, dan pendidikan.
10 Menurut yayasan Peduli Konseling Nusantara ( PELIKAN ) ada beberapa ciri anak yang menjadi korban penelantaran, diantaranya : anak suka bertindak tidak peduli, kadang anak merasa sangat tertutup tapi ada juga yang terlalu agresif ( anak bersikap extrim ) , anak selalu merasa lapar, anak suka menyendiri tanpa ada yang mengawasi, anak tidak memakai pakaian yang baik sesuai cuaca / kondisi diluar ataupun memakai pakaian yang sudah usang / kotor karena dipakai terus menerus, anak datang awal dan pulang selalu akhir dari sekolah, anak terlihat tidak terurus, ataupun jarang kesekolah, sering pergi ketempat tempat yang tidak aman, dsb.
Tanda – tanda anak yang menjadi korban kekerasan baik secara fisikal maupun ditelantarkan ; • Anak berubah sifatnya menjaid pemalu, menarik diri dari pergaulan, merasa bersalah, terasing, tak berdaya, dan perasaan tidak adejuad (Bagley , 1992; Courois & Watts,1982; Herman & Hirschman, 1977; Swanson & Biaggio, 1985) • Tidak mau malu menceritakan kepada orang lain, bahkan merasa hal itu terjadi karena “ada sesuatu yang tidak benar” pada dirinya • Takut menceritakan kepada orang lain, karena takut orang yang menganiyaya akan mengetahui dan penganiyaan akan terulang kembali
11 Hasil riset mengungkapkan bahwa keenganan korban untuk melapor adalah karena perspesi dirinya bahwa merekalah yang bersalah sehingga timbuk rasa menyalahkan diri sendiri.
Bagaimana cara mencegah terjadinya penelantaran anak? Ada beberapa hal yang bisa dan dapat kita lakukan untuk mencegah terjadinya kekerasan pada anak, terutama penelantaran anak, yakni; Pencegahan pertama / dasar : •
Memberikan informasi dan penjelasan kepada orang tua mengenai
perkembangan
anak,
termasuk
metode
membesarkan anak tanpa kekerasan •
Diberikan kebebasan berkomunikasi dengan dunia luar dengan batasan wajar, jadi anak tidak menjadi terisolir dan dapat berhubungan dengan dunia luar
•
Mendukung
kegiatan
yang
berhubungan
dengan
perkembangan anak Anak yang hidup di dalam suatu keluarga dengan harga diri yang cukup positif akan lebih mengalami dihargai, dicintai, diperhatikan dan memiliki rasa percaya diri yang kuat dibanding dengan anak-anak yang tinggal dalam suatu keluarga dengan harga diri yang cukup negatif. •
Dunia anak merupakan dunia bermain, tentu saja bermain itu anak-anak belajar berbagai macam hal. Dengan berain berbagai kemampuan dasar diperkembangkan bukan dengan kekerasan yang selalu menghantuinya
12 •
Orang tua yang mampu menciptakan ikatan emosional kuat dengan anak akan lebih muda membentuk karakter anak dan mengisinya dengan nilai-nilai baik.
•
Kurangi jalan keluar / cara – cara menggunakan metode kekerasan dalam lingkungan anak, baik di sekolah, institusi, di televisi maupun dalam film
•
Pencegahan kedua :
•
Memeperhatikan kesehatan dan kesejahteraan anak, sedini mungkin memeriksakan kesehatan dan memeperlakukan yang sakit dengan baik. Anak yang memiliki cacat lebih sering mendapatkan kekerasan
•
Memiliki / mengetahui tempat yang aman bagi anak agar disaat saat kritis atau tertentu anak bisa di’titip’kan sementara, untuk mencegah terjadi hal yang tidak diinginkan
•
Memberikan public awarness / informasi pencegahan seluas luasnya bagi masyarakat
Konteks Sosial Psikologi Perkembangan Anak Dalam artikel Psikologi Perkembangan Anak, November 2009 Pengaruh Keluarga, Teman Sebaya Dan Sekolah menjadi penting sebagai bagian dari konteks sosial perkembangan anak. Berikut pernjelasannya ; •
Keluarga Keluarga merupakan tempat pertama kali anak melakukan fungsi sosialisasinya. Proses yang terjadi antara anak dan
13 orang tua tidaklah bersifat satu arah, namun saling mempengaruhi satu sama lain. Artinya, anak belajar dari orangtua, sebaliknya, orangtua juga belajar dari anak. Proses sosialisasi yang terjadi dalam keluarga lebih berbentuk sebagai suatu sistem yang interaksional. Bahkan hubungan antara suami dan istri pun akan mempengaruhi perkembangan anak. Pola pengasuhan orangtua akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan psikologis anak. Orangtua yang cenderung otoriter (authoritarian parenting), dimana mereka menghendaki anak untuk selalu menuruti keinginan orangtua tanpa ada kesempatan bagi anak untuk berdialog, akan menghasilkan anak-anak yang cenderung cemas, takut, dan kurang
mampu
mengembangkan
keterampilan
berkomunikasinya. Sebaliknya, orangtua yang cenderung melepas
keinginan
anak
(neglectful
parenting)
akan
menyebabkan anak tidak mampu mengontrol perilaku dan keinginannya dan dapat membentuk pribadi anak yang egois dan dominan. Sebagai jembatan dari kedua pola pengasuhan yang ekstrem tersebut, maka pola pengasuhan demokratislah (authoritative parenting) yang dapat menjadi solusi terbaik bagi
para
orangtua
untuk
dapat
mengoptimalkan
perkembangan psikologis anaknya. Hukuman dapat saja diberikan ketika terjadi pelanggaran terhadap hal-hal yang bersifat prinsip. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa hukuman tersebut harus disertai dengan penjelasan yang
14 dialogis agar anak mengerti untuk apa mereka dihukum dan perilaku apa yang sebaiknya dilakukan. Pada anak-anak dari keluarga yang didalamnya para ibu turut serta bekerja di luar rumah belum tentu perkembangannya dapat lebih baik daripada anak-anak yang ibu-ibunya tidak bekerja dan diam di rumah. Para ibu yang diam di rumah cenderung akan berlebihan mencurahkan seluruh perhatian dan energinya untuk mengurus dan mengawasi anak-anak mereka. Hal ini akan menimbulkan rasa kekhawatiran yang berlebihan pula dan akan menghambat proses kemandirian anak. Pada keluarga yang mengalami perceraian kebanyakan anak pada mulanya mengalami stres berat ketika orang tua mereka harus berpisah. Sebagian besar anak-anak korban perceraian cenderung tidak dapat mengontrol emosi mereka, memberontak, menjadi mudah marah karena sering melihat orang tua yang selama ini dijadikan panutan bertengkar akibat permasalahan perceraian, memiliki tingkat motivasi yang kurang bagus, murung dan anak merasa bersalah dan merasa bahwa dirinya yang menjadi penyebab percerain, menjadikan perasaannya berbeda dari anak-anak yang lain, anak mempunyai rasa minder, kurang percaya diri bahkan ia menjadi kehilangan jati diri dan identitas sosialnya, dan jika hal tidak di arahkan sejak dini tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan perilaku negatif mereka.
15
•
Teman Sebaya Konteks sosial di luar keluarga pada anak-anak adalah teman sebaya. Pada teman sebaya inilah, anak memperoleh informasi dan perbandingan tentang dunia sosialnya. Anak juga belajar tentang prinsip keadilan melalui konflik-konflik yang terjadi dengan teman-temannya. Pada masa sekolah dasar, teman sebaya yang dipilih biasanya terkait dengan jenis kelamin. Anak cenderung bermain dengan teman sesama jenis kelaminnya. Sedang pada masa remaja awal dimana remaja menyatakan bahwa mereka lebih tergantung kepada teman daripada orang tua untuk memenuhi kebutuhan akan rasa kebersamaan, keinginan untuk ikut serta dalam kelompok pertemanan makin meningkat.
•
Sekolah Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara
sistematis
melaksanakan
program
bimbingan,
pengajaran dan latihan dalam rangka membantu anak agar mampu mengembangkan potensinya, baik yang menyangkut aspek moral spiritual, intelektual, emosional maupun sosial. Peranan sekolah dalam mengembangkan kepribadian anak adalah sebagai faktor penentu bagi perkembangan kepribadian anak baik dalam cara berpikir, bersikap maupun cara berperilaku, sekolah juga memberi kesempatan pertama
16 kepada anak untuk menilai dirinya dan kemampuan secara realistic dan sekolah juga berperan sebagai substansi keluarga dan guru subtitusi orang tua.
2.1.2 Data Khusus 2.1.2.1 Hasil Kuesioner Menurut hasil kuesioner yang saya lakukan melalui survey online, dari 50 anak di Indonesia berumur 19 – 25 tahun, kelas menengah keatas ( yang sering menggunakan internet ), hasilnya adalah 1.
2.
3.
Kebanyakan orang tua mereka saat ini adalah pekerja dimana; •
Salah satu yang bekerja sebanyak 59,4%
•
Keduanya bekerja sebanyak 37.5%
•
Tidak bekerja sebanyak 3.1%
Adapun keluarga di Indonesia saat ini lebih dari satu orang •
Bersaudara sebanyak 54.5%
•
Tunggal sebanyak 9.1 %
Frekuensi berkumpulpun cukup sering,dikarenakan mereka masih tinggal dengan keluarga/ orang tua atau jarang sekali karena merupakan pendatang, dengan presentasi frekuensi berkumpul ;
4.
•
Sering sebanyak 57.6%
•
Jarang sekali ( setahun sekali ) sebanyak 21.2%
•
Jarang ( seminggu – sebulan sekali ) sebanyak 18.2%
Saat ini bisa diketahui keluarga yang paling dekat dengan anak adalah ibu, dengan frekuensi; •
Dekat dengan ibu sebanyak 21.2%
17
5.
•
Dekat dengan adik sebanyak 15.1%
•
Dekat dengan kakak sebanyak 12.1%
•
Dekat dengan ayah sebanyak 9.1%
Kekerasan yang dialami pada anak golongan ini di saat ini lebih sering secara emosional dibanding fisik, dengan frekuensi ; •
Tidak pernah mengalami kekerasan fisik sebanyak 63.6%
•
Pernah mengalami kekerasan fisik sebanyak 21.2%
•
Tidak pernah mengalami kekerasan emosional sebanyak 51.1%
• 6.
Pernah mengalami kekerasan emosional sebanyak 31.3%
Orang tua pada golongan ini pun lebih banyak mengetahui keadaan anak dikarenakan anak masih terikat dengan orang tua / keluarga, dengan frekuensi;
7.
•
Orang tua mengetahui keadaan sebanyak 72.7%
•
Tidak mengetahui keadaan anak sebanyak 27.3%
Orang tua yang ideal menurut mereka adalah orang tua yang tegas tapi tidak berlebihan, dengan hasil; •
Tegas tapi tidak berlebihan sebanyak 60.6%
•
Pengertian sebanyak 24.2%
•
Memenuhi semua keinginan anak dan jarang marah sebanyak 6%
Jadi bisa ditarik kesimpulan yang berhubungan dengan kemungkinan adanya penelantaran anak untuk golongan menegah keatas anak anak saat ini adalah kondisi dimana anak memiliki orang tua yang kebanyakan bekerja, dan dikarenakan tingkat pendidikan yang lebih tinggi anak cenderung lebih sering
18 mendapat kekerasan secara emosional bukan fisikal, perlu diperhatikan karena mereka dekat dengan ibu jadi sosok ibu yang diharap bisa bersikap lebih untuk sang anak, namun begitu anak saat ini juga menginginkan orang tua yang bisa bersikap tegas tapi tetap mengerti kebutuhan sang anak.
2.1.2.2 Data Lembaga KHA dan WFFC Konvensi Hak Anak (KHA) merupakan instrument internasional dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Konvesi ini berdasar pada empat prinsip, antara lain suara anak di dengar dan kepentingan baik bagi anak. Selain itu, secara tegas Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak pada tahun 1990. Konsekuensinya, sejak itu Inondesia tunduk pada ketentuan internasional. Namun kenyataan, terjemahan resmi negara tentang KHA, Indonesia belum pernah memublikasinya, adapun yang tersebar dipublik itu adalah terjemahan lepas. Padahal amanah bagi negara, agar KHA tersosialisasi dengan luas adalah selain dengan menerjemahkan ke dalam bahasa resmi Negara, juga ke berbagai bahasa lokal dan minoritas. Kelalaian ini yang kemudian menjadi simpul utama gagalnya penyeelenggaraan perlindungan anak. Selain itu, kewajiban Negara adalah untuk memeberikan pelatihan tentang KHA kepada orang tua, guru, tenaga kesehatan, tenaga sosial, aparat hukum, pejabat, pembuat dan pengambil keputusan. Indonesia setuju melakukan deklarasi dan melangkah lebih jauh dengan meraitifikasi Konvesi Hak Anak (KHA) melalui Keppres No.36 tahun 1996 untuk mewujudkan kesejahteraan anak. Ratifikasi telah mengikat negara baik kedalam maupun keluar untuk secara serius melaksanakan isi KHA.
19 Dalam bahasa hukumnya KHA merinci kewajiban Negara Pihak untuk memenuhi 31 hak anak. Ketiga puluh satu hak anak ini dikelompokkan kedalam 4 hak utama anak yang tercantum dalam KHA, yaitu hak kelangsungan hidup (survival), hak untuk tumbuh dan berkembang ( development), hak untuk mendapatkan perlindungan (protection) dan hak untuk berpartisipasi (participation). Untuk mempercepat terimplementasinya KHA di tingkat kota pada masih- masing Negara Pihak, UNICEF memeperkenalkan Child Friendly City pada Konferensi Kota Istambul, 1996. Inti dari inisiatif ini adalah mengarahkan pada transormasi Konvensi PBB tentang Hak - Hak Anak dari kerangka hukum ke dalam definisi, strategi, dan intervensi pembangunan seperti kebijakan, institusi dan program yang ramah anak. Promosi lanjutan untuk memepercepat terimplementasi KHA, PBB menggelar pertemuan khusus untuk anak (UNGASS on Children), Mei 2002. Pertemuan ini, selain meninjau hasil kesepatkatan Istanbul (Child Friendly City), para walikota menegaskan komitmen mereka untuk aktif menyuarakan hak anak. Mereka juga merekomendasikan kepada walikota seluruh dunia untuk ; pertama, mengembangkan rencana aksi untuk kota mereka menjadi kota ramah dan melindungi hak anak. kedua, mempromosikan partisipasi anak yang memiliki peran dalam proses pembuatan keputusan di kota mereka terutama dalam proses pelaksanaan dan evaluasi kebijakan pemerintah kota. Pertemuan yang menghadirkan 300 wakil anak dari seluruh dunia termasuk Indonesia mendeklarasikan Gerakan Global Yang Layak Bagi Anak ( A World Fit for Children ) dengan 10 komitmen : dahulukan kepentingan anak , berantas kemiskinan, tanamkan investasi pada anak, jangan samapi seorang
20 anakpun tertinggal, perawatan bagi setiap anak, pendidikan bagi anak, perlindungan terhadap penganiyaan dan eksploitasi, lindungi anak dari peperangan, berantas HIV/AIDS , mendengar aspirasi anak, dan melindungi bumi bagi anak. Berbeda dengan delegasi sebelumnya, para delegasi UNGASS on Children 2002, setibanya di tanah air, dua tahun kemudian ( 2004 ) mereka menindaklanjuti dengan menjabarkan komitmen yang ada dalam Deklarasi A World Fit for Children tahun 2002, melalui program Nasional bagi Anak Indonesia ( PNBAI ) 2015. Program ini bervisikan " Anak Indonesia yang sehat, tumbuh dan berkembang, cerdas, berakhlak mulia, terlindungi dan aktif berpartisipasi ”. Namun disayangkan PNBAI ini belum tersosialisasi dengan baik dan tidak memiliki ikatan hukum yang jelas, sehingga banyak yang tidak mengetahui tentang PNBAI ini.
Komitmen Nasional Indonesia merupakan salah satu negara yang mencantumkan anak dalam Konstitusinya. Hal ini merupakan alasan utama penyelenggaraan perlindungan anak. Untuk itu pada tanggal 22 September 2002, pemerintah memberlakukan Undang - Undang Nomor 23 tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak ( UUPA ). Dan dalam rangka meningkatkan efektivitas penyelenggaran perlindungan anak, dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia ( KPAI ). Tugas utama KPAI adalah melakukan sosialisasi ketentuan peraturan perundangan
- undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak,
mengumpulkan data dan informasi ( sebagai bank data ), menerima pengaduan masyarakat,
pengawasan
dan
pemantauan
terhadap
penyelenggaraan
21 perlindungan anak dan memeberikan laporan, saran , dan pertimbanan kepada presiden dalam rangka perlindungan anak.
2.2
Data Target Audience Demografi Sex
:
Pria , Wanita
Usia
:
24 – 40 ( usia matang untuk menikah dan
Pendidikan
:
Sarjana , sudah bekerja
Kelas
:
B , B+ , A
:
Kota-kota besar
memiliki anak)
Geografi Tempat Tinggal Psikografi Orang tua yang sibuk, cenderung mengutamakan pekerjaan dibanding keluarga. Jarang berhubungan dengan orang tua maupun keluarga. Pada dasarnya merupakan orang yang mandiri, bersikap kritis, dan memiliki kemauan yang kuat. Senang dengan kegiatan sosial kalangan pekerja, sering berkumpul dengan rekan kantor baik di dalam kantor maupun di tempat sosial seperti rumah makan, café, atau tempat nongkrong lain. Positioning Kampanye Anti Pengabaian Anak merupakan sebuah kampanye yang ingin menyadarakan sebagian besar masayarakat bahwa dengan sibuknya kegiatan diluar keluarga dapat mengakibatkan anak menjadi korban. Tujuan utama dari bekerja menjadi hilang dikarenakan tujuan positif utuk mencari
22 nafkah menyebabkan hilangnya hubungan dan komunikasi antar keluarga / orang tua dengan anak.
2.2.1 SWOT Strength •
Tema Child Abuse sudah dikenal luas oleh masyarakat, jadi masyarakat bisa melihat bahwa penolakan / pengabaian terhadap anak menjadi bagian dari penyiksaan anak ( child abuse ) secara fisik maupun psikis baik disengaja maupun tidak.
•
Dengan tehnik komunikasi ambient media, akan memudahkan orang untuk mengerti dan mengingat pesan apa yang ingin disampaikan (memorable experience) dalam komunikasi kampanye ini.
Weakness •
Belum tersosialisasinya hukum yang mengatur tentang penyiksaan anak di Indonesia, banyak dari masyarakat yang belum mengetahui undang – undang yang mengatur tentang penyiksaan anak dan konsekuensinya baik secara hukum, pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat, keluarga dan anak itu sendiri.
•
Rendahnya tingkat kesadaran masyarakat dan keluarga mengenai hal – hal yang termasuk penyiksaan pada anak, baik secara fisik maupun psikis dan dampaknya.
23 Opportunity •
Ada berbagai lembaga independen dan yayasan yang menaungi masalah anak. Lembaga maupun yayasan ini banyak mengangkat tema – tema penyiksaan terhadap anak dan hak anak dalam berbagai bentuk dan mengkampanyekan masalah anti kekerasan pada anak.
Threat •
Kurangnya perhatian dari pemerintah mengenai kasus kekerasan pada anak.
•
Masalah ekonomi yang masih menjadi alasan banyaknya kekerasan pada anak, sehingga anak menjadi korban dalam masyarakat
•
Pendidikan dan karir di kota besar menjadi hal utama dibandingkan anak dalam keluarga.
2.3
Data Penyelenggara 2.3.1
KPAI ( Komisi Perlindungan Anak Indonesia ) Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) adalah Lembaga
Independen yang kedudukannya setingkat dengan Komisi Negara yang dibentuk berdasarkan amanat Keppres 77/2003 dan pasal 74 UU No. 23 Tahun 2002 dalam rangka untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak di Indonesia. Lembaga ini bersifat independen, tidak boleh dipengaruhi oleh siapa dan darimana serta kepentingan apapun, kecuali satu yaitu “ Demi Kepentingan Terbaik bagi Anak ” seperti diamanatkan oleh CRC (KHA) 1989.
24 Tugas KPAI melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perUU-an yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan dan pemantauan,
evaluasi
serta
pengawasan
terhadap
penyelenggaraan
perlindungan anak, memberikan laporan, saran, masukan serta pertimbangan kepada Presiden.
Fungsi dan Tugas KPAI Pada pasal 75 UU Perlindungan Anak dicantumkan bahwa tugas pokok KPAI ada 2, yaitu: 1. Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan,
evaluasi
dan
pengawasan
terhadap
pelanggaran
perlindungan anak; 2. Memberikan laporan, saran, masukan dan pertimbangan kepada presiden dalam rangka perlindungan anak. 3. Mencermati isi pasal tersebut maka tugas KPAI dapat dirinci lebih lanjut sebagai berikut: •
Melakukan
sosialisasi
dan
advokasi
tentang
peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak. •
Menerima pengaduan dan memfasilitasi pelayanan masyarakat terhadap kasus-kasus pelanggaran hak anak kepada pihak-pihak yang berwenang.
•
Melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan, kebijakan
25 pemerintah, dan kondisi pendukung lainnya baik di bidang sosial, ekonomi, budaya dan agama. •
Menyampaikan
dan
memberikan
masukan,
saran
dan
pertimbangan kepada berbagai pihak tertuama Presiden, DPR, Instansi pemerintah terkait ditingkat pusat dan daerah. •
Mengumpulkan
data
dan
informasi
tentang
masalah
perlindungan anak. •
Melakukan
pemantauan,
evaluasi,
dan
pelaporan
tentang
perlindungan anak termasuk laporan untuk Komita Hak Anak PBB (Committee on the Rights of the Child) di Geneva, Swiss. •
Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak di Indonesia.
Visi dan Misi KPAI Visi : 1. Berusaha memahami kondisi perempuan dalam keragamannya termasuk di dalamnya kelas, ras, budaya dan agama 2. Ikut dalam upaya penyadaran hak-hak kaum perempuan agar terbebas dari segala bentuk kekerasan demi terwujudnya masyarakat yang demokratis dan berkeadilan sosial Misi : 1. Membangun jaringan untuk melakukan pemahaman kondisi perempuan dalam keragamannya termasuk di dalamnya kelas, ras, budaya dan agama
26 2. Membangun jaringan untuk melakukan penyadaran hak-hak perempuan kepada masyarakat bersama-sama kelompok lainnya melalui pendidikan dan diseminasi informasi
2.3.2
PELIKAN ( Peduli Konseling Nusantara ) Yayasan Peduli Konseling Nusantara (PELIKAN) didirikan oleh
Julianto Simanjuntak dan Roswitha Ndraha pada bulan Juni 2007. PELIKAN lahir dari perkembangan pelayanan LK3 yang mereka dirikan sebelumnya. Wadah ini menjadi perpanjangan tangan LK3 menjawab kebutuhan konseling dan tenaga konselor, terutama di daerah-daerah. Dalam perjalanan Julianto & Roswitha memberi training konseling di beberapa kota di Indonesia, ternyata kebutuhan konseling di daerah-daerah sangat besar.
Yayasan Peduli Konseling Nusantara (Pelikan Taman Permata D7/22 Lippo Village Karawaci, Indonesia 021-70555705 (SMS)
[email protected] http://www.pedulikonseling.or.id
Riwayat Singkat Julianto Simanjuntak, menyelesaikan Bachelor Teologi dari STT I-3 Batu, Malang, (1988). Studi Konseling di UKSW Salatiga (1991) dan mendapatkan Magister Divinity bidang Konseling dari STTRII (1999). Juga
27 menyelesaikan Magister dalam bidang Agama dan Masyarakat dari UKSW Salatiga (2000). Tahun 2002 bersama istri mendirikan LK3. Aktif menjadi konselor, mediator, dan fasilitator keluarga. Pernah menjadi Staf PERKANTAS (19881990), Gembala Sidang GKMI Anugerah (1991-1996), Wakil Sekretaris Umum Sinode GKMI (1999-2001). Julianto juga mengajar Konseling di STT Jaffray dan IFTK Jaffray Jakarta. Roswitha Ndraha, lulus dari IISIP Fak. Ilmu Komunikasi Jurusan Jurnalistik tahun 1988. Pernah bekerja menjadi Staf Majalah DIA Perkantas (1988-1990). Kepala Biro Informasi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) tahun 1991-1994. Sejak 1995 melayani bersama suami lewat penggembalaan dan konseling. Secara khusus saat ini menangani kursus konseling jarak jauh dan mendampingi Julianto memberikan seminar dan training.
Visi PELIKAN adalah: 1. Menghadirkan pusat-pusat konseling terbaik di Indonesia 2. Mengkampanyekan pentingnya kesehatan mental di Gereja-gereja 3. Mendorong lahirnya mental hospital setidaknya 1 (satu) di setiap ibu kota propinsi di Indonesia
28 2.4
Faktor Pendukung Sudah adanya Undang – Undang yang mengatur mengenai hak anak, dan hukuman bagi pelanggar menjadi hal pendukung tercapainya kampanye ini, berikut merupaka Undang – undang yang mengatur mengenai Perlindungan anak .
2.4.1
Undang – Undang Perlindungan Anak ( UUPA )
Menurut pasal 64 UUPA No : 23 / 2002, Anak yang berhadapan dengan hukum terdiri dari : Anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana; Pada pasal 16: (1)
Hak anak mendapat perlindungan dari penganiyaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi
(2)
Hak kebebasan anak sesuai dengan hukum
(3)
Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak: sesuai dengan hukum , hanya dapat dilakukan sebagau upaya terakhir
Pasal 17 : (1)
Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk ; a. Diperlakukan secara manusiawi, dipisahkan dari orang dewasa, b. Mendapat bantuan hukum dan bantuan lain, c. Membela diri, memperoleh keadilan, sidang tertutup
(2)
Kerahasiaan bagi anak sebagai korban kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum
Pasal 18 : Hak bantuan hukum bagi korban dan pelaku
29
2.4.2 Hukuman Bagi Pelaku Kekerasan Berikut ringkasan Undang - Undang Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002, hukuman mengenai perlindungan anak ( Ketentuan pidana menurut pasal 77-90 ); 77.
Diskriminasi dan penelantaran = 5 tahun penjara atau denda 100 juta
78.
Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi sistuas darurat sebagaimana dimaksud pasal 60 dan pasal 59 = penjara 5 tahun dan/atau denda 100 juta
Keterangan : pasal 60, situasi darurat apabila anak merupakan pengungsi, korban kerusuhan, bencana alam, konflik bersenjata. pasal 59 apabila anak membutuhkan perlindungan khusus, penelantaran, korban penculikan, perlindungan khusus bagi anak cacat, korban kekerasan 80.1
Mengenai child abuse ( kekejaman, kekerasa, ancaman kekerasan atau penganiyaan terhadap anak ) mendapat sanksi 3,5 tahun penjara dan/atau denda 72 juta
80.2
Luka berat = 5 tahun penjara dan/atau denda 100 juta
80.3
Anak mati = 10 tahun penjara dan/ atau denda 200 juta
80.4
Jika pelaku merupakan orang tua hukuman pidana ditambah 1/3
2.4.3 Undang Undang Hak Asasi Manusia Berikut merupakan Hak - Hak Anak berdasarkan UU HAM No.39 tahun 1999, pasal 52 – 65 yakni; 52.1
Setiap anak berhak atas perlindungan dari orang tua, keluarga, masyarakat, negara
30 52.2
Hak anak adalah hak asasi manusia sejak dalam kandungan
53.1
Setiap
anak
berhak
untuk
hidup,
memepertahankan
hidup,
meningkatkan taraf hidup 54.
Anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan dan bantuan khusus atas biaya negara
56.1
Setiap anak berhak untuk orang tua yang membesarkan
57.1
Setiap anak berhak untuk dibesarkan,dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing oleh orang tua atau wali
58.1
Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik dan mental (penelataran, perlakuan buruk dan pelecehan seksual)
58.2
Orang tua, Wali atau Pengasuh anak yang melakukan segala bentuk penganiyaan fisik atau mental ( penelantaran, Perlakuan buruk dan pelecehan seksual atau pembunuhan terhadap anak) harus dikenakan pemberatan hukum
2.4.4 Hukum Internasional tentang Hak Hak Anak Beberapa hukum internasional yang menjadi acuan dalam hal perlindungan anak menurut PBB, yakni ; • The United Nations Standard Minimum Rules for Admininstration of Juvenile Justice - The Beijing Rules ( Peraturan Standar Minimum PBB untuk Pelaksanaan Peraturan Beijing ) • The United Nations Rules for Protection of Juvenile Deprived of their Liberti ( Peraturan PBB untuk perlindungan anak yang terampas kebebasannya )
31 • The United Nations Guidlines for Prevention of Juvenile Deliquency The Riyadh Guidlines ) Paduan PBB untuk pencegahan kenakalan anak - panduan Riyadh )
2.5
Faktor Penghambat 1. Tidak adanya batasan yang jelas mengenai masalah pelanggaran hak anak, jadi masih banyak masyarakat yang tidak mengetahu batas – batas mana yang sudah masuk kedalam kategori penelantaraan anak / neglect. 2. Masih banyaknya masyarakt yang menganggap anak adalah hak milik pribadi, dan hanya menjadi masalah internal keluarga saja