BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN
2.1
Kajian Teoretis
2.1.1 Hakikat Kemampuan Dasar Berhitung 2.1.1.1 Pengertian Pendidikan anak usia dini didefinisikan sebagai persiapan untuk memasuki sekolah yang dimulai di jenjang sekolah dasar. Oleh karena itu, kegiatan yang dilakukan di TK hendaknya dapat memberikan bekal bagi anak ketika masuk sekolah dasar. Belajar membaca, menulis dan berhitung dan bahkan sains kini tidak perlu dianggap tabu bagi anak usia dini. Persoalan terpenting adalah merekonstruksikan cara untuk mempelajarinya sehingga anak-anak menganggap kegiatan belajar mereka, tak ubahnya seperti bermain, bahkan memang berbentuk sebuah permainan. Gardner (dalam Siswanto dan Lestari, 2012:11) menjelaskan sesungguhnya pelajaran calistung hanyalah sebagian kecil pelajaran yang perlu diperoleh setiap anak. Cara kita memandang calistung semestinya juga sama dengan cara kita memandang pelajaran lain, seperti motorik dan bergaul atau pun musikal. Pelajaran calistung bisa membaur dengan kegiatan lainnya yang dirancang dalam kurikulum TK tanpa harus membuat anak-anak terbebani. Adakalanya tidak diperlukan waktu atau pun momentum khusus untuk mengajarkan calistung. Untuk berhitung, mengenalkan kuantitas benda adalah dasar-dasar matematika yang lebih penting daripada menghafal angka-angka dan hal itu sangat mudah diajarkan pada anak usia dini. Siswanto dan Lestari (2011:25) menguraikan sebelum anak mengerti angka dan huruf, langkah pertama yang harus dikenalkan kepada anak adalah pengenalan konsep. Setelah melalui beberapa tahapan pengenalan konsep dan latihan motorik halus, anak masuk dalam tahap 8
transisi, yaitu dari pengenalan konsep ke angka. Selanjutnya, setelah mengerti konsep dan angka, anak diberikan latihan atau pengayaan berhitung. Selanjutnya Yusuf (2011:54) menjelaskan karakteristik anak usia dini pada aspek kognitif (daya cipta), meliputi: a) dapat menggunakan konsep waktu; b) dapat mengelompokkan benda dengan berbagai cara (warna, ukuran, bentuk); c) mengenal bermacam-macam rasa, bau, suara, ukuran dan jarak; d) mengenal sebab-akibat; e) dapat melakukan uji coba sederhana; f) mengenal konsep bilangan; g) mengenal bentuk-bentuk geomteri; h) mengenal alat untuk mengukur; i) mengenal penambahan dan pengurangan dengan benda-benda. Dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan, bahwa pengertian kemampuan dasar berhitung yakni kemampuan anak mengenal angka 1 – 10, menjumlah 1 – 10, dan mengurang 1 – 10.
2.1.1.2 Kemampuan Dasar Berhitung Merupakan Bagian Perkembangan Kognitif Anak Piaget (dalam Aisyah, 2008:5.29) menguraikan sesuaikan pendidikan dengan kesiapan anak untuk belajar. Pengalaman belajar yang sesuai membangun skema yang ada. Piaget menekankan bahwa anak lebih diuntungkan dari pengalaman pendidikan yang tidak terlalu sulit yang menarik keingin-tahuannya, menantang pemahamannya saat ini, dan mendorongnya untuk mengevaluasi apa yang telah diketahuinya. Jika pengalaman belajar terlalu rumit, anak tidak dapat memahaminya, dan tidak ada peristiwa belajar baru yang muncul. Jamice J. Beaty (dalam Aisyah, 2008:5.33) mengorganisasi sejumlah pengembangan konsep yang muncul secara sistematis melalui beberapa program pengembangan kognitif pada anak usia dini, sebagai berikut: 1) Bentuk
Bentuk adalah salah satu konsep paling awal yang harus dikuasai. Anak dapat membedakan benda berdasarkan bentuk lebih dulu sebelum berdasarkan ciri-cirinya lainnya. Dengan demikian, merupakan hal terbaik untuk memulai program kognitif dengan memberikan kegiatan yang memungkinkan anak membedakan berbagai benda dengan bentuk yang berbedabeda. 2) Warna Meskipun anak sering berbicara tentang warna dari suatu benda, Beaty mengatakan bahwa anak dapat mengembangkan konsep warna setelah mengenal bentuk. Konsep warna paling baik dikembangkan dengan cara memperkenalkan warna satu persatu kepada anak dan menawarkan beragam permainan dan kegiatan menarik yang berhubungan dengan warna. 3) Ukuran Karena anak mendapatkan lebih banyak pengalaman di dalam lingkungannya maka ia mulai menaruh perhatian khusus kepada hubngan antar benda-benda tersebut. Ukuran adalah salah satu yang diperhatikan anak secara khusus. Seringkali hubungan ukuran ini diajarkan dalam konteks kebalikan, seperti besar dengan kecil, panjang dengan pendek, lebar dengan sempit, dan panjang dengan pendek. Anak akan dapat memahami satu macam ukuran dalam sau waktu sehingga ia harus belajar konsep besar dulu baru konsep kecil, dan akhirnya dia dapat diminta untuk membandingkan keduanya. 4) Pengelompokkan Ketika anak memilih benda, orang, kejadian atau id eke dalam kelompok dengan dasar berbagai karakteristik umum, seperti warna, ukuran atau bentuk, kita mengatakan anak sedang belajar mengelompokkan. Anak usia 3 tahun sudah mampu mengelompokkan benda. Kita dapat melihat prosesnya dengan jelas ketika ia memisahkan mainan ke dalam kelompok “binatang
besar” dan “binatang kecil”. Anak mengklasifikasi sesuatu dalam berbagai cara. Sekotak kancing misalnya, mungkin akan dikelompokkan menurut ukuran, bentuk atau warna. 5) Pengurutan Pengurutan adalah kemampuan meletakkan benda dalam urutan menurut aturan tertentu. Sebagai contoh, mengurutkan 5 buah tongkat dari yang paling pendek ke yang paling panjang, mengurutkan berbagai buku dari yang paling tebal ke yang paling tipis. Wilayah kurikulum untuk anak usia dini ini membuat anak mampu mengorganisasikan pengertiannya tentang dunia di sekelilingnya dengan mendorong perkembangan pembangunan mental (konsep) yang menggambarkan hal yang sama dalam suatu cara tertentu. Anak mengembangkan (konsep) melalui aktivitas nyata yang membutuhkan rentangan pengalaman indra yang luas. Seluruh informasi yang didapatkan melalui bermain menjelajah ini akan diarsipkan ke dalam pola pemograman di dalam otak. Melalui kegiatannya, anak membangun mental peniruan dari objek yang sebenarnya, membedakan benda-benda melalui penampakkan luarnya, dan memutuskan bagaimana sesuatu tampak sesuai satu sama lain untuk membentuk pola atau urutan. Kemampuan untuk mengkonsepkan cici-ciri benda dengan menggunakan kategori tertentu (misalnya warna, bentuk atau ukuran) berbeda dengan kemampuan mengkonsepkan angka. Aisyah (2008:5.34) mengatakan bahwa kedua kemampuan tersebut berbeda yaitu abstraksi empiris (mengabstrakkan hal yang nyata) mengacu pada konsep kategori, sementara abstraksi reflektif mengacu pada konsep angka. Dalam abstraksi empiris, anak tersebut pada satu ciri dari benda (misalnya warna), dan mengenyampingkan ciri-ciri lainnya. Sebaliknya, abstraksi reflektif adalah proses berpikir yang lebih matang yang dibangun dari dalam. Ketika guru menempatkan dua benda berwarna biru, anak dapat dengan cepat membantuk abstraksi empiris
melalui pengamatan, tetapi harus menginternalisasi (memasukkan dalam pikiran) fakta bahwa kedua benda tersebut ada di sana. Konsep “dua” tidak dapat dikomunikasikan dengan sendirinya oleh benda kepada anak. Konsep tersebut harus dibentuk dalam pikiran. Anak harus mengenalinya karena konsep dua tidak secara nyata ada di sana untuk dilihat oleh anak secara langsung, seperti halnya warna. Oleh karena konsep matematika merupakan abstraksi reflektif, anak harus diberi kesempatan untuk mengamati cici-ciri benda dan belajar membentuk hubungan dengan membedakan ciri-ciri umum. Anak membutuhkan pertolongan dalam mengenali dunia sekelilingnya dan mengorganisasikan persepsinya. Membantu anak dalam membentuk abstraksi empiris yang akurat adalah sesuatu yang penting agar anak usia dini dapat terdorong untuk melakukan proses mental yang lebih rumit, seperti membentuk abstraksi reflektif. Farida, dkk (2012:51) menyatakan berhitung bisa diajarkan tanpa membuat anak menekuni buku. Mereka akan lebih antusias jika diajak ke kebun untuk mengamati pohon singkong, misalnya dan menghitung jumlah jari di setiap daunnya. Berapa jumlah semua jari daun singkong ada tiga helai. Kemampuan dasar berhitung, termasuk pada matematika. Seefeltd dan Wasik (2009:386) menyatakan perkembangan matematika anak-anak perlu dibangun pada tahun-tahun dini. Matematika dibangun oleh keingintahuan dan semangat anak-anak dan tumbuh secara alami dari pengalaman mereka. Agar anak-anak belajar konsep matematika sesuai dengan usia, mereka harus: a) mengembangkan bahasa matematika; b) punya kesempatan interaktif untuk pengalaman matematika, dan e) termotivasi untuk tertarik pada matematika. Selanjutnya, Seefeldt dan Wasik (2009:387) menguraikan untuk mendapatkan kesempatan belajar matematika, anak-anak memerlukan: a) pengalaman-pengalaman yang
langsung berhubungan dengan matematika; b) interaksi dengan anak-anak lain dan orang dewasa berkenaan dengan pengalaman-pengalaman ini, dan c) waktu untuk merefleksi pengalamanpengalaman tersebut. Pengalaman langsung anak-anak dengan bahan-bahan yang berkaitan dengan matematika mempunyai banyak manfaat. Dengan menggunakan manipulasi/ kecerdikan mendorong anakanak untuk berpikir dan bereaksi terhadap benda-benda di lingkungan mereka. Interaksi dengan orang lain, anak-anak membangun pengetahuan dengan berinteraksi dengan orang lain. Lewat interaksi dengan teman sebaya, ide anak tentang benda-benda terbentur dengan ide orang lain. Waktu untuk refleksi. Untuk menarik kesimpulan, untuk memecahkan masalah, dan untuk melihat konsep matematika, anak-anak memerlukan waktu untuk berpikir tentang tindakan mereka. Ini bukan kegiatan yang biasa bagi anak-anak usia dini. Oleh karena itu, lingkungan yang memungkinkan terciptanya refleksi perlu diciptakan di dalam ruang kelas.
2.1.1.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kemampuan Dasar Berhitung Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan dasar berhitung, antara lain: 1) Orang Tua Anwar Ahmad (2007:30) mengemukakan bahwa dalam kehidupan seorang anak, pendidikan di rumah berperan sangat besar dalam pembentukan kepribadiannya. Tingkat kecerdasan anak adalah pada masa-masa keemasan dalam pembentukan tingkat kecerdasan adalah pada masa-masa usia balita. Pada usia tersebut, sebagian besar anak menghabiskan waktunya sebanyak 86% di rumah. Adalah suatu kesia-siaan apabila orang tua mengabaikan waktu tersebut hanya dengan membiarkan anak-anak bermain, menonton TV tanpa suatu arahan pendidikan yang jelas.
Baradja (2005:68) menyatakan keluarga sangat berperan dalam mempengaruhi perkembangan anak. Pemberian kasih sayang dan pola asuh yang baik dan sesuai dengan perkembangan anak merupakan faktor yang kondusif dalam mempersiapkan anak menjadi pribadi sehat. Hal ini karena keluarga merupakan suatu wadah atau tempat dalam memenuhi kebutuhan manusia, terutama dalam hal biologi maupun pengembangan kepribadian dan pertahanan hidupnya. Rachmawati dan Kurniati (2010:32) menjelaskan beberapa sikap orang tua yang menunjang tumbuhnya kreativitas, sebagai berikut: a) menghargai pendapat anak dan mendorongnya untuk mengungkapkannya; b) memberi waktu kepada anak untuk berpikir, merenung dan berkhayal; c) membolehkan anak mengambil keputusan sendiri; d) mendorong anak untuk menjajaki dan mempertanyakan hal-hal; e) meyakinkan anak bahwa orang tua menghargai apa yang ingin dicoba, dilakukan, dan apa yang dihasilkan; f) menunjang dan mendorong kegiatan anak; g) menikmati keberadaannya berasama anak; h) memberi pujian yang sungguh-sungguh kepada anak; i) mendorong kemandirian anak dalam bekerja; j) menjalin hubungan kerja sama yang baik dengan anak. Dari beberapa pendapat yang dikemukakan, orang tua sangat berperan dalam pemberian pengetahuan kepada anak, termasuk memberikan dasar-dasar berhitung dalam kehidupan seharihari. Seperti mengenalkan berapa jumlah apel yang terletak di atas meja makan, menghitung berapa banyak kue yang sudah dimakan, dan sisanya tinggal berapa buah kue. Latihan-latihan dalam menjumlahkan dan mengurang di rumah, akan memberi arti apabila anak mempelajari dasar-dasar berhitung. 2) Sekolah
Farida, skk (2012:18) menyatakan pendidikan anak seharusnya didesain agar bisa mempengaruhi pola pikir, pola tindakan, cara pemecahan masalah dan performance mereka. Untuk memungkinkan proses pembelajaran semacam itu terjadi, sekolah nanti menciptakan asmosfir yang membuat setiap anak “hidup”, merasa diterima, nyaman, dan bebas mengekspresikan dirinya. Mereka bisa belajar dalam arti yang sesungguhnya, menjadi manusia yang kaya ilmu lahir batin, dalam suasana ceria penuh makna, singkatnya sekolah menjadi tempat yang menyenangkan bagi mereka. Siswanto dan Lestari (2012:5) mengemukakan proses belajar di TK, haruslah dengan system bermain. Penelitian tersebut membuktikan, anak-anak yang kebutuhan bermainnya terpenuhi, makin tumbuh dengan memiliki keterampilan mental yang lebih tinggi, untuk menjelajahi dunia lebih lanjut dan menjadi manusia yang memiliki kebebasan mental untuk tumbuh kembang sesuai potensi yang dimilikinya. Ia terlatih untuk terus menerus meningkatkan diri mencapai kemajuan. Untuk melatih kemampuan dasar berhitung, sekolah dalam hal ini memfasilitasi pengadaan media pembelajaran yang dapat merangsang anak agar tertarik dalam berhitung yang sesuai dengan karakteristik dan perkembangan anak. 3) Guru Aisyah, dkk (2008:5.36) menguraikan cara terbaik bagi pendidik untuk ikut membentuk konsep tertentu adalah dengan menyediakan anak berbagai bahan
untuk dijelajahi dan
berinteraksi secara tepat dengan mereka. Melalui belajar yang tidak disengaja, seorang pendidik dapat mengajarkan keterampilan matematika dalam konteks kegiatan bermain anak, daripada menyusun pelajaran matematika secara khusus. Di meja makan, sebagai contoh, pendidik dapat berkata: “ada empat kursi”, satu kursi untuk satu orang. Ia juga dapat menghitung cangkir atau
kue saat bermain dengan anak. Anak-anak yang bermain dengan pasir atau air dapat diminta mengisi wadah, mengosongkannya, dan memahami seberapa banyak lagi pasir atau air yang harus ditambahkan pada wadah yang lebih besar. Kegiatan lain, seperti memasak memberi anak latihan dalam mengukur bumbu-bumbu dengan sendok ukuran. Dan masih banyak lagi kegiatan yang dapat dilakukan yang berhubungan dengan keterampilan matematika pada saat anak bermain.
2.1.2 Hakikat Bimbingan Klasikal Dengan Teknik Bermain 2.1.2.1 Pengertian Bimbingan Klasikal Bimbingan klasikal merupakan bimbingan yang diberikan secara klasikal kepada semua anak, agar anak-anak tersebut dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya. Hal ini didasarkan pada pendapat Yusuf (2011:20) tentang prinsip bimbingan, antara lain: bimbingan, sebagai konsep maupun proses merupakan bagian integral program pendidikan di sekolah. Oleh karena itu, bimbingan dirancang untuk melayani semua siswa, bukan hanya anak yang berbakat atau yang mempunyai masalah. Di sisi lain, Adhiputra (2013:106) menjelaskan bahwa bimbingan di TK lebih berorientasi pada pengembangan. Oleh karenanya system bimbingan di TK menghendaki keterpaduan antara pendekatan pengajaran dengan bimbingan. Layanan bimbingan bagi anak TK tidak dialokasikan pada waktu yang berbeda, tetapi terpadu dengan proses pembelajaran yang dilakukan guru di dalam kelas maupun di luar kelas, penciptaan lingkungan yang kondusif dalam mendukung pengembangan perilaku social, pribadi maupun pengembangan keterampilan merupakan strategi untuk digunakan di taman kanak-kanak. Bimbingan klasikal merupakan pelayanan bimbingan (layanan data) merupakan suatu proses pemberian bantuan kepada seluruh siswa melalui kegiatan pengalaman perkembangan.
Tujuan dari pelayanan ini adalah untuk membantu siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan untuk memahami diri dan orang lain, menyesuaikan diri dengan lingkungan, melakukan eksplorasi dan perencanaan karir, membuat keputusan dan belajar (Modul PLPG, 2013:310). Dari beberapa penjelasan para ahli, dapat disimpulkan bahwa bimbingan klasikal merupakan bagian dari bimbingan konseling yang diberikan kepada anak, agar dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya.
2.1.2.2 Pengertian Bermain Dunia anak adalah bermain, belajarnya anak sebagian besar melalui permainan yang mereka lakukan. Sehingga, jika keduanya (bermain dan belajar) dipisahkan, sama artinya dengan memisahkan anak-anak dari dunianya sendiri. Anak-anak akan menjadi terasing dalam lingkungan hidupnya. Montessori (dalam Suyadi, 2009:20) menjelaskan ketika anak sedang bermain, anak akan menyerap segala sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Anak yang bermain sebenarnya telah menyerap berbagai hal baru yang di sekitarnya. Proses penyerapan inilah yang disebut Montessori sebagai aktivitas belajar. Ketika anak belajar calistung, misalnya, maka guru dan orang tua boleh menggunakan metode permainan apa saja yang masih berkaitan. Hildebrand (dalam Isjoni, 2009:87) bermain berarti berlatih, mengekspresi, merekayasa, mengulang latihan apapun yang dapat dilakukan untuk mentransformasikan secara imajinasi halhal yang sama dengan dunia orang dewasa. Mutiah (2010:113) menguraikan pengertian permainan dan bermain. Permainan dan bermain memiliki arti dan makna tersendiri bagi anak. Permainan mempunyai arti sebagai sarana mensosialisasikan diri (anak) artinya permainan digunakan sebagai sarana membawa anak kea lam masyarakat. Mengenalkan anak menjadi anggota suatu masyarakat, mengenal dan menghargai masyarakat. Permainan sebagai sarana
untuk mengukur kemampuan dan potensi diri anak. Anak akan menguasai berbagai macam benda, memahami sifat-sifatnya maupun peristiwa yang berlangsung di dalam lingkungannya. Dalam situasi bermain anak akan dapat menunjkkan bakat, fantasi dan kecenderungankecenderungannya. Saat bermain anak akan menghayati berbagai kondisi emosi yang mungkin muncul seperti rasa senang, gembira, tegang, kepuasan dan mungkin rasa kecewa. Permainan merupakan alat pendidikan karena memberikan rasa kepuasan, kegembiraan dan kebahagiaan. Dengan permainan memberikan kesempatan pralatihan untuk mengenal aturan-aturan (sebelum ke masyarakat), mematuhi norma-norma dan larangan-larangan, berlaku jujur, setia (loyal) dan lain sebagainya. Dalam permainan anak akan menggunakan semua fungsi kejiwaan/ psikologis dengan suasana yang bervariasi. Di sinilah pentingnya menggabungkan antara bermain dan belajar. Sudah menjadi tabiat semua orang bahwa permainan jenis apapun, jika sesuai dengan perkembangan anak, pasti disukai dan digemarinya. Bahkan, secara naluriah anak-anak akan tertantang untuk selalu mencoba mainan baru. Demikian pula dengan belajar. Sudah menjadi tabiat semua orang bahwa belajar dalam keadaan terpaksa, apalagi tidak menyenangkan, tidak akan membuahkan hasil maksimal. Jangankan tidak menyukai pelajarannya, tidak menyukai gurunya pun berdampak buruk pada prestasi belajar anak. Oleh karena itu, satu-satunya cara agar suasana belajar menjadi menyenangkan dan menantang adalah menggabungkan di antara keduanya, yakni belajar sambil bermain dan bermain sambil belajar. Dengan pola belajar sebagaimana bermain dan pola bermain sebagaimana belajar anak merasa enjoy. Alasannya, tanpa disengaja, anak belajar dalam
permainan dan bermain dalam belajar. Antara belajar dan bermain sama-sama menyenangkan sekaligus menantang. Kondisi pembelajaran yang menyenangkan sekaligus menantang inilah yang mempunyai potensi besar membentuk karakter anak menjadi seorang pembelajar sejati. Hasil belajar anak meningkat tajam karena semakin banyak permainan yang dilakukannya semakin menambah tingkat kecerdasannya. Lebih dari itu, kelak di masa dewasa, bahkan hingga di masa tua, ia akan mempunyai hobi yang sangat mengagumkan, yakni belajar. Ia menikmati belajar sama dengan menikmati permainan. Semuanya dirasakan sangat menyenangkan dan menantang, tetapi mencerdaskan. Perasaan ini yang mendorong anak untuk belajar setiap saat, tanpa disuruh dan diawasi, bahkan yanpa pembelajar sejati. Semakin tinggi tingkat kesulitannya, semakin rumit tingkat ketelitiannya, semakin membuat meninggikan rasa ingin tahu; semakin luas wilayah kajiannya, semakin menggembirakan untuk dijelajahinya. Inilah kekuatan besar dari gabungan antara belajar dan permainan. Selanjutnya Mayesti (dalam Sujiono, 2009:144) bermain adalah kegiatan yang anak lakukan sepanjang hari, karena bagi anak bermain adalah hidup, dan hidup adalah permainan. Anak-anak usia dini tidak membedakan antara bermain, belajar dan bekerja. Anak-anak umumnya sangat menikmati permainan dan akan terus melakukannya dimana pun mereka memiliki kesempatan. Pada kesimpulannya bermain dan permainan tidak dapat dipisahkan pada kegiatan anak. Tanpa bermain dan permainan, orang tua dan guru tidak dapat mengidentifikasi proses pertumbuhan dan perkembangan anak. Yang dimaksud dengan teknik bermain dalam penelitian ini, adalah anak diberi bimbingan dalam melakukan suatu jenis permainan yang mengacu pada konsep dasar berhitung,
yaitu mengenal konsep angka. Dengan angka tersebut, anak dapat menjumlah maupun mengurang dalam bentuk yang sederhana, seperti pada konsep menjumlah 1 buah pisang ditambah 1 buah pisang menjadi 2 buah pisang. Mengenai bermain ditegaskan oleh Imam Al-Ghazali (dalam Farida, dkk, 2012:44) berpendapat hendaknya anak kecil diberi kesempatan bermain. Melarangnya bermain dan menyibukkan dengan belajar terus menerus akan mematikan hatinya, mengurangi kecerdasannya dan membuatnya jenu terhadap hidup, sehingga ia akan sering mencari alasan untuk membebaskan diri dari keadaan sumpek ini, hal ini dipertegas oleh Hr. Tirmidzi (dalam Farida, dkk, 2012:45) bahwa hobi permainan dan kelincahan gerak seorang anak pada waktu kecil akan mempertajam pikirannya ketika dewasa.
2.1.2.3 Karakteristik Bermain Pada Anak Usia Dini Hewson, dkk (dalam Sujiono, 2009:146) berpendapat terdapat enam karakteristik kegiatan bermain pada anak yang perlu dipahami, yaitu: a) Bermain muncul dari diri anak. Keinginan bermain anak harus muncul dari dalam diri anak, sehingga anak dapat menikmati dan bermain sesuai dengan caranya sendiri. Itu artinya bermain dilakukan dengan kesukarelaan, bukan paksanaan. b) Bermain harus bebas dari aturan yang mengikat, kegiatan untuk dinikmati. Bermain pada anak usia dini harus terbebas dari aturan yang mengikat, karena anak usia dini memiliki cara bermainnya sendiri. Untuk itulah bermain pada anak selalu menyenangkan, mengasyikkan dan menggairahkan. c) Bermain adalah aktivitas nyata atau sesungguhnya. Dalam bermain anak melakukan aktivitas nyata, misalnya pada saat anak bermain dengan air, anak melakukan aktivitas dengan air dan
mengenal air dari bermainnya. Bermain melibatkan partisipasi aktif baik secara fisik maupun mental. d) Bermain harus difokuskan pada proses daripada hasil. Dalam bermain anak harus difokuskan pada proses, bukan hasil yang diciptakan oleh anak. Dalam bermain anak mengenal dan mengetahui apa yang ia mainkan dan mendapatkan keterampilan baru, mengembangkan perkembangan anak dan anak memperoleh pengetahuan dari apa yang ia mainkan. e) Bermain harus didominasi oleh pemain. Dalam bermain harus didominasi oleh pemain, yaitu anak itu sendiri tidak didominasi oleh orang dewasa, karena jika bermain didominasi oleh orang dewasa maka anak tidak akan mendapatkan makna apa pun dari bermainnya. f) Bermain harus melibatkan peran aktif dari pemain. Bermain harus melibatkan peran aktif pemain. Anak sebagai pemain harus terjun langsung dalam bermain. Jika anak pasif dalam bermain anak tidak akan memperoleh pengalaman baru, karena bagi anak bermain adalah bekerja untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan baru. 2.1.2.4 Bentuk-bentuk Bermain Mutiah (2010:142) mengemukakan beberapa bentuk bermain, yaitu sebagai berikut: a) Bermain Sosial Partisipasi anak dalam kegiatan bermain dengan teman-temannya akan menunjukkan derajat partisipasi yang berbeda. b) Bermain Seorang Diri Anak bermain tanpa menghiraukan apa yang dilakukan anak lain di sekitarnya. Mungkin anak menyusun balok menjadi menara, dan ia tidak menghiraukan apa yang dilakukan oleh anak lain yang berada di ruangan yang sama. Bentuk bermain di mana anak hanya sebagai penonton saja. Anak bermain sendiri sambil melihat anak lain bermain di dalam ruang yang sama.
Mungkin anak berbicara dengan teman-teman. Mungkin setelah anak mengamati anak lain lalu bermain sendiri. Anak yang berlaku sebagai penonton, mungkin hanya duduk secara pasif, sementara anak-anak di sekitarnya aktif bermain, tetapi anak tersebut tetap waspada terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. c) Bermain Paralel Kegiatan bermain yang dilakukan sekelompok anak dengan menggunakan alat permainan yang sama, tetapi masing-masing anak bermain sendiri-sendiri. Apa yang dilakukan seseorang tidak tergantung anak yang lain. Mereka biasanya bicara satu sama lain, tetapi apabila seseorang meninggalkan tempat, yang lain tetap melanjutkan kegiatan bermain. Apa yang dilakukan seorang anak yang tidak tergantung pada yang dikerjakan anak lain. Anak-anak yang mengerjakan “puzzle” biasanya merupakan contoh bermain paralel. d) Bermain Asosiatif Kegiatan bermain di mana beberapa orang anak bermain bersama, tetapi tidak ada suatu organisasi (pengaturan). Beberapa anak mungkin memilih bermain sebagai penjahat, dan lari mengitari halaman, sedang anak lain lari mengejar anak yang menjadi penjahat secara bersamasama. Apabila satu anak berhenti mengejar, yang lain tetap lari mengejar. e) Bermain Kooperatif Masing-masing anak memiliki peran tertentu guna mencapai tujuan kegiatan bermain. Misalnya, anak-anak bermain took-tokoan. Ada anak yang menjadi penjual barang-barang tertentu, sedangkan yang lain menjadi pembelinya. Apabila ada anak yang menolak peran tertentu, kemungkinan kegiatan bermain tersebut tidak jadi dilakukan. Anak-anak dari berbagai kelompok usia akan menunjukkan tahapan perkembangan bermain sosial yang berbeda-beda. Anak yang masih sangat muda secara kognitif tidak akan
dapat menerima berbagai peran dalam bermain kooperatif. Mereka belum pernah mendapat informasi yang luas tentang berbagai peran atau belum memiliki keterampilan sosial dalam bermain secara kelompok. f) Bermain dengan Benda Piaget (1962) mengemukakan bahwa ada beberapa tipe bermain dengan objek yang meliputi bermain praktis (fungsional play), bermain simbolis (symbolic play), dan permainan dengan peraturan-peraturan (games of rules).
2.1.2.5 Bimbingan Klasikal Dengan Teknik Bermain Untuk Meningkatkan Kemampuan Dasar Berhitung Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa belajar sambil bermain lebih menekankan pada pelajarannya, maka bermain sambil belajar lebih menekankan pada jenis permainannya. Suyadi (2009:26) menyatakan jika anak mampu memainkan jenis mainan tertentu secara sempurna, maka anak tersebut bisa dikatakan berhasil dalam bermain sambil belajar. Artinya, anak mampu menguasai mata pelajaran tertentu melalui permainan khusus. Melalui permainan, anak dapat mengenal, memahami jenis-jenis permainan yang dapat menimbulkan rasa ingin tahu dan percaya diri. Pada permainan congklak, anak akan belajar mengurang melalui interaksi dengan teman. Anak dapat mengetahui jenis permainan selain game atau pun komputer yang sangat dikenal anak. Howard Gamer (dalam Siswanto dan Lestari, 2012:39) menyatakan anak-anak yang berada dalam rentang usia antara 0-7 tahun adalah anak usia dini yang berada dalam tahap eksplorasi. Masa usia dini tersebut adalah saat yang tepat untuk mengenali berbagai kecerdasan yang dimiliki seorang anak. Agar para orang tua dan guru dapat mengenali atau menggali potensi kecerdasan sang anak. Sebaiknya anak dibebaskan untuk memilih jenis kegiatan yang disenangi. Dengan demikian, anak maupun orang tua dan guru
dapat mengidentifikasi kombinasi antara kecerdasan anak yang cenderung menonjol atau kuat maupun jenis-jenis kecerdasan yang tampak kurang berkembang. Bimbingan klasikal dengan teknik bermain, memerlukan interaksi anak dengan guru sebagai fasilitator pembelajaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Seefeltd dan Wasik (2008:309) bahwa berinteraksi dengan para guru dan umpan balik dari para guru juga penting untuk pengembangan berpikir matematis dalam diri anak usia dini. Lewat pelajaran formal, para guru bisa mengajar kepada anak konsep-konsep seperti “lebih besar daripada”, lebih kecil daripada”, lebih banyak daripada”, dan “kurang daripada”. Dengan memberi umpan balik, para guru juga bisa mengoreksi konsep salah yang mungkin dimiliki anak mengenai prinsip-prinsip matematika. Selanjutnya apabila dihubungkan dengan langkah-langkah pelaksanaan bimbingan klasikal, maka teknik bermain merupakan hal yang perlu diperhatikan sebagaimana yang tercantum pada modul PLPG (2013:327), antara lain: a) memikirkan, menemukan dan menetapkan materi bimbingan yang relevan untuk membantu siswa mencapai kompetensi dasar; b) memilih pendekatan atau strategi yang tepat untuk digunakan, sehingga bimbingan dapat mencapai hasil dengan baik dan efisien; c) untuk mengefektifkan dan mengefisienkan kegiatan bimbingan, perlu juga memanfaatkan sumber-sumber yang ada serta media yang tersedia. Bimbingan klasikal pada prinsipnya bertujuan memberikan bimbingan kepada semua anak untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Untuk itu pemahaman karakteristik anak, hendaknya menjadi prioritas utama dalam pemberian bimbingan.
2.2
Hipotesis Tindakan Hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah: “Jika guru menggunakan bimbingan
klasikal dengan teknik bermain, maka kemampuan dasar berhitung anak TK Pertiwi Kecamatan Hulontalangi Kota Gorontalo, dapat ditingkatkan”..
2.3
Indikator Kinerja Indikator kinerja dalam penelitian ini adalah bila terjadi peningkatan anak yang memiliki
kemampuan dasar berhitung dari 7 orang anak atau 44% menjadi 14 orang anak atau 87% dari jumlah anak 16 orang.