BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1
Kajian Teoretis
2.1.1
Hakikat Perilaku Sosial
2.1.1.1 Pengertian Perilaku Sosial Perilaku sosial adalah pola interaksi dan tindakan antara individu dengan lainnya. Hurlock (1998) berpendapat bahwa perilaku sosial menunjukkan kemampuan untuk menjadi orang yang bermasyarakat. Setiap anak dilahirkan dengan membawa sejumlah potensi yang diuraikan dari generasi sebelumnya. Proses bawaan merupakan faktor keturunan (heredity factor), sebenarnya merupakan suatu kemampuan awal yang dimiliki oleh setiap individu yang baru untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Agar dapat berkembang secara optimal, potensi bawaan perlu ditumbuhkembangkan melalui berbagai stimulasi dan upaya-upaya dari lingkungan. Potensi bawaan seorang anak tidak saja berisi kemampuan yang berhubungan dengan fisik, tetapi juga berhubungan dengan psikis. Secara umum, potensi bawaan melukiskan gambaran yang utuh tentang anak dan hanya akan terwujud secara nyata jika mendapat rangsangan, terutama di tahun-tahun pertama kehidupan. Artinya keterlambatan memberikan rangsangan memungkinkan potensi tidak berkembang secara optimal. Perilaku sosial merupakan bagian dari aspek psikis yang perlu dibentuk pada anak. Mengingat perilaku sosial sangat mempengaruhi pertumbuhan dan
9
10
perkembangan anak. Perilaku sosial pula termasuk pada perkembangan sosial emosional. Soetjiningsih (2012:264) menjelaskan perkembangan emosi dan sosial adalah proses berkembangnya kemampuan anak untuk menyesuaikan diri terhadap dunia sosial yang lebih luas. Dalam proses perkembangannya anak diharapkan mengerti/memahami orang lain yang berarti mampu menggambarkan ciri-cirinya, mengenali apa yang dipikirkan, dirasa, diinginkan serta dapat menempatkan diri pada sudut pandang orang lain tersebut tanpa kehilangan dirinya sendiri. Aisyah (2009:9.35) mengemukakan perkembangan sosial adalah proses kemampuan belajar dan tingkah laku yang berhubungan dengan individu untuk hidup sebagai bagian dari kelompoknya. Perkembangan sosial berbeda dengan kemampuan sosial, kemampuan sosial merupakan kecakapan seorang anak untuk merespons dan mengikat dengan perasaan positif, dan memiliki kemampuan yang tinggi untuk menarik perhatian mereka. Di dalam kemampuan sosial anak dituntut untuk memiliki kemampuan yang sesuai dengan tuntutan sosial di mana ia berada. Anak yang dapat bersosialisasi dengan baik sesuai tahap perkembangan dan usianya cenderung menjadi anak yang mudah bergaul. Anak mengalami perubahan perilaku sosial sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Di sekolah anak aktif bergaul dengan teman, belajar mengikuti aturan permainan bersama. Dalam bekerja sama dengan teman, anak belajar berbagi,
11
belajar tenggang rasa, belajar mengendalikan emosi, menjaga keamanan diri. Semua kemampuan ini menumbuhkan kemampuan sosial emosional. Dewi (2005:19) mengemukakan perkembangan kemampuan sosial anak usia 4 sampai 5 tahun adalah sebagai berikut: a) bermain dan berkomunikasi dengan anak-anak lain; b) berani dan mempunyai rasa ingin tahu yang besar; c) menunjukkan perhatian untuk mengetahui lebih jauh tentang perbedaan jenis kelamin. Perilaku sosial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perilaku sosial yang dikemukakan oleh Seswanto (2012:28)
meliputi; bekerjasama dalam
permainan kelompok, berkomunikasi dengan oran lain, dan menolong oang lain. Adapn menurut Andayani (dalam Soetjiningsih, 2012:285) bahwa perkembangan kompetensi sosial anak terjadi dalam hubungannya dengan teman sebayanya. Kompetensi sosial ini mencerminkan kemampuan anak untuk mengenali perspekktif orang lain dan mengintegrasikan perspektifnya sendiri dengan perspektif orang lain. Dari beberapa pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa perilaku sosial, khususnya kerjasama anak merupakan aspek perkembangan sosial, dimana anak dapat berinteraksi dengan teman sebaya, lingkungan dan orang dewasa di sekitarnya. 2.1.1.2 Perkembangan Perilaku Sosial pada Masa Kanak-kanak Perkembangan sosial pada akhir masa kanak-kanak ditandai dengan adanya minat terhadap aktivitas teman-temannya dan meningkatkan keinginan
12
untuk diterima sebagai anggota suatu kelompok, dan merasa tidak puas bila tidak bersama-sama teman-temannya. Oleh sebab itu masa kanak-kanak akhir sering disebut sebagai “usia berkelompok”. Dua atau tiga teman tidaklah cukup baginya. Anak ingin bersama kelompoknya. Sejak anak masuk sekolah sampai masa puber, keinginan untuk bersama dan untuk diterima kelompok (geng) menjadi semakin kuat baik pada anak laki-laki maupun perempuan. Aisyah (2008:40) menjelaskan perkembangan sosial pada masa kanakkanak, meliputi: A. Geng Anak 1) Perbedaan geng Geng anak sangat berbeda dari geng remaja dan yang semakin membedakan diantaranya adalah sebagai berikut: a) Tujuan geng anak adalah memperoleh kesenangan geng anak mereka terutama merupakan kelompok bermain. Sebaliknya, geng remaja bertujuan untuk menimbulkan kesulitan bagi orang lain sebagai pembalasan terhadap kelalaian kelompok sosial yang benar-benar ada atau yang dikhayalkan. b) Geng anak-anak terdiri dari anak-anak yang popular dengan temanteman sebaya, sedangkan geng remaja terdiri dari remaja yang berhasil memperoleh dukungan teman-teman sehingga mereka bersatu dengan keinginan untuk membalas dendam kepada setiap orang yang tidak menerima mereka.
13
2) Ciri-ciri geng anak (a) Geng anak-anak merupakan kelompok bermain (b) Untuk menjadi anggota geng anak harus diajak (c) Anggota terdiri dari jenis kelamin yang sama. (Aisyah (2008:41) B. Bahasa sosial pada akhir masa kanak-kanak Terdapat lima jenis anak yang penyesuaiannya dipengaruhi oleh bahasa sosial, yaitu berikut ini: 1) Anak yang ditolak atau diabaikan oleh kelompok teman-teman akan kurang mempunyai kesempatan untuk belajar bersifat sosial. 2) Anak yang terkucil tidak memiliki persamaan dengan kelompok akan menganggap dirinya beda. 3) Anak yang mobilitas sosialnya tinggi memiliki kesulitan untuk diterima dalam kelompok yang sudah terbentuk. 4) Anak yang berasal dari keluarga ras/keluarga agama yang berbeda akan senang terkena prasangka. 5) Pada pengikut yang ingin menjadi pemimpin, kemudian menjadi anak yang penuh dengki dan tidak puas. C. Bahasa Potensial Perilaku
sosial
yang
tidak
memenuhi
harapan
sosial
akan
membahayakan bagi penerimaan sosial oleh kelompok. Hal ini akan menghilangkan kesempatan anak untuk belajar sosial sehingga sosialisasi mereka semakin jauh lebih rendah dibandingkan dengan teman seusianya.
14
Bahaya yang paling umum dalam upaya menuju sosialisasi adalah sebagai berikut: 1) Ketelantaran sosial Ketelantaran sosial adalah hilangnya kesempatan untuk berhubungan dengan
orang-orang
sehingga
menimbulkan
ketelantaran
dalam
kesempatan belajar menjadi pribadi sosial. Penyebab ketelantaran sosial adalah sebagai berikut: (a) Orang tua dan anggota keluarga lainnya kurang waktu untuk merawat bayi sehingga bayi kekurangan stimulasi untuk memotivasi menjadi bagian dari kelompok keluarga. (b) Keterasingan geografis atau kekhawatiran orang tua tentang hubungan anak dengan anak lain di luar rumah. Ketelantaran memperlama sifat egosentrisme, menjadi ciri khas semua bayi sehingga kecenderungan menjadi introverti. Ketelantaran sosial yang tidak berlangsung lama, cenderung mempertinggi motivasi mereka untuk memperoleh perhatian dan kasih sayang dari orang lain. Sebaliknya, ketelantaran sosial yang berlangsung lama tidak hanya menimbulkan introverti tetapi juga menyebabkan anak takut berusaha membina hubungan sosial walaupun mereka, kemudian mendapat kesempatan.
15
2) Partisipasi sosial yang terlalu banyak Terlalu banyak berpartisipasi sosial dapat berbahaya sebab hal itu menghilangkan kesempatan anak untuk mengembangkan segi batiniah yang memungkinkan mereka berbahagia apabila keadaan memaksa mereka untuk berada sendirian. Setiap anak memiliki kebutuhan sosial yang berbeda, tidak ada batasan apakah partisipasi sosial itu terlalu banyak atau tidak. Tetapi hal itu dapat dilihat dari sikap dan perilaku anak-anak bila mereka terlalu banyak berpartisipasi dalam kegiatan sosial. 3) Ketergantungan yang berlebihan Jika anak terus tergantung pada orang lain baik kepada orang dewasa atau kepada teman seusianya, hal ini akan membahayakan bagi penyesuaian pribadi dan sosial. Akibat yang timbul dari ketergantungan yang berlebihan, adalah: (a) meningkatnya perasaan ketidakmampuan dan kelebihrendahan anak (b) anak mudah dipengaruhi dan dikuasai orang lain (c) anak takut untuk berpikir dan berperilaku mandiri 4) Penyesuaian yang berlebihan Kelompok sosial menilai dan menerima atas dasar kesediaan atau kemampuan memenuhi harapan sosial, tetapi apabila anak berusaha menyesuaikan diri secara berlebihan maka: (a) teman seusia menganggap mereka lemah karena kurang mandiri
16
(b) anak akan dianggap remeh oleh kelompok teman sebaya karena tampak tidak mempunyai
apa-apa untuk disumbangkan bagi
kelompok. (c) anak tidak dapat memiliki pandangan yang baik tentang diri mereka sendiri jika mereka mengetahui bahwa kelompok mempunyai pandangan yang tidak baik tentang mereka. 5) Tidak menyesuaikan diri Penyebab anak tidak menyesuaikan diri: (a) anak tidak memiliki motivasi untuk menyesuaikan diri (b) anak kurang memiliki pengetahuan tentang harapan kelompok atau cara memenuhi harapan itu. Akibat anak tidak menyesuaikan diri: (a) anak akan terbuang/tersingkir dari hubungan sosial sehingga mereka tidak berkesempatan mempelajarai pengalaman yang hanya didapat dari keanggotaan kelompok. (b) Tidak mau melakukan penyesuaian diri, yaitu memilih pola perilaku yang sama sekali bertentangan dengan yang diterima oleh kelompok. Yus (2012:26) menjelaskan yang termasuk dalam aspek sosial-emosional adalah
kemampuan
interpersonal
maupun
intrapersonal.
Kemampuan
interpersonal, diperlihatkan dalam bentuk perilaku: a) mengerti orang lain; b) berempati; c) bekerja sama; d) berkomunikasi, dan e) rasa tanggung jawab.
17
Sedangkan kemampuan intrapersonal, diperlihatkan dalam bentuk perilaku: 1) percaya diri; 2) kreatif; 3) jiwa sosial-kebijakan; 3) kemandirian, dan 4) kritis. Untuk membantu anak meraih sukses dalam pembelajaran dan belajar bertanggung jawab terhadap sekolah dan kehidupannya, maka sekolah menyediakan suatu daftar kegiatan harian. Daftar ini berisi kegiatan yang seimbang antara kegiatan atas inisiatif anak dan aktivitas yang melibatkan orang dewasa secara langsung. Dalam daftar juga dimasukkan kegiatan yang bersifat individual maupun kelompok secara seimbang. Kegiatan pembelajaran juga perlu mendukung perkembangan sosial emosi anak dengan merencanakan kegiatan rutin dan transisi yang tepat sehingga anak dapat memperkirakan cara yang akan dilakukan. Program high/scope memiliki perencanaan kegiatan yang sama untuk setiap hari, menyediakan kerangka kerja yang konsisten untuk orang dewasa dan anak. Rangkaian kegiatan disusun dalam siklus perencanaan tindakan. Kegiatan ini high/scope setiap harinya memberikan kebebasan kepada anak untuk: -
Mempertimbangkan rencana
-
Membuat rencana
-
Mengikuti kehendaknya, dan
-
Menggambarkan pengalaman. Dibalik rangkaian kegiatan pelaksanaan review di atas, pengaturan jadwal
sehari-hari juga mengizinkan anak bertemu dan berkumpul dalam sebuah kelompok kecil atas inisiatif orang dewasa yang didasari oleh minat anak,
18
kelompok, dan tingkat perkembangan mental anak serta melibatkannya dalam sebuah aktivitas berdasarkan kelompok dalam berinteraksi sosial, musik dan pergerakan fisik. Assesment adalah kunci yang memungkinkan untuk: a) memahami tingkat perkembangan mental anak; b) mengidentifikasi minat yang dinyatakan, dan c) mengamati kunci pengalaman yang melibatkan setiap anak. 2.1.1.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Sosial Dalam perkembangan perilaku sosial anak, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi, antara lain: a) Pola Asuh Rachmawati (2010:8) mengemukakan pola asuh orang tua merupakan salah satu faktor penting dalam mengembangkan ataupun menghambat tumbuhnya kreativitas. Seorang anak yang dibiasakan dengan suasana keluarga yang terbuka, saling menghargai, saling menerima dan mendengarkan pendapat anggota keluarganya, maka ia akan tumbuh menjadi generasi yang terbuka, fleksibel, penuh inisiatif, dan produktif, suka akan tantangan dan percaya diri. Perilaku kreatif dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Lain halnya jika seorang anak dibesarkan dengan pola asuh yang mengutamakan kedisiplinan yang tidak dibarengi dengan toleransi, wajib mentaati peraturan, memaksakan kehendak, yang tidak memberikan peluang bagi anak untuk berinisiatif, maka yang muncul adalah generasi yang tidak memiliki visi masa depan, tidak punya keinginan untuk maju dan berkembang, siap berubah dan beradaptasi dengan baik,
19
terbiasa berpikir satu arah, dan lain sebagainya. Kehidupan keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak. Oleh karena itu, pola pengasuhan orang tua menjadi sangat penting bagi anak dan akan memengaruhi kehidupan anak hingga ia dewasa. Setiap anak mempunyai kecenderungan sosial dan emosional yang berbeda-beda. Hawari seperti (dalam Suyadi, 2010:200) menyatakan perbedaan tersebut dipengaruhi oleh sikap, cara dan kepribadian orang tua dalam memelihara, mengasuh dan mendidik anaknya. Dalyono (2010:130) menjelaskan keluarga, dimana anak akan diasuh dan dibesarkan berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan perkembangannya. Terutama keadaan ekonomi rumah tangga, serta tingkat kemampuan orang tua merawat juga sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan jasmani anak. Sementara tingkat pendidikan orang tua besar pengaruhnya terhadap perkembangan rohaniah anak terutama kepribadian dan kemajuan pendidikannya. b) Lingkungan Mariyana, dkk (2010:20) mengemukakan bahwa tujuan penciptaan lingkungan belajar yang dapat memfasilitasi multisensori anak adalah menyiapkan dan mengelola lingkungan belajar yang dapat merangsang berbagai indra anak secara baik. Selanjutnya dijelaskan pula oleh Mariyana, dkk (2010:30) dalam pembelajaran hendaknya anak dibimbing untuk mengendalikan dirinya sendiri secara baik. Kemampuan ini penting sekali karena guru TK berhadapan dengan anak-anak yang masih bersifat egosentris, spontan dan fleksibel. Menghadapi
20
anak seperti ini, harus pandai mengatur emosi dan pengendalian diri. Untuk itu, akan semakin efisien suatu pembelajaran di TK jika lingkungan belajarnya dibimbing oleh guru yang bijaksana. Artinya dapat menangani anak secara baik dalam pembelajaran, artinya guru tidak hanya professional tetapi harus memiliki rasa bijak yang memadai. Sujiono (2008:94) menjelaskan pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan sengaja dan terencana untuk membantu anak mengembangkan potensi secara optimal sehingga anak mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Pengertian tersebut mengandung makna bahwa emosi yang hakiki dari tujuan akhir pendidikan ialah kemampuan anak melakukan adaptasi dengan lingkungan dalam arti yang luas. Dengan demikian, tujuan pendidikan seharusnya menjadi dasar untuk mengarahkan berbagai proses pendidikan (pembelajaran) agar mendekatkan anak dengan lingkungan. Dengan demikian pendidikan yang diberikan akan dapat dimaknai dan berguna bagi anak ketika beradaptasi dengan lingkungannya. c) Teman Sebaya Saat
anak
memasuki
tahapan
perkembangan
dalam
pengertian
differensiasi, dimana anak telah mengerti dan memahami orang lain. Maka anak sudah tidak lagi melihat segala sesuatunya untuk dirinya atau apa yang disebut pemusatan pada dirinya. Pada saat itu ia membutuhkan orang lain yang dapat mengerti dan memahami dirinya dan ia mengerti apa yang diinginkan orang lain terhadap dirinya.
21
Maksudnya pengertian yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dan sesuai dirinya, yaitu teman sebaya, teman yang akan menjadi tempat untuk menyatukan perasaan, pemikiran motif dan tingkah laku dirinya dan orang lain yang seusianya. Memungkinkan akan terjalin hubungan sosial, sehingga antara satu dengan yang lainnya akan terjadi saling mempengaruhi. Dorongan untuk menjadikan satu sama, sesuai dan seragam akan tercipta dengan konformitas, yaitu memberikan saling timbal balik. Anak akan memberikan sesuatu kepada teman sebayanya, jika pada teman sebayanya itu ada sesuatu yang akan didapati. Atau jika anak akan masuk dalam suatu kelompok, agar diterima pada kelompok tersebut maka ia akan mengadakan konfromi. Terjalaninya hubungan sosial yang lebih baik pada teman sebaya, maka anak yang satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi. Sehingga pada tahapan tertentu anak akan mengadakan imitasi pada teman sebayanya, seperti perkataan, tingkah laku dan sebagainya. Oleh karena itu, untuk dapat memberikan perkembangan yang sesuai dengan usianya, maka orang tua memungkinkan untuk dapat memahami dan mengerti apa yang diinginkan dan dirasakan anak yang sesuai dengan usia perkembangannya. 2.1.2
Hakikat Bermain Kelompok
2.1.2.1 Pengertian Bermain Kelompok Bodrova, dkk (dalam Mutiah, 2010:104) mengemukakan dalam bermain, anak dapat menciptakan kemandirian baik dalam control diri, penggunaan bahasa, daya ingat dan kerja sama dengan teman lain. Dibandingkan dengan situasi lain,
22
dalam bermain anak memiliki perhatian (atensi), daya ingat, bahasa, dan aspek sosial yang lebih baik. Bermain bersifat menyeluruh dalam pengertian selain untuk perkembangan kognisi, bermain juga mempunyai peran penting dalam perkembangan sosial dan emosional anak. Ketiga aspek yaitu kognisi, sosial dan emosi saling berhubungan satu sama lain. Woltgang (dalam Sujiono, 2008:145) berpendapat bahwa terdapat sejumlah nilai-nilai dalam bermain (the value of play), yaitu bermain dapat mengembangkan keterampilan sosial, emosional dan kognitif. Bermain kelompok yang dimaksud dalam penelitian ini adalah, dengan jenis-jenis permainan yang dilakukan dalam kegiatan kelompok, anak akan mengadakan interaksi dengan temannya, belajar dari kerja sama antarteman, sehingga menghasilkan kesepakatan-kesepakatan dalam bahasa sederhana yang berdampak pada pembentukan perilaku sosial. 2.1.2.2 Jenis-jenis Bermain Kelompok Sujiono (2008:151) mengemukakan jenis-jenis bermain kelompok, meliputi: 1) Bermain Sosial Penting bagi seorang anak terlibat dengan orang lain selain dirinya. Interaksi, dapat diartikan secara sederhana dengan merespon pada perilaku orang lain. Bermain sosial, dasar dari seluruh pembelajaran sosial adalah adanya interaksi antara dua orang atau lebih. Pentingnya bermain sosial: 1) sebagai sarana bagi anak untuk belajar dari orang lain; 2) mengembangkan kemampuan anak
23
untuk berkomunikasi; 3) membuat anak lebih mampu untuk bersosialisasi; 4) membantu anak untuk mengembangkan persahabatan. - Bermain denganku Merupakan bentuk awal dari bermain sosial, biasanya terjadi antara anak dan orang tua, seperti orang tua memberikan kesempatan pada anak untuk terlibat, mengawasi respon yang tidak diinginkan, mengikuti kemauan anak dan menyanyikan lagu untuk anak. - Kita berdua Kegiatan yang melibatkan sedikitnya dua orang dalam bermain, baik orang dewasa dan anak, atau dua orang anak, seperti terlibat langsung, berlatih dengan orang tua, bertemu dengan anak lain, terbiasa dengan anak lain, serta mendorong anak untuk bermain bersama. - Bergiliran Dikembangkan pada kegiatan yang melibatkan aturan atau bermain dengan aturan: a) mempelajari aturan baik antara orang dewasa dan anak, dua orang anak dan sekelompok anak; b) mempelajari aturan pada permainan sederhana dan perlombaan; c) membuat permainan yang lebih sulit; d) peraturan baru, seperti pemenang, dadu dan ular tangan, dan e) permainan luar ruangan. 2) Bermain Imajinatif Pentingnya bermain imajinatif: 1) membantu anak untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan bahasa; 2) membantu anak untuk memahami orang lain;
24
3) membantu anak untuk mengembangkan kreativitasnya, dan 4) membantu anak untuk mengenali dirinya sendiri. 3) Bermain Teka Teki Pentingnya bermain memecahkan teka-teki dapat: 1) mengembangkan kemampuan anak dalam berpikir; 2) teka-teki mendorong rasa ingin tahu anal, dan 3) mengembangkan kemandirian pada anak. Sedangkan bermain teka-teki pada anak cacat, dapat: a) menunjukkan padanya bahwa di dunia ini banyak objek yang dapat menarik perhatiannya; b) harus memberikan perhatian pada objek yang sangat diminati oleh anak; c) mendorong rasa ingin tahu anak terhadap puzzle; d) memberikan kesempatan pada anak untuk memecahkan teka-teki. Di samping itu, Siswanto dan Lesstari (2012:129) mengemukakan beberapa jenis bermain kelompok yang berpengaruh pada perilaku sosial, antara lain: a) Permainan Pesan Berantai Tujuannya:
- melatih diri berperilaku sosial - melatih kecerdasan verbal
Alat/bahan:
- ruangan yang luas atau ruangan terbuka
Cara bermain: - Bagi anak-anak menjadi beberapa kelompok, kemudian berbaris - Guru membisikkan sebuah kalimat kepada anak pertama (kata-kata yang dibisikkan disesuaikan dengan kesulitannya dengan tingkat kepandaian anak)
25
- Kemudian pesan yang dibisikkan guru akan dibisikkan kepada teman berikutnya dan seterusnya. - Kelompok
yang
paling
sedikit
salahnya
dalam
menyampaikan pesan berantai berhak menjadi pemenang. b) Permainan Menebak benda yang hilang Tujuan: - Mengembangkan keterampilan pengelompokkan, keterampilan berpikir serta dapat mengembangkan kemampuan berbahasa dan kosa kata. - Mampu menyelesaikan masalah dan interaksi sosial - Melatih motorik halus - Mengembangkan pengenalan huruf - Melatih logika - Pengenalan warna Alat/bahan: - Benda yang menarik - Handuk atau taplak meja - Lantai atau meja Cara bermain: - Kumpulkan benda-benda yang menarik dan letakkan di atas lantai atau meja - Setelah mereka mempelajarinya, sebutkan namanya keras-keras satu persatu. - Tutup benda-benda itu dengan handuk atau taplak meja. - Ulangi nama-nama benda tadi
26
- Angkat handuk atau taplak meja dengan membawa beberapa benda tanpa terlihat oleh mereka. - Kemudian, tanyakan kepada mereka, benda apa yang hilang? - Kumpulkan sekumpulan benda dan ulangi lagi permainan dengan menyingkirkan benda yang lain. - Semakin banyak benda yang dikumpulkan semakin menarik. 3) Permainan Dalam Kelompok Yalom, dkk (dalam Rusmana, 2009:22) mengusulkan perlunya permainan dilakukan dalam situasi kelompok saat dibutuhkan dan memandang kegunaan permainan sebagai bantuan yang sangat bernilai bagi konselor, anggota dan proses kelompok. Terdapat tujuh alasan untuk menggunakan permainan dalam kelompok, diantaranya: 1) Mengembangkan diskusi dan partisipasi. Penggunaan permainan dalam kelompok seringkali dapat meningkatkan partisipasi anggota kelompok dengan cara memberikan mereka pengalaman umum. Permainan dapat menjadi cara untuk menstimulasi minat dan energi anggota kelompok. 2) Memfokuskan
kelompok.
Suatu
permainan
dapat
digunakan
untuk
memfokuskan anggota pada suatu isu atau topik yang umum. 3) Mengangkat suatu fokus. Konselor bisa juga menggunakan permainan untuk mengangkat suatu fokus saat ia merasa sebuah topik baru dibutuhkan.
27
4) Memberi kesempatan untuk pembelajaran eksperiensial. Alasan keempat dalam penggunaan permainan adalah untuk memberi suatu pendekatan alternatif dalam mengeksplorasi persoalan-persoalan, hal ini dapat dilakukan melalui diskusi sederhana. Permainan juga berguna untuk membuat anggota menindak-lanjuti tema yang didiskusikan dalam kelompok daripada hanya membicarakannya. 5) Memberi konselor informasi yang berguna. Permainan berguna juga untuk mendapatkan informasi dari anggota kelompok yang akan digunakan trainer dalam diskusi. Dalam hal ini permainan rounds seringkali digunakan. 6) Memberikan
kesenangan
dan
relaksasi.
Permainan
tertentu
dapat
melonggarkan suasana dalam kelompok melalui canda tawa dan relaksasi. Misalnya permainan lempar topeng, pijat kelompok dan sebagainya. Permainan ini bisa jadi dapat sangat berguna saat kelompok nampaknya membutuhkan perubahan suasana atau keadaan. 7) Meningkatkan level kenyamanan. Permainan dapat digunakan untuk meningkatkan level
kenyamanan dalam
kelompok. Banyak anggota
mengalami kecemasan selama sesi awal dalam kelompok. Permainan untuk meningkatkan keakraban seringkali menambah rasa nyaman diantara anggota kelompok.
28
2.1.2.3 Penerapan
Teknik Bermain
Kelompok
Dalam
Meningkatkan
Perilaku Sosial Anak Perkembangan
adalah
perubahan
yang
sisematis,
progresif
dan
berkesinambungan dalam diri individu sejak lahir hingga akhir hayatnya. Perubahan itu dijalani oleh anak manusia, khususnya sejak lahir hingga mencapai tingkat kedewasaan atau kematangan. Erikson (dalam Danim dan Khairil, 2011:72) mengemukakan usia 3-5 tahun merupakan fase bermain, hasil perkembangan ego pada fase ini adalah inisiatif dan rasa bersalah. Kekuatan dasarnya adalah tujuan atau dorongan. Selama periode ini anak mengalami suatu keinginan untuk meniru orang dewasa disekitarnya dan mengambil inisiatif dalam menciptakan situasi bermain. Nuryanti (2008:43) menjelaskan pada aspek sosial, perubahan yang terjadi pada masa kanak-kanak lanjut antara lain: 1) anak semakin mandiri dan mulai menjauh dari orang tua dan keluarga; 2) anak lebih menekankan pada kebutuhan untuk berteman dan membentuk kelompok dengan sebaya; 3) anak memiliki kebutuhan yang besar untuk disukai dan diterima oleh teman sebaya. Teori psikoanalisa oleh Sigmund Freud (dalam Mutiah, 2010:100) menyatakan bermain pada anak sebagai alat yang penting bagi pelepasan emosinya, serta sejumlah keterampilan sosial. Menurut Freud bermain berfungsi mengekspresikan dorongan inpulsif sebagai cara untuk mengurangi kecemasan yang berlebihan pada anak. Bentuk kegiatan bermain yang ditunjukkan berupa bermain fantasi dan imajinasi dalam sosiodrama atau pada saat bermain sendiri.
29
Melalui bermain dan berfantasi anak dapat mengemukakan harapan-harapan dan konflik serta pengalaman yang tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata. Sujiono (2008:159) menguraikan minat bermain anak pada kemampuan sosial meliputi: a) dapat berinteraksi dengan teman dalam suasana bermain dan bergembira; b) dapat menunjukkan rasa kepedulian terhadap orang yang mengalami kesulitan; c) dapat berbagi dengan teman dan orang dewasa lainnya; d) dapat menunjukan rasa sayang pada orang lain; e) dapat menunjukkan sikap sabar ketika menunggu giliran. Melalui bermain kelompok, perilaku sosial khususnya kerjasama pada anak dapat ditingkatkan. Hal ini dapat dijelaskan dengan teknik bermain kelompok anak dapat bermain bersama, secara tidak langsung mengetahui perilaku yang disenangi teman atau pun tidak disenangi, mematuhi aturan bermain kelompok, memperoleh kepuasan terutama komitmen untuk menyadari bahwa kebersamaan merupakan salah satu faktor dalam mencapai keberhasilan. Dapat diberikan contoh permainan pesan berantai, tanpa kerjasama yang baik dari anggota kelompok akan menyebabkan kegagalan dalam menyampaikan kalimat atau kata yang dimaksud. Pada kesimpulannya, teknik bermain kelompok sangat sesuai dengan peningkatan perilaku sosial, disebabkan bermain merupakan kebutuhan dasar anak.
30
2.2
Hipotesis Tindakan Berdasarkan kajian teoretis, maka hipotesis tindakan dalam penelitian ini
adalah: “Jika guru menggunakan teknik bermain kelompok, maka perilaku sosial anak di TK Cempaka Kecamatan Kota Utara Kota Gorontalo, dapat ditingkatkan”. 2.3
Indikator Kinerja Adapun indikator kinerja dalam penelitian tindakan kelas ini adalah 80%.
Yakni terjadi peningkatan perilaku sosial anak dari 8 orang atau 40% menjadi 16 orang atau 80% yang memiliki perilaku sosial setelah dikenai tindakan.