BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1. Pengertian Membaca Menurut Abdurahman (2006: 200) membaca merupakan aktivitas kompleks yang mencakup fisik dan mental. Aktivitas fisik yang terkait dengan membaca adalah gerak mata dan ketajaman penglihatan. Aktivitas mental mencakup ingatan dan pemahaman. Orang dapat membaca dengan baik jika mampu melihat huruf-huruf dengan jelas, mampu menggerakkan mata secara lincah, mengingat simbul-simbul bahasa dengan tepat dan memiliki penalaran yang cukup untuk memahami bacaan. Menurut Santoso (2007: 6.3) aktivitas membaca terdiri dari dua bagian, yaitu membaca sebagai proses dan membaca sebagai produk. Membaca sebagai proses mengacu pada aktivitas fisik dan mental. Sedangkan membaca sebagai produk mengacu pada konsekuensi dari aktivitas yang dilakukan pada saat membaca. Pernyataan ini sesuai dengan yang termuat dalam jurnal Reading the Media (2007) reading the media is an excellent source for devising one’s own media literacy curriculum, and why media literacy matters (membaca merupakan sumber yang bagus dalam memikirkan atau menentukan kemampuan membaca seseorang dan mengapa kemampuan membaca tersebut berarti). Proses membaca sangat kompleks dan rumit karena melibatkan beberapa aktivitas, baik berupa kegiatan fisik maupun mental.
Menurut Santoso (2007: 6-3) Proses membaca terdiri dari beberapa aspek. Aspek-aspek tersebut adalah: (1) aspek sensori, yaitu kemampuan untuk memahami simbol-simbol tertulis, (2) aspek perspektual, yaitu kemampuan untuk menginterprestasikan apa yang dilihat sebagai symbol, (3) aspek skemata yaitu kemampuan menghubungkan informasi tertulis dengan struktur pengetahuan yang telah ada, (4) aspek berpikir yaitu kemampuan membuat inferensi dan evaluasi dari materi yang dipelajari, dan (5) aspek afektif, yaitu aspek yang berkenaan dengan minat pembaca yang berpengaruh terhadap kegiatan membaca. Interaksi antara kelima aspek tersebut secara harmonis akan menghasilkan pemahaman membaca yang baik, yakni terciptanya komunikasi yang baik antara penulis dengan pembaca. Menurut Rahim (2008: 2) membaca adalah suatu yang rumit yang melibatkan banyak hal, tidak hanya melafalkan tulisan, tetapi juga melibatkan aktivitas visual, berfikir, psiko linguisutik, dan metakognitif. Membaca sebagai proses visual merupakan proses menerjemahkan simbol tulis ke dalam bunyi. Sebagai suatu proses berfikir, membaca mencakup pengenalan kata, pemahaman literal, interprestasi, membaca kritis, dan membaca kreatif. Membaca sebagai proses linguistik, skemata pembaca membantunya membangun makna. Sedangkan fonologis, semantik dan fitur sintaksis membantu mengomunikasikan pesan-pesan. Proses metakognitif melibatkan perencanaan, pembetulan suatu strategi, pemonitoran, dan pengevaluasian. Membaca hendaknya mempunyai tujuan, karena seorang
yang membaca dengan suatu tujuan, cenderung lebih memahami dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai tujuan. Dalam kegiatan membaca di kelas, guru seharusnya menyusun tujuan membaca dengan menyediakan tujuan khusus yang sesuai atau dengan membantu mereka menyusun tujuan membaca siswa itu sendiri. Menurut Rahim (2008: 11) tujuan membaca mencakup: (1) kesenangan, (2) menyempurnakan membaca nyaring, (3) menggunakan strategi tertentu, (4) memperbaharui pengetahuannya tentang suatu topik,(5) mengaitkan informasi baru dengan informasi yang telah diketahuinya, (6) memperoleh
informasi
untuk
laporan
lisan
menginformasikan atau menolak prediksi, (8)
atau
tertulis,
(7)
menampilkan suatu
eksperimen atau mengaplikasikan informasi yang diperoleh dari suatu teks dalam beberapa cara lain dan mempelajari tentang struktur teks, (9) menjawab pertanyaanpertanyaan yang spesifik. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan membaca adalah suatu aktivitas kompleks baik fisik maupun mental yang bertujuan memahami isi bacaan sesuai dengan tahap perkembangan kognitif. Setiap pembaca memiliki tahap perkembangan kognitif yang berbeda, misalnya siswa kelas II SD perkembangan kognitifnya tidak sama dengan siswa kelas IV, V, dan VI. Sehingga bahan ajar (bacaan yang dibaca) tidak sama, harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitif yang dimiliki siswa.
2.1.1 Tujuan membaca Membaca hendaknya mempunyai tujuan, karena seseorang yang membaca dengan suatu tujuan, cenderung lebih memahami dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai tujuan. Dalam kegiatan membaca dikelas, guru seharusnya menyusun tujuan membaca dengan menyediakan tujuan khusus yang sesuai atau dengan membantu mereka menyusun tujuan membaca siswa itu sendiri. Tujuan membaca mencakup : (1) Kesenangan, (2) Menyempurnakan membaca nyaring, (3) Menggunakan strategi tertentu, (4) Memperbaharui pengetahuannya tentang suatu topik, (5) Mengaitkan informasi baru dengan informasi yang telah diketahui, (6) Memperoleh informasi untuk laporan lisan tertulis, (7) Mengkorfimasikan atau menolak prediksi,
(8)
Menampilkan
suatu eksperimen
atau
mengaplikasikan informasi yangdiperoleh dari suatu teks dalam beberapa cara lain dan mempelajari tentang struktur teks, (9) Menjawab pertanyaanpertanyaan yang spesifik blanton, dkk. (dalam burns dkk. 1996). Pembelajaran membaca permulaan diberikan di kelas I dan II. Tujuannya adalah agar siswa memiliki kemampuan memahami dan menyuarakan tulisan dengan intonasi yang wajar, sebagai dasar untuk dapat membaca lanjut. Tujuan membaca permulaan juga dijelaskan dalam (Depdikbud, 1994:4) yaitu agar “Siswa dapat membaca kata-kata dan kalimat sederhana dengan lancar dan tepat“. Pelaksanaan membaca permulaan di kelas II Sekolah Dasar dilakukan dalam dua tahap, yaitu membaca periode tanpa buku dan
membaca dengan menggunakan buku. Pembelajaran membaca tanpa buku dilakukan dengan cara mengajar dengan menggunakan media atau alat peraga selain buku. Pembelajaran membaca dengan buku merupakan kegiatan membaca dengan menggunakan buku sebagai bahan pelajaran. 2.1.2 Manfaat Membaca Tentu ada banyak sekali manfaat yang dapat dipetik seseorang dari kegiatan membaca, yang paling umum, manfaat yang dapat dirasakan ketika membaca adalah dapat belajar dari pengalaman orang lain atau dapat menambah pengetahuan. Manfaat khusus dari kegiatan membaca adalah bahwa orang yang rajin membaca buku dapat terhindar dari kerusakan jaringan otak dimasa tua. Hal ini menurut riset mutakhir bahwa membaca dapat membantu seseorang untuk menumbuhkan syaraf-syaraf baru di otak. Menurut Jordan E. Ayan bahwa manfaat membaca berdampak bagi perkembangan sebagian besar jenis kecerdasan di antaranya : (1) Membaca menambah kosakata dan pengetahuan akan tata bahasa dan sintaksis yang lebih penting lagi, membaca pemperkenalkan pada banyak ragam lingkungan kreatif. Sehingga mempertajam kepekaan linguistik dan kemampuan menyatakan perasaan. (2) Membaca secara langsung dapat membantu mengalami perasaan dan pemikiran yang paling dalam. Banyak buku dan artikel yang mengajak untuk berintropeksi dan melontarkan pertanyaan serius mengenai perasan nilai dan hubungan dengan orang lain. Dengan begitu, secara tak langsung turut memperkembangkan kecerdasan
interpersonal,
mendesak
untuk
merenungkan
kehidupan
dan
mempertimbangkan kembali keputusan-keputusan akan cita-cita hidup membaca
memicu
imajinasi,
yang
baik
mengajarkan
untuk
membayangkan dunia beserta isinya, lengkap dengan segala kejadian, lokasi dan karakternya. Tanpa memiliki kemampuan membaca yang memadai sejak dini, siswa juga akan mengalami kesulitan belajar di kemudian hari. Kemampuan membaca menjadi dasar utama tidak saja bagi pengajaran bahasa itu sendiri, tetapi juga bagi mata pelajaran lain. Dengan membaca, siswa akan memperoleh pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan daya nalar, sosial, dan emosionalnya. Membaca bagi manusia sebenarnya merupakan kebutuhan mendasar seperti kebutuhan manusia akan makan, pakaian, dan lain sebagainya. Sebagian besar orang Indonesia belum sampai pada tahap menjadikan kegiatan membaca sebagai kebutuhan yang mendasar. Padahal membaca sangat perlu. Dengan membaca seseorang dapat memperluas wawasan dan pandangannya, dapat menambah dan membentuk sikap hidup yang baik, sebagai hiburan serta menambah ilmu pengetahuan, dengan membaca ibarat dapat membuka “jendela dunia”. Dengan membaca dapat dihindari sikap picik dan fanatisme yang negatif. Mengingat pentingnya peranan membaca tersebut bagi perkembangan siswa maka guru perlu memacu siswanya untuk membaca dengan benar dan selektif. Secanggih atau sebaik apapun suatu metode membaca tidak
akan berhasil jika gurunya tidak mampu melaksanakannya serta hasilnya pun tidak sesuai dengan harapan. Karena itu peranan guru sangat mendukung keberhasilan siswanya. 2.2 Pembelajaran Membaca Permulaan Pembelajaran memabaca permulaan diberikan di kelas II agar siswa memiliki kemampuan memahami dan menyuarakan tulisan dengan intonasi yang wajar, sebagai dasar untuk dapat membaca lanjut Akhadiah (1991/1992: 31). Pembelajaran membaca permulaan merupakan tingkatan proses pembelajaran membaca untuk menguasai sistem tulisan sebagai representasi visual bahasa. Tingkatan ini sering disebut dengan tingkatan belajar membaca (learning to read). Membaca lanjut merupakan tingkatan proses penguasaan membaca untuk memperoleh isi pesan yang terkandung dalam tulisan.Tingkatan ini disebut sebagai membaca untuk belajar (reading to learn). Kedua tingkatan tersebut bersifat kontinum, artinya pada tingkatan membaca permulaan yang fokus kegiatannya penguasaan sistem tulisan, telah dimulai pula pembelajaran membaca lanjut dengan pemahaman walaupun terbatas. Demikian juga pada membaca lanjut menekankan pada pemahaman isi bacaan, masih perlu perbaikan dan penyempurnaan penguasaan teknik membaca permulaan (Syafi’ie,1999: 16). 2.3 Pengertian Membaca Permulaan Membaca permulaan memberikan kemampuan dasar untuk membaca yaitu siswa mengenal atau mengetahui huruf dan terampil
mengubah huruf menjadi suara. Pembelajaran membaca permulaan berada di kelas 1 dan 2 SD. Pembelajaran membaca permulaan erat kaitannya dengan pembelajaran menulis permulaan. Sebelum mengajarkan menulis guru terlebih dahulu mengenalkan bunyi suatu tulisan atau huruf yang terdapat pada kata-kata dalam kalimat. Pengenalan tulisan beserta bunyi ini melalui pembelajaran
membaca.
Menurut
Zuhdi dan
Budiasih (2006:
57)
pembelajaran membaca di kelas I dan kelas II merupakan pembelajaran membaca tahap awal. Kemampuan membaca diperoleh siswa di kelas I dan kelas II tersebut akan menjadi dasar pembelajarn membaca di kelas berikutnya. Menurut Santoso (2007: 319) pembelajaran membaca di sekolah dasar terdiri atas dua bagian yakni membaca permulaan yang dilaksanakan di kelas I dan II. Melalui membaca permulaan ini, diharapkan siswa mampu mengenal huruf, suku kata, kata, kalimat dan mampu membaca dalam berbagai konteks. Sedangkan membaca lanjut dilaksanakan di kelas tinggi atau di kelas III, IV, V dan VI. Pembelajaran membaca permulaan dititik beratkan pada aspekaspek yang bersifat teknis seperti ketepatan menyuarakan tulisan, lafal dan intonasi yang wajar, kelancaran dan kejelasan suara. Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat disimpulkan membaca permulaan adalah membaca yang dilaksanakan di kelas I dan II, dimulai dengan mengenalkan huruf-huruf dan lambang-lambang tulisan yang menitik beratkan pada aspek ketepatan
menyuarakan tulisan, lafal dan intonasi yang wajar, kelancaran dan kejelasan suara. 2.4 Pengertian Model Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S Poerwadarminta yang diolah kembali oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2007: 773) “model diartikan sebagai contoh, pola, acuan, atau ragam.” Menurut Brown dalam Merbiana Dhieni dkk. (2006: 11.18) “model didefinisikan sebagai benda nyata yang dimodifikasi”. Sementara Hernich menyebutkan hal yang senada mengenai model yaitu gambaran yang berbentuk tiga dimensi dari sebuah benda nyata. Menurut Abimanyu dkk. (2008: 3,11) model diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan dalam melakukan sesuatu kegiatan. Berdasarkan beberapa pengertian itu dapat disimpulkan model adalah suatu pola atau acuan yang digunakan dalam melakukan sesuatu kegiatan. 2.4.1 Pengertian Model Pembelajaran Menurut Joice dan Weil dalam Soli Abimanyu (2008: 3.11) model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan tertentu yang berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam melaksanakan aktivitas pembelajaran. Joice dan Weil mengintrobusir sejumlah model pembelajaran. Setiap
model pembelajaran tersebut
memiliki karakteristik
yang
membedakannya dari model pembelajaran yang lain. Ada empat rumpun model pembelajaran menurut Joice Weil, yaitu: (1) rumpun model pengolahan informasi; (2) rumpun model personal; (3) rumpun model interaksi sosial; (4) rumpun model sistem perilaku. Ada banyak model atau strategi pembelajaran yang dikembangkan oleh para ahli dalam usaha mengoptimalkan hasil belajar siswa. Di antaranya adalah model pembelajaran
kontekstual,
model pembelajaran
kooperatif,
model
pembelajaran quantum, model pembelajaran terpadu. Banyaknya model atau strategi pembelajaran yang dikembangkan tidaklah berarti semua pengajar menerapkan semuanya untuk setiap mata pelajaran karena tidak semua model cocok untuk setiap topik atau mata pelajaran. Menurut Sugiyanto (2008: 3) ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih model atau strategi pembelajaran, yaitu: (1) tujuan pembelajaran yang ingin dicapai; ((2) materi ajar; (3) kondisi siswa; (4) ketersediaan sarana prasarana belajar. Menurut Sanjaya dalam Sugiyanto (2008: 3) menjelaskan ada 8 prinsip dalam memilih strategi pembelajaran: (1) berorientasi pada tujuan; (2) mendorong aktivitas siswa; (3) memperhatikan aspek individual siswa; (4) menantang siswa untuk berfikir; (6) menimbulkan proses belajar yang menyenangkan; (7) mampu memotivasi siswa belajar lebih lanjut; (8) mendorong proses interaksi. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan model pembelajaran adalah pola yang berbentuk kerangka konseptual yang
melukiskan prosedur yang sistematis untuk mencapai tujuan pembelajaran dan
berfungsi sebagai pedoman para perancang dan pelaksana
pembelajaran. 2.4.2 Pengertian Kooperatif Menurut Hasan dalam Etin Solihatin (2005: 4) kooperatif mengandung arti bekerja bersama dalam mencapai tujuan bersama. Dalam kegiatan
kooperatif
siswa
secara
individu
mencari
hasil
yang
menguntungkan bagi seluruh anggotanya. Menurut Hwang, G.J., Yin, P.Y.Hwang, C.W., & Tsai, C.C. (2008: 148) “Cooperation in this context means working together to accomplish common goals” (kooperatif dalam hal ini berarti bekerja bersama untuk mencapai tujuan). Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan kooperatif berarti bekerja bersama untuk mencapai tujuan bersama. 2.4.3 Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif Menurut
Sugiyanto
(2008:
35)
pembelajaran kooperatif
(cooperative learning) adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerjasama dalam memaksimalkan
kondisi
belajar
untuk
mencapai
tujuan
belajar.
Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sengaja mengembangkan interaksi yang silih asuh untuk menghindari ketersinggungan
dan
kesalahpahaman
yang
permusuahan sebagai latihan hidup di masyarakat.
dapat
menimbulkan
Menurut Johnson dalam Solihatin (2005: 4) belajar kooperatif adalah pemanfaatan kelompok kecil dalam pengajaran yang meyakinkan siswa belajar bersama untuk memaksimalkan belajar mereka dan belajar anggota lainnya dalam kelompok tersebut. Dalam model cooperative learning terdapat lima prinsip dasar, terdiri dari: (1) menimbulkan semangat saling ketergantungan; (2) tanggungjawab individual; (3) bekerja dalam kelompok (groupprecessing); (4) tumbuh kecakapan sosial dan bekerja sama; (5) terjadi interaksi antar anggota secara langsung. Johnson dalam Team Widyaiswara LPMP (2005: 3). Menurut Slovin dalam Solihatin (2005: 4) “cooperative learning” adalah suatu model pembelajaran di mana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang angotanya terdiri dari 4 sampai 6 orang, dengan struktur kelompoknya yang bersifat heterogen. Dalam cooperative learning ada tiga konsep utama yaitu: (1) pengalaman kelompok (team recognition); (2) tanggungjawab individu; dan (3) keseimbangan peluang untuk meraih sukses bersama, Slavin dalam Tim Widyaiswara LPMP (2005: 3). Menurut Solihatin (2005: 4) “cooperative learning” adalah suatu sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih di mana keberhasilan kerja sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dari anggota kelompok itu sendiri. Sementara Smith dalam Hwang, G.J. dkk. (2008: 148) menyebutkan hal
yang senada: “well-organized cooperative learning in volves people working in teams to accomplish a common goal, under conditions in which all members must cooperate in the completion of a task, whereupon each individual and member is accountable for to absolute outcome” (pembelajaran kooperatif yang terorganisasi dengan baik meliputi orang yang bekerja dalam tim untuk mencapai tujuan, dengan kondisi dimana semua anggota harus belajar menyelesaikan permasalahan dimana masingmasing individu berperan dalam perolehan hasil). Menurut Tim Widyaiswara LPMP (2005: 3) “cooperative learning” adalah model pembelajaran bersama-sama dalam suatu kelompok dengan jumlah anggota antara tiga sampai lima orang siswa. Para siswa anggota bekerja dan saling membantu dalam menyelesaikan tugas yang telah diberikan guru. Sedangkan
menurut
Sanjaya
(2007:
240)
pembelajaran
kooperatif adalah model pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokkan/tim kecil yaitu antara 4 sampai 6 orang yang mempunyai latar belakang kemampuan akademik jenis kelamin, ras atau suku yang berbeda. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Pragnell, M.V., Roselli, T. & Rossano, V. (2006: 122) yang menyatakan: “group should consist of 4/5 students and must be heterogeneous, so that in each group the different levels (good, fair, sufficient, poor) area represented, as well as both sexes and different socio-cultural backgrounds” (kelompok harus terdiri 4/5 dan harus heterogen, sehingga pada masing-masing kelompok
terdapat perbedaan level (baik, rata-rata, kurang) sejalan dengan perbedaan jenis kelamin dan latar belakang sosial budaya). Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran
kooperatif
(cooperative
learning)
adalah
model
pembelajaran yang memanfaatkan kelompok kecil dan kerjasama anggota antara 2 sampai 6 orang dalam memecahkan masalah untuk mencapai tujuan pembelajaran. 2.4.4 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Round Table Model pembelajaran kooperatif tipe round table merupakan pendekatan yang menekankan pada aktivitas dan interaksi di antara siswa untuk saling memotivasi dalam menguasai materi pembelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal. Model pembelajaran kooperatif tipe Round Table adalah salah satu metode belajar kooperatif yang paling sederhana. Sehingga model belajar tersebut dapat digunakan guru-guru yang baru mulai menggunakan metode belajar kooperatif. Round Table merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif yang menempatkan siswa dalam kelompok. Setiap kelompok memilih sebuah topik yang menarik untuk dibacakan secara berkelompok, misalnya gempa bumi atau banjir di suatu daerah, bermain di sungai, pengalaman pertama berkemah. Kelompok membaca judul cerita yang mereka pilih serta membacakan beberapa kata dari cerita tersebut, kemudian anggota kelompok memutar cerita atau bacaan tersebut ke arah kiri mereka. Setiap anggota yang menerimannya harus
melanjutkan bacaan. Setiap anggota kelompok memiliki waktu dua menit untuk membaca. Kertas diputar hingga beberapa kali putaran. Jika sudah selesai, membaca bacaan tersebut, kemudian anggota kelompok yang mendengar kesalahan pada saat membaca cerita dari anggotanya dapat memperbaiki dengan cara membaca kembali kata-kata atau ucapan yang masih kurang pada saat
membacanya. Dan anggota yang lain
memperhatikan. Kelompok yang tidak memiliki kesalahan dalam membaca atau paling sedikit memiliki kesalahan dapat diberi sertifikat atau berupa penghargaan. 2.4.5 Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif Tipe Round Table Langkah-langkah penerapan pembelajaran kooperatif tipe Round Table www.PTK.blongspirit.com.27Desember2008 adalah sebagai berikut: a. Guru menyampaikan materi pembelajaran kepada siswa sesuai dengan kompetnsi dasar yang akan dicapai. Guru dapat menggunakan berbagai pilihan dalam menyampaikan materi pelajaran ini kepada siswa. Misalnya, antara lain dengan metode penemuan terbimbing atau metode ceramah. Langkah ini tidak harus dilakukan dalam satu kali pertemuan, tetapi dapat lebih dari satu. b. Guru memberikan tes/kuis kepada setiap siswa secara individu sehinggga akan diperoleh nilai awal kemampuan siswa. c. Guru membentuk beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 4-5 anggota, dimana anggota kelompok mempunyai kemampuan akademik yang berbeda-beda (tinggi, sedang dan rendah).
d. Guru memberikan tugas kepada kelompok berkaitan dengan materi yang telah diberikan, setiap kelompok memilih sebuah topik bacaan yang nantinya semua anggota kelompok secara bergantian akan membacakannya. e. Guru memberikan waktu dua menit untuk setiap anggota yang membaca dengan nyaring. Kertas dipertukarkan hingga semua anggota mendapatkan giliran. f.
Guru memfasilitasi siswa dalam membaca, mengarahkan siswa yang apabila ada siswa yang masih kurang dalam pengucapan kosa kata atau kata dengan tepat.
g.
Guru memberi penghargaan kepada Kelompok yang tidak memiliki kesalahan dalam membaca atau paling sedikit memiliki kesalahan dalam membaca nyaring dalam pengucapan kosa kata atau kata.
2.4.6 Karakteristik Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Round Table Karakteristik model pembelajaran kooperatif tipe Round Table antara lain sebagai berikut : 1) Menyampaikan materi pelajaran 2) Membagi siswa dalam kelompok kooperatif yang beranggotakan 4 atau 5 siswa 3) Menjelaskan langkah-langkah kerja kelompok 4) Membimbing siswa dalam membaca permulaan secara berkelompok 5) Menugasi siswa melaporkan siswa yang masih kurang membaca dalam kelompoknya
6) Membimbing siswa dalam menunjukkan cara membaca yang tepat 2.4.7 Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Round Table 1. Kelebihan dalam penggunaan model pembelajaran kooperatif Tipe Round Table sebagai berikut : a. Mengembangkan serta menggunakan keterampilan berfikir kritis dan kerjasama kelompok b. Adanya saling ketergantungan yang positif c. Adanya tanggung jawab pribadi dimana setiap anggota kelompok harus memiliki konstribusi aktif dalam bekerja sama. 2. Kelemahan dalam penggunaan model pembelajaran kooperati tipe round table adalah sebagai berikut : a. Sejumlah siswa mungkin bingung karena belum terbiasa dengan perlakuan seperti ini b. Guru pada permulaan akan membuat kesalahan-kesalahan dalam pengelolaan kelas. Akan tetapi usaha yang sungguh-sungguh dan terus-menerus akan dapat terampil menerapkan model ini. 2.4.8 Penerapan Model Round Table Pada Pembelajaran Membaca Permulaan Siswa SD Pada model pembelajaran ini siswa di kelompokkan dalam kelompok belajar yang beranggotakan empat atau lima orang siswa yang merupakan campuran dari kemampuan akademik yang berbeda. Sehingga setiap kelompok terdapat siswa yang prestasinya termasuk dalam golongan
tinggi, sedang, dan rendah. Pada model pembelajaran tipe round table dengan bimbingan guru siswa yang pandai menjelaskan pada anggota yang lain sampai mengerti. Model Round Table adalah salah satu model pembelajaran yang paling sederhana, sehingga model ini banyak digunakan oleh guru-guru yang baru memulai menggunakan metode belajar kooperatif. Pembelajaran diawali dengan penyajian materi oleh guru yang kemudian dilanjutkan dengan memilih bacaan dan latihan oleh anggota tim dalam kelompok. Kelompok memilih sebuah topik yang menarik untuk dibacakan secara berkelompok, misalnya gempa bumi atau banjir di suatu daerah, bermain di sungai, peangalaman pertama berkemah dan lain-lain. Setiap kelompok membacakan judul bacaan sederhana yang dipilih serta membacakan beberapa kata-kata untuk mengawali bacaan. Anggota kelompok memutar bacaan yang mereka baca ke arah kiri mereka. Setiap anggota yang menerimanya harus melanjutkan bacaan. Setiap anggota kelompok memiliki waktu dua menit untuk membaca. Kertas diputar hingga beberapa kali putaran dan pada akhirnya setiap anggota dapat menyelesaikan bacaan yang dibaca. Jika sudah selesai, kelompok berbagi cerita atau bacaan dengan kelompok yang lain. Kemudian anggota-anggota kelompok dapat mengembangkan atau menambahkan beberapa kosa kata atau kata dari bacaan tersebut. Kelompok yang tidak memiliki kesalahan dalam membaca atau paling sedikit memiliki kesalahan dalam membaca nyaring dalam pengucapan
kosa kata atau kata hendaknya diberi penghargaan perannya secara individual dan hasil kolektif. 2.5 Kajian Penelitian yang Relevan Dalam proses pembelajaran guru perlu menentukan model atau metode yang tepat agar materi yang diajarkan dapat berhasil. Kenyataanya di lapangan menunjukkan masih banyaknya permasalahan yang dihadapi dalam Meningkatkan Kemampuan Membaca Permulaan Pada Siswa Kelas II Sekolah Dasar. Hasil penelitian yang relevan tentang kemampuan siswa membaca permulaan dilakukan oleh Mulyadi. (2009) dengan judul “Peningkatan Kemampuan Membaca Permulaan Melalui Model Cooperative Integrated Reading And Composition (CIRC) Pada Siswa Kelas II SD” Hasil penelitiannnya
mengungkapakan
bahwa
(1)
Sebagian
Siswa
Yang
Bertanya/Mengajukan Pertanyaan sebelum tindakan, (2) Sebagian Pula Siswa Mengemukakan pendapat sebelum tindakan, (3) Sebagian Besar Siswa Menjawab pertanyaan sebelum tindakan. Dalam uraian tersebut penerapan metode pada siswa masih perlu ditingkatkan. Berdasarkan temuan di atas tampak bahwa kemampuan siswa dalam membaca permulaan di Kelas II dengan berbagai
macam strategi termasuk Melalui Model Cooperative
Integrated Reading And Composition (CIRC) masih dihadapkan pada berbagai kendala. Berbagai upaya tersebut perlu dievaluasi untuk dapat diketemukan sebab musababnya serta solusi efektif dalam Meningkatkan Kemampuan Siswa Kelas II Untuk Membaca Permulaan.
2.6 Hipotesis Tindakan Hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah jika guru menggunakan model Round table maka kemampuan membaca permulaan siswa kelas II SDN 2 Hepuhulawa Kecamatan Limboto Kabupaten Gorontalo dapat meningkat 2.7 Indikator Kinerja Yang menjadi indikator keberhasilan pada penelitian ini adalah apabila anak yang menjadi subjek penelitian, kemampuan membaca permulaan dapat ditingkatkan melalui model Round Table, hingga mengalami peningkatan dari 30% hingga mencapai 85% dalam kategori baik sesuai dengan aspek yang diamati melalui proses pembalajaran.