BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS
2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Konsep Pembangunan Berkelanjutan Begitu banyak definisi dari Pembangunan Berkelanjutan. Namun, semua definisi menitikberatkan pada bagaimana agar perekonomian dapat tetap berlanjut dalam waktu yang lama atau jangka panjang. Memberi kesempatan pada generasi yang akan datang untuk kehidupan yang lebih baik menjadi hal utama dalam konsep ini. World Commission on Environtment and Development (WECD), sejak 1987 memberikan deskripsi dari Pembangunan Berkelanjutan sebagai berikut: “The economic development in a specified area (region, nation, the globe) is sustainable if the total stock of resources – human capital. Physical reproducible capital. Environmental resource. Exhaustible resource does not decrease over time” (pembangunan ekonomi disuatu daerah tertentu (wilayah, negara, dunia) dikatakan berkelanjutan bila jumlah total sumber daya tenaga kerja, barang modal yang dapat diproduksi kembali, sumber daya alam. Sumber yang dipakai tdak berkurang dari waktu ke waktu. Beberapa ciri umum negara-negara berkembang yang umumnya masih memiliki standar hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan Negara-negara maju. Ciri-ciri tersebut adalah: standar hidup yang rendah, produktivitas yang rendah, tingkat pertumbuhan penduduk dan beban ketergantungan yang tinggi, tingkat pengangguran yang tinggi, sangat tergantung pada roduksi pertanian, dan barang ekspor primer. Ciri-ciri tersebut sekaligus dapat diturunkan menjadi indikator keberhasilan pembangunan dari negara-negara berkembang tersebut, yaitu: Pendapatan Nasional, Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Perkapita, Distribusi Pendapatan Nasional, Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan, Kesehatan
12
Masyrakat, Pendidikan Masyarakat, Produktivitas Masyarakat, Pertumbuhan Penduduk, Pengangguran dan Setengah Menganggur (An- Naf, 2005). 2.1.2 Fertilitas Fertilitas menunjukan jumlah anak yang dilahirkan hidup dan lebih mudah dihitung untuk wanita, sebab merekalah yang melahirkan sang anak. Fertilitas ialah suatu istilah yang dipergunakan didalam bidang demografi untuk menggambarkan jumlah anak yang benar-benar dilahirkan hidup, Lucas (1982:53). Model Easterlin yang digunakan untuk menganalisa tingkah laku fertiltas di negara berkembang, menggabungkan peralatan yang banyak digunakan oleh kaum ekonom (melihat fertilitas dari segi permintaan anak) dengan yang sering digunakan oleh demografer (fertilitas sebagai suatu pencerminan fertilitas alamiah). Jelasnya fertilitas diuraikan atas fertilitas alamiah dan pengendalian kelahiran secara sadar, dimana keputusan pengendalian kelahiran secara sadar tergantung baik kepada fertilitas alamiah, permintaan akan anak, dan biaya melakukan pengendalian secara sadar tersebut. Fertilitas alamiah adalah jumlah anak yang akan dilahirkan seseorang wanita selama masa reproduksinya bila wanita itu dan suaminya tidak pernah melakukan pengendalian kelahiran secara sadar. Fertilitas alamiah sering dihipotesakan berhubungan positif dengan moderenisasi, seperti pendidikan, pengaruh perkotaan dan pendapatan. Menurut Agusyahbana, dkk. (1998) fertilitas penduduk dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain norma besar keluarga (dicerminkan dalam jumlah anak yang diinginkan), variabel antara (misalnya lama perkawinan, pemakaian alat kontrasepsi) dan variabel non-demografi (misalnya status sosial dan ekonomi).
13
Variabel antara ini memiliki pengaruh lanngsung terhadap fertilitas, namun pengaruh variabel antara ini akan berbeda-beda akibat adanya perbedaan suku, status sosial, ekonomi, agama, dan sebagainya. Teori lain yang masih menjelaskan tentang fertilitas yang berkaitan dengan fenomena ekonomi adalah teori yang dikemukakan oleh Leibenstein dalam Mundiharno (2011) yang pada dasarnya menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menentukan jumlah anak yang dilahirkan hidup pada setiap keluarga. Hal utama yang perlu diperhatikan adalah upaya seseorang dalam merencanakan jumlah anak yang ingin dimiliki. Perhitungan dalam merencanakan hal tersebut tidak bisa lepas dari keseimbangan antara kepuasan atau kegunaan yang didapat dengan tambahan biaya akibat tambahan satu orang anak dalam satu keluarga, baik berupa tambahan psikis maupun tambahan uang. Pertama, kegunaan yang diperoleh dari seorang anak sebagai barang konsumsi, misalnya sebagai pelipur lara bagi orang tuanya. Kedua, kegunaan dari seorang anak sebagai sarana produksi, yakni seorang anak nantinya diharapkan dalam masyarakat dapat bekerja guna menambah pendapatan keluarga. Ketiga, kegunaan seorang anak sebagai sumber ketentraman orang tua pada hari tua kelak. 2.1.3 Usia Kawin Pertama (UKP) Indonesia adalah negara dengan pernikahan usia muda yang tinggi di dunia (rangking 37) serta tertinggi kedua diASEAN setelah Kamboja. Kehamilan di usia yang sangat muda berkorelasi dengan angka kematian dan kesakitan ibu. Anak perempuan berusia 10-14 tahun berisiko lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan kelompok usia 20-24 tahun, sementara
14
risiko ini meningkat dua kali lipat pada kelompo kusia 15-19 tahun. Pernikahan pada usia muda meningkatan risiko terjadinya keguguran, obstetric fistula, kanker leher rahim dan berbagai masalah lainnya. Pernikahan di usia muda juga dapat menyebabkan gangguan perkembangan kepribadian dan menempatkan anak yang dilahirkan berisiko terhadap kejadian kekerasan, keterlantaran, keterlambatan perkembangan, kesulitan belajar, gangguan perilaku, dan cenderung menjadi orangtua pula diusia dini. Konsekuensi yang luas dalam berbagai aspek kehidupan tersebut
akan
menjadi
hambatan
dalam
mencapai
tujuan
Millennium
Developmental Goals (Nurjanah dkk, 2013). Usia kawin pertama adalah usia ketika seseorang memulai atau melangsungkan
pernikahan
(perkawinan
pertama).
Masalah
pernikahan
merupakan salah satu bagian dari masalah kependudukan yang perlu diberi perhatian khusus, karena nantinya pernikahan dapat menimbulkan masalah baru dibidang kependudukan yang nantinya dapat menghambat pembangunan. Usia kawin pertama merupakan salah satu yang dapat mempengaruhi tingkat produktifitas pada pasangan usia subur (PUS). Usia kawin pertama nantinya akan memberikan sumbangan terhadap angka kelahiran, Iswarati (2010). Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nasir (2012) memberikan hasil bahwa umur kawin pertama di Aceh berkisar kurang dari 21 tahun (69,30 persen), cukup tingginya angka umur kawin pertama diusia 21 tahun ini mungkin disebabkan oleh masih sedikitnya kesempatan wanita untuk merebut lapangan pekerjaan dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Umur kawin pertama ini sangat penting karena pada umumnya pada wanita umur menikah
15
terlalu muda mempunyai waktu reproduksi yang panjang sehingga angka kelahirannya akan tinggi dibanding wanita yang menikah pada usia tua. Umur menikah terlalu muda dapat menjadi masalah bila tidak berKB. Umur Kawin Pertama akan menjadi alternatif untuk mengatur jarak kelahiran selain berKB (Sukarno, 2014). Secara umum terdapat perbedaan pola fertilitas menurut umur pada negara sedang berkembang dan negar maju. Hal ini disebabkan karena pada umumnya wanita dinegara berkembang menikah pada usia muda sehingga kelompok usia muda ini tingkat fertilitasnya tinggi, sedangkan dinegara maju umumnya wanita menikah diusia muda, namun tidak langsung mempunyi anak wanita dinegara maju sudah menghentikan kelahiran bayi pada usia 30-an, sedangkan dinegara berkembang mulai berhenti melahirkan kalau dirasa anaknya sudah cukup banyak (Endang, 2009). Sukarno (2014) menjelaskan bahwa semakin tinggi umur kawin pertama semakin sedikit atau rendah jumlah anak yang dilahirkan sehingga akan memperkecil angka fertilitas yang pada akhirnya akan berkontribusi terhadap rendahnya laju pertumbuhan penduduk. 2.1.4 Status Bekerja Di jaman sekarang ini, kegiatan ekonomi dan pembangunan tidak hanya melibatkan laki-laki saja, tetai peranan wanita juga semakin meningkat. Kondisi ini dapat dilihat dari meningkatnya pekerja wanita dari tahun ke tahun yang semakin banyak. Peningkatan ini umumnya terjadi pada wanita usia produktif yaitu usia antara 15-64 tahun. Wanita yang mengurus rumah tangga saja cenderung untuk mempunyai anak lebih banyak, sedangkan wanita yang bekerja mempunyai anak lebih sedikit (Hatmaji dalam Mirah, 2013)
16
Wanita Indonesia bekerja sebelum mereka kawin, kemudian setelah kawin dan mempunyai anak yang masih kecil (balita) mereka mengundurkan diri dari angkatan kerja. Dengan demikian alokasi rumah tangga akan meningkat. Kehadiran anak-anak dalam rumah tangga juga cenderung mengurangi semangat bekerja dikalangan wanita bersuami. Kehadiran buah hati didalam rumah tangga mewajibkan orang tua terutama sang Ibu untuk merawat anaknya, apalagi anak tersebut masih balita. Bahkan ketika hamilpun kebanyakan dari mereka mengundurkan diri sementara dari angkatan kerja hingga sang anak lahir dan berumur sekian bulan, setelah itu mereka masuk ke angkatan kerja kembali. menyatakan bahwa peranan wanita dalam pembangunan saat ini mengakibatkan wanita lebih banyak bekerja di luar rumah untuk tambahan pendapatan maupun karir. Wanita pada zaman sekarang ingin mengembangkan diri mereka agar tidak terkekang oleh urusan rumah tangga, hal inilah yang membuat mereka mempertimbangkan untuk memiliki jumlah anak yang lebih sedikit (Endang, 2009) 2.1.5 Pendidikan Terakhir Tingkat pendidikan perempuan akan mempengaruhi umur kawin. Perempuan yang memiliki pendidikan lebih tinggi cenderung menikah pada umur yang lebih tua, sehingga fertilitasnya juga cenderung lebih rendah. Perempuan dengan pendidikan lebih tinggi cenderung memiliki tingkat fertilitas lebih rendah karena mereka umumnya menggunakan alat kontrasepsi (Sudibia, dkk 2013). Pentingnya pengembangan tingkat pendidikan dalam usaha untuk membangun keluarga yang sehat dan sejahtera meliputi beberapa faktor. Pertama,
17
pengetahuan yang lebih tinggi mambantu memperluas pandangan masyarakat dalam mempertinggi rasionalitas pemikiran atau pilihan mereka untuk membatasi keluarga.
Kedua,
pendidikan
memungkinkan
masyarakat
mempelajari
pengetahuan teknik yang diperlukan untuk menjalakan usaha-usaha peningkatan kesejahteraan keluarga dan peningkatan pemakaian kontrasepsi. Ketiga, pengetahuan yang lebih baik yang diperoleh dari pendidikan formal atau informal dapat merangsang dan menciptakan pembangunan teknologi tepat guna dan berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti pandangan tentang keluarga ideal, nilai anak dan sebagainya (Endang, 2009). Ahli kapendudukan Bouge, mengatakan bahwa pendidikan menunjukkan pengaruh yang lebih kuat terhadap fertilitas dari pada variabel-variabel yang lain. Penelitian di Indonesia, menunjukkan bahwa wanita yang berpendidikan tinggi dan berpendidikan menengah mempunyai anak yang lebih sedikit daripada yang berpendidikan Sekolah Dasar dalam Endang (2009). Menurut Todaro (1994:21) semakin tinggi tingkat pendidikan wanita maka cenderung untuk merencanakan jumlah anan yang jumlahnya lebih sedikit. Hal ini diduga disebabkan oleh cara pandang yang lebih luas sehingga wanita dengan pendidikan tinggi akan lebih berkonsentrasi pada kualitas anak dengan cara memperkecil jumlah anak, sehingga akan mempermudah dalam perawatannya, membimbing dan memberi pendidikan serta kesehatan yang layak (dalam Adi, 2013).
18
2.1.6 Etnis Baik masalah kematian maupun kesakitan pada ibu dan anak sesungguhnya tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan dalam masyarakat dimana mereka berada. Disadari atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi-konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab-akibat antara makanan dan kondisi sehatsakit, kebiasaan dan ketidaktahuan, seringkali membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap kesehatan reproduksi ibu dankesehatan anak. Hal ini terlihat bahwa setiap daerah mempunyai pola makan tertentu, termasuk polamakan ibu hamil dan anak yang disertai dengan kepercayaan akan pantangan, tabu, dan anjuran terhadap beberapa makanan tertentu. Etnis adalah penggolongan manusia berdasarkan kepercayaan, niai, kebiasaan adat istiadat, norma bahasa, sejarah, geografis dan hubungan kekerabatanmenurut Pasal 1 Angka 3 UndangUndang No.4 tahun 2008. Setiap warga negara memiliki hak untuk bebas memeluk agama. Sama halnya seperti etnis, biasanya etnis sudah ada sejak kita lahir turun temurun dari nenek moyang kita (Khasanah, 2011). Etnis tentu saja merupakan salah satu variabel yang berpengaruh terhadap fertilitas. Kebanyakan penelitian menunjukan bahwa orang islam cenderung memiliki fertilits yang lebih tinggi dibanding non-muslim (Lucas, 1982: 70). 1) Etnis Bali Purusa sebagai benih laki-laki dan pradana sebagai benih perempuan. Sehingga dengan adanya pertemuan antara purusa dan pradana disebutkan melahirkan kehidupan yang harmoni. Purusa itu adalah jiwa atau atman yang
19
berasal dari paramaatma atau Tuhan Yang Maha Esa. Pradana artinya badan raga yang menjadi wadah dari purusa. Bila dinamika jiwa dan raga ini senantiasa terpadu secara seimbang maka kehidupan manusiapun menjadi dinamis yang harmonis. Beberapa keluarga Hindu di Bali yang tidak mempunyai anak atau tidak mempunyai anak laki-laki (purusa) sering merasa sedih, putus asa, dan seperti tidak mempunyai harapan untuk masa depan. Mereka berusaha dengan segala macam jalan untuk bisa mempunyai anak laki-laki, walaupun mereka mempunyai anak perempuan.Bagi mereka hanya memiliki anak perempuan sama dengan tidak mempunyai anak, karena dipandangannya anak perempuan akan menjadi milik keluarga suaminya. Mereka merasa tidak akan ada yang meneruskan purusa. Mereka merasa keluarganya putung (tidak ada penerus). Dalam hal ini beberapa orang tua tidak akan berhenti bereprouksi sebelum memiliki anak laki-laki, hal ini menyebabkan jumlah anak cenderung lebih banyak. 2) Etnis Jawa Budaya Jawa adalah salah satu budaya di Indonesia yang memandang anak sebagai nilai psikologis ketika anak masih dalam masa kanak-kanak. Sikap batin lain yang ada dalam budaya jawa adalah sikap nrimo, yang berarti menerima apapun yang ada atau yang dimiliki tanpa membantahnya atau dengan kata lain bersyukur. Selain itu, dalam Budaya Jawa juga terdapat mitos banyak anak banyak rezeki. Mitos ini berarti semakin banyak memiliki anak memiliki banyak kesempatan untuk memiliki banyak rezeki juga (Windy, 2013). Adat kebiasaan yang berlaku didaerah bisa berperan kuat terhadap usia kawin pertama.Seperti
20
yang terjadi di Jawa Barat, ada kebiasaan yang mengatakan bahwa kawin muda di daerah ini dianggap ideal. Bilamana seorang gadis belum juga menikah sampai usia 17 tahun, ia disebut perawan tua dan hal ini memalukan bagi orang tua (Guritnaningsih dalam Endang 2009). Akibat usia kawin pertama yang rendah inilah mereka memiliki masa reproduksi yang lebih panjang. 3) Etnis Cina Dalam budaya asli Tionghoa kedudukan nilai laki-laki dan perempuan diibaratkan sebagai unsur “Yang” dan “Yin”, yaitu unsur-unsur yang bersifat aktif dan unsur-unsur yang bersifat pasif. Dalam hal ini “Yang” (aktif) diumpamakan sebagai laki-laki dan “Yin” (pasif) diumpamakan sebagai wanita. Perumpamaan tersebut kemudian dibingkai dalam struktur sosial dengan sistem kekerabatan patrilineal dimana keluarga sebagai lembaga dipimpin laki-laki, sehingga laki-laki lebih memiliki kekuasaan daripada wanita. Keluarga merupakan lembaga yang sangat penting, karena pada hakekatnya keluarga merupakan tempat manusia dilahirkan serta dibesarkan. Penghormatan terhadap keluarga ini juga terkait dengan etik bahwa laki-laki harus menghormati istrinya sebagai orang yang melahirkan manusia. Walaupun demikian, bila istri tidak dapat melahirkan anak laki-laki, maka suaminya boleh menikah lagi (Titik, 2002) 2.1.7 Faktor Ekonomi dan Fertilitas Pandangan bahwa faktor-faktor ekonomi mempunyai pengaruh yang kuat terhadap fertilitas bukanlah suatu hal yang baru. Dasar pemikiran utama dari teori ‘transisi demografis’ yang sudah terkenal luas adalah bahwa sejalan dengan
21
diadakannya pembangunan sosial-ekonomi, maka fertilitas lebih merupakan suatu proses ekonomis dari pada proses biologis. Berbagai metode pengendalian fertilitas seperti penundaan perkawinan, senggama terputus dan kontrasepsi dapat digunakan oleh pasangan suami isteri yang tidak menginginkan mempunyai keluarga besar, dengan anggapan bahwa mempunyai banyak anak berarti memikul beban ekonomis dan menghambat peningkatan kesejahteraan sosial dan material (dalam Mundiharno, 2011). Teori perilaku konsumen menjelaskan bahwa setiap orang (dalam hal ini orang tua), masing-masing telah memiliki sumber yang terbatas dan dapat berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan kepuasan dengan cara memilih antara berbagai barang. Pilihan mereka dipengaruhi oleh harga barang dan penghasilannya. Dengan meningkatkan penghasilan, orang tua berkeinginan agar anaknya mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, sehingga mereka lebih tertuju pada ‘kualitas anak daripada kuantitas anak. Pendekatan lainnya yang lebih sesuai dengan keadaan di negara berkembang, anak merupakan barang investasi atau aktiva ekonomi. Manfaat tersebut akan terlihat jika anak berkeja tanpa upah untuk membantu orang tua di sawah ataupun di perushaan milik keluarga, atau memberikan sebagian penghasilannya untuk orang tua ataupun membantu keuangan orang tua ketika usia senja (Lucas, 1982:157). Menurut penelitian Bollen Kenneth AJ et.al (dalam Suandi, 2002) menunjukan bahwa pekerjaan kepala rumah tangga atau sang suami merupakan indikator dari penghasilan dan fertilitas, dengan kata lain status pekerjaan suami
22
berpengaruh positif terhadap penghasilan kemudian melalui penghasilan inilah berpengaruh negatif dengan fertilitas. Hasil penelitian sebelumya
yang dilakukan oleh
World Health
Organization (WHO) tahun 2010 menyatakan bahwa vaksinasi terhadap anak dan ibu hamil telah mencapai target 90 persen dari seluruh jumlah negara anggota WHO. Permasalahan-permasalahan yang terkait dengan gagalnya tindakan vaksinasi pada anak dan ibu hamil banyak ditemukan di negara-negara yang memiliki pendapatan keluarga dari tingkat terendah hingga menengah (Rainey et.al, 2011). Berdasarkan kajian pustaka dan hasil penelitian sebelumnya, dapat dibentuk kerangka konsep variabel penelitian seperti pada Gambar 2.1 Gambar 2.1 Kerangka Konsep Variabel Penelitian Usia Kawin Pertama (X1)
Status Bekerja (X2)
Jumlah Anak Yang Dilahirkan Hidup (Y)
Pendidikan Terakhir (X3) Etnis0))(X4) (X3)
Pendapatan Keluarga (X5)
23
2.2 Hipotesis 1) Usia kawin pertama berpengaruh negatif dan signifikan terhadap jumlah anak yang dilahirkan hidup di Kota Denpasar 2) Status bekerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap jumlah anak yang dilahirkan hidup di Kota Denpasar 3) Pendidikan terakhir berpengaruh negatif dan signifikan terhadap jumlah anak yang dilahirkan hidup di Kota Denpasar 4) Etnis berpengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah anak yang dilahirkan hidup di Kota Denpasar 5) Pendapatan keluarga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap jumlah anak yang dilahirkan hidup di Kota Denpasar
24