BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1
Teory Planned Behavior (TPB) Teory Planned Behavior (TPB) merupakan teori perluasan teori sebab
akibat (TRA) (Ajzen &Fishbein, 1980 dalam Sihombing, 2011). Membangun teori tindakan beralasan (Fishbein dan Ajzen, 1975), teori perilaku yang direncanakan (TPB) (Ajzen, 1991) telah menjadi salah satu teori psikologi yang paling banyak digunakan saat menjelaskan dan memprediksi perilaku manusia (Armitage dan Conner, 2001 dalam Gathungu dan Pauline, 2014 ). Dalam bentuk aslinya, TRA menyebutkan perilaku dapat diprediksi dari Personal Attitude (PA) dan Subjective Norm (SN) yang mempengaruhi niat berwirausaha. Lebih Lanjut, TRA mengasumsikan bahwa perilaku seseorang berada di bawah kontrol kehendak atau Perceiced Behavioral Control (PBC) (Ajzen, 1988 dalam Sihombing, 2011). Akan tetapi, masalah yang dihadapi ketika teori TRA diterapkan untuk perilaku yang tidak sepenuhnya di bawah kontrol kehendak atau Perceiced Behavioral Control (PBC). Dengan kata lain, beberapa perilaku mungkin ada kekurangan pribadi atau hambatan eksternal yang dapat membatasi pencapaian tujuan. Oleh karena itu teori tersebut mulai dikembangkan hingga menjadi Teori Planned Behavior (TPB) (Azjen, 1988 dalam Sihombing, 2011). Teori Planned Behaviour (TPB) bertujuan untuk menjelaskan dan memprediksi mengapa orang berperilaku dengan cara tertentu. Teori ini dibuat berdasarkan keterbatasan model sebelumnya dalam menangani perilaku dimana setiap individu tidak memiliki kendali penuh terhadap kehendak yang
1
diinginkannya. Teori Planned Behaviour (TPB) adalah teori yang didalilkan oleh Ajzen (1991) dan diadopsi oleh Krueger dan Carsrud (1993). Menurut Teori Planned Behaviour (TPB), Behavioral Entrepreneurial (EB) adalah fungsi dari niat kewirausahaan (Krueger & Carsrud, 2000 dalam Amos dan Kubasu, 2014). Keputusan perilaku adalah hasil dari sebuah proses dimana tingkah laku dipengaruhi oleh Personal Attitude (PA), Subjective Norm (SN) dan Perceiced Behavioral Control (PBC) (Smith et al.,2007 dalam Sommer, 2011; Ferreira et al., 2012).
Gambar 2.1 konsep niat berwirausaha yang dikembangkan oleh Azjen (1991)
Personal Attitude Subjective Norm Subjective Norm
Intention
Behavior
Subjective Norm Perceived Behavioral Control
Sumber 2.1 Ajzen (1991), Teori Planned Behavior (TPB)
Gambar 2.1 merupakan konsep niat berwirausaha yang dikembangkan oleh Azjen (1991) yaitu pengaruh dari Personal Attitude (PA), Subjective Norm (SN) dan Perceiced Behavioral Control (PBC) terhadap niat berwirausaha dalam
2
Teori Planned Behavior (TPB) kemudian intention (niat) yang dapat menjadi penentu tindakan seseorang dalam artian semakin tinggi niat seseorang untuk berwirausaha maka semakin besar pula tindakan yang akan dilakukannya.
2.1.2
Personal Attitude (PA) Sikap seseorang dapat berubah-ubah tergantung dengan situasi dan kondisi
yang dihadapi. Hubungan antara niat seseorang untuk memulai bisnis dengan sikap seseorang terhadap pendapatan, kemandirian, resiko dan usaha. Hasilnya adalah orang yang memiliki sikap yang lebih positif menuju kemandirian dan resiko, memiliki kemauan tinggi untuk menjadi pengusaha (Douglas, 1999 dalam Astuti dan Fanny, 2012). Selain itu, Swan et al. (2007) dalam Engle et al. (2008) mendukung teori Ajzen tentang niat (sikap terhadap perilaku) dan menyetujui sikap memiliki tempat yang penting dalam psikologis ilmu pengetahuan dan pandangan orang untuk melakukan suatu tindakan. Azjen (1991) menyebutkan bahwa Personal Attitude (PA) mengacu pada sejauh mana seseorang memiliki evaluasi yang menguntungkan atau tidak menguntungkan atau penilaian dari perilaku yang bersangkutan.
2.1.3
Subjective Norm (SN) Ajzen (1991) menjelaskan subjective norm (SN) sebagai tekanan sosial
yang dirasakan individu untuk terlibat atau tidak terlibat dalam suatu tindakan. Norma Sosial dapat
diartikan sebagai dukungan sosial
yang mampu
mempengaruhi perilaku individu (Kocoglu dan Massood, 2013). Norma subyektif dan norma sosial telah digunakan secara bergantian antara tekanan sosial dari pendapat orang tua, teman, mitra atau peran penting lainnya (Engle et al., 2010
3
dalam Tong, 2011). Di dalam norma subjektif terdapat dua aspek pokok yaitu: keyakinan akan harapan-harapan norma referensi, merupakan pandangan pihak lain yang dianggap penting oleh individu yang menyarankan individu untuk menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu serta motivasi kesediaan individu untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan pendapat atau pikiran pihak lain yang dianggap penting bahwa individu harus atau tidak harus berperilaku (Wijaya, 2008). Sedangkan dalam Andika dan Madjid (2012) disebutkan bahwa norma subyektif sebagai suatu keyakinan individu untuk mematuhi arahan atau anjuran orang di sekitarnya untuk turut dalam melakukan aktifitas berwirausaha.
2.1.4
Perceived Behavioral Control (PBC) Perceived Behavioral Control (PBC) atau Kontrol perilaku terkait dengan
persepsi individu pada kemudahan atau kesulitan perilaku yang diinginkan. Hal ini mengacu pada perasaan individu tentang kemampuan melakukan suatu tindakan atau tidak (Byabashaija dan Katono, 2011 dalam Kocoglu dan Massood, 2013; Azjen, 1991). Sarwoko (2011) mengatakan kontrol perilaku mencerminkan kelayakan yang dirasakan dalam melakukan suatu perilaku dan dengan demikian terkait dengan persepsi kompetensi situasional (efikasi diri). Azjen (1991) juga mengatakan bahwa pentingnya kontrol perilaku sebenarnya sebagai bukti diri terkait dengan sumber daya dan kesempatan yang tersedia untuk seseorang harus sampai batas tertentu menentukan kemungkinan pencapaian perilaku
2.1.5
Niat Berwirausaha
4
Kewirausahaan adalah proses mengidentifikasi peluang di pasar; sumber mengejar peluang dan melakukan tindakan, dan sumber daya yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang (Parker, 2004; Gartner, 1989 dalam Uddin & Tarun, 2012). Niat merupakan sebuah motivasi diri seseorang, kemauan untuk mengerahkan usaha, dan kemauan untuk berusaha keras yang akan tercermin dari perilaku (Ajzen, 1991). Niat juga menunjukkan seberapa keras seseorang berani mencoba, seberapa besar upaya yang direncanakan seseorang, dan niat berhubungan erat dengan perilaku yang akan dilakukan selanjutnya (Wijaya, 2008 dalam Sarwoko, 2011). Niat kewirausahaan didefinisikan sebagai niat untuk memulai bisnis baru (Pillis dan Kathleen, 2007). Entrepreneurial intention atau niat kewirausahaan juga dapat diartikan sebagai langkah awal dari suatu proses pendirian sebuah usaha yang umumnya bersifat jangka panjang (Lee & Wong, 2004 dalam Suharti dan Hani, 2011).
2.1.6
Etnis Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) etnis merupakan
hubungan dengan kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan lain sebagainya. Identitas etnis meliputi dua aspek yaitu: Pertama, aspek internal identitas etnik merujuk pada citra (images), ide (ideas), sikap (attitudes), dan perasaan (feeling) yang kemudian dibagi dalam empat dimensi yaitu: Afektif (affective), Kepercayaan (fiducial), Kognitif (cognitive), dan Moral (moral). Kedua, aspek eksternal ditunjukkan oleh perilaku yang dapat diamati (observable behaviours) yang meliputi: logat (dialek) bahasa; praktek tradisi etnis,
5
keikutsertaan dalam jaringan kerja etnis tersebut seperti keluarga dan persahabatan, dan terlibat dalam institusi (Isajiw, 1999 dalam Ali et al., 2010). Dalam pengertian yang klasik, kelompok etnik (ethnic group) dipandang sebagai suatu kesatuan budaya dan teritorial yang tersusun rapi dan dapat digambarkan ke dalam sebuah peta etnografi. Setiap kelompok memiliki batasbatas yang jelas (well-defined boundaries) memisahkan satu kelompok etnik dengan lainnya. Kemudian secara de facto masing-masing kelompok itu memiliki budaya yang padu (cultural homogeneity); satu sama lain dapat dibedakan baik dalam organisasi kekerabatan, bahasa, agama (system kepercayaan), ekonomi, tradisi (hukum), maupun pola-pola hubungan antarkelompok etnik, termasuk dalam pertukaran jasa dan pelayanan (Malinowski 1922, dalam Pelly 1998:26 dalam Lubis, 2005). Tarakanita dan Maria (2011) menyebutkan Indikatorindikator Identitas Etnis adalah sebagai berikut: 1) Identifikasi Diri dan Etnisitas: indentifikasi diri atau pelabelan diri sendiri mengacu pada label etnis yang seseorang gunakan untuk dirinya sendiri. 2) Affirmation dan Sense of Belonging: rasa memiliki dan keterikatan yang mendalam terhadap kelompok etnik tertentu 3) Sikap positif dan negatif terhadap kelompok etnis: perasaan bangga, kesenangan, kepuasan dan kerahasiaan dengan kelompok asal yang dimiliki 4) Ethnic Achieved: proses pengembangan identitas etnik 5) Other Group Orientation: interaksi dengan individu yang berbeda etnik. Tarakanita dan Maria (2011) juga menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi identitas etnis antara lain: bahasa, persahabatan, afiliasi dan kegiatan keagamaan, kelompok sosial dan etnis yang terstruktur, ideologi dan
6
aktivitas politik, area tempat tinggal, aktivitas dan sikap etnis atau kebudayaan lainnya. Selain indentitas etnis terdapat pula istilah manipulasi identitas etnis yang mana manipulasi tersebut merupakan suatu proses komunikasi antar budaya. Dalam Arianto (2012) dijelaskan bahwa seseorang yang memasuki wilayah etnis baru
bisa
saja
memutuskan
untuk
memanipulasi
indentitas
etnisnya,
mempertahankan budaya lamanya, atau mengikuti situasi di mana mereka berada. Proses manipulasi dalam hal ini terkait dengan bahasa atau dialek ataupun kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan sehari-hari. Beberapa literatur mengenai bisnis keluarga menemukan bahwa etnisetnis minoritas cenderung memilih untuk melakukan kegiatan entrepreneurship sebagai profesi karena alasan lingkungan yang relatif terisolir, sistem cluster diskrimination dalam masyarakat yang mendorong keinginan untuk memiliki usaha sendiri, serta dorongan untuk meningkatkan interaksi dengan etnis lain melalui kegiatan entrepreneurship (Charles, 2003; Fairchild, 2008; Fairchild, 2010 dalam Chairy, 2011). Sajjad (2012) mengatakan bahwa budaya suatu daerah mempengaruhi niat untuk memulai suatu usaha baru. Selain itu dalam Samydevan et al. (2015) menyebutkan bahwa budaya merupakan variabel penghubung antara pendidikan kewirausahaan dengan niat berwirausaha. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faktor budaya memiliki hubungan yang erat dengan niat berwirausaha. 2.2 Hipotesis Penelitian 2.2.1
Personal Attitude (PA) menjadi faktor pembeda niat berwirausaha Dalam studi Kocoglu dan Massood (2013) yang dilakukan di Pakistan dan
Turki terungkap bahwa sikap berperilaku merupakan salah satu indikator yang
7
memberikan pengaruh kuat dan mampu membedakan niat berwirausaha mahasiswa Pakistan dan Turki. Penelitian Engle et al. (2010) juga menunjukkan Personal Attitude (PA) mampu membedakan pengaruhnya yang signifikan terhadap niat berwirausaha di enam negara yaitu China, Finlandia, Ghana, Rusia, Swedia, dan Amerika Serikat. Personal Attitude (PA) juga mampu menjadi variabel pembeda serta memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap sampel di enam budaya yang berbeda yaitu Jerman, India, Iran, Polandia, Spanyol, dan Belanda (Moriano et al., 2011). Berdasarkan beberapa kajian empiris sebelumnya, maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut. H1
:
Personal Attitude (PA) mampu membedakan niat berwirausaha masyarakat Etnis Bali dan Non Bali di Kota Denpasar
2.2.2
Subjective Norm (SN) menjadi faktor pembeda niat berwirausaha Penelitian yang dilakukan oleh Engle et al. (2010) terdapat 7 negara
(Bangladesh, Mesir, Finlandia, Perancis, Jerman, Rusia, dan Spanyol) dari 12 negara yang diuji memperoleh hasil bahwa norma subjektif merupakan indikator yang berpengaruh signifikan dan mampu menjadi variabel pembeda niat berwirausaha. Hasil penelitian Peng et al. (2012) menunjukkan bahwa norma subjektif dari mahasiswa berpengaruh positif yang signifikan terhadap niat kewirausahaan mereka. Serupa dengan hal tersebut penelitian yang dilakukan oleh Ferreira et al. (2012) yang menunjukkan adanya pengaruh positif signifikan subjective norm (SN) dan mampu menjadi variabel pembeda niat berwirausaha. Berdasarkan beberapa kajian empiris sebelumnya, maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut.
8
H2
:
Subjective Norm (SN) mampu membedakan niat berwirausaha masyarakat Etnis Bali dan Non Bali di Kota Denpasar
2.2.3
Perceived Behavioral Control (PBC) menjadi faktor pembeda niat
berwirausaha Dalam studi Kocoglu dan Massood. (2013) yang dilakukan di Pakistan dan Turki terungkap bahwa kontrol perilaku merupakan indikator yang memberikan pengaruh dan mampu menjadi variabel pembeda niat berwirausaha mahasiswa Pakistan maupun Turki. Perceived Behavioral Control (PBC) juga berpengaruh positif pada penelitian yang dilakukan oleh Engle et al. (2010) terdapat 7 negara (Bangladesh, Mesir, Finlandia, Perancis, Jerman, Rusia, dan Spanyol) dari 12 negara yang diuji memperoleh hasil bahwa kontrol perilaku merupakan variabel yang berpengaruh signifikan dan menjadi pembeda niat berwirausaha. Serupa dengan hal itu Ferreira et al. (2012) menyatakan pengaruh yang signifikan dari kontrol perilaku individu terhadap niat berwirausaha. Perceived Behavioral Control (PBC) juga mampu menjadi variabel pembeda serta memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap sampel di enam budaya yang berbeda yaitu Jerman, India, Iran, Polandia, Spanyol, dan Belanda (Moriano et al., 2011). Berdasarkan beberapa kajian empiris sebelumnya, maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut. H3 :
Perceived Behavioral Control (PBC) mampu membedakan niat berwirausaha masyarakat Etnis Bali dan Non Bali di Kota Denpasar
9