BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Landasan Teori Landasan teori merupakan penjelasan mengenai definisi teori
keagenan, teori akunntansi positif, manajemen laba, perataan laba, sasaran perataan laba, alasan dilakukan perataan laba, varians nilai saham, kepemilikan publik, serta debt to equity ratio. 2.1.1
Teori Keagenan Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan hubungan keagenan sebagai
suatu kontrak dimana satu atau lebih orang (principal) memerintah orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa atas nama prinsipal serta memberi wewenang kepada agen membuat keputusan yang terbaik bagi principal. Jika kedua
belah
pihak
tersebut
mempunyai
tujuan
yang
sama
untuk
memaksimumkan nilai perusahaan, maka diyakini agen akan bertindak dengan cara yang sesuai dengan kepentingan prinsipal. Teori agensi (agency theory) merupakan pendekatan yang digunakan dalam pembahasan konsep manajemen laba maupun perataan laba. Teori ini menyatakan bahwa praktik manajemen laba dipengaruhi konflik kepentingan antara manajemen (agent) dan pemilik (principal) yang timbul ketika setiap pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendakinya. Teori agensi memiliki asumsi bahwa tiap-tiap individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara principal dan agent. Ketika manajer mempunyai informasi
9
yang lebih banyak dibandingkan pihak eksternal, maka akan ada asimetri informasi antara agen dan prinsipal. Agen atau manajer sebagai pihak internal lebih mengetahui keadaan perusahaan daripada pemilik. Manajer kemudian lebih memiliki kesempatan untuk melakukan disfunctional behavior, yakni menggunakan informasi yang diketahuinya untuk memanipulasi pelaporan keuangan dalam usaha memaksimalkan kemakmurannya. Kunci dari teori agensi adalah perbedaan tujuan antara prinsipal dan agen,
di
mana semua individu
berusaha
bertindak
sesuai
dengan
kepentingannya masing-masing serta aktivitas agen yang sehari-hari tidak dapat dimonitor, sehingga prinsipal tidak mengetahui apakah agen telah bekerja sesuai dengan keinginan prinsipal atau tidak, menyebabkan konflik kepentingan antara prinsipal dengan agen semakin meningkat (Komalasari, 1999). 2.1.2
Teori Akuntansi Positif Teori Akuntansi Positif yang dapat dijadikan dasar pemahaman tidakan
perataan laba yang dirumuskan Watts dan Zimmerman (1986:3), yaitu: 1) The Bonus Plan Hypothesis Pada perusahaan yang memiliki rencana pemberian bonus, manajer perusahaan akan lebih memilih metode akuntansi yang dapat menggeser laba dari periode mendatang ke periode saat ini sehingga dapat menaikkan laba saat ini. Hal ini dilakukan karena manajer lebih menyukai pemberian bonus yang lebih tinggi untuk masa kini. 2) The Debt/ Equity Hypothesis (Debt Covenant Hypothesis) Pada perusahan yang mempunyai debt to equity ratio tinggi, manajer perusahaan cenderung menggunakan metode akuntansi yang dapat
10
meningkatkan pendapatan atau laba. Hal ini karena perusahaan dengan debt to equity ratio yang tinggi akan mengalami kesulitan dalam memperoleh dana tambahan dari pihak kreditur bahkan perusahaan terancam melanggar perjanjian utang. 3) The Political Cost Hypothesis (Size Hypothesis) Pada perusahaan besar yang memiliki biaya politik tinggi, manajer akan lebih memilih metode akuntansi yang dapat membuat laba yang dilaporkan pada periode berjalan menjadi lebih rendah daripada laba yang sesungguhnya. Biaya politik muncul karena laba perusahaan yang tinggi dapat menarik perhatian investor. 2.1.3
Manajemen Laba Setyawati dan Ainun (2000) menyatakan bahwa manajemen laba
merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi kredibilitas laporan keuangan, dan menambah bias dalam laporan keuangan serta mengganggu pemakai laporan keuangan yang mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa rekayasa. Scott (2000: 302) mengemukakan beberapa terjadinya motivasi manajemen laba, yaitu: 1) Bonus Purposes Adanya
asimetri
informasi
mengenai
keuangan
perusahaan
menyebabkan pihak manajemen dapat mengatur laba bersih untuk memaksimalkan bonus mereka. 2) Political Motivation Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada perusahaan publik karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat.
11
3) Taxation Motivation Berbagai
metode
akuntansi
digunakan
dengan
tujuan
untuk
penghematan pajak pendapatan. 4) Pergantian CEO CEO yang mendekati masa pensiun akan cenderung menaikkan pendapatan untuk meningkatkan bonus mereka dan jika kinerja perusahaan buruk, mereka akan memaksimalkan pendapatan agar tidak diberhentikan. 5) Initial Public Offering (IPO) Perusahaan yang akan go public namun belum memiliki nilai pasar, menyebabkan manajer perusahaan melakukan manajemen laba dengan harapan dapat menaikkan harga saham perusahaan 6) Pentingnya Memberi Informasi Kepada Investor Informasi mengenai kinerja dalam pelaporan laba perusahaan harus disampaikan kepada investor sehingga investor dapat menilai bahwa perusahaan tersebut dalam kinerja yang baik. 2.1.4
Perataan Laba Perataan laba merupakan normalisasi laba yang dilakukan secara
sengaja untuk mencapai
trend atau level laba tertentu (Belkaoui, 1993).
Beidleman (1973) mendifinisikan income smoothing adalah sebagai suatu usaha yang sengaja dilakukan manajemen untuk meratakan atau memfluktuasi tingkat laba sehingga pada saat sekarang dipandang normal bagi suatu perusahaan. Sedangkan menurut Koch dalam Kamaruddin et al. (2003) menyatakan bahwa income smoothing merupakan suatu alat yang digunakan manajemen untuk mengurangi variabilitas yang menyolok dari laba yang
12
dilaporkan dalam batas target yang diharapkan dengan manipulasi variabel akuntansi atau transaksi yang terjadi dalam perusahaan. Perataan laba menurut Ball dan Brown (1968) dalam Dewi dan Zulaikha (2011) adalah usaha untuk mengurangi variabilitas laba, terutama menyangkut dengan perilaku yang ditujukan untuk mengurangi adanya pertambahan abnormal dalam laba yang dilaporkan perusahaan. Sedangkan Fudenberg dan Tirole (dalam Stolowy dan Breton, 2000) mengemukakan bahwa income smoothing (perataan laba) adalah suatu proses manipulasi laba yang sengaja diatur pada waktu terjadinya atau usaha yang sengaja dirancang berkaitan dengan pengurangan arus laba yang dilaporkan, bukan pada saat menambah jumlah laba yang dilaporkan dalam jangka panjang. Perataan laba (income smoothing) adalah cara yang digunakan oleh manajemen untuk mengurangi variabilitas jumlah laba yang dilaporkan agar sesuai dengan target yang diinginkan dengan cara memanipulasi laba baik secara artificial (melalui metode akuntansi), maupun secara real (melalui transaksi) (Salno dan Baridwan, 2000). Tindakan ini dapat memberi pengaruh nilai yang positif pada nilai pasar saham perusahaan. Hal ini disebabkan dengan trend perataan laba akan menimbulkan penilaian berupa resiko yang rendah. 2.1.5
Sasaran Perataan Laba Syahriana (2006) menyatakan, sasaran perataan laba dapat dilakukan
terhadap aktivitas-aktivitas yang dapat digunakan oleh manajemen untuk mempengaruhi aliran data atau informasi demi menciptakan laporan keuangan yang sesuai yang diinginkan. Manajer dapat memasukkan informasi yang seharusnya dilaporkan pada periode yang akan datang ke dalam laporan
13
periode ini atau sebaliknya tidak melaporkan informasi periode ini untuk dilaporkan pada periode yang akan datang. Jin dan Machfoedz (1998) dalam (Dewi, 2011) menyatakan instrument (sasaran) yang biasa digunakan dalam perataan laba antara lain pendapatan, kebijakan deviden, perubahan dalam kebijakan akuntansi, investasi, depresiasi dan biaya tetap, perbedaan mata uang, klasifikasi akuntansi dan pencatatan. 2.1.6
Alasan Dilakukan Perataan Laba Banyak penelitian yang telah dilakukan menjelaskan alasan-alasan
yang mendorong manajer untuk melakukan tindakan perataan laba. Menurut Hepworth (1953) tindakan perataan laba merupakan tindakan yang logis dan rasional bagi manajer untuk meratakan laba dengan menggunakan cara atau metode akuntansi tertentu. Beberapa alasan seorang manajer melakukan praktik perataan laba dalam (Syahriana, 2006) adalah sebagai berikut : 1) Aliran laba yang merata dapat meningkatkan keyakinan para investor karena laba yang stabil akan mendukung kebijaksanaan dividen yang stabil sebagaimana yang diinginkan para investor 2) Penyusunan pos pendapatan dan biaya dengan metode tertentu, manajemen
dapat
mengurangi
kewajiban
perusahaan
secara
keseluruhan. 3) Perataan laba dapat meningkatkan hubungan antara manajer dan pekerja karena kenaikan yang tajam dalam laba yang dilaporkan dapat menimbulkan permintaan upah yang lebih tinggi bagi para karyawan. 4) Aliran laba yang merata dapat memiliki pengaruh psikologis pada ekonomi dalam hal kenaikan atau penurunan dapat dihindarkan serta rasa pesimis dan optimis dapat dikurangi.
14
2.1.7
Varian Nilai Saham Varian nilai saham adalah metoda perhitungan resiko pasar untuk
menentukan resiko kerugian maksimum yang terjadi pada suatu portofolio pada periode tertentu dengan tingkat keyakinan tertentu dalam kondisi pasar yang normal. Varian nilai saham merupakan kuadrat dari deviasi standar yang dihitung dengan nilai saham awal dikurangi return historis dan kemudian dikuadratkan. Return dan resiko merupakan dua hal yang tidak terpisahkan karena pertimbangan suatu investasi adalah trade-off dari kedua faktor ini. Return dan resiko memiliki hubungan yang positif, semakin besar risiko yang ditanggung, maka semakin besar return yang akan dikompensasikan (Jogiyanto, 2010:111).
2.1.8
Kepemilikan Publik Kepemilikan publik merupakan tingkat kepemilikan saham oleh pihak
individu diluar perusahaan yang tidak memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan. Persentase kepemilikan saham publik diukur berdasarkan perbandingan antara jumlah saham yang dimiliki masyarakat dengan jumlah saham yang beredar. Perusahaan akan berusaha memenuhi keinginan publik yang sebagian besar memiliki saham perusahaan tersebut. Hal ini terkait dengan teori agensi, di mana dalam teori agensi manajemen sebagai pihak agen akan berusaha memenuhi keinginan publik (stakeholder) selaku pihak prinsipal dengan melakukan pengungkapan semaksimal mungkin sesuai keinginan pemegang saham publik (Mujiyono dan Nani, 2010). 2.1.9
Debt to Equity Ratio
15
Debt to equity ratio merupakan bagaian dari leverage ratio. Leverage ratio merupakan rasio untuk mengukur seberapa baik struktur permodalan perusahaan. Struktur permodalan merupakan pendanaan permanen yang terdiri dari hutang jangka panjang, saham preferen dan modal pemegang saham (Wahyono, 2002). Struktur modal adalah pembelanjaan permanen dimana mencerminkan pengimbangan antar hutang jangka panjang dan modal sendiri. Modal sendiri adalah modal yang berasal dari perusahaan itu sendiri (cadangan, laba) atau berasal dari mengambil bagian, peserta, atau pemilik (modal saham, modal peserta dan lain-lain) (Riyanto, 2008:22). Jadi dapat disimpulkan bahwa debt to equity ratio merupakan perbandingan antara total hutang (hutang lancar dan hutang jangka panjang) dengan modal sendiri yang menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya dengan menggunakan modal yang ada. Menurut Harahap (2008:304) semakin kecil rasio hutang modal maka semakin baik dan untuk keamanan pihak luar rasio terbaik jika jumlah modal lebih besar dari jumlah hutang atau minimal sama. 2.2
Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya Adapun penelitian terdahulu yang terkait dengan perataan laba adalah
sebagai berikut: 1) Widaryanti (2009) dalam penelitiannya, meneliti pengaruh ukuran perusahaan, profitabilitas, financial leverage, net proft margin, dan varian nilai saham terhadap praktik perataan laba. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa semua variabel yang diteliti tidak memiliki pengaruh terhadap praktik perataan laba.
16
2) Dewi dan Zulaikha (2010) dalam penelitiannya, meneliti pengaruh ukuran perusahaan, profitabilitas, financial leverage, dan jenis industri terhadap praktik perataan laba. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa variabel ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap praktik perataan laba, sedangkan financial leverage, dan jenis industri tidak berpengaruh. 3) Noviyana dan Yuyetta (2011) dalam penelitiannya, meneliti pengaruh profitabilitas, risiko keuangan, nilai perusahaan, struktur kepemilikan dan dividend payout ratio terhadap praktik perataan laba. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa dividend payout ratio berpengaruh terhadap praktik perataan laba, sedangkan lima variabel lainnya tidak berpengaruh terhadap perataan laba. 4) Dina
(2012)
dalam
penelitiannya,
meneliti
pengaruh
ukuran
perusahaan, net profit margin, dan debt to equity ratio terhadap praktik perataan laba. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa variabel ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap perataan laba, sedangkan net profit margin, dan debt to equity ratio tidak berpengaruh. 5) Dewi dan Prasetiono (2012) dalam penelitiannya, meneliti pengaruh Return On Asset, Net Profit Margin, Debt to Equity Ratio dan Ukuran Perusahaan terhadap praktik perataan laba. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa variabel net profit margin dan ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap perataan laba, sedangkan return on asset dan debt to equity ratio tidak berpengaruh.
17
6) Suryandari (2012) dalam penelitiannya, meneliti pengaruh Ukuran Perusahaan, Return On Asset, Net Profit Margin, Debt to Asset Ratio, dan Debt to Equity Ratio terhadap praktik perataan laba. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap income smoothing, sedangkan variabel lainnya tidak berpengaruh terhadap perataan laba. 7) Widhianingrum (2012) dalam penelitiannya, meneliti pengaruh kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, debt financing, penyebaran kepemilikan (kepemilikan publik), profitabilitas, dan ukuran perusahaan terhadap praktik perataan laba. Hasil dari penelitian ini menemukan semua variabel kecuali kepemilikan manajerial berpengaruh secara parsial terhadap praktik perataan laba. 8) Zuliani,
dkk.
(2012)
dalam
penelitiannya,
meneliti
pengaruh
profitabilitas, leverage, dan ukuran perusahaan terhadap praktik perataan laba. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa profitabilitas berpengaruh terhadap praktik perataan laba, sedangkan leverage, dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh. 9) Olivya (2013) dalam penelitiannya, meneliti pengaruh profitabilitas, net profit margin, debt to equity ratio, ukuran badan usaha terhadap perataan laba. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah seluruh variabel yang dihipotesiskan tidak berpengaruh terhadap praktik perataan laba. 10) Wahyuni,dkk. (2013) dalam penelitiannya, meneliti pengaruh ukuran perusahaan,
profitabilitas,
financial
laverage,
kepemilikan
institusional, reputasi auditor, dan dividend payout terhadap praktik
18
perataan laba. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap praktik perataan laba, sedangkan variabel lainnya tidak berpengaruh terhadap perataan laba. 2.3
Rumusan Hipotesis Penelitian Berdasarkan landasan teori dan penelitian terdahulu yang terangkum
dalam kajian pustaka serta kerangka pemikiran dalam penelitian ini, adapun hipotesis yang dapat dirumuskan meliputi sebagai berikut: 2.3.1
Pengaruh Varian Nilai Saham Terhadap Perataan Laba Return yang diterima perlu diestimasi nilainya dengan segala
kemungkinan yang dapat terjadi sebagai dasar estimasi bagi investor (Jogiyanto,2010:109). Return dapat berupa return realisasi dan return ekspektasi, sedangkan koefsien varian nilai saham adalah menentukan resiko kerugian maksimum yang terjadi pada suatu portofolio. Menurut Michelson et. al (1995) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa perusahaan yang melakukan perataan laba memiliki return rata-rata dan resiko yang rendah secara signifikan daripada perusahaan yang tidak melakukan perataan laba. Dari uraian tersebut, maka hipotesis yang dapat dirumuskan adalah : H a1 : Varian nilai saham berpengaruh pada praktik perataan laba yang dilakukan oleh perusahaan. 2.3.2
Pengaruh Kepemilikan Publik Terhadap Perataan Laba Midiastuty dan Machfoedz (2003) menyatakan bahwa pengelolaan
laba dapat bersifat efisien, tidak selalu oportunis. Jika pengelolaan laba efisien maka kepemilikan publik yang tinggi akan meningkatkan pengelolaan laba. Proporsi kepemilikan publik yang besar, menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan investor terhadap perusahaan tinggi karena itu manajemen
19
cenderung untuk melakukan perataan laba untuk menunjukkan tingkat laba dan kinerja perusahaan yang baik (Nuraeni, 2010). Michelson et. al (2000) juga menyimpulkan bahwa, semakin tinggi kepemilikan publik dalam struktur kepemilikan perusahaan, maka perusahaan cenderung melakukan perataan laba agar menghasilkan variabilitas laba rendah yang mengindikasikan risiko rendah. Risiko rendah inilah yang direspon positif oleh investor. Dari penjelasan tersebut, maka hipotesis yang dapat dirumuskan adalah : H a2 : Kepemilikan publik berpengaruh pada praktik perataan laba yang dilakukan oleh perusahaan. 2.3.3
Pengaruh Debt to Equity Ratio Terhadap Perataan Laba Debt to equity ratio berhubungan dengan hutang yang diberikan
kreditur. Kreditur dalam memberikan pinjaman kepada perusahaan mengacu pada laba yang diperoleh perusahaan. Perusahaan dengan laba yang stabil lebih menjadi pilihan bagi kreditur dalam memberikan kredit daripada perusahaan dengan laba yang fluktuatif. Perusahaan dengan laba berfluktuasi cenderung dihindari oleh kreditur karena kreditur tidak mau uang yang telah dipinjamkan kepada perusahaan resikonya terlalu besar yaitu tidak tertagih atau tidak kembali, sehingga mendorong perusahaan dalam hal ini manajer untuk melakukan praktik perataan laba. Sehingga semakin tinggi DER maka makin terindikasi perusahaan melakukan perataan laba (Padang,
2010).
Dengan demikian hipotesis yang diajukan : H a3 : Debt to equity ratio berpengaruh pada praktik perataan laba yang dilakukan oleh perusahaan.
20