BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN Dalam bab II ini akan dibahas mengenai kajian pustaka penelitian yaitu membahas mengenai teori-teori yang relevan sebagai acuan untuk mendasari penelitian ini dan hipotesis dari penelitian ini.
2.1
Landasan Teori dan Konsep Berikut akan dibahas mengenai teori keagenan, teori sinyal, manajemen
laba, merger dan akuisisi serta good corporate governance. 2.1.1 Teori Keagenan Teori agensi adalah teori yang menyatakan hubungan keagenan dengan prinsipal yang di dalamnya agen bertindak untuk kepentingan prinsipal dan atas tindakannya agen mendapatkan imbalan tertentu (Suwardjono, 2005). Jensen dan Meckling (1976) dalam Sunarto (2009) menjelaskan hubungan keagenan di dalam teori agensi bahwa perusahaan merupakan kumpulan kontrak antara pemilik sumber daya ekonomis dan manajer yang mengurus penggunaan dan pengendalian sumber daya. Perencanaan kontrak yang tepat bertujuan untuk menyelaraskan kepentingan pemilik dan manajer. Meskipun dalam kenyataannya manajemen perusahaan sering mempunyai tujuan yang berbeda yang mungkin bertentangan dengan tujuan utama pemilik perusahaan. Menurut Meisser, et al., (2006) hubungan keagenan menimbulkan dua permasalahan yaitu: (a) terjadinya asimetri informasi (information asymmetry), dimana manajemen secara umum lebih banyak memiliki informasi mengenai
9
posisi keuangan yang sebenarnya dan posisi operasi entitas dari pemilik; dan (b) terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest), akibat ketidak samaan tujuan antara manajer dan pemilik perusahaan dimana manajer tidak selalu bertindak sebagai pemilik perusahaan melainkan manajer bisa bertindak sesuai dengan kepentingan pribadinya yang dapat merugikan pemilik perusahaan. Laporan keuangan sebagai pertanggungjawaban manajer kepada pemilik menjadi salah satu alat yang digunakan pemilik untuk mengawasi tindakan manajer. Perspektif teori agensi, laba sangat rentan terhadap manipulasi manajemen. Manipulasi laba atau manajemen laba yang bisa dilakukan manajemen adalah perataan laba (income smoothing). Manipulasi tersebut dilakukan untuk memberikan kepuasan kepada pemilik perusahaan dengan melaporkan laporan keuangan yang baik sehingga kinerja manajemen terlihat baik dimata pemilik.
2.1.2 Teori Sinyal Teori sinyal mengemukakan tentang bagaimana seharusnya sebuah perusahaan memberikan sinyal-sinyal kepada pengguna laporan keuangan. Brighman dan Houston (2001) dalam Sa’adati Ahmad (2011) menyatakan bahwa sinyal adalah suatu tindakan yang diambil oleh manajemen perusahaan dengan memberi petunjuk kepada investor mengenai bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan. Teori sinyal menjelaskan secara tersirat mengenai manajemen laba. Sa’adati Ahmad (2011) menyatakan jika kinerja perusahaan buruk, manajer akan memberikan sinyal dengan menurunkan laba akuntansi, sebaliknya jika kinerja
10
perusahaan baik, maka manajer akan memberikan sinyal dengan menaikkan laba akuntansi. Teori sinyal juga menjelaskan adanya asimetri informasi antara manajemen perusahaan dan pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan informasi perusahaan. Asimetri informasi ini bisa terjadi karena manajemen mengetahui lebih banyak informasi mengenai perusahaan dari pada pihak-pihak lain yang berkepentingan (Sa’adati Ahmad, 2011). Informasi yang mungkin dapat memengaruhi keputusan investor bisa saja tidak diungkapkan oleh manajemen. Tantangan bagi akuntansi disini adalah bagaimana membawa informasi dari dalam ke luar perusahaan sehingga dapat meningkatkan kualitas pengambilan keputusan oleh para investor. Yustisia dan Andani (2006) menyatakan untuk mengantisipasi asimetri informasi, standar akuntansi mengharuskan manajemen melakukan pengungkapan penuh atas kondisi keuangan perusahaan dalam laporan keuangan. Prinsip pengungkapan penuh (full disclosure) ini diharapkan dapat membantu pengguna laporan keuangan untuk menilai kondisi perusahaan sebelum membuat suatu keputusan.
2.1.3 Manajemen Laba Secara umum laporan keuangan disajikan dengan dua cara yaitu dasar akrual dan dasar kas. Dasar akrual dalam penyajian sebuah laporan keuangan dapat dimanfaatkan oleh manejemen. Dasar akrual berarti mengakui transaksi pada saat terjadi sedangkan dasar kas berarti mengakui transaksi pada saat kas atau setara kas diterima. Dengan adanya kelonggaran yang terjadi maka akan timbulnya kesempatan bagi manajemen untuk melakukan manajemen laba.
11
Manajemen Laba bisa diartikan dengan pengelolaan laba perusahaan. Healy dan Wahlen (1998) telah memberikan definisi earnings management yang ditinjau dalam kaitannya dengan badan penetap standar, yaitu: Earnings management terjadi ketika manajer menggunakan kebijakan (judgment) dalam pelaporan keuangan dan dalam menyusun transaksi untuk mengubah laporan keuangan dan menyesatkan stakeholders mengenai kinerja ekonomi perusahaan, atau untuk mempengaruhi contractual outcomes yang tergantung pada angka akuntansi yang dilaporkan. Sementara itu, Schipper (1989) mengartikan earnings management sebagai
“disclosure
management”
dalam
pengertian
bahwa
manajemen
melakukan intervensi terhadap proses pelaporan keuangan kepada pihak ekstern dengan maksud untuk memperoleh keuntungan pribadi. Berdasarkan pertimbangan biaya dan manfaat, manajemen diperbolehkan memilih dan menerapkan metode-metode akuntansi. Menurut Scott (2009:403), motivasi perusahaan dalam hal ini manajer melakukan manajemen laba antara lain sebaga berikut: a) Motivasi bonus, yaitu manajer akan berusaha mengatur laba bersih agar dapat memaksimalkan bonusnya. b) Motivasi kontrak, berkaitan dengan utang jangka panjang, yaitu manajer menaikkan laba bersih untuk mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami technical default. c) Motivasi politik, aspek politis ini tidak dapat dilepaskan dari perusahaan, khususnya perusahaan besar dan industri strategis karena aktivitasnya melibatkan hajat hidup orang banyak.
12
d) Motivasi pajak, pajak merupakan salah satu alasan utama perusahaan mengurangi laba bersih yang dilaporkan. e) Pergantian
CEO
(Chief
Executive
Officer),
banyak
motivasi
yang
timbulberkaitan dengan CEO, seperti CEO yang mendekati masa pensiun akan meningkatkan bonusnya, CEO yang kurang berhasil memperbaiki kinerjanya untuk menghindari pemecatannya, CEO baru untuk menunjukkan kesalahan dari CEO sebelumnya. f) Penawaran saham perdana/initial public offering (IPO), manajer perusahaan yang going public melakukan manajemen laba untuk memperoleh harga yang lebih tinggi atas sahamnya dengan harapan mendapatkan respon pasar yang positif terhadap peramalan laba sebagai sinyal dari nilai perusahaan. g) Motivasi pasar modal, misalnya untuk mengungkapkan informasi privat yang dimiliki perusahaan kepada investor dan kreditor. Scott (2003) membagi pola manajemen laba yang dapat dilakukan oleh manajer perusahaan sebagai berikut: a) Taking a Bath Pola ini biasanya digunakan pada saat pergantian CEO baru. Jika pada saat itu sebuah perusahaan tersebut mengalami kerugian, maka manajer akan melakukan pelaporan atas kerugian dalam jumlah yang lebih besar dari yang seharusnya dengan begitu manajer berharap dapat meningkatkan laba yang akan datang (melalui accrual reversing) dan kesalahan atas kerugian periode reorganisasi tersebut dapat dilimpahkan kepada manajer lama.
13
b) Income Maximization Pola ini dilakukan pada saat laba periode berjalan mengalami penurunan. Tindakan income maximization bertujuan untuk melaporkan net income yang lebih tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar. Pola ini dilakukan juga oleh perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian utang. c) Income minimization Pola ini dilakukan pada saat profitabilitas perusahaan sangat tinggi,dengan harapan bahwa jika periode yang akan datang diperkirakan laba akan mengalami penurunan drastis, maka penurunan tersebut dapat diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya. d) Income smoothing Pola ini dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada umumnya investor lebih menyukai laba yang relatif stabil.
2.1.4 Merger dan Akuisisi Merger merupakan sebuah strategi yang dilakukan oleh perusahaan untuk mengembangkan
dan
menumbuhkan
perusahaan
yang
nantinya
akan
menghilangkan suatu identitas salah satu perusahaan tersebut. Pengertian lain dari merger adalah penyerapan suatu perusahaan oleh perusahaan yang lain dimana perusahaan yang telah membeli mempunyai hak atas aset, kewajiban serta bisa melanjutkan nama perusahaan tersebut, sedangkan sebaliknya maka perusahaan yang dibeli akan kehilangan segalanya baik itu aset, kewajiban dan berhenti dalam beroprasi.
14
Berbeda dengan merger, akuisisi merupakan pengambilan sebuah perusahaan dengan membeli saham atau aset perusahaan, dan perusahaan yang di beli tetap ada. Adapun Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 22 tetang Akuntansi Penggabungan Usaha (2007) menyatakan bahwa akuisisi adalah suatu penggabungan usaha dimana salah satu perusahaan, yaitu pengakuisisi memperoleh kendali atas aset neto dan operasi perusahaan yang di akuisisi, dengan memberikan aset tertentu, mengakui suatu kewajiban, atau mengeluarkan saham. Moin (2003) dalam Nugroho (2010) menyatakan bahwa akuisisi berasal dari kata acquicitio (Latin) dan acquisition (Inggris), sehingga secara harfiah akuisisi mempunyai makna membeli atau mendapatkan sesuatu/objek untuk ditambahkan sesuatu/objek yang telah dimiliki sebelumnya. Dalam terminologi bisnis akuisisi dapat diartikan sebagai pengambilan kepemilikan atau pengendalian atas saham atau aset suatu perusahaan oleh perusahaan lain, dan perusahaan pengambilalih dan yang diambil akan tetap eksis sebagai badan hukum yang terpisah (Moin, 2003 dalam Nugroho, 2010).
2.1.5 Good Corporate Governance Good Corporate governance merupakan suatu konsep yang digunakan demi peningkatan kinerja perusahaan. Corporate governance dilakukan dengan supervisi dan monitoring kinerja manajemen dan menjamin akuntabilitas manajemen terhadap stakeholder dengan mendasarkan pada kerangka peraturan. Corporate goernance diterapkan diperusahaan agar perusahaan dapat mengelola perusahaan lebih transparan bagi para pengguna laporan keuangan. Maka dari itu
15
semua perusahaan diharapkan menggunakan konsep corporate governance, apabila konsep corporate governance diterapkan dengan baik maka diharapkan pertumbuhan ekonomi akan terus meningkat dan semakin baik yang nantinya menguntungkan bagi banyak pihak. Tujuan corporate governance yaitu untuk menciptakan nilai tambah bagi stakeholder. Dengan adanya nilai tambah yang dimiliki oleh perusahaan maka manfaat dari penerapan corporate governance dapat diketahui dari harga saham perusahaan yang bersedia dibayar oleh investor. Dalam teori keagenan terdapat pemisah antara prinsipal dan agen, pemisahan ini akan menimbulkan konflik yang nantinya bisa mempengaruhi laba perusahaan. Good corporate governance merupakan sebuah sistem tata kelola perusahaan yang berisi seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengukur (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya dalam kaitannya dengan hakhak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain, suatu sistem dan struktur yang baik untuk mengelola perusahaan dengan tujuan untuk meningkatkan nilai pemegang saham serta mengakomodasi berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholder) (Sutedi, 2011). Perbedaan kepentingan yang terjadi dan bukan untuk kepentingan prinsipal sehingga diperlukan good corporate governance dianggap perlu untuk menyelaraskan perbedaan kepentingan yang terjadi di perusahaan. Prinsip-prinsip corporate governance menurut Organization for Economics Coorporation and Develepment (OECD) (2004), yaitu :
16
a) Memastikan dasar bagi kerangka corporate governance yang efektif (Ensuring The Basic for an Effective Corporate Governance Framework). Kerangka corporate governance harus meningkatkan pasar yang transparan dan efisien, konsisten dengan aturan hukum dan secara jelas mengartikulasikan pembagian antara pengawas, regulator dan otoritas pelaksanaan yang berbeda. b) Hak-hak pemegang saham dan fungsi kepemilikan kunci (The Right of Shareholders and Key Ownership Functions). Kerangka corporate governance harus melindungi dan memfasilitasi penggunaan hak-hak pemegang saham. c) Persamaan perlakuaan bagi pemegang saham (The Equitable Treatment of Shareholders). Kerangka corporate governance harus memastikan persamaan perlakuan bagi seluruh pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas dan asing. Semua pemegang saham harus memiliki kesempatan untuk memperoleh penggantian kembali secara efektif atas pelanggaran hak-hak mereka. d) Peranan Stakeholder dalam corporate governance (The Role of Stakeholders in Corporate Governance). Kerangka corporate governance harus mengakui hakhak stakeholder yang ditetapkan oleh hukum atau melalui mutual agreement dan mendorong kerjasama aktif antara korporat dan stakeholder dalam menciptakan kemakmuran, pekerjaan dan perusahaan
yang memiliki
sustainable. e) Pengungkapan dan Transparansi (Disclosure and Transparency). Kerangka corporate governance harus memastikan bahwa pengungkapan yang tepat waktu dan akurat telah dibuat atas semua hal yang material menyangkut
17
korporat, termasuk situasi keuangan, kinerja, kepemilikan, dan pengelolaan perusahaan. f) Kewajiban Dewan (The Responsibility of The Board). Kerangka corporate governance harus memastikan pedoman strategis perusahaan, pengawas yang efektif terhadap manajemen oleh dewan, dan akuntabilitas oleh dewan kepada perusahaan dan pemegang saham. Prinsip-prinsip dasar good corporate governance ini diharapkan dapat dijadikan titik acuan bagi para pemerintah dalam membangun framework bagi penerapan good corporate governance. Bagi para pelaku usaha dan pasar modal, prinsip-prinsip ini dapat menjadi pedoman dalam mengelaborasi best practices bagi peningkatan nilai dan kelangsungan hidup perusahaan. Komite Nasional Kebijakan Governance pada tahun 2006 telah mengeluarkan Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia. Pedoman GCG merupakan panduan bagi perusahaan dalam membangun, melaksanakan dan mengkomunikasikan praktik GCG kepada pemangku kepentingan. Dalam pedoman tersebut KNKG (Komite Nasional Kebijakan Governance) memaparkan asas-asas GCG sebagai berikut : a) Transparansi (Transparency) Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting
18
untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya. b) Akuntabilitas (Accountability) Harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan. c) Responsibilitas (Responsibility) Perusahaan
harus
mematuhi
peraturan
perundang-undangan
serta
melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen. d) Independensi (Independency) Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen
sehingga
masing-masing
organ
perusahaan
tidak
saling
mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. e) Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness) Melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.
19
Unsur-unsur good corporate governance dalam penelitian dijadikan satu menggunakan analisis faktor untuk memperoleh nilai good corporate governance. Berikut adalah unsur-unsur good corporate governance didalam penelitian ini: a) Kepemilikan Institusional Kepemilikan institusional merupakan persentase kepemilikan saham pada akhir tahun yang dimiliki oleh lembaga, seperti asuransi, bank atau institusi lain. Persentase kepemilikan institusi diperoleh dari penjumlahan atas persentase saham perusahaan yang dimiliki oleh perusahaan lain baik yang berada di dalam maupun diluar negeri (Susiana dan Herawaty, 2007). Melalui proses monitoring
secara
efektif,
kepemilikan
institusional
mampu
untuk
mengendalikan pihak manajemen sehingga dapat mengurangi tindakan manipulasi. Persentase saham tertentu yang dimiliki oleh institusi dapat mempengaruhi proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai kepentingan pihak manajemen (Gideon, 2005). Cornett et al. (2006) menyatakan bahwa tindakan pengawasan perusahaan oleh pihak investor instituional dapat mendorong manajer untuk lebih menfokuskan perhatiannya terhadap kinerja perusahaan sehingga akan mengurangi prilaku opportunistic atau mementingkan diri sendiri. Perusahaan dengan
kepemilikan
institusional
yang
besar
mengidentifikasikan
kemampuannya yang lebih besar dalam memonitor manajemen. b) Kepemilikan Manajerial Kepemilikan manajemen didefinisikan sebagai persentase saham yang dimiliki manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan
20
yang meliputi komisaris dan direksi. Manajer juga sekaligus sebagai pemegang saham dan manajer yang tidak sebagai pemegang saham akan memiliki motivasi yang berbeda. Menurut Machfoedz dan Siallagan (2006), dengan meningkatkan kepemilikan saham oleh manajer, diharapkan manajer akan bertindak sesuai dengan keinginan para principal karena manajer akan termotivasi untuk meningkatkan kinerja. Kepemilikan seseorang manajer juga akan ikut menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan. c) Komisaris Independen Komisaris independen merupakan sebuah badan dalam perusahaan yang biasanya beranggotakan dewan komisaris yang independen yang berasal dari luar perusahaan. Komisaris independen berfungsi untuk menilai kinerja perusahaan secara luas dan keseluruhan (Oktadella, 2011). Komisaris independen bertujuanuntuk menyeimbangkan dalam pengambilan keputusan khususnya dalam rangka perlindungan terhadap pemegang saham minoritas dan pihak-pihak lain yang terkait (Susiana dan Herawaty, 2007). Adanya komisaris independen dalam suatu perusahaan dapat menyeimbangkan dalam pengambilan keputusan khususnya dalam rangka perlindungan terhadap pemegang saham minoritas dan pihak-pihak lain yang terkait. Hal ini menunjukan bahwa keberadaan komisaris independen pada suatu perusahaan dapat mempengaruhi integritas suatu laporan keuangan yang dihasilkan oleh manajemen. Jika perusahaan memiliki komisaris independen maka laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen cenderung lebih terintegritas, karena
21
didalam perusahaan terdapat badan yang mengawasi dan melindungi hak pihak-pihak diluar manajemen perusahaan (Susiana dan Herawaty, 2007). d) Komite Audit Secara teori, komite audit dapat meningkatkan kredibilitas dari proses pelaporan keuangan dengan melakukan monitoring yang efektif (Emilliano, et al:2007). Komisaris independen mendelegasikan pertanggungjawaban untuk memonitoring laporan keuangan manajemen serta untuk proses audit dilakukan oleh komite audit. Dewan komisaris menetapkan sebuah komite audit harus terdiri dari anggota dewan komisaris. Terdapat kemungkinan dimana dewan komisaris akan merekrut pribadi dari luar perusahaan menjadi anggota komite audit dengan berbagai syarat seperti skills yang memungkinkan, pengalaman dan kualitas lainnya untuk mencpai semua pbjektif komite audit. Komite audit terdiri dari direksi yang independen dan auditor eksternal serta harus melaporkan kepada dewan komisaris (NCCG, 2001) Menurut Kep-29/PM/2004, Komite audit adalah komite yang dibentuk dewan komisaris untuk melakukan tugas pengawasan pengelolaan perusahaan. Komite audit adalah penghubung antara pihak pemegang saham dan dewan komisaris dan pihak manajemen dalam menangani masalah pengendalian. Peraturan tentang komite audit dikeluarkan oleh bapepam melalui SE-03/PM/2000, yang menyatakan bahwa komite audit harus memiliki sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang anggota, seorang diantaranya merupakan komisaris independen yang sekaligus merangkap sebagai komite audit, sedangkan anggota lainnya
22
merupakan pihak eksteren yang independen dimana sekurang-kurangnya satu diantaranya memiliki kemampuan di bidang akuntansi dan atau keuangan.
2.2
Hipotesis Penelitian Dalam hipotesis penelitian akan dibahas mengenai manajemen laba dan
merger / akuisisi serta good corporate governance dan manajemen laba. 2.2.1 Manajemen Laba dan Merger / Akuisisi Teori agensi jika dikaitkan dengan manajemen laba, teori agensi sangat berpengaruh pada maajemen laba. Teori agensi sangat rentan terhadap manipulasi laba. Manipulasi data atau manajemen laba yang bisa dilakukan manajemen adalah dengan perataan laba (income smoothing). Adanya pelaksanaan merger dan akuisisi, Darmasetya dan Sulaimin (2009) menyatakan bahwa terdapat suatu kondisi yang medukung adanya manajemen laba yang dilakukan oleh peerusahaan pengakuisisi. Pada situasi perusahaan ingin melakukan merger dan akuisisi dengan cara pembayaran lewat saham, pihak manajemen perusahaan pengakuisisi cenderung akan berusaha meningkatkan earning power perusahaan agar dapat menarik minat perusahaan target untuk melakukan akuisisi juga untuk meningkatkan harga saham perusahaan. Penelitian Rahman dan Bakar (2002) dalam Kusuma dan Sari (2003) telah membuktikan adanya manajemen laba melalui discretionary accrual pada perusahaan pengakuisisi sebelum merger dan akuisisi di Malaysia pada tahun sebelum akuisisi. Bukti adanya perataan laba tersebut memberikan kemungkinan bahwa perusahaan pengakuisisi ingin menunjukan power perusahaan agar menarik
23
perusahaan target, atau supaya harga saham perusahaan pengakuisisi meningkat sehingga dapat mengurangi pengeluaran untuk membeli perusahaan target (Kusuma dan Sari,2003). Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H1 : Terdapat manajemen laba pada perusahaan pengakuisisi sebelum pelaksanaan merger dan akuisisi.
2.2.2 Good Corporate Governance dan Manajemen Laba Perusahaan yang menerapkan corporate governance dengan baik maka akan meningkatkan kualitas laporan keuangan. Dengan adanya good corporate governance yang di terapkan secara konsisten dapat menjadi penghambat dan mengurangi penyimpangan yang mengakibatkan laporan keuangan tidak menggambarkan fundamental perusahaan. Dari hal tersebut mengakibatkan perusahaan akan mempunyai kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, komite audit dan dewan komisaris independen yang nantinya melakukan pengawasan dan pengendalian untuk menciptakan keadilan, transparansi, akuntabilitas, dan responsibilitas sehingga laporan keuangan yang dihasilkan menjadi lebih berkualitas. Wedari (2004) menyimpulkan bahwa komisaris independen berpengaruh negatif dan signifikan terhadap discretionary accruals. Sedangkan Penelitian Astuti (2010) dalam Suryo Adrianto (2012) menyatakan bahwa perusahaan yang menyelenggarakan sistem CG diyakini akan membatasi pengolahan laba yang
24
opertunis. Oleh sebab itu, semakain tinggi proporsi komisaris independen maka semakain kecil kemungkinan manajemen laba dilakukan. Berdasarkan penelitian sebelumnya maka penelitian ini kembali dilakukan dengan memperluas variabel penelitian, dan periode yang berbeda. Peran good corporate governance seharusnya juga dapat menekan terjadinya manajemen laba yang terjadi di perusahaan pengakuisisi sebelum merger dan akuisisi. Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah: H2 : Good corporate governance berpengaruh negatif pada manajemen laba perusahaan pengakuisisi.
25