BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori Pada bab ini akan dibahas lebih mendalam mengenai teori-teori dan pendekatan-pendekatan yang menjelaskan pengertian Belanja Modal, Fiscal Stress, Dana Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak, dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta teori-teori yang menjelaskan hubungan antara variabel tersebut yang berupa hasil penemuan terdahulu yang menjadi landasan teori dan sebagai acuan dalam pemecahan masalah yang sedang diteliti. 2.1.1. Belanja Modal Menurut Halim (2004: 73), “Belanja Modal merupakan belanja pemerintah daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada Kelompok Belanja Administrasi Umum”. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 53 ayat 1 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Belanja Modal merupakan pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/ pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan. Belanja Modal ini digunakan untuk kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Syaiful (2007 : 2-3), Belanja Modal dapat dikategorikan dalam 5 (lima) kategori utama. a.
Belanja Modal Tanah Belanja Modal Tanah merupakan pengeluaran/biaya atas pengadaan/ pembelian/ pembebasan, penyelesaian, balik nama dan sewa tanah, pengosongan, pengurugan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat dan pengeluaran lainnya sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dimaksud dalam kondisi siap pakai.
b.
Belanja Modal Peralatan dan Mesin Belanja Modal Peralatan dan Mesin merupakan pengeluaran/ biaya atas pengadaan/ penambahan/ penggantian, dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin serta inventaris kantor yang memberikan manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan dan sampai peralatan dan mesin dimaksud dalam kondisi siap pakai.
c.
Belanja Modal Gedung dan Bangunan Belanja Modal Gedung dan Bangunan merupakan pengeluaran/ biaya atas pengadaan/ penambahan/ penggantian, termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan pembangunan gedung dan bangunan yang menambah kapasitas sampai gedung dan bangunan dimaksud dalam kondisi siap pakai.
Universitas Sumatera Utara
d.
Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan merupakan pengeluaran/ biaya atas pengadaan/ penambahan/ penggantian/ peningkatan, pembangunan/ pembuatan serta perawatan dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan jalan irigasi dan jaringan yang menambah kapasitas sampai jalan irigasi dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap pakai.
e.
Belanja Modal Fisik Lainnya Belanja Modal Fisik Lainnya merupakan pengeluaran/ biaya atas pegadaan/ penambahan/ penggantian/ peningkatan pembangunan/ pembuatan serta perawatan terhadap fisik lainya yang tidak dapat dikategorikan dalam kriteria belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, dan jalan irigasi dan jaringan termasuk dalam belanja ini adalah belanja kontrak sewa beli, pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang untuk museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku dan jurnal ilmiah.
2.1.2. Fiscal Stress Adi (2007), menyatakan bahwa Lahirnya otonomi daerah tahun 2001 memiliki 2 (dua) persepsi yaitu disatu sisi memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah, namun disisi lain memberikan implikasi tanggung jawab yang lebih besar bagi pemerintah daerah dalam upaya peningkatan kesejahteraan
Universitas Sumatera Utara
masyarakat. Kemandirian untuk mengelola dan mengatur rumah tangga sendiri akan terwujud dengan baik apabila terdapat dukungan (partisipasi) publik. Kemandirian yang merupakan tujuan otonomi dapat terwujud apabila proses distribusi baik pada kebutuhan masyarakat maupun perolehan serta pembagian pendapatan untuk daerah dan masyarakat secara merata. Meskipun memberikan manfaat positif bagi pengembangan daerah, kebijakan otonomi dinilai terlalu cepat dilakukan, terlebih ditengah-tengah upaya daerah melepaskan diri dari belenggu krisis moneter dan ketidaksiapan pemerintah daerah mengaplikasikan otonomi daerah baik dari sisi wawasan, sumber daya manusia, kapasitas kelembagaan, maupun kemampuan mengelola keuangan daerahnya. Brodjonegoro (2003) menegaskan, bahwa pelaksanaan otonomi dinilai sebagai penerapan pendekatan Big Bang dikarenakan pendeknya waktu persiapan untuk negara yang besar dengan kondisi geografis yang cukup menyulitkan. Otonomi daerah dilaksanakan pada saat daerah mempunyai tingkat kesiapan yang berbeda, baik dari segi sumber daya maupun kemampuan manajerian daerah. Adi (2005), menunjukkan adanya disparitas (kapasitas) fiskal yang tinggi antar daerah memasuki era otonomi. Ada beberapa daerah tergolong sebagai daerah yang beruntung karena memiliki sumber-sumber penerimaan yang potensial, yang berasal dari pajak, retribusi daerah, maupun ketersediaan sumber daya alam yang memadai yang dapat dijadikan sumber penerimaan daerah. Hal ini berarti Pendapatan Asli Daerah tersebut cukup tinggi sehingga kebutuhan daerah tersebut dapat terpenuhi dan ketergantungan
Universitas Sumatera Utara
daerah terhadap dana perimbangan dapat dibatasi. Namun disisi lain, bagi beberapa daerah, otonomi bisa jadi menimbulkan persoalan tersendiri mengingat adanya tuntutan untuk meningkatkan kemandirian daerah. Daerah mengalami peningkatan tekanan fiskal (fiscal stress) yang lebih tinggi dibanding era sebelum otonomi. Daerah dituntut untuk mengoptimalkan setiap potensi maupun kapasitas fiskalnya dalam rangka untuk mengurangi tingkat ketergantungan terhadap Dana Perimbangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah. Dongori (2006), menyatakan bahwa dampak diberlakukannya UndangUndang Otonomi Daerah dan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang membatasi pungutan pajak daerah dapat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap penerimaan daerah. Ketersediaan sumber-sumber daya potensial dan kesiapan daerah menjadi faktor penting keberhasilan daerah dalam era otonomi ini. Keuangan daerah, terutama pada sisi penerimaan bisa menjadi tidak stabil dalam memasuki era otonomi ini. Di sisi lain, Andayani (2004) mengemukakan bahwa terjadinya krisis keuangan disebabkan tidak cukupnya penerimaan atau pendapatan dalam memenuhi kebutuhan pengeluaran. Daerah-daerah yang tidak memiliki kesiapan memasuki era otonomi bisa mengalami hal yang sama, tekanan fiskal (fiscal stress) menjadi semakin tinggi dikarenakan adanya tuntutan peningkatan kemandirian yang ditunjukkan dengan meningkatnya penerimaan sendiri untuk membiayai berbagai pengeluaran yang ada.
Universitas Sumatera Utara
Shamsub & Akoto (2004) mengelompokkan penyebab timbulnya fiscal stress ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu: 1. Menekankan bahwa peran siklus ekonomi dapat menyebabkan fiscal stress. Penyebab utama terjadinya fiscal stress adalah kondisi ekonomi seperti pertumbuhan yang menurun dan resesi. 2. Menekankan bahwa ketiadaan perangsang bisnis dan kemunduran industri sebagai penyebab utama timbulnya fiscal stress. Kemunduran industri menjadikan berkurangnya hasil pajak tetapi pelayanan jasa meningkat, hal ini dapat menyebabkan fiscal stress. 3. Menerangkan fiscal stress sebagai fungsi politik dan faktor-faktor keuangan yang tidak terkontrol. Shamsub & Akoto (2004) menunjukkan bahwa sebagian dari peran ketidakefisienan birokrasi, korupsi, gaji yang tinggi untuk pegawai, dan tingginya belanja untuk kesejahteraan sebagai penyebab fiscal stress. 2.1.3. Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil Bukan Pajak Otonomi daerah hingga saat ini masih memberikan berbagai permasalahan. Kondisi geografis dan kekayaan alam yang beragam, differensial potensi daerah, yang menciptakan perbedaan kemampuan finansial untuk memenuhi kebutuhannya, atau yang biasa disebut fiscal gap (celah fiskal). Pemerintah pusat dalam undangundang No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, mengalokasikan sejumlah dana dari APBN sebagai dana perimbangan yaitu: Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH).
Universitas Sumatera Utara
Halim (2002), menjelaskan bahwa Dana Perimbangan merupakan dana yang bersumber dari penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah. Dana Perimbangan dipisahkan menjadi 5 (lima) jenis, yaitu: 1.
Bagi Hasil Pajak, terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Pajak Penghasilan pasal 21.
2.
Bagi Hasil Bukan Pajak, terdiri atas Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), pemberian hak atas tanah negara, landrent, dan penerimaan dari iuran eksplorasi.
3.
Dana Alokasi Umum DAU adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Estimasi untuk perhitungan anggaran DAU dihitung berdasarkan UU No. 25 Tahun 1999 dan PP No. 104 Tahun 2000.
4.
Dana Alokasi Khusus DAK adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu. Berdasarkan pasal 19 ayat 1 PP No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan, disebutkan bahwa Dana Alokasi Khusus dapat dialokasikan dari APBN kepada daerah tertentu untuk membantu membiayai kebutuhan khusus, dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN.
5.
Dana Darurat, terdiri atas Dana Kontingensi.
Universitas Sumatera Utara
2.1.4. Pendapatan Asli Daerah Halim (2002), menyatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Adapun kelompok pendapatan asli daerah dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, yaitu: 1.
Pajak Daerah. Pajak Daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari pajak.
2.
Retribusi Daerah. Retribusi Daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari retribusi daerah. Dalam struktur APBD baru dengan pendekatan kinerja, jenis pendapatan yang berasal dari pajak daerah dan restribusi daerah berdasarkan UU No.34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Rertibusi Daerah, dirinci menjadi: a. Pajak Provinsi. Pajak ini terdiri atas: (i) Pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, (ii) Bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) dan kendaraan di atas air, (iii) Pajak bahan bakar kendaran bermotor, dan (iv) Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan. b.
Jenis pajak Kabupaten/kota. Pajak ini terdiri atas: (i) Pajak Hotel, (ii) Pajak Restoran, (iii) Pajak Hiburan, (iv) Pajak Reklame, (v) Pajak penerangan Jalan, (vi) Pajak pegambilan Bahan Galian Golongan C, (vii) Pajak Parkir.
Universitas Sumatera Utara
c.
Retribusi. Retribusi ini dirinci menjadi: (i) Retribusi Jasa Umum, (ii) Retribusi Jasa Usaha, (iii) Retribusi Perijinan Tertentu.
3.
Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan merupakan penerimaan daerah yang berasal dari hasil perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Jenis pendapatan ini meliputi objek pendapatan berikut: a. Bagian laba perusahaan milik daerah. b.
Bagian laba lembaga keuangan bank.
c. Bagian laba lembaga keuangan non bank. d. 4.
Bagian laba atas pernyataan modal/investasi.
Lain-lain PAD yang sah. Pendapatan ini merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik pemerintah daerah. Jenis pendapatan ini meliputi objek pendapatan berikut: a.
Hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan.
b.
Penerimaan jasa giro.
c.
Peneriman bunga deposito.
d.
Denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan.
e.
Penerimaan ganti rugi atas kerugian/kehilangan kekayaan daerah (TP-TGR/ Tim Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi).
Universitas Sumatera Utara
2.2. Review Penelitian Terdahulu (Theoritical Mapping) 1.
Adi (2006) Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara pertumbuhan ekonomi daerah, belanja pembangunan dan pendapatan asli daerah. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi daerah mempunyai dampak yang signifikan terhadap peningkatan PAD. Dan Belanja pembangunan memberikan dampak positif dan signifikan terhadap PAD dan pertumbuhan ekonomi.
2.
Husni (2011) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh DAU dan DAK terhadap peningkatan PAD dengan Belanja Modal sebagai variabel intervening yang merupakan studi empiris yang dilakukan di Kabupaten/ Kota Provinsi Aceh. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Dana Alokasi Khusus berkontribusi signifikan sedangkan Dana Alokasi Umum dan tidak terhadap belanja modal. Pada lag satu tahun, Dana Alokasi Umum, belanja modal berkontribusi signifikan sedangkan Dana Alokasi Khusus dan tidak terhadap Peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Pada lag dua tahun Dana Alokasi Umum, belanja modal berkontribusi signifikan terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah sedangkan Dana Alokasi Khusus tidak. Pada lag tiga tahun, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan belanja modal berkontribusi signifikan terhadap Peningkatan Pendapatan Asli Daerah.
Universitas Sumatera Utara
3.
Frelistiyani (2010) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh DAU terhadap PAD dengan Belanja Modal sebagai variabel intervening. Hasil dari penelitian ini menunjukkan DAU mempunyai pengaruh positif terhadap belanja modal dan juga DAU dan belanja modal mempunyai pengaruh positif terhadap PAD. Hal ini berarti keputusan pemerintah untuk mengalokasikan belanja modal yang lebih besar untuk mendukung pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan PAD.
4.
Batubara (2009) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh Belanja Modal dan Belanja Pemeliharaan untuk pelayanan publik terhadap Realisasi PAD pada Pemerintah Kabupaten/ Kota di Provinsi Sumatera Utara. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa baik secara parsial dan simultan Belanja Modal dan Belanja Pemeliharaan berpengaruh terhadap Realisasi PAD.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Review Penelitian Terdahulu
No
Nama dan Tahun
Judul Penelitian
Peneliti
Variabel yang Digunakan
Hasil yang Diperoleh
1
Adi Priyo Hari (2006)
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi daerah, belanja pembangunan dan pendapatan asli daerah
Pertumbuhan ekonomi daerah, belanja pembangunan, Pendapatan Asli Daerah (PAD)
2
Husni Hasrina (2011)
Pengaruh DAU, DAK terhadap Peningkatan PAD dengan Belanja Modal sebagai variabel studi intervening empiris di Kabupaten/ Kota Provinsi Aceh
DAU, DAK, Belanja Modal, PAD
3
Frelistiyani Winda (2010)
Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap PAD dengan Belanja Modal sebagai variabel intervening
DAU, Belanja Modal, dan PAD
Pertumbuhan ekonomi daerah mempunyai dampak yang signifikan terhadap peningkatan PAD. Belanja pembangunan memberikan dampak positif dan signifikan terhadap PAD dan pertumbuhan ekonomi. Dana Alokasi Khusus berkontribusi signifikan sedangkan Dana Alokasi Umum tidak terhadap belanja modal. Pada lag satu tahun, Dana Alokasi Umum, belanja modal berkontribusi signifikan sedangkan Dana Alokasi Khusus tidak terhadap Peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Pada lag dua tahun Dana Alokasi Umum, belanja modal berkontribusi signifikan terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah sedangkan Dana Alokasi Khusus tidak. Pada lag tiga tahun, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan belanja modal berkontribusi signifikan terhadap Peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Hasil pengujian menemukan bahwa DAU mempunyai pengaruh positif terhadap belanja modal dan juga DAU dan belanja modal mempunyai pengaruh positif terhadap PAD. Hal ini berarti keputusan pemerintah untuk mengalokasikan belanja modal yang lebih besar untuk mendukung pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan PAD.
Universitas Sumatera Utara
Lanjutan Tabel 2.1 4
Batubara Jansen (2009)
Pengaruh Belanja Modal dan Belanja Pemeliharaan untuk pelayanan publik terhadap Realisasi PAD pada Pemerintah Kabupaten/ Kota di Provinsi Sumatera Utara
Belanja Modal, Belanja Pemeliharaan, dan PAD
Hasil analisis menunjukkan bahwa baik secara parsial dan simultan Belanja Modal dan Belanja Pemeliharaan berpengaruh terhadap Realisasi PAD.
Universitas Sumatera Utara