BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dibahas mengenai Literasi Sains dan Teknologi, Pembelajaran Literasi Sains dan Teknologi, Penilaian Literasi Sains dan Teknologi, dan Tinjauan Materi pelajaran tentang “Partikel materi”.
A. Literasi Sains dan Teknologi (Scientific and Technological literacy -STL) 1.
Pengertian Umum Secara harfiah literasi berasal dari kata literacy yang berarti melek huruf
atau gerakan pemberantasan buta huruf. Sedangkan istilah sains berasal dari bahasa Inggris science yang diambil dari bahasa latin sciencia yang berarti pengetahuan (Echols dan Shadily, 2000). De Hart Hurt menyatakan bahwa literasi sains (scientific literacy) berarti memahami sains dan aplikasinya bagi kebutuhan masyarakat (dalam Fitriyanti, 2007). Sedangkan menurut PISA Nasional 2006 literasi sains didefinisikan sebagai
kemampuan
menggunakan
pengetahuan
sains,
mengidentifikasi
pertanyaan, dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti, dalam rangka memahami serta membuat keputusan berkenaan dengan alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia. Definisi literasi sains ini memandang literasi sains bersifat multidimensional, bukan hanya pemahaman terhadap pengetahuan sains, melainkan lebih luas dari itu (Firman, 2007). Bagian yang tak dapat dipisahkan dari sains adalah teknologi. Perkembangan teknologi dilandasi oleh sains sedangkan teknologi itu sendiri
7
8
menunjang perkembangan sains, terutama digunakan untuk aktivitas penemuan dalam upaya memperoleh penjelasan tentang obyek dan fenomena alam. Secara ringkas Widyatiningtyas (2008) mengatakan bahwa teknologi merupakan suatu perangkat keras ataupun perangkat lunak yang digunakan untuk memecahkan masalah bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Literasis sains dan teknologi (scientifict and technological literacy) yaitu kemampuan membaca, menulis dan berkomunikasi tentang sains dan teknologi. Pada dasarnya seseorang yang memiliki literasi sains dan teknologi akan dapat memahami konsep-konsep sains, kemampuan mengelola produk-produk sains teknologi, kreatif membuat hasil teknologi tepat guna, dapat menyelesaikan masalah dengan menggunakan konsep-konsep sains dan teknologi, serta mampu mengambil keputusan berdasarkan nilai (Poedjiadi dalam Adianti, 2008). Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa literasi sains dan teknologi ialah kemampuan mengenal hasil teknologi beserta dampaknya, kemampuan menggunakan produk teknologi dan memeliharanya, kemampuan menyelesaikan masalah dengan menggunakan konsep sains, kemampuan membuat hasil rekayasa teknologi yang disederhanakan, serta kemampuan menganalisa fenomena kejadian berdasarkan konsep IPA (Poedjiadi dalam Adianti, 2008). Dalam literasi sains terdapat berbagai kompetensi dalam setiap domain (pengetahuan, keterampilan, serta sikap dan nilai) yang saling berhubungan dan saling mendukung dalam mewujudkan literasi sains yang utuh. Rumusan kompetensi dalam literasi sains tersebut dihasilkan berdasarkan diskusi yang
9
dilakukan kelompok IPN (institüt für pädagogik der Naturwiscenschaft) (dalam Nurhatati, 2008). Seperti dapat dilihat pada gambar berikut:
Pengetahuan
Nilai dan sikap
Kompetensi Mata Pelajaran Kompetensi Epistemologi
Kompetensi Etika
Literasi Sains
Kompetensi Belajar Kompetensi Komunikasi
Kompetensi Sosial
Kompetensi Prosedural
Keterampilan
Gambar 2.1 Model pembagian komponen dalam literasi sains PISA-OECD (dalam Firman, 2007) mengemukakan seseorang yang literat sains memiliki pengetahuan dan pemahaman konsep fundamental sains, keterampilan
melakukan
proses
penyelidikan
sains,
serta
menerapkan
pengetahuan, pemahaman serta keterampilan tersebut dalam berbagai konteks secara luas. Literasi sains juga menuntut kemampuan menggunakan proses
10
penyelidikan sains, seperti mengidentifikasi bukti-bukti yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan ilmiah, dan mengenal permasalahan yang dapat dipecahkan melalui penyelidikan ilmiah. PISA
mengidentifikasi
tiga
dimensi
besar
literasi
sains
dalam
pengukurannya, yakni proses sains, konten sains, dan konteks aplikasi sains. Konten sains merujuk kepada konsep-konsep kunci yang diperlukan untuk memahami fenomena alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia. Proses sains merujuk pada proses mental yang terlibat ketika menjawab pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti mengidentifikasi dan menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan. Konteks aplikasi sains merujuk pada situasi dalam kehidupan sehari-hari yang menjadi lahan bagi aplikasi proses dan pemahaman konsep sains, seperti misalnya kesehatan dan gizi dalam konteks pribadi dan iklim dalam konteks global (Rustaman et al., 2004).
2.
Keterampilan Proses Sains (KPS) Sains (IPA) merupakan bagian kehidupan manusia dari sejak manusia itu
mengenal diri dan alam sekitarnya. Manusia dan lingkungan hidupnya merupakan sumber, obyek, serta subyek sains. Secara sederhana, sains merupakan pengalaman individu manusia yang oleh masing-masing individu itu dirasakan atau dimaknai berbeda atau sama. Sains dapat berupa produk (konsep, prinsip, teori, atau hukum), berupa proses (langkah-langkah sistematik dalam menemukan produk), dan dapat juga berupa sikap (teliti, jujur, objektif, dan lain-lain). Konsep, prinsip, teori atau hukum dalam sains yang diaplikasikan dalam bentuk
11
metode/cara/teknik melakukan sesuatu, atau dalam bentuk alat yang memudahkan manusia disebut teknologi (Depdiknas, 2003). Jika sains mengandung empat hal seperti di atas, maka ketika belajar sains pun siswa perlu mengalami ke empat hal tersebut. Dalam belajar sains siswa seyogianya tidak hanya belajar produk saja, tetapi juga harus belajar aspek proses, sikap, dan teknologi agar siswa dapat benar-benar memahami sains secara utuh. Karena itu dalam menyiapkan pengalaman belajar bagi siswanya seyogianya tidak hanya menekankan produk semata tetapi juga kepada aspek proses, sikap, dan keterkaitannya dengan kehidupan sehari-hari (Rustaman, 2003). Sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa terdapat kaitan yang erat antara pandangan tentang sains dan pandangan tentang belajar. Dari penelitianpenelitian tersebut terungkap bahwa sains merupakan sekumpulan pengetahuan atau body of knowledge. Sebagai body of knowledge sains bersisi kumpulan fakta hasil observasi dan penelitian yang menjelaskan apa, mengapa, dan bagaimana suatu fenomena terjadi. R.B Sund (Suriaty dalam Cartono, 2007) menyatakan bahwa “Science is both a body of knowledge and aprocesy” dilihat dari kalimat ini maka jelaslah bahwa yang dimaksud sains (IPA) adalah kumpulan dari pengetahuan (fakta, konsep, proses dan lain-lain). Dan bagaimana proses untuk mendapatkan pengetahuan itu. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini menghasilkan banyak konsep yang harus dipelajari anak didik melalui pembelajaran, sedangkan guru tidak mungkin lagi mengajarkan banyak konsep kepada siswa . Salah satu
12
alternatif yang dikembangkan dalam pembelajaran yaitu dengan pendekatan keterampilan proses. Keterampilan proses melibatkan keterampilan-keterampilan kognitif atau intelektual, manual, dan sosial. Keterampilan kognitif atau intelektual terlibat karena dengan melakukan keterampilan proses siswa menggunakan pikirannya. Keterampilan manual jelas terlibat dalam keterampilan proses karena mungkin mereka melibatkan penggunaan alat, bahan, pengukuran, penyusunan atau perakitan alat. Dengan keterampilan sosial dimaksudkan bahwa mereka berinteraksi dengan sesamanya dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar dengan keterampilan proses,
misalnya mendiskusikan hasil pengamatan
(Rustaman, 2003). Dalam pedagogi kimia, kemampuan kerja ilmiah dipandang sebagai kumpulan dari keterampilan proses (process skills). Keterampilan proses adalah keterampilan berfikir (thinking skills) yang dipakai ilmuan dalam melakukan penyelidikan ilmiah (Firman, 2007). Dalam penelitian ini, keterampilan proses yang digunakan mengacu pada jenis keterampilan proses yang dikemukakan oleh Firman, (1991) bahwa keterampilan proses mencakup antara lain: mengamati (observing), menafsirkan (interpretaing), meramalkan (predicting), menggunakan konsep (using concept), merancang penelitian (designing an investigation), serta mengkomunikasikan (comunicating).
13
2.1 Deskripsi Keterampilan Proses Sains 1. Mengamati atau Observasi Mengamati ialah melakukan pengumpulan data dengan menggunakan inderanya, termasuk ke dalamnya mengenali sifat obyek, membanding secara kualitatif dan kuantitatif obyek/peristiwa, mendeskripsikan hasil suatu interaksi, menggunakan instrumen sebagai ekstensi dari indera (Firman, 2007). Kemampuan mengamati merupakan kemampuan keterampilan paling dasar dalam proses dan memperoleh ilmu pengetahuan serta merupakan hal terpenting untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan proses yang lain. Melalui obervasi kita mengumpulkan data tentang tanggapan-tanggapan kita (Funk, 1985, Gage dan Berliner dalam Carrtono, 2007). Suriaty (dalam Cartono, 2007) mengemukakan bahwa mengamati merupakan suatu kemampuan menggunakan semua indera yang harus dimiliki oleh setiap orang. Pada saat melakukan pengamatan, fakta-fakta yang dilihat dipisah-pisahkan, mana yang berhubungan dengan tujuan pengamatan, atau menseleksi
faktor-faktor
untuk
menafsirkan
peristiwa
tertentu
dengan
membandingkan hal-hal yang diamati, berkembang untuk mencari persamaan dan perbedaan. Berdasarkan sifatnya keterampilan observasi dibagi menjadi observasi kualitatif dan observasi kuantitatif (Subiyanto dalam Cartono, 2007). Observasi kualitatif apabila dilakukan secara langsung hanya dengan indera untuk memperoleh informasi. Contoh kegiatan mengamati yang bersifat kualitatif ialah
14
menentukan warna (penglihatan), membedakan bau (penciuman), dan lain sebagainya. Observasi yang bersifat kuantitatif apabila dalam pelaksanaannya selain menggunakan panca indera, juga menggunakan peralatan lain yang memberikan informasi khusus dan tepat. 2. Menafsirkan Menafsirkan ialah menarik kesimpulan tentatife dari data yang tercatat, termasuk ke dalamnya menemukan pola hubungan dari seperangkat data yang dikumpulkan; membedakan pernyataan yang menunjukkan kesimpulan dari pernyataan yang hanya mendeskripsikan hasil pengamatan; memilih data yang menunjang suatu kesimpulan (Firman, 2007). 3. Meramalkan Memprediksi berdasarkan interpolasi dan ekstrapolasi, memprediksi berdasarkan pola-pola yang berulang (Firman, 2007). Ramalan dalam IPA ialah prakiraan yang didasarkan pada hasil pengamatan yang reliabel. Ramalan berarti pula mengemukakan apa yang mungkin terjadi pada keadaan yang belum diamati berdasarkan penggunaak pola yang ditemukan sebagai hasil pengamatan (Firman, 1991). Menurut
Cartono
(2007)
memprediksi
dapat
diartikan
sebagai
mengantisipasi atau membuat ramalan tentang segala hal yang akan terjadi pada waktu mendatang, berdasarkan perkiraan pada pola atau kecenderungan tertentu, atau hubungan antara fakta, konsep, dan prinsip dalam ilmu pengetahuan.
15
4. Menerapkan Konsep Menerapkan
konsep
ialah
menggunakan
generalisasi
yang
telah
dipelajarinya pada situasi baru, atau untuk menerangkan kasus nyata
yang
diamatinya (Firman, 2007). 5. Merencanakan Penelitian Merencanakan penelitian ialah merancang kegiatan yang dilakukan untuk menguji hipotesis, yang meliputi pengenalan variable: variable penelitian, variable tergantung, variable yang tidak mempengaruhi hasil, variable yang dibuat konstan; penentuan cara pengamatan dan pengukuran apa yang perlu dilakukan; bagaimana menarik kesimpulan dari hasil pengamatan (Firman, 2007). Merancang penelitian dapat diartikan sebagai suatu kegiatan untuk mendeskripsikan variable-variabel yang dimanipulasi dan direspon dalam penelitian secara operasional, kemungkinan dikontrolnya variable hipotesis yang diuji dan cara menhujinya, serta hasil yang diharapkan dari penelitian yang akan dilaksanakan (Cartono, 2007) 6. Mengkomunikasikan Mengkomunikasikan ialah menyampaikan gagasan atau temuan kepada orang lain secara lisan, verbal (laporan), maupun piktoral (grafis, bagan, diagramatis, table, dan lain-lain) (Firman, 2007). Menurut Cartono (2007) menyatakan bahwa mengkomunikasikan dapat diartikan sebagai menyampaikan
16
fakta, konsep, dan prinsip ilmu pengetahuan dalam bentuk suara, visual, atau suara visual. Lebih lanjut menurut Suriaty (dalam Cartono, 2007) keterampilan berkomunikasi yang dimaksud dalam PBM adalah komunikasi siswa terhadap guru dan antar sesame siswa secara lisan, selama melakukan percobaan, pengamatan atau keterampilan proses lain. Setiap keterampilan proses memiliki indicator-indikator yang dapat digunakan
sebagai
rambu-rambu
untuk
mengukur
tingkst
kemampuan
keterampilan proses siswa. Secara rinci Dahar (dalam Cartono, 2007) membagi indiator-indikator keterampilan proses seperti pada tabel 2.1 di bawah ini:
17
Tabel 2.1 Aspek Keterampilan proses sains dan indikator-indikatornya No urut 1.
Aspek KPS Mengamati
Indikator a. Menggunakan sebanyak mungkin indera. b. Mengumpulkan/menggunakan fakta-fakta yang relevan. c. Mencari kesamaan dan perbedaan.
2.
Mengelompokkan/Klasif ikasi
a. Mencatat setiap pengamatan secara terpisah. b. Mencari persamaan, perbedaan. c. Mengkontraskan cirri-ciri. d. Membandingkan. e. Mencari dasar pengelompokkan. f. Menghubungkan hasil-hasil pengamatan.
3.
Menafsirkan/Interfretasi
a. Mencatat setiap pengamatan secara terpisah. b. Menghubungkan hasil-hasil pengamatan. c. Menemukan pengamatan.
suatu
pola
dalam
satu
seri
d. Menarik kesimpulan. 4.
Berkomunikasi
a. Memberikan hasil pengamatan. b. Menyusun dan menyampaikan laporan secara sistematis dan jelas. c. Menjelaskan hasil percobaan/penelitian. d. Mendiskusikan hasil pengamatan. e. Menggambarkan data dengan grafik, tabel, atau diagram. f. Membaca grafik, tabel atau diagram.
18
B. Pembelajaran Berbasis Sains dan Teknologi Pembelajaran berbasis Science Technology Literacy (STL) merupakan pengembangan dari pembelajaran Science Technology Society (STS) yang selain telah mengaitkan isu-isu sosial masyarakat ke dalam pembelajaran juga telah melibatkan pembuatan keputusan berbasis sosio-ilmiah. Karena menurut Holbrook (1998), meskipun pembelajaran dengan pendekatan STS telah menyertakan pula nilai-nilai masalah sosial ke dalam pembelajaran sains, namun relevansinya masih menjadi keraguan banyak pihak. Ada hal lain yang perlu dipertimbangkan, yakni membuat keputusan rasional berbasis sains ke dalam masalah sosial tersebut (Rannikmae dalam Holbrook 1998). Hal ini sesuai dengan pendapat Arifin (2003) bahwa dalam menghadapi perkembangan sains dan teknologi diperlukan berbagai kemampuan khusus diantaranya adalah pemahaman sains berikut relevansinya dalam kehidupan sehari-hari dan kemampuan mengambil keputusan dengan pendekatan sosio-ilmiah. Pembelajaran berbasis STL merupakan pembelajaran yang didasarkan pada pengembangan kemampuan pengetahuan sains di berbagai sendi kehidupan, mencari solusi permasalahan, membuat keputusan, dan meningkatkan kualitas hidup (Holbrook dan Rannikmae dalam Holbrook, 1998). Tujuan pengembangan STL adalah mengembangkan kemampuan kreatif dengan menggunakan pengetahuan berikut cara kerjanya di dalam kehidupan sehari-hari dan untuk memecahkan masalah serta membuat keputusan yang dapat meningkatkan mutu kehidupan (Holbrook dan Rannikmae dalam Holbrook 1998). Hal ini dimaksudkan
untuk
memperoleh
kemampuan
intelektual
yang
meliputi
19
keterampilan
yang berhubungan dengan pendidikan, sikap komunikatif,
bermasyarakat dan interdisipliner pengetahuan (Holbrook, 2005). Karakteristik STL adalah: 1. STL lebih dari sekedar pengetahuan dan sarana pengetahuan. 2. STL lebih dari sekedar aplikasi sains dan teknologi atau pengembangan sikap positif terhadap sains dan teknologi. (Hoolbrook, 1998) Untuk dapat memahami dengan lebih baik keterkaitan pembelajaran sains dengan isu-isu di masyarakat, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan yaitu: keterkaitan filosofi pendidikan sains yang relevan, keterkaitan kurikulum yang relevan, keterkaitan pendekatan pengajar yang relevan dengan pengajaran sains di sekolah, keterkaitan penilaian yang relevan dengan strategi-strategi evaluasi, dan keterkaitan dengan pengembangan profesional yang relevan bagi guru-guru (Holbrook, 2005). Selain memberikan paduan dalam hal pembelajaran berbasis STL, Holbrook (1998) pun memberikan panduan dalam penyusunan judul bahan ajar sebagai berikut: “Dalam pembuatan bahan ajar disarankan judul dalam bahan ajar tersebut dibuat dalam bentuk pertanyaan dan judul dikaitkan dengan isu-isu sosial yang dapat menunjang siswa dalam memahami konsep sains. Karena bahan ajar ini diharapkan dapat menghubungkan kondisi sosial dengan siswa.” Lebih jauh Nurhadi (2004) mengemukakan bahwa dengan memadukan materi pelajaran dengan isu-isu sosial dalam keseharian akan menghasilkan dasardasar pengetahuan yang mendalam bagi siswa. Dengan begitu mereka mampu secara mandiri menyelesaikan masalah-masalah baru dan belum pernah dihadapi dengan menggunakan pengetahuannya tersebut selain memiliki rasa tanggung jawab yang lebih terhadap belajar.
20
Filosofi pembelajaran STL adalah pembelajaran konsep sains yang merupakan sebuah komponen penting dari pendidikan sains yang memasukkan pula isu-isu sosial. Komponen konsep sains dalam pembelajaran berbasis STL ini merupakan faktor penting dalam pengambilan keputusan untuk pemecahan masalah dan membantu siswa dalam hal penyelesaian masalah. Untuk itu, dalam pembelajaran berbasis literasi sains dan teknologi ini diperkenalkan peta konsekuensi. Peta konsekuensi ini diawali dengan isu-isu sosial yang berkaitan dengan materi dan diakhiri dengan pengambilan keputusan guna melakukan tindakan yang tepat dalam usaha pemecahan masalah dari isu sosial yang ditampilkan sebelumnya. Isu-isu sosial tersebut dapat berasal dari berita-berita di koran, majalah, atau artikel. Menurut Holbrook (1998), pembelajaran berbasis STL ini mengikuti delapan kriteria filosofi STL, yakni: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Hasil belajar harus mengarah pada tujuan pendidikan Pengilustrasian strategi mengajar dapat dibuat dalam bentuk peta konsekuensi Pengajaran dengan memajukan konsep sains Pembelajaran dimulai dari perspektif sosial yang relevan dengan siswa Pembelajaran yang membangun dibentuk oleh pendekatan partisipasi siswa Para siswa terlibat secara aktif dalam pembelajaran yang berkaitan dengan hasil yang diharapkan Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan sosio-ilmiah dilakukan dengan melibatkan siswa Penilaian dilakukan selama dan setelah pembelajaran agar mendapatkan hasil pengukuran yang lebih relevan Dalam penerapannya, pembelajaran berbasis STL ini harus mengacu pada
tiga aspek pokok, sebagai berikut: a.
Berorientasi konteks dan menanamkan proses pembelajaran ke masalah autentik /sebenarnya (Vanderbilt, dalam Nentwig et al., 2002).
21
b.
Menggunakan metodologi pembelajaran yang “self-directed” dan “cooperative” (Dubs dalam Nentwig et al., 2002 ).
c.
Bertujuan pada pengembangan sejumlah konsep dasar sains. Agar pengetahuan lebih aplikatif dan bermakna di luar konteks pembelajaran maka harus dilakukan dekontekstualisasi (Greeno et al. dalam Nentwig et al., 2002). Perluasan konsep harus diringkas dari intisari pengetahuan. Hal ini dicapai dengan menggunakan konteks yang beragam. Problem yang sama diberikan dalam konteks yang berbeda sehingga dibutuhkan pengetahuan konseptual yang sama dalam pemecahannya (Vanderbilt dalam Nentwig et al., 2002). Menurut Holbrook (1998), pada pembelajaran STL terdapat sebuah tahap
yang merupakan ciri khas model pembelajaran literasi sains dan teknologi yaitu tahap membuat keputusan (decision making phase). Adapun Pelaksanaan pembelajaran literasi sains dan teknologi mengadopsi tahap-tahap pembelajaran berdasarkan proyek Chemie im Context dalam Nentwig et al. (2002) bahwa pembelajaran dapat dilakukan melalui tahapan berikut: a. Tahap Kontak (Contact Phase) Pada tahap ini dikemukakan isu-isu, masalah yang ada di masyarakat atau menggali berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar siswa dan mengaitkannya dengan materi yang akan dipelajari sehingga siswa menyadari pentingnya memahami materi tersebut. Topik yang dibahas dapat bersumber dari berita, artikel, atau pengalaman siswa sendiri. b. Tahap Kuriositi (Curiosity Phase)
22
Pada tahap ini dikemukakan pertanyaan-pertanyaan, dimana jawabannya membutuhkan pengetahuan kimia yang dapat mengundang rasa penasaran dan keingintahuan siswa. c. Tahap Elaborasi (Elaboration Phase) Pada tahap ini dilakukan eksplorasi, pembentukan dan pemantapan konsep sampai pertanyaan pada tahap kuriositi dapat terjawab. Eksplorasi, pembentukan dan pemantapan konsep tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode, misalnya ceramah bermakna, diskusi dan kegiatan praktikum, atau gabungan dari ketiganya. Melalui kegiatan inilah berbagai kemampuan siswa akan tergali lebih dalam, baik aspek pengetahuan, keterampilan proses, maupun nilai dan sikap. d. Tahap Pengambilan Keputusan (Decision Making Phase) Pada tahap ini dilakukan proses pengambilan keputusan berdasarkan buktibukti yang diperoleh. Menurut Holbrook (1998), bahwa salah satu tahap dalam pelaksanaan pembelajaran literasi sains dan teknologi adalah pembuatan keputusan (Making Decision). e. Tahap Nexus (Nexus Phase) Pada tahap ini dilakukan proses pengambilan intisari (konsep dasar) dari materi yang dipelajari, kemudian mengaplikasikannya pada konteks yang lain (dekontekstualisasi), artinya masalah yang sama diberikan dalam konteks yang berbeda dimana memerlukan konsep pengetahuan yang sama untuk pemecahannya (Nentwig et al., 2002). Tahap ini dilakukan agar pengetahuan yang diperoleh lebih aplikatif dan bermakna di luar konteks pembelajaran.
23
f. Tahap Evaluasi (Evaluation Phase) Pada tahap ini dilakukan evaluasi pembelajaran secara keseluruhan yang berguna untuk menilai keberhasilan belajar siswa. Evaluasi dilakukan bukan hanya untuk menilai aspek pengetahuan saja, tetapi juga aspek keterampilan proses dan konteks aplikasi sains.
C. Penilaian Literasi Sains Penialaian merupakan hal terpenting setelah pembelajaran. Tujuan utama pembelajaran berbasis literasi sains dan teknologi adalah memperoleh siswa yang literat terhadap sains dan teknologi dalam rangka memenuhi kebutuhan global yang kian meningkat. Program internasional yang dibentuk untuk menilai tingkat literasi sains dan teknologi siswa adalah PISA. PISA bertujuan untuk menilai pengetahuan dan kemampuan literasi membaca, matematika, dan sains siswa (Tola, 2008). Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam menilai tingkat literasi sains siswa. Pertama, asesmen literasi sains siswa tidak ditujukan untuk membedakan seseorang literat atau tidak. Kedua, pencapaian literasi sains merupakan proses yang kontinu dan terus menerus berkembang sepanjang hidup manusia (Solomon dan Thomas dalam Shwartz, 2006). Jadi, penilaian literasi sains selama pembelajaran di sekolah hanya melihat adanya “benih-benih literasi” dalam diri siswa, bukan mengukur secara mutlak tingkat literasi sains dan teknologi siswa (Shwartz, 2006).
24
Shen, Pella, Scribner, dan Shamos (dalam Shwartz, 2006) mengajukan tiga tingkat literasi sains, yakni: 1. Functional
literacy,
merujuk
pada
kemampuan
seseorang
untung
menggunakan konsep dalam kehidupan sehari-harinya yang berhubungan dengan kebutuhan dasar manusia seperti pangan, kesehatan, dan perlindungan. 2. Civic literacy, merujuk pada kemampuan seseorang untuk berpartisipasi secara bijak dalam bidang sosial mengenai isu yang berkenaan dengan sains dan teknologi. 3. Cultural literacy, mencakup kesadaran pada usaha ilmiah dan persepsi bahwa sains merupakan aktivitas intelektual yang utama. Lebih rinci Bybee dan BSCS (dalam Shwatz, 2006) dan Holbrook (1998) mengemukakan beberapa tingkatan dalam literasi sains yang lebih cocok dinilai dan diterapkan selama pembelajaran di sekolah karena kemudahannya untuk diterapkan pada tujuan instruksional. Beberapa tingkatan yang dimaksud adalah: 1. Scientific illiteracy: siswa tidak dapat merelasikan atau merespon dengan menggunakan alasan yang masuk akal dari berbagai pertanyaan sains dikarenakan mereka tidak memiliki istilah, konsep, konteks, ataupun kapasitas kognitif untuk mengidentifikasinya. 2. Nominal scientific literacy: siswa dapat mengenali dan merelasikan konsep, namun masih memungkinkan terjadinya miskonsepsi. 3. Functional scientific literacy: siswa dapat menggambarkan konsep dengan benar, tapi dengan keterbatasan pengetahuan mereka.
25
4. Conceptual scientific literacy: siswa mengembangkan pengetahuan dari skema konseptual mereka dan merelasikannya pada pengetahuan umum dari sains. Kemampuan prosedural dan pengetahuan mengenai proses penemuan dalam sains dan model teknologi tercakup kedalamnya. 5. Multidimensional scientific literacy: siswa memahami sains lebih dari sekedar konsep sains dan prosedur penelitian sains. Dengan kata lain siswa mengetahui dimensi lain – yang mencakup filosofi, sejarah, sosial – dari sains. Jadi pada tingkatan ini siswa mengembangkan pengetahuan mereka dan mengapresiasikan sains ke dalam kehidupan sehari-hari. Pada kenyataannya, tingkatan tertinggi dari literasi sains sangat sulit dicapai. Siswa dapat mencapai tingkatan tertinggi dari literasi sains hanya pada topik yang menurut mereka interest (Bybee, dalam Shwartz, 2006). PISA sebagai salah satu program dalam menilai literasi sains siswa membagi literasi sains ke dalam tiga domain dalam pengukurannya, yakni konten sains, proses sains, dan konteks aplikasi sains. Shwartz, et al. (2006) juga menambahkan aspek sikap kedalam domain literasi sains. Berdasarkan hal tersebut, maka penilaian literasi sains dalam PISA tidak hanya mengukur tingkat pemahaman terhadap pengetahuan sains, tetapi juga pemahaman terhadap berbagai aspek proses sains, serta kemampuan mengaplikasikan pengetahuan dan proses sains tersebut dalam situasi nyata yang dihadapi peserta didik (Firman, 2007). Sebagai tambahan, Shwartz, et al. (2006) juga menyarankan bahwa jenis penilaian yang harus dikembangkan dalam penilaian literasi sains adalah mampu mengukur kemampuan siswa dalam hal (a) pengetahuan konsep-konsep sains, (b)
26
definisi beberapa konsep kunci, (c) penggunaan konsep yang dimiliki dalam menjelaskan berbagai fenomena, dan (d) penggunaan pengetahuan sains dalam menganalisis teks atau artikel.
D. Konten dan Konteks Materi yang Dikembangkan 1. Konten Pembelajaran: Partikel Materi Bau harum yang dihasilkan bunga (Gambar 2.2) akan tercium dalam suatu ruangan. Hal ini karena partikel gas (pada bunga) akan berdifusi dalam udara kemudian larut dan tercium oleh hidung.
Gambar 2.2 (a) Gas bromin dalam botol tertutup dan (b) harum bunga yang dapat tercium oleh alat indra Partikel adalah bagian dari materi yang ukurannya paling kecil dan merupakan penyusun materi tersebut (misalnya atom, molekul, dan ion) (Mulyono, 2005). Partikel berukuran sangat kecil, sehingga tidak memungkinkan bagi kita memegangnya juga untuk melihatnya secara langsung. Meskipun demikian, dengan menggunakan mikroskop elektron dapat terlihat kumpulan partikel tersebut. Sebagai contoh, gambar berikut memperlihatkan gambar jarum
27
dan benangnya menggunakan mikroskop elektron dengan pembesaran 130 kali dan 60.000 kali (Depdiknas, 2003).
Gambar 2.3 Jarum dan benang dengan pembesaran yang beragam Materi didefinisikan sebagai segala sesuatu yang memiliki massa, menempati ruang, dan memiliki sifat dapat dilihat, dicium, didengar, diraba, atau dirasa (Mulyono, 2001). Konsep ruang menggambarkan bahwa materi memiliki tempat hunian yang dapat ditentukan dari volumenya. Konsep massa menunjukkan jumlah partikel yang dikandungnya (Sumarna, 2005). Gambar 2.2 menunjukkan peristiwa difusi yang terjadi baik pada gas bromin dengan udara dalam botol tertutup maupun bau harum pada bunga. Dua jenis zat cair atau gas yang dihubungkan secara perlahan akan bercampur sebagai hasil dari proses tersebut. Kemampuan pewangi untuk berdifusi dalam udara sekitar menyebabkan aroma parfum dapat tercium. Gerakan suatu zat sebagai hasil gerakan acak dari atom-atom atau molekul-molekulnya ke semua arah dalam suatu medium (pelarut) disebut difusi (Mulyono, 2006).
28
Peristiwa difusi dapat dijelaskan dengan Gambar 2.4 di bawah ini:
Molekul air
Kristal
Pergerakan partikel Kristal
partikel Kristal bergerak acak (ke semua arah) dalam pelarut (air)
Gambar 2.4 Peristiwa difusi molekul Pada gelas ke dua, patikel kristal (padat) bergerak secara acak dari atomatom atau molekul-molekulnya ke semua arah di dalam medium pelarut (air) sehingga secara perlahan ke duanya (kristal dan air) akan bercampur. Peristiwa serupa terjadi ketika proses pencampurkan pewarna ke dalam medium pelarut (air). Proses difusi dapat diamati di laboratorium, misalnya ke dalam larutan iodium berwarna ungu, yang terdapat dalam tabung reaksi dialirkan air melalui dinding tabung secara hati-hati dan perlahan, sehingga tidak terjadi aliran konveksi. Pertama bagian warna dari iodium terpisah dari air secara tajam, membentuk batas yang jelas. Selanjutnya, bagian atas menjadi berwarna, warna mengambil bagian ke arah atas, sedangkan bagian yang lebih bawah intensitas warnanya berkurang. Setelah sekian lama, seluruh larutan berwarna secara homogen. Peristiwa ini menjadi bukti terjadinya transfer molekul iodium dari bagian bawah ke bagian atas tabung dengan tidak adanya peristiwa konveksi. Iodium dikatakan berdifusi ke dalam air. Peristiwa difusi pertama kali diungkapkan secara matematis oleh Fick (1855). Hipotesis Fick menyatakan
29
bahwa laju transfer difusi suatu zat melalui satuan luas bidang proposional dengan gradien konsentrasi yang diukur terhadap bidang normal (Sunarya, 2000). Dalam keadaan padat, maka suatu materi akan tersusun oleh partikelpartikel terkecil yang teratur susunannya dan masing-masing tetap berada pada tempatnya (Gambar 2.5). Pada wujud padat, proses difusi berlangsung sangat lambat dibandingkan cairan. Kekompakan serta ketegaran molekul atau ion dalam padatan sangat mempengaruhi laju difusi. (Sunarya, 2000). Pada suhu kamar, difusi yang terjadi dalam padatan sangat lambat, akan tetapi jika suhu dinaikkan difusi akan cepat. Peristiwa ini berperan penting terutama dalam industri komponen elektronik berteknologi tinggi (Sunarya, 2000) Dalam wujud cair, partikel-partikel terkecil suatu materi tersusun tidak beraturan dan ikatan antar sesamanya lemah sehingga tiap partikel bisa berpindah tempat (Gambar 2.6). Difusi yang terjadi dalam wujud cair, menunjukkan bahwa proses bauran zat cair mengalami rintangan dikarenakan jarak antar molekul yang sempit dan terjadinya tumbukkan antar molekul yang menghambat laju penyebaran molekul (Sunarya, 2000). Dalam wujud gas, suatu materi tersusun atas partikel-partikel terkecil yang tidak teratur susunannya dan dapat bergerak bebas dalam ruangan yang ditempatinya karena tidak adanya ikatan antar partikelnya (Gambar 2.7). Dalam setiap wujud, antar partikel penyusun materi dipisahkan oleh ruang hampa (vakum). Partikel terkecil penyusun materi dapat berupa atom, molekul,atau ion.
30
Perbesaran
Gambar 2.5 Partikel materi dalam wujud padat
Perbesaran
Gambar 2.6 Partikel materi dalam wujud cair
Perbesaran
Gambar 2.7 Partikel materi dalam wujud gas
a. Atom Konsep dari suatu atom bukanlah hal yang baru. Ahli-ahli filasafat yunani pada tahun 500 SM telah mengemukakan bahwa zat terdiri atas partikel-partikel kecil yang tak terlihat. Istilah atom pertama kali diajukan oleh Anaxagoras. Atom-
31
atom berukuran sangat kecil. Setiap atom memiliki diameter sekitar 0,1 nm atau 0,1 x 10-9 m. Jumlah atom yang terdapat pada kepala jarum adalah sekitar 1.000.000.000.000.000
atau 1015 atom (Depdiknas, 2003).
Di bawah ini
merupakan bentuk atom beberapa unsur.
Gambar 2.8 Permukaan kristal silikon Tonjolan-tonjolan pada gambar diyakini merupakan atom-atom dari unsur silikon
Gambar 2.9 Atom Ni (kiri) dan atom Pt (kanan) Menggunakan mikroskop penerowongan pemayaran (STM, Scanning Tunneling Microscope) Menurut ahli filsafat Yunani Leukippos dan Demokritus pada abad ke-4 SM (400-370 SM)pembelahan materi bersifat tidak sinambung, artinya pembelahan akan berakhir pada partikel terkecil yang tidak dapat dibelah lagi yang disebut atom, dari istilah atomos yang artinya tidak dapat dibelah. Pada massa itu terdapat pendapat lain yang dikemukakan oleh Aristoteles (384-332 SM) yaitu bahwa pembelahan materi bersifat sinambung, artinya materi dapat dibagi terus menerus tanpa batas (Sumarna, 2005). Sebagai usaha untuk menerangkan Hukum Lavoisier dan Hukum Proust, Pada tahun 1803 John Dalton (Gambar 2.10) seorang guru sekolah dari Inggris
32
yang ahli dalam bidang fisika dan kimia mengajukan suatu teori yang menyatakan bahwa materi terdiri atas atom-atom. Teori atom Dalton ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
Setiap materi tersusun atas partikel terkecil yang disebut atom.
Atom tidak dapat dipecah lagi menjadi partikel yang lebih kecil dengan sifat yang sama.
Atom-atom dari unsur tertentu mempunyai sifat dan massa yang identik. Unsur-unsur yang berbeda memiliki atom-atom yang massanya berbeda.
Senyawa terbentuk dari dua macam atom atau lebih yang berbeda.
Reaksi kimia merupakan penggabungan dan pemisahan atom-atom dari unsur atau senyawa dalam reaksi tersebut.
Gambar 2.10 John Dalton (1766-1844) Untuk mengetahui lebih jauh tentang atom, para ahli telah melakukan berbagai percobaan. Penemuan pertama mengenai partikel di dalam atom dihasilkan oleh seorang ahli fisika bernama Joseph J. Thompson pada tahun 1897.
33
b.
Molekul Molekul merupakan partikel terkecil dari suatu zat yang masih memiliki
sifat-sifat zat tersebut. Molekul tersusun dari dua atom atau lebih. Molekul dapat tersusun dari atom-atom yang berbeda, tetapi dapat pula tersusun dari atom-atom yang sama. Molekul yang tersusun dari atom-atom yang berbeda dinamakan molekul senyawa seperti: molekul air (H2O), karbondioksida (CO2), asam klorida (HCl), dan lain sebagainya (Depdiknas, 2003).
Gambar 2.11 Penggambaran Molekul Karbondioksida
Gambar 2.12 Penggambaran Molekul Air Rumus molekul adalah rumus kimia yang memberikan jumlah atom-atom unsur secara tepat dalam molekul. Molekul air mengandung dua atom hidrogen dan satu atom oksigen yang terikat secara kimia. Atom-atom dalam molekul tidak terikat secara acak, melainkan terikat secara kimia dengan orientasi secara terbatas. Rumus struktur adalah rumus kimia yang menunjukkan bagaimana atomatom terikat satu sama lain secara kimia di dalam molekul (Sunarya, 2000). Molekul yang tersusun dari atom-atom yang sejenis dinamakan molekul unsur. Seperti: gas-gas diatomik (H2, O2, N2, Cl2, dan gas lainnya). Tiap satu molekul oksigen tersusun dari dua atom oksigen. Gambar 2.13 menunjukkan
34
beberapa molekul unsur. Molekul yang dibentuk dari dua atom dinamakan molekul diatom. Molekul yang dibentuk dari tiga atom dinamakan molekul triatom. Molekul yang terdiri dari empat atom dinamakan molekul tetra atom (Firman, 1997). Unsur oksigen yang terdapat di udara merupakan contoh molekul dwiatom. Pada tekanan dan temperatur kamar, fospor terdiri atas partikel-partikel berbentuk molekul tetraatom. Belerang pada temperatur dan tekanan kamar terdiri atas molekul yang dibentuk 8 atom.
Molekul hidrogen (atas) dan molekul oksigen (bawah)
Molekul nitrogen (atas) dan molekul klor (bawah) Gambar 2.13 Penggambaran beberapa Molekul Unsur
c. Ion Selain atom dan molekul, sebagai partikel penyusun materi di alam, adapula kelompok materi yang tersusun atas ion-ion. Ion adalah suatu atom atau kumpulan atom yang bermuatan listrik. Suatu senyawa yang tersusun dari ion-ion dinamakan senyawa ion. Senyawa ion tersusun dari ion positif (kation) dan ion
35
negatif (anion). Jika garam dapur (NaCl) dilarutkan dalam air, maka akan terurai menjadi ion positif (ion natrium) dan ion negatif (ion klorida) (Depdiknas, 2003).
Gambar 2.14 Penggambaran Peristiwa Ionisasi garam dapur (NaCl) Ion-ion dalam larutan akan bergerak bebas sehingga memungkinkan larutan tersebut dapat menghantarkan arus listrik. Zat-zat yang larut dalam air membentuk larutan yang dapat menghantarkan listrik disebut sebagai elektrolit. Keberadaan ion dalam larutan dapat dibuktikan dengan menggunkan alat uji elektrolit. Jika lampu pada alat uji elektrolit dapat menyala berarti dalam larutan terdapat ion-ion (Sumarna, 2005).
36
Gambar 2.15 Set alat uji daya hantar listrik Perubahan suatu atom menjadi ion bergantung pada berbagai faktor. Menurut Fajans, atom akan mudah membentuk ion apabila: 1. Struktur ion yang terbentuk stabil. Bentuk ion paling stabil apabila memiliki konfigurasi gas mulia. 2. Muatan yang dibentuk pada ion relatif kecil. 3. Ukuran atom pembentuk kation relatif besar, sedangkan ukuran atom pembentuk anion relatif kecil. Berdasarkan pendapat Fajans tersebut, maka unsur-unsur yang paling mudah membentuk ion positif (kation) adalah unsur-unsur golongan IA dan IIA, dan unsur-unsur yang paling mudah membentuk ion negatif (anion) adalah unsurunsur golongan VIIA dan VIA (Sunarya, 2000). Ion positif dibentuk dengan cara melepas satu, dua, atau tiga elektron sesuai dengan banyaknya eleckron valensi atau sesuai dengan nomor golongannya pada sistem periodik. Ion negatif dibentuk dengan cara menerima satu, dua, atau tiga elektron, seperti diperlihatkan pada Tabel 2.2 (Sunarya, 2000).
37
Tabel 2.2 Ion-ion isoelektronik dengan gas mulia IA
IIA
IIIA
VA
VIA
VIIA
Li+
Be2+
Al3+
N3-
O2-
F-
Na+
Mg2+
S2-
Cl-
K+
Ca2+
Se2-
Br-
Rb+
Sr2+
Te2-
I-
2. Konteks Pembelajaran: Pewangi dan Pewarna 2. 1. Pewangi (parfum) a. Sejarah Parfum
Kata perfum yang dipakai saat ini berasal dari bahasa Latin "per fumum" yang berarti melalui asap. Pembuatan parfum berawal dari Mesopotamia dan Mesir, namun dikembangkan di Roma dan Persia. Sejarah mencatat seorang bernama Tapputi adalah pembuat parfum pertama yang berasal dari Mesopotamia (http://www.kaskus.us/showtheardphp ?t=1532751 sejarah parfum). Pada abad ke-9, seorang penulis Arab bernama Al-Kindi, menuliskan kata parfum dalam bukunya Book of the Chemistry of Perfume and Distillations.
38
Didalam buku itu dicantumkan pula ratusan resep untuk membuat minyak harum, salep, dan air yang memiliki wangi ditambah dengan obat-obatan. Buku tersebut juga mencatat tentang 107 cara untuk membuat parfum, namun dibuku ini belum mencantumkan saripati bunga untuk penambah wangi Barulah ketika seorang dokter dan ahli kimia asal Persia, Avicenna (Ibnu Sina) mencoba bereksperimen dengan bunga mawar yang dicampurkan minyak, herbal dan daun bunga menghasilkan wewangian yang tak biasa. Sejak saat itulah mulai dikembangkan untuk mencampur sari pati bunga ke dalam parfum. Eropa dan Hungaria lah yang pertama kali mengembangkannya pada abad ke 14, dengan mencampurkan alkohol agar tahan lama. Saat itu wewangian ini digunakan oleh Ratu Elizabeth dari Hungaria (http://www.kaskus.us/showtheardphp ?t=1532751 sejarah parfum). Pada abad ke-16 seorang berkebangsaan Italia, Rene le Florentin membuat ruangan rahasia untuk menyembunyikan resep rahasia pembuatan parfum. Namun entah bagaimana, dengan cepat teknik pembuatan parfum semakin tersebar diseluruh daratan Eropa. Lama kelamaan Eropa berkembang menjadi pusat industri parfum. Selain keharumannya yang berkembang, wadah parfum pun turut berkembang. Dari yang hanya menggunakan tabung hingga botol-botol cantik dengan aneka bentuk seperti saat ini (http://www.kaskus.us/showtheardphp ?t=1532751 sejarah parfum).
39
Gambar 2.16 Parfum b. Bahan Kimia Parfum Parfum adalah hasil pencampuran berbagai macam fragrance (wewangian) yang bersifat mudah menguap dengan bau tertentu. Bahan kimia pewangi sering ditambahkan pada berbagai produk seprti sabun, deterjen, sampo, pembersih kaca,, cairan pencuci piring, dan cairan pelembut pakaian, serta dijual dalam bentuk pengharum tubuh maupun ruangan (Depdiknas, 2003). Bahan kimia yang digunakan sebagai pewangi biasanya tidak tunggal tetapi campuran berberapa fregrance. Zat kimia yang dicampurkan untuk menghasilkan bau tertentu, diantaranya dicantumkan dalam tabel 2.3
40
Tabel 2.3 Contoh Spesifiaksi Bau dan Nama Zat Kimia No
Spesifikasi Bau
Nama Zat Kimia
1.
Floral, jasmin
Amil salisilat
2.
Herbaceous
Amilsinamat aldehida
3.
Rocy, citrus
Sitonelol
4.
Musk, sweet
Galaksolida
5.
Rose
Geraniol
6.
Pine needle
Sobornil asetat
7.
Murbai/arbei
Butil asetat
8.
Peer/pisang ambon
Amil asetat
9.
Jeruk
Aktil asetat
10.
Arbei
Etil butirat
11.
Apel
Amil valerat
12.
Minyak gandapura
Metil salisilat
Komposisi zat di dalam parfum umumnya adalah etil alkohol (50-90%), aquades/ air suling (5-20%), dan fragrance (10-30%). Etil alkohol dalam komposisi ini berfungsi sebagai pelarut. Adanya berbagai macam bahan kimia fragrance (lihat tabel 2.4) dan campuran satu fragrance dengan yang lain menyebabkan adanya berbagai macam bau parfum. Berdasarkan kuantitas fragrance maka dikenal istilah-istilah: Perfume, Eau de perfume, Eau de toilette, Cologne, dan Eau Praiche (Depdiknas, 2003). Perbedaan antara istilah yang satu dengan yang lain adalah sebagai beikut: a. Perfume : campuran dengan komposisi fragrance yang besar (fragrance hampir murni). Bau perfume tahan lebih lama karena kandungan alkoholnya sangat rendah.
41
b. Eau de perfume: campuran dengan kandungan fragrance tidak sebesar perfume, tetapi masih lebih kuat dibanding dengan Eau de toilette. c. Eau de toilette : wewangian ringan, lebih lembut dan mengandung jumlah fregrance yang lebih rendah daripada Eau de perfume. d. Cologne: campuran dengan komposisi alkohol yang tinggi, sehingga tercipta bau fragrance dan mempunyai kesan santai. Jenis ini paling populer dan lebih ekonomis. e. Eau Praiche: kandungan fragrance lebih sedikit (sangat ringan), digunakan dengan cara menyemprotkan pada kulit setelah mandi. c. Bahaya Parfum Selain digunakan untuk pengobatan, penggunaan parfum juga memiliki dampak negatif. Didalam komposisi parfum, selain eril alkohol sebagai pelarut sering ditambahkan zat-zat seperti: aseton, benzaldehida, benzil asetat, benzil alkohol, etil asetat, dan lain-lain. Zat-zat ini memiliki efek negatif bagi kesehatan. Aseton dapat menyebabkan kekeringan mulut dan tenggorokan, kerusakan pita suara, mengantuk, dan depresi. Benzaldehida memiliki efek narkotik dan iritasi pada kulit, mata, mulut, dan tenggorokan (Depdiknas, 2003). Benzil asetat bersifat karsinogenik, cairannya dapat meresap ke dalam sistem tubuh melalui kulit, dan uapnya dapat menyebabkan iritasi mata. Benzil alkohol menyebabkan iritasi saluran pernapasan bagian atas dan penurunan tekanan darah. Etil asetat bersifat narkotik, merusak hati, dan menyebabkan animea (Depdiknas, 2003).
42
2.2 Pewarna makanan Bahan Pewarna Bila ditinjau dari asalnya, pewarna makanan digolingkan menjadi tiga yaitu: pewarna alami, identik dengan pewarna alami, dan pewarna sintetik (Depdiknas, 2003) a. Pewarna Alami Pewarna alami merupakan pewarna yang diperoleh dari bahan-bahan alami, baik nabati, hewani, ataupun mineral. Beberapa pewarna alami yang banyak dikenal masyarakat diantaranya daun suji (lihat gambar 4.2) untuk membuat warna hijau, kunyit untuk membuat warna kuning, jati atau cabai untuk warna merah, dan gula merah untuk warna cokelat (Depdiknas, 2003).
Gambar 2.17 Daun Suji Zat pewarna alami lebih aman digunakan bila dibandingkan dengan pewarna sintetik. Penggunaan pewarna alami relatif terbatas, karena adanya beberapa kekurangan antara lain: 1. Sering terkesan memberikan rasa khas yang tidak diinginkan, misalnya kunyit.
43
2. Konsentrasi pigmen rendah, sehingga membutuhkan bahan baku relatif banyak. 3. Stabilitas pigmen rendah (umumnya hanya stabill pada tingkat keasaman / pH tertentu). 4. Keseragaman warna kurang baik. Pewarna orange, merah, dan biru secara alami terdapat pada buah anggur, strawberi, rasberi, apel, dan bunga. Untuk memberikan warna kuning, merah, dan orange juga dapat menggunakan pewarna yang berasal dari tumbuhan dan hewan. Seperti : tomat, wortel, cabai, minyak sawit, jagung, daun-daunan, dan ikan salmon (Depdiknas, 2003). b. Pewarna Identik Alami Pewarna identik alami adalah pigmen yang dibuat secara sintetik tetapi struktur kimianya mirip pewarna alami. Contohnya: santoxantin (merah), apokaroten (merah-orange), dan beta karoten (orange sampai kuning). Penggunaan pewarna identik alami hanya boleh dalam konsentrasi tertentu, kecuali beta karoten yang boleh digunakan dalam jumlah terbatas (Depdiknas, 2003). c. Pewarna Sintetik Di negara-negara maju, penggunaan pewarna sintetik untuk makanan harus melalui pengujian yang ketat, demi keselamatan konsumen. Pewarna yang telah melalui pengujian-pengujian tersebut dan yang diijinkan pemakaiannya
44
untuk makanan dinamakan permitted colour atau certified colour (Depdiknas, 2003).
Berdasarkan rumus kimianya, zat warna sintetis dalam makanan menurut “Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives” (JECFA) dapat digolongkan dalam beberapa kelas, yaitu : azo, triarilmetana, quinolin, xanten dan indigoid. Kelas azo merupakan zat warna sintetis yang paling banyak jenisnya dan mencakup warna kuning, oranye, merah, ungu, dan coklat, setelah itu kelas triaril metana yang mencakup warna biru dan hijau (http://enthocthot.wordpress.som /2007/04/07/pewarna-makanan/).
Penggunaan pewarna sintetik sudah begitu luas di masyarakat. Hingga sekarang, diperkirakan hampir 90% pewarna yang beredar dan sering digunakan adalah pewarna sintetik. Beberapa kelebihan pewarna sintetik antara lain; warnanya seragam, tajam, mengembalikan warna asli yang mungkin hilang selama proses pengolahan, melindungi zat-zat vitamin yang peka terhadap cahaya selama penyimpanan, dan hanya diperlukan dalam jumlah sedikit (Depdiknas, 2003). Seiring dengan meluasnya pemakaian pewarna sintetik, sering terjadi penyalahgunaan pewarna pada makanan. Sebagai contoh digunakannya pewarna tekstil untuk makanan sehingga membahayakan konsumen. Zat pewarna tekstil dan pewarna cat biasanya mengandung logam berat, seperti: arsen, timbal, dan raksa sehingga bersifat racun (Depdiknas, 2003).
45
3. Konteks Pendukung dalam Konten Partikel Materi: Difusi gas pada Bunga, dan Gas Bomin dan udara dalam Botol Tertutup. Bau harum yang dihasilkan bunga akan tercium dalam suatu ruangan. Hal ini karena partikel-partikel gas (pada bunga) akan berdifusi melalui udara kemudian larut dan tercium oleh hidung. Gerakan suatu zat sebagai hasil gerakan acak dari atom-atom atau molekul-molekulnya ke semua arah di dalam suatu medium (pelarut) disebut Difusi (Mulyono, 2006). Hal serupa terjadi pada gas bromin dan udara. Ketika dua botol yang berisi udara dan gas bromin dihubungkan beberapa menit kemudian warna gas di kedua botol sama. Hal ini sejalan dengan teori yang menyebutkan bahwa, dua jenis zat cair atau gas yang dihubungkan secara perlahan akan bercampur sebagai hasil dari proses tersebut. Di bawah ini merupakan contoh lain peristiwa difusi yang terjadi pada molekul gula.
Membran semipermiabel
Difusi
Molkeul gula
Molekul air
Molekul gula berdifusi dalam pelarut air
Gambar 2.18 Difusi molekul gula