BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini, akan dibahas mengenai tinjauan pustaka yang digunakan peneliti terkait dengan penelitian yang dilakukan, yang nantinya dapat menjadi landasan teoritis dalam mendukung penelitian ini. Teori-teori yang terdapat dalam bab ini diantaranya penyebab stres kerja, kepuasan kerja dan karyawan outsourcing. Diakhir bab ini, juga dilampirkan hubungan penyebab streskerja dengan kepuasan kerja serta kerangka berfikir. 2.1 Stres Kerja 2.1.1 Definisi Stres Definisi stres menurut Luthans (2006), biasanya dianggap sebagai istilah negatif. Stres disebabkan sesuatu yang buruk atau disebut distres namun memiliki sisi stres yang positif dan menyenangkan, yang disebut eustres. Serupa dengan Robbin dan Judge (2008), yang mengatakan bahwa stres tidak mesti buruk. Meskipun biasanya dibahas dalam konteks negatif, stres juga memiliki nilai positif. Sedangkan stres menurut Ivancevich dan Matteson (1987, dalam Luthans, 2006) adalah interaksi individu dengan lingkungannya. Stres juga merupakan ketegangan atau tekanan emosional yang dialami sesesorang yang sedang menghadapi tuntutan yang sangat besar, hambatan-hambatan, dan adanya kesempatan yang sangat penting yang dapat mempengaruhi emosi, pikiran dan kondisi fisik seseorang (Hariandja, 2002). Serupa dengan hal diatas Rehman, et al. (2012) juga mendefinisikan stres adalah reaksi tubuh terhadap suatu perubahan yang memerlukan penyesuaian fisik, mental atau emosional. Respon dari stres bisa datang dari situasi atau pemikiran yang membuat individu merasa frustrasi, marah, gugup dan cemas.
Lazarus (2006), mengatakan stres bergantung pada bagaimana individu menilai dan menginterpretasi suatu kejadian. Stres juga merupakan sebuah hubungan yang dibangun antara individu dan lingkungan. Individu melakukan penilaian terhadap segala hal yang terjadi pada dirinya. Pertama, individu menilai apakah kondisi tersebut membahayakan kesejehteraan dirinya. Kedua, individu menilai apakah dirinya dapat mengatasi kondisi yang dihadapi (Lazarus & Folkman, 1984). Proses penilaian yang melibatkan interaksi dan penyesuaian secara kesinambungan antara individu dan lingkungan disebut transaction (Lazarus & Folkman, 1984). Transaction mengarah pada kondisi stres yang melibatkan penilaian. Proses penilaian ini yang disebut sebagai cognitive appraisal (Lazarus, 2006). Penilaian kognitif adalah istilah yang digunakan Lazarus untuk menggambarkan interpretasi individu terhadap kejadian yang dialaminya. Individu menginterpretasi kejadian sebagai sesuatu yang berbahaya, mengancam, atau menantang. Selanjutnya, individu menilai kemampuan untuk menghadapi suatu kejadian yang mengancam tersebut (Lazarus, 2006). Jadi, penilaian kognitif adalah suatu proses mental yang melibatkan penilaian individu. Penilaian tersebut terdiri dari dua hal. Pertama, apakah sebuah tuntutan mengancam kesejahteraanya tersebut. Kedua, sumber daya yang tersedia untuk memenuhi tuntutan tersebut. Kedua faktor ini disebut sebagai penilaian primary dan secondary (Lazarus, 2006). Penilaian primer (primary appraisal) adalah proses penilaian pada saat mendeteksi suatu kejadian potensial yang menyebabkan stress (Lazarus, 2006). Kejadian potensial tersebut diantaranya adalah bahaya, ancaman, dan tantangan (Lazarus, 2006). Pertama, bahaya (harm) adalah penilaian terhadap kerusakan yang telah diakibatkan oleh suatu kejadian. Kedua, ancaman (threat) merupakan penilaian terhadap kerusakan yang berpotensi terjadi di masa yang akan datang akibat suatu kejadian. Ketiga, tantangan (challenge) yaitu penilaian terhadap potensi diri untuk mengatasi situasi yang tidak menyenangkan akibat
kejadian, lalu menggunakan potensi yang ada secara maksimal dari kejadian tersebut (Lazarus, 2006). Penilaian sekunder (secondary appraisal) adalah proses mengevaluasi potensi atas kemampuan (Lazarus, 2006). Kemudian, menentukan keefektifan potensi atas kemauan yang digunakan untuk menghadapi suatu kejadian (stressor). Jadi, seseorang dapat dikatakan stres jika individu menilai suatu kondisi sebagai sumber stres. Kemudian, individu tersebut menilai bahwa dirinya kurang atau tidak mampu mengatasi kondisi (stressor) tersebut. 2.1.2 Definisi Stres kerja Stres kerja menurut Raghuram & Wiesenfeld (2004), bahwa ‘’Employees experience of characteristics of the job environment (e.g.,substantial demands of the job or insufficient supply of resources) as threatening’’(hal. 259). Stres kerja adalah pengalaman kerja pada karyawan terhadap karakteristik lingkungannya, termasuk ancaman pada tuntutan pekerjaan dan pasokkan sumber daya. Sedangkan pengertian stres kerja menurut (Manthei & Gilmore, 1996 dalam McKenna, 1987 dalam Jahenzeb, 2010) adalah pengalaman individu dalam merespon sesuatu hal dengan cara yang berbeda dengan orang lain. Jumlah stres yang dihasilkan oleh suatu situasi tertentu tergantung pada persepsi seseorang tentang situasi tersebut. Dengan kata lain, stres adalah fenomena relativistik. Hal ini sangat penting bagi individu untuk mengidentifikasi stres yang mereka hadapi di tempat kerja. Definisi stres kerja berakar dari teori Lazarus & Folkman (1984) dan Lazarus (2006) mengenai stres. Stres kerja merupakan bentuk stres yang terjadi pada ruang lingkup pekerjaan, sehingga individu dapat memiliki penilaian akan kondisi lingkungan dan potensi diri. Potensi yang dimiliki oleh karyawan selalu berubah sesuai dengan pengalaman kerjanya (Lazarus, 2006). Karyawan diharapkan mencoba untuk menyesuaikan interaksi kerja diantara diri dan lingkungannya (Lazarus, 2006).
Hal ini disebabkan, tiap individu memiliki cara yang berbeda dalam menilai sesuatu (Lazarus, 2006). Penilaian masing-masing individu akan tuntutan kerja serta penilaian untuk mengevaluasi kemampuan dalam menghadapi penyebab stres (stressor) di lingkungan kerja adalah proses yang pasti dijalani dalam menilai stres kerja (Lazarus, 2006). Berdasarkan definisi tersebut, stres kerja dapat diartikan sebagai hasil interaksi antara individu yang melakukan penilaian terhadap penyebab stres (stressor) di lingkup pekerjaan. Penilaian dilakukan untuk menilai apakah lingkungan tersebut membahayakan kesejahteraan dirinya dan mengetahui apakah dirinya dapat mengatasi kondisi lingkungan.
2.1.3 Dimensi Penyebab Stres Kerja (Stressor) Menilai suatu keadaan yang dapat mengakibatkan stres tergantung dari dua faktor, yaitu faktor dalam diri (personal factors) dan faktor lingkungan (environmental factors). Berikut penjelasannya: 2.1.3.1 Faktor Dalam Diri (Personal Factor) Pertama, penetapan tujuan dan prioritas menjadi dasar individu dalam melakukan sesuatu (Lazarus, 2006). Motivasi dalam mencapai tujuan sangat berperan dalam munculnya stres dan semua hal yang berkaitan dengan emosi (Lazarus, 2006). Emosi adalah hasil dari bagaimana kita menilai atau mengevaluasi suatu tujuan. Mood yang negatif atau stres timbul dari tujuan yang tertunda atau tidak terlaksana, sedangkan mood positif timbul dari kemajuan dalam proses mencapai tujuan (Lazarus, 2006) Kedua, keyakinan diri dan lingkungan berpengaruh terhadap apa yang kita lakukan untuk mecapai tujuan serta terhadap pandangan kita akan harga yang harus dibayar pada kesuksesan dan kegagalan. Manusia harus dapat menyadari dan menggunakan segala potensi untuk merasakan hal yang positif. Keyakinan diri inilah
yang mampu menjawab dan mengatasi segala kemungkinan yang dihadapi (Lazarus, 2006) Ketiga, potensi diri mempengaruhi apa yang mampu dan tidak mampu dilakukan untuk memuaskan kebutuhan, mencapai tujuan dan mengatasi munculnya stres yang berasal dari tuntutan, beban, dan kesempatan (Lazarus, 2006). Hal-hal yang termasuk potensi diri, yaitu intelegensi, uang, kemampuan sosial, pendidikan, dukungan keluarga dan teman, daya tarik fisik, kesehatan, energi, dan lain-lain (Lazarus, 2006). Potensi diri seseorang cenderung stabil dan menyebabkan seseorang tidak nyaman untuk berubah, walaupun jika dibutuhkan. Padahal dalam persaingan kerja seperti sekarang ini, kemampuan untuk merubah hal yang tidak positif menjadi produktif adalah sangat penting (Lazarus, 2006). 2.1.3.2 Faktor Lingkungan (Environmental Faktor) Penyebab atau terjadinya stres tidak hanya timbul dari faktor dalam diri, melainkan faktor lingkungan. Berikut adalah penjelasan dari faktor lingkungan. Faktor lingkungan terdiri dari empat hal, yaitu: Pertama, tuntutan lingkungan (demand), ketidakleluasaan (Contraint), kesempatan (Opportunity), dan Budaya (Lazarus, 2006). Pertama, tuntutan lingkungan (demand), tuntutan tersebut bersifat langsung atau tidak langsung. Tuntutan yang sangat tinggi dan mendesak tersebut berasal dari lingkungan sosial, dalam hal ini lingkungan kerja, untuk melakukan sesuatu sesuai dengan jalur atau aturan yang berlaku (Lazarus, 2006). Banyak jenis tuntutan yang dihadapi, diantaranya tuntutan pada lingkup sosial, tuntutan dalam melakukan pekerjaan, dan lain-lain (Lazarus, 2006). Kedua, constraint disini didefinisikan sebagai apa yang seharusnya tidak dilakukan dan sanksi yang didapatkan jika terjadi pelanggaran. Walaupun
ketidakleluasaan ini menimbulkan konflik, namun hal ini bergantung pada kecocokan antara kebutuhan individu dan nilai yang dianut oleh perusahaan. Ketidakleluasaan ini dapat membatasi kemampuan karyawan dan menimbulkan stres (Lazarus, 2006). Ketiga, kesempatan (Opportunity) berhubungan dengan melaksanakan atau mencapai tujuan disaat dan waktu yang tepat. Maksud dari pernyataan tersebut, yaitu dibutuhkan perencanaan dan langkah yang tepat agar kita dapat meraih sesuatu yang diinginkan disaat yang tepat. Salah satu contoh adalah memiliki prioritas terhadap suatu pekerjaan dengan menggunakan kesempatan yang tersedia. Keempat, budaya merupakan faktor lingkungan yang dapat menjadi penyebab stres (stressor). Adanya budaya menunjukkan adanya perbedaan individu. Perbedaan individu yang ada diharapkan dapat bersinergi untuk mencapai tujuan perusahaan atau tujuan bersama. Individu sebagai karyawan diharapan dapat beradaptasi untuk tetap bekerja dan mencapai tujuan bersama (tujuan perusahaan). Perbedaan individu didalam suatu lingkungan sosial ini menujukkan keanekaragaman pikiran, pola pikir, dan kebiasaan. Interaksi sosial dari individu yang berbeda tersebut memicu stres. 2.1.4 Dampak Stres Kerja Dampak stres kerja dibagi menjadi dua, yaitu dampak stres jangka pendek dan jangka panjang (Lazarus & Folkman, 1984). Dampak jangka pendek stres kerja adalah perubahan fisiologis, perasaan positif dan negatif, dan perasaan akan harga diri. Dampak stres jangka panjang stres kerja terdiri dari tiga hal dasar, yaitu fungsi sosial dan kehidupan sosial, kepuasan hidup (morale), dan kesehatan (Lazarus & Folkman, 1984). Dampak jangka panjang dari stres yang pertama menurut Lazarus & Folkman (1984), yaitu fungsi sosial merupakan sebagai aturan yang dimiliki individu yang diwujudkan dalam bentuk peran. Peran atau (role expectations) ada beragam bentuknya, keanekaragaman harapan ini tergantung pada posisi dan tugas yang disandang individu. Hal ini didukung
dengan pernyataan Erikson (1963, dalam Lazarus & Folkman, 1984) menyebutkan bahwa dalam tahap perkembangan psikologis menyebutkan individu yang menginjak usia dewasa harus berjuang untuk mendapatkan identitasnya. Identitas ini tergantung pada posisi yang dicapai dalam dunia pekerjaan, hubungan dengan orang lain, dan institusi sosial. Fungsi sosial dalam jangka panjang juga tergantung pada adaptional outcome adalah hasil penyesuaian antara individu dan kondisi yang dihadapi. Hal yang membuat adaptional outcoume berbeda adalah bagaimana cara individu memandang dan mengatasi masalahnya sehingga tidak menimbulkan stres. Morale atau kepuasan hidup didefinisikan sebagai gambaran perasaan diri akan kehidupan yang dijalaninya. Hal ini berhubungan dengan kebahagian, kepuasan, dan respondentive well-being (Lazarus & Folkman, 1984). Ketiga “term” tersebut berhubungan dekat dengan afeksi atau emosi (Lazarus & Folkman, 1984). Penting untuk membedakan antara emosi dan sense of well-being seseorang. Emosi negatif dan positif selama menghadapi kejadian stresful akan merefleksikan evaluasi well-being (kesejahteraan) dirinya. Dampak yang ditimbulkan adalah kepuasan yang bergantung pada hasil kinerja dan harapannya terhadap hasil tersebut. Individu dengan harapan yang cenderung rendah lebih merasa puas dibandingkan individu dengan harapan yang tinggi. Dampak stres lainnya yaitu kesehatan. Kesehatan adalah sesuatu yang berasosiasi dengan emosi serta penilaiannya terhadap kondisi harm, threat, dan challenge. Terutama ketika seseorang merasa takut dan marah. Menurut Rice (1999, dalam Lazarus & Folkman, 1984), menyebutkan dampak fisiologis yang utama dari stres kerja, diantaranya yaitu meningkatnya sekresi dari hormon stres, gangguan lambung, meningkatkan frekuensi luka fisik dan kecelakaan, kelelahan secara fisik, sakit punggung bagian bawah, tegangan otot, gangguan tidur, dan rusaknya fungsi imun tubuh, termasuk risiko tinggi terkena kanker.
2.2 Kepuasan Kerja 2.2.1 Definisi Kepuasan Kerja Kepuasan kerja menurut Kinicki et al. (1978, dalam Schutlz, 2006), merupakan perasaan positif dan negatif serta sikap yang dimunculkan oleh pekerja pada pekerjaanya. Furhamn (2005) mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah bentuk dari perilaku yang berhubungan dengan positif (produktifitas pro sosial) dan negatif seperti (absensi dan turnover). Selain itu kepuasan kerja merupakan respon emosional terhadap situasi pekerjaan yang berfokus pada sikap karyawan terhadap pekerjaan mereka dan komitmen organisasi, serta organisasi secara keseluruhan (Luthans, 2006). Menurut George dan Jones (2005), kepuasan kerja dinyatakan sebagai kumpulan perasaan dan kepercayaan dan pikiran yang dimiliki seseorang tentang bagaimana mereka berprilaku dengan penuh penghargaan terhadap pekerjaanya. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli sebagaimana diungkapkan diatas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah suatu sikap yang dimiliki oleh seseorang mengenai pekerjaan yang dihasilkan dari persepsi mereka secara keseluruhan baik dalam pengalaman di tempat kerja maupun dalam suatu organisasi. Beberapa definisi tersebut, peneliti memilih menggunakan definisi yang dijelaskan oleh George dan Jones (2005) sebagai pendekatan untuk membuat alat ukur penelitian. 2.2.2 Dimensi Kepuasan Kerja Dalam hal ini faktor-faktor penyebab kepuasan kerja dipilih sebagai dimensi karena menggambarkan keadaan tempat kerja dan situasi secara menyeluruh berdasarkan aspek kepribadian, nilai-nilai kerja, situasi kerja dan pengaruh sosial.
2.2.2.1 Faktor-faktor Kepuasan Kerja Faktor-faktor kepuasan kerja menurut George dan Jones (2005) terdiri dari kepribadian, nilai-nilai kerja, situasi kerja dan pengaruh sosial. a. Kepribadian (Personality) Kepribadian merupakan bagaimana cara orang merasakan, berfikir dan berprilaku mengenai kepuasan kerja yang didapat. Kepribadian seseorang mempengaruhi tingkat positif ataupun negatif dari pemikiran dan perasaan tentang pekerjaan mereka. Hal ini seperti, ketika seseorang memiliki sifat extraversion yang tinggi biasanya memiliki tingkat kepuasan kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang memiliki sifat extraversion yang rendah. Kecendrungan kepribadian juga membantu seseorang menentukan kepuasan seseorang dalam bekerja dan kepribadian tersebut dapat diturunkan secara genetik. b. Nilai (Values) Nilai memiliki dampak terhadap level kepuasan kerja karena seseorang dapat merefleksikan keyakinan tentang hasil yang seharusnya terjadi dan bagaimana seseorang berprilaku saat bekerja. Ada dua macam nilai kerja, yaitu: nilai kerja intrinsik dan ekstrinsik. Contohnya, seseorang dengan nilai kerja intrinsik yang kuat (nilai yang berkaitan dengan pekerjaan itu sendiri), kemungkinan besar akan terpuaskan dengan pekerjaan yang menarik dan berarti secara personal atau bermakna (misalnya pekerjaan sosial) tetapi membutuhkan jam kerja yang panjang dan gaji yang kurang baik. Seseorang dengan nilai kerja ekstrinsik yang kuat akan terpuaskan dengan pekerjaan dengan gaji yang baik tetapi pekerjaan yang monoton. c. Situasi Kerja (Work Situation) Kepuasan kerja pada seseorang bersumber pada situasi kerja itu sendiri dan bagaimana seseorang dalam bekerja (menarik atau membosankan pekerjaan mereka),
lingkungan dan interkasi dengan orang lain di tempat kerja (konsumen, bawahan, supervisor, melihat tingkat kebisingan, kebersihan, pencahayaan). Selain itu juga melihat bagaimana perilaku organisasi maupun perusahaan kepada karyawan (keamanan kerja, keadilan, kebijaksanaan). Setiap aspek dalam pekerjaan merupakan bagian dari situasi kerja dan dapat mempengaruhi kepuasan kerja. Kebanyakan orang dapat menjadi lebih terpuaskan dengan sebuah pekerjaan yang menggaji mereka secara baik dan itu sangat aman dibandingkan pekerjaan yang menggaji mereka sedikit dan ancaman pemberhentian kepada karyawan. d. Pengaruh Sosial (Social Influence) Pengaruh sosial adalah salah satu faktor penentu kepuasan kerja yang dimiliki oleh indivividu secara perorangan atau kelompok terhadap sikap dan perilaku kerja. Sekelompok rekan kerja, sebuah kelompok yang membuat seseorang akan terlibat dalam kultur yang membuat seseorang akan tumbuh dan berkembang didalam hidupnya serta memiliki potensi untuk mempengaruhi kepuasan kerja. Pengaruh sosial dari rekan kerja dapat menjadi faktor penentu yang sangat penting dari kepuasan kerja seorang karyawan, karena rekan kerja selalu ada disekeililing kita, dan memiliki tipe pekerjaan yang serupa, dan seringkali memiliki beberapa hal yang sama dengan seorang karyawan (misalnya latar belakang pendidikan yang serupa). Rekan kerja dapat memiliki pengaruh potensial dalam kepuasan kerja seorang karyawan baru. Karyawan baru biasanya masih membentuk opini tentang organisasi dan pekerjaannya. Mereka mungkin belum tahu apa yang dapat mereka perbuat atau apakah mereka akan menyukainya atau tidak pada akhirnya. Jika karyawan baru dikelilingi oleh rekan kerja yang tidak terpuaskan dengan pekerjaan mereka, maka biasanya karyawan tersebut juga akan menjadi tidak puas dengan pekerjaan mereka,
dan jika karyawan baru tersebut dikelilingi oleh rekan kerja yang menikmati pekerjaan maka ia pun akan terpuaskan dengan pekerjaan mereka. Kultur dimana seseorang bertumbuh dan tinggal di dalamnya dapat menyebabkan juga level kepuasan kerja karyawan. Karyawan yang tumbuh berkembang didalam kultur (misalnya kultur amerika) yang menekankan pentingnya pencapaian dindividu dan prestasi, biasanya terpuaskan dengan pekerjaan yang memberikan tekanan kepada prestasi dan menyediakan bonus dan bayaran lebih bagi pencapaian individu. Karyawan yang bertumbuh dalam kultur (misalnya kultur Jepang) yang menekankan pentingnya melakukan apa yang baik bagi semua orang, mungkin tidak akan terpuaskan dengan pekerjaan yang menekankan kompetisi individu dan pencapaian. Dalam kenyataannya, pengaruh kultur dapat membentuk tidak hanya kepuasan kerja tetapi juga sikap yang dimiliki karyawan tentang diri mereka sendiri. 2.2.3 Cara Mengungkapkan Ketidakpuasan pada Karyawan Menurut Robbins & Judge (2008), ketidakpuasan kerja pada tenaga kerja atau karyawan dapat diunkapkan ke dalam berbagai macam cara yang terletak pada dua dimensi, yakni constructiveness – destructiveness dan aktif-pasif:
Gambar 2.1 Empat Cara Mengungkapkan Ketidakpuasan Kerja Sumber : Diolah Oleh Peneliti Berdasarkan Robbins (2008)
a. Keluar (Exit): Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan denga meninggalkan pekerjaan.
b. Menyuarakan (Voice): Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan melalui usaha aktif dan konstruktif untuk memperbaiki kondisi, termasuk memberikan saran perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasannya. c. Mengabaikan (Neglect): Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan melalui sikap yang secara pasif membiarkan keadaan memburuk, yang meliputi keabsenan atau keterlambatan kronis, penurunan usaha, dan peningkatan tingkat kesalahan. d. Kesetiaan (Loyalty): Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan dengan cara pasif namun optimis menunggu perbaikan kondisi, yang meliputi membela organisasi dan kritikan eksternal dan mempercayai organisasi dan menajemennya untuk “melakukan hal yang benar”. 2.3 Oustourcing 2.3.1 Definisi Outsourcing Outsourcing dapat dikataan sebagai penyerahan kegiatan perusahaan, baik sebagian ataupun secara menyeluruh kepada pihak lain yang tertuang dalam kontrak perjanjian (Yasar, 2012). Greaver (1999), mendefinisikan sistem outsourcing yaitu tindakan mentransfer beberapa kegiatan, hak produksi maupun keputusan yang ada dalam suatu perusahaan seperti fasilitas, sumber daya manusia, peralatan maupun teknologi dan aset lainnya kepada penyedia luar. Biasanya kegiatan ini dilakukan guna meringankan pengelolaan sumber daya manusia pada perusahaan dan hal diharapkan hal tersebut memberikan hasil berupa peningkatan kinerja agar lebih kompetitif dalam persaingan ekonomi dan global. Pengertian outsourcing dapat dilihat menurut ketentuan pasal 64 undang-undang nomer 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang isinya menyatakan ‘’adanya suau perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja, dimana perusahaan tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis’’ (Yasar, 2012, hal. 14-
15). Dalam kitab hukum acara perdata Pasal 1601 b diatur adanya pengakuan terhadap perjanjian pemborongan pekerjaan. Sehingga pengertian outsourcing adalah suatu perjanjian dimana pemborong mengikatkan diri untuk membuat sesuatu kerja tertentu dan pihak yang lain memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborong dengan bayaran tertentu (Yasar, 2012). 2.3.2 Kewajiban dan Hak Karyawan Outsourcing Menurut Yasar (2010), karyawan outsourcing memiliki kewajiban dan hak secara umum maupun terhadap perusahaan pengguna atau pemberi jasa (user): a. Kewajban karyawan outsourcing adalah melaksanakan dengan sebaik-baiknya pekerjaan sebagaimana yang telah diinstruksikan oleh perusahaan pengguna, sesuai dengan apa yang tertuang secara garis besar dalam uraian pekerjaan disetiap departmen atau bagiannya. Penjelasan mengenai perturan dalam bekerja biasanya langsung diberikan dari atasan pada saat mulai bekerja. b. Hak Karyawan outsourcing mendapatkan upah pokok sesuai yang telah disepakati dalam perjanjian kerja ditambah dengan upah lembur (sesuai ketentuan pemerintah, seperti UMR atau UMP), dan mendapatkan THR (Tunjangan Hari Raya). Hak lainnya yaitu memperleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja (jamsostek), moral dan kesusilaan, dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama dan mendapatkan kompensasi PHK (Peutusan Hubungan Kerja). Semua hak ini diperoleh berdasarkan peraturan pemerintah yang berlaku. 2.3.3 Pelaksanaan Outsourcing yang Baik Menurut Yasar (2012) agar outsourcing bisa berjalan dengan baik, hubungan antara pemberi pekerjaan (user) dan penerima pekerjaan (vendor) harus berdasarkan pada :
a. Keseimbangan hak dan kewajiban antar pemberi pekerjaan dengan penerima pekerjaan. Hal ini dimaksud agar tidak terjadi ketimbangan atau berat sebelah antara kewajiban dan hak dari kedua belah pihak. b. Keadilan, hal ini dimaksud agar dalam proses kerja sama yang dilakukan oleh pihak pemberi pekerjaan dengan penerima pekerjaan dilakukan seadil-adilnya, terutama dalam hal memperoleh keuntungan materi dan tidak terlepas pada kesejahteraan kedua belah pihak. c. Hak Azasi Manusia, hal ini karena didalamnya mengandung hal-hal yang berhubungan dengan kebebasan manusia sebagai mahluk yang hidup dan memiliki hak-hak yang telah dimilikinya sejak lahir. Keberadaan azas ini dimungkinkan tidak akan terjadi pertentangan dalam pelaksanaan kegiatan outsourcing. d. Keterbukaan, dalam praktek outsourcing hendaknya menanamkan azas keterbukaan sehingan semua pihak baik perusahaan pengguna, perusahaan penyedia dan karyawan outsource mengetahui kontrak kerjasama yang dilakukan, dan masing-masing pihak mengetahui hak dan kewajibannya untuk menghindari kesalahpahaman dimasa datang. e. Transparansi, praktek outsourcing yang berlaku harus memiliki transparansi dalam segala aspek kegiatannya, terutama dalam hal material sehingga akan tercipta saling percaya antara pihak yang terlibat. 1.4 Hubungan Penyebab Stres Kerja (Stressor) dengan Kepuasan Kerja Seperti yang dijelaskan terdahulu bahwa stres merupakan ketegangan atau tekanan emosional yang dialami sesesorang yang sedang menghadapi tuntutan yang sangat besar, hambatan-hambatan, dan adanya kesempatan yang sangat penting yang dapat mempengaruhi emosi, pikiran dan kondisi fisik seseorang (Hariandja, 2002). Menilai suatu keadaan yang
dapat menyebabkan stres (stressor) tergantung dari dua aspek, yaitu faktor dalam diri (personal factors) dan faktor lingkungan (environmental factors). Faktor dalam diri memiiki tiga indikator yaitu, tujuan dan prioritas yang ditetapkan individu, keyakinan pada diri dan lingkungan dan potensi diri. Sedangkan faktor lingkungan memiliki empat indikator, yaitu tuntutan, kesempatan, ketidakleluasaan dan budaya. Dalam kaitanya dengan kepuasan kerja. George dan Jones (2005), menyatakan bahwa kepuasan kerja dinyatakan sebagai kumpulan perasaan dan kepercayaan dan pikiran yang dimiliki seseorang tentang bagaimana mereka berprilaku dengan penuh penghargaan terhadap pekerjaanya. Terdapat empat faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja seseorang, yaitu kepribadian, nila-nilai, situasi kerja dan pengaruh sosial. Penelitian yang membahas mengenai korelasi penyebab stres kerja dan kepuasan kerja pada umunya menunjukan korelasi yang negatif. Penelitian yang dilakukan oleh Anitawidanti (2010) mengungkapkan bahwa ada hubungan yang negatif antara penyebab stres kerja dari faktor instrinsik dan ekstrinsik dalam pekerjaan dengan kepuasan kerja pada karyawan PT Transindo Surya Sarana. Didukung dengan penelitian Jahenzeb (2010), yang menyatakan bahwa sumber stres (stressor) memiliki hubungan negatif dan signifikan dengan kepuasan pekerjaan di Universitas Terbuka Allama Iqbal. Penelitian lain mengenai hubungan negatif antara penyebab stres kerja dan kepuasan kerja, bahwa individu dengan kepuasan kerja yang lebih rendah mengalami lebih banyak stres yang ditimbulkan dari faktor intrinsik maupun ekstrinsik dalam pekerjaan, dibandingan dengan responden yang memiliki kepuasan kerja yang tinggi. Sehingga apabila individu sedang di bawah tekanan atau stres yang berlebihan, cenderung pekerjaan yang mereka lakukan kurang memuaskan (Mansoor et al., 2011).
1.5 Kerangka Berfikir Penelitian ini mengembangkan sebuah kerangka berfikir yang dimulai dari latar belakang dan rumusan masalah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan penyebab streskerja dengan kepuasan kerja pada karyawan outsourcing. Berikut ini merupakan kerangka berfikir yang digunakan dalam penelitian:
Gambar 2.2 Kerangka Berfikir Sumber : Diolah Oleh Peneliti
Observasi dan wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data dalam suatu penelitian. Dalam hal ini adanya observasi di tempat magang dan demo yang dilakukan para karyawan outsourcing menjadi awal dari kerangka berfikir. Adanya observasi tersebut menghasilkan tuntutan mengenai penghapusan sistem outsourcing dan politik upah murah. Tuntuntan ini disebabkan adanya kesenjangan yang terjadi pada sistem outsourcing (faktual) dan apa yang seharusnya atau semestinya terjadi (ideal). Munculnya kesenjangan tersebut menarik rasa keingintahuan peneliti untuk melakukan wawancara dengan beberapa karyawan outsourcing. Hasil simpulan yang didapat adalah karyawan merasa adanya tekanan yang timbul ketika penentuan masa kontrak kerja dan terkadang adanya rasa tidak nyaman ketika memiliki konflik dengan lingkungan di tempat kerja. Hal-hal tersebut menyebabkan stres yang terjadi ditempat kerja, yang dapat ditimbulkan dari faktor dalam diri dan lingkungan.
Sedangkan penyebab stres kerja akan mempengaruhi tingkat kepuasan seseorang terhadap pekerjaan yang dilakukan.