10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini diuraikan mengenai belajar dan pembelajaran, literasi sains dan teknologi, pembelajaran berbasis literasi sains dan teknologi, aspek sikap dan nilai, penilaian literasi sains dan teknologi serta tinjauan materi klasifikasi zat. A. Belajar dan Pembelajaran Belajar didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisme berubah prilakunya sebagai akibat pengalaman (Dahar, 1989). Belajar bukan hanya mengingat tetapi juga perlu mengalaminya secara nyata. Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan. Bukti seseorang telah melakukan kegiatan belajar adalah adanya perubahan tingkah laku pada orang tersebut. Menurut Arifin, M, et al. (2003) ada tiga tahap siklus belajar sebagai usaha untuk memperoleh pengetahuan yang dibangun secara individu yaitu tahap ekplorasi, tahap pengenalan konsep dan tahap aplikasi. Dengan demikian belajar adalah kegiatan yang berproses dan menyebabkan perubahan perilaku yang berpengaruh pada proses belajar selanjutnya. Pembelajaran merupakan kegiatan belajar mengajar ditinjau dari sudut kegiatan siswa berupa pengalaman belajar siswa yaitu kegiatan siswa yang direncananakan guru
untuk dialami siswa selama kegiatan belajar mengajar
(Arifin, M, et al.,2003). Poedjiadi, A (2005)
mengungkapkan bahwa
pembelajaran merupakan proses interaksi yang dilakukan guru dan siswa, baik di
11
dalam maupun di luar kelas dengan menggunakan berbagai sumber belajar sebagai bahan kajian. Dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran para pendidik disamping menguasai materi pelajaran, perlu pula mengetahui bagaimana cara materi pelajaran tersebut disampaikan dan bagaimana karakteristik peserta didik yang menerima materi pelajaran tersebut (Sagala, 2005).
B. Pembelajaran Berbasis Literasi Sains dan Teknologi 1. Literasi Sains dan Teknologi Secara harfiah literasi berasal dari kata literacy yang berarti melek huruf atau gerakan pemberantasan buta huruf (Echols dan Shadily, 1990 dalam Nurkhoti’ah dan Kamari, 2005). Sedangkan istilah sains berasal dari bahasa Inggris science yang diambil dari bahasa latin sciencia dan berarti pengetahuan. Adapun pengetahuan terkoordinasi, terstruktur, dan sistematik disebut ilmu. Jadi sains dapat berarti ilmu pada umumnya tetapi juga berarti Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan sains adalah Ilmu Pengetahuan Alam (Poedjadi, 2005). Sains merupakan sekumpulan ilmu-ilmu serumpun yang terdiri atas Biologi, Fisika, Kimia, Geologi dan Astronomi yang berupaya menjelaskan setiap fenomena yang terjadi di alam (Liliasari, 2005). Sains berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga sains bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan (Depdiknas, 2003).
12
C.E.de Boer (Poedjiadi, 1994) mengemukakan bahwa orang pertama yang menggunakan istilah “Scientific Literacy”adalah Paul de Hart Hurt dari Stamford University yang menyatakan bahwa Scientific Literacy berarti memahami sains dan aplikasinya bagi kebutuhan masyarakat. Sedangkan PISA-OECD (Programe for International Student Assessment-Organisation for Economic Cooperation and
Development)
mendefinisikan
literasi
sains
sebagai
kemampuan
menggunakan pengetahuan sains, mengidentifikasi permasalahan dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti, dalam rangka mengerti serta membuat keputusan tentang alam dan perubahan yang terjadi pada alam sebagai akibat manusia (Rustaman N., et al., 2000). Sejalan dengan pemaknaan sains seperti itu, PISA-OECD bukan saja menilai pengetahuan anak, melainkan juga kemampuan berfikir ilmiah (scientific thinking), dan menggunakannya dalam konteks personal, sosial dan global (Rustaman N., et al., 2000). Collette dan Chaipeta (Poedjiadi, 1994) mengemukakan bahwa orang yang literat sains adalah orang yang memiliki: 1. pengetahuan cukup tentang fakta, konsep, teori sains dan mampu untuk mengaplikasikannya, 2. pemahaman tentang sains dan hakekat sains, 3. sikap positif terhadap sains dan teknologi, 4. apresiasi terhadap nilai sains dan teknologi dalam masyarakat dan pengetahuan tentang bagaimana sains, teknologi dan masyarakat saling mempengaruhi, 5. kemampuan menggunakan proses sains untuk menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan sehari-hari, 6. kemampuan membuat keputusan berdasarkan nilai tentang isu-isu masyarakat, 7. kemampuan keterampilan proses sains untuk dapat diaplikasikan dalam bekerja dan dapat berperan dalam masyarakat, 8. pandangan dan pemahaman yang lebih baik terhadap lingkungannya karena adanya lingkungan pembelajaran di sekolah.
13
Dalam
literasi
sains,
berbagai
kompetensi
dalam
setiap
aspek
(pengetahuan, keterampilan, serta sikap dan nilai) saling berhubungan dan saling mendukung. Rumusan kompetensi dalam literasi sains dihasilkan berdasarkan diskusi yang dilakukan oleh IPN (Institüt für Pädagogik der Naturwiscenschaft) (Nentwig et al., 2002; Gräber et al., 2002). Seperti terlihat pada gambar 2.1
Gambar 2.1 Model Bagan Pembagian Kompetensi dalam Literasi Sains Kompetensi mata pelajaran meliputi pengetahuan yang bersifat konseptual dan pengungkapan, meliputi rangkaian pengetahuan sains dan pemahaman menyeluruh dari berbagai ranah sains. Kompetensi epistemologi meliputi pengertian mendalam tentang pendekatan sains yang sistematis sebagai satu cara untuk melihat dunia, dibandingkan dengan teknologi, seni rupa, agama, dan lain lain. Kompetensi belajar meliputi kemampuan untuk menggunakan strategi belajar yang berbeda dan cara mengkonstruksi pengetahuan sains. Kompetensi
14
sosial meliputi kemampuan untuk bekerjasama dalam tim untuk mengumpulkan, menghasilkan, memproses atau menginterpretasikan secara ringkas, untuk menggunakan informasi ilmiah. Kompetensi berkomunikasi meliputi kemampuan dalam menggunakan dan memahami bahasa ilmiah, pelaporan, membaca dan berargumen akan informasi ilmiah. Kompetensi sikap/etika meliputi pengetahuan norma-norma, pemahaman tentang relatifitas norma-norma pada waktu dan lokasinya, dan kemampuan untuk mencerminkan norma-norma dan mengembangkan nilai hirarki. Dalam rangka mentransformasikan definisi literasi sains ke dalam penilaian (assessment) literasi sains, PISA mengidentifikasi tiga dimensi besar literasi sains, yakni proses sains, konten sains, dan konteks aplikasi sains. Proses sains merujuk pada proses mental yang terlibat ketika menjawab suatu pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti mengidentifikasi dan menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan. Konten sains merujuk pada konsep-konsep kunci yang diperlukan untuk memahami fenomena alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia. Konteks sains merujuk pada situasi dalam kehidupan sehari-hari yang menjadi lahan bagi aplikasi proses dan pemahaman konsep sains (Rustaman N., et al., 2004).
2. Pembelajaran Kimia Berbasis Literasi Sains dan Teknologi “Belajar merupakan proses aktif siswa untuk mempelajari dan memahami konsep-konsep yang dikembangkan dalam kegiatan belajar mengajar, baik individu maupun kelompok baik mandiri maupun dibimbing” (Arifin, 2003).
15
Menurut Slameto (1999), “belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri di dalam interaksi dengan lingkungannya”. Sedangkan pembelajaran merupakan “kegiatan belajar mengajar ditinjau dari sudut kegiatan siswa yang direncanakan guru untuk dialami siswa selama kegiatan belajar mengajar” (Arifin, 2003). Kimia sebagai bagian dari sains saat ini masih dianggap pelajaran yang sulit dipahami dan dimengerti oleh setiap siswa. Hal ini disebabkan karena pembelajaran ilmu kimia tidak relevan dalam pandangan siswa. Padahal dalam kenyataannya, kimia sangat relevan dengan kehidupan. Oleh karena itu, kita perlu menemukan cara lain dalam pembelajaran yang didasarkan pada situasi sosial. Dengan dimasukannya situasi sosial diharapkan pembelajaran konseptual mampu membuat siswa untuk dapat mengapresiasikan sains secara relevan. Menurut Holbrook (1998), supaya pembelajaran sains (kimia) lebih relevan bagi siswa, maka : 1. Diperlukan partisipasi siswa dalam memilih konteks sosial untuk pembelajaran sains 2. Penambahan aktivitas siswa akan memberi kesempatan besar kepada siswa untuk dapat belajar sendiri 3. Diperlukan potensi diagnostik untuk lebih mengukur efektifitas guru 4. Untuk mengembangkan siswa lebih maksimal maka menghindari pembelajaran yang berpusat pada guru. Pembelajaran kimia yang relevan adalah pembelajaran yang mengkaitkan antara konsep-konsep yang dipelajari dengan fenomena dalam kehidupan seharihari yang dapat memudahkan siswa dalam belajar. Dalam pembelajaran Kimia menghubungkan konsep Kimia dengan fenomena yang ada dalam kehidupan
16
sehari-hari bukanlah hal yang baru. Menurut Yager dan Lutz pendekatan STS (Science Technology Society) telah mencoba mengaitkan masalah sosial dan teknologi yang ada dalam kehidupan sehari-hari dengan pembelajaran konsepkonsep sains (Holbrook, 2005). Dari studi ini diperoleh pendekatan sosial-ilmiah yang membuat siswa lebih mengerti ide-ide sains yang berkaitan dengan isu-isu sosial dalam ruang lingkup sains, teknologi dan sosial. Rustum Roy (1983) menyatakan bahwa STS merupakan perekat yang mempersatukan sains teknologi dan masyarakat secara bersama-sama. Sains yang biasa diajarkan di sekolah saat ini serta sains yang tertulis dalam buku teks dan buku paket untuk murid sekolah, ternyata tidak memiliki arti dan nilai untuk orang-orang kebanyakan pada umumnya. Pendidikan sains akan dianggap lebih cocok dan berarti bila mana konsep-konsep, prinsip-prinsip serta teori-teori sains disajikan dalam suatu kerangka yang menyangkut teknologi dan masyarakat. Menurut Holbrook (2005) untuk mengembangkan pelajaran kimia yang relevan dapat diterapkan pembelajaran berbasis literasi sains dan teknologi (STL). STL adalah suatu pembelajaran yang didasarkan pada kemampuan siswa dalam menggunakan pengetahuan sains dan penerapannya, mencari solusi permasalahan, membuat keputusan, dan meningkatkan kualitas hidup. Pembelajaran STL merupakan penyempurnaan pembelajaran STS, keduanya mengkaitkan konsep-konsep yang dipelajari dengan fenomena dalam kehidupan sehari-hari namun bedanya pada STL siswa diharapkan mampu untuk membuat keputusan yang rasional berbasis sains. Selain itu pembelajaran STS relevansinya masih diragukan oleh kebanyakan orang. (Holbrook, 2005). Terdapat dua keterampilan penting dalam pembelajaran STL yaitu penyelesaian masalah dan membuat keputusan sosial secara ilmiah. Keterampilan
17
pertama dilakukan dengan melibatkan siswa dalam suatu kegiatan yang mana kegiatannya dapat membuat siswa untuk mengidentifikasi pertanyaan ilmiah, merencanakan percobaan, memprediksi hasil yang dicapai, mengidentifikasi variabel, melakukan observasi, menentukan bagaimana mengumpulkan data, menginterpretasi hasil temuan dan mempresentasikannya. Keterampilan yang kedua adalah mampu untuk membuat keputusan. Sebuah keputusan yang tidak bersifat statis, artinya dapat berubah sesuai dengan waktu, dan tujuan yang lebih jauhnya lagi adalah berusaha untuk mendapatkan sebuah keputusan yang menunjukkan hal tersebut penting. Holbrook (2005) mengusulkan urutan pengajaran pada pelajaran kimia dimulai dari judul kemudian tujuan pembelajaran dan konsep sains. Judul untuk bahan mengajar disarankan dapat memberikan pemikiran dan disarankan dapat menimbulkan pertanyaan, karena bahan mengajar ini diharapkan dapat menghubungkan kondisi sosial dengan siswa. Pada kasus ini, judul dikaitkan dengan isu-isu sosial yang dapat menunjang siswa dalam memahami konsep sains. Dengan cara ini, judul terkait dengan satu masalah yang memerlukan pemecahan dan menjadi langkah awal bagi siswa untuk menghimpun ide-ide konseptual. Hindari judul yang menggunakan pernyataan konsep kimia, karena hal ini bisa jadi tidak dikenal oleh siswa, atau dilihat sebagai sesuatu yang tidak relevan. Salah satu cara untuk menggambarkan pembelajaran berbasis literasi sains dan teknologi ini adalah melalui pengembangan peta konsekuensi. Peta konsekuensi ini diawali dengan isu-isu sosial yang berkaitan dengan materi dan diakhiri dengan pengambilan keputusan guna melakukan tindakan yang tepat
18
dalam usaha pemecahan masalah dari isu sosial yang ditampilkan sebelumnya. Isu-isu sosial tersebut dapat berasal dari berita-berita di koran, majalah, atau artikel. (Holbrook, 1998) Menurut Holbrook (2005) STL memiliki kriteria berikut ini: 1. hasil-hasil yang diharapkan dalam mengajar harus meliputi semua tujuan pendidikan; 2. pembelajaran yang ingin dicapai dapat dirangkum ke dalam peta konsekuensi yang membuat guru dapat mengajar sesuai dengan konsep yang meliputi nilai-nilai pengajaran untuk pengambilan keputusan secara sosial-ilmiah; 3. dalam pengajaran pasti mempertimbangkan pembelajaran konsep sains dan lebih menekankan perhatian pada peta konsep merupakan bagian utama dari peta konsekuensi. 4. pendekatan dalam mengajar dimulai dari perspektif sosial yang relevan dengan siswa atau kebutuhan sosial 5. pembelajaran konstruktivisme dibentuk oleh pendekatan partisipasi siswa 6. para siswa terlibat aktif dalam aktivitas yang berhubungan dengan pembelajaran sehingga dapat meningkatkan prestasi sesuai dengan hasil yang diharapkan 7. keterlibatan siswa dalam pemecahan masalah sains dan pengambilan keputusan secara sosial-ilmiah. 8. penilaian langsung dihubungkan dengan tingkatan prestasi dari hasil belajar yang diharapkan. Chemie im Kontext (ChiK), sebuah proyek kerjasama beberapa universitas di Jerman, mengkaji dan mengembangkan berbagai hal tentang pendidikan sains (kimia), memberikan landasan teoritis dan arahan untuk mengimplementasikan pembelajaran berbasis STL. Menurut ChiK (Nentwig et al., 2002), bahwa “Ada tiga landasan teoritis dalam pembelajaran berbasis literasi sains dan teknologi (STL), yaitu literasi sains, teori motivasi, dan teori konstruktivisme”. 1. Teori Motivasi Motivasi menurut Herbert (1986) merupakan sesuatu kekuatan (energi) yang menggerakkan tingkah laku seseorang untuk beraktivitas. Peranan motivasi
19
dalam pembelajaran sangatlah penting. Untuk mencapai tujuan dari pembelajaran peserta didik haruslah memiliki motivasi yang sangat tinggi untuk belajar. Untuk itu guru harus memiliki kemampuan untuk dapat membangkitkan motivasi siswa. Keinginan belajar untuk setiap orang berbeda bergantung pada ada tidaknya dorongan pada diri setiap individu. Dorongan untuk belajar ini bisa datang dari dirinya sendiri yang disebut motivasi instrinsik, bisa juga datang dari luar dirinya yang disebut motivasi ekstrinsik. Dorongan untuk belajar ini kadarnya berbeda untuk setiap individu bergantung pada perkembangan kognitif siswa. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang makin kuat dorongan untuk belajar. Untuk memotivasi siswa dalam belajar banyak hal yang dapat dilakukan. Siswa akan termotivasi untuk belajar bila konsep yang dipelajari menarik dan berguna bagi dirinya. Pada pembelajaran berbasis literasi sains dan teknologi ini konsep yang disampaikan bersifat konteks. Konteks ini berkaitan dengan kepentingan sosial baik individu maupun masyarakat atau kepentingankepentingan lainnya yang berhubungan dengan perlunya pengembangan dan penyesuaian pendidikan sains untuk menghadapi tantangan kemajuan jaman sekarang ini. 2. Teori Konstruktivisme Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru
dalam
struktur
kognitif siswa berdasarkan
pengalaman.
Menurut
konstruktivisme, pengetahuan itu memang berasal dari luar, akan tetapi dikonstruksi oleh dan dari dalam seseorang.
20
Belajar menurut teori ini merupakan proses aktif yang memungkinkan seseorang membangun makna dan informasi yang diterimanya dengan melibatkan karakteristik individu. Berdasarkan pengertian itu maka peran guru dalam pembelajaran semata-mata tidak hanya memberikan pengetahuan kepada siswa tetapi siswa sendiri yang harus membangun pengetahuan di dalam benaknya melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar sehingga siswa menjadi pusat kegiatan (student center). Untuk mengimplementasikan pembelajaran berbasis STL, ChiK (Nentwig et al., 2002) merumuskan kerangkanya pada tiga landasan, yaitu : a. Berorientasi pada konteks dan menanamkan proses belajar pada masalah yang sebenarnya. Situasi belajar harus diperhitungkan dan dikaitkan dengan lingkungan nyata yang benar-benar dirasakan oleh siswa sebagai pembelajar sehingga pengetahuan, kompetensi serta isu penting yang diberikan kepada siswa benarbenar relevan dengan lingkungan nyata (Vanderbilt dalam Nentwig et al., 2002). b. Menggunakan metodologi pengajaran yang mengembangkan pembelajaran mandiri dan “cooperative learning”. Rancangan lingkungan belajar yang merangsang aktivitas siswa dan menyediakan sumber belajar yang penting, seperti kumpulan materi, persiapan eksperimen dan mengakses media baru disusun sedemikian rupa. Besar kemungkinan, aktivitas belajar seperti ini dapat langsung dijalankan oleh siswa secara mandiri, sedangkan dukungan dan bimbingan guru ada jika
21
diperlukan saja. Memulai dari situasi yang nyata, aktivitas siswa dirangsang pada tujuan memperkaya pengetahuan dan kompetensi, sehingga masalah yang diajukan dapat diselesaikan secara lebih efisien dan siswa merasa puas. Aktivitas seperti ini banyak disajikan dalam bentuk diskusi kelompok kecil. Percakapan sosial akan membantu untuk mengembangkan konsep umum dan untuk mengecek pemahaman dari teman sebaya. Sebagai akibatnya, peran guru berubah dari penghubung pengetahuan menjadi salah satu penyedia sumber pengetahuan dan penentu langkah-langkah proses pembelajaran (Dubs, 1999 dalam Nentwig et al., 2002). c. Bertujuan pada pengembangan yang sistematis dari beberapa konsep dasar kimia. Agar pengetahuan yang diperoleh lebih aplikatif dan bermakna di luar konteks pembelajaran, maka diperlukan dekontekstualisasi (Greeno et al., dalam Nentwig et al., 2002). Perluasan konsep harus diambil dari intisari pengetahuan. Hal ini dapat dicapai dengan penggunaan konteks yang beragam, yaitu masalah yang sama diberikan dalam konteks yang berbeda dimana memerlukan konsep pengetahuan yang sama untuk pemecahannya (Vanderbilt, dalam Nentwig et al., 2002). Kemungkinan lain untuk mendapatkan intisari pengetahuan adalah dengan menggunakan perspektif yang beragam, yaitu masalah yang sama diberikan dari sudut pandang mata pelajaran sekolah yang berbeda (Spiro dalam Nentwig et al., 2002). Proses pengambilan intisari ini biasanya tidak dapat dicapai sendiri oleh siswa, sehingga harus dimulai dan dibimbing oleh guru supaya tercapai
22
keseimbangan antara posisi belajar dan penguasaan pemahaman konsep pembelajaran yang sistematis. Ketiga landasan di atas akan menentukan pemilihan topik dan rancangan pembelajaran. Kesatuan contoh yang dirancang dan diberikan kepada guru sebagai orientasi untuk pekerjaan mereka. Berikut ini adalah contoh bagan rancangan pembelajaran yang mencerminkan ketiga landasan di atas.
Konsep dasar
:
pendalaman pemahaman
Bahan pelajaran
: pengetahuan kimia pada tingkat sekolah
Konteks
:
tema 1
tema 2
tema 3 …
Gambar 2.2 Bagan Rancangan Pembelajaran Berbasis STL
Tema 1 mengangkat pertanyaan yang jawabannya membutuhkan pengetahuan kimia yang pasti. Pengetahuan ini diperluas dengan berbagai cara, sampai pertanyaan tersebut dapat terjawab. Perluasan tema 2 akan menggunakan beberapa pengetahuan ini dan beberapa pengetahuan lain. Tema 3 yang digali akan membangun pengetahuan yang lebih luas, dan jika suatu saat unsur pengetahuan dari konsep dasar muncul, maka pengetahuan tersebut direfleksikan dan digunakan untuk menyusun pengetahuan yang diperoleh secara sistematis (Nentwig et al., 2002) Proses pembelajaran dilakukan secara bertahap. Untuk menerapkan pembelajaran berbasis literasi sains dan teknologi dilakukan tahapan-tahapan
23
pembelajaran dimana tahapan pembelajarannya diadopsi, diadaptasi dan dimodifikasi dari proyek ChiK (Nentwig et al., 2002). Hal ini dilakukan karena sampai saat ini belum ada pola pembelajaran yang harus diikuti. Adapun langkahlangkah pembelajaran yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1.
Tahap Kontak (Contact Phase) Pada tahap ini dikemukakan isu-isu, masalah yang ada di masyarakat atau menggali berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar siswa dan mengaitkannya dengan materi yang akan dipelajari sehingga siswa menyadari pentingnya memahami materi tersebut. Topik yang dibahas dapat bersumber dari berita, artikel, atau pengalaman siswa sendiri.
2.
Tahap Kuriositi (Curiosity Phase) Pada tahap ini dikemukakan pertanyaan-pertanyaan, dimana jawabannya membutuhkan pengetahuan kimia yang dapat mengundang rasa penasaran dan keingintahuan siswa.
3.
Tahap Elaborasi (Elaboration Phase) Pada tahap ini dilakukan eksplorasi, pembentukan dan pemantapan konsep sampai pertanyaan pada tahap kuriositi dapat terjawab. Eksplorasi, pembentukan dan pemantapan konsep tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode, misalnya ceramah bermakna, diskusi dan kegiatan praktikum, atau gabungan dari ketiganya. Melalui kegiatan inilah berbagai kemampuan siswa akan tergali lebih dalam, baik aspek pengetahuan, keterampilan proses, maupun sikap dan nilai.
24
4.
Tahap Pengambilan Keputusan (Decision Making Phase) Pada tahap ini dilakukan pengambilan keputusan oleh siswa dengan dibantu guru sebagai fasilitator, mengenai masalah-masalah yang ada di masyarakat yang ada hubungannya dengan konsep yang dipelajari.
5.
Tahap Pengembangan Konsep (Nexus Phase) Pada tahap ini dilakukan proses pengambilan intisari (konsep dasar) dari materi yang dipelajari, kemudian mengaplikasikannya pada konteks yang lain (dekontekstualisasi), artinya masalah yang sama diberikan dalam konteks yang berbeda dimana memerlukan konsep pengetahuan yang sama untuk pemecahannya. Tahap ini dilakukan agar pengetahuan yang diperoleh lebih aplikatif dan bermakna di luar konteks pembelajaran.
6.
Tahap Evaluasi (Evaluation Phase) Pada tahap ini dilakukan evaluasi pembelajaran secara keseluruhan yang berguna untuk menilai keberhasilan belajar siswa. Evaluasi dilakukan bukan hanya untuk menilai aspek pengetahuan saja, tetapi juga aspek keterampilan proses dan konteks aplikasi sains serta sikap siswa.
C. Aspek Sikap dan Nilai pada Literasi Sains Sikap dan nilai merupakan salah satu kompetensi dalam literasi sains. Istilah sikap pertama kali diartikan sebagai status mental (Spencer, dalam Azwar, 1995). Beberapa definisi sikap yang pernah dikemukan pakar adalah sebagai berikut;
25
1. Secord dan Backman menyatakan sikap didefinisikan sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya (Azwar dalam Purwanti, 2008). 2. Thurstone, Likert dan Osgood mengemukakan bahwa sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan mendukung atau memihak maupun perasaan tidak mendukung dan tidak memihak (Azwar dalam Purwanti, 2008). 3. Sikap merupakan pembawaan
yang dapat dipelajari, dan dapat
mempengaruhi perilaku seseorang terhadap benda-benda, kejadiankejadian atau mahluk-mahluk hidup lainnya (Dahar, 1989). Sikap siswa merupakan aspek yang sangat berpengaruh terhadap keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar. MvLeod dan Reyes (dalam Yulianti, 2006) mengemukakan bahwa sikap merupakan persepsi tentang diri sendiri, orang lain, objek atau ide-ide. Sikap meliputi perasaan positif (favorable) atau negatif (unfavorable) dan mempengaruhi berbagai perilaku. Sikap positif terhadap sesuatu menyebabkan perasaan mampu dan diri bermanfaat serta keyakinan akan kemampuan untuk berhasil jika kita bertanggung jawab dan berusaha keras. Sikap terbentuk dari adanya interaksi yang dialami oleh individu. Dalam interaksi ini terjadi hubungan saling mempengaruhi di antara individu yang satu dengan yang lain, terjadi hubungan timbal balik yang turut mempengaruhi pola perilaku masing-masing individu sebagai anggota masyarakat. Interaksi yang
26
meliputi hubungan antara individu dengan lingkungan fisik maupun lingkungan psikologis di sekelilingnya disebut interaksi sosial. Menurut Azwar (dalam Purwanti, 2008) dalam interaksi sosialnya individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Di antara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu. Nilai adalah suatu keyakinan mengenai cara bertingkah laku dan tujuan akhir yang diinginkan individu, dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya. Menurut Rokeach (dalam Depdiknas, 2008) nilai merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Selanjutnya dijelaskan bahwa sikap mengacu pada suatu organisasi sejumlah keyakinan sekitar objek spesifik atau situasi, sedangkan nilai mengacu pada keyakinan. Definisi lain tentang nilai disampaikan oleh Tyler (dalam Depdiknas, 2008), yaitu nilai adalah suatu objek, aktivitas, atau ide yang dinyatakan oleh individu dalam mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan. Selanjutnya dijelaskan bahwa manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas, dan ide sehingga objek ini menjadi pengatur penting minat, sikap, dan kepuasan. Fungsi nilai adalah dalam memecahkan konflik dan mengambil keputusan. Keputusan seseorang dapat dijadikan indikator tentang nilai yang dianutnya. Pemahaman tentang nilai tidak terlepas dari pemahaman tentang
27
bagaimana nilai itu terbentuk. Schwartz berpandangan bahwa nilai merupakan representasi kognitif dari tipe persyaratan hidup manusia yang universal, yaitu: 1. kebutuhan individu sebagai organisme biologis 2. persyaratan interaksi sosial yang membutuhkan koordinasi interpersonal 3. tuntutan institusi sosial untuk mencapai kesejahteraan kelompok dan kelangsungan hidup kelompok. Setelah mengikuti pembelajaran STL, siswa harus memiliki kompetensi untuk dapat mengaplikasikan nilai-nilai literasi sains dalam kehidupan nyata. Cara untuk meningkatkan relevansi pendidikan dengan nilai-nilai kehidupan nyata adalah dengan pendidikan life skills (kecakapan hidup) (Anwar, 2006). Depdiknas (dalam Anwar, 2006) membagi life skills (kecakapan hidup) menjadi empat jenis yaitu : 1. Kecakapan Personal (personal skills) yang mencakup kesadaran diri (self awareness) dan kecakapan berpikir rasional. 2. Kecakapan sosial (sosial skills) 3. Kecakapan akademik (academic skills) 4. Kecakapan vokasional (vocational skills) Kecakapan personal dan kecakapan sosial disebut sebagai general life skills (GLS). Sedangkan kecakapan akademik dan kecakapan vokasional disebut sebagai specific life skills (SLS). Di tingkat SMP/MTS difokuskan pada kecakapan generik (GLS) yang mencakup kesadaran diri dan kecakapan sosial (Anwar, 2006). Kesadaran diri merupakan evaluasi yang dilakukan individu terhadap
kemampuan dan kelemahan yang dimilikinya (Depdiknas, 2003).
Kesadaran diri juga merupakan persepsi terhadap kemampuan diri, pengetahuan serta nilai dan tanggung jawab. Kecakapan sosial mencakup antara lain:
28
kecakapan komunikasi dengan empati dan kecakapan bekerja sama (Anwar, 2006). Goleman dalam Hernowo (2009) menyatakan kecakapan sosial dibagi menjadi dua yaitu empati dan kemampuan berhubungan dengan orang lain. Empati adalah kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan, dan kepentingan orang lain. Empati ini memungkinkan seseorang untuk membantu secara tulus-ikhlas apa yang diperlukan oleh orang lain. Empati juga memungkinkan seseorang peka terhadap penderitaan yang dialami oleh orang lain. Sementara itu, bagian kedua dari kecakapan sosial (sosial skill) ini terkait dengan kemampuan memberikan
pengaruh,
berkomunikasi,
memimpin,
menjadi
katalisator
perubahan, mengelola konflik, membangun jaringan, melakukan kolaborasi dan kooperasi, serta menciptakan sinergi antarkelompok. Kesadaran diri dan kecakapan sosial merupakan salah satu dari tujuan dalam pembelajaran sains. Menurut Bybee dalam Hollbrook (1998) tujuan pendidikan sains dapat dicapai jika lima komponen besar ini terdapat dalam kurikulum dan pengajaran kita. Lima komponen tersebut yaitu 1) Kebutuhan masyarakat. Memastikan
bahwa
pembelajaran
sains
sesuai
dengan
kebutuhan
masyarakat. Pembelajaran sains bisa mengembangkan siswa untuk berperan dalam masyarakat dan memberi manfaat kepada masyarakat sekitar. Masyarakat berkehendak pembelajaran sains dapat berhubungan dengan budaya, lingkungan sekitar, paham terhadap politik dan masyarakat, kesadaran serta nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat.
29
2) Penelitian dengan metode ilmiah. Meliputi teknik penelitian, kemampuan dan aktivitas dalam inkuiri, kemampuan pemecahan masalah, serta perilaku sains. 3) Perkembangan personal (diri) dari siswa. 4) Kesadaran akan peluang karir selanjutnya. Komponen tiga dan empat membuat siswa mengenal dirinya sebagai makhluk individu dan pembelajaran sains dapat membantu siswa untuk tercapainya cita-cita dalam pembelajaran yang lebih luas dan membuatnya relevan dengan kesadaran akan kesempatan berkarir lebih lanjut. Dalam pembelajaran sains perkembangan personal (diri) mencakup perkembangan keinisiatifan, kecerdasan, kreativitas, ketekunan, bekerja dengan aman bersama orang lain, juga termasuk kemampuan pembelajaran kooperatif dan berkomunikasi. 5) Pengetahuan secara empiris dari sistem kimia, biologi dan fisika. Komponen ini mencakup fakta, konsep, generalisasi dan skema konsep yang dihasilkan oleh ahli sains. Kesadaran diri dan kecakapan sosial merupakan komponen dari kompetensi afektif. Depdiknas (2003) mendeskripsikan adanya dua hal yang perlu dinilai dalam kaitannya dengan ranah afektif, yakni (1). Kompetensi afektif, serta (2). Sikap dan minat siswa terhadap mata pelajaran dan pembelajaran. Ada beberapa kompetensi afektif yang perlu dicapai dalam pembelajaran berkaitan dengan kemampuan siswa dalam:
30
a. memberikan respon atau reaksi terhadap nilai-nilai yang dihadapkan kepadanya. b. menikmati atau menerima nilai, norma, serta objek yang mempunyai nilai etika dan estetika. c. menilai (valuing) ditinjau dari segi baik buruk, adil-tidak adil, indah-tidak indah terhadap objek studi. d. Menerapkan atau mempraktikan nilai, norma, etika, dan estetika dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Aspek sikap dan nilai termasuk ke dalam ranah afektif. Menurut Krathwohl (dalam Depdiknas, 2008) bila ditelusuri hampir semua tujuan kognitif mempunyai komponen afektif. Dalam pembelajaran sains, misalnya, di dalamnya ada komponen sikap ilmiah. Sikap ilmiah adalah komponen afektif. Tingkatan ranah afektif menurut taksonomi Krathwohl ada lima, yaitu: receiving (attending), responding, valuing, organization, dan characterization. 1. Tingkat receiving Pada tingkat receiving atau attending, peserta didik memiliki keinginan memperhatikan suatu fenomena khusus atau stimulus, misalnya kelas, kegiatan, musik, buku, dan sebagainya. Tugas pendidik mengarahkan perhatian peserta didik pada fenomena yang menjadi objek pembelajaran afektif. Misalnya pendidik mengarahkan peserta didik agar senang membaca buku, senang bekerjasama, dan sebagainya. Kesenangan ini akan menjadi kebiasaan,dan hal ini yang diharapkan, yaitu kebiasaan yang positif.
31
2. Tingkat Responding Responding merupakan partisipasi aktif peserta didik, yaitu sebagai bagian dari perilakunya. Pada tingkat ini peserta didik tidak saja memperhatikan fenomena khusus tetapi ia juga bereaksi. Hasil pembelajaran pada ranah ini menekankan pada pemerolehan respons, berkeinginan memberi respons, atau kepuasan dalam memberi respons. Tingkat yang tinggi pada kategori ini adalah minat, yaitu hal-hal yang menekankan pada pencarian hasil dan kesenangan pada aktivitas khusus. Misalnya senang membaca buku, senang bertanya, senang membantu teman, senang dengan kebersihan dan kerapian, dan sebagainya 3. Tingkat valuing Valuing
melibatkan
penentuan
nilai,
keyakinan
atau
sikap
yang
menunjukkan derajat internalisasi dan komitmen. Derajat rentangannya mulai dari menerima suatu nilai, misalnya keinginan untuk meningkatkan keterampilan, sampai pada tingkat komitmen. Valuing atau penilaian berbasis pada internalisasi dari seperangkat nilai yang spesifik. Hasil belajar pada tingkat ini berhubungan dengan perilaku yang konsisten dan stabil agar nilai dikenal secara jelas. Dalam tujuan pembelajaran, penilaian ini diklasifikasikan sebagai sikap dan apresiasi. 4. Tingkat organization Pada tingkat organization, nilai satu dengan nilai lain dikaitkan, konflik antar nilai diselesaikan, dan mulai membangun sistem nilai internal yang
32
konsisten. Hasil pembelajaran pada tingkat ini berupa konseptualisasi nilai atau organisasi sistem nilai. Misalnya pengembangan filsafat hidup. 5. Tingkat characterization Tingkat ranah afektif tertinggi adalah characterization nilai. Pada tingkat ini peserta didik memiliki sistem nilai yang mengendalikan perilaku sampai pada waktu tertentu hingga terbentuk gaya hidup. Hasil pembelajaran pada tingkat ini berkaitan dengan pribadi, emosi, dan sosial. Aspek yang diteliti dalam penelitian ini mencakup sikap dan nilai siswa terhadap pembelajaran, terhadap kegiatan berkelompok dan kesadaran siswa terhadap terapan kimia dalam mengikuti pembelajaran kimia berbasis literasi sains dan teknologi. Dalam kegiatan berkelompok, siswa dituntut untuk bisa berkomunikasi lisan dan mampu bekerjasama dengan orang lain. Kesadaran siswa terhadap terapan kimia meliputi kesadaran akan eksistensi diri dan kesadaran akan potensi diri (Depdiknas, 2006). Setelah pembelajaran STL ini diharapkan terjadi peningkatan sikap dan nilai siswa. Sikap dan nilai siswa diharapkan menjadi lebih baik setelah mengalami pembelajaran. Hal ini sesuai dengan salah satu kompetensi dalam pembelajaran sains yaitu siswa mengembangkan sikap ingin tahu, tidak percaya tahayul, jujur dalam menyajikan data, faktual, terbuka pada pikiran dan gagasan baru, kreatif dalam menghasilkan karya ilmiah, peduli terhadap makhluk hidup dan lingkungan, tekun dan teliti (Depdiknas, 2003). Cara mengembangkan sikap dan nilai siswa dalam pembelajaran berbasis STL dapat dilakukan dengan mengaitkan materi yang akan dipelajari
33
siswa dengan fenomena atau isu-isu yang terjadi dalam kehidupan sehari-sehari siswa. Cara lainnya siswa dibimbing untuk dapat menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan atas fenomena atau isu-isu yang dipelajari. Hal tersebut dilakukan agar siswa dapat menentukan sikap jika dihadapkan dengan nilai-nilai yang berbeda kepada dirinya. Dari perubahan sikap ini diharapkan siswa mampu mengubah nilai-nilai negatif yang terdapat dalam dirinya atau dalam masyarakat yang telah tertanam sebelumnya menjadi sikap yang lebih positif. Peningkatan sikap dan nilai yang dialami siswa terjadi berdasarkan pada konsep-konsep IPA yang telah mereka pelajari dan pahami serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari
D. Penilaian Literasi Sains dan Teknologi Penilaian adalah komponen penting dalam pembelajaran dan pengajaran. Proses penentuan informasi yang diperlukan, pengumpulan serta penggunaan informasi tersebut untuk melakukan pertimbangan sebelum keputusan disebut penilaian atau evaluasi (Firman, 2002). Dalam pembelajaran kimia berbasis literasi sains dan teknologi penilaian biasanya terfokus pada salah satu aspek berikut: Penilaian terhadap mengingat pengetahuan sains hasil pembelajaran di sekolah. Pengetahuan konten biasanya dipertimbangkan sebagai hal penting dalam literasi sains, terkadang aspek ini menjadi aspek paling dinilai oleh guru sains (Laugksch dan spargo dalam Shwartz et al., 2006)
34
Penilaian terhadap kemampuan mengaplikasikan prinsip sains dalam konteks non-academic. Karakteristik utama dalam aspek ini adalah desain tugas tulisan tangan dan kemampuan mengevaluasi hasil perbuatan. Aspek ini tidak hanya menilai
pengetahuan
konteks
sains,
penilaiannya
difokuskan
dalam
keterampilan hidup (Shwartz et al., 2006) Penilaian kemampuan literasi dalam konteks sains untuk menilai kemampuan individu dalam membaca, menulis, dan mengemukakan informasi lebih lanjut. Contohnya menilai kemampuan menggunakan pemberitaan media mengenai penelitian sains (Shwartz et al., 2006). Penilaian siswa dalam mengenal nature of science (NOS) dan siswa mengetahui sains dan sikap terhadap masalah yang ada di masyarakat (Shwartz et al., 2006). Program survey yang membantu penilaian literasi sains yaitu PISA-OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) yang berfokus pada pengetahuan praktis, menjawab pertanyaan secara ilmiah, mengidentifikasi buktibukti yang relevan, menilai kesimpulan dengan kritis, dan menghubungkan ideide ilmiah (dalam Shwartz et al., 2006). Bybee dan BSCS (dalam Shwatz et al., 2006) mengemukakan beberapa tingkatan literasi sains yang lebih cocok dinilai dan diterapkan selama pembelajaran di sekolah, karena kemudahannya untuk diterapkan pada tujuan instruksional. Beberapa tingkatan yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Scientific illiteracy: siswa tidak dapat merealisasikan atau merespon sebuah pertanyaan yang memerlukan alasan yang masuk akal karena siswa tidak
35
mempunyai pembendaharaan kata, konsep, konteks, dan kemampuan kognitif untuk mengidentifikasi pertanyaan secara ilmiah. 2. Nominal scientific literacy: siswa mengenal konsep yang berhubungan dengan sains, tetapi tingkatan pemahaman yang benar diindikasikan miskonsepsi. 3. Functional scientific literacy: siswa dapat menerangkan sebuah konsep dengan benar, tetapi pemahamannya masih terbatas. 4. Conceptual scientific literacy: siswa mengembangkan beberapa pemahaman dari skema konsep mata pelajaran dan menghubungkan skema tersebut dengan pemahaman sains siswa secara umum. Kemampuan prosedur dan pemahaman tentang proses penemuan sains dan teknologi termasuk juga dalam tingkatan literasi ini. 5. Multidimensional scientific literacy: pandangan literasi sains menggabungkan pemahaman sains yang luas melebihi dari konsep mata pelajaran dan prosedur penyelidikan ilmiah. Siswa mengembangkan beberapa pemahaman dan penghargaan terhadap sains dan teknologi yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Khususnya mereka mulai membuat hubunganhubungan antara sains, teknologi dan isu-isu di kehidupan masyarakat dalam mata pelajaran sains. Penilaian literasi sains selama pembelajaran di sekolah tidak dilakukan untuk mengukur tingkat literasi sains dan teknologi siswa. Penilaian ini hanya bertujuan untuk menilai efektifitas pendidikan sains dalam membentuk sikap, nilai, kemampuan dasar, pengetahuan dan pemahaman sains yang dapat dilihat dari ketercapaian indikator-indikator dan kompetensi yang telah ditetapkan.
36
Dengan demikian, penilaian literasi sains di sekolah hanya menunjukkan apakah benih-benih literasi ditemukan pada sikap setiap siswa atau tidak.
E. Tinjauan Materi (Kimia SMP kelas VII, 2007) Berdasarkan standar isi materi pelajaran Kimia SMP, Klasifikasi zat merupakan materi pokok yang diberikan di kelas VII semester I. Standar kompetensinya adalah memahami klasifikasi zat sedangkan kompetensi dasarnya adalah mengelompokan sifat larutan asam, larutan basa dan larutan netral melalui alat dan indikator yang tepat serta melakukan percobaan sederhana dengan bahanbahan yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari.
1. Konten Sains a. Pengertian Asam, Basa, dan Garam Asam, basa dan garam banyak terdapat dalam bahan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu asam, basa dan garam telah dikenal sebagai zat-zat yang menarik untuk dipelajari. 1. Asam Kata “asam” berasal dari bahasa latin yaitu “acidum” atau “acid” dalam bahasa Inggris. Senyawa asam banyak kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa asam yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, ditunjukkan dalam tabel 2.1 berikut ini:
37
Tabel 2.1 Beberapa asam yang dikenal No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Nama asam Asam asetat Asam askorbat Asam sitrat Asam borat Asam karbonat Asam klorida Asam nitrat Asam fosfat Asam sulfat Asam tatrat Asam malat Asam formiat Asam laktat Asam benzoat
Terkandung dalam Cuka dapur Jeruk, tomat, sayuran Jeruk atau buah-buahan Larutan pencuci mata Minuman bersoda Lambung Pupuk Bahan pupuk Baterai mobil dan bahan pupuk Buah anggur Buah apel Sengatan lebah Susu yang asam Bahan pengawet makanan
(Sumber: Ilmu Pengetahuan Alam untuk Kelas VII SMP/MTs, 2008)
Sifat Asam 1) Rasanya masam Rasa masam pada acar mentimun membuat acar terasa segar dan cocok dipadukan dengan berbagai macam masakan. Rasa masam pada acar tersebut berasal dari cuka. Cuka merupakan salah satu asam yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari. Nama cuka dalam ilmu kimia adalah asam asetat, dalam hal ini rasa sebaiknya jangan dipergunakan untuk menguji asam atau basa, kita tidak boleh begitu saja menyentuh atau mencicipi zat-zat kimia yang belum dikenal karena banyak diantaranya yang bersifat korosif. 2) Mengubah warna indikator Selain rasa asam yang kecut, sifat asam yang lain dapat mengubah warna beberapa zat alami ataupun buatan. Indikator yang sering digunakan adalah kertas
38
lakmus. Asam akan mengubah warna kertas lakmus biru menjadi merah, sedangkan kertas lakmus merah akan tetap berwarna merah. 3) Menghantarkan arus listrik Asam dapat menghantarkan arus listrik. Hal itu dikarenakan asam dapat melepaskan ion-ion dalam larutannya yang mampu menghantarkan arus listrik. Asam kuat merupakan elektrolit yang baik. Semakin kuat suatu asam, akan semakin baik pula daya hantar listriknya. 4) Bereaksi dengan logam menghasilkan gas hidrogen Asam bereaksi dengan beberapa jenis logam menghasilkan gas hidrogen. Logam magnesium, besi, tembaga, dan seng yang merupakan contoh logam yang dapat bereaksi dengan asam sehingga menghasilkan gas hidrogen dan senyawa garam.
2. Basa Basa (alkali) berasal dari bahasa Arab yang berarti abu. Beberapa basa yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, ditunjukkan dalam tabel 2.2 berikut ini: Tabel 2.2 Beberapa basa yang dikenal No. 1. 2. 3. 4.
Nama basa Aluminium hidroksida Kalsium hidroksida Magnesium hidroksida Natrium hidroksida
Terkandung dalam Deodoran, obat sakit maag Air kapur Obat urus-urus, antasid Bahan sabun, pembersih
(Sumber: Ilmu Pengetahuan Alam untuk Kelas VII SMP/MTs, 2008)
39
Sifat Basa 1) Pahit dan terasa licin di kulit Rasa licin pada sabun disebabkan oleh basa yang terdapat pada sabun. Basa pembuat sabun adalah natrium hidroksida. Selain terasa licin, basa pun memiliki rasa yang pahit. Akan tetapi, tidak dianjurkan untuk memeriksa apakah suatu zat itu suatu basa atau bukan dengan cara menyentuh atau mencicipinya. Hal itu karena basa kuat bersifat korosif yang dapat menyebabkan tangan teriritasi dan terbakar. 2) Mengubah warna Indikator Seperti halnya asam, larutan basa pun akan bereaksi dengan indikator sehingga dapat mengubah warna indikator tersebut. Basa akan mengubah warna kertas lakmus merah menjadi biru, sedangkan lakmus biru akan tetap berwarna biru. 3) Menghantarkan arus Listrik Seperti halnya asam, senyawa basa pun merupakan penghantar listrik yang baik, khususnya basa kuat. Hal itu dikarenakan basa dapat melepaskan ion-ion dalam larutannya yang mampu menghantarkan arus listrik. Basa kuat merupakan elektrolit yang baik. Semakin kuat suatu basa, akan semakin baik pula daya hantar listriknya.. Sifat asam berbeda dengan sifat basa. Untuk lebih jelas mengenai perbedaan sifat asam dan basa dapat dilihat pada tabel 2.3 berikut ini.
40
Tabel 2.3 Perbedaan sifat asam dan sifat basa No. Asam Basa 1. Senyawa asam memiliki rasa Senyawa basa terasa pahit. masam. 2. Senyawa asam bersifat korosif. Senyawa basa bersifat merusak kulit (kaustik ). 3. Sebagian besar bereaksi dengan Terasa licin di tangan, seperti sabun. logam. 4. Dapat mengubah warna zat yang Dapat mengubah warna zat lain. dimiliki oleh zat lain (dapat (warna yang dihasilkan berbeda dijadikan indikator asam atau dengan asam). basa). 5. Menghasilkan ion H+ dalam air. Menghasilkan ion OH– dalam air. (Sumber: Modul untuk Guru SMP, 2007) 3. Garam Garam tidak identik dengan garam dapur. Garam dapur hanyalah salah satu contoh dari garam yang dikenal dalam kehidupan sehari-hari. Garam adalah senyawa yang terbentuk dari reaksi antara asam dan basa. Reaksi pembentukan garam dari asam dan basa disebut reaksi penetralan atau reaksi netralisasi. Garam dapat bersifat netral, asam atau basa tergantung dari kekuatan asam dan basa pembentuknya. Beberapa garam yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, ditunjukkan dalam tabel 2.4 berikut ini: Tabel 2.4 Beberapa garam yang dikenal No. Nama garam 1. Natrium klorida 2. Natrium bikarbonat 3. Kalsium karbonat 4. Kalium nitrat 5. Natrium fosfat 6. Amonium klorida 7. Tembaga(II) sulfat
Rumus NaCl NaHCO3
Manfaat Penambah rasa asin pada makanan Pengembang kue
CaCO3 KNO3 Na3PO4 NH4Cl CuSO4
Bahan pembentuk cat Pupuk Bahan pelembut pada deterjen Bahan baterai Membasmi jamur tanaman anggur dan kentang
41
8. 9. 10.
Kalsium sulfat hidrat Kalsium flourida Natrium karbonat
CaSO4.2H2O Gips untuk patah tulang CaF2 Na2CO3
Menguatkan email gigi Bahan-bahan alat pembersih
(Sumber: Modul untuk Guru SMP, 2007) Reaksi penetralan berguna bagi kehidupan manusia. Sebagai contoh pada saat produksi asam lambung (HCl) berlebih dapat dinetralkan dengan meminum obat yang mengandung senyawa basa Mg(OH)2. Selain itu para petani menggunakan reaksi penetralan agar tanah yang terlalu asam dan tidak baik bagi tanaman dapat menjadi netral dengan menambahkan senyawa basa Ca(OH)2 atau air kapur. Reaksi ini pun terjadi pada pasta gigi yang dapat menetralkan mulut kita dari asam yang dapat merusak gigi dan menimbulkan bau mulut karena pasta gigi mengandung senyawa basa.
b. Identifikasi Sifat Asam, Basa, dan Netral Berdasarkan sifat asam dan basa, larutan dibedakan menjadi tiga golongan yaitu larutan bersifat asam, basa, dan netral. Sifat larutan tersebut dapat ditunjukkan dengan menggunakan indikator asam-basa, yaitu zat-zat yang menunjukkan indikasi berbeda dalam larutan yang bersifat asam, basa, dan netral. Berdasarkan asalnya, indikator asam-basa dapat berupa indikator buatan dan indikator alam. 1. Indikator buatan Indikator buatan dapat berupa kertas seperti kertas lakmus merah, kertas lakmus biru, dan indikator universal, atau dalam bentuk larutan seperti fenolftalein, metil merah dan metil jingga. Perubahan warna beberapa indikator
42
buatan pada laruran yang bersifat asam, basa dan netral dapat dilihat pada tabel 2.5 berikut ini: Tabel 2.5 Perubahan warna indikator buatan pada larutan yang bersifat asam, basa dan netral No. Indikator Larutan Larutan Larutan asam basa netral 1. Lakmus Merah (LM) Merah Biru Merah 2. Lakmus Biru (LB) Merah Biru Biru 3. Metil Merah (MM) Merah Kuning Kuning 4. Metil Jingga (MO) Merah Kuning Kuning 5. Fenolftalin (PP) Tidak Merah Tidak berwarna berwarna Lakmus digunakan sebagai indikator asam-basa, sebab lakmus memiliki beberapa keuntungan, yaitu: 1. Lakmus dapat berubah warna dengan cepat saat bereaksi dengan asam ataupun basa. 2. Lakmus sukar bereaksi dengan oksigen dalam udara sehingga dapat tahan lama. 3. Lakmus mudah diserap oleh kertas, sehingga digunakan dalam bentuk kertas. 4. Lakmus adalah sejenis zat yang diperoleh dari jenis lumut kerak.
2. Indikator alami Indikator alam merupakan salah satu indikator asam basa yang dapat dibuat melalui ekstraksi (pemisahan) zat warna pada tumbuhan dengan cara menggerus bagian tumbuhan tersebut sampai lumat kemudian ditambahkan pelarut yang sesuai (umumnya alkohol). Setelah cairan indikator diperoleh, selanjutnya cairan dipisahkan melalui penyaringan. Bagian tumbuhan yang diekstraksi dapat berupa buah, bunga, kulit, akar, atau daunnya. Contohnya kulit
43
manggis, bunga sepatu, kunyit dan kol ungu. Ekstrak dari bahan-bahan ini dapat menunjukkan warna yang berbeda dalam larutan yang bersifat asam, basa atau netral. 1. Kulit Manggis
Gambar 2.3 Buah Manggis Manggis termasuk jenis buah-buahan yang mempunyai kulit yang cukup tebal dengan rasa buah yang manis tapi terkadang ada yang masam juga. Kulit manggis biasanya dimanfaatkan sebagai pewarna termasuk untuk tekstil dan air rebusannya dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Ekstrak kulit manggis berwarna ungu yang dapat berubah warna bila dicampurkan dengan zat lain yang bersifat asam atau basa. Warna ungu dari ekstrak kulit manggis dapat berubah warna menjadi coklat kemerahan pada susana asam dan berubah warna menjadi biru kehitaman pada suasana basa. 2. Bunga Sepatu
Gambar 2.4 Bunga Sepatu
44
Tanaman bunga sepatu (kembang sepatu) ini umumnya ditanam sebagai tanaman hias di pekarangan, atau sebagai tanaman pagar di pedesaan. Kembang sepatu memiliki banyak jenis, salah satunya kembang sepatu yang berwarna merah terang. Kembang sepatu jenis ini mempunyai warna yang kuat dan apabila kita mengekstrak warnanya kemudian kita campurkan dengan zat yang bersifat asam atau basa, maka warna merah muda ini akan berubah. Perubahan dari ekstrak bunga sepatu ini adalah berwarna kuning kehijauan pada suasana basa dan berwarna jingga pada suasana asam. 3. Kunyit
Gambar 2.5 Kunyit Kunyit biasanya dimanfaatkan sebagai bumbu masak dan air rebusannya dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Ekstrak kunyit berwarna kuning yang dapat berubah warna bila dicampurkan dengan zat lain yang bersifat asam atau basa. Warna kuning dari ekstrak kunyit dapat berubah warna menjadi merah pada susana asam dan berubah warna menjadi hijau pada suasana basa. 4. Kol Ungu
Gambar 2.6 Kol Ungu
45
Kol ungu, seperti namanya, memiliki warna ungu, biasa digunakan untuk lalapan dan rasanya seperti kol putih. Warna ungu ini dapat digunakan untuk memberikan warna ungu alami pada kue-kue, selain itu dapat dijadikan indikator alam yang sangat baik karena perbedaan warna yang ditunjukkan oleh kol ungu sangat jelas pada zat yang bersifat asam, basa, atau netral. Perubahan warna ekstrak kol pada larutan yang bersifat asam, basa dan netral dapat dilihat pada tabel 2.6 berikut ini: Tabel 2.6 Perubahan warna ekstrak kol ungu Perubahan warna Merah tua Merah Merah keunguan Ungu Biru Kehijauan Hijau Kuning
Sifat Larutan Asam kuat Asam medium Asam lemah Netral Basa lemah Basa medium Basa kuat
(Sumber: Ilmu Pengetahuan Alam untuk Kelas VII SMP/MTs, 2008 dan Modul untuk Guru SMP, 2007)
1. Konteks Aplikasi Sains Konteks Utama: Air yang Dipilih untuk Memelihara Ikan Koki di Aquarium
Gambar 2.7 Ikan Koki Ikan koki merupakan jenis ikan mas yang mempunyai tubuh bulat dengan kepala kecil dan ekor lebar. Ikan ini berasal dari daratan cina, namun di Indonesia
46
sudah lama dapat dibudidayakan. Ikan koki merupakan ikan yang dapat hidup pada kisaran suhu 10oC - 30oC dengan pH air sebesar 7-7,5. Koki merupakan ikan yang cukup rentan penyakit hal ini disebabkan karena kondisi air pada tempat pemeliharaan ikan koki. Sehingga pemilihan air untuk memelihara ikan koki harus tepat yaitu air yang memiliki pH 7-7,5 (air yang bersifat netral atau basa sangat lemah). (Sumber: www.O-Fish.com, 2007) Konteks Pendukung (1): Minuman yang Dipilih bagi Penderita Penyakit “Maag”
Gambar 2.8 Lambung
Jaringan yang melapisi lambung menghasilkan suatu asam yaitu asam klorida. Asam ini sangat diperlukan untuk membantu pencernaan. Tanpa asam lambung, makanan yang masuk dalam tubuh tidak dapat tercerna dengan baik, sehingga zat-zat gizi tidak dapat diserap secara optimal oleh tubuh. Asam lambung dalam jumlah seimbang memang diperlukan tubuh, tetapi jika berlebihan akan membuat lambung terasa nyeri, perih, dan kembung. Lama-kelamaan, hal ini dapat menimbulkan luka pada dinding lambung yang dikenal dengan penyakit maag (radang lambung). Bagi penderita penyakit ini harus berhati-hati dalam
47
memilih makanan dan minuman. Sebaiknya makanan dan minuman yang bersifat asam harus dihindari karena akan menambah kadar asam semakin meningkat. Berbagai macam obat tersedia untuk menghilangkan kelebihan asam lambung. Obat tersebut mengandung zat-zat yang dikenal sebagai antasida (antacide = anti asam). Antasida mengandung zat yang bersifat basa, sehingga dapat menetralkan kelebihan asam lambung. (Sumber: www.republika.com, 2005)
Konteks Pendukung (1I): Ajisai, Si Cantik Beracun
Gambar 2.9 Bunga Ajisai Ajisai merupakan tanaman dari Family Hydrangeaceae mempunyai nama latin Hydrangea, genus dengan 70-75 spesies, merupakan tanaman bunga berbentuk perdu dengan tinggi 1-3 meter yang berasal dari Asia selatan dan Asia timur, mulai dari Jepang hingga China, Himalaya dan Indonesia, selain itu juga ditemukan di Amerika utara dan selatan. Tanaman ini sangat terkenal di kepulauan Azores – Portugal, terutama di pulau Faial hingga disebut ”blue island” saking banyaknya bunga ini di sana. Bunga ini dikenal di Indonesia dengan nama Bunga Pancawarna, jika di Indonesia bunga ini hanya kita temui satu jenis saja dan berubah warnanya menjadi warna warni dalam satu pohon, maka di Jepang Ajisai cepat berbunga
48
apabila temperatur cukup hangat. Terdapat dua jenis Ajisai, yang pertama adalah bunga berbentuk bola yang disebut Hydrangea macrophylla dan jenis lainnya adalah Hydrangea aspera ssp. Sargentiana yang bentuknya seperti mahkota. Warna bunga Ajisai ini ternyata bergantung pada keasaman tanahnya. Umumnya species bunga ini adalah putih. Tanah yang bersifat asam akan menghasilkan bunga berwarna biru, tanah yang bersifat netral akan menghasilkan bunga berwarna kuning, sedangkan tanah yang bersifat basa akan menghasilkan bunga berwarna ungu. (Sumber: www.kompas.com, 2008)
Konteks Pendukung (1II): Rambut, Shampo dan Kondisioner Rambut normal memiliki pH sekitar 5, jadi bersifat asam lemah. Pada pH ini, rambut terasa lembut, kuat, dan sehat. Larutan basa membuat rambut menjadi kusam, mudah patah atau menjadi keriting. Untuk membersihkan rambut, kita menggunakan shampo. Umumnya shampo bersifat basa, karena shampo terbuat dari senyawa basa dengan minyak atau lemak. Senyawa yang bersifat basa dapat merusak rambut kita, sehingga kadang kita menggunakan kondisioner setelah memakai shampo. Kondisioner berisi senyawa yang bersifat asam lemah, seperti asam sitrat. Hal ini bertujuan untuk menetralkan kelebihan senyawa basa yang tertinggal dari pemakaian shampo. (Sumber: IPA Terpadu untuk Kelas VII SMP/MTs, 2008)
49
Konteks Pendukung (1V): Hujan Asam
Gambar 2.10 Proses Hujan Asam Hujan asam tidak beda dengan hujan biasa. Yang membedakan adalah sifat airnya yang asam. Ada dua penyebab utama terjadinya hujan asam yaitu penyebab alami dan akibat ulah manusia. Salah satu penyebab alami hujan asam adalah letusan gunung berapi. Ulah manusia yang dapat menimbulkan hujan asam adalah pembakaran bahan bakar fosil. Contohnya batubara dan minyak. Bahan bakar itu sering dipakai di industri (pabrik), pembangkit tenaga listrik, dan kendaraan bermotor. Dari proses pembakaran bahan bakar fosil akan dihasilkan berbagai gas. Di antara gas yang melayang ke udara itu ada zat yang bersifat asam. Zat itu adalah belerang dioksida dan nitrogen oksida. belerang dioksida bisa berubah menjadi asam sulfat. Sedangkan nitrogen oksida bisa menjadi asam nitrat. Keduanya termasuk jenis asam yang kuat. Di atmosfer zat itu akan bercampur dengan titik-titik air di awan. Hal itu mengakibatkan titik-titik air menjadi asam. Saat titik-titik air di awan jatuh ke bumi maka terjadilah hujan asam. (Sumber: www.b0cah.org , 2008)