BAB II TINJAUAN PUSTAKA
.1. Landasan Teoritis Pada bab ini akan diuraikan landasan teroritis yang berhubungan dengan topik penelitian berdasarkan pada teori-teori dan bukti-bukti empiris penelitian sebelumnya. 2.1.1. Kinerja Individual Kinerja karyawan bisa diartikan sebagai tindakan sejauh mana para karyawan melaksanakan tanggungjawab dan tugas kerja mereka (Dubisky dkk, 1992). Babin dan Boles (1998) serta Singh (1998) mendifinisikan kinerja karyawan sebagai tingkat produktivitas karyawan dibandingkan rekan kerjanya atas indikator-indikator perilaku kerja dan hasil pekerjaan. Di dalam literatur stress, kinerja karyawan justru akan menurun jika mereka merasakan tingkat stress yang rendah, karena mereka merasa tidak tertantang untuk mencapai kinerja yang lebih tinggi. Teori peran menegaskan bahwa stress akan mengurangi kinerja karena stress dapat merusak perilaku seseorang (Keaveney dan Nelson, 1993). Kinerja merupakan hasil karya personil baik kuantitas maupun kualitas dalam suatu organisasi. Kinerja merupakan penampilan individu maupun kelompok kerja personil, tidak terbatas pada personil yang memangku jabatan fungsional atau struktural, tetapi juga pada keseluruhan jajaran personil dalam organisasi. Penilaian kinerja adalah suatu proses menilai hasil karya personil dalam suatu organisasi melalui instrumen kinerja dan pada hakikatnya merupakan suatu
evaluasi terhadap penampilan kinerja personil dengan membandingkan pada standar baku penampilan (Dwilita, 2008). Kinerja karyawan dapat diukur dari beberapa indikator. Dalam penelitian sebelumnya digunakan indikator kuantitas pekerjaan yaitu jumlah pekerjaan yang dihasilkan oleh seorang karyawan di dalam kurun waktu tertentu berdasarkan standar kerja yang telah ditetapkan perusahaan dan indikator kualitas yaitu ketelitian, kerapian dan kesesuaian hasil pekerjaan karyawan dalam kurun waktu tertentu dengan standar yang ditetapkan perusahaan serta indikator ketepatan waktu dalam menyelesaikan tugas yang menjadi tanggungjawabnya berdasarkan standar yang ditetapkan perusahaan. Babin dan Boles (1998) menyatakan indikator-indikator kinerja meliputi produktivitas, kemampuan, potensi kerja, kemampuan di dalam mengelola waktu, hubungan dengan pelanggan, pengetahuan karyawan akan produknya dan produk pesaing serta pengetahuan karyawan akan perusahaannya sendiri yang di dasarkan atas penilaian karyawan bersangkutan di bandingkan dengan rekan kerjanya. Singh (1993) menyatakan bahwa pengukuran kinerja berdasarkan penilaian karyawan sendiri (pengukuran subjektif) sama handalnya dengan penilaian objektif. Penilaian kinerja karyawan memiliki tujuan yang tidak hanya bermanfaat bagi institusi tempat karyawan bekerja tetapi juga karyawan itu sendiri. Furtwengler (2000) mengatakan bahwa tujuan penilaian kinerja karyawan untuk memudahkan proses pemberian imbalan dan hukuman, mengidentifikasi karyawan untuk promosi, mengidentifikasikan karyawan untuk mendapatkan pilihan yang lebih tinggi dan untuk meningkatkan kinerja karyawan. Jewel dan March (1998) mengatakan bahwa penilaian kinerja karyawan merupakan sistem
pengendali sebagai umpan balik dan sebagai umpan maju. Penilaian kinerja memberikan umpan balik yang penting kepada karyawan secara pribadi dalam hal bagaimana karyawan dipandang. Proses penilaian kinerja karyawan juga memberikan umpan balik pada pemilik perusahaan dalam hal penerimaan karyawan, pemeriksaan, pemeliharaan dan pelatihan karyawan. Penilaian kinerja karyawan sebagai mekanisme umpan maju memberikan informasi untuk membuat keputusan mengenai pemberian penghargaan kepada karyawan (Dwilita, 2008). Muchsin (2003) mengemukakan bahwa terdapat tiga variabel yang mempengaruhi kinerja yaitu variabel individu yang berasal dari dalam diri, variabel organisasi sebagai variabel lingkungan serta variabel psikologi sebagai variabel internal dan lingkungan. Furtwengel (2000) menyatakan bahwa kinerja dapat diukur dengan empat aspek kinerja yaitu aspek kecepatan, aspek kualitas, aspek layanan dan aspeks nilai. Dari hal-hal diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja karyawan dipengaruhi oleh beberapa faktor dari dalam diri karyawan serta faktor-faktor dari luar perusahaan. (Dwilita, 2008). Kinerja KAP yang berkualitas sangat ditentukan oleh kinerja auditor. Secara ideal
di
dalam
menjalankan
profesinya,
seorang
auditor
hendaknya
memperhatikan prinsip dasar good governance dalam KAP tersebut. Auditor juga harus mentaati aturan etika profesi yang meliputi pengaturan tentang independensi, integritas dan obyektivitas, standar umum dan prinsip akuntansi, tanggung jawab kepada klien, tanggung jawab kepada rekan seprofesi, serta tanggung jawab dan praktik lainnya (Satyo, 2005). Satyo (2005) menyatakan memahami kode etik saja tidak cukup untuk membuat perilaku karyawan dan perusahaan menjadi lebih baik dan etis, perlu pemahaman good governance
diimplementasikan pada organisasi secara tepat, terutama untuk memperoleh karakter organisasi yang kuat dalam menghasilkan manajemen kinerja yang unggul. Syafrina (2002) meneliti tentang pengaruh diskusi verbal dalam review kertas kerja audit terhadap motivasi dan kinerja auditor. Anggraini (2002) menganalisis pengaruh gender terhadap judgement penilaian kinerja auditor. Tjhai (2002) menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi pemanfaatan teknologi informasi terhadap kinerja akuntan publik. Basuki (2005) menganalisis faktorfaktor yang berpengaruh terhadap pemanfaatan teknologi informasi dan pengaruh pemanfaatannya terhadap kinerja auditor pemerintah (BPKRI). Penelitian tersebut menggunakan model penelitian yang telah dilakukan oleh Thompson dkk (1991), untuk mengukur pengaruh dari faktor sosial, kompleksitas, kesesuaian tugas, konsekuensi jangka panjang, dan kondisi yang memfasilitasi terhadap pemanfaatan teknologi informasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara faktor sosial dan kesesuaian tugas dengan pemanfaatan teknologi informasi. Hasil penelitian ini berhasil mendukung TAM (Technology Acceptance Model) yang menyatakan bahwa teknologi informasi dapat mempengaruhi kinerja. Rizki (2007) mengemukakan pemanfatan teknologi informasi akan meningkatkan kinerja auditor. Hasil penelitian Widati (2008) menunjukkan bahwa faktor kesesuaian tugasteknologi berpengaruh terhadap auditor kantor akuntan publik yang ada di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun, hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa pemanfaatan teknologi informasi tidak berpengaruh positif terhadap kinerja auditor kantor akuntan publik yang ada di Jawa Tengah dan
Daerah Istimewa Yogyakarta. Berbagai literatur menyatakan bahwa teknologi informasi penting bagi organisasi, baik publik maupun privat karena dapat meningkatkan kinerja organisasi dan merupakan salah satu alat potensial untuk menciptakan daya saing. Menurut Goodhue dan Thompson (1995), penelitian yang menganalisis hubungan antara sistem informasi dan kinerja dapat dibagi menjadi dua aliran, yaitu penelitian yang berfokus pada kesesuaian tugasteknologi dan penelitian yang befokus pada pemanfaatan teknologi informasi. Namun, berbagai penelitian yang telah dilakukan menghasilkan hasil yang tidak konsisten. Hanafi (2009) menunjukkan dengan analisis jalur (path analysis), penelitian telah menujukkan hubungan dari ketiga variabel (kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan kinerja) bahwa kecerdasan spiritual auditor berpengaruh positif secara tidak langsung terhadap kinerja auditor melalui kecerdasan emosional sebagai mediator. Muajiz (2009) menyimpulkan bahwa training, kecerdasan emotional dan kecerdasan spritual berpengaruh terhadap kinerja auditor pada Direktorat Jenderal Pajak. Yuliono (2010) menyimpulkan faktor program reformasi birokrasi berpengaruh terhadap kinerja auditor. 2.1.2. Keinginan Berpindah Konsep model turnover di dalam literatur psikologi pertama sekali dikemukakan oleh Mobley (1977). Banyak penelitian mengkonsepkan turnover sebagai respon psikologi dan meyakini bahwa turnover merupakan perilaku yang dipilih individu. Pada level individual, kepuasan pada satu pekerjaan merupakan studi yang paling sering untuk menentukan hubungan antara kepuasan kerja dan turnover. Keinginan berpindah merupakan keinginan seseorang untuk mencari
pekerjaan lain dan meninggalkan pekerjaannya sekarang. Keinginan berpindah masih tetap ada hubungannya dengan organisasi dan belum diwujudkan untuk meninggalkan organisasi (Abelson, 1987). Variabel keinginan berpindah merupakan faktor yang memprediksi tingkat turnover (Mynatt, 1997). Cahyono (2008) mengemukakan bahwa turnover intention diindikasikan sebagai sikap individu yang mengacu pada hasil evaluasi mengenai kelangsungan hubungannya dengan organisasi dimana dirinya bekerja dan belum terwujud dalam bentuk tindakan pasti (Suwandi dan Indriantoro, 1999).
Turnover
didefinisikan sebagai penarikan diri secara sukarela atau tidak sukarela dari suatu organisasi (Robbins, 1996). Penarikan diri secara sukarela merupakan keputusan untuk meninggalkan organisasi disebabkan oleh dua faktor yaitu seberapa menarik pekerjaan yang ada saat ini serta tersedianya alternatif pekerjaan lain. Penarikan diri tidak sukarela adalah keputusan pemberi pekerjaan untuk menghentikan hubungan kerja dan bersifat tidak dikontrol karyawan yang mengalaminya. Fishbein dan Ajzen (1975) mengajukan teori pembentukan tingkah laku berdasarkan hubungan timbal balik antara keyakinan, sikap dan intensi individu. Keyakinan dikategorikan sebagai aspek kognitif yang melibatkan pengetahuan, pendapatan dan pandangan individu terhadap objek. Sikap dikategorikan sebagai aspek afektif yang mengarah pada perasaan individu terhadap suatu obyek serta evaluasi yang dilakukannya.
Intensi seseorang untuk melakukan perilaku
didasarkan oleh sikap orang tersebt terhadap perilaku itu dan norma subyektif tentang perilaku itu, norma subyektif terbentuk dari umpan balik yang diberikan perilaku itu sendiri. Ancok (1985) mendifinisikan keinginan adalah niat seseorang untuk melakukan perilaku tertentu. Niat tersebut berkaitan erat dengan
kepercayaan, sikap dan perilaku. Keinginan merupakan suatu prediktor tunggal terbaik bagi perilaku yang akan dilakukan, maka keinginan berpindah merupakan prediktor terbaik terhadap gejala berpindah (Novliadi, 2007). Jackofsky dan Peter (1983) memberikan batasan keinginan berpindah sebagai perpindahan karyawan dari pekerjaannya sekarang. Cascio (1987) mendefinisikan berpindah sebagai berhentinya hubungan kerja secara permanen antara perusahaan dan pekerja. Scott (1977) menyatakan gejala turnover sebagai perpindahan tenaga kerja dari dan ke sebuah perusahaan. Mobley (1986) mengemukakan keinginan berpindah sebagai berhentinya individu dari anggota organisasi dengan disertai pemberian imbalan keuangan oleh organisasi yang bersangkutan. Robbins (1996) mengemukakan turnover menjadi dua macam turnover yang sukarela dan tipe turnover yang dilakukan oleh organisasi. Mobley (1986) menunjukkan adanya hubungan yang meyakinkan antara frekuensi berpikir untuk beralih pekerjaan dengan perilaku turnover. Proses memasuki organisasi adalah proses untuk menyesuaikan individu dan organisasi. Agar proses penyesuaian ini efektif, individu dan organisasi harus terlibat secara aktif. Ketidak efektifan penyesuaian ini akan mengakibatkan perilaku menarik diri individu dari organisasi. Berdasarkan persepsi auditor mengenai ketidakpastian lingkungan kerja, penelitian-penelitian
akuntansi
membuktikan
bahwa
tingginya
persepsi
ketidakpastian lingkungan berkorelasi dengan rendahnya kepuasan kerja, rendahnya prestasi kerja, dan/atau tingginya niat ingin pindah (Ferris 1977; Gregson, et al, 1994: Rebele dan Michaels, 1990). Walaupun ambiguitas peran, konflik peran dan persepsi ketidakpastian lingkungan bisa diidentifikasikan
sebagai konsep yang berbeda dan terpisah dan saling berhubungan positif satu sama lain (Rebelle dan Michaels, 1990), namun ketiga konsep ini juga berbeda tingkat korelasinya dengan hasil-hasil kerja. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Viator (2001) menemukan ambiguitas peran dan persepsi ketidakpastian lingkungan berkorelasi negatif dengan prestasi kerja, hubungan negatif antara persepsi ketidakpastian lingkungan dengan prestasi kerja tersebut berlaku untuk akuntan senior wanita dan manajer senior wanita. Sedangkan konflik peran dengan prestasi kerja ditemukan korelasi negatif yang hanya ditemukan dalam sub-kelompok manajer senior pria. Berkaitan dengan pengaruh stres peran terhadap keinginan berpindah ditemukan korelasi positif ambiguitas peran dan konflik peran dengan keinginan berpindah, untuk persepsi ketidakpastian lingkungan dengan tidak ditemukan bukti statistiknya. Dalam lingkungan kerja akuntan publik, konflik peran berhubungan dengan adanya dua rangkaian tuntutan yang bertentangan. Tanpa pengetahuan tentang struktur audit yang baku, staf akuntan mempunyai kecenderungan mengalami kesulitan dalam menjalankan tugasnya. Kesulitan ini timbul sehubungan dengan beberapa faktor yang terindentifikasi dalam studi Bamber, Snowball dan Tubbs (1989) seperti koordinasi arus kerja, kecukupan wewenang, kecukupan komunikasi dan kemampuan adaptasi. Penelitian Warsito dan Lubis (2009) mengemukakan pengaruh komitmen organisasional terhadap keinginan berpindah dengan kepuasan kerja sebagai variabel intervening. Penelitian Nurhidayati dan Gunadi (2009) menyimpulkan multimensional komitmen organisasional sebagai mediator dalam hubungan kepuasan kerja dan keinginan berpindah. Akbar (2009) melakukan penelitian
mengenai adanya pengaruh langsung antara variabel-variabel yang terdapat pada push effects, mooring effects dan pull effects terhadap keinginan dan perilaku berpindah nasabah bank ritel di Jakarta. Variabel yang terdapat pada push effect adalah kualitas, kepuasan, nilai, kepercayaan, komitmen, dan persepsi harga. Sementara Mooring effects terdiri dari sikap terhadap perpindahan, norma subjektif, biaya berpindah, perilaku berpindah sebelumnya, dan pencarian alternatif. Terakhir, pull effects terdiri dari satu variabel yaitu kemenarikan alternatif. Masing-masing variabel tersebut akan dianalisis pengaruhnya secara langsung dalam menimbulkan keinginan dan perilaku berpindah nasabah bank ritel di Jakarta. Hasil analisis menunjukkan terdapat korelasi antara push effects dan mooring effects terhadap keinginan berpindah, kemudian korelasi antara tiga variabel independen, yaitu persepsi harga, biaya berpindah dan pencarian alternatif di dalam mempengaruhi keinginan dan perilaku berpindah nasabah bank ritel di Jakarta. Ringkasan penelitian yang menguji variabel keinginan berpindah yang dilakukan oleh Ketchand dan Strawser (2001) tampak pada tabel 2.1 berikut ini Tabel 2.1. Ringkasan Penelitian Variabel Keinginan Berpindah (Ketchand dan Strawser, 2001) No 1.
Penelitian: Profesi/ Subjek yang diuji O’Reilly dan Chatman (1986)
Objek Penelitian
Hasil Penelitian
Pekerja • Keinginan untuk tetap tinggal di universitas,mahasiswa S1 dan organisasi berkorelasi positif dengan mahasiswa MBA komitmen, • Keinginan berpindah sebenarnya berkorelasi negatif dengan komitmen.
No 2
Penelitian: Profesi/ Subjek yang diuji Meyer et al.(1989)
Objek Penelitian Organisasi jasa makanan
3
Meyer et al. (1993)
Pelajar keperawatan, perawat yang diregister
4
Dunham et al. (1994) .
Petugas kepolisian Pekerja paruh waktu (pelajar dengan berbagai pekerjaan) Organisasi pendidikan dan kesehatan kanker
Hasil Penelitian • Umur (tidak signifikan) • Masa jabatan (tidak signifikan) • Kepuasan kerja berkorelasi positif dengan komitmen. • Kinerja berkorelasi positif affective commitment dan berkorelasi negatif dengan continuance commitment. • Promosi berkorelasi positif dengan affective commitment dan berkorelasi negatif dengan continuance commitment. • Umur berkorelasi positif dengan komitmen • Masa jabatan berkorelasi positif dengan komitmen • Kepuasan kerja berkorelsi positif dengan komitmen • Aktivitas profesional berkorelasi negatif dengan komitmen • Keinginan berpindah berkorelasi negatif dengan komitmen • Karakteristik pekerjaan dan pengalaman kerja berkorelasi positif dengan komitmen • Ketergantungan organisasi berkorelasi positif dengan komitmen • Kepemimpinan partisipatif berkorelasi positif dengan komitmen • Coworkers commitment berkorelasi positif dengan affective commitment dan normative commitment. • Umur berkorelasi positif dengan affective commitment, continuance commitment dan normative commitment. • Masa jabatan berkorelasi positif dengan affective commitment, continuance commitment dan normative commitment. • Kepuasan karier berkorelasi positif dengan affective commitment dan normative commitment dan berkorelasi negatif dengan continuance commitment. • Keinginan berpindah berkorelasi negatif dengan komitmen
No 5
Penelitian: Profesi/ Subjek yang diuji Hacker et al. (1994)
Objek Penelitian Perawat yang diregister Operator bus
6
Kalbers dan fogarty (1995)
Auditor internal
7
Ko et al. (1997)
Institute penelitian korea utara, Pekerja penerbangan korea utara.
8
Ketchand dan Strawser (1998)
Akuntan publik yang disertifikasi
Hasil Penelitian • Umur berkorelasi positif dengan affective commitment, continuance commitment dan normative commitment. • Masa jabatan berkorelasi positif dengan affective commitment, continuance commitment dan normative commitment. • Keinginan berpindah berkorelasi negatif dengan affective commitment, continuance commitment dan normative commitment. • Motivasi berkorelasi positif dengan affective commitment, normative commitment dan berkorelasi negatif dengan continuance commitment. • Kepuasan kerja berkorelasi positif dengan affective commitment, normative commitment dan berkorelasi negatif dengan continuance commitment. • Kinerja berkorelasi positif dengan affective commitment dan berkorelasi negatif dengan continuance commitment. • Profesionalisme (dedikasi) berkorelasi positif dengan komitmen. • Profesionalisme (obligation) berkorelasi negatif dengan komitmen. • Keinginan berpindah berkorelasi negatif dengan komitmen. • Dukungan sosial berkorelasi positif dengan affective commitment, normative commitment dan berkorelasi negatif dengan continuance commitment. • Karakteristik pekerjaan/pengalaman kerja berkorelasi positif dengan affective commitment, normative commitment. • Keinginan untuk tetap tinggal di organisasi berkorelasi positif dengan komitmen • Perilaku mencari kerja berkorelasi negatif dengan komitmen. • Kepuasan kerja berkorelasi positif dengan affective commitment dan continuence commitment. • Keinginan berpindah berkorelasi negatif dengan komitmen.
No 9
Penelitian: Profesi/ Subjek yang diuji Iverson dan Buttigieg (1999)
Objek Penelitian Pemadam kebakaran dan petugas keselamatan.
Hasil Penelitian • Obligation to relative berkorelasi negatif dengan normative commitment dan berkorelasi positif dengan continuance commitment low alternative. • Job expectation berkorelasi positif dengan affective commitment, normative commitment. • Job value berkorelasi positif dengan affective commitment dan continuance commitment high sacrifice. • Enthusiasm berkorelasi positif dengan affective commitment dan berkorelasi negatif dengan continuance commitment low alternative. • Pendidikan berkorelasi negatif dengan normative commitment. • Coworker support berkorelasi positif dengan affective commitment • Kesempatan promosi berkorelasi positif dengan affective commitment. • Kompensasi berkorelasi positif dengan continuance
2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keinginan Berpindah Faktor-faktor yang mempengaruhi keinginan berpindah sangat banyak dan kompleks serta saling berhubungan. Meier (1971) mengemukakan pekerja muda memiliki keinginan berpindah yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerjapekerja yang lebih tua. Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara usia dan keinginan berpindah (Mobley, 1986). Karyawan yang lebih muda akan lebih tinggi keinginan berpindahnya. Hal ini mungkin disebabkan pekerja yang lebih tua enggan berpindah-pindah tempat kerja karena berbagai alasan seperti tanggung jawab keluarga, mobilitas yang menurun, tidak mau repot pindah kerja dan memulai pekerjaan ditempat kerja baru atau karena energi yang sudah berkurang dan lebih lagi karena senioritas yang belum tentu diperoleh ditempat kerja yang baru walaupun gaji dan fasilitasnya lebih
besar (Novialdi, 2007). Gilmer (1966) juga berpendapat bahwa tingkat keinginan berpindah lebih Tinggi pada karyawan yang lebih muda disebabkan mereka masih memiliki keinginan untuk mencaoba-coba pekerjaan atau organisasi kerja serta ingin mendapatkan keyakinan diri lebih besar dengan cara tersebut. Selain itu karyawan lebih muda mungkin mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk mendapatkan kesempatan pekerjaan baru dan memiliki tanggung jawab keluarga lebih kecil, sehingga dengan demikian lebih mempermudah mobilitas pekerjaan serta harapan-harapan yang tidak terpenuhi (Wanous dan Mobley, 1986, Novialdi, 2007). United Satated Civil Service Commission (1977) menyatakan bahwa setiap kelompok tertentu dari orang-orang yang dipekerjakan, dua pertiga sampai tiga perempat bagian dari mereka yang keluar terjadi pada akhir tiga tahun pertama masa bakti (Mobley, 1986). Prihastuti (1992) menunjukkan adanya korelasi negatif antara masa kerja dan turnover, semakin lama masa kerja semakin rendah kecendrungan turnovernya. Turnover lebih banyak terjadi pada karyawan dengan masa kerja lebih singkat (parson dkk, 1985). Karyawan sering menemukan harapan mereka terhadap pekerjaan atau perusahaan tersebut berbeda dengan kenyataan yang didapat, pekerja baru umumnya masih muda masih punya keberanian untuk berusaha mencari pekerjaan yang sesuai dengan harapan (Handoyo, 1987). Mowday dkk (1982) mengemukakan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh padaa keinginan berpindah. Steel dan ovalle (1984) dan Mowday (1982) mengemukakan bahwa keterikatan terhadap perusahaan mempunyai hubungan yang negatif dan
signifikan terhadap keinginan berpindah. Berarti semakin tinggi keikatan seseorang terhadap perusahaannya akan semakin kecil ia mempunyai keinginan untuk berpindah pekerjaan. Arnold dan Fieldman (1982) menunjukkan bahwa tingkat turnover juga dipengaruhi oleh kepusan kerja. Sementara Robbins (1998) mengemukakan budaya perusahaan memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap perilaku turnover. Model dari dimensi keinginan berpindah (diadopsi dari Ketchand dan Strawser, 2001) tampak pada gambar 2.1 berikut ini. Karakteristik personal:umur, gender, status masa jabatan, perkawinan, kemampuan etika kerja personal, gaji level kerja, status pekerjaan, jumlah ketergantungan kebutuhan untuk pencapaian. Situasi peran: kekaburan/kejelasan peran, konflik peran, role overload. Karakteristik pekerjaan/Pengalaman kerja: Keanekaragaman keahlian/rutinisasi, otonomi tugas, tantangan dan kesulitan, task significance, lingkup pekerjaan, resource adequacy, work overload. Hubungan kelompok/pimpinan:Group cohesiveness, task interdependence, keperilakuan /dukungan supervisor, komunikasi pimpinan, leader consideration behavior, leader initiating structure behavior,supervisor feedback, keperilakuan/dukungan coworker, peer cohesion dan personal importance. Karakteristik organisasi:Ukuran, derajat desentralisasi,dependability, ekspected loyalty. Cost of departure: Loss of pensions benefit, perceived job alternative, time and effort in departing, transferability of skill, time investment in organization, general training provide, social support dan job choice factor.
Affective commitment • Identifikasi • Internalisasi Continuance commitment • High sacrifice • Low alternative Normative commitment Instumental commitmen
Correlates of OC Kepuasan kerja/karier Job involvement Stress Proffesional/occupat ion commitment Motivation Union commitment Co-workers commitment
Performance • Self evaluation of job performance • Superior evaluation of performance • Complience with Rules and regulation • Neglect • Extrarole Behavior • Promotability • Efficiency/use of time Turnover Behavior Withdrawal Behavior • Keinginan berpindah • Attendance • Tardiness • Job search behavior Yang lainnya • Employee suggestions for improvement
• •
Loyalty/sense of obligation Professional activit
Job security
Gambar 2.1. Model Dimensi Keinginan Berpindah
2.1.4. Empowerment Empowerment atau pemberdayaan menurut Drake et al (2007) adalah motivasi instrinsik yang nampak di dalam empat kognisi yang mencerminkan orientasi dari seorang individu terhadap peran kerjanya yaitu makna (meaning), kompetensi (competence), penentuan nasib sendiri (self determination) dan dampak (impact). Makna adalah kecocokan antara tuntutan dari peran kerja dengan keyakinan, nilai dan perilaku dari seseorang. Kompetensi adalah perasaan seseorang bahwa dirinya mampu melakukan sesuatu yang bersifat spesifik pada pekerjaan. Penetuan nasib sendiri adalah perasaan memiliki kesempatan untuk memilih di dalam mengawali dan mengatur tindakan. Dampak adalah tingkat sejauh mana seseorang dapat mempengaruhi hasil strategis, administrasi atau operasional di tempat kerja. Robbins (2003) mengemukakan bahwa peremberdayaan (empowerment) membuat karyawan menguasai apa yang mereka lakukan. Cutterbuck (1995) menyatakan bahwa pemberdayaan berarti mendorong dan mengijinkan SDM memikul
tanggungjawab
pribadi
untuk
meningkatkan
cara
kerja
dan
meningkatkan kontribusi mereka terhadap organisasi. Pemberdayaan adalah untuk manusianya bukan organisasi. Alam dan Armanu (2010) mengemukakan bahwa pemberdayaan dipahami sebagai tindakan memberikan kewenangan, ketrampilan dan kebebasan kepada pegawai di dalam melakukan tugas mereka dan mendeskripsikan pemberdayaan sebagai cara orang memandang diri mereka sendiri di dalam lingkungan kerja dari tingkat sejauhmana membentuk peran kerja (Spreitzer, 1996). Brancato (2003) mengajukan pendapat bahwa peningkatan pada pemberdayaan dapat menurangi stres yang dialami di tempat kerja karena
pemberdayaan memungkinkan untuk memanfaatkan keterampilan, pengetahuan dan kemampuan mereka secara aktif dan memungkinkan untuk memanfaatkan keterampilan, pengetahuan dan kemampuan mereka secara aktif dan untuk berpartisipasi. Pemberdayaan juga dipahami sebagai sebuah konstruk multidimensional yang terdiri dari empat kognisi yang mencerminkan bagaimana orientasi seorang individu terhadap pekerjaannya. Keempat kognisi itu adalah makna/mean (nilai dari sebuah tujuan kerja bagi individu), kompetensi/competence (keyakinan seorang individu tentang kemampuan untuk memenuhi tuntutan kerja), menentukan nasib sendiri/self determination (otonomi atau kendali terhadap proses-proses perilaku dalam bekerja) dan dampak/impact (tingkat sejauh mana seorang individu dapat mempengaruhi secara aktif peran kerja dan konteks kerjanya (Daniels dan Guppy 1994). 2.1.5. Inovasi Radenakers (2005) menyatakan inovasi proses adalah metode baru dalam menjalankan kegiatan bernilai tambah, sementara inovasi organisasional adalah metode baru dalam mengelola, mengkordinasi dan mengawasi pegawai. Pengertian inovasi akhirnya memang menjadi luas tetapi pada dasarnya inovasi merupakan suatau proses yang tidak hanya sebatas menciptakan ide atau pemikiran baru. Ide tersebut harus diimpelementasikan melalui sebuah proses adopsi. Adopsi adalah keputusan untuk menggunakan inovasi secara keseluruhan sebagai cara tindakan yang terbaik (Rogers, 1983 di dalam Higa et al, 1997). Proses adopsi inovasi inilah yang harus mendapat perhatian utama oleh perusahaan.
King (2003) menjelaskan bahwa Rogers (1983) merinci 5 tahapan yang terjadi selama proses keputusan inovasi. Tahap pertama terjadi ketika seseorang menunjukkan perhatian awal terhadap inovasi. Kadang-kadang setelah itu, individu tersebut membentuk sikap-sikap tertentu terhadap inovasi tersebut, baik menguntungkan atau tidak. Hal tersebut diikuti dengan pengambilan keputusan untuk mengadopsi atau menolak inovasi. Jika individu telah memutuskan untuk mengadopsi inovasi, maka individu melangkah ke tahap keempat yaitu secara aktual menggunakan inovasi. Setelah menggunakan inovasi, individu melangkah ke tahap akhir, yaitu penguatan dan institusionalisasi keputusan inovasi. Difusi adalah proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu pada periode waktu tertentu di antara anggota sebuah sistem sosial. Inovasi adalah gagasan, praktek, atau obyek yang dianggap baru oleh individu atau atau satuan adopsi lainnya. Sedangkan komunikasi adalah proses di mana anggota membuat dan membagikan informasi kepada anggota lainnya untuk mencapai pemahaman yang saling menguntungkan. 2.1.6. Profesionalisme Profesional dapat mempengaruhi cara bertindak dan perilaku.
Wahyudin dan Mardiyah (2006) mengemukana bahwa profesi dan profesionalisme dapat dibedakan secara konseptual. “Profesi merupakan jenis
pekerjaan
yang
memenuhi
beberapa
kriteria,
sedangkan
profesionalisme merupakan suatu atribut individual yang penting tanpa melihat suatu pekerjaan merupakan suatu profesi atau tidak” (Kalbers dan Fogarty, 1995: 72). Sebagai profesional, akuntan publik mengakui tanggung
jawabnya terhadap masyarakat, terhadap klien, dan terhadap rekan
seprofesi, termasuk untuk berperilaku yang terhormat, sekalipun ini merupakan pengorbanan pribadi.
Seorang auditor bisa dikatakan profesional apabila telah memenuhi dan
mematuhi standar-standar kode etik yang telah ditetapkan oleh IAI, antara lain: a). prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh IAI yaitu standar ideal dari perilaku etis yang telah ditetapkan oleh IAI seperti dalam terminologi filosofi, b). peraturan perilaku seperti standar minimum perilaku etis yang ditetapkan sebagai peraturan khusus yang merupakan suatu keharusan, c). inteprestasi peraturan perilaku tidak merupakan keharusan, tetapi para praktisi harus memahaminya, dan d). ketetapan etika seperti seorang akuntan publik wajib untuk harus tetap memegang teguh prinsip kebebasan dalam menjalankan proses auditnya, walaupun auditor dibayar oleh kliennya. Menurut Tjiptohadi (1996) profesionalisme memiliki beberapa makna profesionalisme
berarti
suatu
keahlian,
mempunyai
kualifikasi
tertentu,
berpengalaman sesuai dengan bidang keahliannya atau memperoleh imbalan karena keahliannya. Seseorang dikatakan profesional apabila telah mengikuti pendidikan tertentu yang menyebabkan mempunyai keahlian atau kualifikasi khusus. Profesionalisme merujuk pada suatu standar pekerjaan yaitu prinsipprinsip moral dan etika profesi. Standar mutu pekerjaan mengharuskan akuntan melaksanakan keahlian sedemikian rupa sehingga mencapai level tertentu. Profesional juga berarti moral.
Menurut Hall (1968) terdapat lima dimensi profesionalisme, yaitu: a) Pengabdian pada profesi Pengabdian pada profesi dicerminkan dari dedikasi profesionalisme dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimilki. Keteguhan untuk tetap melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik kurang. Sikap ini adalah ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan. Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan, bukan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan. Totalitas ini sudah menjadi komitmen pribadi, sehingga kompensasi utama yang di harapkan dari pekerjaan adalah kepuasan rohani, baru kemudian materi. b) Kewajiban sosial Kewajiban sosial adalah pandangan tentang pentingnya peranan profesi dan manfaat yang diperoleh baik masyarakat maupun profesional karena adanya pekerjaan tersebut. c) Kemandirian Kemandirian dimaksudkan sebagai suatu pandangan seseorang yang profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain (pemerintah, klien, dan bukan anggota profesi). Setiap ada campur tangan dari luar dianggap sebagai hambatan kemandirian secara profesioanal. d) Keyakinan terhadap peraturan profesi Keyakinan terhadap profesi adalah suatu keyakinan bahwa yang paling berwenang menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, bukan orang luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka.
e) Hubungan dengan sesama profesi Hubungan dengan sesama profesi adalah menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk di dalamnya organisasi formal dan kelompok kolega informal sebagai ide utama dalam pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional membangun kesadaran profesional. 2.1.7. Cara Akuntan Publik Mewujudkan Perilaku Profesional Wahyudin dan Mardiyah (2006) mengemukakan IAI berwenang menetapkan standar (yang merupakan pedoman) dan aturan yang harus dipatuhi oleh seluruh anggota termasuk setiap kantor akuntan publik lain yang beroperasi sebagai auditor independen. Persyaratan-persyaratan ini dirumuskan oleh komitekomite yang dibentuk oleh IAI. Ada empat bidang utama di mana IAI berwenang menetapkan standar dan memuat aturan yang bisa meningkatkan perilaku profesional seorang auditor. a). Standar auditing. Komite Standar Profesional Akuntan Publik (Komite SPAP) IAI bertanggung jawab untuk menerbitkan standar auditing. Standar ini disebut sebagai Pernyataan Standar Auditing atau PSA (sebelumnya disebut sebagai NPA dan PNPA). Di Amerika Serikat pernyataan ini disebut sebagai SAS (Statement on Auditing Standard) yang dikeluarkan oleh Auditing Standard Boards (ASB). Pada tanggal 10 November 1993 dan 1 Agustus 1994 pengurus pusat IAI telah mensahkan sejumlah pernyataan standar auditing (sebelumnya
disebut
sebagai
norma
pemeriksaan
akuntan-NPA).
Penyempurnaan ini terutama sekali bersumber pada SAS dengan penyesuaian terhadap kondisi Indonesia dan standar auditing internasional.
b). Standar kompilasi dan penelaahan laporan keuangan. Komite SPAP IAI
dan Compilation and Review Standards Committee bertanggung jawab untuk mengeluarkan pernyataan mengenai pertanggungjawaban akuntan
publik sehubungan dengan laporan keuangan suatu perusahaan yang
tidak diaudit. Pernyataan ini di Amerika Serikat disebut Statements on
Standards for Accounting and Review Services (SSARS) dan di Indonesia
disebut Pernyataan Standard Jasa Akuntansi dan Review (PSAR). PSAR 1 disahkan pada 1 Agustus 1994 menggantikan pernyataan NPA
sebelumnya mengenai hal yang sama. Bidang ini mencakup dua jenis jasa,
pertama, untuk situasi di mana akuntan membantu kliennya menyusun laporan keuangan tanpa memberikan jaminan mengenai isinya (jasa
kompilasi). Kedua, untuk situasi di mana akuntan melakukan prosedurprosedur pengajuan pertanyaan dan analitis tertentu, sehinggga dapat
memberikan suatu keyakinan terbatas bahwa tidak diperlukan perubahan apapun terhadap laporan keuangan bersangkutan (jasa review).
c). Standar atestasi lainnya. Tahun 1986, AICPA menerbitkan Statement on Standards for Atestation Engagements. IAI sendiri mengeluarkan beberapa pernyataan standar atestasi pada 1 Agustus 1994 pernyataan ini mempunyai fungsi ganda, pertama, sebagai kerangka yang harus diikuti oleh badan penetapan standar yang ada dalam IAI untuk mengembangkan standar yang terinci mengenai jenis jasa atestasi yang spesifik. Kedua, sebagai kerangka pedoman bagi para praktisi bila tidak terdapat atau belum ada standar spesifik seperti itu. Komite Kode Etik IAI di Indonesia dan Committee on Professional Ethics di Amerika Serikat menetapkan ketentuan perilaku yang harus dipenuhi
oleh seorang akuntan publik yang meliputi standar teknis. Standar auditing, standar atestasi, serta standar jasa akuntansi dan review dijadikan satu menjadi Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP). 2.1.8. Teori Peran Teori peran (Role Theory) adalah teori yang merupakan perpaduan teori, orientasi, maupun disiplin ilmu. Selain dari psikologi, teori peran berawal dari dan masih tetap digunakan dalam sosiologi dan antropologi (Sarwono, 2002). Menurut Biddle dan Thomas (1966) teori peran terbagi menjadi empat golongan, yaitu istilah-istilah yang menyangkut (a) orang-orang yang mengambil bagian dalam interaksi sosial (b) perilaku yang muncul dalam interaksi tersebut (c) kedudukan orang-orang dalam perilaku (d) kaitan antara orang dan perilaku. Sedangkan orang-orang yang mengambil bagian dalam interaksi social terbagi menjadi 2 yaitu : (1) aktor (actor, pelaku), yaitu orang yang sedang berperilaku menuruti suatu peran tertentu (2) target (sasaran) atau orang lain (other), yaitu orang yang mempunyai hubungan dengan aktor dan perilakunya. Aktor maupun target bisa berupa individu-individu ataupun kumpulan individu (kelompok). Hubungan antara kelompok dengan kelompok misalnya terjadi antara sebuah paduan suara (aktor) dan pendengar (target). Istilah “aktor” kadangkadang diganti dengan person, ego, atau self. Sedangkan “target” kadang-kadang diganti dengan istilah alter-ego, alter atau non-self. Dengan demikian, jelaslah bahwa teori peran sebetulnya dapat diterapkan untuk menganalisis setiap hubungan antar dua orang atau antar banyak orang. Hubungan aktor target adalah membentuk indentitas aktor (person, self, ego) yang dalam hal ini dipengaruhi oleh penilaian atau sikap orang-orang lain (target) yang telah digeneralisasikan oleh aktor. Aktor
menempati posisi pusat (focal position), sedangkan target menempati posisi padanan dari posisi pusat tersebut (counter posisition). Dengan demikian, maka target berperan sebagai pasangan (patner) bagi aktor. Hal ini terlihat misalnya pada hubungan ibu-anak, suami istri atau pemimpin anak buah. Teori Peran menggambarkan interaksi sosial dalam terminologi aktoraktor yang bermain sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh budaya. Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama yang menuntun kita untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Menurut teori ini, seseorang yang mempunyai peran tertentu misalnya sebagai dokter, mahasiswa, orang tua, wanita, dan lain sebagainya, diharapkan agar seseorang tadi berperilaku sesuai dengan peran tersebut. Mengapa seseorang mengobati orang lain, karena dia adalah seorang dokter. Jadi karena statusnya adalah dokter maka dia harus mengobati pasien yang datang kepadanya dan perilaku ditentukan oleh peran sosialnya Kemudian, sosiolog yang bernama Glen Elder (1975 dalam Mustofa, 2006) membantu memperluas penggunaan teori peran menggunakan pendekatan yang dinamakan “life-course” yang artinya bahwa setiap masyarakat mempunyai harapan kepada setiap anggotanya untuk mempunyai perilaku tertentu sesuai dengan kategori-kategori usia yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Contohnya, sebagian besar warga Amerika Serikat akan menjadi murid sekolah ketika berusia empat atau lima tahun, menjadi peserta pemilu pada usia delapan belas tahun, bekerja pada usia tujuh belas tahun, mempunyai istri/suami pada usia dua puluh tujuh, pensiun pada usia enam puluh tahun. Di Indonesia berbeda, usia sekolah dimulai sejak tujuh tahun, punya pasangan hidup sudah bisa usia tujuh belas tahun, pensiun usia lima puluh lima tahun. Urutan tadi dinamakan “tahapan
usia” (age grading). Dalam masyarakat kontemporer kehidupan kita dibagi kedalam masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, dan masa tua, di mana setiap masa mempunyai bermacam-macam pembagian lagi. Teori peran adalah sebuah sudut pandang dalam sosiologi dan psikologi sosial yang menganggap sebagian besar aktivitas harian diperankan oleh kategorikategori yang ditetapkan secara sosial. Setiap peran sosial adalah serangkaian hak, kewajiban, harapan, norma, dan perilaku seseorang yang harus dihadapi dan dipenuhi. Model ini didasarkan pada pengamatan bahwa orang-orang bertindak dengan cara yang dapat diprediksikan, dan bahwa kelakuan seseorang bergantung pada konteksnya, berdasarkan posisi sosial dan faktor-faktor lain. Teater adalah metafora yang sering digunakan untuk mendeskripsikan teori peran. Meski kata 'peran' sudah ada di berbagai bahasa Eropa selama beberapa abad, sebagai suatu konsep sosiologis, istilah ini baru muncul sekitar tahun 1920-an dan 1930-an. Tergantung sudut pandang umum terhadap tradisi teoretis, ada serangkaian "jenis" dalam teori peran. Teori ini menempatkan persoalan-persoalan berikut mengenai perilaku sosial: Pembagian buruh dalam masyarakat membentuk interaksi di antara posisi khusus heterogen yang disebut peran, Peran sosial mencakup bentuk perilaku wajar dan diizinkan, dibantu oleh norma sosial, yang umum diketahui dan karena itu mampu menentukan harapan. Menurut Cohen (2000) teori peran ini memberikan suatu kerangka konseptual dalam studi perilaku di dalam organisasi. Mereka menyatakan bahwa peran itu “melibatkan pola penciptaan produk sebagai lawan dari perilaku atau tindakan” Lebih lanjut, Cohen (2000 mengemukakan bahwa relevansi suatu peran itu akan bergantung pada penekanan peran tersebut oleh para penilai dan
pengamat (biasanya supervisor dan kepala sekolah) terhadap produk atau outcome yang dihasilkan. Dalam hal ini, strategi dan struktur organisasi juga terbukti mempengaruhi peran dan persepsi peran atau role perception. Ditinjau dari Perilaku Organisasi, peran ini merupakan salah satu komponen dari sistem sosial organisasi, selain norma dan budaya organisasi. Horton dkk (1993) menyebutkan lima aspek penting dari peran, yaitu: 1. Peran itu bersifat impersonal: posisi peran itu sendiri akan menentukan harapannya, bukan individunya. 2. Peran itu berkaitan dengan perilaku kerja (task behavior) – yaitu, perilaku yang diharapkan dalam suatu pekerjaan tertentu. 3. Peran itu sulit dikendalikan – (role clarity dan role ambiguity) 4. Peran itu dapat dipelajari dengan cepat dan dapat menghasilkan beberapa perubahan perilaku utama. 5. Peran dan pekerjaan (jobs) itu tidaklah sama – seseorang yang melakukan satu pekerjaan bisa saja memainkan beberapa peran. Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam, suatu system. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seesorang pada situasi sosial tertentu. (Farley, 1992). Peran adalah deskripsi sosial tentang siapa kita dan kita siapa. Peran menjadi bermakna ketika dikaitkan dengan orang lain, komunitas sosial atau politik. Peran adalah kombinasi adalah posisi dan pengaruh. Anda di posisi mana dalam suatu strata sosial dan sejauhmana pengaruh Anda. Itulah peran. Peran adalah kekuasaan dan bagaimana kekuasan itu bekerja, baik secara
organisasi dan organis. Peran memang benar-benar kekuasaan yang bekerja, secara sadar dan hegemonis, meresap masuk, dalam nilai yang diserap tanpa melihat dengan mata terbuka lagi. simbiosi yang berkaitan dengan keuntungan dan kerugian, sebab dengan peran, ada yang dirugikan dan diuntungkan.Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam, suatu system. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seesorang pada situasi sosial tertentu. Peran ialah “the dynamic aspect of status” (aspek dinamis dari suatu status). Definisi sederhana yang dibuat oleh Linton ini memberikan deskripsi mengenai posisi dan kedudukan dari status-peran. Makna peran, menurut Suhardono, dapat dijelaskan melalui beberapa cara, yaitu pertama penjelasan historis. Menurut penjelasan historis, konsep peran semula dipinjam dari kalangan yang memiliki hubungan erat dengan drama atau teater yang hidup subur pada zaman Yunani Kuno atau Romawi. Dalam hal ini, peran berarti katakter yang disandang atau dibawakan oleh seorang aktor dalam sebuah pentas dengan lakon tertentu. Kedua, pengertian peran menurut ilmu sosial. Peran dalam ilmu sosial berarti suatu fungsi yang dibawakan seseorang ketika menduduki suatu posisi dalam struktur sosial tertentu. Dengan menduduki jabatan tertentu, seseorang dapat memainkan fungsinya karena posisi yang didudukinya tersebut.Pengertian peran dalam kelompok pertama di atas merupakan pengertian yang dikembangkan oleh paham strukturalis di mana lebih berkaitan antara peran-peran sebagai unit kultural yang mengacu kepada hak dan kewajiban yang secara normatif telah dicanangkan oleh sistem budaya. Sedangkan pengertian peran dalam kelompok
dua adalah paham interaksionis, karena lebih memperlihatkan konotasi aktif dinamis dari fenomena peran.Seseorang dikatakan menjalankan peran manakala ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan bagian tidak terpisah dari status yang disandangnya. Setiap status sosial terkait dengan satu atau lebih peran sosial. Menurut Horton dkk (1993), peran (role) adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang memiliki suatu status.). Dalam kerangka besar, organisasi masyarakat, atau yang disebut sebagai struktur sosial, ditentukan oleh hakekat (nature) dari peran-peran ini, hubungan antara peran-peran tersebut, serta distribusi sumberdaya yang langka di antara orang-orang yang memainkannya. Masyarakat yang berbeda merumuskan, mengorganisasikan, dan memberi imbalan (reward) terhadap aktivitas-aktivitas mereka dengan cara yang berbeda, sehingga setiap masyarakat memiliki struktur sosial yang berbeda pula. Bila yang diartikan dengan peran adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang dalam suatu status tertentu, maka perilaku peran adalah perilaku yang sesungguhnya dari orang yang melakukan peran tersebut. Perilaku peran mungkin berbeda dari perilaku yang diharapkan karena beberapa alasan. Sedangkan, Ahmadi (1982) mendefinisikan peran sebagai suatu kompleks pengharapan manusia terhadap caranya individu harus bersikap dan berbuat dalam situasi tertentu berdasarkan status dan fungsi sosialnya.Meninjau kembali penjelasan tentang peran secara historis, Horton dkk (1993) menyatakan, peran sosial mirip dengan peran yang dimainkan seorang actor, maksudnya orang yang memiliki posisi-posisi atau status-status tertentu dalam masyarakat diharapkan untuk berperilaku dalam caracara tertentu yang bisa diprediksikan, seolah-olah sejumlah "naskah" (scripts) sudah disiapkan untuk mereka. Namun harapan-harapan yang terkait dengan
peran-peran ini tidak hanya bersifat satu-arah. Seseorang tidak hanya diharapkan memainkan suatu peran dengan cara-cara khas tertentu, namun orang itu sendiri juga mengharapkan orang lain untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap dirinya. Seorang dokter dapat menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat sangat pribadi kepada pasien dan mengharapkan pasiennya menjawab dengan jujur. Sebaliknya si pasien mengharapkan dokter untuk merahasiakan dan tidak menyebarkan informasi yang bersifat pribadi ini ke pihak lain. Jadi peran sosial itu melibatkan situasi saling-mengharapkan (mutual-expectations). Peran sosial karena itu bukanlah semata-mata cara orang berperilaku yang bisa diawasi, tetapi juga menyangkut cara berperilaku yang dipikirkan seharusnya dilakukan orang bersangkutan. Gagasan-gagasan tentang apa yang seharusnya dilakukan orang, tentang perilaku apa yang "pantas" atau "layak", ini dinamakan norma.Harapan-harapan terpenting yang melingkupi peran sosial bukanlah sekadar pernyataan-pernyataan tentang apa yang sebenarnya terjadi, tentang apa yang akan dilakukan seseorang, di luar kebiasaan, dan seterusnya, tapi normanorma yang menggaris bawahi segala sesuatu, di mana seseorang yang memiliki status diwajibkan untuk menjalankannya. Jadi, peran-peran itu secara normatif dirumuskan, sedangkan harapan-harapan itu adalah tentang pola perilaku ideal, terhadap mana perilaku yang sebenarnya hanya bisa mendekati.Dalam kaitannya dengan peran yang harus dilakukan, tidak semuanya mampu untuk menjalankan peran yang melekat dalam dirinya. Oleh karena itu, tidak jarang terjadi kekurangberhasilan
dalam
menjalankan
perannya.
Dalam
ketidakberhasilan ini terwujud dalam role conflict dan role strain.
ilmu
sosial,
Konflik peran setiap orang memainkan sejumlah peran yang berbeda, dan kadang-kadang
peran-peran
tersebut
membawa
harapan-harapan
yang
bertentangan. Konflik peran sering terjadi pada orang yang memegang sejumlah peran yang berbeda macamnya, kalau peran-peran itu mempunyai pola kelakuan yang saling berlawanan meski subjek atau sasaran yang dituju sama. Dengan kata lain, bentrokan peranan terjadi kalau untuk menaati suatu pola, seseorang harus melanggar pola lain. Setidaknya ada dua macam konflik peran. Yakni, konflik antara berbagai peran yang berbeda, dan konflik dalam satu peran tunggal. Pertama, satu atau lebih peran (apakah itu peran independen atau bagian-bagian dari seperangkat peran) mungkin menimbulkan kewajiban-kewajiban yang bertentangan bagi seseorang. Kedua, dalam peran tunggal mungkin ada konflik inheren. Adanya harapan-harapan yang bertentangan dalam satu peran yang sama ini dinamakan role strain. Satu hal yang menyebabkan terjadinya role strain adalah karena peran apapun sering menuntut adanya interaksi dengan berbagai status lain yang berbeda. Sampai tingkatan tertentu, masing-masing interaksi ini merumuskan peran yang berbeda, karena membawa harapan-harapan yang berbeda pula. Maka, apa yang tampak sebagai satu peran tunggal mungkin dalam sejumlah aspek sebenarnya adalah beberapa peran. Misalnya, status sebagai karyawan bagian pemasaran (sales) eceran di sebuah perusahaan, dalam arti tertentu sebenarnya membawa beberapa peran: sebagai bawahan (terhadap atasan di perusahaan itu), sebagai sesama pekerja (terhadap karyawan-karyawan lain di perusahaan itu), dan sebagai penjual (terhadap konsumen dan masyarakat yang ditawari produk perusahaan tersebut).
Menurut Horton dkk (1993), seseorang mungkin tidak memandang suatu peran dengan cara yang sama sebagaimana orang lain memandangnya. Sifat kepribadian seseorang mempengaruhi bagaimana orang itu merasakan peran tersebut. Tidak semua orang yang mengisi suatu peran merasa sama terikatnya kepada peran tersebut, karena hal ini dapat bertentangan dengan peran lainnya. Semua faktor ini terpadu sedemikian rupa, sehingga tidak ada dua individu yang memerankan satu peran tertentu dengan cara yang benar-benar sama.Ada beberapa proses yang umum untuk memperkecil ketegangan peran dan melindungi diri dari rasa bersalah. Pertama, rasionalisasi, yakni suatu proses defensif untuk mendefinisikan kembali suatu situasi yang menyakitkan dengan istilah-istilah yang secara sosial dan pribadi dapat diterima. Rasionalisasi menutupi kenyataan konflik peran, yang mencegah kesadaran bahwa ada konflik. Misalnya, orang yang percaya bahwa "semua manusia sederajat" tapi tetap merasa tidak berdosa memiliki budak, dengan dalih bahwa budak bukanlah "manusia" tetapi "benda milik."Kedua, pengkotakan (compartmentalization), yakni memperkecil ketegangan peran dengan memagari peran seseorang dalam kotak-kotak kehidupan yang terpisah, sehingga seseorang hanya menanggapi seperangkat tuntutan peran pada satu waktu tertentu. Misalnya, seorang politisi yang di acara seminar bicara berapi-api tentang pembelaan kepentingan rakyat, tapi di kantornya sendiri ia terus melakukan korupsi dan merugikan kepentingan rakyat.Ketiga, ajudikasi (adjudication), yakni prosedur yang resmi untuk mengalihkan penyelesaian konflik peran yang sulit kepada pihak ketiga, sehingga seseorang merasa bebas dari tanggung jawab dan dosa.Terakhir, kadang-kadang orang membuat pemisahan secara sadar antara
peranan dan "kedirian" (self), sehingga konflik antara peran dan kedirian dapat muncul sebagai satu bentuk dari konflik peran. Bila orang menampilkan peran yang tidak disukai, mereka kadang-kadang mengatakan bahwa mereka hanya menjalankan apa yang harus mereka perbuat. Sehingga secara tak langsung mereka mengatakan, karakter mereka yang sesungguhnya tidak dapat disamakan dengan tindakan-tindakan mereka itu.Konflik-konflik nyata antara peran dan kedirian itu dapat dianalisis dengan konsep jarak peran (role distance) yang dikembangkan Erving Goffman. "Jarak peran" diartikan sebagai suatu kesan yang ditonjolkan oleh individu bahwa ia tidak terlibat sepenuhnya atau tidak menerima definisi situasi yang tercermin dalam penampilan perannya. Ia melakukan komunikasi-komunikasi yang tidak sesuai dengan sifat dari peranannya untuk menunjukkan bahwa ia lebih dari sekadar peran yang dimainkannya. Seperti, pelayan toko yang mengusulkan pembeli untuk pergi ke toko lain karena mungkin bisa mendapatkan harga yang lebih murah. Ini merupakan tindakan mengambil jarak dari peran yang mereka lakukan dalam suatu situasi. Penampilan "jarak peran" menunjukkan adanya perasaan kurang terikat terhadap peranan. Pada sisi lain, "penyatuan diri" dengan peranan secara total merupakan kebalikan dari "jarak peran." Penyatuan diri terhadap peran tidak dilihat dari sikap seseorang terhadap perannya, tetapi dari tindakan nyata yang dilakukannya. Seorang individu menyatu dengan perannya bila ia menunjukkan semua kemampuan yang diperlukan dan secara penuh melibatkan diri dalam penampilan peran tersebut. 2.1.9. Ambiguitas Peran Alam dan Armana (2010) mengemukakan harapan-harapan personal terbatas di suatu organisasi dan mungkin akan berbenturan dengan harapan-
harapan konsumen. Ketika atasan mengharapkan karyawan untuk melayani konsumen sebanyak mungkin, pada saat yang sama konsumen akan menuntut perhatian personal, ambiguitas peran terjadi ketika seseorang tidak memiliki akses ke informasi yang cukup untuk menjalankan perannya sebagai karyawan. Ambigutas peran mengacu pada konsekuensi kinerja yang tidak dapat diprediksi dan defisiensi informasi mengenai perilaku peran yang diharapkan. Sebaliknya, konflik peran mengacu pada harapan-harapan yang tidak sesuai dan ini dapat terjadi antara beberapa peran (Schoubroeck et al, 1989). Pendapat Rizzo (1970) ambiguitas peran sebagai situasi di mana seseorang tidak memiliki arah yang jelas tentang pengharapan yang dibebankan kepada peran yang ia jalankan di dalam organisasi dan konflik peran sebagai ketidakselarasan antara pengharapan yang dikomunikasikan dengan persepsi pegawai mengenai pelaksanaan perannya. Cahyono (2008) mengemukakan bahwa ambiguitas peran adalah tidak adanya informasi umpan balik hasil evaluasi pengawas tentang hasil kerja seseorang, tentang
peluang-peluang
pengharapan-pengharapan
kenaikan si
karir,
penyampai
cakupan
peranv(Katz
tanggungjawab dan
Kahn,
dan 1978).
Ambiguitas peran muncul karena kurangnya informasi atau karena tidak adanya informasi atau karena tidak adanya informasi sama sekali atau informasinya tidak disampaikan. 2.1.10. Konflik Peran Catharina (2001) menyatakan bahwa konflik peran muncul ketika karyawan menerima harapan atau tuntutan dari rekan kerja, tuntutan dari atasan, tuntutan pelanggan yang tidak cocok atau saling bertentangan dari dua orang/pihak atau
lebih yang tidak mampu dipenuhi atau dipuaskan secara simultan (Douglas, 1996, Dubinsky et al, 1992, Keaveney dan Nelson, 1993, Siguaw et al, 1994). Konflik peran juga muncul ketika ada permintaan dari pihak lain yang bertentangan dengan prinsip atau pengharapan seseorang. Pihak atau orang lain yang memberikan permintaan atau tuntutan disebut role sender. Dalam lingkup perusahaan jasa, adanya kesenjangan pengharapan (expectations) berisiko mendorong munculnya stress (Babin dan Boles, 1998). Konflik peran juga bisa muncul ketika pihak manajemen memberikan tugas yang tidak bisa diselesaikan dengan baik oleh karyawan akibat tidak tersedianya waktu dan sumber daya (dana dan peralatan) yang mencukupi (Sumrall dan Sebastianelli, 1999). Konflik peran juga muncul akibat penerapan peraturan atau kebijakan perusahaan yang dirasakan terlalu ketat atau kurang fleksibel (Babin dan Boles, 1998). Konflik peran juga bisa terjadi akibat perbedaan jenis pekerjaan (job characteristic) yang berbeda antara departemen dalam satu perusahaan. Perbedaan jenis pekerjaan ini mengakibatkan perbedaan persepsi antara departemen terhadap suatu tugas (job task) yang harus dikerjakan bersama (Sign, 1998). Baik buruknya kinerja karyawan sebagai implikasi munculnya konflik peran atau ambiguitas peran sangat tergantung pada bagaimana dia mengatasi atau merespon konflik peran dan ambiguitas peran yang dialami (Keaveney dan Nelson, 1993, Watherly dan Tansik, 1993). Coping didefinisikan oleh Goolsby (1992) sebagai usaha-usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk mengelola permintaan-permintaan yang dirasakan melebihi sumber daya yang dimilikinya. Kemampuan coping menurut Goolsby (1992) di pengaruhi oleh sumber daya yang dimiliki seseorang meliputi usia, pengalaman kerja dan tingkat pendidikan.
Peran oleh Luthans (2001: 407) di definisikan sebagai suatu posisi yang memiliki harapan yang berkembang dari norma yang dibangun. Seorang individu seringkali memiliki peran ganda (multiple roles), karena selain sebagai guru misalnya seseorang juga memiliki peran di keluarganya, di lingkungannya dan lain-lain. Peran-peran ini seringkali memunculkan konflik-konflik tuntutan dan konflik-konflik harapan. Dan di sisi lain, kepuasan kerja merupakan komponen penting yang mempunyai pengaruh yang signifikan untuk beberapa variabel, seperti berpengaruh positif dengan kepuasan hidup (Iris dan Barrett,1977; Judge et.
al,1994),
Berpengaruh
positif
dengan
komitmen
pada
organisasi
(Yousef,2002), berpengaruh positif pada kinerja pekerjaan (Babin and Boles,1996) namun berpengaruh negatif dengan absensi (Muchinsky, 1977) dan turnover (Locke,1984). Dan di sisi lain, kepuasan kerja merupakan komponen penting yang mempunyai pengaruh yang signifikan untuk beberapa variabel, seperti berpengaruh positif dengan kepuasan hidup (Iris dan Barrett,1977; Judge et.
al,1994),
Berpengaruh
positif
dengan
komitmen
pada
organisasi
(Yousef,2002), berpengaruh positif pada kinerja pekerjaan (Babin and Boles,1996) namun berpengaruh negatif dengan absensi (Muchinsky, 1977) dan turnover (Locke,1984). Penelitian tentang hubungan antara komitmen organisasional , komitmen profesi dan konflik peran dilakukan oleh Aranya dan Ferris (1984) yang menemukan bahwa konflik peran yang dialami oleh akuntan yang bekerja pada organisasi akuntan publik adalah lebih rendah dibandingkan dengan akuntan yang bekerja pada organisasi non profesi. Andraeni (2003) menyatakan bahwa konflik peran adalah adanya ketidakcocokan antara harapan-harapan yang berkaitan
dengan satu peran. Konflik peran merupakan hasil dari ketidakkonsistenan harapan-harapan berbagai pihak atau persepsi adanya ketidakcocokan antara tuntutan peran dan kebutuhan , nilai-nilai individu. Sebagai akibatnya seseorang yang mengalami konflik peran akan berada dalam suasana terombang-ambing dan serba salah. 2.1.11. Komitmen Organisasional Komitmen organisasional adalah suatu konsep yang mencari sifat kelekatan (attachment) yang dibentuk oleh individu terhadap pekerjaan organisasi mereka (Ketchan dan Strawser, 2001). Kemudian Kinicki (2001) menyebutkan bahwa
komitmen
organisasional
menunjukkan
seberapa
jauh
individu
mengidentifikasi organisasi dan menjalankan tujuannya. Penelitian mengenai komitmen organisasional dimulai oleh Porter et al. (1974), yang berusaha untuk mengidentifikasikan faktor apa yang mempengaruhi formasi komitmen organisasional dan bagaimana komitmen organisasional mempengaruhi organisasi. Dewasa ini penelitian dalam industri dan psikologi organisasi serta keperilakuan organisasi berusaha mengidentifikasi keberadaan berbagai dimensi komitmen organisasional dan menemukan hubungan yang berbeda antara dimensi dan pengaruh penting terhadap organisasi. Menurut Aranya et al. (1981) komitmen organisasional adalah sebuah kepercayaan dan penerimaan terhadap tujuan-tujuan dan nilai-nilai organisasi atau profesi, sebuah kemauan untuk menggunakan usaha yang sungguh-sungguh guna kepentingan organisasi atau profesi, kemudian sebuah keinginan untuk memelihara keanggotaan dalam organisasi atau profesi.
Dua definisi komitmen organisasional yang sangat populer dalam literatur penelitian dikemukakan oleh Porter et al. (1974) yang menyatakan komitmen adalah kekuatan identifikasi dalam organisasi. Kemudian Becker (1960) menggambarkan komitmen sebagai perjanjian terhadap organisasi. Dalam kasus untuk organisasi menurutnya aktivitas meliputi tetap tinggal dengan organisasi, biaya yang dirasakan dihubungkan dengan aktivitas yang tidak dilanjutkan seperti meninggalkan organisasi termasuk kerugian manfaat yang ada dan senioritas, gangguan yang ada karena berpindah ke lokasi lain serta usaha untuk mencari pekerjaan baru. Komitmen organisasional adalah suatu kekuatan relatif identifikasi individu dan keterlibatannya dalam organisasi (Steers, 1977). Dimensi komitmen organisasional dapat dibagi dua yaitu affective commitment dan continuence commitment (Ketchand dan Strawser, 2001). Individu dengan affective commitment organisasi
karena
mereka
kuat cenderung akan tetap tinggal di
menginginkannya,
sementara
pekerja
dengan
continuence comitment tinggi akan tetap tinggal di organisasi karena mereka membutuhkan. Sebagai akibatnya, keperilakuan pekerja antara kedua komitmen tersebut akan berbeda. Williams dan Hazer (1986) membuat pemisahan antara komitmen dan kepuasan kerja dalam bentuk affective response pada seluruh organisasi, kemudian menunjukkan affective response pada aspek khusus pekerjaan. Perhatian utama model dan penemuan penelitian mengidentifikasi antecedent of commitment dari berbagai kategori. Hal tersebut termasuk karakteristik personal, karakteristik pekerjaan, pengalaman kerja, faktor organisasional dan role related factor.
2.2. Review Penelitian Terdahulu Penelitian sebelumnya sebagai acuan penelitian ini adalah penelitianpenelitian keinginan berpindah di lingkungan akuntan publik yang akan dijelaskan sebagai berikut: Penelitian Ratnawati (2000) dengan judul Hubungan kepuasan kerja, konflik peran, locus of control, job insecurity dan konsekuensinya dengan keinginan berpindah pada kantor akuntan publik. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh dari variabel personal dan organisasional terhadap keinginan berpindah. secara spesifik penelitian ini ingin menguji pengaruh dari job insecurity, anteseden dari job insecurity yaitu kepuasan kerja, konflik peran, dan locus of control, serta konsekuensi dari job insecurity yaitu komitmen organisasi, terhadap keinginan berpindah, data pada penelitian ini diperoleh melalui respon dari 98 staf akuntan pada kantor akuntan publik terdaftar pada directory IAI 1998 yang menjadi sampel. Kuesioner didesain sedemikian rupa untuk memperoleh data terhadap 6 variabel pada penelitian ini yaitu kepuasan kerja, konflik peran, locus of control, job insecurity,
komitmen
organisasional, dan keinginan berpindah. analisis data dilakukan dengan menggunian model persamaan struktural (structural equation modelling) dengan aplikasi program amos. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik peran dan locus of control mempunyai hubungan yang signifikan dengan keinginan berpindah. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa konflik peran dan locus of control merupakan anteseden dari job insecurity, dan komitmen organisasional sebagai konsekuensinya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komitmen organisasi mempunyai pengaruh yang potensial terhadap munculnya keinginan berpindah. Hasil analisis juga mengindikasikan bahwa kepuasan kerja secara
langsung rnernpengaruhi komitmen organisasi, darl komitmen organisasi dan konflik peran secara langsung mempengaruhi keinginan berpindah. Yuyetta (2001) melakukan penelitian dengan judul pengaruh tindakan supervisi dan persepsi kewajaran tingkat upah serta promosi terhadap kepuasan kerja dan keinginan berpindah akuntan publik yunior di Indonesia. Penelitian dilakukan terhadap akuntan junior dengan tujuan untuk menginvestigasi dampak supervisi dan persepsi kewajaran tingkat upah serta promosi terhadap kepuasan kerja dan keinginan berpindah. Hasil menunjukkan bahwa kepuasan kerja berpengaruh terhadap keinginan berpindah. Penelitian Pujisari (2001) dengan judul pengaruh jenis kelamin dan peran jenis terhadap kepuasan kerja, stress kerja dan keinginan berpindah mendesain penelitian dengan independent sample t-test dan one way ANOVA digunakan untuk menguji hipotesis penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk menguji perbedaan jenis kelamin mempengaruhi perbedaan tingkat kepuasan kerja, stres kerja, dan keinginan berpindah, Tujuan berikutnya perbedaan peran jenis mempengaruhi perbedaan tingkat kepuasan kerja, stres kerja dan keinginan berpindah. Menggunakan kuesioner, subjek yang diperoleh adalah 63 auditor yang berasal dari kantor akuntan publik big five dan nasional. Hasil menunjukkan bahwa baik perbedaan jenis kelamin maupun peran jenis tidak menyebabkan perbedaan pada tingkat kepuasan kerja, stres kerja, dan keinginan berpindah auditor. Penelitian Maslichah (2001) dengan judul analisis hubungan mentor protégé, fungsi mentoring dan keinginan berpindah di lingkungan akuntan publik mengembangkan model keinginan berpindah dengan menguji fungsi mentoring.
Penelitian ini meliputi 102 manajer dan staf kantor akuntan publik dengan menggunakan mail survey. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pekerja yang memiliki dukungan mentor protégé dan fungsi mentoring akan mengurangi keinginan berpindah. Penelitian Murtini (2003) dengan judul pengujian hambatan mentoring dan keinginan berpindah pada akuntan publik. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi dan menguji hambatan hubungan mentoring dan keinginan berpindah pada akuntan publik. Hipotesis dikembangkan dari rerangka tersebut yang diuji berdasar sample 90 akuntan publik yang berasal dari kantor akuntan publik baik lokal, menengah, dan besar di Indonesia. Instrumen untuk Pengumpulan data adalah dengan kuesioner. Hasil menunjukkan bahwa pertama, partisipan yang mempunyai mentor menilai hambatan lebih kecil dari akses mentor. Kedua, perbedaan gender adalah signifikan hanya dari keinginan mentor. Ketiga, akuntan publik dengan jabatan yang lebih rendah merasakan hambatan hubungan mentoring (dari persetujuan yang lain dan keinginan mentor) lebih besar daripada akuntan publik dengan jabatan yang lebih tinggi. Keempat, ketika ukuran kantor akuntan publik juga berbeda, hambatan hubungan mentoring akan berbeda tetapi hanya dari keinginan mentor. Partisipan yang tidak berkeinginan pindah hambatan lebih kecil dari persetujuan yang lain. Penelitian Endah (2003) dengan judul analisis peran mentor pada role conflict, role ambiguity, burnout terhadap kinerja dan keinginan berpindah auditor. Penelitian tersebut mendesain model untuk mendapatkan pemahaman mengenai peran mentor. Data diperoleh dengan mail survey dan dianalisis dengan melakukan path analisis. Sampel penelitian 119 orang auditor. Tujuan penelitian
tersebut adalah (1) peran mentor pada hubungan role conflict, role ambiguity dan burnout terhadap kinerja dan keinginan berpindah dari auditor, (2) hubungan antara kinerja dan keinginan berpindah. Role Theory menyatakan, role sender merupakan seseorang yang telah menjadi anggota dari organisasi dan telah memiliki pengalaman dan mengetahui peran dari focal person’s dalam organisasi. Mentor disini ditempatkan pada peran role sender sedangkan protégé sebagai focal person. Cahyono (2008) dengan judul persepsi ketidakpastian lingkungan, ambiguitas peran dan konflik peran sebagai mediasi antara program mentoring dengan kepuasan kerja, prestasi kerja dan niat ingin pindah menambahkan variabel persepsi ketidakpastian lingkungan, ambiguitas peran, konflik peran, mentoring, kepuasan kerja, prestasi kerja dan niat ingin pindah. Responden dalam penelitian ini adalah para staf KAP besar di Jakarta dengan jumlah 184 kuesioner yang dapat diolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua hipotesis yang dibangun dapat dibuktikan. Beberapa hipotesis yang dapat dibuktikan yaitu program mentoring berpengaruh terhadap persepsi ketidakpastian lingkungan, konflik peran dan ambiguitas peran secara negatif dan selanjutnya konflik peran berpengaruh negatif terhadap prestasi kerja dan berpengaruh positif terhadap niat ingin pindah. Untuk pengaruh konflik peran terhadap terhadap prestasi kerja ditemukan negatif sedangkan ambiguitas peran terhadap niat ingin pindah berpengaruh secara positif. Selanjutnya hipotesis yang tidak dapat dibuktikan adalah pengaruh persepsi ketidakpastian lingkungan terhadap prestasi kerja dan niat ingin pindah, sedangkan pengaruh negatif konflik peran terhadap kepuasan kerja juga tidak terbukti. Temuan ini mengindikasikan bahwa program mentoring
yang ada di KAP besar dapat menurunkan stres peran dan persepsi ketidakpastian lingkungan tetapi secara umum tidak dapat memediasi antara program mentoring dengan prestasi kerja, kepuasan kerja dan niat ingin pindah. Penelitian Smith dan Hall (2008) dengan judul an empirical examination of three component model of professional commitment among public accountants menguji variabel komitmen professional (komitmen affective, continuance dan normative) terhadap keinginan berpindah profesional. Sampel penelitian adalah 260 akuntan yang bekerja di akuntan publik di Australia. Hasil penelitian terdapat profesional komitmen dan keinginan berpindah. Penelitian Yuresta (2011) dengan judul analisis pengaruh motivasi, stres, reward dan rekan kerja terhadap kinerja auditor dikantor akuntan publik. Penelitian tersebut menyimpulkan faktor motivasi, stres, reward dan rekan kerja masing-masing berpengaruh terhadap kinerja auditor. Penilaian kinerja membantu perusahaan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan sumber daya manusia yang dimilikinya. Bagi karyawan, penilaian kinerja dapat menjadi tolak ukur bagi dirinya untuk mengetahui prestasi yang telah dicapainya selama ini. Penelitian ini merupakan penelitian kausal dengan menggunakan kuisioner untuk mengukur variabel-variabel motivasi, stres, reward, rekan kerja dan kinerja. Populasi dalam penelitian tersebut adalah auditor yang bekerja di Kantor Akuntan Publik di Jakarta. Kuisioner disebarkan kepada 80 orang auditor di 3 kantor akuntan publik. Kuisioner yang kembali dan dapat diolah sebanyak 50 buah atau 63%. Data yang diperoleh kemudian diuji dengan menggunakan analisis regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor motivasi, stres, reward dan rekan kerja masing-masing berpengaruh terhadap kinerja auditor. Dari keempat
variabel yang mempengaruhi kinerja hanya variabel stres yang mempengaruhi kinerja secara negatif, artinya ketika tingkat stres auditor meningkat maka kinerja auditor tersebut akan menurun. Diantara keempat variabel yang mempengaruhi kinerja variabel motivasi merupakan variabel yang paling dominan dalam mempengaruhi kinerja. Penelitian sebelumnya sebagai review penelitian ini dapat dilihat dalam tabel 2.2. berikut: Tabel 2.2 Review Penelitian No 1.
Peneliti (Tahun) Ratnawati (2000)
2.
Yuyetta (2001)
3.
Pujisari (2001)
4.
Maslichah (2001)
Judul
Variabel Penelitian
Metodologi
Hasil Penelitian 1. Konflik peran dan locus of control mempunyai hubungan yang signifikan dengan keinginan berpindah. 2. Konflik peran dan locus of control merupakan anteseden dari job insecurity, dan komitmen organisasional sebagai konsekuensinya. 3. Komitmen organisasi mempunyai pengaruh yang potensial terhadap munculnya keinginan berpindah. 4. Kepuasan kerja secara langsung rnernpengaruhi komitmen organisasi, darl komitmen organisasi dan konflik peran secara langsung mempengaruhi keinginan berpindah. 1. Dampak supervisi dan persepsi kewajaran tingkat upah serta promosi terhadap kepuasan kerja dan keinginan berpindah. 2. Kepuasan kerja berpengaruh terhadap keinginan berpindah. Terdapat perbedaan jenis kelamin maupun peran jenis tidak menyebabkan perbedaan pada tingkat kepuasan kerja, stres kerja, dan keinginan berpindah auditor.
Hubungan kepuasan kerja, konflik peran, locus of control, job insecurity dan konsekuensinya dengan keinginan berpindah pada kantor akuntan publik.
Kepuasan kerja, konflik peran, locus of control, job insecurity dan keinginan berpindah
Metode kuantitatif dengan menggunakan pengaruh variable dan teknik konfirmatory dengan amos
Pengaruh tindakan supervisi dan persepsi kewajaran tingkat upah serta promosi terhadap kepuasan kerja dan keinginan berpindah akuntan publik yunior di Indonesia. Pengaruh jenis kelamin dan peran jenis terhadap kepuasan kerja, stress kerja dan keinginan berpindah.
Tindakan supervisi, persepsi kewajaran tingkat upah, promosi, kepuasan kerja dan keinginan berpindah.
Metode kuantitatif dengan menggunakan regresi
Perbedaan jenis kelamin mempengaruhi perbedaan tingkat kepuasan kerja, stres kerja, dan keinginan berpindah
Metode kuantitatif dengan menggunakan uji beda
Analisis hubungan mentor protégé, fungsi
Mentoring
Metode kuantitatif dengan
1.
Partisipan mempunyai
yang mentor
No
Peneliti (Tahun)
Judul
Variabel Penelitian
mentoring dan keinginan berpindah di lingkungan akuntan publik mengembangkan model keinginan berpindah dengan menguji fungsi mentoring.
Metodologi
Hasil Penelitian
menggunakan regresi
menilai hambatan lebih kecil karena akses mentor. 2. Perbedaan gender adalah signifikan hanya dari keinginan mentor. 3. Akuntan publik jabatan yang lebih rendah merasakan hambatan hubungan mentoring lebih besar daripada akuntan publik jabatan yang lebih tinggi. 4. Ketika ukuran kantor akuntan publik juga berbeda, hambatan hubungan mentoring akan berbeda tetapi hanya dari keinginan mentor. Akuntan publik yang tidak berkeinginan pindah adalah akuntan publik yang memiliki hambatan mentoring lebih kecil.
5.
Endah (2003)
Analisis peran mentor pada role conflict, role ambiguity, burnout terhadap kinerja dan keinginan berpindah auditor.
Role conflict, role ambiguity, burnout, kinerja dan keinginan berpindah.
Metode kuantitatif dengan menggunakan korelasi
1. Peran mentor pada hubungan role conflict, role ambiguity dan burnout terhadap kinerja dan keinginan berpindah dari auditor, 2. Hubungan antara kinerja dan keinginan berpindah.
6.
Cahyono (2008)
Persepsi ketidakpastian lingkungan, ambiguitas peran dan konflik peran sebagai mediasi antara program mentoring dengan kepuasan kerja, prestasi kerja dan niat ingin pindah.
Persepsi ketidakpastian lingkungan, ambiguitas peran, konflik peran, mentoring, kepuasan kerja, prestasi kerja dan niat ingin pindah.
Metode kuantitatif dengan menggunakan analisis konfirmatory dan pengaruh dengan alat lisrel
1. Program mentoring berpengaruh terhadap persepsi ketidakpastian lingkungan, konflik peran dan ambiguitas peran secara negatif. 2. Konflik peran berpengaruh negatif terhadap prestasi kerja dan berpengaruh positif terhadap niat ingin pindah. 3. Untuk pengaruh konflik peran terhadap terhadap prestasi kerja ditemukan negatif 4. Ambiguitas peran terhadap niat ingin pindah berpengaruh secara positif. 5. Tidak dapat membuktikan pengaruh persepsi ketidakpastian lingkungan terhadap prestasi kerja dan niat ingin pindah, begitu juga dengan pengaruh negatif konflik peran terhadap kepuasan kerja. 6. Temuan ini mengindikasikan
No
Peneliti (Tahun)
Judul
Variabel Penelitian
Metodologi
Hasil Penelitian bahwa program mentoring yang ada di KAP besar dapat menurunkan stres peran dan persepsi ketidakpastian lingkungan tetapi secara umum tidak dapat memediasi antara program mentoring dengan prestasi kerja, kepuasan kerja dan niat ingin pindah.
7.
8.
Smith dan Hall (2008)
Yuresta (2011)
An empirical examination of three component model of professional commitment among public accountants
Variabel komitmen professional (komitmen affective, continuance normative) terhadap keinginan berpindah professional
Analisis pengaruh motivasi, stres, reward dan rekan kerja terhadap kinerja auditor dikantor akuntan publik.
faktor motivasi, stres, reward dan kinerja
Metode kuantitatif dengan menggunakan regresi
Terdapat pengaruh profesional komitmen dan keinginan berpindah.
Metode kuantitatif dengan menggunakan regresi
Faktor motivasi, stres, reward dan rekan kerja masing-masing berpengaruh terhadap kinerja auditor. Dari keempat variabel yang mempengaruhi kinerja hanya variabel stres yang mempengaruhi kinerja secara negatif, artinya ketika tingkat stres auditor meningkat maka kinerja auditor tersebut akan menurun. Diantara keempat variabel yang mempengaruhi kinerja variabel motivasi merupakan variabel yang paling dominan dalam mempengaruhi kinerja.
dan