8
BAB II LANDASAN TEORI
Pada bab ini akan diuraikan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Landasan teori ini dimulai dari psikologi perkembangan remaja, body image, konsep perilaku, perilaku konsumtif, dan pengertian high-heels sehingga dapat menggambarkan teori yang terhubung satu dengan yang lainnya guna mempermudah pemahaman. 2.1.Psikologi PerkembanganRemaja Perkembangan berarti serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Pengertian ini sesuai dengan yang dikatakan Van den Daele (Hurlock, 2004 : 2) : “Perkembangan adalah perubahan secara kualitatif, bukan sekedar penambahan beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang atau peningkatan beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang, melainkan suatu proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang kompleks. Perkembangan juga diartikan sebagai ”perubahan-perubahan yang dialami individu atau organisme menuju tingkat kedewasaannya atau kematangannya (maturation) yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan, baik menyangkut fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah)”. Sementara itu, Yusuf (2001) berpendapat senada, bahwa perkembangan dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan pada diri individu atau organisme, baik fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah) menuju tingkat kedewasaan atau kematangan yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan. Mubin (2006) juga sependapat, bahwa perkembangan adalah suatu proses perubahan pada seseorang ke arah yang lebih maju dan lebih dewasa.
9
Pendapat-pendapat tersebut hampir senada, bahwa perkembangan merupakan proses perubahan perilaku pada seorang individu secara teratur dan berkelanjutan. Adapun perbedaan pendapat dari para ahli tersebut hanya pada tahap-tahap proses perubahan atau terjadinya perubahan perilaku tersebut, meski perubahan perilaku yang terjadi bersifat pasti terjadi atau hakiki. Terkait hal ini, Syamsudin (2003) membagi tahap perkembangan perilaku menjadi : 1. Perkembangan
Perilaku
Kognitif.
Dengan
menggunakan
hasil
pengukuran tes inteligensi yang mencakup General Information and Verbal Analogies, Jones dan Conrad (dalam Loree, 1970) menunjukkan bahwa laju perkembangan inteligensi berlangsung sangat pesat sampai masa
remaja,
lalu
kepesatannya
berangsur
menurun.
Puncak
perkembangan pada umumnya tercapai di penghujung masa remaja akhir. Perubahan-perubahan amat tipis sampai usia 50 tahun, dan setelah itu terjadi plateau (mapan) sampai dengan usia 60 tahun selanjutnya berangsur menurun. 2. Perkembangan Perilaku Afektif. Perkembangan ini meliputi aspek emosional dari suatu perilaku yang pada umumnya selalu melibatkan tiga variabel : a) Rangsangan yang menimbulkan emosi (stimulus); b) Perubahan–perubahan fisiologis yang terjadi pada individu; dan c) Pola sambutan (respon). Variabel kesatu (stimulus) dan ketiga (respon) mungkin bisa berubah, sedangkan variabel kedua tidak mungkin dirubah, karena terjadinya pada individu secara mekanis. 3. Perkembangan Perilaku Psikomotorik. Perkembangan ini memerlukan adanya koordinasi fungsional antara sistem syaraf dan otot, dengan fungsi psikis (kognitif, afektif, konatif). Dua prinsip utama dalam perkembangan
psikomotorik
adalah,
bahwa
perkembangan
itu
10
berlangsung dari yang sederhana menuju yang kompleks, dan dari yang kasar dan global menuju yang halus, spesifik dan terkoordinasi. Dalam perkembangan perilaku kognitif, Piaget (dalam Syamsudin, 2003) menjelaskan, bahwa secara kualitatif mengikuti tahap berikut : 1) Tahap SensoriMotor (0 – 2 tahun), 2) Tahap Pra Operasional (2 – 7 tahun), 3) Tahap konkretoperasional (7 – 11 tahun), dan 4) Tahap formal-operasional (11 tahun – dewasa). Terkait dengan fokus kajian penelitian tentang perkembangan perilaku remaja, berdasarkan pendapat Piaget tersebut, remaja berada pada tahap formal operasional, yang mana pada periode ini seorang remaja telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan, baik secara simultan maupun berurutan dua ragam kemampuan kognitif yaitu kapasitas menggunakan hipotesis, yaitu kemampuan berfikir mengenai sesuatu khususnya dalam hal pemecahan masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan yang dia respons dan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak; serta kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak, yaitu kemampuan untuk mempelajari materi-materi pelajaran yang abstrak secara luas dan mendalam. Menurut Papalia (2007), masa remaja adalah transisi perkembangan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang didalamnya terdapat perubahan fisik, kognitif,
dan
psikososial.
Sementara
Jersild
(dalam
Cahyadi,
2006)
mengungkapkan, bahwa masa remaja adalah suatu periode transisi selama pertumbuhan seseorang dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Berdasarkan definisi-definisi tesebut, dapat disimpulkan bahwa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa yang melibatkan aspek fisik, kognitif, dan psiko-sosial dalam berbagai perilakunya. Seluruh
11
perubahan tersebut ada yang terjadi dengan sendirinya, ada juga yang terjadi melalui proses pengalaman dan pembelajaran, atau dipengaruhi faktor di luar individu remaja tersebut. Batasan usia remaja menurut Monk (2000) adalah antara 12 – 21 tahun, dan membaginya dalam tiga fase, yaitu : 1) Remaja awal (12 – 15 tahun), 2) Remaja tengah (15 – 18 tahun), dan 3) Remaja akhir (18 – 21 tahun). Pada tahapan-tahapan usia ini, menurut Agustiani (2006), terjadi transisi masa kanakkanak dan dewasa yang ditandai dengan berbagai perubahan, baik fisik maupun psikis. Hurlock (2004) mengatakan ciri remaja (masa remaja) adalah usia bermasalah dan masa mencari identitas diri dimana mereka harus mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan perilaku dan sikap yang sudah ditinggalkan. Masalah pada masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi, karena sebelumnya masalah diselesaikan oleh orangtua dan guru, sehingga kebanyakan remaja kurang berpengalaman dalam mengatasi masalah, maka mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri dan menolak bantuan orangtua dan guru karena merasa mandiri. Menurut Monks (2000), terdapat tiga tahap dan karakteristik proses perkembangan yang dilalui remaja menuju kedewasaannya, yaitu : 1. Remaja awal (12 – 15 tahun). Pada tahap ini, remaja masih merasa bingung dan mulai beradaptasi terhadap perubahanperubahan yang terjadi pada dirinya dan dorongan-dorongan yang menyertai
perubahan-perubahan
tersebut.
Mereka
mulai
mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis. Kepekaan yang berlebihan ini ditambah dengan berkurangnya pengendalian
12
terhadap emosi dan menyebabkan remaja sulit mengerti dan dimengerti oleh orang dewasa; 2. Remaja madya (15-18 tahun). Pada tahap ini, remaja sangat membutuhkan teman-teman. Ada kecendrungan narsistik, yaitu mencintai dirinya sendiri, dengan cara lebih menyukai temanteman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Pada tahap ini remaja berada dalam kondisi kebingungan, karena masih ragu harus memilih yang mana, peka atau peduli, ramairamai atau sendiri, optimis atau pesimis, dan sebagainya; 3. Remaja akhir (18-21 tahun). Tahap ini adalah masa mendekati kedewasaan yang ditandai dengan pencapaian : a. Minat yang semakin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek. b. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orangorang lain dan mendapatkan pengalaman-pengalaman baru. c. Terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah lagi. Bentuk tubuh yang tidak sesuai dengan jenis kelaminnya jauh lebih mengganggu remaja daripada anak kecil. Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain. d. Tumbuh
dinding
pemisah
antara
diri
sendiri
dengan
masyarakat umum. Dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan periode yang sangat penting, karena merupakan masa peralihan yang sering menimbulkan masalah, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang tua dan gurunya, yang disebabkan
13
oleh masa pencarian identitas dari yang bersangkutan sebagai bukti egoisme serta kekhawatiran terhadap potensi dan kelemahan yang ada pada dirinya. Perkembangan remaja, menurut Hill (dalam Agustiani, 2006), juga merupakan perubahan fundamental dan universal remaja yang meliputi : 1. Perubahan biologis, yaitu menyangkut tampilan fisik (ciri-ciri secara primer dan sekunder). Perubahan ini mengakibatkan remaja harus menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitarnya. Perubahan fisik ini juga berpengaruh terhadap self image remaja, dan juga menyebabkan perasaan tentang diri pun berubah.. 2. Perubahan kognitif, yaitu perubahan dalam kemampuan berpikir, yang lebih baik daripada waktu anak-anak tentang situasi secara hipotesis, memikirkan sesuatu yang belum terjadi tetapi akan terjadi, serta telah mampu berpikir tentang konsep-konsep yang abstrak seperti pertemanan, demokrasi, dan moral. 3. Perubahan sosial, yaitu perubahan dalam status sosial dengan mendapatkan peran-peran baru dan terikat pada kegiatankegiatan baru. Dalam kehidupan sosial, remaja dituntut untuk membuat suatu pilihan dan keputusan tentang yang akan dilakukan bila dewasa. Terkait dengan perkembangan tersebut, Havighurst (dalam Hurlock, 2004) mengemukakan tugas perkembangan remaja, yaitu : 1. Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya, baik pria maupun wanita. 2. Mencapai peran sosial pria dan wanita. 3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif.
14
4. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab. 5. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang-orang dewasa lainnya. 6. Mempersiapkan karir ekonomi. 7. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga. 8. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku, dan mengembangkan ideologi. Berdasarkan uraian tersebut, pada masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak dan berusaha mengmbangkan diri sebagai individu yang unik dan tidak bergantung pada orang tua. Sebagian remaja ada yang mengalami perubahan peran secara drastis, menjadi dewasa lebih awal dibandingkan dengan teman-teman sebayanya, sehingga dapat dikatakan mengalami masa remaja yang pendek. Sebaliknya, tidak sedikit yang mengalami masa remaja yang panjang, yaitu bila setelah melewati usia remaja masih bergantung dan berada dibawah otoritas orangtua, sehingga dapat membuat perkembangan remaja menuju proses kedewasaan menjadi terhambat. Terkait dengan hal ini peran dari orang-orang sekelilingnya untuk mengarahkan tugas perkembangan remaja sangat penting, sehingga remaja mampu melewati masa peralihan tanpa permasalahan yang berarti, dan mampu menginjakkan dirinya pada masa dewasa dengan lebih siap dan matang. 2.2 Body Image Dari sejumlah uraian tentang tugas perkembangan masa remaja, dapat dikatakan, bahwa masa remaja dianggap sebagai periode badai dan tekanan yaitu suatu masa dimana berbagai permasalahan yang terkait dengan peralihan
15
peran anak-anak ke arah dewasa yang kadang sulit dipahami oleh orang-orang sekelilingnya. Bahkan remaja umumnya memiliki kondisi emosi yang labil, tidak terkendali dan tampak irasional. Berbagai permasalahan yang terkait dengan peralihan peran anak-anak ke arah dewasa yang kadang sulit dipahami oleh orang-orang sekelilingnya. Bahkan remaja umumnya memiliki kondisi emosi yang labil, tidak terkendali dan tampak irasional. Piaget mengungkapkan perubahan kognitif yang dialami pada masa remaja yang disebut formal operation, yang mana remaja tidak lagi terikat pada realitas fisik yang konkrit dari apa yang ada, melainkan remaja mulai mampu berhadapan dengan aspek-aspek yang hipotesis dan abstrak dari realitas. Bahkan terkait dengan perubahan sosial, remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam membentuk hubungan yang baru dan juga menyesuaikan diri dengan orang dewasa lainnya diluar lingkungan keluarga dan sekolah (Hurlock, 2004). Masa remaja secara umum dimulai dengan pubertas, yaitu proses yang mengarah kepada kematangan seksual dan kemampuan untuk bereproduksi, termasuk perubahan
permasalahan-permasalahan perkembangan
tersebut.
yang Menurut
timbul Levine
sebagai &
akibat
Smolak
dari
(dalam
Rey,2002), permasalahan akibat perubahan fisik banyak dirasakan pada masa remaja awal ketika mereka mengalami pubertas sedangkan pada masa remaja tengah dan akhir permasalahan fisik yang terjadi berhubungan dengan ketidakpuasan/keprihatinan mereka terhadap keadaan fisik yang dimilikinya, yang biasanya tidak sesuai dengan fisik ideal yang diinginkannya dan kemudian sering membandingkan fisiknya dengan fisik orang lain ataupun idola-idola yang menjadi rujukan mereka (artis) yang kemudian mengakibatkan mereka menjadi kurang percaya diri .
16
Salah satu dampak psikologis dari perubahan tubuh di masa puber yaitu, remaja cenderung merasa cemas dengan tubuh mereka dan membentuk citra diri mengenai bagaimana keadaan tubuh mereka. Hal ini dikenal dengan body image, yaitu gambaran mental seseorang terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya, bagaimana seseorang mempersepsi dan memberikan penilaian atas apa yang ia pikirkan dan rasakan terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya, dan bagaimana kira-kira penilaian orang lain terhadap dirinya. Padahal sebenarnya, apa yang dia pikirkan dan rasakan, belum tentu benar-benar merepresentasikan keadaan yang aktual, namun lebih merupakan hasil penilaian diri yang bersifat subyektif (Honigman dan Castle, dalam de Villiers, 2006). Dapat disimpulkan bahwa body image adalah persepsi subyektif seseorang (kebanyakan wanita atau remaja wanita) akan penampilannya sendiri. Pendapat ini sejalan dengan yang dikemukakan pertama kali oleh Schilder dalam penelitiannya The Image and Appearance of the Human Body (1935) dalam Wikipedia (2011), bahwa body image merujuk kepada persepsi seseorang tentang keindahan (estetis) dan daya tarik seksual dari tubuh yang dimilikinya. Persepsi ini menurut Schilder, merupakan akibat penilaian masyarakat dari masa ke masa tentang nilai utama kecantikan dari tubuh seseorang (wanita), sehingga menyebabkan persepsi seseorang terhadap tubuh yang dimilikinya harus sesuai dengan standar penilaian yang dimiliki oleh orang kebanyakan. Sementara itu, Lightstone (1999 :1) mengemukakan “body image involves our perception, imagination, emotions, and physical sensations of and about our bodies”. (Body image meliputi persepsi, imajinasi, emosi, dan sensasi fisik orang tentang tubuhnya). Konsep body image digunakan dalam berbagai disiplin ilmu, seperti psikologi, kedokteran, psikiatri, psikoanalisis, filosofi dan budaya, serta studi kewanitaan. Karena itu, wajar kalau definisi dari body image tidak memiliki
17
konsensus tertentu. Terkait tentang studi kewanitaan, terdapat perbedaan gender dalam persepsi remaja mengenai tubuh mereka. Proses pembentukan body image yang baru pada masa remaja ke dalam diri adalah bagian dari tugas perkembangan yang sangat penting, dan biasanya remaja wanita mengalami penyesuaian yang lebih sulit daripada remaja pria (Dacey dan Kenny, 2001). Bahkan menurut Gunn dan Pikoff (dalam Santrock, 2003), selama masa puberitas secara umum remaja wanita tidak begitu senang dengan tubuh mereka dan memiliki body image yang lebih negatif dibandingkan dengan remaja laki-laki. Selanjutnya Gross (dalam Santrock, 2003) mengemukakan ketidakpuasan remaja wanita pada tubuh mereka mungkin lebih disebabkan karena kadar lemak tubuh mereka yang meningkat, sehingga menyebabkan peningkatan berat tubuh mereka dan hal ini membuat mereka terlihat lebih gemuk. Fakta ini didukung oleh hasil penelitian Levine dan Smolak (dalam Rey, 2002), bahwa 40 – 70 persen remaja wanita merasakan ketidakpuasan pada dua atau lebih dari bagian tubuhnya, khususnya pada bagian pinggul, bokong, perut dan paha. Dengan demikian, body image menurut persepsi wanita sebagai daya tariknya terdapat pada bagian pinggul, bokong, perut, dan paha. Daya tarik fisik inilah yang berperan penting dalam hubungan sosial, sebagaimana dikemukakan oleh Cross dan Cross (dalam Hurlock, 2004), kecantikan dan daya tarik fisik merupakan hal yang penting bagi remaja. Dengan adanya daya tarik fisik bagi seorang remaja wanita, dukungan sosial, popularitas, pemilihan calon pasangan hidup dan karir diharapkan lebih tinggi. Remaja wanita beranggapan bahwa dengan memiliki tubuh yang ideal dan menarik, mereka akan lebih mudah untuk terlibat dalam hubungan yang romantis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Erickson (dalam Dacey dan Kenny, 2001), bahwa wanita dalam menilai penampilan fisik lebih mengarah kepada
18
upaya untuk menarik perhatian lawan jenis, sedangkan pria lebih memfokuskan pada kemampuan bersaing dan kekuatan. Remaja wanita yang memiliki body image positif akan menerima lebih banyak ajakan berkencan dibanding yang memiliki body image negatif, karena mereka yang merasa bahwa diri mereka cantik dan terlihat menarik di mata orang lain akan lebih memungkinkan untuk terlibat dalam hubungan yang romantis (de Villiers, 2006). Dengan demikian, remaja wanita yang memiliki body image positif biasanya cenderung memiliki self-esteem yang tinggi, sedangkan remaja yang memiliki body image negatif cenderung memiliki self-esteem yang rendah, sehingga mereka akan merasa kesulitan memulai hubungan yang romantis dengan lawan jenis dibandingkan remaja yang memiliki body image positif. Selain itu, remaja yang memiliki body image negatif, cenderung merasa ditolak dan tidak diinginkan, sehingga bisa membawa remaja lari ke hal-hal negatif, sebagaimana hasil penelitian Moore dan Franko (dalam Cash dan Pruzinsky, 2002) bahwa body image adalah komponen yang penting dalam hidup manusia karena apabila terdapat gangguan pada body image dapat mengakibatkan banyak hal, seperti perasaan minder dan tidak percaya diri, gangguan pola makan (eating disorder), diet yang tidak sehat, anxiety, bahkan depresi. Terkait dengan berbagai masalah yang timbul akibat persepsi terhadap body image, beberapa definisi muncul. Meski berbeda, namun substansinya sama, yaitu penilaian seseorang terhadap penampilan tubuh atau fisik yang dimilikinya. Dacey dan Kenny (2001) menyatakan, bahwa body image yaitu keyakinan seseorang akan penampilan mereka di hadapan orang lain. Sementara Wright (dalam Santrock, 2003) mendefinisikan, body image individu membangun citranya sendiri mengenai bagaimana kelihatannya bentuk tubuh mereka. Adapun definisi Papalia, Olds, dan Feldman (2007), body image adalah
19
suatu gambaran dan evaluasi mengenai penampilan seseorang”. Bahkan menurut Grogan (1999), body image adalah persepsi, pikiran dan perasaan seseorang tentang tubuhnya. Selain itu, Schilder (dalam Grogan, 1999) mengartikan body image sebagai gambaran mengenai tubuh seseorang yang terbentuk dalam pikiran individu itu sendiri, atau dengan kata lain gambaran tubuh individu menurut individu itu sendiri, selanjutnya, Schilder (dalam Cash dan Pruzinsky, 2002) body image adalah pemikiran seseorang terhadap tubuhnya terdiri dari tiga elemen, yaitu elemen persepsi yang diidentifikasikan dengan estimasi ukuran tubuh, elemen pikiran yang diidentifikasikan dengan evaluasi daya tarik tubuh, dan elemen perasaan yang diidentifikasikan dengan emosi yang terkait dengan bentuk dan ukuran tubuh. Fisher (dalam Grogan, 1999) juga mengemukakan, bahwa body image adalah persepsi, pikiran dan perasaan seseorang mengenai tubuhnya. Sementara Cash (2002) mendeskripsikan body image sebagai kumpulan kumulatif dari gambaran, fantasi dan pemahaman tentang tubuh dan bagianbagian serta fungsi-fungsinya yang merupakan komponen utuh pada gambaran diri dan dasar dari representasi diri. Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa body image adalah gambaran mental, persepsi, pikiran dan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap ukuran tubuh, bentuk tubuh dan berat tubuh yang mengarah kepada penampilan fisik. Evaluasi berbicara tentang apa yang dirasakan individu, seperti kepuasannya terhadap tubuhnya, perhatian dan kecemasan terhadap tubuh, dan sikap berupa penilaian positif atau negatif terhadap tubuh. Selain itu, body image juga merupakan representasi seseorang mengenai bagaimana penampilan yang terlihat oleh orang lain, bagaimana
20
seseorang
mempersepsikan
tubuhnya
sendiri,
dan
bagaimana
individu
menggambarkan tubuhnya berdasarkan pikirannya sendiri. Definisi lain yang lebih rinci dikemukakan oleh Cash dan Pruzinsky (2002), bahwa body image merupakan sikap yang dimiliki seseorang terhadap tubuhnya yang dapat berupa penilaian positif dan negatif. Kemudian Thompson, dkk (2001) juga menyatakan Body image adalah evaluasi seseorang terhadap ukuran tubuhnya, berat ataupun aspek tubuh lainnya yang mengarah kepada penampilan fisik. Evaluasi dibagi menjadi tiga area, yaitu komponen persepsi, yang secara umum mengarah kepada keakuratan dalam mempersepsi ukuran (perkiraan terhadap ukuran tubuh); komponen subyektif yang mengarah kepada kepuasan, perhatian, evaluasi kognitif dan kecemasan; serta komponen perilaku yang memfokuskan kepada penghindaran individu terhadap situasi yang mengakibatkan ketidaknyamanan terhadap penampilan fisiknya sendiri. Selanjutnya, Cash (2000) menegaskan ada lima komponen body image., yaitu : 1. Appearance Evaluation (Evaluasi Penampilan), yaitu penilaian individu mengenai keseluruhan tubuh dan penampilan dirinya, apakah menarik atau tidak menarik, memuaskan atau tidak memuaskan terhadap penampilan secara keseluruhan. 2. Appearance Orientation (Orientasi Penampilan), yaitu perhatian individu terhadap penampilan dirinya dan usaha yang dilakukan untuk memperbaiki dan meningkatkan penampilan dirinya. 3. Body Areas Satisfaction (Kepuasan terhadap Bagian Tubuh), yaitu kepuasan individu terhadap bagian tubuh secara spesifik, seperti wajah, rambut, payudara, tubuh bagian bawah (pinggul, bokong, kaki), tubuh bagian tengah (pinggang, perut), dan keseluruhan tubuh.
21
4. Overweight Pre-occupation (Kecemasan Menjadi Gemuk), yaitu menggambarkan kecemasan individu terhadap kegemukan dan kewaspadaan terhadap berat badan yang ditampilkan melalui perilaku nyata dalam aktivitas sehari-hari seperti kecenderungan melakukan diet untuk menurunkan berat badan dan membatasi pola makan. 5. Self-Clasified Weight (Pengkategorisasian Ukuran Tubuh), yaitu persepsi dan penilaian individu terhadap berat badannya, seperti kekurangan berat badan atau kelebihan berat badan. Lima komponen inilah yang merupakan fokus kajian dalam penelitian ini terkait dengan body image dari remaja putri terhadap kondisi atau penampilan fisik tubuh yang dimilikinya. Komponen ini kemudian diklasifikasikan sebagai indikator tingkat kepuasan remaja putri terhadap penampilan fisik tubuhnya. Hal lain yang terkait dengan penelitian tentang body image ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi body image, sebagaimana yang dikemukakan oleh Thompson (2001), yaitu : 1. Persepsi, yang berhubungan dengan ketepatan individu dalam mempersepi atau memperkirakan ukuran tubuhnya. Perasaan puas atau tidaknya seorang individu dalam menilai bagian tubuh tertentu berhubungan dengan komponen ini. 2. Perkembangan, yaitu pengalaman di masa kecil dan remaja terhadap hal-hal yang berkaitan dengan body image-nya saat ini, khususnya saat pertama kali menstruasi serta perkembangan seksual sekunder yang terkait dengan kejadian penting terhadap body image. 3. Sosiokultural, bahwa masyarakat akan menilai apa yang baik dan apa yang tidak, tidak terkecuali dalam kecantikan. Teori feminis
22
menjelaskan
bahwa
kebanyakan
wanita
terlalu
mengidentifikasikan dirinya dengan tubuhnya, dan hal tersebut menyebabkan mereka mengikuti sosok ideal (idola) yang ada di masyarakat bahwa mereka akan dianggap menarik jika memiliki tubuh yang ideal (Bergner, dkk dalam Thompson, 2001). Sementara terkait dengan faktor sosiokultural, terdapat subfaktor lain yang juga mempengaruhi body image seseorang, di antaranya media massa, keluarga, dan hubungan interpersonal, sebagaimana penjelasan berikut : 1. Media massa. Tiggeman (dalam Cash dan Pruzinsky, 2002) berpendapat media massa yang ada dimana-mana memberikan gambaran ideal mengenai fitur perempuan dan laki-laki yang dapat mempengaruhi body image seseorang. Menurut Lakoff dan Scherr (dalam Thompson, 2001), media massa juga memberikan pengaruh yang besar dalam menentukan standar tubuh yang menarik. 2. Keluarga. Menurut teori social learning, orangtua merupakan model yang penting dalam proses sosialisasi, sehingga mempengaruhi body image anak-anaknya melalui modeling feedback, dan instruksi. Ikeda dan Narwoski (dalam Cash dan Pruzinsky, 2002) menyatakan, bahwa komentar yang dibuat orang tua dan anggota keluarga mempunyai pengaruh yang besar dalam gambaran tubuh anak-anak. 3. Hubungan
interpersonal.
Hubungan
interpersonal
membuat
seseorang cenderung membandingkan diri dengan orang lain dan feedback yang diterima ini mempengaruhi konsep diri termasuk mempengaruhi bagaimana perasaan terhadap penampilan fisik. Menurut Dunn dan Gokke (dalam Cash dan Pruzinsky, 2002), menerima feedback mengenai penampilan fisik berarti seseorang
23
mengembangkan persepsi tentang bagaimana oranglain memandang dirinya. Keadaan tersebut dapat membuat mereka melakukan perbandingan sosial sebagai salah satu proses pembentukan dalam penilaian diri mengenai daya tarik fisik. Dengan demikian, body image terbentuk dari pengalaman-pengalaman yang dimiliki seseorang baik dari keluarga, teman, lingkungan atau media yang mempengaruhinya untuk mempersepsikan nilai penting dari bentuk dan ukuran tubuh. body image dianggap sebagai persepsi seseorang terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya, meliputi penilaian atau persepsinya tentang : pentingnya body image terhadap penampilan sehari-hari, pentingnya body image dengan pengaturan pola dan frekuensi makan, body index mass atau kondisi tubuhnya sekarang (kurus atau normal, dan seterusnya). Selain itu, terlihat bahwa remaja peduli dengan bagaimana orang lain melihat tubuhnya, dan merupakan hal penting pada remaja karena mereka cenderung sadar dan peka terhadap bayangan (image) mengenai bagaimana penilaian orang lain terhadap dirinya. Oleh karena itu, remaja (wanita) sangat memperhatikan perubahan fisik yang dialaminya, dan sangat mementingkan penampilan fisik dan pembentukan tubuh agar mendapatkan tubuh yang ideal. Proses pembentukan body image yang baru pada masa remaja merupakan bagian penting dari tugas perkembangan body image seseorang, bahkan menurut Cash dan Pruzinsky (2002), sebagai aspek penting dari perkembangan psikososial dan interpersonal pada remaja. Dengan memiliki tubuh yang langsing, mereka lebih percaya diri. Meskipun demikian, sebagian wanita ada yang tidak terlalu memperhatikan bentuk tubuhnya dan tetap percaya diri dengan bentuk tubuh yang sekarang dimilikinya. Karena itu, body image banyak terjadi pada wanita, khususnya
24
wanita dewasa yang belum berkeluarga. Tujuannya, yaitu berusaha menarik perhatian dari lawan jenis atau calon pasangannya. Body image yang terbentuk yang terbentuk di kalangan wanita pada umumnya akan mempengaruhi pola dan perilaku hidup mereka termasuk keinginan dan kebutuhannya untuk membeli suatu produk yang sesuai dengan selera body image-nya. 2.3 Konsep Perilaku Perilaku adalah setiap cara reaksi atau respon manusia sebagai mahluk hidup terhadap manusia lain, atau aksi dan reaksi terhadap perangsangan dari lingkungan. Menurut Soekidjo (1993), perilaku manusia adalah suatu aktivitas manusia itu sendiri. Sementara menurut Kusmiyati dan Desminiarti (1990), perilaku manusia pada hakikatnya adalah proses interaksi individu dengan lingkungannya sebagai manifestasi hayati bahwa dia adalah makhluk hidup. Secara operasional, perilaku dapat diartikan sebagai suatu respon organisme atau seseorang terhadap rangsangan dari luar subjek tersebut. Perilaku
juga
diartikan
sebagai
suatu
aksi-reaksi
organisme
terhadaplingkungannya. Perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan. Berarti rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu. Perilaku adalah tindakan atau perilaku suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari. Menurut Gunarsa (2000), perilaku orang ada yang terlihat dan ada juga yang terselubung. Perilaku terlihat terbagi menjadi : 1. Perilaku yang disadari, dilakukan dengan kesadaran penuh, tergantung dari aksi dalam otak besar. 2. Perilaku reflektoris, yaitu gerakan refleks yang dalam tahap pertama berkaitan dengan sumsum tulang belakang dan belum
25
disadari. Kemudian tingkah laku refleks disadari, bila kesan sudah sampai ke pusat syaraf. 3. Perilaku di luar pengaruh kehendak, yaitu tidak disadari dan berpusat pada sumsum penyambung atau gerakan otot karena kepekaan otot. Sementara perilaku yang tidak mudah terlihat atau terselubungi terbagi menjadi : 1. Kognisi, yaitu penyadaran melalui proses penginderaan terhadap rangsang dan interpretasinya. Perilaku meliputi segala hal berupa reaksi terhadap rangsang, menyadarinya dan memberi arti atau belajar dan mengingat arti yang dipelajari. 2. Emosi, yaitu perasaan dan suasana di dalam diri yang dimunculkan oleh penyadaran terhadap isi perangsangan. 3. Konasi, yaitu pemikiran, pengambilan keputusan untuk memilih sesuatu bentuk perilaku. 4. Penginderaan, yaitu penyampaian atau pengantaran pesan (rangsangan). Perilaku seseorang terhadap sesuatu obyek (inovasi) yang baru tidak terlepas dari tahapan orang tersebut menyadari, menilai dan memutuskan untuk berperilaku tertentu. Menurut Rogers (1994), sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni : 1. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu. 2. Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus.
26
3. Evaluation (menimbang-nimbang baik-tidaknya stimulus bagi dirinya), yang menunjukkan bahwa sikap responden sudah baik. 4. Trial, orang telah mulaim encoba perilaku baru. 5. Adoption,
subjek
telah
berperilaku
baru
sesuai
dengan
pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus. Terkait dengan hal tersebut, suatu perilaku memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Perilaku adalah perkataan dan perbuatan individu. Jadi apa yang dikatakan dan dilakukan oleh seseorang merupakan karakteristik dari perilakunya. 2. Perilaku mempunyai satu atau lebih dimensi yang dapat diukur, yaitu : frekuensi, durasi, dan intensitas. 3. Perilaku dapat diobservasi, dijelaskan, dan direkam oleh orang lain atau orang yang terlibat dalam perilaku tersebut. 4. Perilaku mempengaruhi lingkungan, lingkungan fisik atau social 5. Perilaku dipengaruhi lingkungan 6. Perilaku bisa tampak atau tidak tampak. Dengan demikian, perilaku atau aktivitas pada individu atau organisme tidak timbul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh organisme yang bersangkutan, baik stimulus eksternal maupun stimulus internal. Perilaku individu dapat mempengaruhi individu itu sendiri, dan juga dapat
mempengaruhi
lingkungan,
dan
sebaliknya,
lingkungan
dapat
mempengaruhi individu. Perilaku manusia sangat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Perilaku itu sendiri adalah suatu fungsi dari interaksi antara seseorang individu dengan lingkungannya.
27
Berdasarkan uraian tersebut, secara garis besar, perilaku manusia diakibatkan oleh : 1) genetika (keturunan); 2) sikap, yaitu suatu ukuran tingkat kesukaan seseorang terhadap perilaku tertentu; 3) norma sosial dalam bentuk tekanan sosial; dan 4) kontrol perilaku pribadi, yaitu kepercayaan seseorang mengenai sulit-tidaknya melakukan suatu perilaku. 2.4 Perilaku Konsumtif Terkait dengan konsep perilaku seseorang dalam bermasyarakat dengan orang lain (konsumen) dan lingkungannya, maka dalam suatu organisasi pun kedudukan konsumen semakin penting, terutama kedudukannya dalam suatu organisasi. Biasanya konsumen menunjukkan perilaku menuntut tidak hanya sebatas terpenuhi kebutuhannya, tetapi juga keinginannya. Perilaku konsumen tersebut merupakan suatu tindakan individu-individu untuk mendapatkan, mengkonsumsi produk, jasa, ide dan pengalaman. Tuntuan dan tindakan seperti inilah yang merupakan perilaku konsumtif yang dilakukan seseorang terhadap suatu obyek yang ada di sekelilingnya (Engel, dkk 1994). Menurut Soegitodalam Parma (2007), perilaku konsumtif masyarakat Indonesia tergolong berlebihan jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa di Asia Tenggara. Keadaan ini dilihat dari rendahnya tingkat tabungan masyarakat Indonesia dibandingkan negara lain seperti Malaysia, Philipina dan Singapura. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia lebih senang mengunakan uang untuk memenuhi kebutuhan yang tidak penting dengan berperilaku konsumtif atau hidup dalam dunia konsumerisme yang menjadi syarat mutlak untuk kelangsungan status dan gaya hidup. Dalam menentukan seseorang orang konsumtif dan tidak, kita harus melihat nilai investasi didalamnya. Seorang peragawati atau bintang film yang membeli dan menggunakan high-heels yang mahal tidak bisa dikatakan
28
konsumtif karena dia bekerja dengan sepatu high-heels tersebut,.sedangkan seorang mahasiswi yang membeli dan menggunakan high-heels yang sama, harus kita golongkan sebagai tingkah laku yang semata-mata konsumtif. Hidup dalam dunia konsumerisme tidak pandang umur, jenis kelamin ataupun status sosial. Remaja merupakan salah satu contoh yang paling banyak terkena dampak konsumerisme atau mudah terpengaruh gaya hidup konsumtif, sebagaimana pendapat Loudon dan Bitta (1993 : 149), bahwa “remaja adalah kelompok yang berorientasi konsumtif karena remaja suka mencoba hal-hal yang baru, tidak realistik dan cenderung boros”. Penyebab lain, lingkungan pergaulan remaja punya banyak pengaruh terhadap minat, sikap, pembicaraan, penampilan dan perilaku lebih besar dibandingkan keluarga(Hurlock 2004). Temuan dari Meilaratri (2004 : 19-28) dalam Parma (2007), “remaja sadar dukungan sosial dipengaruhi penampilan yang menarik berdasarkan apa yang dikenakan dan dimiliki, sehingga tidak mengherankan bila pembelian kosmetik dan pembelian terhadap pakaian dan aksesoris pada awal masa remaja dianggap penting”. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumtif adalah perilaku membeli dan menggunakan secara berlebihan dan tidak rasional tanpa mementingkan kebutuhan.Perilaku konsumtif tidak mengenal jenis kelamin dan umur, karena remaja termasuk kelompok yang berperilaku konsumtif. Remaja
melakukan
pembelian
secara
berlebihan
tanpa
memperhatikan
kebutuhan dan kegunaannya melainkan untuk bisa diterima oleh lingkungannya, menaikkan prestise, dan untuk tampil beda dari lingkungannya. Perubahan
pola
hidup
remaja
dalam
melakukan
pembelian
dan
penggunaan atribut-atribut yang dapat diterima oleh lingkungannya menjadi sangat menonjol.Media telah menempatkan remaja sebagai salah satu kelompok sasaran yang strategis sebagai konsumen media.Media memang memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk perilaku konsumtif.
29
Pola hidup konsumtif dalam pembelian dan penggunaan atribut yang dibutuhkan bila tidak diiringi dengan konsep dan perilaku diri yang matang akhirnya membawa ke pola perilaku konsumtif remaja dan akan terus mengakar dalam gaya hidup remaja. Menurut Fromm (1955), Perilaku konsumtifdapat berakibat consumption hungry yaitu
adalah keinginan untuk mengkonsumsi
sesuatu secara berlebihan demi memenuhi rasa puas yang dapat membuat seseorang menjadi konsumtif. Uraian di atas menunjukkan bahwa perilaku konsumtif remaja putri dalam pembelian dan penggunaan atribut remaja semakin meningkat, karena remaja berorientasi terhadap diri sendiri sehingga mengalami krisis percaya diri atau konsep diri negatif, bila dilihat secara psikologis remaja dalam keadaan labil dan mudah terpengaruh dalam perilaku konsumtifnya. “Pada umumnya remaja putri berperilaku konsumtif berkaitan dengan produk yang berwujud mode, fashion, asesoris atau style popular. Sifat remaja yang mudah terpengaruh oleh rayuan penjual, iklan, romantis, impulsif, tidak dapat berpikir hemat, dan berpikir kurang realistis dapat membawa remaja pada perilaku konsumtif“(Lina dan Rosyid, 1997 : 6). Perilaku konsumtif pada remaja putri, menurut
Parma (2007), adalah
tindakan yang terlihat secara nyata dalam mendapatkan, mengkonsumsi (menggunakan), dan menghabiskan barang hasil industri dan jasa tanpa batas dan lepas kendali yang ditandai dengan kehidupan mewah dan berlebihan. Perilaku konsumtif ini, menurut Engel, Blackwell, dan Miniard (1995) dalam Sari (2009), dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut : 1. Kebudayaan, sebagai bentuk kreativitas dari satu generasi ke generasi berikutnya akan membentuk perilaku yang mengakar; 2. Kelas sosial, tingkat seseorang dalam berinteraksi sosial akan mempengaruhi bentuk perilakunya;
30
3. Kelompok referensi, yaitu kelompok yang sangat mempengaruhi perilaku seseorang; 4. Situasi, berupa suasana hati dan kondisi seseorang akan mempengaruhi bentuk perilakunya; 5. Keluarga, berbentuk keyakinan dan kebiasaan yang berfungsi langsung menetapkan keputusan perilaku untuk membeli atau menggunakan produk atau jasa tertentu; 6. Kepribadian, yaitu bentuk sifat-sifat yang terdapat dalam diri individu yang mempengaruhi keputusan untuk berperilaku; 7. Konsep diri, yaitu persepsi dan perilaku seseorang untuk membeli (dan menggunakan produk/jasa tertentu); 8. Motivasi, yang mendorong seseorang untuk membeli (dan menggunakan) suatu produk; 9. Pengalaman belajar, yaitu tindakan pengamatan dan pelajaran dari stimulus berupa informasi untuk melakukan pembelian (penggunaan); 10. Gaya hidup, yaitu pola rutinitas kehidupan dan aktivitas seseorang dalam menggunakan waktu dan uang. Dalam penelitian ini digunakan indikator perilaku konsumtif berdasarkan ciri perilaku konsumtif menurut Erich Fromm (1955) yaitu: 1. Pemenuhan keinginan (wants) “It relieves anxiety, because what one has cannot be taken away; but it is also acquires one to consume even more, because previous consumption soon losses its satisfactory character” (Fromm. 1955 : 36) Rasa puas pada manusia tidak berhenti pada satu titik saja melainkan selalu meningkat. Oleh karena itu dalam pengkonsumsian
31
suatu hal, manusia selalu ingin lebih, untuk memenuhi rasa puasnya, walaupun sebenarnya tidakada kebutuhan akan barang tersebut. 2. Barangdiluar jangkauan “Acquisition ---> transitory having and using – throwing away (or if possible, profitable exchange for a better mode) --- > new acquisition =, constitutes the vicious” (Fromm. 1955 : 122) Jika manusia menjadi konsumtif, tindakan konsumsinya menjadi kompulsif dan tidak rasional.Ia selalu merasa “belum lengkap” dan mencari-cari kepuasan akhir dengan mendapatkan barang-barang baru. Ia tidak lagi melihat pada kebutuhan dirinya dan kegunaan barang itu bagi dirinya. 3. Barang tidak produktif “…regard to many things, there is not even the pretense of use we acquire them to “have: them. We are satisfied with useless possession” (Fromm. 1955:121) Jika pengkonsumsian barang menjadi berlebihan maka kegunaan konsumsi menjadi tidak jelas. 4. Status Perilaku individu bisa digolongkan sebagai konsumtif jika ia memiliki barang-barang lebih karena pertimbangkan status. Manusia mendapatkan barang-barang untuk memilikinya. Tindakan konsumsi itu sendiri tidak lagi merupakan pengalaman yang berarti, manusiawi dan produktif karena hanya merupakan pengalaman “pemuasan angan-angan” untuk mencapai sesuatu (status) melalui barang atau kegiatan yang bukan merupakan bagian dari kebutuhan dirinya. Berdasarkan uraian tersebut, maka selain faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku konsumtif juga terdapat indikator-indikator yang merujuk ke arah perilaku tersebut.
32
2.5
Pengertian High-Heels High-heels adalah istilah yang digunakan pada sepatu yang berhak tinggi.
Bagi sebagian kaum hawa, menggunakan high-heels bisa meningkatkan rasa percaya diri, khususnya bagi mereka yang selalu ingin tampil anggun dan yang memiliki postur tubuh tidak terlalu tinggi. Menggunakan high-heels seolah menjadi faktor wajib untuk mempercantik penampilan. Sepatu tidak hanya berfungsi untuk melindungi kaki, akan tetapi juga dirancang untuk kebutuhan trend mode. Wanita seolah tidak bisa dipisahkan dari high-heels, malah sudah berlangsung sejak dulu high-heels menjadi must-have items wanita yang ingin terlihat stylish. Dengan high-heels bisa membuat kaki tampak jenjang, bokong seksi, kita pun terlihat lebih tinggi. Mengenakannya bersama busana yang tepat akan membuat seseorang jadi lebih sedap dipandang. Pada awalnya, sepatu dibuat datar saja, karena cara jalan yang benar menuntut tumit menjejak tanah lebih dulu daripada jari kaki, namun desain awal tumit sepatu ini cepat usang, sehingga desainer sepatu kemudian memperkuat sepatu
dengan
menciptakan
sepatu
berhak.
Seiring
dengan
semakin
berkembangnya fashion, hak sepatu bertambah tinggi, bahkan mencapai tinggi yang sulit dibayangkan sekarang ini. Menurut Dewi (2010), sepatu mungkin tidak bisa dilepaskan dari lingkaran fashion wanita, tapi perlu diketahui bahwa flat shoes (hak sepatu) sama bahayanya dengan high-heels. Meskipun tampak lebih nyaman saat digunakan dan aksesoris yang bagus dalam fashion wanita sesungguhnya flat shoes dapat menyebabkan sakit pada kaki, seperti bengkak pada ibu jari kaki hingga menyebabkan peradangan, nyeri pada punggung belakang dan juga berisiko mengalami arthritis atau radang sendi.
33
Menurrut seorang konsultan bedah Ortope edik, Mike O’Neil, O seseo orang yang m mengenaka un high-heells dalam jan ngka waktu lama atau n sepatu teplek ataupu l lebih dari en nam bulan berisiko b menimbulkan be erbagai massalah keseha atan tubuh. F Flat shoes yang memiliki pijakan kaki datar, bisa berbahaya karena a pemakai s sepatu teple ek ini cenderrung berjalan n dengan ca ara menyere et langkahny ya, padahal i berbahayya karena dapat ini d memp perburuk pos stur tubuh. Sepatu teplek ini juga d dapat melon nggarkan tu ulang sendi dan urat daging d dan menyebabkkan radang s sendi pada tempurung t lutut. Semen ntara itu, high-heels berbahaya karena k pema akainya ren ntan terkilir y yang bahka an bisa me enyebabkan n patah tulang kaki. High-heels juga bisa m menyebabka an bengkakk pada ibu jari kaki karena beban tubuh bertu umpu pada u ujung kaki, nyeri lutut, nyeri n punggu ung, dan be eberapa efekk buruk lainn nya. Meski d demikian, banyak wanitta yang menggilai high-heelskarena bisa mem mbuat betis t tampak kenccang, seksi dan d pelengkkap akeseso oris dalam urrusan fashio on wanita. . Terkkait dengan hal ini, O’Neil menya arankan ting ggi tumit se epatu ideal a adalah sekittar 1 inchi attau 2,5 cm, sebagaiman s a gambar be erikut :
G Gambar 2.1. Perb bandingan Effek Pengguna aan High-heels Shoes den ngan Flat Sho oes Sumberr : Dewi (2010 0)
34
Terkait dengan hal ini pula, Akhwat (2011), memberikan gambaran secara medis tentang high-heels, yaitu : 1. Memakai high-heels berarti memberi tekanan pada jari-jari kaki yang
menjadi
tumpuan
tubuh.
Dalam
waktu
lama
akan
menimbulkan kelelahan, pegal dan nyeri pada daerah kaki dan betis. 2. Penggunaan high-heels dalam waktu lama dan terus menerus dapat menimbulkan kerusakan bentuk anatomi kaki. 3. Beberapa kelainan bisa muncul seperti neurona morton, yang merupakan tumor jinak yang menimbulkan rasa nyeri akibat penebalan jaringan yang biasa terjadi antara jari ke-3 dan ke-4. 4. Timbul Haglund’s deformity yang merupakan pembesaran tulang di daerah tumit belakang dan menyebabkan nyeri yang dirasakan pada pertemuan antara tendon achilles dan tumit belakang. 5. Dapat
mengalami
pemendekan
dan
penebalan tendon
achilles yang juga dapat menimbulkan rasa nyeri. 6. Dapat
menyebabkan
nyeri
punggung
karena
saat
menggunakan high-heels, posisi tubuh kita tidak dalam posisi yang sesuai dengan allignment tubuh yang seharusnya. Menurut Firdawati (2010), berdasarkan hasil polling terhadap 3000 wanita terkait dampak pemakaian high-heels dalam keseharian mereka, menunjukkan, bahwa meski 89% pemakai hak tinggi mengaku bahwa alas kaki tak nyaman tersebut seringkali mengganggu aktivitas, namun 6 dari 10 wanita memutuskan akan tetap mengenakan high-heels demi mendapatkan pujian “cantik” dari sekitarnya. Seperlima partisipan (18-65 tahun) mengaku sangat terobsesi dengan high-heels, sehingga seringkali mereka cenderung mengabaikan cedera
35
pergelangan kaki yang dialami. Tragisnya lagi, sepertiga dari mereka bahkan pernah mengalami patah gigi atau pinggang retak karena jatuh dengan muka terbentur lantai akibat terpeleset saat mengenakan high-heels. Bahkan, hanya 2 persen wanita saja yang didapati tak mengenakan high-heels sama sekali. Lisa McCarten selaku spesialis kenyamanan sepatu dari Hotter Shoes mengatakan, membeli sepatu memang memerlukan usaha ekstra, sebab para wanita masa kini cenderung membeli sepatu yang membuat mereka tampak cantik, sementara kenyamanan dan kesehatan menjadi nomor dua. Menurut Kelly (2009), para ahli telah menemukan beberapa masalah yang bisa terjadi akibat pemakaian high-heels. Namun, bukan berarti high-heels benar-benar terlarang. Selanjutnya, khususnya remaja putri diharapkan mengetahui beberapa batasan pembelian, penggunaan, dan relaksasi high-heels yang memenuhi kriteria kesehatan dan kenyamanan tubuh, di antaranya : 1. Tinggi hak. Tinggi hak sepatu high heels yang masih bisa ditoleransi adalah 6 – 7,5 cm, tidak lebih dari 9 cm. Tinggi hak datar yang dianjurkan adalah 1,5 – 2 cm. 2. Bentuk hak. Hindari sepatu yang ujung depannya runcing. Carilah sepatu yang memiliki bantalan di ujung depan, sehingga bisa meredam tekanan pada jari dan ball of the foot. Untuk hak belakang, pilih yang tebal, tidak runcing dan tipis 3. Bahan dari kulit. 4. Cara berjalan. Saat berjalan dengan high-heels tariklah perut ke dalam, agar langkah ringandan
tumit harus dalam keadaan vertikal saat
berjalan. 5. Relaksasi. Memijat atau melakukan pedicure sederhana.
36
2.6 Kerangka Berfikir Salah satu masalah mahasiswi yang masih tergolong remaja dalam menjalankan tugas perkembangan adalah ketidakpuasan/keprihatian terhadap fisik yang dimilikinya (Rey,2002) dan selama masa puberitas secara umum remaja wanita tidak begitu senang dengan tubuh mereka dan memiliki body image yang lebih negatif dibandingkan dengan remaja laki-laki. Levine dan Smolak (dalam Rey, 2002) mengatakan bahwa 40-70 persen remaja wanita merasakan ketidakpuasan pada dua atau lebih dari bagian tubuhnya, khususnya pada bagian pinggul, bokong, perut dan paha’. Asumsi peneliti dengan ketidakpuasan remaja putri tersebut, timbul usaha dalam memperbaiki penampilan/body image-nya. Dugaan peneliti tindakan memperbaiki penampilan adalah membeli dan menggunakan high-heels. Asumsi peneliti body image mahasiswi memiliki hubungan signifikan terhadap perilaku konsumtif terkait highheels.
Body Image (X)
r
Appearance Evaluation (x1) Appearance Orientation(x2) Body Areas Satisfaction (x3) Overweight Pre-occupational (x4) Selc Clasified Weight (x5)
Perilaku Konsumtif (Y) Pemenuhan keinginan (y1) Barang Diluar Jangkauan (y2) Barang Tidak Produktif (y3) Status (y4)
Gambar 2.2 Kerangka Berfikir Sumber:Peneliti
2.7 Hipotesis H0 : ρ = 0
:Tidak terdapat hubungan antara body image dengan perilaku konsumtif terkait high-heels padamahasiswi.
Ha : ρ ≠ 0
:Terdapat hubungan antara body image dengan perilaku konsumtif terkait high-heelspada mahasiswi.