BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Landasan Teori
2.1.1
Teori keagenan Teori keagenan menjelaskan hubungan antara agent (pihak manajemen
suatu perusahaan) dengan principal (pemilik). Hubungan agensi ada ketika salah salah satu pihak (principal) menyewa pihak lain (agent) untuk melaksanakan suatu jasa, dan dalam hal itu, mendelegasikan wewenang untuk membuat keputusan kepada agen tersebut (Anthony dan Govindarajan, 2005:269). Principal merupakan pihak yang memberikan amanat kepada agent untuk melakukan suatu jasa atas nama principal, sementara agent adalah pihak yang menerima mandat, dengan demikian dapat disimpulkan agent bertindak sebagai pihak yang mengevaluasi informasi (Ristya, 2011). Riahi dan Belkoui (2007:186) menyatakan bahwa teori agensi berawal dengan adanya penekanan pada kontrak sukarela yang timbul diantara berbagai pihak organisasi sebagai suatu solusi yang efisien terhadap konflik kepentingan tersebut. Teori ini berubah menjadi suatu pandangan atas perusahaan sebagai suatu penghubung (nexus) kontrak. Hubungan agensi dikatakan telah terjadi ketika suatu kontrak antara seseorang (atau lebih), seorang principal dan seorang agent untuk memberikan jasa demi kepentingan principal termasuk melibatkan adanya pemberian delegasi kekuasaan pengambilan keputusan kepada agent. Baik principal maupun agen diasumsikan untuk termotivasi hanya oleh kepentingannya
11
sendiri, yaitu untuk memaksimalkan kegunaan subjektif mereka dan juga untuk menyadari kepentingan mereka bersama. Hubungan keagenan ini memberi ruang bagi terjadinya konflik kepentingan potensial antara pemilik dan agen. Selain itu, tidak mungkin bagi pemilik atau agen berada pada biaya nol untuk meyakinkan bahwa agen akan membuat keputusan optimal dari pandangan pemilik, sehingga memunculkan biaya keagenan (Bandi, 2009). Untuk mengetahui konflik kepentingan antara principal dan agent, maka principal menggunakan pihak independen untuk mengawasi (monitoring) terhadap perusahaannya. Pihak independen tersebut adalah auditor internal yang menyediakan jasa-jasa yang mencakup pemeriksaan dan penilaian atas kontrol, kinerja, risiko, dan tata kelola (governance) perusahaan publik maupun privat. Aspek keuangan hanyalah salah satu aspek saja dalam lingkup pekerjaan audit internal. Dulunya auditor internal pernah dianggap sebagai “lawan” pihak manajemen, sekarang auditor internal mencoba menjalin kerja sama yang produktif dengan perusahaan melalui aktivitas-aktivitas yang memberikan nilai tambah bagi perusahaan. 2.1.2
Profesionalisme Kalbers dan Fogarty (1995:72) dalam Mayasari (2011) menyatakan bahwa
profesi merupakan jenis pekerjaan yang memenuhi beberapa kriteria, sedangkan profesionalisme merupakan suatu atribut individual yang penting tanpa melihat suatu pekerjaan merupakan suatu profesi atau tidak. Sebagai profesional, auditor mengakui tanggung jawabnya terhadap masyarakat, terhadap klien, dan terhadap
12
rekan seprofesi, termasuk untuk berperilaku yang terhormat, sekalipun ini merupakan pengorbanan pribadi. Hall (1968) dalam Gunawan (2006) menyatakan terdapat lima elemen profesionalisme individual, antara lain: (1) Meyakini pekerjaan mereka mempunyai kepentingan, (2) Berkomitmen ke jasa barang publik, (3) Kebutuhan otonomi pada persyaratan pekerjaan, (4) Mendukung regulasi mandiri untuk pekerjaan mereka dan (5) Afiliasi dengan anggota profesinya. Konsep profesionalisme yang dikembangkan oleh Hall (1968) dalam Gunawan (2006) banyak digunakan oleh para peneliti untuk mengukur profesionalisme dari profesi auditor internal yang tercermin dari sikap dan perilaku. Hall (1968) dalam Gunawan (2006) menjelaskan bahwa ada hubungan timbal balik antara sikap dan perilaku, yaitu perilaku profesionalisme adalah refleksi dari sikap profesionalisme dan demikian sebaliknya. 2.1.3
Konsep profesionalisme Menurut Hall (1968) dalam Gunawan (2006) terdapat lima dimensi
profesionalisme, yaitu sebagai berikut: 1) Pengabdian pada profesi Pengabdian pada profesi dicerminkan dari dedikasi profesionalisme dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Keteguhan untuk tetap melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik kurang. Sikap ini adalah ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan dan sudah merupakan komitmen yang kuat. 2) Kewajiban sosial
13
Kewajiban sosial adalah pandangan tentang pentingnya peranan profesi dan manfaat yang diperoleh baik masyarakat maupun profesional karena adanya pekerjaan tersebut. 3) Kemandirian Kemandirian dimaksudkan sebagai suatu pandangan seseorang yang profesional yang harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain (pemerintah, klien, dan bukan anggota profesi). Adanya intervensi yang datang dari luar dianggap sebagai hambatan yang dapat mengganggu otonomi profesional. 4) Keyakinan terhadap peraturan profesi Merupakan suatu keyakinan bahwa yang paling berwenang menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, bukan orang luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka. 5) Hubungan dengan sesama profesi Hubungan dengan sesama profesi adalah menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk di dalamnya organisasi formal dan kelompokkelompok kolega informal sebagai sumber ide utama pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini, para profesional dapat mengembangkan profesinya. Arens
dan
Loebbecke
(2009)
menyatakan
untuk
meningkatkan
profesionalismenya, auditor harus memperlihatkan perilaku profesinya yang berupa: 1) Tanggung jawab
14
Melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, auditor harus mewujudkan kepekaan profesional dan pertimbangan moral dalam semua aktivitas mereka. 2) Kepentingan masyarakat Auditor harus menerima kewajiban untuk melakukan tindakan yang mendahulukan
kepentingan
masyarakat,
menghargai
kepercayaan
masyarakat dan menunjukkan komitmen pada profesionalisme. 3) Integritas Mempertahankan dan memperluas kepercayaan masyarakat, auditor harus melaksanakan semua tanggung jawab profesional dengan integritas yang tinggi. 2.1.4
Motivasi kerja Robbins dan Coulter (2004) dalam Ardana, dkk (2009:30) motivasi adalah
kesediaan unuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu dalam memenuhi beberapa kebutuhan individu tertentu. Meskipun terdapat aktivitas manusia yang dilakukan tanpa motivasi, tetapi hampir seluruh perilaku yang dilakukan dengan sadar memiliki motivasi atau sebab (Davis dan John, 1994). Atas pertimbangan seseorang terhadap situasinya secara menyeluruh, orang tersebut termotivasi untuk melakukan tindakan yang memenuhi kebutuhan mereka. Motivasi dalam manajemen ditunjukan pada sumber daya manusia umumnya dan bawahan khususnya.
15
Motivasi mempersoalkan bagaimana cara mengarahkan daya dan potensi bawahan, agar mau bekerja sama secara produktif berhasil mencapai dan mewujudkan tujuan yang telah ditentukan. Motivasi penting sebagai pendukung perilaku manusia, supaya mau bekerja giat dan antusias mencapai hasil yang optimal. Definisi lain tentang motivasi menurut Aditya dan Wirakusuma (2014) motivasi merupakan dorongan dan kemauan yang kuat untuk menghasilkan prestasi kerja yang baik, sehingga hal ini akan menjadi kontribusi tersendiri terhadap efektivitas perusahaan. 2.1.5
Teori Herzberg’s Adapun teori pendukung yang digunakan dalam penelitian ini ialah teori
tentang kepuasan kerja yang disebut dengan Two factor theory (teori dua faktor) dari Herzberg’s. Teori ini mengemukakan bahwa kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja itu merupakan hal yang berbeda dan bukan variabel yang kontinu. Menurut Rivai (2006:857) teori ini terdiri dari dua kelompok yaitu: 1) Satisfies ialah faktor-faktor atau situasi yang dibutuhkan sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari: pekerjaan yang menarik, penuh tantangan, ada kesempatan untuk berprestasi, kesempatan memperoleh penghargaan
dan
promosi.
Terpenuhinya
faktor
tersebut
akan
menimbulkan kepuasan, namun tidak terpenuhinya faktor ini tidak selalu mengakibatkan ketidakpuasan. 2) Dissatisfies (hygiene factors) ialah faktor-faktor yang menjadi sumber ketidakpuasan, yang terdiri dari: gaji/upah, pengawasan pimpinan, hubungan antarpribadi, kondisi kerja dan status motivasi.
16
Berdasarkan kedua kelompok teori diatas yang akan digunakan dalam penelitian ini ialah Dissatisfies (hygiene factors) dimana terdapat hubungan antar pribadi, pengawasan pimpinan, kondisi kerja dan status motivasi dan komunikasi internal sebagai sumber ketidakpuasan yang akan mempengaruhi kinerja. 2.1.6
Kepuasan kerja Porter (1961) dalam Ardana, dkk (2009:23) menyatakan bahwa kepuasan
kerja adalah selisih dari sesuatu yang seharusnya ada dengan sesuatu yang sesungguhnya ada (faktual). Semakin kecil selisih kondisi yang seharusnya ada dengan kondisi yang sesungguhnya ada (faktual) seseorang cenderung merasa semakin puas. Kepuasan kerja hingga kini diyakini berkaitan dengan kinerja individu (karyawan), kelompok, yang pada gilirannya akan berkaitan pula dengan efektivitas organisasi secara keseluruhan (Ardana, dkk, 2009:24). Pemimpin organisasi perlu menaruh perhatian yang sungguh-sungguh terhadap aspek kepuasan kerja, karena memiliki mata rantai dengan sumber daya manusia organisasi, produktivitas organisasi dan keberlangsungan hidup organisasi itu sendiri (Ardana, dkk, 2009:24). Kepuasan kerja yang tinggi sangat mempengaruhi kondisi kerja dan memberikan keuntungan nyata tidak saja bagi pekerja tetapi juga bagi manajemen dan organisasi (Ardana,dkk, 2009:24). Faktorfaktor yang mempengaruhi kepuasan kerja (Herzberg) dalam Ardana (2009:23) antara lain:
1) Kompensasi 2) Promosi (peningkatan jabatan)
17
3) Lingkunga fisik (ventilasi, warna, penerangan, bunyi, dan lain-lain). 4) Lingkungan non fisik (hubungan kerja antara atasan dan bawahan ataupun rekan sekerja, kesempatan dalam pengambilan keputusan) 5) Karakteristik pekerjaan (variasi pekerjaan, prospek pekerjaan). Kepuasan kerja telah diidentifikasi sebagai variabel yang paling sering diteliti dalam penelitian organisasional (Rainey, 1991), hal yang sama dikemukakan oleh Scooter (2000) yang menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan topik yang sangat menarik bagi banyak penelitian, hal ini disebabkan karena kepuasan kerja memiliki banyak implikasi. McNeese-Smith (1996) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan karyawan terhadap suatu pekerjaan secara umum. Locke (1976) secara spesifik menyatakan bahwa kepuasan kerja diidentifikasikan sebagai hal-hal yang mengacu perihal seorang karyawan atau pekerja merasakan hal positif maupun hal negatif mengenai pekerjaannya. Kepuasan kerja adalah suatu teori atau konsep praktis yang sangat penting, Karena merupakan dampak atau hasil dari kesuksesan dalam bekerja. Kepuasan kerja yang rendah pada organisasi adalah rangkaian dari menurunnya pelaksanaan tugas, meningkatnya absensi, dan penurunan moral organisasi. Sedangkan pada tingkat individu, ketidakpuasan kerja, berkaitan dengan keinginan yang besar untuk keluar dari kerja, meningkatnya stress kerja, dan munculnya berbagai masalah psikologis dan fisik. Kepuasan kerja merupakan sikap karyawan terhadap pekerjaannya dan faktor - faktor lingkungan kerja, seperti gaya supervisi, kebijaksanaan dan prosedur, keanggotaan kelompok kerja, kondisi kerja dan
18
tunjangan. Beberapa faktor lain yang menentukan kepuasan kerja diantaranya adalah keamanan kerja, faktor intrisik dari pekerjaan, dan aspek sosial dalam pekerjaan. Faktor intrinsik mencakup ciri yang ada pada pekerjaan yang membutuhkan kualifikasi keterampilan tertentu. Sedangkan aspek sosial merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial baik antara sesama karyawan dengan atasan maupun karyawan yang berbeda jenis pekerjaannya. 2.1.7
Internal audit The institute of internal auditor (IIA) mendifinisikan internal auditor
sebagai suatu fungsi penilai independent yang ditetapkan dalam suatu organisasi untuk menguji dan mengevaluasi aktivitas-aktivitas organisasi sebagai suatu jasa kepada organisasi. Sebagai suatu profesi, ciri utama internal auditor adalah kesediaan menerima tanggung jawab terhadap kepentingan masyarakat dan pihakpihak yang dilayani. Agar dapat mengemban tanggung jawab secara efektif, internal auditor perlu memelihara standar prilaku dan memiliki standar praktik pelaksanaan pekerjaan yang handal. Audit internal merupakan aktivitas independen yang memberikan jaminan objektif dan konsultasi yang dirancang untuk memberi nilai tambah dan meningkatkan operasi organisasi. Peran auditor internal dalam perusahaan sangat dibutuhkan dan penting, karena peran auditor internal berpengaruh terhadap peningkatan pengendalian intern dan kinerja perusahaan dalam pencegahan kecurangan. Peran Auditor internal sebagai konsultan lebih kepada upaya
19
pencegahan atau preventive, yaitu apabila ditemukan masalah maka auditor internal memberikan rekomendasi perbaikan. Aktifitas ini membantu organisasi mencapai tujuannya dengan membawa pendekatan yang sistematis dan disiplin untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektifitas manajemen risiko, pengendalian, dan proses tata kelola auditor adalah seorang yang memiliki kualifikasi tertentu dalam melakukan audit atas laporan keuangan dan kegiatan suatu perusahaan atau organisasi. Meningkatkan independensi dan menyempurnakan tugas, tanggung jawab, serta kewenangan Audit, diatur dalam peraturan No.IX.I.5, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-29/PM/2004 mengacu pada Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal No.KEP-643/BL/2012 tentang pembentukan dan pedoman pelaksanaan kerja Audit, dengan penetapan keputusan ketua badan pengawas pasar modal dan lembaga keuangan. Bahwa dengan semakin kompleksnya tugas dan fungsi Dewan Komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap Emiten atau Perusahaan Publik maka diperlukan audit yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Dewan Komisaris dalam membantu melaksanakan tugas dan fungsinya.
2.1.8
Profesi audit internal Audit internal merupakan suatu profesi penelitian yang sifatnya
independen dan objektif yang berada dalam suatu organisasi untuk memeriksa pembukuan, keuangan, dan operasional lainnya sebagai pemberi jasa kepada
20
manajemen. Audit internal wajib memberikan laporan hasil penilaian kepada manajemen atau pimpinan perusahaan, berupa penyediaan informasi yang dibutuhkan untuk membuat suatu keputusan yang berhubungan dengan kegiatan operasi perusahaan yang memberikan pendapat dan rekomendasi yang dijadikan dasar dalam membantu pengambilan keputusan manajemen untuk mencapai tujuan perusahaan (Tugiman, 2006:17). Auditor internal merupakan profesi yang dinamis dan terus berkembang yang mengantisipasi perubahan dalam lingkungan operasinya dan beradaptasi terhadap perubahan dalam struktur organisasi, proses, dan teknologi (Sawyer et al., 2003:9). 2.1.9
Auditing Mulyadi (2002:9) menyatakan secara umum auditing adalah suatu proses
sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan
tentang
kejadian
ekonomi,
dengan
tujuan
untuk
menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditentukan, serta menyampaikan hasilnya kepada pihak yang berkepentingan. Ditinjau dari sudut pandang profesi akuntan publik, auditing adalah pemeriksaan secara objektif atas laporan keuangan suatu perusahaan untuk menentukan apakah laporan keuangan tersebut disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan tersebut (Duane, 2003). Menurut Tugiman (2006:11) internal auditing atau pemeriksaan internal adalah suatu fungsi penilaian yang independen dalam suatu organisasi untuk menguji dan mengevaluasi kegiatan organisasi yang dilaksanakan. Tujuan
21
pemeriksaan internal adalah membantu para anggota organisasi agar dapat melaksanakan tanggung jawabnya secara efektif. Dari definisi-definisi yang telah disampaikan diatas, dapat dirumuskan bahwa setidaknya ada tiga elemen fundamental dalam internal auditing, yaitu: 1) Seorang auditor harus independen 2) Auditor bekerja mengumpulkan bukfi (evidence) untuk mendukung pendapatnya 3) Hasil pekerjaan auditor adalah laporan. Laporan menipakan hasil yang harus disampaikan auditor kepada pengguna laporan keuangan. 2.1.10 Kinerja auditor Bastian (2001:329) memberikan definisi bahwa kerja sebagai gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/ program/kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam perumusan skema strategis (strategic planning) suatu organisasi. Kinerja juga didefinisikan sebagai proses dimana organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan (Handoko) dalam Tika ( 2006:121). Kinerja auditor merupakan tindakan atau pelaksanaan tugas pemeriksaan yang telah diselesaikan oleh auditor dalam kurun waktu tertentu. Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam kinerja sebagai berikut: 1) Hasil-hasil fungsi pekerjaan 2) Pencapaian tujuan organisasi 3) Periode waktu tertentu
22
Penjelasan diatas menyatakan apabila seseorang dapat melaksanakan tugas atau pekerjaan yang diberikan dengan baik dan sesuai dengan harapan organisasinya, maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki kinerja atau prestasi yang baik pula.
2.2
Hipotesis Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan, tujuan penelitian, kajian-kajian teori
relevan dan hasil-hasil penelitian sebelumnya, maka hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut: 2.2.1
Pengaruh profesionalisme terhadap kinerja internal auditor Gunawan
(2006)
dalam
penelitiannya
yang
berjudul
“Pengaruh
professionalisme dan komitmen organisasi terhadap kinerja internal auditor dengan variabel kepuasan kerja sebagai variabel intervening”. Menunjukkan hasil bahwa profesionalisme berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja internal auditor. Mayasari
(2011)
menemukan
dalam
hasil
peneltiannya
bahwa
profesionalisme berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja auditor. Penelitian
yang
dilakukan
oleh
Aprianti
(2010)
membuktikan
bahwa
profesionalisme memiliki pengaruh positif terhadap kinerja auditor. Berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya, maka dapat ditentukan hipotesis sebagai berikut: H1:
Profesionalisme berpengaruh positif terhadap kinerja internal auditor di Toyota Astra Motor Wilayah Bali.
2.2.2
Pengaruh motivasi kerja terhadap kinerja internal auditor
23
Sulton
(2010)
dalam
penelitiannya
yang
berjudul
“Pengaruh
kepemimpinan, kepuasan kerja dan motivasi kerja terhadap kinerja auditor pada Kantor Akuntan Publik di DKI Jakarta”, menunjukkan hasil penelitian bahwa secara simultan dan parsial motivasi kerja memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja auditor. Motivasi kerja merupakan salah satu faktor yang menunjang efektifitas organisasi, motivasi kerja merupakan dorongan dan kemauan yang kuat untuk menghasilkan prestasi kerja yang baik (Kamaliah et al., 2009). Darlisman (2009) dalam penelitiannya menemukan pengaruh positif motivasi kerja terhadap kinerja auditor. Sehingga dapat dikatakan kinerja auditor sangat dipengaruhi oleh motivasi kerja. Berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumya, maka dapat ditentukan hipotesis sebagai berikut: H2:
Motivasi kerja berpengaruh positif terhadap kinerja internal auditor pada Toyota Astra Motor Wilayah Bali
2.2.3
Pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja internal auditor Gunawan
(2006)
dalam
penelitiannya
yang
berjudul
“Pengaruh
professionalisme dan komitmen organisasi terhadap kinerja internal auditor dengan variabel kepuasan kerja sebagai variabel intervening”, menjunjukkan hasil penelitian bahwa secara simultan dan parsial kepuasan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja internal auditor. Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan keinginan mendasar setiap auditor (Septiani dan Juliarsa, 2014). Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa kepuasan kerja merupakan hal mutlak yang harus dimiliki oleh auditor. Aditya dan Wirakusuma (2014) dalam penelitiannya membuktikan secara empiris
24
kepuasan kerja dapat mempengaruhi kinerja seorang auditor. Sehingga dapat dikatakan kinerja auditor sangat dipengaruhi oleh kepuasan kerja. Berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumya, maka dapat ditentukan hipotesis sebagai berikut: H3:
Kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap kinerja internal auditor pada Toyota Astra Motor Wilayah Bali.
25