BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori sinyal (signaling theory) Teori sinyal membahas mengenai bagaimana seharusnya sinyal - sinyal keberhasilan ataupun kegagalan manajemen (agen) disampaikan kepada pemilik (principal). Teori sinyal mengemukakan bahwa pemberian sinyal dilakukan oleh manajemen untuk mengurangi informasi asimetris. Sari dan Zuhrotun (2006), teori sinyal (signaling theory) menjelaskan mengapa lembaga keuangan mempunyai dorongan untuk memberikan informasi laporan keuangan kepada pihak eksternal. Dorongan tersebut timbul karena adanya informasi asimetris antara LPD (manajemen) dengan pihak luar, dimana manajemen mengetahui informasi internal LPD yang relatif lebih banyak dan lebih cepat dibandingkan pihak luar seperti investor dan kreditor. Kurangnya
informasi
yang
diperoleh
pihak
luar
tentang
LPD
menyebabkan pihak luar melindungi diri dengan memberikan nilai rendah untuk LPD tersebut. LPD dapat meningkatkan nilai LPD dengan mengurangi informasi asimetris, salah satu caranya adalah dengan memberikan sinyal kepada pihak luar berupa informasi keuangan yang dapat dipercaya sehingga dapat mengurangi ketidakpastian mengenai prospek LPD pada masa yang akan datang. Laporan tentang kinerja LPD yang baik akan meningkatkan nilai LPD tersebut. Peningkatan nilai dari LPD akan meningkatnya laba LPD tersebut. Perolehan laba
11
LPD maka akan menciptakan program pemerdayaan desa pekraman seperti, pembangunan desa, ngaben masal dan berbagai kegiatan keagamaan serta kegiatan di lingkungan desa pakraman dengan LPD sebagai penyokong keuangannya. Dengan demikian hubungan baik akan terus berlanjut jika pemilik ataupun investor puas dengan kinerja manajemen, dan penerima sinyal juga menafsirkan sinyal LPD sebagai sinyal yang positif. LPD mampu berdiri berkat kepercayaan dari warga desa pekraman menaruh dananya. Kepuasan nasabah yang tercipta dikarenakan adanya sinyal positif LPD. 2.1.2 Pertumbuhan laba Laba merupakan perbedaan pendapatan yang direalisasi, transaksi yang terjadi selama satu periode dengan biaya yang berkaitan dengan pendapatan tersebut (Chariri dan Ghozali 2001). Menurut Harahap (2008:113) laba adalah kelebihan penghasilan diatas biaya selama satu periode akuntansi. Besar kecilnya laba dijadikan acuan atau pengukur kenaikan sangat bergantung pada ketepatan pengukuran pendapatan dan biaya. Pengertian laba oleh Baridwan (1997:31) laba adalah kenaikan modal (aktiva bersih) yang berasal dari semua transaksi atau kejadian lain yang memengaruhi badan usaha pada suatu periode kecuali yang timbul dari pendapatan (revenue) atau investasi oleh pemilik. Laba dijelaskan dengan pandangan dan penjelasan yang berbeda-beda. Laba secara operasional merupakan perbedaan antara pendapatan yang direalisasi yang timbul dari transaksi selama satu periode dengan biaya yang berkaitan dengan pendapatan tersebut.
12
Pertumbuhan laba adalah kenaikan laba atau penurunan laba per tahun. Pertumbuhan laba dapat digunakan sebagai indikator untuk menilai kinerja suatu lembaga. Laba suatu usaha dari tahun ke tahun dapat meningkat atau mengalami penurunan. Peningkatan laba yang stabil dari suatu LPD menunjukkan bahwa pertumbuhan laba yang baik. Sebaliknya apabila penurunan laba dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa pertumbuhan laba suatu usaha tersebut kurang baik. Adanya petumbuhan laba dalam suatu usaha atau lembaga keuangan dapat menunjukkan bahwa pihak manajemen telah berhasil mengelola sumber-sumber daya yang dimiliki lembaga keuangan secara efektif dan efisien. 2.1.3 Capital Capital (modal) sering disebut juga rasio-rasio solvabilitas atau capital adequacy ratio. Analisis solvabilitas digunakan untuk: 1) ukuran kemampuan lembaga keuangan tersebut untuk menyerap kerugian - kerugian yang tidak dapat dihindarkan, 2) sumber dana yang diperlukan untuk membiayai kegiatan usahanya sampai batas tertentu, karena sumber-sumber dana dapat juga berasal dari hutang penjualan aset yang tidak dipakai dan lain-lain, 3) alat pengukuran besar kecilnya kekayaan lembaga keuangan tersebut yang dimiliki oleh para pemegang sahamnya, dan 4) modal yang mencukupi, memungkinkan manajemen lembaga keuangan yang bersangkutan untuk bekerja dengan efisiensi yang tinggi, seperti yang dikehendaki oleh para pemilik modal pada lembaga keuangan tersebut. Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan permodalan yang ada untuk menutup kemungkinan kerugian didalam kegiatan perkreditan dan perdagangan surat-surat berharga. Zimmerman (1996) menyebutkan bahwa capital atau modal
13
merupakan salah satu variabel yang dapat digunakan sebagai dasar pengukuran kinerja suatu lembaga keuangan, yang tercermin dalam komponen CAMEL rating (Capital, Asset,Management, Earning, Liquidity). Aspek capital dalam penelitian ini diukur dengan Capital Adequacy Ratio (CAR). Capital Adequacy Ratio (CAR) CAR adalah kecukupan modal yang menunjukkan kemampuan lembaga keuangan dalam mempertahankan modal yang mencukupi dan kemampuan manajemen lembaga keuangan dalam mengidentifikasi, mengukur, mengawasi, dan mengontrol risiko-risiko yang timbul yang dapat berpengaruh terhadap besarnya modal lembaga keuangan (Kuncoro dan Suhardjono, 2002). Tujuan utama dari CAR adalah untuk mengetahui apakah permodalan tersebut akan mampu untuk menyerap kerugian-kerugian lembaga keuangan yang terjadi dalam melakukan penanaman dana atau penurunan aktiva di kemudian hari. Semakin besar modal yang dimiliki oleh suatu lembaga keuangan akan meningkatkan rasio kecukupan modalnya, sebaliknya bila modal lembaga keuangan terus menerus terkikis oleh kerugian yang dialami lembaga keuangan, maka rasio kecukupan modalnya akan turun, hal ini diakibatkan oleh kerugian yang dialami oleh lembaga keuangan sehingga menyerap modal yang dimilikinya. Latumerisa (1999) menyatakan bahwa jumlah modal lembaga keuangan yang memadai (capital adequacy) sangat diperlukan untuk meningkatkan ketahanan dan efisiensi dimasa pemulihan akibat krisis perlembaga keuanganan. Menurut Tarmidzi (2003) CAR merupakan rasio permodalan yang menunjukkan kemampuan lembaga keuangan dalam menyediakan dana untuk keperluan
14
pengembangan usaha dan menampung risiko kerugian dana yang diakibatkan oleh kegiatan operasi lembaga keuangan, semakin tinggi CAR semakin baik kondisi sebuah lembaga keuangan. CAR merupakan dasar bagi sebuah lembaga keuangan dalam kegiatan usahanya dan hal ini yang akan digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan rasio kecukupan modal. Rasio kecukupan modal adalah indeks yang komprehensif untuk mencerminkan risiko, tetapi tetap juga perlu memperhatikan asset dan kewajiban (Li Yuanjuan dan Xiao Shishun, 2012). 2.1.4 Asset Asset adalah barang atau benda yang terdiri dari benda tidak bergerak dan benda bergerak baik yang berwujud (tangible) dan tidak berwujud (intangible) yang tercakup dalam aktiva/kekayaan perusahaan. Keberadaan aset sangat membantu lembaga keuangan dalam menjalankan kegiatannya. Akan tetapi jika dalam pelaksanaannya aset tidak dirawat dan dikelola dengan baik akan dapat menghambat kegiatan lembaga keuangan itu sendiri. Aspek KAP dinilai atas dasar penggolongan kolektibilitasnya, yakni lancar, kurang lancar, diragukan dan macet. Kolektibilitas merupakan keadaan pembayaran pokok dan angsuran pokok dan bunga kredit oleh peminjam atau debitur kemungkinan diterimanya kembali dana yang digunakan, ditanamkan dan ditempatkan (Sudirman, 2000:122). Dalam penelitian ini berdasarkan SK Direksi BPD Bali, aspek aset diukur dengan rasio Kualitas Aktiva Produktif (KAP) dan rasio Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif).
15
Kualitas Aktiva Produktif (KAP) Aktiva produktif adalah penempatan lembaga keuangan dalam bentuk kredit, surat berharga, penyertaan dan penanaman lainnya dengan tujuan untuk memperoleh penghasilan (Syahyunan, 2002). Kualitas aktiva produktif merupakan rasio perhitungan antara aktiva produktif yang diklasifikasikan (APYD) terhadap total aktiva produktif. APYD merupakan aktiva produktif baik yang sudah maupun yang mengandung potensi tidak memberikan penghasilan atau menimbulkan kerugian, sedangkan Total Aktiva Produktif total dari penanaman dana lembaga keuangan dalam bentuk kredit, surat berharga, penyertaan dan penanaman lainnya yang dimaksudkan untuk memperoleh penghasilan. Aktiva yang produktif atau productive assets sering juga disebut earnings assets atau aktiva yang mengasilkan, karena penempatan dana lembaga keuangan adalah untuk mencapai tingkat penghasilan yang diharapkan. Rasio KAP ini digunakan untuk mengetahui kemampuan LPD dalam menggunakan aktiva produkifnya yaitu semua aktiva dalam rupiah dan valuta asing dengan maksud untuk memperoleh penghasilan sesuai dengan fungsinya. Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif adalah provision for loan losses (PPAP) merupakan cadangan yang dibentuk dengan cara membebani perhitungan laba rugi tahun berjalan, untuk menampung kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dan tidak diterimanya kembali sebagian atau seluruh aktiva produktif, penyisihan penghapusan aktiva produktif yang dapat diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap adalah maksimum persentase tertentu. Rasio
16
PPAP ini merupakan rasio yang menunjukkan kemampuan manajemen lembaga keuangan dalam menjaga kualitas aktiva produktif sehingga jumlah PPAP dapat dikelola dengan baik (Putri, 2010). Rasio ini digunakan untuk untuk mengetahui kemampuan LPD untuk menutup risiko kerugian dengan membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) atau Cadangan Piutang Ragu-ragu (CPRR). Aturan pembentukan PPAP untuk bank berdasarkan kemungkinan risiko yang ditimbulkannya, yaitu risiko kurang lancar, diragukan dan macet. Pembentukan PPAP merupakan salah satu upaya untuk membentuk cadangan dari kemungkinan tidak tertagihnya penempatan dana. Semakin besar PPAP maka semakin buruk aktiva produktif lembaga keuangan yang bersangkutan sehingga kemungkinan suatu lembaga keuangan dalam kondisi bermasalah semakin besar (Almilia dan Herdiningtyas, 2005). 2.1.5 Earnings Earnings
atau
rentabilitas
adalah
kemampuan
perusahaan
untuk
menghasilkan laba selama periode tertentu dengan total aktiva atau penilaian rentabilitas merupakan penilaian terhadap kondisi kemampuan lembaga keuangan dalam menghasilkan earnings untuk mendukung operasional dan permodalan. Rentabilitas (earnings) tidak hanya menunjukkan jumlah kuantitas dan trend earnings saja, tetapi juga faktor-faktor yang memengaruhi ketersediaan dan kualitas earnings (Kuncoro, 2002). Rasio rentabilitas selain bertujuan untuk mengetahu kemempuan lembaga keuangan dalam menghasilkan laba selama periode tertentu, juga bertujuan untuk mengukur tingkat efektifitas manajemen
17
dalam menjalankan operasional lembaga keuangannya. Pada penelitian ini aspek earnings diproksikan dengan rasio BOPO dan ROA. Biaya Operasional pada Pendapatan Operasional (BOPO) BOPO adalah rasio perbandingan antara biaya operasional dengan pendapatan operasional. biaya operasional dapat diartikan sebagai biaya yang dikeluarkan oleh lembaga keuangan dalam menjalankan seluruh kegiatan operasionalnya dalam rangka pencapaian suatu tujuan lembaga keuangan sedangkan pendapatan operasional adalah pendapatan yang diterima oleh lembaga keuangan sebagai hasil dari kegiatan operasionalnya. Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan LPD dalam mengelola biaya operasionalnya untuk memperoleh pendapatan operasional. Semakin kecil rasio BOPO suatu lembaga keuangan menunjukan semakin efisien lembaga keuangan tersebut dalam menjalankan aktivitas usahanya. (Setyono, 2014). BOPO termasuk rasio rentabilitas (earnings). Keberhasilan lembaga keuangan didasarkan pada penilaian kuantitatif terhadap rentabilitas lembaga keuangan dapat diukur dengan menggunakan rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (Kuncoro dan Suhardjono, 2002). Menurut Dendawijaya (2005) rasio biaya operasional digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan lembaga keuangan dalam melakukan kegiatan operasinya. Lembaga keuangan diharapkan melakukan efisiensi operasi, yaitu untuk mengetahui apakah lembaga keuangaan dalam operasinya yang berhubungan dengan usaha pokok lembaga keuangan, dilakukan dengan benar dalam arti sesuai yang diharapkan manajemen (Hanley, 1997). Efisiensi operasi juga mempengaruhi kinerja lembaga
18
keuangan,
yakni
untuk
menunjukkan apakah
lembaga
keuangan telah
mengunakan seluruh faktor kegiatan produksinya dengan tepat guna dan berhasil guna. Rasio biaya operasional pada pendapatan operasional (BOPO) sering disebut rasio efisiensi digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen lembaga keuangan dalam mengendalikan biaya operasional terhadap pendapatan operasional. Semakin kecil rasio ini berarti semakin efisien biaya operasional yang
dikeluarkan
lembaga
keuangan
yang
bersangkutan
(Almilia
dan
Herdiningtyas, 2005). Return On Asset (ROA) Vong dan Chan (2006) menyatakan ROA adalah laba bersih yang dibagi dengan total asset yang mencerminkan seberapa baik manajemen dalam menggunakan sumber daya lembaga keuangan untuk menghasilkan laba. Rasio profitabilitas atau rentabilitas ini digunakan untuk mengukur kemampuan LPD untuk menghasilkan laba dengan menggunakan total aktivanya. ROA yang tinggi menunjukkan efisiensi manajemen asset, yang berarti efisiensi manajemen dapat menciptakan laba (Hanafi dan Halim, 1995:85). Menurut Tarmidzi (2003) apabila suatu lembaga keuangan memiliki ROA yang tinggi menunjukan bahwa lembaga keuangan tersebut memiliki kemampuan yang besar dalam meningkatkan laba operasi dan prospek masa depannya apabila dikaitkan dengan dana dari laba yang dikumpulkan. Retun on Asset (ROA) berfungsi untuk mengukur efektivitas perusahaan dalam laba dengan memanfaatkan aktiva yang dimiliki. Semakin besar ROA yang dimiliki oleh sebuah perusahaan maka semakin efisien penggunaan aktiva
19
sehingga akan memperbesar laba. Dendawijaya (2000) mengatakan bahwa semakin besar ROA suatu lembaga keuangan, maka semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai lembaga keuangan tersebut dan semakin lebih baik pula posisi lembaga keuangan tersebut dari segi penggunaan asset sehingga kemungkinan suatu lembaga keuangan dalam kondisi bermasalah semakin kecil yang nantinya berpengaruh dalam pertumbuhan laba di masa depan. 2.1.6 Liquidity Suatu lembaga keuangan dikatakan liquid apabila lembaga keuangan bersangkutan dapat memenuhi kewajiban utang-utangnya, dapat membayar kembali semua depositonya, serta dapat memenuhi permintaan kredit yang diajukan tanpa terjadi penangguhan. Oleh karena itu, lembaga keuangan dapat dikatakan liquid apabila: 1) lembaga keuangan tersebut memiliki cash assets sebesar kebutuhan yang digunakan untuk memenuhi likuiditasnya, 2) lembaga keuangan tersebut memiliki cash assets yang lebih kecil dari kebutuhan likuiditasnya, tetapi mempunyai aset atau aktiva lainnya (misal surat berharga) yang dapat dicairkan sewaktu-waktu tanpa menga lami penurunan nilai pasarnya, dan 3) lembaga keuangan tersebut mempunyai kemampuan untuk menciptakan cash asset baru melalui berbagai bentuk hutang. Dalam rasio likuiditas, rasio yang dapat diukur antara lain: liquid asset to current liabilities ratio (LACLR) dan loan to deposit ratio (LDR). Liquid Asset to Current Liabilities Ratio (LACLR) Liquid Assets to Current Liabilities Ratio (LACLR) yaitu rasio perbandingan antara alat likuid terhadap hutang lancar. Alat likuid yang dimiliki
20
LPD adalah kas dan simpanan antar lembaga keuangan (tabungan dan deposito), sedangkan hutang lancar meliputi kewajiban yang segera harus dibayar antara lain tabungan dan deposito dari masyarakat. Rasio ini digunakan untuk mengukur sampai seberapa jauh suatu LPD menggunakan dana dari pihak ketiga untuk membiayai kreditnya dan memenuhi kebutuhan likuiditasnya.
Dana yang
diterima dari pihak ketiga yaitu tabungan, deposito, modal disetor, cadangan umum dan laba LPD yang akan disalurkan kepada anggota dan masyarakat dalam bentuk pinjaman atau kredit. Aspek likuiditas sangat penting bagi lembaga keuangan atau LPD, karena lembaga keuangan dan LPD dikatakan likuid apabila lembaga keuangan dan LPD yang bersangkutan dapat memenuhi kewajiban utang-utangnya, dapat membayar kembali semua depositonya, serta dapat memenuhi permintaan kredit yang diajukannya tanpa terjadi penangguhan. (Dewi, dkk, 2012). Loan to Deposit Ratio (LDR) Loan to Deposit Ratio (LDR) merupakan rasio yang menunjukkan kemampuan suatu lembaga keuangan dalam menyediakan dana kepada debiturnya dengan modal yang dimiliki oleh lembaga keuangan maupun dana yang dapat dikumpulkan dari masyarakat. Lembaga keuangan yang memiliki total aset besar, mempunyai kesempatan untuk menyalurkan kreditnya kepada pihak peminjam dalam jumlah yang lebih besar, sehingga memperoleh keuntungan yang tinggi (Alper, et al., 2011). Menurut Almilia dan Herdiningtyas (2005), Loan to Deposit Ratio (LDR) digunakan untuk menilai likuiditas suatu lembaga keuangan dengan cara membagi jumlah kredit dengan jumlah dana. Menurut Dendawijaya (2005),
21
LDR menyatakan seberapa jauh kemampuan lembaga keuangan dalam membayar kembali penarikan dana yang dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Jika suatu lembaga keuangan dapat menyalurkan seluruh dana yang dihimpun memang akan menguntungkan, namun hal ini terkait resiko apabila sewaktu-waktu pemilik dana menarik dananya atau pemakai dana tidak dapat mengembalikan dana yang dipinjamnya. 2.2 Hipotesis Penelitian 2.2.1 Pengaruh Capital Adequacy Ratio (CAR) pada Pertumbuhan Laba Menurut Kuncoro dan Suhardjono (2002:256), CAR adalah rasio kecukupan modal
dengan
menunjukkan
kemampuan
lembaga
keuangan
saat
mempertahankan modal yang mencukupi serta kemampuan manajemen lembaga keuangan dalam mengidentifikasi, mengukur, mengawasi serta mengontrol risikorisiko mungkin timbul karena pengaruh dari kinerja suatu lembaga keuangan pada saat menghasilkan suatu keuntungan dan menjaga besarnya modal yang dimiliki lembaga keuangan. Modal juga digunakan untuk meningkatkan pendapatan komersial lembaga keuangan (John Brathland, 2010). Penelititian yang dilakukan Ugwunta (2012) CAR berpengaruh signifikan terhadap profitabilitas. Fathoni, dkk (2012) menunjukkan bahwa Capital Adequacy Ratio (CAR) berpengaruh terhadap pertumbuhan laba lembaga keuangan, maka berarti perusahaan perlembaga keuanganan yang memiliki kecukupan modal yang lebih tinggi akan cenderung memiliki pertumbuhan laba yang lebih tinggi. Isnaini (2009) menunjukkan variabel CAR berpengaruh positif dan signifikan pada perubahan laba di Lembaga keuangan Umum Syariah. Sejalan
22
dengan Sapariyah (2012) yang menyatakan variabel capital (yang dinyatakan dengan CAR) berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan laba. Triono (2007) menunjukkan bahwa CAR berpengaruh terhadap perubahan laba dua tahun mendatang. Nu’man (2009), Dewi dan Sudiartha (2012), Setyaningsih dan Herawati (2014) dan Setyono (2014) yang menemukan bahwa CAR tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan laba. Putri (2010) menunjukkan bahwa CAR secara berpengaruh negatif pada pertumbuhan lembaga keuangan, hal ini mengindikasikan bahwa semakin rendah rasio CAR maka akan berdampak pada turunnya pertumbuhan laba perlembaga keuanganan, artinya jika modal lembaga keuangan semakin kecil maka kemungkinan lembaga keuangan dalam kondisi bermasalah semakin besar. Dengan demikian, maka diajukan hipotesis sebagai berikut: H1: CAR berpengaruh terhadap Pertumbuhan Laba 2.2.2 Pengaruh Rasio Kualitas Aktiva Produktif (KAP) pada Pertumbuhan Laba KAP adalah rasio antara aktiva produktif yang diklasifikasikan (APYD) terhadap total aktiva produktif. Semakin kecil KAP menunjukkan semakin efektifnya kinerja lembaga keuangan untuk menekan APYD serta memperbesar total aktiva produtif sehingga akan memperbesar pendapatan, sehingga laba yang dihasilkan semakin bertambah. Penelitian Ariyanti (2010) menunjukkan bahwa secara parsial variabel kualitas aktiva produktif tidak berpengaruh signifikan negatif pada variabel perubahan laba. Penelitian yang dilakukan oleh Nu’man (2009) variabel EAQ
23
(KAP) berpengaruh terhadap perubahan laba. Menurut Mahendra dan Rahardjo (2011) yakni KAP tidak berpengaruh pada perubahan laba. Hal ini membuktikan bahwa KAP dalam penelitian ini tidak dapat digunakan untuk memprediksi perubahan laba mendatang. Begitu pula dengan Setyono (2014), yang menunjukkan bahwa variabel KAP menunjukan pengaruh signifikan negatif pada pertumbuhan laba lembaga keuangan. Dengan demikian, maka diajukan hipotesis sebagai berikut: H2: Rasio KAP berpengaruh pada Pertumbuhan Laba 2.2.3 Pengaruh Rasio Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) pada Pertumbuhan Laba PPAP adalah rasio menunjukkan kemampuan manajemen lembaga keuangan dalam menjaga kualitas aktiva produktifnya sehingga jumlah PPAP suatu lembaga keuangan dapat dikelola dengan baik. Semakin besar PPAP maka semakin buruk aktiva produktifnya sehingga kemungkinan suatu lembaga keuangan dalam kondisi bermasalah semakin besar (Almilia dan Herdiningtyas, 2005). Penelitian Barus (2011) menyatakan variabel PPAP yang mempengaruhi pertumbuhan laba
secara
signifikan. Putri (2010) dalam penelitiannya
menunjukkan bahwa rasio PPAP pengaruh positif pada pertumbuhan laba lembaga keuangan. Semakin banyak dana yang dialokasikan sebuah lembaga keuangan pada aset produktifnya maka semakin banyak pendapatan bunga yang akan diterima suatu lembaga keuangan sehingga laba yang dimiliki lembaga keuangan pasti akan meningkat. Peningkatan kualitas aset ini akan membantu investor dan nasabah dalam meningkatkan kepercayaaan mereka pada lembaga
24
keuangan, sehingga semakin banyak dana yang terkumpul dan menyebabkan pertumbuhan laba yang dimiliki oleh lembaga keuangan juga semakin baik. H3: Rasio PPAP berpengaruh pada Pertumbuhan Laba 2.2.4 Pengaruh Rasio Biaya Operasioanal pada Pendapatan Operasional (BOPO) pada Pertumbuhan Laba BOPO adalah rasio antara biaya operasi terhadap pendapatan operasi. Rasio BOPO menunjukkan efisiensi dalam menunjukkan efisiensi dalam menjalankan usaha pokoknya terutama kredit berdasarkan jumlah dana yang berhasil dikumpulkan. Penelitian Afanasieff, et al (2002) menunjukkan bahwa BOPO berpengaruh signifikan terhadap laba. Setyaningsih dan Herawati (2014) menunjukkan bahwa BOPO secara parsial berpengaruh pada perubahan laba. Rasio BOPO berpengaruh signifikan dan negatif terhadap kinerja keuangan lembaga keuangan (pertumbuhan laba), hal ini berarti bahwa semakin kecil BOPO menunjukkan semakin efisien lembaga keuangan dalam menjalankan usaha pokoknya terutama kredit berdasarkan jumlah dana yang berhasil dikumpulkan (Dewi dan Sudiartha, 2012). Sependapat dengan penelitian yang dilakukan oleh Nu’man (2009), Isnaini (2009), Ariyanti (2010) dan Mahendra dan Rahardjo (2011) menunjukkan variabel BOPO tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel perubahan laba. Putri (2010) yang menunjukkan bahwa rasio BOPO berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan laba. Sehingga ini mengindikasikan bahwa semakin besar rasio BOPO maka akan berdampak pada turunnya pertumbuhan laba perlembaga keuanganan artinya semakin besar biaya operasional terhadap pendapatan operasional, maka semakin boros biaya operasional yang dikeluarkan oleh
25
lembaga keuangan yang bersangkutan. Dengan demikian, maka diajukan hipotesis sebagai berikut: H4: Rasio BOPO berpengaruh pada Pertumbuhan Laba 2.2.5 Pengaruh Return on Asset (ROA) pada Pertumbuhan Laba ROA adalah perbandingan rasio antara laba setelah pajak terhadap total aset yang dimiliki lembaga keuangan. ROA digunakan untuk melihat keefektifan lembaga keuangan dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimiliki. Meningkatnya ROA menandakan besarnya pengembalian yang diperoleh oleh suatu lembaga keuangan. Rasio ini dianggap sebagai indikator seberapa efisien suatu lembaga menggunakan asetnya untuk menghasilkan laba bersih sebelum kewajiban kontraktual harus dibayar (Prakash, 2011). Seberapa besar tingkat efisiensi suatu lembaga keuangan bisa dihitung melalui profitabilitas. Menurut Sinha et al (2011) komponen penting dari perencanaan keuangan adalah peramalan profitabilitas. Suatu lembaga keuangan yang mempunyai Return on Asset (ROA) yang besar, maka akan semakin besar tingkat keuntungan yang dicapai lembaga keuagan tersebut dan semakin lebih baik pula posisi lembaga keuangan tersebut dari segi penggunaan aset sehingga kemungkinan suatu lembaga keuangan dalam kondisi bermasalah semakin kecil yang nantinya
berpengaruh
dalam
pertumbuhan
laba
di
masa
depan
(Dendawijaya, 2000). Hal ini didukung dengan penelitian Ariyanti (2010) yang menemukan bahwa ROA berpengaruh terhadap perubahan laba pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. ROA berpengaruh terhadap pertumbuhan laba lembaga
26
keuangan, berarti perusahaan yang mampu menghasilkan earningss yang lebih besar cenderung memiliki pertumbuhan laba lembaga keuangan yang lebih tinggi (Fathoni, dkk 2012). Sependapat oleh penelitian yang dilakukan oleh Afanasieff, et al (2002), Triono (2007) menunjukkan bahwa ROA berpengaruh terhadap perubahan laba dua tahun mendatang. Harningsih (2010), Putri (2010), Wijaya (2013) menemukan bahwa ROA berpengaruh positif signifikan terhadap pertumbuhan laba ROA, maka menunjukkan bahwa tingkat keefisienan atas pengelolaan aset suatu usaha dalam menghasilkan laba. Semakin efisien pengelolaan asset suatu usaha, berarti bahwa sumber daya yang sedikit mampu dikelola dengan baik sehingga mampu menghasilkan manfaat yang sebesarbesarnya. ROA yang tinggi menunjukan bahwa lembaga keuangan tersebut memiliki kemampuan yang besar dalam meningkatkan laba operasi dan prospek masa depan. Sehingga semakin besar rasio ROA maka akan berdampak pada meningkatnya pertumbuhan laba lembaga keuangan. Maka dapat dikembangkan hipotesis sebagai berikut: H5: ROA berpengaruh pada Pertumbuhan Laba 2.2.6 Pengaruh Liquid Asset to Current Liabilities Ratio (LACLR) pada Pertumbuhan Laba Rasio LACLR digunakan untuk mengukur kemampuan LPD dalam memenuhi kewajiban keuangan yang harus segera dipenuhi atau kemampuan LPD untuk memenuhi kewajiban keuangan pada saat ditagih. Semakin besar rasio ini semakin baik karena kemampuan LPD dalam membayar kewajiban lancar yang dijamin dengan alat likuid yang dimiliki LPD.Semakin likuid LPD tersebut kepercayaan masyarakat pada LPD akan meningkat, sehingga untuk jangka
27
panjang pertumbuhan LPD tersebut akan meningkat (Dewi, dkk 2014). Berikut dikembangkan hipotesis antara lain: H6: LACLR berpengaruh pada Pertumbuhan Laba 2.2.7 Pengaruh Loan to Deposit Ratio (LDR) pada Pertumbuhan Laba LDR adalah ukuran likuiditas yang mengukur besarnya dana yang ditempatkan dalam bentuk kredit yang berasal dari pihak ketiga. Semakin tinggi LDR maka semakin besar dana yang disalurkan dan akan meningkatkan pendapatan lembaga keuangan. Sehingga semakin besar LDR lembaga keuangan maka semakin besar pula perubahan laba lembaga keuangan (Ariyanti, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Angbazo (1997) menunjukkan LDR berpengaruh positif terhadap laba dan Afanasief, et al (2002) menunjukkan bahwa LDR berpengaruh signifikan terhadap laba. Penelitian Nu’man (2009) serta Setyaningsih dan Herawati (2014) menunjukkan pula secara parsial variabel LDR berpengaruh signifikan positif terhadap variabel perubahan laba.
Namun
penelitian Sapariyah (2012) serta Dewi dan Sudiartha (2012) menunjukkan bahwa LDR berpengaruh tidak signifikan terhadap pertumbuhan laba. Sejalan dengan Fathoni, dkk (2012) menunjukkan bahwa LDR tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan laba lembaga keuangan. Hal ini berarti besar kecilnya nilai LDR tidak memengaruhi pertumbuhan laba perusahaan. Penelitian Putri (2010) menunjukkan bahwa rasio LDR berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan laba, maka hal ini mengindikasikan semakin besar rasio LDR maka akan berdampak pada turunnya pertumbuhan laba perlembaga keuanganan dan semakin rendahnya
28
kemampuan likuiditas lembaga keuangan yang bersangkutan. Dengan demikian dapat dikembangkan hipotesis sebagai berikut: H7: LDR berpengaruh pada Pertumbuhan Laba
29