BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
1.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Teori Sinyal Tearney (2000) dalam Estiyanti dan Yasa (2012) menyatakan teori sinyal menunjukkan adanya hubungan asimetri antara manajemen dengan berbagai pihak yang berkepentingan terhadap informasi perusahaan. Asimetri informasi terjadi dikarenakan salah satu pihak memiliki informasi yang lebih baik dibanding dengan pihak lainnya. Manajemen selaku pihak intern perusahaan memiliki informasi yang lebih baik dibanding dengan pihak yang lain. Informasi tersebut bisa berupa laporan keuangan, informasi kebijakan perusahaan maupun informasi lain yang dilakukan secara sukarela oleh manajemen perusahaan. Sebelum memutuskan untuk berinvestasi pada obligasi suatu perusahaan, pihak eksternal perusahaan seperti calon investor tentu sangat membutuhkan informasi tentang kondisi obligasi. Untuk itu dengan teori sinyal diharapkan manajemen dapat memberikan sinyal berupa informasi mengenai kualitas atau kondisi obligasi, apakah obligasi berpotensi gagal bayar atau tidak. Salah satu sinyal tersebut ditunjukkan dengan peringkat obligasi.
2.1.2 Pecking Order Theory Disebut Pecking Order Theory karena menjelaskan mengapa perusahaan akan menentukan hirarki sumber dana yang paling disukai. Teori ini dikemukakan oleh Myers dan
Manjluf (1984) teori ini mencoba menjelaskan keputusan pendanaan yang diambil oleh perusahaan yang berbeda dengan pemikiran balanching theory. Balamching theory yaitu menekankan pada keseimbangan manfaat dan pengorbanan yang timbul sebagai akibat penggunaan utang. Sejauh manfaatnya lebih besar, utang akan ditambah. Tetapi apabila pengorbanan karena penggunaan utang lebih besar, maka utang tidak boleh ditambah lagi. Dalam Pecking Order Theory dijelaskan hal-hal sebagai berikut : 1) Perusahaan menyukai internal financing (pendanaan dari hasil operasi perusahaan) 2) Perusahaan berupaya menyesuaikan rasio pembagian deviden yang ditargetkan dengan berusaha menghindari perubahan pembayaran dividen secara drastis. 3) Kebijakan deviden yang relatif cenderung kaku disertai dengan fluktuasi profitabilitas dan kesempatan investasi yang tidak bisa diduga mengakibatkan bahwa hasil operasi kadang-kadang melebihi kebutuhan dana untuk investasi meskipun pada kesempatan lain kurang. Apabila dana hasil operasi kurang dari kebutuhan investasi maka perusahaan akan mengurangi saldo kas atau menjual skuritas yang dimiliki. 4) Apabila pendanaan dari luar (eksternal finanching) diperlukan,maka perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang paling aman terlebih dahulu. Artinya dimulai dengan penerbitan obligasi, kemudian diikuti oleh sekuritas yang berkarakteristik opsi (seperti obligasi konversi) dan akhirnya apabila masih belum mencukupi saham baru diterbitkan. Pecking Order Theory tidak ada struktur modal yang optimal yang diperoleh dari pertimbangan utang dan modal sendiri. Manajer cenderung menentukan keputusan pendanaan perusahaan berdasarkan hirarki sumber dana yang paling disukai yaitu mulai dari penggunaan sumber dana internal dan diikuti sumber dana eksternal yaitu utang dan terakhir yaitu menerbikan saham. Pecking Order Theory menjelaskan mengapa perusahaan-perusahaan yang profitable umumnya meminjam dalam jumlah yang sedikit. Hal ini disebabkan karena perusahaan-
perusahaan tersebut mampu menghasilkan kas internal yang memadai untuk keperluan investasinya, sehingga tidak ada penggunaan hutang lagi. Demikian sebaliknya perusahaan yang tidak profitable akan cenderung menggunakan hutang yang lebih besar. Alasanya karena dana internal tidak mencukupi dan pembiayaan dengan hutang lebih disujai dibandingkan pembiayaan eksternal.
2.1.3 Peringkat obligasi Obigasi yaitu suatu pernyataan utang dari penerbit obligasi kepada pemegang obligasi beserta janji untuk membayar kembali pokok utang beserta kupon bunganya pada saat tanggal jatuh tempo pembayaran. Obligasi perusahaan yang diterbitkan wajib diperingkat oleh lembaga pemeringkat yang terdaftar di BAPEPAM seperti PT. Pefindo atau PT. Kasnic Credit Rating Indonesia. Foster (1986) menyatakan peringkat merupakan sebuah pernyataan tentang keadaan emiten atau peminjam dan kemungkinan apa yang bisa dan akan dilakukan sehubungan dengan utang yang dimiliki, atau suatu tingkat yang menggambarkan kemampuan emiten atau peminjam memenuhi kewajiban keuangan. Darmadji (2001) menyatakan tujuan dari pemeringkatan adalah untuk memberikan pendapat secara independen, objektif, dan jujur mengenai risiko suatu efek utang. Ada tiga komponen utama yang digunakan oleh agen pemeringkat untuk menentukan peringkat (rating) obligasi yaitu: 1) Penilaian risiko industri mencakup, pertumbuhan industri dan stabilitas (growth & stability), struktur pendapatan dan struktur biaya (revenue & cost structure), tingkat persaingan dalam industri (competition), regulasi (regulatory framework), dan profil keuangan dari industri (financial profile) 2) Penilaian Risiko Finansial (financial Risks) mencakup kebijakan keuangan manajemen perusahaan (financial policy), dan empat indikator keuangan termasuk profitabilitas (profitability), struktur modal (capital structure), perlindungan arus kas (cash flow protection) dan fleksibilitas keuangan (financial flexibility)
3) Penilaian Risiko Bisnis (business risks) Metode dilakukan berdasarkan pada faktor-faktor kunci kesuksesan (key success factors) dari industri dimana perusahaan digolongkan. Selain itu juga dilakukan analisis perbandingan terhadap pesaing-pesaing sejenis dalam industri yang sama maupun industri itu sendiri dengan industri lainnya. Peringkat obligasi perusahaan diharapkan dapat memberikan petunjuk bagi investor tentang kualitas obligasi perusahaan penerbit obligasi dan Kliger & Sarig (2000) menyatakan bahwa bond rating dapat mempengaruhi nilai perusahaan secara keseluruhan baik bagi shareholders maupun bagi bondholders. He Wang, dan Wei (2007) berpendapat kualitas keputusan investor dipengaruhi oleh kualitas informasi yang diberikan oleh perusahaan dalam laporan keuangan. Kualitas informasi tersebut bertujuan untuk mengurangi asimetri informasi yang timbul ketika manajer lebih mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan dimasa yang akan datang dibandingkan dengan pihak eksternal perusahaan. Informasi yang berupa pemberian peringkat obligasi perusahaan yang dipublikasiakan diharapkan dapat memberikan sinyal kondisi keuangan perusahaan tertentu dan menggambarkan kemungkinana yang terjadi terkait dengan utang yang dimiliki. Kaplan (1979) menyatakan beberapa faktor yang dapat menentukan peringkat suatu obligasi yaitu: 1) Pendapatan dan cashflow masa depan 2) Utang baik jangka pendek dan jangka panjang 3) Struktur permodalan 4) Likuiditas asset perusahaan 5) Situasi negara dimana perusahaan berada 6) Situasi pasar dimana perusahaan melakukan aktifitas bisnisnya 7) Kualitas manajemen dan struktur perusahaan
Setelah selesai melakukan analisis, tim analis kemudian membentuk komite rating untuk memberikan hasil peringkat akhir pada obligasi perusahaan. Frost (2007) menyatakan bahwa pentingnya peringkat kredit yang diberikan untuk setiap penerbitan obligasi. Simbol pemeringkatan yang digunakan oleh agen PEFINDO serupa dengan yang digunakan oleh Standard and Poor’s. Simbol peringkat dan makna peringkat obligasi yang digunakan PT. PEFINDO (Lampiran 1).
2.1.1.1 Manfaat peringkat obligasi 1) Manfaat peringkat obligasi bagi investor adalah sebagai berikut : 1) Informasi risiko investasi. Tujuan utama investasi adalah untuk meminimalkan risiko serta mendapatkan keuntungan yang maksimal. Oleh karena itu, dengan adanya bond rating diharapkan informasi risiko dapat diketahui lebih jelas posisinya oleh investor. 2) Rekomendasi investasi. Investor akan dengan mudah mengambil keputusan investasi berdasarkan hasil peringkat kinerja emiten obligasi tersebut. Dengan demikian investor dapat melakukan strategi investasiakan membeli atau menjual sesuai perencanaannya. 3) Perbandingan. Hasil rating akan dijadikan patokan dalam membandingkan obligasi yang satu dengan yang lain, serta membandingkan struktur yang lain seperti suku bunga dan metode penjaminannya. 2) Manfaat peringkat obligasi bagi emiten adalah ada sebagai berikut : 1) Informasi posisi bisnis. Dengan melakukan rating, pihak perusahaan akandapat mengetahui posisi bisnis dan kinerja usahanya dibandingkan dengan perusahaan sejenis lainnya. 2) Menentukan struktur obligasi. Setelah diketahui keunggulan dan kelemahan manajemen, bisa ditentukan beberapa syarat atau struktur obligasi yang meliputi tingkat suku bunga,
jenis obligasi, jangka waktu jatuh tempo, jumlah emisi obligasi serta berbagai struktur pendukung lainnya. 3) Mendukung kinerja. Apabila emiten mendapatkan rating yang cukup bagus maka kewajiban menyediakan sinking fund atau jaminan kredit bisa dijadikan pilihan alternatif. 4) Alat pemasaran. Mendapatkan rating yang baik murupakan daya tarik perusahaan di mata investor bisa meningkat. Dengan demikian, adanya rating bisa membantu sistem pemasaran obligasi. 5) Menjaga kepercayaan investor. Hasil rating yang independent akan membuat investor merasa lebih aman, sehingga investor memiliki kepercayaan terhadap perusahaan.
2.1.4 Laverage Maylia (2007) mengungkapkan bahwa leverage menujukkan proporsi penggunaan hutang untuk membiayai investasi terhadap modal yang dimiliki. Rendahnya nilai rasio leverage dapat diartikan hanya sebagian kecil asset didanai dengan utang dan semakin kecil risiko kegagalan perusahaan. Myers (1977) menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi tidak menyukai pembiayaan yang akan meningkatkan leverage mereka. Permasalahan leverage akan dihadapi oleh perusahaan, bila perusahaan tersebut memiliki sejumlah beban atau biaya, baik biaya tetap operasi maupun biaya finansial. Biaya tetap operasi merupakan beban atau biaya tetap yang harus diperhitungkan sebagai akibat dari perusahaan melakukan investasi, sedangkan biaya finansial merupakan beban atau biaya yang harus diperhitungkan sebagai akibat dari pelaksanaan fungsi pendanaan. Jadi, beban atau biaya tetap sebenarnya merupakan risiko dan kewajiban yang harus ditanggung perusahaan dalam pelaksanaan keputusan-keputusan keuangan. Besar kecilnya risiko tersebut perlu diketahui agar
dapat diantisipasi dengan cara meningkatkan volume kegiatan usaha. Secara umum dalam mananjemen keuangan dikenal dua macam laverage, yaitu sebagai berikut Maryan (2014) : 1) Laverage operasi (operating laverage) Laverage operasi merupakan penggunaan akiva dengan biaya tetap dengan harapan bahwa revenue atau penerimaan yang diperoleh oleh penggunaan aktiva itu cukup untuk menutupi biaya tetap dan biaya variabel. Jadi ini merupakan cara untuk mengukur risiko usaha dari suatu perusahaan. Biaya tetap misalnya, beban penyusutan gedung dan peralatan kantor, biaya asuransi dan biaya lain yang muncul dari penggunaan fasilitas manajemen. Biaya operasi tetap dikelurkan agar volume penjualan dapat menghasilkan penerimaan yang lebih besar dari pada seluruh biaya operasi yang tetap dan variabel.
2) Laverage keuangan (financial laverage) Financial laverage merupakan penggunaan sumber dana yang memiliki beban tetap dengan harapan bahwa akan memberikan tambahan keuntungan yang lebih besar daripada beban tetapnya sehingga akan meningkatkan keuntungan yang tersedia bagi pemegang obligasi. Menurut Brigham (2006:101) perusahaan menggunakan hutang (financial leverage) memiliki 3 implikasi penting yaitu: 1) Memperoleh dana melalui utang, para pemegang saham dapat mempertahankan kendali mereka atas perusahaan tersebut dan sekaligus membatasi investasi yang mereka berikan. 2) Kreditor akan melihat pada ekuitas, atau dana yang diperoleh sendiri, sebagai suatu batasan keamanan, sehingga semakin tinggi proporsi dari jumlah modal yang diberikan pemegang saham, maka semakin kecil resiko yang dihadapi kreditor.
3) Jika perusahaan mendapatkan hasil dari investasi yang didanai dengan dana hasil pinjaman lebih besar daripada bunga yang dibayarkan, maka pengembalian dari modal pemilik akan lebih besar. Apabila nilai laverage rendah maka dapat diartikan sebagian kecil dari aktiva yang dimiliki oleh perusahaan di biayai oleh hutang maka dari itu kecil risiko kegagalan perusahaan. Sehingga apabila tidak ada laverage maka perusahaan tersebut dibiayai dengan modal sendiri. Rendahnya nilai leverage dapat diartikan bahwa hanya sebagian kecil aktiva didanai dengan hutang dan semakin kecil risiko kegagalan perusahaan. Sartono (2001:122) menyatakan
proksi rasio
leverage yang digunakan adalah DER (Debt to Equity Ratio). DER digunakan untuk melihat seberapa besar perusahaan dibiayai oleh utang atau pihak luar. Semakin besar leverage, semakin besar risiko default perusahaan, semakin rendah leverage, semakin baik peringkat yang diberikan terhadap perusahaan (Burton & Hardwick, 1998 dalam Raharja & Sari, 2008). Hal ini mengindikasikan perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi cenderung memiliki kemampuan yang rendah dalam memenuhi kewajibannya. 2.1.5 Profitabilitas Profitabilitas merupakan tingkat keuntungan bersih yang diperoleh oleh perusahaan pada saat menjalankan operasionalnya. Pakarinti (2012) menyatakan Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan untuk mendapatkan laba atau keuntungan pada tingkat penjualan, aset, dan modal dalam suatu periode tertentu. Profitabilitas suatu perusahaan akan mempengaruhi kebijakan para investor atas investasi yang dilakukan. Kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba akan dapat menarik para investor untuk menanamkan dananya guna memperluas usahanya, sebaliknya tingkat profitabilitas yang rendah akan menyebabkan para
investor menarik dananya (Pinches,1973). Sedangkan bagi perusahaan itu sendiri profitabilitas dapat digunakan sebagai evaluasi atas efektivitas pengelolaan badan usaha tersebut. Adams et al (2000) mengemukakan bahwa tingkat profitabilitas yang tinggi akan menunjukkan kuatnya kondisi keuangan perusahaan sehingga secara financial akan mempengaruhi peringkat obligasi. Profitabilitas sebagai tolak ukur dalam menentukan alternatif pembiayaan, namun cara untuk menilai profitabilitas suatu perusahaan adalah bermacam-macam dan sangat tergantung pada laba dan aktiva atau modal yang akan dibandingkan dari laba yang berasal dari operasi perusahaan atau laba netto sesudah pajak dengan modal sendiri. Profitabilitas suatu perusahaan dapat diukur dengan menghubungkan antara keuntungan atau laba yang diperoleh dari kegiatan pokok perusahaan dengan kekayaan atau asset yang dimiliki untuk menghasilkan keuntungan perusahaan (operating asset). Dalam kegiatan operasi perusahaan, profit merupakan elemen penting dalam menjamin kelangsungan perusahaan. Dengan adanya kemampuan memperoleh laba dengan menggunakan semua sumberdaya perusahaan maka tujuan-tujuan perusahaan akan dapat tercapai. Penggunaan semua sumber daya tersebut akan memungkinkan perusahaan untuk memperoleh laba yang tinggi. Proksi yang digunakan untuk mengukur profitabilitas adalah ROA (Return on Asset), menunjukkan berapa besar laba bersih diperoleh perusahaan jika diukur dari nilai aktiva. (Bouzouita, 1998) menyatakan bahwa tingkat profitabilitas yang lebih tinggi menurunkan risiko insolvency (ketidakmampuan membayar hutang) akibatnya rating obligasi perusahaan tersebut akan semakin baik. Proksi ROA (Return on Asset Ratio) yaitu mengukur tingkat pengembalian dari bisnis atas seluruh aset yang ada, atau rasio ini menggambarkan efisiensi pada dana yang digunakan dalam perusahaan. Oleh karena itu, sering pula rasio ini disebut ROA. Semakin tinggi
ROA, berarti perusahaan semakin mampu menggunakan aset dengan baik untuk memeroleh keuntungan. 2.1.6 Pertumbuhan perusahaan Pertumbuhan perusahaan dinyatakan sebagai pertumbuhan total aset dimana total aset masa lalu akan menggambarkan profitabilitas yang akan datang dan pertumbuhan yang akan datang (Maharti, 2010). Pertumbuhan aset menggambarkan pertumbuhan aktiva perusahaan yang akan mempengaruhi profitabilitas perusahaan. (Restuti, 2007) menyatakan pertumbuhan perusahaan adalah perubahan (penurunan atau peningkatan) total aktiva yang dimiliki oleh perusahaan. Pertumbuhan aset dihitung sebagai persentase perubahan aset pada saat tertentu terhadap tahun sebelumnya. Berdasarkan definisi di atas dapat dijelaskan pertumbuhan perusahaan merupakan perubahan total aset baik peningkatan maupun penurunan yang dialami oleh perusahaan selama satu periode (satu tahun). Pertumbuhan perusahaan pada dasarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu eksternal, internal, dan pengaruh iklim industri lokal. 1) Pertumbuhan dari luar (eksternal growth) Merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan perusahaan yang berasal dari luar dimana perusahaan tidak memiliki kekuatan untuk menentukan atau mempengaruhi misalnya harga, keadaan politik suatu negara atau daerah, karakteristik masyarakat, dan keadaan cuaca. Secara umum bila pengaruh dari luar berpengaruh positif, maka dapat meningkatkan peluang perusahaan untuk semakin bertumbuh dari waktu ke waktu. 2) Pertumbuhan dari dalam (internal growth) Yaitu faktor-faktor pertumbuhan yang berasal dari dalam perusahaan. Jadi perusahaan memiliki pengaruh dan kekuatan untuk mempengaruhinya demi kemajuan perusahaan,
antara lain besar modal serta proporsi kepemilikannya apakah dalm bentuk joint venture, perusahaan tertutup, perusahaan terbuka atau dari modal asing atau dalam negeri, jumlah tenaga kerja, teknologi, jumlah pabrik yang ada. 3) Pertumbuhan karena pengaruh dari iklim dan situasi usaha lokal Iklim usaha lokal dimana perusahaan tersebut beradasangat mempengaruhi baik kinerja maupun pertumbuhan perusahaan dari waktu ke waktu. Faktor-faktor penentunya antara lain adalah keadaan daerah, bagaimana akses dan penyediaan infrastruktur pendukung kegiatan usaha yang disediakan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Jika infrastruktur dan iklim usaha mendukung usaha tersebut maka pertumbuhan perusahaan akan terlihat baik dari waktu ke waktu. Perusahaan yang memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi cenderung membutuhkan dana dari sumber ekstern yang lebih besar. Untuk memenuhi kebutuhan dana dari luar, perusahaan dihadapkan pada pertimbangan sumber dana yang lebih murah. Sumber dananya yaitu dengan menerbitkan surat hutang lebih disukai dibandingkan dengan mengeluarkan saham baru karena biaya emisi saham baru lebih besar daripada biaya hutang. Pottier dan Sommer (1997) berpendapat pertumbuhan perusahaan yang kuat berhubungan positif dengan keputusan pemeringkatan dan grade yang diberikan oleh pemeringkat obligasi. Pada umumnya dengan pertumbuhan perusahaan yang baik akan memberikan peringkat yang investment grade dan mengindikasikan prospek kinerja cash flow masa datang dan meningkatkan nilai ekonomi. Investor dalam memilih investasi pada obligasi sebaiknya melihat pengaruh pertumbuhan perusahaan karena apabila petumbuhan perusahaan dinilai baik maka perusahaan penerbit obligasi akan memiliki peringkat obligasi investment grade (Adhisyahfitri dan Ikhsan, 2012).
2.1.7 Jaminan Tingkat risiko yang terkandung dalam sebuah obligasi dipengaruhi oleh jaminan. Jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban. Berdasarkan hal tersebut, obligasi dibedakan atas obligasi yang dijamin dan tidak dijamin. Jaminan yang diberikan menimbulkan dua sifat jaminan yaitu hak jaminan yang bersifat umum, yaitu jaminan yang diberikan oleh debitur kepada kreditur, tanpa memberikan hak saling mendahului (konkuren) antara kreditur yang satu dengan kreditur lainnya. Dan hak jaminan yang bersifat khusus, yaitu jaminan yang diberikan oleh debitur kepada kreditur, dengan memberikan hak mendahului dari kreditur lainnya, sehingga berkedudukan sebagai kreditur privillege (preferent). Wydia dan Andry (2005) menyatakan debenture atau unsecured bond adalah suatu obligasi yang tidak dijamin dengan kekayaan tertentu tetapi dengan kekayaan penerbitnya secara umum. Sedangkan corporate bond mempunyai klaim umum atas aset bisnis dari perusahaan, aset penjamin obligasi memegang prioritas klaim yang paling tinggi atas aset spesifik dari penerbit. Apabila obligasi dijamin dengan aset yang bernilai tinggi, maka rating pun akan membaik. Obligasi dengan jaminan yaitu obligasi yang harus disertai dengan jaminan aktiva tertentu, misalnya mortage bond yang dijamin dengan bangunan atau aktiva lain atau collateral bond yang dijamin dengan surat-surat berharga milik perusahaan lain yang dimiliki. Jenis obligasi tanpa jaminan adalah junk bond yaitu obligasi yang memiliki tingkat bunga dan memiliki tingkat resiko kredit yang besar. Brister, (1994) mengatakan obligasi dengan jaminan (secured bond) memiliki asset khusus untuk dijadikan jaminan atas penerbitan obligasi tersebut. Obligasi yang dijamin dengan asset khusus yang disisihkan untuk melunasi obligasi itu disebut obligasi dana pelunasan (sinking fund
bond). Obligasi tanpa jaminan (unsecured bond) diterbitkan melalui kredit umum peminjam. Obligasi tersebut, yang dinamakan debenture bond, digunakan oleh perusahaan besar yang memiliki peringkat kredit yang baik. Secara umum investor akan lebih menyukai obligasi yang dijamin dibandingkan dengan obligasi yang tidak dijamin. Jika aset perusahaan dijaminkan untuk obligasi, maka rating obligasi pun akan membaik sehingga obligasi tersebut dapat dikatakan aman. Apabila obligasi dijamin dengan aset yang bernilai tinggi, maka rating obligasi akan semakin membaik.
2.2 Hipotesis Penelitian 2.2.1 Pengaruh Leverage terhadap Peringkat Obligasi Maylia (2007) mengungkapkan bahwa leverage menujukkan proporsi penggunaan utang untuk membiayai investasi terhadap modal yang dimiliki. Rendahnya nilai rasio leverage dapat diartikan hanya sebagian kecil asset didanai dengan utang dan semakin kecil risiko kegagalan perusahaan. Perusahaan yang tidak mempunyai leverage berarti menggunakan modal sendiri 100%. Linandarini (2010) perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi cendrung memiliki kemampuan yang rendah dalam memenuhi kewajibannya. Semakin tinggi leverage berarti semakin besar aset didanai dari hutang. Kondisi tersebut menyebabkan perusahaan diharapkan pada default risk atau peringkat obligasi yang rendah. Semakin tinggi leverage, semakin besar risiko kegagalan perusahaan. Semakin rendah laverage perusahaan semakin baik peringkat yang diberikan terhadap perusahaan (Herwidi 2005:28 dalam Magreta dan Nurmayanti, 2009). Manurung, et al (2008) menyatakan bahwa leverage berpengaruh negatif terhadap rating obligasi. Semakin rendah nilai rasio, maka semakin kecil aktiva yang didanai dengan utang. Tingkat leverage yang tinggi kurang baik karena tanggungan beban bunga utang. Apabila tingkat
leverage yang tinggi (extreme leverage) menyebabkan perusahaan tidak mampu melunasi seluruh kewajibannya (termasuk obligasi), maka peringkat obligasi perusahaan menjadi kurang baik. Berdasarkan hasil penelitian empiris dan teori yang mendukung mengenai hubungan dua variabel di atas, maka hipotesis penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut : H1: Leverage perusahaan berpengaruh negatif signifikan terhadap peringkat obligasi 2.2.2 Pengaruh Profitabilitas terhadap Peringkat Obligasi Susan Irawati (2006:58) mengatakan rasio profitabilitas adalah rasio yang digunakan untuk mengukur efisiensi penggunaan aktiva perusahaan atau merupakan kemampuan suatu perusahaan untuk menghasilkan laba selama periode tertentu untuk melihat kemmapuan perusahaa
dalam beroperasi secara efisien. Hanafi dan Halim (2003) menyatakan analisis
profitabilitas bisa digunakan sebagai pelengkapan analisis risiko, karena kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan mencerminkan kemampuan perusahaan memperoleh aliran kas masuk. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa rasio profitabilitas adalah rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat efektifitas perusahaan dalam menghasilkan laba dalam periode tertentu. Purwaningsih (2008) menyatakan semakin tinggi tingkat profitabilitas, maka semakin rendah risiko ketidakmampuan membayar atau deflult risk. Semakin tinggi profitabilitas, memungkinkan perusahaaan memperoleh peringkat yang semakin tinggi (brotman & Young, 1998). Mark, Peter & Kin (2001) pengukuran rasio profitabilitas yang diinterpretasikan dengan ROA (Return on Asset Ratio) memberikan pandangan manajemen untuk mengendalikan pengeluaran secara efektif agar memperoleh laba yang maksimal. Hasil penelitian, (Burton & Hardwick, 1998 dalam Raharja & Sari, 2008), Yulianingsih (2011), Magreta dan Nurmayanti (2009) dan Manurung et al. (2008) menyatakan semakin tinggi
tingkat profitabilitas, maka semakin rendah risiko ketidakmampuan membayar atau default risk dan semakin baik peringkat yang diberikan terhadap perusahaan. Berdasarkan hasil penelitian empiris dan teori yang mendukung mengenai hubungan dua variabel di atas, maka hipotesis penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut : H2: Profitabilitas berpengaruh positif signifikan terhadap peringkat obligasi 2.2.3 Pengaruh Pertumbuhan Perusahaan terhadap Peringkat Obligasi Pertumbuhan perusahaan dinyatakan sebagai pertumbuhan total aset dimana total aset masa lalu akan menggambarkan profitabilitas yang akan datang dan pertumbuhan yang akan datang (Taswan, 2003). Almilia dan Devi (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan perusahaan yang kuat memiliki hubungan positif dengan keputusan rating dan grade yang diberikan oleh pemeringkat obligasi. Pada umumnya dengan pertumbuhan perusahaan yang baik akan memberikan peringkat obligasi yang investment grade. Sartono (2001) pertumbuhan perusahaan merupakan kemampuan perusahaan untuk meningkatkan size. Burton dkk (1998) dikutip dalam Sejati (2010) mengungkapkan bahwa pertumbuhan perusahaan merupakan faktor akuntansi yang mempengaruhi prediksi peringkat obligasi, karena pertumbuhan perusahaan yang positif dalam annual surplus dapat mengindikasikan atas dari berbagai kondisi financial. Investor dalam memilih investasi obligasi akan melihat pengaruh pertumbuhan perusahaan, apabila pertumbuhan perusahaan dinilai baik maka perusahaan penerbit obligasi akan memiliki peringkat obligasi investment grade. Hasil penelitian Almilia dan Devi (2007), Burton & Hardwick (1998), Sejati (2010), dan Widya (2005) menyatakan dengan pertumbuhan perusahaan yang baik akan memberikan peringkat obligasi yang investment grade menunjukan hasil bahwa pertumbuhan perusahaan berpengaruh positif signifikan terhadap peringkat obligasi. Berdasarkan hasil penelitian empiris
dan teori yang mendukung mengenai hubungan dua variabel di atas, maka hipotesis penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut : H3: Pertumbuhan perusahaan berpengaruh positif signifikan terhadap peringkat obligasi 2.2.4 Pengaruh jaminan terhadap Peringkat Obligasi Almilia dan Devi (2007) menyatakan tingkat risiko terkandung dalam sebuah obligasi dipengaruhi oleh jaminan. Obligasi dibedakan atas obligasi yang dijamin dan tidak dijamin. Andry (2005) menyatakan debebture atau unsecurend bond adalah suatu obligasi yang tidak dijamin dengan kekayaan tertentu tetapi dengan kekayaan penerbitnya secara umum. Sedangkan corporate bond mempunyai klaim umum atas riset bisnis dari perusahaan, asset penjamin obligasi memegang prioritas klaim yang paling tinggi atas asset spesifik dari penerbit. Brister (1994 dalam Widya, 2005) menyatakan investor akan lebih memilih obligasi dengan jaminan dibanding obligasi tanpa jaminan kerena obligasi dengan jaminan akan lebih kecil risikonya. Jika obligasi dijamin dengan aset yang bernilai tinggi, akan memberikan rasa aman kepada para investor karena perusahaan dapat menyakinkan investor bahwa perusahaan dapat memenuhi pembayaran bunga dan pokok pinjaman dengan baik melalui asset yang dijaminkan tersebut, sehingga risiko gagal bayar yang akan dihadapi oleh investor akan berkurang. Sehingga obligasi yang diberi jaminan akan memberikan peringkat yang tinggi bagi perusahaan. Hasil penelitian Ayyu (2013), Rahmawati (2005), menyatakan perusahaan yang menerbitkan obligasi dengan jaminan akan memperoleh rating yang lebih baik dan investor merasa aman berinvestasi, hal ini menunjukan hasil bahwa jaminan berpengaruh positif signifikan terhadap peringkat obligasi. Berdasarkan hasil penelitian empiris dan teori yang
mendukung mengenai hubungan dua variabel di atas, maka hipotesis penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut : H4: Jaminan perusahaan berpengaruh positif signifikan terhadap peringkat obligasi