BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Teori Sikap dan Perilaku (Theory of Attitude and Behavior) Teori sikap dan perilaku dikembangkan oleh Trinandis (1971), menyatakan bahwa perilaku ditentukan oleh sikap, aturan-aturan sosial dan kebiasaan. Jazen (1985)
dalam Arumsari (2014) menyatakan bahwa sikap dapat dipelajari, sikap
mendefinsikan prediposisi kita terhadap aspek-aspek yang terjadi di dunia, sikap memberikan dasar perasaan bagi hubungan antara pribadi kita dengan orang lain, dan sikap adalah pernyataan evaluatif, baik
yang menguntungkan atau tidak
menguntungkan tentang obyek, orang, atau peristiwa. Perilaku ditentukan untuk apa orang-orang ingin lakukan (sikap), apa yang mereka pikirkan akan mereka lakukan (aturan-aturan sosial), apa yang mereka bisa lakukan (kebiasaan) dan dengan konsekuensi perilaku yang mereka pikirkan (Yulian, 2012). Lebih lanjut dijelaskan sikap sebagai kecenderungan individu untuk berpikir, merasa atau bertindak secara positif atau negatif terhadap objek di lingkungan kita. Sikap juga dapat diposisikan sebagai hasil evaluasi terhadap objek sikap yang diekspresikan ke dalam proses kognitif yaitu keyakinan, komponen afektif yaitu suka dan tidak suka, berkaitan dengan apa yang dirasakan dan komponen perilaku yaitu bagaimana seorang ingin berperilaku terhadap sikap.
Piorina dan Ramantha (2015) menjelaskan perilaku seseorang disebabkan oleh faktor personal. Pengertian faktor personal adalah faktor yang berasal dari dalam diri seseorang. Apabila dikaitkan dengan penelitian ini, faktor personal terdiri atas sikap pengalaman auditor dalam mengudit laporan keuangan, keahlian auditor, serta sikap skeptisisme profesional auditor yang dimiliki auditor terhadap kualitas audit laporan keuangan sehingga peran faktor personal sangat mempengaruhi kepribadian seorang auditor dalam bersikap jujur, teliti, terampil serta tidak memihak dalam pemberian opini terhadap laporan keuangan yang diauditnya. 2.1.2 Auditing Auditing didefinisikan dari ASOBAC (A Statement of Basic Auditing Concepts) adalah sebagai suatu proses sistematis untuk menghimpun dan mengevaluasi bukti-bukti secara obyektif mengenai asersi-asersi tentang berbagai tindakan dan kejadian ekonomi untuk menentukan tingkat kesesuaian antara asersiasersi tersebut dengan kriteria yang telah ditentukan dan menyampaikan hasilnya kepada para pemakai yang berkepentingan (Halim, 2008:1). Mulyadi (2010) dalam Ramdanialsyah (2010) mendefenisikan auditing sebagai suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan. Tujuan utama dari audit adalah untuk memastikan pengguna bahwa laporan keuangan bebas dari bahan salah saji, nilai audit tergantung dari persepsi pihak-pihak
yang berkepentingan yang dinilai dari probabilitas bahwa auditor akan menemukan pelanggaran atau kesalahan dalam sistem pelaporan dan pada probabilitas bahwa auditor akan melaporkan pelanggaran ditemukan atau kesalahan (Al-Khaddash, et al., 2013) Menurut Arrens and Loebbecke (2005) dalam Ashari (2011) mendefinisikan pengertian auditing adalah suatu kegiatan pengumpulan dan penilaian bukti – bukti yang menjadi pendukung informasi kuantitatif suatu entitas untuk menentukan dan melaporkan sejauh mana kesesuaian antara informasi kuantitatif tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan. Audit harus dilakukan oleh institusi atau orang yang kompeten dan independen. Auditing merupakan suatu prosesi bagi auditor yang sangat dibutuhkan spesialisasi tertentu dalam menentukan derajat kualitasnya. Profesi akuntan publik mempunyai kedudukan berbeda dibandingkan profesi lain. Seorang akuntan publik dalam melaksanakan tugasnya dituntut mempunyai derajat keahlian yang memadai (Prastamawati, 2009). 2.1.3 Standar Audit Standar audit mengharuskan auditor untuk menggunakan pertimbangan profesional dan memelihara skeptisisme profesional dalam merencanakan dan melaksanakan audit atas laporan keuangan. Standar audit terbagi atas 4 bagian yaitu prinsip-prinsip umum dan tanggung jawab, penilaian risiko dan respons terhadap risiko yang telah dinilai, atas entitas dan lingkungannya, bukti audit, penggunaan pekerjaan lain, kesimpulan audit dan pelaporan, dan area-area khusus yang kesemuanya terdiri atas 35 butir pernyataan standar audit.
Pada penelitian ini lebih mengacu pada Standar Audit (SA) 200 mengenai Tujuan Keseluruhan Auditor Independen dan Pelaksanaan Suatu Audit Berdasarkan Standar Audit. Terdapat Pasal A18 hingga A22 dalam SA 200 yang mengatur sikap skeptisisme profesional yang harus dimiliki oleh seorang auditor. 2.1.4 Pengalaman Auditor Herman (2009) dalam Ramdanialsyah (2010) menyatakan bahwa pengalaman adalah keseluruhan pelajaran yang dipetik oleh seseorang dari peristiwa-peristiwa yang dialami dalam perjalanan hidupnya. Pengalaman berdasarkan lama bekerja merupakan pengalaman auditor yang dihitung berdasarkan suatu waktu/tahun. Sehingga auditor yang telah lama bekerja sebagai auditor dapat dikatakan sebagai auditor yang berpengalaman (Ramdanialsyah, 2010). Karena semakin lama bekerja sebagai auditor, maka akan dapat menambah dan memperluas pengetahuan auditor dibidang akuntansi dan auditing. Pengalaman merupakan cara pembelajaran yang baik bagi auditor untuk menjadikan auditor kaya akan teknik audit. Semakin tinggi pengalaman auditor, maka semakin mampu dan mahir auditor mengusai tugasnya sendiri maupun aktivitas yang diauditnya (Yulian, 2012). Pengalaman juga membentuk auditor mampu menghadapi dan menyelesaikan hambatan maupun persoalan dalam pelaksanaan tugasnya, serta mampu mengendalikan kecenderungan emosional terhadap pihak yang diperiksa. Choo dan Trotman (1991) memberikan bukti empiris bahwa auditor berpengalaman lebih banyak menemukan item-item yang tidak umum dibandingkan auditor yang
kurang berpengalaman, tetapi antara auditor yang berpengalaman dengan yang kurang berpengalaman tidak berbeda dalam menemukan item-item yang umum. Penelitiaan serupa dilakukan oleh Tubbs (1992), menunjukkan bahwa subyek yang mempunyai pengalaman audit lebih banyak, maka akan menemukan kesalahan yang lebih banyak dan item-item kesalahannya lebih besar dibandingkaan auditor yang pengalaman auditya lebih sedikit. Ananing (2006) dalam Ramdanialsyah (2010) mengatakan bahwa seorang yang memiliki pengalaman kerja yang tinggi akan memiliki keunggulan dalam beberapa hal seperti mendeteksi kesalahan, memahami kesalahan,
dan
mencari
penyebab
munculnya
kesalahan.
Seseorang
yang
berpengalaman memiliki cara berpikir yang lebih terperinci, lengkap, dan sophisticated dibandingkan dengan seseorang yang belum berpengalaman. Pengalaman dalam praktik audit juga harus mensyaratkan asisten junior, yang baru masuk ke dalam karier auditing juga harus memperoleh pengalaman profesionalnya dengan mendapat supervisi yang memadai dan review atas pekerjaannya oleh atasan yang lebih berpengalaman (IAI, 2015). Akuntan publik harus mengikuti perkembangan yang terjadi dalam profesinya serta mempelajari, memahami dan menerapkan ketentuan baru dalam prinsip akuntansi dan standar auditing yang ditetapkan oleh organisasi profesi (Prastamawati, 2009). Oleh karena itu pengalaman auditor telah dipandang sebagai suatu faktor yang penting.
2.1.5 Keahlian Auditor Menurut Sabrina dan Indira (2011) keahlian audit adalah keahlian profesional yang dimiliki oleh auditor sebagai hasil dari pendidikan formal, ujian profesional maupun keikutsertaan dalam pelatihan, seminar, simposium dan lain-lain. Keahlian auditor adalah auditor yang dengan pengetahuan dan pengalaman yang cukup dan eksplisit dapat melakukan audit secara objektif, cermat dan seksama (Ashari, 2011). Trotter dalam Mayangsari (2003) mengartikan keahlian adalah mengerjakan pekerjaan secara mudah, cepat, intuisi, dan sangat jarang atau tidak pernah membuat kesalahan. Prakteknya definsi keahlian sering ditunjukkan dengan pengakuan resmi (official recognition) seperti kecerdasan partner dan penerimaan konsensus (consensual acclamation) seperti pengakuan terhadap seorang spesialis pada industri tertentu, tanpa adanya suatu daftar resmi dari atribut-atribut keahlian (Mayangsari, 2003). Keahlian audit mencakup seluruh pengetahuan auditor akan dunia audit itu sendiri, tolak ukurnya adalah tingkat sertifikasi pendidikan dan jenjang pendidikan sarjana formal (Gusti dan Ali, 2008). Adapun secara umum ada 5 (lima) pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang auditor (Kusharyanti, 2003 dalam Yulian, 2012) menjelaskan bahwa pengetahuan tersebut terbagi menjadi sebagai berikut, pengetahuan pengauditan umum, pengetahuan area fungsional, pengetahuan mengenai isu-isu akuntansi yang paling baru, pengetahuan mengenai industri khusus, dan pengetahuan mengenai bisnis umum serta penyelesaian masalah.
Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu Gusti dan Ali (2008) serta Sabrina dan Indira (2011) menghubungkan antara keahlian audit dengan skeptisisme profesional auditor maka dalam penelitian ini keahlian audit juga akan dijadikan sebagai salah satu variabel independen yang berhubungan dengan skeptisisme profesional auditor 2.1.6 Skeptisisme Profesional Auditor Standar
Profesional
Akuntan
Publik
(SPAP)
tahun
2012
dalam
Kautsarrahmelia (2013) menyatakan skeptisme profesional auditor sebagai suatu sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit. Standar auditing menggambarkan skeptisisme profesional sebagai sikap yang mencakup pikiran pertanyaan dan kesadaran akan kemungkinan penipuan (Bowlin, et al., 2012). Nelson (2009: 4) mendefinisikan skeptisisme profesional sebagai penilaian terhadap tingginya risiko bahwa pernyataan manajemen tidak sepenuhnya benar. Skeptisisme profesional merupakan komponen penting dari pola pikir auditor dan pelatihan sesuai skeptisisme profesional merupakan ciri mutlak dari auditor yang berkualitas (Westermann, et al., 2014). Skeptisisme profesional menunjukkan auditor tidak mudah percaya dan puas dengan bukti yang kurang meyakinkan walaupun menurut anggapannya manajemen adalah jujur (Rusyanti, 2010). Shaub dan Lawrence (1996) mengartikan skeptisisme profesional auditor sebagai berikut “professional scepticism is a choice to fulfill the professional auditor’s duty to prevent or reduce or harmful consequences of another person’s behavior…”. Skeptisme profesional digabungkan ke dalam literatur
profesional
yang
membutuhkan
auditor
untuk
mengevaluasi
kemungkinan
kecurangan material. Selain itu juga dapat diartikan sebagai pilihan untuk memenuhi tugas audit profesionalnya untuk mencegah dan mengurangi konsekuensi bahaya dan prilaku orang lain (Kautsarrahmelia 2013). Seorang auditor yang skeptis, tidak akan menerima begitu saja penjelasan dari klien, tetapi akan mengajukan pertanyaan untuk memperoleh alasan, bukti, dan konfirmasi mengenai objek yang dipermasalahkan (Rusyanti, 2010). Tanpa menerapkan skeptisme profesional, hanya salah saji yang disebabkan oleh kekeliruan saja yang akan ditemukan oleh auditor dan akan sulit untuk menemukan salah saji yang yang disebabkan oleh kecurangan, karena kecurangan biasanya akan disembunyikan oleh pelakunya. 2.1.7 Kualitas Audit De Angelo (1991) dalam Adeniyi dan Mieseigha (2013) mendefinisikan kualitas audit sebagai probabilitas bahwa auditor akan
menemukan dan jujur
melaporkan kesalahan material, kekeliruan dan kelalaian yang terdeteksi dalam sistem akuntansi klien. Rusyanti (2010) mendefenisikan kualitas audit adalah probabilitas seorang auditor atau akuntan pemeriksa menemukan penyelewangan dalam sistem akuntansi suatu unit atau lembaga, kemudian melaporkannya dalam laporan audit. Seorang auditor dituntut untuk dapat menghasilkan kualitas pekerjaan yang tinggi, karena auditor mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap pihakpihak yang berkepentingan terhadap laporan keuangan suatu perusahaan termasuk
masyarakat. Tidak hanya bergantung pada klien saja. Kualitas auditor merupakan hal penting yang harus diperhatikan oleh para auditor dalam proses pengauditan. Hasil penelitian Deis dan Giroux (1992) menunjukkan bahwa Kantor Akuntan Publik (KAP) yang besar akan berusaha untuk menyajikan kualitas audit yang lebih besar dibandingkan dengan KAP yang kecil. Penelitian ini dilakukan atas empat hal yang dianggap mempunyai hubungan kualitas audit yaitu (1) lama waktu auditor telah melakukan pemeriksaan terhadap suatu perusahaan, semakin lama seorang auditor telah melakukan audit pada klien yang sama maka kualitas yang dihasilkan akan semakin rendah, (2) jumlah klien, semakin banyak jumlah klien maka kualitas audit akan semakin baik karena auditor dengan jumlah klien yang banyak akan berusaha menjaga reputasinya, (3) kesehatan keuangan klien, semakin sehat kondisi keuangan klien maka akan ada kecenderungan klien tersebut untuk menekan auditor agar tidak mengikuti standar, dan (4) review oleh pihak ketiga, kualitas audit akan meningkat jika auditor tersebut mengetahui bahwa hasil pekerjaannya akan direview oleh pihak ketiga. 2.2 Hipotesis Penelitian 2.2.1 Pengaruh Pengalaman Auditor terhadap Skeptisisme Profesional Auditor Oktania dan Suryono (2013) mengatakan semakin tinggi pengalaman yang dimiliki auditor maka skeptisisme profesional auditornya akan meningkat. Hal tersebut dapat terjadi karena berdasarkan pengalamannya, seorang auditor tidak akan mudah percaya terhadap kliennya dan akan selalu memertanyakan laporan keuangan yang disajikan oleh kliennya serta akan selalu bersikap hati-hati dalam mengerjakan
tugasnya. Pernyataan di atas didukung pula dengan hasil penelitian dari Pramudita (2012), Paulus (2013) serta Winantyadi dan Waluyo (2014) yang menunjukkan adanya pengaruh positif antara pengalaman terhadap skeptisisme profesional auditor. Semakin lama pengalaman seorang auditor maka akan semakin tinggi skeptisisme profesional auditor. Berdasarkan penjelasan diatas, maka hipotesis yang dapat diajukan sebagai berikut. H1: Pengalaman auditor berpengaruh positif terhadap skeptisisme profesional auditor. 2.2.2 Pengaruh Pengalaman Auditor pada Kualitas Audit Seorang auditor akan lebih mudah untuk mendeksi kesalahan maupun kecurangan yang terkandung dalam laporan keuangan kliennya apabila auditor tersebut memiliki pengalaman yang cukup dalam bidang audit, dengan pengalaman yang dimilikinya maka auditor akan mampu untuk menghasilkan kualitas audit yang baik jika dibandingkan dengan auditor yang tidak memiliki pengalaman dalam bidang audit. Menurut hasil penelitian Ramdanialsyah (2011) menunjukkan bahwa pengalaman auditor mempunyai pengaruh signifikan terhadap kualitas audit. Hal tersebut didukung pula dengan hasil penelitian Ika (2011), Nurmalita (2011) dan Agustin (2013) yang menunjukkan bahwa pengalaman auditor berpengaruh positif terhadap kualitas audit. Maka dari penjelasan diatas dapat diajukan hipotesis sebagai berikut. H2: Pengalaman auditor berpengaruh positif pada kualitas audit.
2.2.3 Pengaruh Keahlian Auditor terhadap Skeptisisme Prifesional Auditor Keahlian yang dimiliki oleh auditor dapat membuat skeptisme yang dimiliki oleh auditor menjadi meningkat. Hal tersebut dikarenakan dengan keahlian yang dimilikinya, seorang auditor dapat menggunakan pengetahuan, keterampilan serta kompetensi yang dimilikinya untuk mendeteksi salah saji maupun kecurangan yang terkandung dalam laporan keuangan klien sehingga auditor tersebut akan cenderung untuk bersikap hati-hati atau selalu memertanyakan laporan keuangan kliennya. Hipotesis ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh (Winantyadi dan Waluyo, 2014), Oktania dan Suryono (2013) dan Paulus (2013) yang menyatakan bahwa keahlian auditor memiliki hubungan yang signifikan terhadap skeptisisme profesional auditor. H3: Keahlian auditor berpengaruh positif terhadap skeptisisme profesional auditor. 2.2.4 Pengaruh Keahlian Auditor pada Kualitas Audit Keahlian yang diperlukan dalam proses audit tidak hanya berupa penguasaan terhadap standar akuntansi dan auditing, namun penguasaan terhadap objek audit juga harus dimiliki oleh serang auditor. Auditor juga dituntut untuk menguasai disiplin ilmu lain yang mendukung pekerjaannya dan mempunyai keterampilan dalam berhubungan dengan orang lain dan berkomunikasi secara efektif (Sari, 2014). Ashari (2011) dan Riharna (2013) mengatakan auditor yang memiliki keahlian akan menghasilkan audit yang berkualitas dibandingkan dengan auditor yang tidak meiliki keahlian, karena dengan keahlian yang dimilikinya seorang auditor dapat menyelesaikan tugasnya secara profesional, sehingga akan menghasilkan audit yang
berkualitas tinggi. Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut. H4: Keahlian auditor berpengaruh positif pada kualitas audit. 2.2.5 Pengaruh Skeptisisme Profesional Auditor pada Kualitas Audit Seorang auditor yang skeptis, tidak akan menerima begitu saja penjelasan dari klien, tetapi akan mengajukan pertanyaan untuk memperoleh alasan, bukti, dan konfirmasi mengenai objek yang dipermasalahkan (Rusyanti, 2010). Auditor dituntut untuk selalu cermat dan seksama dalam menggunakan kemahiran profesionalnya. Skeptisisme perlu diperhatikan oleh auditor profesional agar hasil pemeriksaan laporan keuangan dapat dipercaya oleh orang yang membutuhkan laporan tersebut (Ayu dan Lely, 2015). Hasil penelitian Queena (2012) serta Ayu dan Lely (2015), menunjukkan skeptisisme profesional auditor berpengaruh positif terhadap kualitas audit. Kondisi ini menggambarkan bahwa semakin tinggi tingkat skeptisisme profesional yang dimiliki auditor, maka kualitas audit yang dihasilkan akan semakin baik. Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut. H5: Skeptisisme profesional auditor berpengaruh positif pada kualitas audit. 2.2.6 Pengaruh Pengalaman Auditor pada Kualitas Audit melalui Skeptisisme Profesional Auditor Skeptisme profesional adalah faktor penting yang harus dimiliki oleh seorang auditor dalam menilai secara kritis bukti-bukti audit. Fitriany dan Hafifah (2012) telah membuktikan dalam penelitiannya bahwa salah satu faktor yang dapat meningkatkan skeptisme profesional auditor adalah banyaknya pengalaman audit
karena dengan penglaman yang dimilikinya seorang auditor dapat melakukan tugasnya dengan lebih berhati-hati dan cermat, sehingga dapat menghasilkan kualitas audit yang baik. Rusyanti (2010) menunjukkan bahwa sikap skeptis berpengaruh terhadap kualitas audit. Penelitian lainnya juga menyatakan sikap skeptisme berpengaruh positif dan signifikan pada kualitas audit (Piorina dan Ramantha, 2015). Berdasarkan pemaparan diatas dapat diajukan hipotesis sebagai berikut. H6: Pengalaman auditor berpengaruh pada kualitas audit melalui skeptisisme profesional auditor. 2.2.7 Pengaruh Keahlian Auditor pada Kualitas Audit melalui Skeptisisme Profesional Auditor Ashari (2011) mengatakan keahlian yang baik/tinggi akan berpengaruh terhadap kualitas audit yang baik/tinggi, demikian sebaliknya bila keahlian rendah/buruk maka kualitas audit akan rendah/buruk. Auditor yang memiliki keahlian yang diperoleh dari beberapa seminar atau pelatihan-pelatihan dalam hal pengauditan, sehingga mempengaruhi auditor untuk memiliki sikap skeptisisme profesional auditor (Ayu dan Lely, 2015). Auditor yang memiliki keahlian dapat melaksanakan tugas sesuai dengan standar dan mematuhi etika profesi yang telah ditetapkan serta keahlian teknis yang memadai (Pangestika dkk, 2014). Dengan keahlian yang memadai dan memiliki sikap skeptisisme profesional maka diharapkan auditor dapat memberikan kualitas audit yang baik. Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut. H7: Keahlian auditor berpengaruh pada kualitas audit melalui skeptisisme profesional auditor.