BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Pengertian Percaya Diri Sikap dan perilaku manusia sangatlah dipengaruhi oleh kondisi perasaannya, salah satunya adalah sikap percaya diri. Menurut Santrock (2002) percaya diri yang rendah berhubungan dengan proses belajar seperti prestasi rendah, kehidupan keluarga yang sulit, atau dengan kejadian kejadian yang membuat tertekan, masalah yang muncul dapat menjadi lebih meningkat. Dirjen PAUDNI (2012) menjelaskan percaya diri adalah sikap yang menunjukkan memahami kemampuan diri dan nilai harga diri. Hal ini berarti bahwa percaya diri seseorang akan muncul apabila anak dapat memahami dirinya sendiri serta melakukan sesuatu hal sesuai dengan nilai harga diri yang dimilikinya. Hal ini sejalan dengan pendapat Lauster (2002) yang menjelaskan bahwa kepercayaan diri merupakan suatu sikap atau keyakinan atas kemampuan diri sendiri sehingga dalam tindakan-tindakannya orang yang bersangkutan tidak terlalu cemas, merasa bebas untuk melakukan hal-hal yang sesuai keinginan dan tanggung jawab atas perbuatannya, sopan dalam berinteraksi dengan orang lain, memiliki dorongan prestasi serta dapat mengenal kelebihan dan kekurangan diri sendiri. Sedangkan orang yang mempunyai kepercayaan diri memiliki ciri-ciri tidak mementingkan diri sendiri (toleransi), tidak membutuhkan dorongan orang lain, optimis dan gembira. Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa percaya diri merupakan suatu sikap atau keyakinan atas kemampuan diri sendiri sehingga dalam tindakan-tindakannya orang yang bersangkutan tidak terlalu cemas, merasa bebas untuk melakukan hal-hal yang sesuai keinginan dan tanggung jawab atas perbuatannya, sopan dalam berinteraksi dengan orang lain, memiliki dorongan prestasi serta dapat mengenal kelebihan dan kekurangan diri sendiri.. Percaya diri juga memiliki arti sebagai sikap atau 6
7
keyakinan atas kemampuan diri sendiri sehingga dalam tindakan-tindakannya orang yang bersangkutan tidak terlalu cemas, merasa bebas untuk melakukan hal-hal yang sesuai keinginan dan tanggung jawab atas perbuatannya, sopan dalam berinteraksi dengan orang lain, memiliki dorongan prestasi serta dapat mengenal kelebihan dan kekurangan diri sendiri. a. Aspek Percaya Diri Preston (2007) mengungkapkan ada 5 aspek pembangun percaya diri yaitu: 1) self-awareness (kesadaran diri), berarti memahami dan mengenal tentang kondisi diri sendiri dalam hal kebenaran tentang diri, 2) intention (niat) berarti memiliki kemampuan membuat suatu komitmen, 3) thinking (berfikir positif rasional) berarti memiliki kemampuan berpikir menggunakan akal secara logis, 4) imagination (imajinasi) berarti membayangkan diri secara positif dan berfikir kreatif pada saat akan bertindak, dan 5) act (bertindak) berati mengeksekusi tindakan untuk menampakkan percaya diri. Sedangkan menurut Lauster (2002) orang yang mempunyai rasa percaya diri yang tinggi pada umumnya mudah bergaul secara fleksibel, mempunyai toleransi yang cukup baik, bersikap positif, dan tidak mudah terpengaruh orang lain dalam bertindak serta mampu menentukan langkahlangkah dalam menyelesaikan suatu masalah. Tipe-tipe orang yang mempunyai rasa percaya diri tinggi akan terlihat lebih tenang, tidak merasa takut, dan mampu memperlihatkan kepercayaan dirinya setiap saat. Selain itu, orang yang mempunyai rasa percaya diri yang besar, dia yakin dengan kemampuan yang dia miliki, sehingga dia percaya bahwa dia bisa melakukan suatu hal dengan segala kemampuan yang dia milki. Ia menyebutkan bahwa aspek-aspek yang terkandung dalam kepercayaan diri antara lain: 1. Ambisi, merupakan dorongan untuk mencapaihasil yang diperlihatkan kepada orang lain. Orang yang percaya diri cenderung memiliki ambisi yang tinggi. Mereka selalu berpikiran positif dan berkeyakinan positif bahwa mereka mampu.
8
2. Mandiri, individu yang mandiri adalah individu yang tidak tergantung pada individu lain karena mereka merasa mampu menyelesaikan segala tugasnya dan tahan terhadap tekanan 3. Optimis, individu yang optimis akan berpikiran positif selalu beranggapan akan berhasil, yakin dan dapat menggunakan kemampuan dan kekuatannya secara efektif dan terbuka. 4. Peduli, tidak mementingkan diri sendiri tetapi juga selalu peduli pada orang lain 5. Toleransi, sikap toleransi adalah sikap maumenerima pendapat dan perilaku orang lain yang berbeda dengan dirinya. Dari kedua pendapat kedua ahli diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa aspek percaya diri yaitu terdiri dari ambisi, mandiri, toleransi, optimis, dan peduli. b. Pentingnya Percaya Diri untuk Anak Usia Dini Berdasarkan studi yang dilakukan Haydar, Avcu &Isiclar (2010) percaya diri memiliki dampak yang sangat baik pada saat seseorang mengekspresikan diri selama hubungan interpersonal dan membuat hubungan dengan orang lain. Bertindak tanpa percaya diri dapat menyebabkan isolasi atau penafsiran dari seorang individu dari masyarakat. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa sikap percaya diri adalah hal yang sangat penting bahkan percaya diri muncul sejak manusia dilahirkan, tetapi percaya diri ini akan berubah sejak anak mulai berkembang. Berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa percaya diri perlu dikembangkan sejak dini. Hal ini sejalan dengan Studi Yoruku (Haydar, Avcu &Isiclar, 2010) yang meneliti bahwa selama periode bermain (0-2 tahun), anak menunjukkan kebebasan dan
kreativitasnya.
Pada
periode
ini,
persahabatan
mengembangkan anak dalam belajar tentang pentingnya hubungan sosial. Selain itu dalam periode ini, hubungan anak dengan temantemannya memiliki dampak besar pada perkembangan sosialnya.
9
Anak-anak yang tidak menghabiskan cukup waktu dengan temantemannya akan cenderung malu dan mudah untuk curiga, apabila hal ini dibiarkan anak akan menjadi kurang percaya diri. Menurut Lindenfield (1997), tahapan percaya diri anak usia 5-6 tahun yakni mencoba menguasai lingkungan dan mempertahankan diri menguji ingatan baru dan keterampilan pemahaman, bereksperimen dengan peran gender, berlaku aktif dan mulai mencari teman. Rasa percaya diri anak sangat dipengaruhi bagaimana orangtua ataupun pendidik dalam menumbuhkan rasa tersebut. Ketika anak dari kecil sudah dibiasakan untuk tampil, tidak banyak larangan, motivasi, dan banyak kesempatan, maka anak akan tumbuh dengan rasa percaya diri yang tinggi, tetapi sebaliknya ketika anak tidak diberikan kesempatan, selalu banyak larangan, dan kurang motivasi, maka anak akan tumbuh dengan rasa percaya diri yang kurang, sosialisai dengan orang lain pun sedikit sulit. Menurut Dirjen PAUDNI (2012) terdapat sembilan indikator nilai percaya diri, yaitu 1) berani menyatakan pendapatnya; 2) berani bertanya dan menjawab pertanyaan; 3) bangga dengan dirinya; 4) berani melakukan sesuatu tanpa bantuan; 5) berani mencoba hal yang baru; 6) mau melakukan
tantangan
dan
tidak
mudah
menyerah;7)
berani
mempertahankan apa yang dipahami; 8) ingin tampil menjadi juara; 9) bangga terhadap hasil karya. Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa percaya diri sangatlah penting dikembangkan sejak dini, karena sikap percaya diri dapat menunjang perkembangan sosial anak yang dapat berpengaruh terhadap perkembangan yang lain, baik itu kognitif, fisik motorik, bahasa, sosial emosi, dll. Diharapkan dengan mengembangkan sikap percaya diri sejak dini anak akan dapat menjadi berani dan mampu melakukan segala sesuatu sesuai dengan apa yang diyakininya tanpa memiliki rasa ragu ataupun cemas.
2. Pengertian Sosial Ekonomi
10
Keluarga merupakan lembaga sosial pertama yang dikenal oleh anak dan dalam keluarga ini dapat ditanamkan sikap-sikap yang dapat mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya. Keluarga bertanggung jawab menyediakan dana untuk kebutuhan pendidikan anak. Keluarga (orangtua) yang keadaan sosial ekonominya tinggi tidak akan banyak mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sekolah anak. Berbeda dengan orangtua yang keadaan sosial ekonominya rendah akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sekolah anaknya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bradley dan Cordwyn
(2002)
bahwa
status
sosial
ekonomi
adalah
salah
satu
konstruksiyang paling banyak dipelajari dalam ilmu sosial. Beberapa cara mengukur status sosial ekonomi telah diusulkan tetapi kebanyakan mencakup beberapa kuantifikasi pendapatan keluarga, pendidikan orang tua, dan status pekerjaan. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa status sosial ekonomi dikaitkan dengan berbagai macam kesehatan, kognitif, dan hasil sosio emosional pada anak-anak, dengan efek mulai sebelum kelahiran dan terus menjadi dewasa. Pada realitanya status sosial ekonomi memang tidak selamanya membuat anak menjadi kurang percaya diri,tetapi dengan rendahnya tingkat ekonomi suatu keluarga hal ini dapat mempengaruhi kepercayaan diri anak. Hal ini juga sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Bradley dan Cordwyn (2002) bahwa meskipun hubungan antara sosial ekonomi dan perkembangan emosi anak adalah tidak sekonsisten hubungan dengan pencapaian kognitif, ada bukti substansial bahwa anak-anak tingkat sosial ekonomi rendah lebih sering mengalami gejala nyata dari gangguan
kejiwaan dan fungsi sosial
daripada anak-anak dari keadaan yang lebih makmur. Berdasarkan hasil penelitian dari Earls dan Richman (Bradley dan Cordwyn, 2002) menyebutkan bahwa pada anak usia dini, ada sedikit bukti dari hubungan antara tingkat sosial ekonomi dan kesejahteraan sosial emosi. Namun pada penelitian Achenbach, Duncan, McLeod, dan Shanahan (Bradley dan Cordwyn, 2002) menyebutkan bahwa hubungan antara sosial ekonomi dan sosial emosi muncul
11
pada anak usia dini dan menjadi cukup konsisten (terutama untuk eksternalisasi masalah) di tengah masa. Selain itu berdasarkan studi yang telah dilakukan oleh Pratisto (2014) menjelaskan perkembangan sosial anak juga dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah tingkat status sosial ekonomi dalam keluarga. Hal ini berpengaruh terhadap perkembangan anak secara keseluruhan, karena Jika anak hidup dalam keluarga miskin, kebutuhan pokok anak kurang terpenuhi, sehingga kesehatan anak terganggu serta belajar anak juga akan terganggu. Akibat yang lain anak selalu dirundung kesedihan sehingga anak merasa minder dengan teman-temannya yang lain. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Suryawati (2005), ciri-ciri kelompok (penduduk) dengan sosial ekonomi yang rendah yaitu: 1) rata-rata tidak mempunyai faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, peralatan kerja, dan keterampilan, 2) mempunyai tingkat pendidikan yang rendah, 3) kebanyakan bekerja atau berusaha sendiri dan bersifat usaha kecil (sektor informal), setengah menganggur atau menganggur (tidak bekerja), 4) kebanyakan berada di pedesaan atau daerah tertentu perkotaan (slum area), dan 5) kurangnya kesempatan untuk memperoleh (dalamjumlah yang cukup): bahan kebutuhan pokok, pakaian, perumahan, fasilitas kesehatan, air minum, pendidikan, angkutan, fasilitas komunikasi, dan kesejahteraan sosial lainnya. Dari paparan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kondisi sosial ekonomi keluarga yang rendah yaitu kondisi keluarga yang memiliki penghasilan di bawah UMK (Upah Minimum Karyawan), sehingga dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari masih dirasa kurang/hanya cukup untuk dipakai makan sehari-hari saja. Hal ini sangat berpengaruh/berbanding lurus dengan sikap percaya diri pada anak, hal ini terlihat bahwa ketika kondisi sosial ekonomi keluarga yang semakin rendah maka hal tersebut mengakibatkan kebutuhan anak menjadi kurang terpenuhi, baik kebutuhan yang sifatnya menunjang sekolah maupun yang berhubungan dengan kesehatan. Keadaan ekonomi yang rendah ini tentu sangat mempengaruhi cara
12
berifikir anak dalam berinteraksi maupun bergaul dengan teman sebayanya menjadi minder, apabila hal ini terjadi secara terus menerus maka sikap percaya diri anak juga akan menjadi rendah. Namun juga tidak menutup kemungkinan bahwa anak yang berada pada kondisi keluarga sosial ekonomi rendah akan memiliki sikap percaya diri yang tinggi. 3. Pengertian Assertive Training Corey (2009) menjelaskan bahwa assertive training (latihan asertif) merupakan penerapan latihan tingkah laku dengan sasaran membantu individu-individu dalam mengembangkan cara-cara berhubungan yang lebih langsung dalam situasi-situasi interpersonal. Hal ini sesuai dengan pendapat Bishop (1999) memaparkan bahwa asertivitas akan mengembangkan kepercayaan diri dan kemampuan diri dalam menilai, berpendapat dan menghormati orang lain. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa adanya penerapan assertive training yang dihasilkan akan memberikan kepraktisan bagi guru dalam mengembangkan aspek pribadi anak untuk menjadi anak yang lebih percaya diri bagi dirinya dan mampu tampil lingkungan sosialnya. Field, Flower, dan Paulson (Zappe dan Eipsten, 1987) menjelaskan juga bahwa assertive training dalam pengaturan kelompok telah menjadi populer juga sebagai alat yang efektif untuk mengurangi gejala pasif, rendah diri, kecemasan interpersonal, dan perilaku agresif. Menurut Lange (Zappe dan Eipsten, 1987),
menjelaskan bahwa
assertive training umumnya lebih efektif daripada pelatihan individu. Dengan adanya pelatihan ini anak jauh lebih memiliki kesempatan untuk melakukan interaksi yang berbeda dengan pelatihan secara individual. Selain itu, semuanya dipraktekkan sehingga menuntut individu untuk berperan aktif dalam pelatihan tersebut. Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan assertive training adalah suatu pelatihan tingkah laku yang dapat dikolaborasikan dengan berbagai macam teknik yang dirancang untuk membantu dalam membimbing individu berinteraksi atau menyesuaikan diri dengan orang lain sehingga individu mampu mengembangkan, menyatakan serta mengekspresikan
13
perasaan, pikiran serta tindakan secara bebas tanpa mengganggu orang lain ataupun membuat orang lain merasa terancam. a. Aspek-aspek Assertive Training Konten yang terdapat pada panduan assertive training adalah berupa tahapan melalukan assertive training yang merupakan aspek-aspek pokok dari asertivitas yang diadaptasi dari aspek-aspek penting dalam kegiatan pelatihan asertivitas yang disesuaikan dengan 2 pendapat ahli yaitu Townend (2007) dan Bishop (1999) diantaranya adalah (1) membangun hubungan sosial; (2) ketrampilan untuk menyatakan gagasan atau keinginan dan penolakan; (3) ketrampilan mendengarkan; (4) memiliki kesadaran diri untuk menghargai keadaan diri dan orang lain; (5) ketrampilan menghadapi situasi dan orang yang sulit; (6) memiliki ketrampilan komunikasi non-verbal; (7) berpikir positif; (8) tingkat kejelasan dalam berkomunikasi. Beberapa aspek dari pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa semua aspek yang terkandung dalam assertive training diatas merupakan poin-poin yang penting dan dapat membantu anak menumbuhkan pengembangan pribadi dan sosialnya, antara lain menumbuhkan percaya diri dalam bersosial dengan teman-temannya, melatih untuk menguatkan relationship dalam lingkungannya, melatih komunikasi efektif dalam situasi interpersonal. b. Manfaat Assertive Training Menurut pendapat Corey (2009), manfaat assertive training yaitu membantu bagi orang-orang yang: 1) tidak mampu mengungkapkan kemarahan dan perasaan tersinggung, 2) menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya, 3) memiliki kesulitan untuk mengatakan “tidak” , 4) mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respon-respon positif lainnya, 5) merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri.
14
Assertive training ini efektif dalam mengembangkan kepercayaan diri. Hal ini didukung dengan adanya studi yang telah dilakukan oleh Makinde & Akinteye (2014), dalam penelitian tersebut mebuktikan bahwa assertive training dapat mengembangkan harga diri individu, yang dimana didalam penelitian tersebut menjelaskan bahwa semakin tinggi harga diri individu semakin tinggi pula tingkat percaya dirinya. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Bishop (1999), bahwa assertive training
dapat
mengembangkan percaya diri dan kemampuan diri dalam menilai, berpendapat dan menghormati orang lain. Percaya diri merupakan komponen bagi individu yang asertif, individu yang asertif memiliki kemampuan
berkomunikasi
secara
tegas,
dapat
mengemukakan
gagasan/pendapatnya dihadapan orang lain, mampu mengembangkan potensi dan kelebihannya serta memiliki kemampuan bersosial dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Townend (2007), bahwa orang yang berperilaku asertif memiliki kepercayaan diri dan harga diri yang cukup atas dirinya dan orang lain. Dari beberapa pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa assertive training ini efektif untuk mengembangkan percaya diri anak, sehingga peneliti menggunakan assertive training ini sebagai salah satu treatment untuk mengembangkan percaya diri anak usia 5-6 tahun pada keluarga sosial ekonomi rendah. Peneliti memberikkan assertive training sejumlah 6 perlakuan yang berpedoman pada jurnal internasional yang berjudul Effect of Mentoring and Assertiveness Training on Adolescents Self-Esteem in Lagos State Secondary Schools. Berdasarkan jurnal tersebut menjelaskan bahwa perlakuan yang diberikan adalah sejumlah 6 kali pertemuan yang didalam materi pertemuan tersebut saling berkaitan sehingga dalam penelitian tersebut terbukti dapat meningkatkan percaya diri anak. Seluruh pertemuan tersebut terdapat inti materi yang digunakan untuk penelitian, peneliti
15
menggunakannya dengan cara memodifikasi perlakuan tersebut agar dapat dipahami anak dengan lebih mudah, inti pertemuan tersebut yaitu : 1. Bercerita tentang sikap percaya diri dan asertif kepada anak dan menjelaskan sikap mana yang patut untuk dicontoh. 2. Mengenalkan sikap pasif, agresif, dan asertif melalui video. 3. Cerita bergambar mengenalkan sikap yang dapat menyebabkan ketidaktegasan. 4. Sosio drama dengan tema cara-cara yang dapat digunakan agar menjadi tegas. 5. Bercerita menggunakan gambar/video tentang pentingnya untuk berkata “tidak”. 6. Memutarkan video tentang jenis kritik yang baik dan kritik yang tidak baik.
16 4.
Penelitian yang Relevan Penelitian-penelitian sebelumnya yang dapat dijadikan sebagai acuan atau referensi
dalam penelitian adalah : Tabel 2.1 Penelitian yang relevan No 1
Judul Penelitian Haydar,
dkk.
Analyzing
Persamaan
(2010).
undergraduate
Meneliti
dan
menganalisa
Perbedaan
Keterangan
Meneliti percaya
Penelitian ini saya
diri mahasiswa
gunakan
karena
students’ self confidence
sikap percaya diri
didalam penelitian
levels in terms of some
dan
ini
variables.
mengembangkan
menjelaskan
nya.
tentang
bagaimana
juga
perkembangan kepercayaan
diri
anak. 2
Bradley
&
(2002). status
Cordwyn.
Meneliti
Hanya
Socioeconomic
hubungan anatara
tentang pengaruh
digunakan peneliti
and
status
status
sosial
karena
ekonomi dengan
terhadap
sosial
penelitian tersebut
perkembangan
emosional.
child
development.
sosial
meneliti
Penelitian
juga
ini
didalam
dijelaskan
sosial emosional
bahwa status sosial
anak.
mempengaruhi sosial
emosional
anak
terutame
percaya diri. 3
Makinde
&
Akinteye.
Menggunakan
Meneliti tentang
Penelitian ini saya
(2014). Effect of Mentoring
assertive training
harga diri.
gunakan
and Assertiveness Training
sebagai treatment
didalam penelitian
on
Self-
yang
tersebut
State
dalam penelitian.
Adolescents
Esteem
in
Lagos
digunakan
karena
juga
menjelaskan
Secondary Schools.
bahwa
semakin
tinggi harga diri seseorang akan tinggi
maka semakin
pula
rasa
percaya dirinya.
No
Judul Penelitian
Persamaan
Perbedaan
Keterangan
4
Sert. (2003).The Effect of an
Menggunakan
Meneliti tentang
Penelitian
Assertiveness training on the
assertive training
harga diri.
saya
ini
gunakan
17 assertiveness and self esteem
sebagai
level of 5th grade children.
treatment
karena yang
didalam
penelitian
digunakan dalam
tersebut
penelitian.
menjelaskan bahwa
juga
semakin
tinggi harga diri seseorang maka akan
semakin
tinggi pula rasa percaya dirinya.
Berdasarkan Tabel 2.1 diatas, dapat disimpulkan bahwa pemberian assertive training pada anak sebenarnya sudah dilakukan oleh banyak peneliti terutama oleh konselor. Assertive training ini merupakan salah satu teknik treatment dalam dunia konseling, namun masih sedikit yang menerapkannya pada anak usia dini. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan menggunakan assertive training terhadap kepercayaan diri anak usia 5-6 tahun pada keluarga sosial ekonomi rendah. B. Kerangka Berpikir Percaya diri adalah sebuah sikap atau perilaku dalam menyakini kemampuan dirinya untuk mengerjakan sesuatu dengan mandiri. Ketika anak dari kecil sudah dibiasakan untuk tampil, tidak banyak larangan, motivasi, dan banyak kesempatan, maka anak akan tumbuh dengan rasa percaya diri yang tinggi. Namun, sebaliknya ketika anak tidak diberikan kesempatan, selalu banyak larangan, dan kurang motivasi, maka anak akan tumbuh dengan rasa percaya diri yang kurang, sosialisai dengan orang lain pun sedikit sulit. Berdasarkan realita banyak sekali anak usia 5-6 tahun yang berasal dari keluarga tingkat sosial ekonomi rendah yang memiliki sikap kepercayaan diri yang kurang, keadaan ekonomi yang rendah inilah yang mempengaruhi cara berpikir anak dalam berinteraksi maupun bergaul dengan teman sebayanya menjadi minder, apabila hal ini terjadi secara terus menerus maka sikap percaya diri anak juga akan menjadi rendah., hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak terutama untuk menempuh ke jenjang yang lebih tinggi yaitu sekolah dasar. Berdasarkan realita tersebut perlu adanya sebuah treatment untuk membantu anak dalam menciptakan sikap percaya dirinya ini, yaitu dengan pemberian assertive training. Assertive training merupakan prosedur latihan yang diberikan kepada individu untuk melatih penyesuaian sosialnya dalam mengekspresikan sikap, perasaan, pendapat dan haknya.
18 Pemberian assertive training ini bertujuan agar anak mampu menjadi individu yang percaya diri baik secara aspek pribadi dan sosialnya. Diharapkan dengan pemberian assertive training anak dapat memiliki sikap percaya diri yang lebih baik dari sebelumnya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek dari pemberian assertive training terhadap percaya diri anak. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.2 dibawah ini : Sosial Ekonomi rendah
anak kurang percaya diri
Kelompok Eksperimen
Kelompok Kontrol
Assertive Training
Koopertif learning
anak percaya diri Gambar 2.2 Kerangka Berpikir C. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah pemberian assertive training memberikan efek terhadap kepercayaan diri anak usia 5-6 tahun pada keluarga tingkat sosial ekonomi rendah.