BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat dari tahun ke tahun membutuhkan kebutuhan pangan yang semakin besar. Dalam rangka mencukupi kebutuhan pangan tersebut, Indonesia mencanangkan beberapa program dibidang pertanian. Salah satunya adalah program intensifikasi tanaman pangan. Dari program ini diharapkan produksi pangan meningkat dari luasan lahan yang sudah ada. Program ini tentu ditunjang dengan perbaikan teknologi pertanian. Penggunaan varietas tahan, perbaikan teknik budidaya yang meliputi pengairan, pemupukan, dan pengendalian hama penyakit terus diaktifkan1. Pada awal program intensifikasi, yaitu tahun 1970 sampai 1980, untuk mengatasi masalah hama digunakan berbagai jenis dan formulasi pestisida dengan aneka bahan aktifnya1. Mengingat peranannya yang sangat besar, perdagangan pestisida dewasa ini semakin ramai. Berdasarkan data pencatatan dari Badan Proteksi Lingkungan Amerika Serikat. Saat ini lebih 2.600 bahan aktif pestisida yang telah beredar dipasaran. Sebanyak bahan aktif tersebut, 575 berupa herbisida, 610 berupa insektisida, 670 berupa fungisida dan nematisida, 125 berupa rodentisida dan 600 berupa disenfektan lebih dari 35 ribu formulasi telah dipasarkan diseluruh dunia2. Keberadaan pestisida saat ini sudah begitu mantap bahkan telah menjadi sistem pertanian di Indonesia. Pemakaian sudah sulit dihindarkan, bahkan saat serangan hama dan penyakit mulai menghebat dan membuat petani panik, pestisida yang sering dijadikan tumpuan harapan petani sebagai dewa penolong1. Penggunaan pestisida dalam bidang pertanian meningkat secara nyata sesuai dengan perkembangan intensifikasi tanaman pangan. Antara tahun 1960–1967 banyak digunakan senyawa organoklorin, seiring perkembangan kebutuhan akan pestisida sebagai pengganti insektisida yang kemudian lebih banyak digunakan adalah golongan organofosfat. Jenis pestisida ini sangat mudah terabsorpsi melalui oral, inhalasi, maupun kulit yang sehat. 3 Sementara itu pengendalian hama dengan cara lain belum mereka kuasai. Pestisida yang harganya bisa dibilang sangat mahal tetapi mereka usahakan untuk membeli. Kondisi ini semakin diperparah dengan ketidakpedulian mereka tentang bahaya pestisida yang bisa meracuni dia dan keluarganya beserta lingkungannya dan akibat lain yang bersifat simultan 1.
Pekerja penjamah pestisida khususnya petani penyemprot mempunyai resiko besar terkena keracunan. Masalah kesehatan pada petani yang diakibatkan pestisida termasuk ke dalam penyakit akibat kerja. Di
Kabupaten
Tegal,
penggunaan
pestisida
sudah
pada
tingkat
ketergantungan, hal ini dibuktikan dari penggunaan pestisida yang semakin banyak atau meningkat. Dari hasil inspeksi sanitasi yang dilakukan oleh sanitarian puskesmas pada kios-kios pestisida diketahui bahwa jenis atau macam serta jumlah pestisida yang diperdagangkan semakin beragam dan meningkat, sehingga dirasa sangat perlu adanya upaya pemantauan secara rutin4. Disisi lain, pestisida adalah bahan beracun dan berbahaya yang apabila tidak dikelola dengan bijaksana dapat menimbulkan dampak negatif, yang mempunyai efek secara langsung ataupun tidak langsung serta berpengaruh terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia4 . Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal pada tahun 2002 telah mengadakan pengukuran di 6 kecamatan, yaitu Desa Kertaharja Kecamatan Kramat, Desa Tuwel Kecamatan Bojong, Desa Sidakaton Kecamatan Dukuhturi, Desa Banjarturi Kecamatan Warurejo, Desa Bersole Kecamatan Adiwerna, Desa Guci Kecamatan Bumijawa. Dari 337 total petani yang diperiksa terdapat 257 petani (76,26%) tidak keracunan, 63 petani (18,69%) keracunan tingkat ringan, 14 petani (4,15%) keracunan tingkat sedang dan 3 petani (0,89%) keracunan tingkat berat5. Dari hasil pemantauan tingkat keracunan pestisida pada darah petani di tahun 2002 ternyata tingkat keracunan berat masih dijumpai sebesar 0,89%. Hal ini berarti masih dijumpai petani penyemprot yang terkena keracunan pestisida. Tahun 2003 Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal mengadakan pemeriksaan kadar cholinesterase pada petani yang ada di 5 Kecamatan yaitu: Desa Sukaraja Kecamatan Warureja, Desa Sokasari Kecamatan Bumijawa, Desa Sidakaton Kecamatan Dukuhturi, Desa Sumingkir Kecamatan Kedungbanteng, Desa Pedeslohor Kecamatan Adiwerna serta karyawan industri pestisida di Kecamatan Slawi. Dari 344 total yang diperiksa terdapat 233 petani (67,73%) tidak keracunan, 100 petani (29,07%) keracunan tingkat ringan, 11 petani (3,02%) keracunan tingkat sedang tetapi terjadi peningkatan pada tingkat keracunan ringan sebesar 8,53%.5
Pada tahun 2003 terdapat keracunan sedang masih dijumpai sebesar 3,20% dan tahun 2004 dilakukan kegiatan pengukuran cholinesterase dengan sasaran 6 Desa, yaitu: Desa Pedeslohor Kecamatan Adiwerna, Desa Sidakaton Kecamatan Dukuhturi, Desa Sumingkir Kecamata Kedungbanteng, Desa Sumbaga Kecamatan Bumijawa, Desa Kaligayam Kecamatan Margasari dan Desa Kandayakan Kecamatan Warureja. Dari 366 petani yang diperiksa terdapat 277 petani (75,68%) tidak keracunan, 67 petani (18,31%) keracunan ringan, 22 petani (6,01%) keracunan sedang untuk keracunan berat tidak ditemukan. Namun terjadi peningkatan pada tingkat keracunan sedang sebesar 2,81%.6 Petani biasanya kurang mengerti akibat dari paparan pestisida yang menimbulkan efek muskarinik dan nikotinik, sehingga kerja enzim cholinestrase jadi terhambat. Gejala keracunan yang timbul antara lain : pupil atau celah iris mata menyempit menyebabkan penglihatan kabur, mata berair, mulut berbusa dan berair liur banyak, sakit kepala, pusing, keringat banyak, detak jantung cepat, mual, muntahmuntah, kejang.3 Sebagian petani tidak memperhatikan masalah umur, karena semakin tua umur petani penyemprot akan semakin mudah terkena paparan pestisida ini disebabkan menurunnya fungsi organ tubuh termasuk enzim-enzim. Masa kerja dan lama kerja dalam menyemprot juga akan berpengaruh terhadap resiko keracunan pestisida. Frekuensi penyemprotan yang terlalu sering mereka beranggapan semakin banyak tanaman disemprot hasil semakin baik, hal ini berakibat petani dengan mudah terpapar pestisida. Para penyemprot juga jarang menggunakan alat pelindung diri yang sesuai dengan prosedur serta teknis dalam menyemprot terkadang tidak memperhatikan arah angin dan tinggi tanaman yang disemprot. Desa Sigedong merupakan daerah penghasil sayuran (kubis, Wortel, Kentang), dimana para petaninya menggunakan pestisida dalam mengatasi pengendalian hama yaitu pestisida jenis Dursban yang termasuk dalam golongan organofosfat. Pada tahun 2001 di Desa Sigedong dilakukan pemeriksaan aktifitas cholinestrase diperoleh hasil dari 52 petani penyemprot yang menderita keracunan sedang sebesar 1,87%, keracunan ringan 33,96% dan 64,15% dalam keadaan normal.7
Peningkatan produksi pertanian di desa sering kali mengalami hambatan, seperti serangan hama dan musim yang tidak menentu.8 Faktor lain seperti :umur, jenis kelamin, frekuensi penyemprotan dan posisi penyemprotan termasuk pemicu peningkatan aktifitas cholinesterase darah petani, maka faktor-faktor tersebut perlu diteliti dengan cara memeriksa dan mengukur aktifitas cholinesterase darah petani di desa Sigedong.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang dapat disimpulkan permasalahan penelitian adalah “Apakah ada hubungan faktor-faktor yang meliputi: umur, lama menyemprot, masa kerja, frekuensi penyemprotan, penggunaan alat pelindung diri dan arah penyemprotan dengan aktifitas cholinesterase dalam darah petani di desa Sigedong Kecamatan Bumijawa Kabupaten Tegal”.
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan aktifitas cholinesterase dalam darah petani di Desa Sigedong Kecamatan Bumijawa Kabupaten Tegal. 2. Tujuan Khusus Mengidentifikasi dan menganalisis hubungan umur, lama bekerja, masa kerja, frekuensi penyenprotan, penggunaan APD dan arah penyemprotan
dengan
aktifitas cholinesterase dalam darah petani.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Peneliti dapat mengetahui pengaruh beberapa faktor dalam penyemprotan pestisida pada petani melalui pengukuran cholinesterase dalam darah.
2. Bagi Instansi/program/Institusi Dapat digunakan sebagai masukan mengenai kasus keracunan bagi Puskesmas Bumijawa sehingga dapat dilakukan tindakan preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif. 3. Bagi Masyarakat Untuk memberikan masukan kepada petani penyemprot di Desa Sigedong Kecamatan Bumijawa bahwa pestisida dapat menimbulkan keracunan dan bahaya bagi kesehatan apabila kurang tepat dalam penggunaannya.
E. Bidang Ilmu Bidang kajian yang berhubungan dengan penelitian ini adalah bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat khususnya kesehatan dan keselamatan kerja.