1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembenahan birokrasi atau reformasi birokrasi yang telah dilaksanakan sejak tahun 2006 merupakan salah satu agenda nasional. Kata reformasi yang didengungkan sejak berakhirnya orde baru tahun 1998 sampai saat ini masih menjadi primadona yang diidam-idamkan perwujudannya oleh sebagai besar masyarakat Indonesia yang diarahkan pada terwujudnya efisiensi, efektivitas dan clean government. Reformasi ini seutuhnya diarahkan pada perubahan masyarakat termasuk didalamnya masyarakat birokrasi (pemerintahan), dalam melakukan perubahan ke arah kemajuan (Sinambela, 2006). Di usia yang ke-16, tahun ini sejak adanya penggerakan reformasi tahun 1998, kehidupan masyarakat birokrasi masih mengalami beberapa permasalahan, seperti halnya: masih adanya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); tingkat kualitas pelayanan publik belum mampu memenuhi harapan publik; tingkat efisiensi, efektivitas dan produktivitas yang belum optimal dari birokrasi pemerintahan; tingkat trasparansi dan akuntabilitas birokrasi pemerintahan masih rendah; tingkat disiplin dan etos kerja pegawai yang masih rendah. Permasalahanpermasalahan di atas merupakan beberapa alasan perlunya melakukan pembenahan terhadap sistem birokrasi (reformasi birokrasi). Reformasi birokrasi ini pun bertujuan untuk melakukan perubahan pola pikir (mind set), budaya kerja (culture set) dan perilaku (behavior). Proses perubahan/pembaruan ini dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan. Oleh karena itu, bila dilihat dari tujuannya, reformasi ini memang membutuhkan kerja keras serta komitmen yang kuat dari seluruh masyarakat birokrasi. Dalam melakukan perubahan yang lebih baik, lebih fleksibel, lebih lincah, dan lebih peka pada tuntutan publik. Bila tidak, niscaya akan tergulung oleh gelombang besar perubahan dunia dan negara ini khususnya dan tertinggal oleh perubahan di luar. Kesungguhan pemerintah dalam melakukan reformasi birokrasi ditegaskan dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
2
Jangka Panjang Nasional 2005-2025 (RPJPN 2005-2025) yang menyatakan bahwa: “pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, di pusat maupun di daerah, agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang-bidang lainnya”. Undang-Undang tersebut ditindaklanjuti salah satunya oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi melaui Grand Design dan Roadmap Reformasi Birokrasi, yang berisikan langkah-langkah untuk menerapkan reformasi birokrasi sampai dengan tahun 2025. Penyelenggaraan reformasi birokrasi di berbagai rumpun birokrasi di tingkat Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerah, paling tidak mempunyai 3 aspek penting yang harus dilakukan yaitu: perbaikan kelembagaan (organisasi); ketatalaksanaan atau perbaikan bisnis proses; dan peningkatan manajemen sumber daya manusia. Pada Lampiran Peraturan Presiden RI Nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 dinyatakan bahwa pemerintah telah menegaskan akan pentingnya penerapan prinsip-prinsip clean government dan good governance yang secara universal diyakini menjadi prinsip yang diperlukan untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Reformasi birokrasi pada dasarnya merupakan proses menata ulang, mengubah, memperbaiki dan menyempurnakan birokrasi agar menjadi lebih baik, profesional, bersih, efisien, efektif dan produktif, sehingga dapat mewujudkan good governance dalam menjalankan tugas pelayanan publik. Untuk mewujudkan good governance tersebut, saat ini Kementerian Kesehatan sedang menerapkan reformasi birokrasi di seluruh level unit kerja. Adapun salah satu bentuk menerapkan reformasi birokrasi adalah pada Program Penataan dan Penguatan Organisasi dan Program Penataan Sistem Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur. Sasaran yang ingin dicapai adalah organisasi Kementerian Kesehatan dibangun berdasarkan proses bisnis agar tepat fungsi dan menjamin integrasi efektivitas dan efisiensi pelaksanaan pekerjaan serta adanya
3
sumber daya yang kompeten, profesional dan berkinerja tinggi, sehingga diharapkan dapat memberikan pelayanan yang lebih baik. Untuk mendukung upaya tersebut Menteri Kesehatan Republik Indonesia membuat Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1144/Menkes/ Per/III/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan agar dapat mendorong organisasi untuk memaksimalkan kinerja (Menkes RI, 2010). Salah satunya adalah unit kerja Sekretariat Ditjen Bina Upaya Kesehatan yang merupakan unit eselon dua yang bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan
mempunyai tugas melaksanakan pelayanan teknis
administrasi kepada semua unsur di lingkungan Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan. Dalam melaksanakan tugasnya, Sekretariat Ditjen Bina Upaya Kesehatan menyelenggarakan fungsi : koordinasi dan penyusunan rencana, program, dan anggaran; pengelolaan data dan informasi; penyiapan urusan hukum, penataan organisasi, jabatan fungsional, dan hubungan masyarakat; pengelolaan urusan keuangan; pelaksanaan urusan kepegawaian, tata persuratan, kearsipan, gaji, rumah tangga, dan perlengkapan; dan evaluasi dan penyusunan laporan. Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Struktur Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan, dan Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan mempunyai tanggung jawab dalam memberikan dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya pada Program Pembinaan Upaya Kesehatan. Tentunya hal ini membutuhkan sumber daya manusia yang mendukung dan dapat bekerja sama untuk mencapai tujuan organisasi. Sumber daya manusia merupakan penggerak organisasi perusahaan atau instansi, sebuah potensi yang dapat diwujudkan menjadi potensi nyata yang secara fisik dan non fisik untuk mewujudkan esksistensi organisasi (Nawawi, 2000). Selain pemanfaatan potensi sumber daya manusia, hal lain yang menjadi perhatian perusahaan atau instansi adalah adanya komitmen yang baik, sehingga dapat bekerja dengan baik untuk mencapai tujuan organisasi perusahaan atau instansi. Komitmen organisasi yang tinggi akan meningkatkan kinerja yang tinggi pula.
4
Komitmen yang tinggi menjadikan individu lebih mementingkan organisasi dari pada kepentingan pribadi dan berusaha melaksanakan tugas dengan baik untuk mendukung tercapainya visi dan misi. Komitmen organisasi menentukan suatu daya dari seseorang dalam mengidentifikasi keterlibatannya dalam suatu bidang organisasi. Oleh karena itu, komitmen organisasi akan menimbulkan rasa ikut memiliki bagi pegawai terhadap organisasi. Dengan adanya komitmen, organisasi dapat berkembang searah dan seiring sejalan dalam usaha mewujudkan program organisasi, dengan kata lain komitmen organisasi dapat mempengaruhi motivasi individu untuk menentukan suatu hal. Komitmen organisasi seorang pegawai ditentukan atas beberapa variabel (usia, kedudukan, dan disposisi seperti efektivitas positif atau negatif, atau atribusi kontrol internal atau eksternal) dan organisasi (desain pekerjaan, nilai organisasi, dukungan, dan kepemimpinan). Bahkan faktor non-organisasi, seperti adanya alternatif lain setelah memutuskan untuk bergabung dengan organisasi, akan mempengaruhi komitmen selanjutnya (Luthans, 2007). Pegawai atau karyawan yang memiliki komitmen yang tinggi pada organisasi akan lebih termotivasi untuk hadir dalam organisasi dan berusaha mencapai tujuan organisasi, dan karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi akan cenderung lebih produktif dan stabil. Sebaliknya, pegawai atau karyawan yang tidak / kurang memiliki komitmen organisasional akan menyebabkan tidak tercapainya tujuan organisasi (Susanto, 2002). Peningkatan komitmen pegawai terhadap instansi tidak terlepas dari atasan pegawai tersebut, Bass (1990) mengatakan, peran optimal seorang pimpinan terdiri dari 5 buah cara yaitu; 1) mampu mengklarifikasi yang diharapkan bawahannya, secara khusus berupa tujuan dari sasaran dari kinerja mereka; 2) mampu menjelaskan cara memenuhi harapan tersebut; 3) memiliki kriteria untuk evaluasi kinerja secara efektif; 4) memberikan umpan balik setelah adanya pencapaian oleh bawahan; dan 5) mengalokasikan imbalan berdasarkan yang telah dicapai karyawan. Pemimpin efektif sanggup memenuhi para pengikutnya untuk mempunyai optimisme yang lebih besar, rasa percaya diri, serta komitmen kepada tujuan dan misi organisasi (Yukl, 2002).
5
Menurut Simanjuntak (2005), kinerja seseorang dan organisasi juga sangat tergantung pada kemampuan manajerial para manajemen atau pimpinan. Kemampuan manajerial tersebut dalam hal membangun sistem kerja dan hubungan industrial yang aman dan harmonis, maupun pengembangan kompetensi pekerja, serta menumbuhkan motivasi dan memobilisi semua karyawan untuk bekerja secara optimal. Pimpinan yang memiliki tingkat komitmen organisasi tinggi akan memiliki pandangan positif dan berusaha berbuat yang terbaik demi kepentingan organisasinya (Octavia, 2009). Komitmen organisasi merupakan sejauh mana tingkat seorang individu memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya,
serta
berniat mempertahankan
keanggotaannya dalam organisasi tersebut (Ikhsan and Ishak, 2005). Peran dan kedudukan masing-masing sumber daya manusia dalam melaksanakan aktivitas-aktivitasnya harus dikoordinasi secara cermat dan tepat oleh sumber daya manusia lainnya yaitu pimpinan, oleh karena pemimpin sebagai faktor pendorong, pengendali, pemberdaya dan penggeraknya. Pada organisasi pemerintah,
kesuksesan
atau
kegagalan
dalam
pelaksanaan
tugas
dan
penyelenggaraan selalu dikaitkan dengan kepemimpinan (Carmeli and Freund, 2004). Penyelenggaraan tata pemerintah yang baik (good governance) akan dapat terwujud jika didukung dengan kepemimpinan dan kapasitas organisasi pemerintahan yang memadai. Bagian dari tugas pemimpin adalah bekerja sama dengan para bawahannya untuk menemukan dan memecahkan permasalahan. Pegawai yang memiliki seorang pemimpin yang mengharapkan mereka untuk berbuat yang terbaik bagi organisasi akan mendapat dukungan emosional yang lebih melalui petunjuk non verbal, umpan balik yang lebih serius dan bermakna, tujua tujuan yang lebih menantang, training yang lebih efektif dan penugasan yang lebih menarik, para bawahan yang efektif memiliki komitmen atas sesuatu entah itu sebuah tim kerja, sebuah perusahaan, ataupun sebuah ide, selain dari yang mengenai kehidupan mereka sendiri (O’Reilly, 2004). Terdapat 2 kategori kepemimpinan, yaitu kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan transaksional (Burns, 1974). Kepemimpinan transformasional
6
terjadi ketika para pemimpin mampu memperluas dan meningkatkan kepentingan pegawai mereka, ketika mereka menghasilkan kesadaran dan penerimaan tujuan dan misi kelompok, dan ketika mereka mampu membuat karyawan untuk melampaui kepentingan diri mereka untuk bagi organiasasi (Keeley, 1995). Pengertian
kepemimpinan
transformasional
ini
sangat
sesuai
dengan
perkembangan zaman saat ini, yaitu seorang pemimpin tidak hanya mampu menggerakkan para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi tetapi juga mampu untuk meningkatkan kualitas bawahannya sebagai aset berharga dari organisasi yang dipimpinnya. Salah satu cara yang dapat ditempuh oleh pemimpin yang menganut kepemimpinan transformasional agar dapat mencapai tujuan organisasi adalah dengan metode suatu pemberdayaan para bawahannya, berupa penyediaan arahan yang jelas dan memberikan tujuan yang sama atau lebih dari organisasi. Di samping kepemimpinan transformasional, budaya organisasi juga merupakan faktor yang memberikan pengaruh dengan tinggi rendahnya kinerja para pegawai. Simanjuntak (2005) menyatakan bahwa kinerja setiap individu dapat digolongkan menjadi 3 kelompok, yaitu: 1) kompetensi individu meliputi kemampuan dan keterampilan, motivasi, sikap serta etos kerja; 2) dukungan organisasi adalah struktur organisasi, teknologi dan peralatan, kondisi serta syarat kerja (lingkungan kerja dan kompensasi); dan 3) dukungan manajemen yaitu hubungan industrial dan kepemimpinan. Kehidupan berorganisasi khususnya organisasi pemerintah merupakan implementasi dari budaya kerja yang difokuskan pada sumber daya manusia atau aparatur
negara
dalam
menjalankan
program-program
pemerintah
dan
pembangunan. Budaya merupakan hal penting yang selalu mengiringi kehidupan manusia. Budaya juga merupakan inti kehidupan dalam sebuah organisasi (Frederking, 2004) Dalam penelitian ini, budaya yang dimaksud pada organisasi berbeda dengan budaya dalam pandangan sehari-hari. Budaya organisasi tidak diartikan sebagai ras, etnik, latar belakang individu. Menurut Pacanowsky and O'DonnellǦTrujillo (1983), budaya dalam organisasi diartikan sebagai cara hidup
7
di dalam organisasi. Misalnya iklim atau atsmofer emosional dan psikologis yang mencakup semangat kerja karyawan, sikap dan tingkat produktivitas. Budaya organisasi tidak muncul dengan sendirinya dalam organisasi, namun perlu dibentuk dan dipelajari. Oleh karena itu, pada dasarnya budaya organisasi merupakan sekumpulan nilai dan pola perilaku yang dipelajari, milik bersama semua anggota serta diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Sobirin, 2007). Budaya organisasi sangat penting peranannya dalam mendukung terciptanya suatu organisasi yang efektif. Secara lebih spesifik, budaya organisasi dapat berperan dalam menciptakan jati diri, mengembangkan keikutsertaan pribadi dan menyajikan pedoman perilaku kerja bagi pegawai (Ravasi and Schultz, 2006). Disisi lain, penerapan nilai-nilai budaya kerja tetap harus dilaksanakan
mengingat
dalam
organisasi
sangat
birokratis,
terdapat
kecenderungan terpolanya budaya kerja yang seragam, sehingga kurang memberikan ruang gerak kreativitas dan dinamika organisasi sesuai dengan tantangan lingkungan (Hatch and Schultz, 2002). Sebagai contoh adalah pola kerja birokrasi senantiasa mendasarkan pada aturan-aturan (juklak dan juknis) sehingga setiap kegiatan harus mengikuti prosedur-prosedur baku yang telah ditetapkan. Dalam hal ini, nilai-nilai, kepercayaan dan norma-norma perilaku individu aparatur negara juga telah terbentuk dalam suatu pola berdasarkan konsep pemikiran tertentu yang menghambat kinerja organisasi. Pada kurun waktu 2010-2014, Sekretariat Ditjen Bina Upaya Kesehatan telah mencapai beberapa upaya dan prestasi, salah satunya adalah Penetapan Akuntabilitas Kinerja Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan pada kategori AA dengan predikat Memuaskan. Pencapaian kinerja Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan tahun 2014 dalam meningkatkan dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas-tugas teknis dapat dilihat melalui hasil pengukuran pencapaian target tiap-tiap indikator yang mendukung sasaran program Pembinaan Upaya Kesehatan sesuai dengan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014 dan capaian dari kegiatan yang
8
merupakan tugas pokok dan fungsi di tiap-tiap Bagian/Subbagian. (LAKIP Sekretariat Ditjen Bina Upaya Kesehatan, 2014). Pada umumnya kinerja pelaksanaan kegiatan yang mendukung programprogram yang ada telah mendekati pencapaian sesuai dengan target yang telah direncanakan, adapun permasalahan-permasalahan yang dihadapi antara lain diakibatkan keterlambatan dalam proses pencairan dan pertanggungjawaban keuangan sehingga upaya optimalisasi, sehingga upaya optimalisasi penyerapan anggaran terkendala oleh alokasi waktu dan sumber daya manusia yang ada. Selain dari hal tersebut, masih ada permasalahan yang dihadapi oleh Sekretariat Ditjen Bina Upaya Kesehatan dalam meningkatkan kinerja pegawai, antara lain disiplin kerja pegawai dan peran pimpinan dalam mendukung capaian kerja. Untuk meningkatkan kinerja dan disiplin pegawai, Pemerintah telah menerbitkan beberapa peraturan sebagai dasar pelaksanaan penilaian prestasi pegawai dan pemberian tunjangan kinerja bagi pegawai. Dengan adanya peraturan tersebut maka PNS pada tahun 2014 diwajibkan membuat Sasaran Kerja Pegawai (SKP). Pemberian tunjangan kinerja ini diharapkan dapat menjadi motivasi pegawai untuk semakin meningkatkan disiplin dan kinerja organisasi. Namun, pada kenyataannya masih banyak pegawai yang tidak disiplin dalam hal kehadiran atau absensi, masih banyak pegawai yang datang ke kantor melewati jam masuk kantor yang ditetapkan, masih ada pegawai yang melakukan aktivitas di luar pekerjaannya pada jam kerja. Selain itu, masih ada pegawai yang sengaja bolos kerja atau meliburkan diri pada hari kerja. Di lain pihak, ada beberapa pegawai yang sering mengerjakan pekerjaan lain yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan di kantor, mereka hanya terlihat rajin dan sibuk bekerja jika ada pimpinan saja. Hal hal tersebut menunjukkan bahwa para pegawai tersebut memiliki sikap disiplin kerja yang rendah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa komitmen organisasinya pun rendah. Tidak disiplinnya pegawai dalam hal kehadiran tentunya tidak lepas dari peran pimpinan itu sendiri dan lingkungan kerja. Lingkungan kerja psikologis pegawai di dalam organisasi dirasa masih kurang baik, lingkungan kerja yang tidak kondusif yang diindikasikan dari masih terdapatnya beberapa pegawai yang
9
berkelompok di lingkungan kantor dan kurangnya kerja sama antara pegawai satu dengan yang lainnya yang mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, kurangnya koordinasi
dan arahan pimpinan sebelum memulai rencana kerja yang akan
dilaksanakan ke depannya dalam waktu dekat, kurangnya ketegasan pimpinan terhadap bawahannya yang tidak disiplin. Untuk mewujudkan tercapainya keberhasilan tugas dan fungsi di lingkungan Sekretariat Ditjen Bina Upaya Kesehatan, diperlukan adanya komitmen organisasi dari semua pegawai yang didukung kemampuan dan motivasi kerja pegawai. Untuk itu diperlukan peranan pemimpin transformasional untuk dapat membina dan mengembangkan organisasi serta kemampuan kerja yang dimiliki pegawai dengan meningkatkan budaya organisasi dalam rangka peningkatan kinerja pegawai. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, peneliti bermaksud melakukan penelitian untuk mengetahui “Hubungan antara kepemimpinan transformasional dan budaya organisasi dengan komitmen organisasi pegawai di Lingkungan Sekretariat Ditjen Bina Upaya Kesehatan, Kementerian Kesehatan”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis dapat merumuskan masalah pokok pada penelitian ini, yaitu: 1. Apakah kepemimpinan transformasional memiliki hubungan dengan komitmen organisasi pegawai di lingkungan Sekretariat Ditjen Bina Upaya Kesehatan? 2. Apakah budaya organisasi berhubungan dengan komitmen organisasi pegawai di lingkungan Sekretariat Ditjen Bina Upaya Kesehatan? 3. Apakah secara bersama sama kepemimpinan transformasional dan budaya organisasi memiliki hubungan dengan komitmen organisasi pegawai di lingkungan Sekretariat Ditjen Bina Upaya Kesehatan?
10
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Melakukan evaluasi mengenai hubungan antara kepemimpinan transformasional dan budaya organisasi dengan komitmen organisasi pegawai di lingkungan Sekretariat Ditjen Bina Upaya Kesehatan. 2. Tujuan khusus a. Menganalisis mengenai hubungan antara kepemimpinan transformasional dengan komitmen organisasi pegawai. b. Menganalisis mengenai hubungan budaya organisasi dengan komitmen organisasi pegawai.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah penelitian yang sudah ada sebelumnya, khususnya yang berkaitan dengan peningkatan kinerja. Untuk referensi bagi berbagai fihak untuk melakukan penelitian sejenis atau dapat dijadikan sebagai bahan referensi dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang peningkatan komitmen organisasi pegawai. Secara spesifik, khususnya untuk penulis dapat lebih memperluas pengetahuan
berkaitan
dengan
peningkatan
kinerja
pada
organisasi
pemerintah. 2. Manfaat praktis a. Memberikan sumbangan pemikiran dalam melihat gambaran hubungan atau dampak penerapan kepemimpinan transformasional dan budaya organisasi dengan komitmen organisasi pegawai di lingkungan Sekretariat Ditjen Bina Upaya Kesehatan. b. Memberikan masukan atau rekomendasi secara ilmiah kepada pimpinan organisasi dalam meningkatkan kepemimpinan transformasional dan budaya organisasi untuk menunjang peningkatan komitmen organisasi pegawai di lingkungan Sekretariat Ditjen Bina Upaya Kesehatan.
11
E. Keaslian Penelitian 1. Annekinda (2014) melakukan penelitian yang berjudul “Peran komunikasi dan kepemimpinan transformasional dengan komitmen organisasi”. Tujuan penelitian
tersebut
kepemimpinan
untuk
memprediksi
transformasional
dengan
kepuasan komitmen
komunikasi organisasi.
dan Disain
penelitian yang digunakan adalah deskripsi korelasional dengan metode pengambilan data yaitu survei pada 203 karyawan di Rumah Sakit Happy Land. Perbedaan dengan penelitian ini adalah metode penelitian dan lokasi penelitian. Persamaannya adalah sama – sama menggunakan variabel komitmen
organisasi sebagai
variabel dependen
dan
kepemimpinan
transformasional sebagai variabel independen . 2. Tintami et al. (2013) dalam penelitian yang berjudul “Pengaruh budaya organisasi dan gaya kepemimpinan transformasional terhadap kinerja karyawan melalui disiplin kerja pada karyawan harian SKT Megawon II PT. Djarum Kudus”. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel budaya organisasi dan gaya kepemimpinan transformasional terhadap kinerja karyawan melalui disiplin kerja karyawan. Perbedaan dengan penelitian ini adalah metode penelitian dan lokasi penelitian. Persamaannya adalah sama-sama menggunakan variabel kepemimpinan transformasional dan budaya organisasi sebagai variabel independen. 3. Atmojo (2012) melaksanakan penelitian yang berjudul “The influence of transformasional leadership on job satisfaction, organizational commitmen, and employee performance”. Penelitian ini memiliki 4 tujuan utama dalam membuktikan dan menganalisa variabel independen terhadap variabel dependen, salah satunya adalah untuk membuktikan dan menganalisis kepemimpinan
transformasional
dengan
komitmen organisasi dengan
menggunakan Struktural Equation Modeling (SEM), hasil penelitian kepemimpinan transformasional berpengaruh secara signifikan dengan komitmen organisasi. Perbedaan dengan penelitian ini adalah metode penelitian dan lokasi penelitian. Persamaannya menggunakan variabel
12
kepemimpinan transformasional sebagai variabel independen dan komitmen organisasi sebagai variabel dependen. 4. Nugroho (2013) melakukan penelitian tentang pengaruh budaya organisasi dan gaya kepemimpinan transformasional dengan komitmen organisasi dan kinerja pegawai Penelitian tersebut bertujuan untuk menganalisis pengaruh budaya organisasi dan gaya kepemimpinan transformasional dengan komitmen organisasi dan kinerja pegawai, metode yang digunakan adalah path analysis. Hasil penelitian menunjukan budaya organisasi berpengaruh secara signifikan dengan komitmen organisasi sedangkan gaya kepemimpinan transformasional tidak berpengaruh. Perbedaan dengan penelitian ini adalah metode penelitian dan lokasi penelitian. Persamaannya adalah sama sama menggunakan variabel kepemimpinan transformasional dan budaya organisasi sebagai variabel independen dan variabel komitmen organisasi sebagai variabel dependen. 5. Praptadi (2009) melaksanakan penelitian yang berjudul “Analisis pengaruh budaya organisasi dan pemberdayaan dengan komitmen organisasional dalam meningkatkan kinerja pegawai”. Penelitian tersebut
bertujuan untuk
menganalisis dampak budaya organisasi dan pemberdayaan dengan komitmen organisasional. Penelitian dilakukan dengan metode (SEM) dan hasil menujukkan budaya organisasi dan pemberdayaan memiliki dampak yang positif dan signifikan dengan komitmen organisasional. Perbedaan dengan penelitian ini adalah metode penelitian dan lokasi penelitian. Persamaannya menggunakan variabel budaya organisasi sebagai variabel independen dan variabel komitmen organisasional sebagai variabel dependen. Dari kelima penelitian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa variabel kepemimpinan transformasional dan budaya organisasi memiliki hubungan dengan komitmen organisasi pegawai dalam meningkatkan kinerja. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan pada lokasi atau tempat penelitian dan subjek penelitian serta metode penelitian.