BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Airbus dan Boeing adalah dua pemain besar dalam industri penerbangan yang merupakan salah satu industri yang memiliki peranan besar dalam perekonomian dunia. Boeing yang berpusat di Chicago ini merupakan salah satu perusahaan eksportir terbesar di Amerika Serikat berdasarkan nilai barang dan memiliki surplus perdagangan terbesar dibandingkan industri manufaktur lainnya (Reed, 2009). Airbus sendiri merupakan perusahaan manufaktur pesawat sipil yang juga merupakan bagian dari konsorsium EADS (European Aerospanautic Defence and Space Company), berpusat di kota Toulouse Perancis serta pabrik perakitan yang tersebar di berbagai negara di Eropa, Asia dan Amerika (www.airbus.com). Berdirinya Airbus juga menandakan berakhirnya monopoli Boeing dalam industri penerbangan sipil. Hingga saat ini kedua perusahaan menjadi rival dalam industri aviasi dunia. Rivalitas antara kedua perusahaan ini yang ditandai dengan terus berkembangnya Airbus hingga mampu mengambil sebagian market share yang sebelumnya dimiliki oleh Boeing membuat Amerika merasa khawatir, hal ini dikarenakan Airbus mendapat bantuan dana yang besar dari beberapa negara Uni Eropa seperti Perancis dan Jerman. Sehingga, pada tahun 1992 Amerika mengadakan pertemuan dengan Uni Eropa untuk meregulasi keterlibatan negara dalam sektor manufaktur pesawat terbang komersil besar melalui perjanjian bilateral dalam pesawat komersil besar (Agreement on Large Civil Aircraft). Sengketa antara kedua raksasa penerbangan ini dimulai pada Oktober 2004. Ketika itu Amerika Serikat secara sepihak mengakhiri perjanjian bilateral tahun 1992 terkait perdagangan pesawat sipil dengan Uni Eropa dan mulai melakukan komplain kepada WTO. Dua komplain terpisah yang telah dimasukkan ke dalam WTO Panel, DS 316 (kompain Amerika Serikat kepada Airbus) tersebut merupakan komplain Amerika Serikat kepada Uni Eropa, Perancis, Jerman, Spanyol dan Inggris. DS 353 (komplain Uni Eropa terhadap Boeing) merupakan komplain oleh Uni Eropa terhadap Amerika Serikat. Sengketa ini merupakan sengketa terbesar dan salah satu sengketa paling kompleks yang masuk kedalam 1
DSM, dimana panel Dispute Settlement Body (DSB) membutuhkan waktu 5 tahun untuk merilis keputusan, sedangkan rata-rata kasus yang masuk di DSB hanya membuuhkan waktu paling lama 12 bulan (Kendler, 2012). Dalam konteks sistem perdagangan global, akan dijelaskan bagaimana WTO memiliki pernanan penting terutama melalui SCM (Subsidy and Counterveiling Measure) serta DSB dimana kedua alat dalam sistem WTO ini bisa menjelaskan jenis bantuan dan seberapa besar negara mampu memberikan bantuan terhadap sektor privat di negaranya. Kasus ini penting dibahas karena menurut Peter Mandelson, komisioner perdagangan Uni Eropa, sengketa antara Boeing dengan Airbus merupakan sengketa terbesar, tersulit dan termahal dalam sejarah WTO (Mathis, 2006). Sementara, dalam artikel 1 perjanjian SCM, subsidi dinyatakan ada apabila pertama ada kontribusi finansial dari pemerintah. Di sini, kedua pihak baik Airbus maupun Boeing sama-sama menyangkal adanya subsidi yang masuk kedalam perusahaan mereka. Sedangkan biaya untuk memasuki pasar industri pesawat terbang sipil sangat sulit sehingga tidak ada perusahaan yang sanggup untuk menjadi pembuat pesawat. Maka dari itu industri semacam ini membutuhkan dukungan konsisten dari pemerintah (Kemp, 2007). Penelitian ini nantinya akan menjelaskan bagaimana kasus sengketa subsidi Airbus dengan Boeing bisa diteliti dengan kerangka konseptual serta perspektif dari hubungan negara dan korporasi (state-firm). Sengketa subsidi antara Airbus dengan Boeing ini bisa dilihat sebagai hubungan antara negara dengan korporasi (Uni Eropa dengan Amerika Serikat) dalam lingkup rezim internasional yaitu WTO. Sebagai rezim Internasional dalam hal sistem perdagangan global WTO memiliki perangkat yang mengatur bagaimana dan seberapa besar negara bisa memberikan bantuan kepada korporasi dalam negeri. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dari penelitian ini adalah “Bagaimana proses penyelesaian sengketa antara Airbus dengan Boeing di WTO dalam kurun waktu 2004 hingga 2013?”
C. Landasan Teori Ada dua teori yang digunakan untuk menjawab Rumusan masalah penelitian, yaitu Political Economy theory of Subsidy Agreements oleh Daniel Brou dan Michele Ruta serta 2
Economic Theory of Dispute Settlement Institutions yang diperkenalkan oleh Alexander Keck dan Simon Schropp. Political Economy theory of Subsidy Agreements menekankan pada bagaimana peran dari subsidi domestik terhadap sistem perdagangan multilateral. Sedangkan Economic Theory of Dispute Settlement Institutions memberikan analisis yang komprehensif mengenai dispute settlement institutions yang nantinya mampu memberikan pemahaman mengenai proses penyelesaian sengketa antara Airbus dengan Boeing di WTO a. Political Economy Theory of Subsidy Agreements Penangangan terkait subsidi dalam suatu perjanjian perdagangan merupakan isu yang masih dalam perdebatan para akademisi. Pertemuan tingkat menteri di Doha pada tahun 2001 menyatakan:
"In the light of experience and of the increasing application of these
instruments by Members, we agree to negotiations aimed at clarifying and improving disciplines under the Agreement on Subsidies and Countervailing Measures" (paragraf 28 dari Doha Ministerial Declaration). Menurut Daniel Brou dan Michele Ruta (2009), Political Economy Theory of Subsidy Agreements berusaha menjelaskan bagaimana peran perjanjian subsidi dalam kerangka perjanjian perdagangan internasional serta mengapa negara sangat menghargai perjanjian tersebut. Pertama, teori ini menjelaskan bagaimana subsidi merupakan kebijakan terbaik yang bisa digunakan oleh pemerintah untuk mengatasi ketidaksempurnaan pasar yang bisa berujung pada tingkat produksi yang terlalu kecil (Brou & Michael, A Commitment Theory of Subsidy Agreements, 2012). Perjanjian perdagangan terkait subsidi sendiri berusaha untuk mengatur bagaimana pemerintah bisa memberikan subsidi terhadap suatu kegiatan produksi tanpa memberikan distorsi yang besar terhadap pasar. Idealnya perjanjian tersebut harus memiliki kebijakan pemerintah yang seimbang dalam menggunakan subsidi domestik untuk menanggulangi distorsi pasar dan perlunya membatasi kewenangan pemerintah guna mengamankan komitmen terhadap akses pasar. Aturan subsidi didalam WTO bertujuan untuk memberikan hak dan kewajiban bagi negara anggotanya guna menekan distorsi pasar akibat dari subsidi. Aturan ini kemudian dituangkan dalam mekanisme Subsidy and Countervailing measure (SCM). SCM bertujuan untuk mendisiplinkan penggunaan subsidi serta meregulasi setiap kebijakan dari negara-negara guna menghadapi dampak dari subsidi itu sendiri (WTO Trade Topics: Subsidies and Countervailing Measures). 3
b.
Economic Theory of Dispute Settlement Institutions
Economic Theory of Dispute Settlement Institutions (Teori ekonomi tentang insitutsi penyelesaian sengketa) merupakan teori yang diperkenalkan oleh Alexander Keck dan Simon Schropp (2007). teori ini menjelaskan bagaimana peradilan dalam perdagangan internasional muncul dan peran yang diemban dalam rangka memfasilitasi sengketa dalam perdagangan internasional. Keck dan Schropp (2007) mengkritisi bagaimana teori terkait perjanjian perdagangan mengesampingkan peran insititusi dalam melakukan upaya bina damai terkait sengketa perdagangan. Dalam teori terkait perjanjian perdagangan yang dikemukakan oleh Wilferd (2004) dalam karyanya yang berjudul The Political Externalities serta Kyle Bagwell dan Robert Staiger (2002) dalam The Economic of World Trading System, dijelaskan bahwa perjanjian internasional mampu mereduksi hambatan serta merupakan skema yang baik guna menghindari inefisiensi dari sistem unilateral. Dari kedua pandangan yang diajukan oleh Wilferd serta Bagwell dan Staiger bisa ditarik kesimpulan bahwa kerjasama perdagangan internasional dilakukan guna menghindari prisoner’s dilemma1, di mana dalam negara dihadapkan pada keputusan untuk meningkatkan kebijakan proteksionisme perdagangan yang didasari pada kekhawatiran negara lain akan melakukan hal yang sama di kemudian hari. Proteksionisme pada akhirnya memunculkan masalah baru seperti inefisiensi perdagangan dan terhambatnya pemerataan kemakmuran. Untuk mengurangi hambatan perdagangan serta terlepas dari prisoner’s dilemma, negara membuat suatu kerjasama perdagangan. Pada akhirnya sebuah Konsep kerjasama perdagangan ini merupakan sebuah kerjasama perdagangan ditopang berdasarkan grim trigger strategy. Dimana pihak yang bekerjasama saling mengancam satu sama lain untuk menghukum segala bentuk pelanggaran dengan keluar dari perjanjian yang telah disepakati, sehingga kembali kepada upaya 1
Menurut Mochtar Mas’oed dalam bukunya yang berjudul “ Ilmu Hubungan Internasional : Disiplin dan metodologi” menggambarkan prisoner’s dilemma sebagai suatu situasi deadlock dimana dua orang yang berpotensi sebagai rekan tidak bias mengadakan kerjasama satu sama lain karena tidak adanya sikap saling percaya.
4
proteksionisme. Disimpulkan bahwa perjanjian perdagangan internasional merepresentasikan apa yang disebut “full efficient contract” dan “renegotiation proof”, di mana kontrak ini bersifat sempurna dan tidak perlu direvisi, amandemen atau dinegosiasi ulang (Keck & Schropp, 2007). Melihat perjanjian bersifat stabil dan sempurna, kerjasama ini dijalankan berdasarkan “grim-trigger strategy”, di mana kedua pihak akan saling memberikan ancaman jika terjadi pelanggaran perjanjian dengan cara menarik diri dari kerjasama. Konsekuensinya ialah tidak adanya ruang untuk terjadinya sebuah sengketa perdagangan yang pada akhirnya perjanjian perdagangan berlangsung tanpa adanya bantuan dari pihak ketiga, sehingga pembentukan institusi maupun organisasi internasional tidak memiliki manfaat dan hanya menambah beban biaya. Dari penjelasan diatas, terlihat tidak adanya ruang bagi institusi dalam konteks perjanjian perdagangan internasional. Belum adanya definisi yang jelas mengenai peran insitusi dalam perjanjian perdagangan dikarenakan konsep teori diatas lebih menekankan pada logika dari perjanjian perdagangan. Keck dan Schroop (2007) kemudian menghilangkan variable dari grim-trigger strategy, sehingga memungkinkan masuknya instutusi dalam perjanjian perdagangan internasional. Kedua ilmuwan ini lantas menekankan pada prinsip enforcement (implementasi, penegakan), dengan memberikan penjelasan bahwa enforcement bukan hanya berupa hukuman dan ancaman, tetapi menjadi inti dari terbentuknya Dispute Settlement Institution (institusi penyelesaian sengketa). Perjanjian perdagangan haruslah mengikat layaknya kontrak. Kontrak sendiri didefinisikan sebagai komitmen yang harus dipatuhi dalam jangka waktu tertentu (Craswell, 1999). Enforcement merupakan bagian penting dari sebuah kontrak, karena enforcement memberikan kredibilitas pada sebuah komitmen bersama dan mencegah pelanggaran dari kontrak (Keck & Schropp, 2007, p. 10). Tanpa adanya penegakkan, kemungkinan kontrak akan gagal di tengah jalan, bahkan gagal dirumuskan sejak awal (Maten, 1999). Dalam setiap perjanjian perdagangan haruslah memiliki enforcement capacity dan enforceability guna merespon pelanggaran terhadap kontrak. Enforcement ini bisa dilakukan oleh pihak yang terdampak (self-enforcement) atau pihak ketiga yang netral. Enforceability setidaknya memerlukan tiga unsur yaitu: 1. Observability: di mana pelanggaran terhadap kontrak bisa dideteksi sejak awal, baik itu oleh pihak yang terdampak maupun pihak ketiga.
5
2. Veriviability: di mana mempertanyakan apakah kontrak bisa di patuhi dan dijalankan sesuai perjanjian, pelanggaran terhadap kontrak bisa dibuktikan jika pihak yang terdampak mampu menunjukan klausul kontrak yang dilanggar. 3. Quantifiability: di mana pihak yang terdampak (atau peradilan) mampu melakukan kalkulasi terhadap dampak buruk yang terjadi akibat pelanggaran didalam klausul kontrak. (Keck & Schropp, 2007, p. 10) Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dengan memasukan konsep observability, verifiability dan quantifability, maka enforcement lebih mengarah kepada sebuah proses ketimbang sebuah alat untuk menghukum. Dari penjelasan di atas, peneliti melihat Economic Theory of Dispute Settlement Institutions mampu memberikan reality check terkait proses dispute settlement mechanism yang ada di WTO dan upayanya dalam menyelesaikan sengketa antara Boeing dan Airbus terkait subsidi. Teori ini juga diharapkan mampu memberikan analisis mengenai proses dispute settlement di WTO, yang juga melibatkan dua pihak antara Amerika dan Uni Eropa. Serta memberikan gambaran mengapa Amerika mundur dari perjanjian perdagangan bilateral dengan Uni Eropa terkait pesawat komersial pada tahun 1992 dan memutuskan untuk memasukan sengketa dagang ini ke dispute settlement mechanism WTO. D. Argumen Utama Sengketa antara Airbus dengan Boeing berawal dari pembatalan secara sepihak oleh AS atas perjanjian bilateral dengan Uni Eropa terkait perdagangan pesawat sipil berbadan lebar yang dimulai pada tahun 1992. Dengan menggunakan Economic Theory of Dispute Settlement Institutions dapat dipahami bahwa pembatalan secara sepihak tersebut mencerminkan kelemahan dari perjanjian perdagangan yang dilakukan secara bilateral. Karena sifatnya berupa full efficient contract, dimana tidak ada celah untuk melakukan renegosiasi kontrak Grim trigger strategy yang dilakukan oleh Amerika Serikat, dimana pihak Uni Eropa diduga melakukan pelanggaran terhadap perjanjian tersebut sehingga Amerika Serikat memutuskan untuk mengakhiri perjanjian bilateral tersebut dan membawa permasalahan ini ke WTO. Melalui Economic Theory of Dispute Settlement Institutions juga bisa dilihat bagaimana aktor Internasional lebih memilih untuk menyelesaikan sengketa
6
dagangnya di WTO melalui Dispute settlement mechanism dibandingkan menyelesaikanya secara bilateral. Sulitnya penyelesaian sengketa antara Airbus dan Boeing di WTO dikarenakan terlalu kompleksnya sengketa ini untuk ditangani oleh WTO. Hal ini terlihat dari upaya Amerika Serikat dan Uni Eropa yang tidak patuh pada rekomendasi DSM untuk merevisi kebijakannya terkait subsidi yang diberikan kepada Boeing maupun Airbus. Keengganan Amerika Serikat maupun Uni Eropa bisa dipahami karena ini menyangkut industri dengan skala ekonomi yang besar serta kepentingan nasional masing-masing negara. Yang terjadi adalah baik itu Amerika Serikat maupun Uni Eropa merevisi sedikit kebijakan subsidinya kemudian melaporkan kepada WTO bahwa mereka sudah mengikuti rekomendasi DSM. Sikap ini yang kemudian memaksa pihak yang mengajukan komplain kembali ke WTO kembali mengajukan banding serta meminta WTO untuk mengajukan sanksi perdagangan. Hal inilah yang menyebabkan lamanya penyelesaian sengketa subsidi antara Airbus dengan Boeing di WTO.
E. Metode Riset Metode riset yang akan peneliti lakukan untuk penulisan skripsi ini adalah metode riset dengan pendekatan kualitatif. Data yang diperoleh berasal dari berbagai literatur dengan mengambil dari buku seperti Boeing vs Airbus karya Newman, jurnal terkait sengketa antara Airbus dengan Boeing, e-book, media massa baik itu cetak maupun elektronik serta sumber data yang diambil dari situs resmi WTO. Selanjutnya data-data yang telah dikumpulkan kemudian diolah secara kualitatif sesuai dengan permasalahan, tujuan serta landasan teori yang nantinya bisa ditarik kesimpulan.
F. Struktur Penulisan Bab 1 menjelaskan latar belakang permasalahan sengketa antara Airbus dan Boeing di WTO dan mengapa hal ini penting untuk dibahas serta rumusan masalah. Teori yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah tersebut ialah Political Economy Theory of
7
Subsidy Agreements oleh Daniel Brou dan Michele Ruta serta Economic Theory of Dispute Settlement Institutions oleh Alexander Keck dan Simon Schropp Bab 2 memberikan deskripsi mengenai latar belakang Boeing dan Airbus. Dijelaskan pula peranan WTO dalam sengketa serta perjanjian terkait industri pesawat sipil dalam mengontrol subsidi. Dengan memberikan penjelasan mengenai latar belakang perusahaan dan perjanjian mengenai Industri pesawat sipil, bab ini berusaha untuk memberikan gambaran mengenai asal mula sengketa antara Airbus dengan Boeing. Bab 3 berisi analisis terkait sengketa subsidi antara Boeing dengan Airbus di WTO melalui dua teori yang telah dijabarkan di Bab 1. Di dalam bab 3 akan dijelaskan bagaimana sengketa antara Airbus dan Boeing dalam panel DSB. Dalam perkembangannya, penyelesaian sengketa di DSB ini ternyata mengalami berbagai kendala sehingga menyulitkan penyelesaian sengketa ini. Bab 4 berisi kesimpulan berdasarkan temuan-temuan dari pembahasan di bab sebelumnya. Yaitu sengketa dagang antara Boeing dan Airbus yang sedang diselesaikan di WTO mengalami kemandekan dikarenakan adanya campur tangan kepentingan politik dan ekonomi di masing-masing negara industri tersebut berasal.
8