BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelayanan kesehatan tradisional merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan yang sudah berkembang sejak dulu, bahkan sebelum keberadaan pengobatan medis (konvensional). Perkembangan pelayanan kesehatan tradisional telah mendapat perhatian dari berbagai negara, hal ini dibuktikan dengan adanya hasil kesepakatan pertemuan World Health Organization (WHO) Congress on Traditional Medicine di Beijing November 2008, International Conference on Traditional Medicine for South-East Asian Countries di India Februari 2013, The 5th ASEAN Traditional Medicine Conference serta The 5th ASEAN Task Force on on Traditional Medicine (ATFTM) Meeting Agustus 2014 di Myanmar, Yangoon yang menyepakati bahwa pelayanan kesehatan tradisional yang aman dan bermanfaat dapat diintegrasikan ke dalam sistem pelayanan kesehatan. Kemudian pada pertemuan WHO pada tahun 2009 disebutkan dalam salah satu resolusinya
bahwa
WHO
mendorong
negara-negara
anggotanya
agar
mengembangkan pelayanan kesehatan tradisional di negaranya sesuai kondisi setempat (WHO, 2009). Perkembangan pengobatan alternatif di luar negeri dapat dikatakan berkembang cukup signifikan. Hampir 70% populasi di dunia memanfaatkan pelayanan kesehatan tradisional sebagai upaya meningkatkan kesehatannya, baik sebagai terapi tunggal dan tambahan dari pengobatan konvensional. Terapi obat tradisional dan komplementer yang berbasis bukti ilmiah menunjukan hasil penyembuhan yang luar biasa dalam kasus-kasus penyakit akut atau penyakit kronis (Shaikh & Hatcher, 2005). Sebagian besar dari populasi negara-negara maju termasuk Australia, Canada (59-60%), Amerika Serikat (62%), Singapura (76%) dan Jepang (50%) menggunakan pengobatan tradisional alternatif dan komplementer setidaknya 1(satu) kali dalam setahun (Leach, 2013). Bahkan di negara Asia Selatan, 80% dari populasinya secara rutin menggunakan pengobatan tradisional, alternatif dan komplementer (Amin et al, 2015), dari penelitian diatas dapat dikatakan bahwa negara-negara tersebut terinspirasi dari negara-negara 1
2
timur seperti China, Jepang, Korea dan India yang sudah lebih dulu mengembangkan pengobatan tradisional. Seperti masyarakat di negara China dan India, mereka sudah terbiasa memilih pengobatan tradisional secara tunggal atau dikombinasikan dengan pengobatan konvensional baik untuk menyembuhkan penyakit atau hanya sekedar memelihara kebugaran tubuh. Bahkan, di Pakistan CAM menjadi pilihan utama sebagai pengobatan terhadap infertilitas, epilepsi dan depresi. Lotfi et al. (2016) melaporkan 66,54% masyarakat di Iran membuktikan bahwa CAM efektif dalam meningatkan satus kesehatan dan 42,14% merekomendasikan penggunaan CAM pada yang lain. Sedangan di Ethiopia 80% masyarakatnya menggunakan pengobatan alternatif/tradisional di fasilitas kesehatan pelayanan dasar (Wassie et al., 2015). Pelayanan kesehatan tradisional di Indonesia telah diakui keberadaannya sejak dahulu karena telah menyatu dengan masyarakat, sangat diminati sebagai pilihan alternatif pengobatan dan digunakan untuk mengatasi masalah kesehatan baik di desa maupun dikota (Gitawati et al, 2009). Tingginya minat masyarakat terhadap pengobatan tradisional, tidak lepas dari keterbatasan Pemerintah Indonesia dalam menyikapi permasalahan kesehatan, yang salah satunya adalah belum diterapkannya secara menyeluruh usaha promotif dan preventif sebagai bagian dari penyelenggaraan sistem medis kesehatan, sehingga masyarakat mulai memilih pelayanan kesehatan tradisional dalam upaya preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif. Sampai saat ini pelayanan kesehatan tradisional
terus
berkembang sesuai dengan kemajuan teknologi disertai dengan peningkatan pemanfaatannya oleh masyarakat sebagai imbas serta semangat untuk kembali menggunakan hal-hal yang bersifat alamiah atau dikenal dengan istilah ’back to nature’ (Kementrian Kesehatan RI, 2015). Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tentang penggunaan pengobatan tradisional meningkat dari tahun ke tahun (digunakan oleh 40 % penduduk Indonesia). Pada tahun 2010 penggunaan pengobatan tradisional meningkat menjadi 45,17% dan tahun 2011 menjadi 49,53% (Kementrian Kesehatan RI, 2015). Hasil penelitian Supardi dan Susyanty (2010) dengan data Susenas tahun 2007 menyebutkan 55,8% dari seluruh sampel rumah
3
tangga yang diambil datanya melakukan pengobatan sendiri salah satunya dengan cara tradisional untuk mengobati penyakit yang diderita. Data Riskesdas tahun 2013 menyebutkan, proporsi rumah tangga yang menyimpan obat tradisional dirumah sebesar 15,7%, dan rumah tangga yang memanfaatkan pelayanan kesehatan tradisional sebesar 30,4%. Rumah tangga yang memanfaatkan pelayanan kesehatan tradisional keterampilan tanpa alat di pedesaan (81,8%) lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (74,3%). Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan
pelayanan
kesehatan
tradisional
keterampilan
tanpa
alat
berdasarkan kuintil indeks kepemilikan dengan status ekonomi terbawah (81,7%) dan menengah terbawah (79,5%) lebih tinggi dibandingkan dengan
status
ekonomi menengah keatas (76,2%) dan teratas (77,4%). Perkembangan pengobatan secara tradisional di Indonesia secara profesional belum terlalu banyak berbeda dengan negara tetangga seperti Malaysia yang sudah banyak mematenkan produk herbal atau mengakui asosiasi pengobat tradisional. Padahal, pengobatan alternatif ini juga bisa menjadi salah satu pilihan terbaik bagi masyarakat, terutama bagi mereka yang memiliki status ekonomi miskin, sedangkan pengobatan konvensional sendiri sangat tergantung terhadap teknologi dan peralatan yang membutuhkan biaya yang sangat besar, dan juga belum tentu semua teknologi hebat tersebut bisa memecahkan masalah kesehatan yang ada di tengah-tengah masyarakat (Siti et al., 2009). Salah satu alasan mengapa pengobat tradisional masih diterima oleh masyarakat di Indonesia adalah karena dilakukan dengan pendekatan dan metode yang sederhana dan memberikan hasil yang diharapkan serta tanpa mengeluaran biaya yang mahal. Pengobatan alternatif/tradisional juga juga memiliki kelebihan dalam meminimalisir efek samping yang akan timbul dibandingkan saat menggunakan penggunaan pengobatan konvensional asalkan diberikan oleh tenaga profesional yang sudah dilatih (Kementrian Kesehatan, 2015). Berdasarkan hal tersebut, pengobatan tradisional memiliki peranan yang besar dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Pemerintah Indonesia secara formal sudah memberikan perhatian terhadap berkembangnya pengobatan tradisional ini. Tahun 2007, Indonesia mengeluarkan kebijakan tentang obat tradisional
4
(KOTRANAS) sebagai quality control terhadap produk herbal/tradisional, registrasi produk herbal dan menjamin kualitas produk herbal yang dihasilkan. Indonesia juga membuat Farmakope Herbal Indonesia (FHI) sebagai upaya untuk menstandarisasi produk herbal yang di produksi. Pada tahun yang sama, di Rumah Sakit Sutomo Surabaya bahkan sudah memilki departemen khusus yang mengurus tentang pelayanan kesehatan tradisional. Di Rumah Sakit tersebut beberapa dokter mendiagnosis secara konvensional namun meresepkan dengan obat tradisional (Herman et al., 2013). Pemerintah Indonesia memberikan kesempatan seluasluasnya kepada penyelenggara pengobat tradisional untuk bertanggungjawab dalam mengembangkan, meningkatkan dan menggunakan pelayanan kesehatan tradisional. Eksistensi pengobatan tradisional sudah diakui secara hukum melalui beberapa peraturan dan undang-undang diantaranya: 1) Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang kesehatan terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang Pelayanan Kesehatan tradisional yaitu pada pasal 1, 48, 59, 60 dan 61 2) Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.1109/MENKES/PER/IX/2007
tentang
Penyelenggaraan
Pengobatan
Komplementer Alternatif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Meskipun perkembangan pembangunan pelayanan kesehatan modern di Indonesia terus meningkat, pemanfaatan pelayanan kesehatan tradisional tidak serta merta berkurang. Hal ini dilatarbelakangi oleh kecenderungan global untuk kembali ke alam, serta faktor promosi melalui media massa yang kian gencar. Masyarakat di pedesaan atau masyarakat dengan status ekonomi menengah ke bawah umumnya tetap memilih pengobatan tradisional dibandingkan dengan pengobatan modern. Selain karena budaya dan kepercayaan, faktor lain yang mempengaruhi dalam pemilihan pengobatan tradisional antara lain seperti pendidikan, pekerjaan, penghasilan, sulitnya akses ke fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Selain itu jika di pengobatan tradisional umumnya masyarakat mendapatkan harga yang jauh lebih murah dengan hasil yang sama ketika berobat di pengobatan modern (Herman et al., 2012). Penduduk di Ethiopia contohnya,
5
mereka senang menggunakan pelayanan kesehatan tradisional karena biaya murah serta outcome yang bagus setelah menggunakan pelayanan kesehatan tradisional (Wassie et al., 2015). Bila dilihat dari segi jarak tempat tinggal dengan tempat pengobatan juga ada hubungannya. Biasanya orang akan memilih pengobatan yang berada di sekitar atau dekat dengan lokasi tempat tinggalnya. Sebagai negara berkembang, jumlah penduduk miskin di Indonesia termasuk tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia pada 2013 mencapai 28,07 juta jiwa. Keterjangkauan penduduk miskin dalam mengakses pelayanan kesehatan sangat rendah akibat mahalnya biaya dan jauhnya letak pelayanan kesehatan sehingga mereka lebih memilih menggunakan pengobatan alternatif atau tradisional (BPS, 2013). Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, persentase penduduk yang mengobati penyakitnya sendiri dengan cara tradisional yaitu sebanyak 23,89% di tahun 2011, 24,42% di tahun 2012, 21,59% di tahun 2013. Keberadaan pengobatan tradisional di masyarakat tidak dapat diabaikan atau dipandang sebelah mata, karena praktik pengobatan tradisional ini merupakan
bagian
dari
sistem
pelayanan
kesehatan
yang
dapat
dipertanggungjawabkan. Berdasarkan uraian diatas dan besarnya peranan pengobatan tradisional terutama penduduk miskin di Indonesia, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pemanfaatan pelayanan kesehatan tradisional bagi penduduk miskin di Indonesia dengan analisis data sekunder hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013. B. Rumusan Masalah Pelayanan kesehatan tradisional yang semakin berkembang saat ini menjadikan pilihan utama untuk pengobatan atau pemberian pertolongan pertama dalam mengatasi berbagai gejala penyakit terutama bagi penduduk miskin, berdasarkan hal tersebut, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana pemanfaatan pelayanan kesehatan tradisional bagi penduduk miskin di Indonesia.
6
C. Tujuan Penelitian 1) Tujuan umum Mengetahui pemanfaatan pelayanan kesehatan tradisional bagi penduduk miskin di Indonesia. 2) Tujuan Khusus a) Untuk mengetahui proporsi penduduk miskin menurut provinsi di Indonesia yang memanfatkan pelayanan kesehatan tradisional dan jenisnya berdasarkan data RISKESDAS 2013. b) Untuk mengetahui proporsi penduduk miskin di Indonesia yang memanfatkan pelayanan kesehatan tradisional dan jenisnya menurut karakteristik sosiodemografi (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal) berdasarkan data RISKESDAS 2013. c) Untuk mengetahui proporsi penduduk miskin di Indonesia yang pergi ke pelayanan kesehatan dasar menurut akses (ketersediaan pelayanan kesehatan dasar) berdasarkan data RISKESDAS 2013. d) Untuk mengetahui hubungan pemanfaatan pelayanan kesehatan tradisional bagi penduduk miskin dengan umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal berdasarkan data RISKESDAS 2013. e) Untuk mengetahui hubungan pemanfaatan pelayanan kesehatan tradisional bagi penduduk miskin dengan akses yaitu ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dasar berdasarkan data RISKESDAS 2013. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritik Sebagai perbandingan untuk penelitian selanjutnya dan sebagai bahan pengemban ilmu pengetahuan mengenai pelayanan kesehatan tradisional. 2. Manfaat praktis a) Bagi pembuat kebijakan hasil penelitian ini berguna sebagai bahan evaluasi terhadap pelayanan kesehatan tradisional, sehingga dapat memberikan pelayanan kesehatan tradisional yang aman dan bermutu bagi masyarakat.
7
b) Bagi masyarakat dapat meningkatkan status kesehatan masyarakat dengan menggunakan pelayanan kesehatan tradisional. E. Keaslian Penelitian 1. Gitawati et al. (2009), melaporkan tentang pemanfaatan pengobat tradisional di masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan pelayanan kesehatan tradisional sebagai bagian dari sistem pelayanan kesehatan oleh masyarakat di Indonesia. Persamaannya dalam metode penelitian, sedangkan perbedaannya adalah subjek penelitian. Hasil penelitian ini adalah pemanfaatan sarana pelayanan kesehatan tradisional oleh masyarakat Indonesia masih rendah yaitu sebesar 1,2%. 2. Supardi dan Susyanty (2010), melaporkan penggunaan obat tradisional dalam upaya pengobatan sendiri di Indonesia (Analisis Data Susenas Tahun 2007). Penelitian ini mendeskripsikan faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan obat tradisional di Indonesia. Persamaannya adalah menggunakan metode penelitian yang sama dan kerangka teori yang sama. Sedangkan perbedaannya adalah subjek penelitiannya. Hasil penelitian ini adalah persentase penduduk Indonesia yang menggunakan obat tradisional dalam pengobatan sendiri terus meningkat selama kurun waktu tujuh tahun (20002006), dan penggunaan pelayanan kesehatan tradisional terbanyak adalah pada kelompok umur lansia, status menikah, pendidikan rendah, pekerjaan bertani, nelayan, tidak bekerja dan tempat tinggal di desa. 3. Bishop and Lewith (2010) melakukan peelitian tentang Who uses CAM a narrative review of demographic characteristics and health factors associated with CAM use. Penelitian ini mengevaluasi dan mereview bukti mengenai karakteristik demografi dan status kesehatan orang-orang yang menggunakan pengobatan alternatif dan komplementer di Hampshire UK. Persamaannya adalah variabel bebas dan variabel terikat, sedangkan perbedaannya adalah subjek penelitian, lokasi penelitian dan metode penelitian. Hasil penelitian ini adalah demografi dan kesehatan memiliki peran yang penting dalam
8
penggunaan CAM. Kebanyakan yang menggunakan CAM adalah perempuan, berpendidikan tinggi dan umumnya memiliki lebih dari satu keluhan penyakit. 4. Amin et al. (2015), meneliti tentang Traditional and complementary/alternatif medicine use in a South-Asian population. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan frekuensi penggunaan pengobatan alternatif dan komplementer di daerah kumuh di Asia Selatan yaitu di Pakistan. Sulitnya akses ke pelayanan kesehatan konvensinal menjadi dasar dalam penggunaan pengobatan tradisional altenatif dan komplementer. Persamaanya adalah metode penelitian dan variabel bebas, sedangkan perbedaanya adalah subjek penelitian dan lokasi penelitian. Hasil penelitian ini adalah meningkatnya popularitas CAM pada kalangan orang yang kurang beruntung secara ekonomi, oleh karena tu diharapkan CAM dapat diintegrasikan dengan pengobatan konvensional sehingga dapat menekan biaya pengobatan menjadi lebih efektif dan efisien.