BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY) baik dari segi jumlah penduduk dan infrastrukturnya membuat Kawasan Perkotaan Yogyakarta menjadi magnet yang menarik arus urbanisasi menuju Kawasan Perkotaan Yogyakarta yang lebih besar. Pertambahan jumlah penduduk di kawasan perkotaan menjadi sebuah tantangan tersendiri dalam mengelola permukiman di perkotaan. Kota Yogya pada tahun 2010 memiliki jumlah penduduk sejumlah 388.627 jiwa dan jumlah ini mengalami penambahan sebesar 1,37% dalam dua tahun yaitu menjadi 394.012 jiwa pada tahun 2012 (BPS, 2012). Pertambahan jumlah penduduk di kota Yogyakarta dari tahun ke-tahun membuat pertumbuhan permukiman menjadi tidak terkendali. Berbagai permasalahan kebersihan lingkungan permukiman muncul di kawasan-kawasan kumuh perkotaan Yogyakarta. Permasalahan yang selalu dihadapi oleh permukiman perkotaan adalah munculnya permukiman-permukiman kumuh, dimana permukiman mempengaruhi berbagai aspek kehidupan seperti akses air bersih, kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan kemanan (Wehmer, 2009). Berbagai permasalahan lingkungan yang diakibatkan oleh adanya permukiman yang tidak terencana (Suryani, 2011) antara lain : a. Permasalahan banjir akibat pengelolaan drainase yang tidak baik, serta kurangnya kapasitas ruang terbuka hijau. b. Permasalahan pengelolaan limbah baik padat rumah tangga/ sampah, maupun limbah cair. c. Polusi udara dan kebisingan d. Kurang baiknya sarana prasarana lingkungan diatas dapat menimbulkan efek jangka panjang seperti berbagai permasalahan kesehatan (diare, penyakit kulit, Infeksi Saluran Pernafasan Akut / ISPA).
1
e. Kerusakan dan pencemaran air tanah dikarenakan adanya eksploitasi besar-besaran pada kawasan permukiman yang tidak terencana. Hal-hal ini tentunya akan membuat tingkat presepsi masyarakat untuk tinggal di daerah perkotaan akan menurun. Pada tahun 2009 Ikatan Ahli Perencana (IAP) melakukan penelitian tentang dimanakah kota-kota di Indonesia ini yang merupakan kota ternyaman dengan menentukan 25 kriteria indeks kenyamanan kota yang diperoleh dari simposium perkotaan 2008. Hasil dari penilaian persepsi masyarakat terhadap 25 indeks tersebut menyatakan bahwa Yogyakarta adalah kota ternyaman untuk ditinggali dengan tingkat kenyamanan 65,53% pada tahun 2009 dan pada tahun 2011 dilakukan penalitian yang sama nilai teratas tetap Yogyakarta sebagai kota ternyaman untuk ditinggali dengan nilai 66,52% (Djonoputro et al., 2009; Djonoputro et al., 2011). Dari dua penelitian yang dilakukan IAP diperoleh temuan bahwa terdapat tiga aspek yang menurut persespi masyarakat memiliki nilai terendah, tiga hal tersebut adalah aspek fisik, aspek lingkungan dan aspek keamanan. Yogyakarta sebagai kota ternyaman versi IAP, memiliki nilai aspek fisik 49%, lingkungan 57% dan aspek keamanan 59%. Nilai ini sudah termasuk tinggi karena semua nilai merupakan nilai yang diatas rata-rata kota-kota lain di Indonesia. Meskipun menjadi kota ternyaman di Indonesia, masih ada permukiman kumuh yang berada di Yogyakarta yaitu sekitar 278,7 hektar yang tersebar di 13 kecamatan dari 14 kecamatan di kota Yogyakarta (TribunJogja, 2014) dan kebanyakan kawasan kumuh ini berada di bantaran sungai (TribunJogja, 2015). Adanya kawasan permukiman kumuh ini menimbulkan berbagai masalah kebersihan lingkungan di perkotaan. Definisi permukiman kumuh sendiri menurut UNESCAP (2009) adalah ketidakcukupan perumahan dengan ciri-ciri lemahnya keamanan, ketidakcukupan akses air bersih, sanitasi dan kepadatan yang berlebihan. Kualitas permukiman dan kualitas lingkungan permukiman merupakan hal yang berbeda. Kajian tentang kualitas permukiman dapat dibagi menjadi lima (Iswari, 2012) yaitu:
2
a. Kajian Kualitas Fisik Permukiman, tujuan dari kajian ini adalah untuk menilai tingkat kenyamanan tempat tinggal. Dasar penilaian adalah kondisi fisik permukiman. b. Kajian Kualitas Lingkungan Permukiman, tujuan dari kajian ini adalah unuk menilai tingkat kesehatan lingkungan permukiman, termasuk didalamnya sanitasi, kualitas air minum, drainase, pembuangan sampah, dan kondisi fisik lingkungan. c. Kajian Kualitas Lingkungan Sosial, tujuan dari kajian ini adalah untuk menilai tingkat kerawanan sosial. Termasuk didalamnya adalah konflik sosial yang dipicu oleh kesenjangan sosial. d. Kajian Kualitas dan Tingkat Pelayanan Fasilitas Kota, tujuan dari kajian ini untuk menilai tingkat pelayanan fasilitas perkotaan, termasuk didalamnya fasilitas kesehatan (rumah sakit, puskesmas, dokter umum, dan lain sebagainya), fasilitas pendidikan (SD, SMP, SMA, Akademi, Perguruan Tinggi), dan fasilitas pelayanan dasar. e. Kajian Kualitas Bangunan, tujuan dari kajian ini adalah untuk menilai tingkat kualitas bahan bangunan dan kelengkapannya (material, fasilitas tambahan dan arsitektur bangunan). Berdasarkan pada keputusan menteri permukiman dan prasarana wilayah No. 534/KPTS/M/2001 tentang standar pelayanan minimal permukiman, akan dilakukan evaluasi berdasarkan keputusan menteri tersebut, untuk menilai kualitas lingkungan permukiman perkotaan yang ada di Yogyakarta. Dalam penelitian ini nanti akan menguji seberapa besar kontribusi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dalam mengevaluasi kualitas lingkungan permukiman perkotaan. Metode penginderaan jauh merupakan salah satu metode yang efektif dan efisien baik dari segi waktu maupun biaya untuk mendapatkan data keruangan (Lindgren, 1985). Berbagai penelitian tentang lingkungan perkotaan dengan memanfaatkan citra penginderaan jauh sudah banyak dimanfaatkan. Pemanfaatan ini lebih banyak menggunakan citra resolusi spasial tinggi, dikarenakan
3
kenampakan fisik bangunan dan lingkungan perkotaan dapat terlihat dengan resolusi spasial tinggi seperti misalnya proses estimasi jumlah penduduk lokal yang membutuhkan data dengan resolusi spasial 0,25m - 5m (Sutanto, 2013). Pada daerah perkotaan yang memiliki perkembangan yang sangat cepat, ekstraksi informasi-informasi juga harus dilakukan dengan metode yang cepat dan akurat. Metode klasifikasi berbasis obyek merupakan salah satu teknik yang inovatif yang dapat dipakai untuk klasifikasi khususnya pada man made features (Rashed & Jurgens, 2010). Peran sistem informasi geografis untuk analisis hasil data penginderaan jauh juga tidak kalah pentingnya. Kemampuan sistem informasi geografis dalam mengumpulkan, menyimpan, mentransformasi, memanipulasi, dan memadukan informasi dari berbagai sektor mampu menjadikan sistem informasi geografis dan penginderaan jauh saling mengisi satu sama lain (Purwadhi & Sanjoto, 2009). Dalam aplikasinya, sistem informasi geografis memiliki berbagai macam teknik analisis, diantaranya adalah teknik analisis overlay, network analysis, buffer, union dan sebagainya. Penginderaan jauh dan sistem informasi geografis untuk daerah perkotaan memiliki peran masing-masing dalam proses integrasinya. Penginderaan jauh menyediakan data multispektral, multiresolusi, multitemporal dan mengubahnya menjadi informasi yang bernilai dan mudah dipahami. Sedangkan sistem informasi geografis memiliki kemampuan yang fleksibel untuk input data, analisis dan menyajikan data digital dari berbagai sumber yang dibutuhkan untuk identifikasi kawasan perkotaan. 1.2. Perumusan Masalah Penilaian
kualitas
lingkungan
permukiman
perkotaan
dengan
menggunakan penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan tentang standar pelayanan minimal permukiman dari berbagai sumber yang sudah ada seperti :
4
a. Keputusan
Menteri
Permukiman
dan
Prasarana
Wilayah
No.
534/KPTS/M/2001 tentang Standar Pelayanan Minimal Permukiman b. Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 22 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Perumahan Rakyat c. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 01/PRT/M/2014 tentang Standar Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Dengan menggunakan citra penginderaan jauh resolusi tinggi ekstraksi parameter-parameter tentang kualitas lingkungan permukiman dan standar minimal pelayanan permukiman dapat dilakukan dengan metode klasifikasi visual. Dipilih metode manual ini dikarenakan tingkat akurasi yang dihasilkan metode klasifikasi secara manual memiliki tingkat ketelitian yang tinggi hingga mencapai 90% (Sutanto, 2013), disamping itu kompleksnya penggunan lahan yang ada di kawasan perkotaan yang mengharuskan ketelitian yang tinggi pada peta hasil klasifikasi yang dipakai. Menurut Surat Keputusan Bupati Sleman Nomor 83 /Kep.KDH/A/2014 tentang Kawasan Permukiman Kumuh Perkotaan, disebutkan bahwa dua dusun yang ada di Kelurahan Sendangadi masuk kedalam daftar kawasan kumuh perkotaan, yaitu dusun Banaran dan Jatirejo. Selain adanya kawasan kumuh perkotaan, banyaknya
perumahan-perumahan
yang tertata di Kelurahan
Sendangadi membuat lokasi penelitian ini memiliki keberagaman jenis permukiman yang dapat dijadikan contoh untuk pengembangan kawasan permukiman selanjutnya. Sehingga hasil dari penelitian ini diharapkan dapat mewakili untuk melakukan analisis yang berkaitan dengan kualitas lingkungan permukiman. 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah untuk mengidentifikasi kebersihan lingkungan permukiman dengan cepat dan efisien, maka disusunlah tujuan penelitian sebagai berikut :
5
a. Mengkaji kemampuan citra Quickbird untuk memperoleh parameterparameter lahan yang digunakan untuk menilai kualitas lingkungan permukiman perkotaan. b. Menilai
kualitas lingkungan permukiman
perkotaan
berdasarkan
parameter-parameter hasil interpretasi citra Quickbird dengan bantuan sistem informasi geografis di kelurahan Sendangadi, Sleman, Yogyakarta c. Memberikan
rekomendasi
tentang
prioritas
kualitas
lingkungan
permukiman perkotaan sebagai dasar perbaikan lingkungan permukiman 1.4. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian, maka pertanyaan penelitian untuk penelitian ini adalah : a. Bagaimana kemampuan citra Quickbird untuk memperoleh parameterparameter lahan yang digunakan untuk menilai kualitas lingkungan permukiman perkotaan? b. Bagaimana hasil penilaian kualitas lingkungan permukiman perkotaan berdasarkan parameter-parameter hasil interpretasi citra Quickbird dengan bantuan sistem informasi geografis? c. Seperti
apa
rekomendasi
tentang
prioritas
kualitas
lingkungan
permukiman perkotaan yang dijadikan sebagai dasar perbaikan lingkungan permukiman? 1.5. Keaslian Penelitian Penelitian tentang evaluasi kualitas permukiman di Fakultas Geografi sudah banyak dilakukan (Tabel 1.1), dari pemetaan hingga evaluasi kualitas permukiman dan hubungannya dengan berbagai tema. Pada salah satu penelitian yang dilakukan oleh Sari (2014) dengan judul “Pemanfaatan citra Quickbird dan SIG untuk identifikasi pengaruh kualitas permukiman terhadap kejadian penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada balita di kecamatan Tanjung priok, Jakarta Utara“ memiliki tujuan untuk mengetahui pengaruh kualitas permukiman terhadap penyakit ISPA pada bayi. Hasil dari penelitian ini adalah adanya pengaruh
6
antara kualitas permukiman terhadap penyakit ISPA pada bayi memiliki hubungan terbalik (Sari, 2014). Penelitian dari sudut pandang kualitas lingkungan permukiman yang dilakukan oleh Ekartaji (2013), dengan mengambil studi kasus di wilayah desa Ngestiharjo, Bantul. Dalam penelitian ini variable yang digunakan untuk menilai kualitas lingkungan permukiman adalah 29 variabel, dimana 6 diantaranya diperoleh dari citra penginderaan jauh, sedangkan 23 yang lain didapat dari lapangan. Hasil yang diperoleh dari analisis ke-29 variabel yang ada adalah, terdapat hubungan positif antara keteraturan bangunan dan kualitas lingkungan permukiman dan tingkat partisipasi masyarakat tidak berkorelasi positif dengan kualitas lingkungan permukiman (Ekartaji, 2013). Prasetyo dan Rahayu (2013) melakukan penelitian serupa dengan menggunakan variabel pola kepadatan bangunan, pola tata letak bangunan, pohon pelindung, lebar jalan masuk, kondisi jalan, lokasi permukiman, banjir yang terjadi, kualitas air minum, sanitasi, pembuangan sampah, saluran drainase dan limbah. Penelitian yang dilakukan di Kecamatan Serengan Kota Surakarta ini menggunakan metode skoring dan overlay untuk mendapatkan hasil penilaian terhadap kualitas permukiman. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo dan Rahayu adalah : kualitas baik 26,28%, sedang 32,80%, buruk, 13,25% sisanya non permukiman 27,66% (Prasetyo & Rahayu, 2013). Yualiastuti dan Saraswati (2014) melakukan penelitian tentang kualitas lingkungan permukiman dan hubungannya dengan peran komunitas lokal, pada penelitian ini metode yang pendekatan kuantitiatif. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa peran masyarakat lokal akan sangat berhubungan positif dengan programprogram sosial ekonomi dan peningkatan kualitas fisik infrasturkturnya. Walaupun peran pemerintah lokal sangat berhubungan dengan komunitas lokalnya, RT (Rukun Tetangga) memegang peran penting dalam mengarahkal komunitas akan dibawa seperti apa. Hal ini dikarenakan aspirasi terbuka pada sebuah RT sangat membantu dalam menyaring informasi-informasi dari bawah dan monitoring lingkungan sekitar tempat tinggalnya (Yuliastuti & Saraswati, 2014).
7
Tabel 1. 1 Penelitian Terkait Evaluasi Kualitas Lingkungan Permukiman No 1
Judul Penelitian Pemanfaatan citra Quickbird dan SIG untuk identifikasi pengaruh kualitas permukiman terhadap kejadian penyakit ISPA pada balita di kecamatan Tanjung priok, Jakarta Utara
Peneliti Luthfiyana Ratna Sari
Lokasi Penelitian Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara
Tujuan Penelitian Mengetahui pengaruh kualitas lingkungan permukiman terhadap kejadian ISPA dengan bantuan citra Quickbird
2
Kajian Kualitas Permukiman dengan Citra Quickbird dan SIG di Kecamatan Serengan Kota Surakarta
Wahyu Tirto Prasetyo dan Sri Rahayu
Kecamatan Serengan Kota Surakarta
3
Environmental Quality in Urban Settlement : The Role of Local Community Association in East Semarang Sub-District
Neny Yualiastuti dan Novi Saraswati
Semarang Timur desa Karangturi, Bugangan dan Kemijen
Analisis kualitas permukiman dengan variabel pola kepadatan bangunan, pola tata letak bangunan, pohon pelindung, lebar jalan masuk, kondisi jalan, lokasi permukiman, banjir yang terjadi, kualitas air minum, sanitasi, pembuangan sampah, saluran drainase dan limbah. Mengetahui seberapa besar pengaruh RT pada tiap kelurahan dalam mempengaruhi peningkatan kualitas permukiman.
Hasil Penelitian Kualitas permukimandan ISPA memiliki hubungan terbalik, semakin tinggi kualitas lingkungan, kejadian ISPA semakin rendah. Begitu pula sebaliknya. Kualitas baik 26,28%, sedang 32,80%, Buruk, 13,25% sisanya non permukiman 27,66%.
Program sosial ekonomi dan peningkatan lingkungan fisik (infrastruktur) memberikan pengaruh pada komunitas untuk meningkatkan kualitas lingkungan.
8
No 4
Judul Penelitian Kajian Kualitas Lingkungan Permukiman di Daerah Pinggiran Kota (Kasus di Desa Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Provisnsi DI Yogyakarta)
Peneliti Pritaningtyas E
Lokasi Penelitian Desa Ngestiharjo Bantul
Tujuan Penelitian Deskriptif kualitatif dengan menggunakan kuisioner dan citra satelit Quickbird berdasarkan parameterparameter terkait. Analisis menggunakan statistik
5
Kontribusi penginderaan jauh dan sistem infomasi geografis untuk penilaian kualitas lingkungan permukiman perkotaan (kasus di kelurahan sendangadi mlati sleman yogyakarta)
Ahmad Hadziq R
Kelurahan Sendangadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta
Mengkaji kemampuan citra Quickbird untuk memperoleh parameterparameter lahan yang digunakan untuk menilai kualitas lingkungan permukiman perkotaan, menilai kualitas lingkungan permukiman dan menyusun prioritas kualitas lingkungan permukiman perkotaan sebagai dasar perencanaan perbaikan lingkungan permukiman.
Hasil Penelitian Kualitas lingkungan permukiman di desa Ngestiharjo terbentuk karena perbedaan keteraturan bangunan dan kualitas lingkungan rumah. Kualitas buruk tersebar di sekitar bantaran Kali Bedogdan Kali Winongo. Kualitas baik dan sedang tersebar secara merata di seluruh Desa Ngestiharjo. Keteraturan. Peta hasil penilaian kualitas lingkungan permukiman perkotaan di kelurahan Sendangadi Mlati Sleman Yogyakarta.
9