Bab I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Selama ini Madura dikenal dengan masyarakat yang Islami dan memegang teguh tradisi-tradisi lokal. Meskipun pertukaran sosial dan budaya semakin berkembang pasca dibangunnya jembatan Suramadu, namun tidak menjamin masyarakat bisa menerima semua nilai-nilai baru tersebut. Terbukti hadirnya aliran Islam Syiah, juga memunculkan penolakan secara sikap dan perilaku dari mayoritas masyarakat di kabupaten Sampang. Ironinya polemik perbedaan aliran agama telah mengarah pada konflik fisik, dengan membunuh dan menghancurkan kelompok lain yang berbeda cara pandang. Dalam sejarah Madura, tercatat baru pertama kali konflik kekerasan yang melibatkan antarkelompok aliran agama (madzhab) yang berbeda. Lebih tepatnya ini terjadi di Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Kabupaten Sampang. Konflik tersebut melibatkan dua pihak, yaitu kelompok anti Syi’ah yang dipimpin Roisul Hukuma dan kelompok minoritas penganut Syi’ah yang dipimpin Tajul Muluk. Puncak konflik terjadi ketika kelompok anti Syi’ah menyerang kelompok minoritas Syi’ah. Pada tahun 2012, kejadian intoleransi agama ini sempat menarik perhatian nasional dan menjadi berita utama di berbagai jenis media di Indonesia. Pada dasarnya, ada beberapa pandangan yang menyebakan konflik antar kelompok Syi’ah dan anti Syi’ah di Sampang. Beberapa media massa memberitakan konflik ini berawal dari konflik bersaudara antara Tajul Muluk dan Roisul Hukum yang disebabkan persoalan asmara. Tapi penelitian ini tidak akan fokus berpedoman terhadap sumber media tersebut. Penelitian ini bersifat lapangan, yang intinya ingin melihat lebih dalam hubungan komunikasi antara kelompok Syi’ah dan kelompok anti Syi’ah di Sampang, sehingga berakibat terjadi konflik. 1
Penelitian ini lebih menekankan hubungan komunikasi antara kedua kelompok, karena sebelum adanya kasus Halimah, tepatnya pada tahun 2006 sebagian besar masyarakat yang anti Syi’ah sudah memiliki hubungan yang buruk dengan kelompok penganut Syi’ah. Mayoritas masyarakat dan tokoh di Sampang menolak aliran Syi’ah yang disebarkan oleh Tajul Muluk. Bahkan pada 26 Februari 2006 diadakan pertemuan oleh Forum Musyawarah Ulama (FMU) Kabupaten Sampang dan Pamekasan, yang dihadiri oleh Muspida Kabupaten Sampang dan puluhan pimpinan pondok pesantren. Poin terpenting dari hasil pertemuan pihak anti Syi’ah tersebut yaitu, mengultimatum Tajul Muluk dan kaumnya agar menghentikan ajaran Syi’ah yang dianggap sesat. Dapat dikatakan, penyebab utama konflik tersebut adalah perbedaan aliran agama sebagai kepercayaan merupakan suatu hal esensi yang tidak bisa ditolerir bagi kelompok anti Syi’ah. Sejak menyebarnya aliran syiah di Kabupaten Sampang, telah menimbulkan kecemasan bagi ulama, pemerintah dan masyarakat yang mayoritas sejak awal menganut Islam Sunni. Sebagian besar masyarakat Sampang yang anti Syi’ah berpandangan, bahwa penganut Syi’ah tidak mempercayai keaslian Al Quran berasal dari Nabi Muhammad, melainkan mereka mempercayai Al Qur’an yang asli dibawa Imam Mahdi. Kondisi ini dipertegas oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia Cabang Sampang, yang menyatakan Syi’ah merupakan aliran sesat. Perbedaan kepercayaan terhadap kitab suci menjadikan hubungan antara kelompok anti Syi’ah dan kelompok penganut Syiah di Nangkernang, Sampang menjadi renggang. Sejak tahun 2004, perbedaan sikap terhadap kitab suci direfleksikan oleh penganut Syi’ah dengan memiliki lembaga pendidikan pesantren sendiri dibawah pimpinan Tajul Muluk. Menjadi sebuah permasalahan ketika pesantren Syi’ah di Nangkernang tidak berbaur dan terstigma oleh masyarakat di wilayah tersebut, yang pada umumnya menganut Islam Sunni. Pendidikan dan kegiatan ibadah yang terkesan eksklusif dengan ruang lingkup terbatas oleh penganut Syi’ah, tentu semakin membuat mereka teralienasi dari kelompok mayoritas anti Syi’ah. Apalagi 2
munculnya sikap saling merendahkan dan menghina antara Syi’ah dan anti Syi’ah seringkali terjadi dalam aktivitas di lingkungan sehari-hari. Ketokohan Roisul dan Tajul Muluk sebagai pemuka agama dengan memiliki basis pengikut yang militan, telah mendorong dua kelompok tersebut untuk saling serang terlibat konflik. Hal ini juga dinyatakan oleh cendekiawan dan tokoh Syi’ah Jalaludin Rakhmat, bahwa dalam persoalan agama tujuh ratus orang yang menganut Syiah di Sampang, ditentukan oleh tokoh agamanya. 1 Kekuatan patron Kyai terhadap pengikutnya, terjadi dalam kelompok Syi’ah dan juga anti Syi’ah. Begitupun dengan kelompok anti Syi’ah memiliki dukungan bukan hanya dari Kyai di Dusun Nangkernang, namun juga dari tokoh-tokoh Kyai Madura lainnya. Konflik fisik di Dusun Nangkernang tidak hanya sekali, dan perseteruan tersebut sudah ada sejak tahun 2006. Pada 29 Desember 2011, ratusan orang dari Kecamatan Omben menyerbu kompleks Pesantren Islam Syiah di Dusun Nangkernang. Massa anti Syiah ini membakar musalla, madrasah, serta rumah pemimpin Syiah di Sampang, Tajul Muluk. Kontak fisik yang ketiga terjadi pada tanggal 29 Agustus 2012. Adapun konflik itu terjadi ketika kelompok anti Syiah menghadang rombongan santri syiah dari Tajul Muluk, yang akan pergi melanjutkan sekolah di pondok syi’ah YAPI, Pasuruan. Dua orang tewas dalam peristiwa itu, yakni Hasim dan Hosen. Pada kejadian itu, kelompok anti Syiah juga membakar 49 rumah penganut Syi’ah di Dusun Nangkernang, yang berakibat 282 warga terpaksa harus mengungsi ke gedung olahraga Kabupaten Sampang. Dalam pandangan West dan Turner, adanya kelompok yang berbeda dan distrukturkan secara berlawanan, maka dapat menyebabkan pemahaman yang tersekat (barrier) antara kelompok dominan dan subordinat. Dengan begitu, memandang
1
Selain itu fatwa dari MUI menjadi dukungan bagi kelompok anti Syi’ah untuk mengusir kelompok Tajul Muluk dari Sampang. Selengkapnya baca Tempo online, 16 September 2012. “Kang Jalal: Konflik Sampang Bukan Soal Keluarga” dalam alamat website http://www.tempo.co/read/news/2012/09/02/173426980/Kang-Jalal-Konflik-Sampang-Bukan-SoalKeluarga diakses oleh peneliti pada tanggal 17 September 2012.
3
buruk kelompok lain dapat berakibat kelompok dominan mengesampingkan pemahaman struktur kelompok subordinat.2 Sedangkan menurut Lewis dan Slade menyatakan, bahwa salah satu akar permasalahan gagalnya komunikasi yakni berkaitan dengan perbedaan nilai, karena perbedaan nilai sulit untuk diarahkan mencapai kesepakatan rasional, kecuali dengan menghargai perbedaan nilai diantara kelompok yang ada.3 Oleh karenanya dalam studi kasus di Sampang, perspektif komunikasi menegaskan persinggungan sikap antarkelompok yang berbeda aliran agama. Maka dari itu kasus ini penting untuk diteliti, terlebih sampai sekarang mayoritas masyarakat Sampang masih menolak keberadaan kelompok Syi’ah. Kejadian tersebut merupakan petanda buruk, karena curamnya saling membedakan cara pandang membuat konflik fisik antarkelompok ini terus berulang. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengungkap faktor dan proses gagalnya komunikasi pada kelompok Syi’ah dan anti Syi’ah di Sampang. Berdasarkan berbagai pertimbangan sasaran penelitian, maka judul penelitian yang diangkat sebagai berikut: “Konflik Sampang 2012 Dalam Perspektif Komunikasi (Studi Kasus Konflik Kelompok Syi’ah dan Kelompok Anti Syi’ah di Dusun Nangkernang, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Madura dalam Perspektif Komunikasi)”.
B. Rumusan Masalah Bagaimana perspektif komunikasi dalam memahami konflik antarkelompok Syi’ah dan kelompok anti Syi’ah di Kabupaten Sampang ?
2
Richard West dan Lynn H Turner. 2007. Introducing Commnuication Theory: Analysis and rd Application, 3 ed. New York: Mc Graw Hill, halaman 502. 3 Lewiss, Glen, dan Christina Slade. 1994. Critical Communication. Melboune: Prentice Hall, halaman 128-130.
4
C. Tujuan Penelitian Mengetahui penyebab gagalnya proses komunikasi antara kelompok Syiah dengan anti Syiah di Dusun Nangkernang, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang sehingga terjadi konflik. D. Manfaat Penelitian Menambah kajian dalam komunikasi, khususnya yang berkaitan dengan komunikasi antar kelompok aliran agama yang mayoritas dan minoritas di Indonesia. Mengetahui faktor-faktor penyebab buruknya hubungan komunikasi antara kelompok Syi’ah dan anti Syi’ah di Sampang Memahami dan mengurangi faktor-faktor penghambat dari tidak efektifnya komunikasi kelompok Syi’ah dan anti Syi’ah Mengetahui kondisi terkini dari hubungan antara kelompok Syi’ah dan anti Syi’ah di Dusun Nangkernang, Kabupaten Sampang. E. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran pada penelitian ini terbagi kedalam dua bagian. Pertama secara makro, konflik Syi’ah dan anti Syi’ah tidak bisa dilepaskan dari masyarakat multikutural. Hal ini logis karena kelompok agama merupakan bagian dari kelompok etnik masyarakat multikultural. Selain itu, kebersamaan dalam masyarakat multikultural sulit tercapai akibat komunikasi antarkelompok yang terus saling berlawanan. Sehingga pada bagian berikutnya, disertakan konsep akomodasi komunikasi untuk menilai kemampuan kelompok etnik menerima perbedaan kelompok lain. Dalam mamahami konflik ini juga ditentukan konsep yang menjelaskan faktor-faktor yang menghambat efektivitas proses komunikasi. Konsep sikap dan prasangka dapat menganalisa hambatan komunikasi yang disebabkan oleh aspek 5
kognitif. Sedangkan kerangka pemikiran yang terakhir, yaitu perilaku komunikasi divergen. Poin penting dari konsep terakhir ini mengenai perbedaan identitas antarkelompok, yang ditonjolkan dalam perilaku komunikasi verbal dan von verbal. Adapun penjelasan mengenai kerangka pemikiran sebagai berikut: E.1 Masyarakat Multikultural Masyarakat multikultural merujuk sebuah konsep tentang masyarakat majemuk yang menghargai kesetaraan budaya (pluralisme) dan terjaganya keberagaman dalam masyarakat. Menurut Rogers dan Steinfatt tentang masyarakat multikultural yakni menyangkut perbedaan budaya dapat eksis dalam satu lingkungan yang sama ketika dapat membangun pluralisme kultural.4 Konsep ini dilatarbelakangi karena terjadinya interaksi antar berbagai kelompok, baik itu kelompok etnik dan kelompok budaya. Terjadinya hubungan antarkelompok ini membuat monokultur pada masing-masing kelompok harus beradaptasi dengan keberagaman budaya yang ada. Dengan kata lain masyarakat multikultural, memiliki arah integrasi dalam menanggulangi budaya yang semakin beragam. Kemajemukan pada konteks masyarakat ternyata bukanlah sekedar kenyataan karena adanya individu-individu berbeda agama, suku, golongan, bahasa, pendidikan, perbedaan tingkat ekonomi, dan karakter, dan lain-lain. Tapi, kemajemukan juga berarti interaksi, dinamika, dialog, komunikasi.5 Dalam hal ini, pluralisme dalam masyarakat multikultural bukan hanya sebagai pernyataan keberagaman terhadap berbagai macam kelompok. Namun lebih dari itu, interaksi dan komunikasi menjadi kondisi riil untuk membangun kesadaran pluralisme pada masyarakat.
4
Everett M Rogers dan Thomas M Steinfatt. 1999. Intercultural Communication. Illinois: Waveland Press, halaman 238. 5 Th. Sumartana, Noegroho Agoeng, dan Zuly Qodir (ed). 2002. Pluralisme, Konflik, dan Perdamaian. Kerjasama Interfidei dan The Asia Foundation. Jogjakarta: Pustaka Pelajar, halaman xiv.
6
Satu hal yang dapat memunculkan bias dalam multikuturalisme, bahwa sebuah konsep penyeragaman antarbudaya yang berbeda-beda. Gambaran konsep tersebut salah karena, yang dimaksud kemajemukan dalam masyarakat multikultural yaitu memposisikan kelompok yang berbeda dengan saling menghormati, mengakui dan kerjasama. Selain memiliki konotasi untuk menghargai kemajemukan, masyarakat multikultural juga memiliki konsekuensi yang mana rentan terhadap konflik. Tidak ada masyarakat multikultural tanpa konflik, kecuali direkayasa atau ditutup-tutupi oleh rezim pemerintahan otoriter.6 Disini berarti konflik merupakan salah satu bentuk dinamika realita masyarakat majemuk. Ketika masyarakat yang berbeda-beda agama atau suku berinteraksi, maka peluang terjadinya konflik telah terbuka. Di Indonesia yang dalam aspek georgrafis sangat luas, juga memiliki masyarakat multikural, baik itu perbedaan berdasarkan agama, suku, etnis, tingkat ekonomi, pendidikan dan lain-lain. Kompleksitas masyarakat multikiltural, juga diwarnai sejarah kelam dalam dinamika dan konflik antar kelompok yang berbeda. Misalnya tidak dapat disangkal dalam kehidupan beragama, konflik kekerasan fisik terjadi antar kelompok masyarakat yang berbeda agama. Bahkan konflik juga terjadi diinternal penganut satu agama yang disebabkan oleh perbedaan aliran (madzab). Sedangkan menurut Sumartana, secara khusus kemajemukan serta konflik antar agama di Indonesia dibagi menjadi tiga periode atau tiga pola yang berbeda, antara lain: 1. Kemajemukan cikal-bakal, kemajemukan umat beragama pada masa ini belum sering terjadi gejolak, karena pada periode ini masih belum terjangkau teknologi dan komunikasi. Unsur-unsur agama pada masyarakat masih belum bergantung satu sama lain (self sufficient).
6
Ibid, halaman 9
7
2. Kemajemukan kompetitif, pada tahapan ini sudah terjadi dominasi oleh kelompok yang kuat kepada kelompok yang lemah, sehingga persaingan dan konflik sudah tertanam dalam masing-masing penganut agama yang berbeda. 3. Kemajemukan dan konflik terjadi ketika diperlemah dan difragmentasikan, demi kepentingan pemerintah kolonial.7 Sampai sekarang interaksi masyarakat multikultural di Indonesia belum juga membaik, walaupun telah dinaungi semangat sistem yang demokrasi. Kondisi ini lebih disebabkan, corak penganut agama yang gandrung terhadap keaslian agama (konfensionalisme) tanpa mempertimbangkan dinamika hubungan sesama antar umat beragama. Muncul suatu sikap untuk menyalahkan agama yang berbeda. Konteks berpikir
seperti
ini,
mengikis
kesadaran
kemajemukan
dalam
masyarakat
multikultural. Begitupun juga, dinamika perbedaan antar kelompok dapat mengantarkan pada kondisi konflik, sebagaimana pada kelompok Syi’ah dan anti Syi’ah di Dusun Nangkernang. Semakin majemuk masyarakat pada wilayah tertentu, tercermin semakin banyak pula kelompok-kelompok yang menyebar didalam masyarakat. Dinamika yang semakin terbuka dalam masyarakat multikultural tersebut, dapat memposisikan kelompok budaya yang kecil dan minoritas sub budaya. Lebih rinci, Samovar mendefinisikan sub budaya adalah suatu komunitas rasial, etnik, regional, ekonomi, atau sosial yang memperlihatkan pola perilaku yang membedakannya dengan subkultur-subkultur lainnya dalam suatu budaya atau masyarakat yang melingkupinya.8 Di Indonesia yang dapat disebut sub budaya seperti kelompok etnis Cina. Kondisi sangat tampak ketika orde baru, etnis Cina tidak mendapatkan keleluasaan untuk merayakan hari besar Imlek termasuk dibatasi dalam melakukan kesenian barongsai. Bahkan ironisnya, pada waktu itu keturunan etnis Cina wajib memiliki dan 7
Th. Sumaratana, dkk. 2000. Pluralisme Konlik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Jogjakrata: Interfidei, halaman 81-83. 8 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat (ed). 2009. Komunikasi. Bandung: Rosdakarya, halaman 19.
8
menggunakan nama pribumi. Kebudayaan Cina dipandang sebagai sub budaya yang berbeda dan terpinggirkan, sehingga harus mengikuti kekuatan budaya pribumi yang ada disekitarnya. Dapat juga dikatakan, budaya baru atau pendatang harus melalui tahapan penyesuaian budaya secara terus-menerus agar dapat diterima oleh masyarakat pada umumnya. Kondisi ini mengisyaratkan terjadinya dominasi budaya oleh kelompok budaya yang mayoritas atau lebih dulu ada kepada budaya pendatang yang diposisikan sebagai sub budaya. Begitupun dengan aliran Syi’ah di Indonesia juga mengalami kondisi sub budaya. Namun sebelum menjelaskan sub budaya pada kelompok Syi’ah, penting untuk diketahui kedudukan agama sebagai kelompok etnik. Pemahaman terhadap hubungan ini, dapat menegaskan bahwa agama merupakan salah satu dari kelompok dalam kajian komunikasi. Liliweri menyatakan agama sebagai kelompok etnik. Pertimbangan ini didasarkan,
bahwa
kelompok
etnik
memiliki
karakteristik
sangat
kokoh
mempertahankan norma dan nilai hingga bisa menutup orang lain untuk memasuki kelompok tersebut atau muncul perasaan (in-group) dan sebaliknya terbuka dengan orang lain (out-group). Begitupun dengan dimensi agama, yang mana terdiri dari manusia yang berkelompok berdasarkan keyakinan, iman terhadap sesuatu yang dianggap sakral. Iman inilah yang membuat penganut agama memegang teguh nilainilai ajarannya.9 Dengan demikian, pada kondisi tertentu kelompok agama bisa dipandang sebagai sub budaya. Termasuk dengan kelompok Syi’ah di Indonesia, yang mana baru saja hadir kedalam negeri pada tahun 1970-an melalui perantara beberapa pelajar Indonesia yang telah menempuh kuliah dari negeri Iran. Beberapa perbedaan pandangan penganut Syi’ah dengan umat Islam pada umumnya yang beraliran Sunni tentang Al Qur’an, nikah mud’ah dan lain sebagainya, membuat kelompok Syi’ah 9
Liliweri Alo. 2001. Gatra-gatra Komunikasi. Jogjakarta: Pustaka Pelajar, halaman 255.
9
berada diluar struktur sosial masyarakat. Ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam ajaran Syi’ah hanya diikuti sebagian kecil muslim di Indonesia. Kondisi sebagai aliran agama yang baru hadir dan minoritas, tentu saja menempatkan Syi’ah sebagai sub budaya dalam realitas etnik masyarakat Indonesia. Selain itu kriteria yang belum tercakup kedalam sub budaya, tapi juga mengalami masalah komunikasi yang serupa, yaitu sub kelompok. Menurut Samovar, ciri-ciri sub kelompok memiliki nilai-nilai dan perilaku yang bertentangan dengan kebiasaan masyarakat pada umumnya. Bahkan, sebenarnya pertentangan nilai tersebut sebagai cermin ketidakpuasan terhadap kelompok masyarakat mayoritas.10 Latar belakang dan motif sub kelompok yang menentang kelompok mayoritas merupakan ungkapan protes dari dominasi yang menundukkan dan membatasi budaya sub kelompok itu sendiri. Adapun kelompok ini antara lain, kelompok lesbi, gay, komunitas punk, kelompok feminis dan lain-lain. Termasuk juga dalam kasus penelitian ini, Tajul Muluk menyebarkan Syi’ah sebagai ketidakpuasan dan pertentangan nilai terhadap mayoritas kelompok Sunni. Kritik Tajul Muluk terhadap lingkungannya, diperjuangkan melalui aliran Syi’ah yang telah diyakininya. Salah satu sikap Tajul Muluk misalnya— kebiasaan perayaan Maulid Nabi di setiap rumah masyarakat Nangkernang, tentu membuat berat bagi keluarga yang ekonominya tidak mampu. Maka dari itu, pengikut Syi’ah di Sampang disarankan cukup mengadakan perayaan Maulid Nabi bersama-sama di Masjid. Secara garis besar bagi Tajul Muluk, Syi’ah adalah pembeda dari mayoritas kelompok Sunni. Pembeda-pembeda dari sub kelompok Syi’ah inilah yang kemudian memunculkan konflik bagi pengikut anti Syi’ah. E.2 Faktor Pendorong Komunikasi yang Efektif Ada berbagai pandangan agar terjadi komunikasi yang efektif dan penuh pengertian (mindfullness). Bagi Little John yang berpandangan bahwa teori komunikasi perlu dilandasi gagasan dari psikologi humanistik, sehingga terbangun 10
ibid
10
makna yang selaras antarpelaku komunikasi. Tujuan komunikasi yang humanistik tidak lain untuk memahami diri sendiri dan orang lain secara tepat, melalui proses komunikasi yang memang tulus menghargai antar pelaku komunikasinya. Stella Ting-Toomey dalam Little John, menekankan tentang negosiasi rupa dalam membangun hubungan komunikasi yang efektif. Bagi mereka rupa mengacu pada gambar diri seseorang kepada orang lain yang meliputi rasa hormat, kehormatan, status, koneksi, dan kesetiaan.11 Bukan berarti tidak ada negosiasi rupa yang negatif—sehingga pada lokus kejadian tertentu seseorang bisa saja merendahkan rupa orang lain. Pengabaian terhadap konsep negosiasi rupa yang demikian, mengarah pada komunikasi yang buruk dan penuh kecemasan. Oleh karena itu, perlu memperhatikan negosiasi rupa untuk mencegah hilangnya interaksi yang penuh pengertian dan kepercayaan dari orang lain. Selain itu, dalam proses komunikasi dibutuhkan mengelola ketidakpastian dan kecemasan terhadap orang lain sehingga bisa menghindari adanya kesalahpaman. Dalam studi komunikasi, teori pengelolaan ketidakpastian dan kecemasan (anxiety/ uncertainty management) digagas oleh Gudykunst. Teori ini fokus terhadap hubungan komunikasi antara anggota kelompok dengan anggota kelompok lainnya yang dianggap asing (strangers). Bagi Gudykunst, komunikasi yang efektif bukan terjadi karena terbangunnya keakraban, harus memiliki sikap yang sama, atau bahkan teknik berbicara yang jelas. Tapi komunikasi yang efektif, lebih dibentuk berdasarkan kemampuan aktor-aktornya yang dapat secara akurat memprediksi dan menjelaskan perilaku masing-masing.12 Patut diakui, pertemuan budaya antara anggota kelompok lama dan anggota kelompok asing (strangers) memang sangat rentan dengan kesalahpahaman. Munculnya perbedaan latarbelakang antarinidividu baik dari aspek etnis, agama, usia,
11
Stephen W. Littlejohn, dan Karen A. Foss. 2009. Teori Komunikasi (Theories of Human Communication). Jakarta: Salemba Humanika, halaman 251. 12 William Gudykunst dan Bella Mody (ed). 2002. Handbook of International and Intercultural nd Communication. 2 edition. London: Sage, halaman 185.
11
bahasa dan lainnya dapat mempengaruhi proses komunikasi. Selain keadaan identitas individu, topik pembicaraan, dan status actor komunikasi sangat menentukan seseorang dalam membangun komunikasi. Maka dari itu perbedaan kondisi personal yang demikian, mendorong seseorang untuk mengakomodasi segala persamaan dan perbedaan orang lain dalam berkomunikasi. Kecenderungan seseorang untuk mengakomodasi identitas lawan bicaranya dalam berkomunikasi, membuka peluang komunikasi yang efektif atau juga sebaliknya. Misalnya orang Batak berusaha menggunakan bahasa Jawa dengan tutur bahasa yang halus, ketika berkomunikasi dengan orang Jawa. Dalam berkomunikasi, orang Batak tersebut dapat dikatakan mengakomodasi bahasa, nada dan cara berbicara orang Jawa. Implikasi dari akomodasi tersebut dapat direspon positif, ketika identitas sosial yang dibangun oleh orang Batak ini dipandang sama dan menghargai orang Jawa. Namun dapat juga sebaliknya, ketika perilaku orang Batak dianggap terlalu berlebihan dan dipersepsikan mengejek identitas Jawa, maka akan memperburuk komunikasi tersebut. Dari contoh kasus diatas, bagi Turner strategi akomodasi komunikasi yang dapat direspon positif oleh antarindividu disebut dengan konvergen. Berikutnya, usaha yang berlebihan dalam memodifikasi dan merespon orang lain disebut dengan akomodasi berlebihan.13 Selain dua jenis akomodasi komunikasi ini, dalam realita ada juga individu yang secara sikap sudah berbeda dan diwujudkan dalam perilaku komunikasinya untuk menolak individu lain. Bagi orang-orang yang menolak akomodasi komunikasi ini disebut dengan divergen. Tuner mendefinisikan akomodasi konvergen sebagai tahap komunikasi yang saling menghargai (mindfulness). Tahap ini menilai kemampuan aktor-aktor komunikasi yang sangat terbuka terhadap pertemuan budaya antarindividu atau kelompok lain. Karakteristik akomodasi konvergen, terletak pada kognisi, afeksi, dan perilakunya yang terus-menerus berusaha memperhatikan interaksi yang saling 13
Ricahard Wes dan Lyn H Turner, Op.cit, halaman 499.
12
pengertian. Namun bukan berarti, dalam akomodasi konvergen terjadi penyeragaman cara pandang budaya. Lebih dari itu, kemampuan menghargai terhadap status masingmasing menjadi poin penting yang selalu diutamakan. Sedangkan bagi kelompok divergen selalu menonjolkan perbedaan dalam level kognisi, afeksi, dan perilakunya terhadap anggota kelompok lain yang berbeda. Menurut pandangan West dan Turner, ada beberapa alasan untuk berdivergensi; pertama, divergensi dianggap sebagai suatu cara untuk mempertahankan identitas individu atau kelompoknya dari identitas budaya kelompok lain. Bagi individu yang memiliki kebanggaan berlebih terhadap identitas dan keunikan budaya kelompoknya, maka sangat sulit untuk menerima dan beradaptasi dengan budaya kelompok lain. Alasan kedua, individu melakukan divergensi, yakni berkaitan dengan kekuasaan dan perbedaan peranan antara individu dengan komunikator lainnya. Dan terkahir, adapula divergensi yang mempertimbangkan materi sebagai acuan yang membedakannya dengan individu lain. Dalam hal ini individu bisa dianggap memiliki perilaku yang sangat berbeda dan dianggap memiliki penampilan yang tidak sepadan. Dari berbagai pemikiran teoritik komunikasi yang sudah dijelaskan, maka kasus dalam penelitian ini tepat apabila dijelaskan melalui teori akomodasi komunikasi khususnya konteks divergen. Hal ini didasarkan pada kondisi kelompok Syi’ah sebagai kelompok minoritas dan baru, sangat sulit untuk diterima secara sikap dan perilakunya sebagai bagian dari masyarakat Sampang. Terlebih lagi, perbedaan beberapa ritual ibadah dianggap sebagai bentuk yang salah bagi kelompok anti Syi’ah. Selain itu, kelompok anti Syi’ah sebagai mayoritas melakukan konfrontasi untuk menolak keberadaan kelompok Syi’ah di Sampang. E.3 Faktor Penghambat dalam Proses Komunikasi Penting untuk diperhatikan dalam proses komunikasi sering ditemukan hambatan yang menyebabkan hubungan antar komunikator menjadi tidak baik. Bagi Lewiss, Glen dan Slade, bahwa hambatan yang sering ditemui pada proses komunikasi antara lain; 1.) hambatan yang disebabkan perbedaan kognisi yang kuat 13
(cognition barrier), 2.) perbedaan pembendaharaan pengalaman (stored experience) dalam mepersepsikan sesuatu dan, 3.) hambatan bahasa (semantic noise). Ketiga hambatan tersebut sering menjadi permasalahan dalam komunikasi dan membuat antar individu yang berbeda latarbelakang pengetahuan dan pengalaman tidak dapat saling memahami.14 Adanya perbedaan pembendaharaan pengalaman juga membentuk perbedaan kognisi atau pengetahuan. Maka dari itu, hambatan komunikasi yang disebabkan perbedaan koginisi dan pengalaman berada pada level yang sama. Kedua faktor tersebut mengacu pada level kognisi individu sebelum melakukan perilaku komunikasi. Sedangkan hambatan bahasa tergolong kedalam level perilaku komunikasi individu, sehinggga pada level ini sangat mudah diketahui melalui pengungkapan lisan dan gerak tubuh komunikatornya. Hal yang serupa juga dijelaskan oleh Dodd, mengenai tiga aspek penting dalam membentuk interaksi yang efektif antarkelompok yang berbeda. Tiga prinsip ini meliputi pengakuan sikap terhadap keyakinan yang dibawa oleh kelompok lain dalam pertemuan antarbudaya (aspek kognitif); perlunya perasaan positif terhadap orang atau kelompok lain yang berbeda (aspek afektif); dan kemampuan untuk mengembangkan kecakapan perilaku komunikasi (aspek perilaku).15 Dengan demikian, faktor penghambat komunikasi dapat terjadi pada level kognisi, afeksi atau level perilaku. Pengabaian salah satu dari ketiga aspek tersebut dalam interaksi antarindividu atau antarkelompok, maka berujung pada gagalnya proses komunikasi. Hal ini tidak lain, terjadinya perilaku komunikasi selalu dipengaruhi oleh pikiran atau perasaan yang terbentuk dalam pengetahuan individu.
14
Lewiss, Glen, dan Christina Slade, Op.cit, halaman 128-130. th Charley H Dodd. 1998. Dynamics of Intercultural Communication (5 edition). New York: McGrawHill, halaman 88. 15
14
E.3.1 Level Kognisi Dari faktor penghambat komunikasi tersebut, persoalan pada level kognisi (cognition barrier) seringkali menjadi permasalahan paling serius dalam proses komunikasi. Buruknya hambatan kognisi yang muncul dalam proses komunikasi dapat termanifestasikan pada perilaku komunikasi yang buruk. Bahkan faktor penghambat pada level kognisi, juga mendorong terjadinya konflik fisik antar aktor komunikasi. Berikut dijelaskan bentuk-bentuk level kognitif yang dapat menjadi penghambat proses komunikasi yang mindfulness. a. Prasangka Berbeda dengan sikap yang memperjuangkan kesetaraan pengetahuan bagi kelompok minoritas, tapi dalam prasangka yang terjadi hanya menolak perbedaan dan saling merendahkan kelompok lain. Sedangkan bagi Rogers dan Steinfatt, prasangka merupakan cara pandang buruk pihak lain atas dasar membandingkan dengan kelompoknya atau dirinya sendiri (in group). 16 Dapat juga dikatakan cara pandang ini tidak beralasan, karena kita hanya melihat seseorang atau kelompok berdasarkan keburukannya saja, dengan tidak mementingkan kebenarannya. Dengan begitu, prasangka sulit menerima perbedaan yang ada dalam hubungan antarkelompok. Perbedaan sikap dan latarbelakang kelompok dianggap sebuah ancaman. Bahkan individu yang memiliki prasangka cenderung emosional terhadap cara pandang individu lain yang kontradiktif. Maka timbulnya prasangka juga diikuti adanya jarak sosial yang saling menjauhi dan kekerasan fisik (physical attack) antarkelompok. Berdasarkan tingkatannya, prasangka berjenjang dari intensitas yang rendah menuju intensitas prasangka yang tinggi. Intensitas prasangka tentu saja tergantung pada pengetahuan dan keyakinan yang dibentuk oleh individu terhadap individu lain. Intensitas prasangka yang rendah biasanya ditandai dengan menyangkal perbedaan pandangan tentang suatu nilai dari kelompok lain. Dan bisa juga intensitas rendah 16
Everett M Rogers dan Thomas M Steinfatt. Op.cit, halaman 230-231.
15
diekspresikan dengan menghindari pertemuan dengan kelompok yang berbeda. Sedangkan intensitas tinggi dan terburuk dari ekspresi prasangka, yakni apabila perbedaan cara pandang sulit ditolerir sehingga ditempuh pemusnahan terhadap anggota kelompok yang dianggap berbeda. Level kognisi yang buruk akibat kuatnya prasangka seperti ini banyak terjadi dalam realitas sosial kita. Termasuk salah satu diantaranya kasus konflik yang terjadi di Sampang. Meskipun belum terjadi pemusnahan massal terhadap anggota kelompok yang berbeda, namun kemungkinan besar prasangka pada konflik Sampang dapat dikatakan tinggi. Hal ini ditandai dari konfrontasi fisik antara kedua kelompok Syi’ah dan anti Syi’ah yang terjadi berulang kali sampai terjadi kerugian sosial, materi dan korban meninggal. b. Sikap Salah satu bentuk level kognisi dalam proses komunikasi adalah mengenai sikap. Dalam studi komunikasi, titik poin dari sikap ini pernah dijelaskan oleh West dan Turner. Bagi mereka, sikap merupakan pengetahuan dan pengalaman yang menjadi referensi dalam membentuk perilaku individu atau kelompoknya. Perbedaan sikap pada setiap individu atau kelompok terjadi ketika latarbelakang sosialnya berbeda.17
Perbedaan
sikap
inilah
yang
sering
menimbulkan
hubungan
ketidakseimbangan bagi kelompok yang memiliki sikap minoritas. Pemahaman kritis mengenai sikap juga dijelaskan oleh Nancy Hartsock, yang mana merumuskan sikap dari kasus yang memperjuangkan perempuan (kelompok feminis). Bagi Nancy, sikap dibentuk untuk membongkar pengetahuan dan kekuasaan masyarakat yang selalu menjadikan perempuan sebagai pihak yang terpinggirkan.18 Melalui studi kasus tersebut, Nancy telah merumuskan sikap sebagai sebuah teori yang memperjuangkan dinamisasi bagi perempuan agar tidak terpinggirkan. Melalui
17
Richard West dan Lynn H Turner. Op.cit, halaman 501. Nancy C.M. Hartsock. 1983. The feminist Standpoint: Developing The Ground for a Specially Feminist Historical Materialism. S. Harding dan Merrill.B.H (ed). Boston: Reidel Publishing, halaman 283 18
16
penolakan sikap dari kelompok tersebut, menjadikan teori sikap mendapatkan banyak masukan untuk melihat kasus-kasus kelompok terpinggirkan lainnya. Teori sikap ini sangat berkembang dalam studi komunikasi, karena dapat mengurai buruknya hubungan komunikasi akibat adanya hegemoni cara pandang dari kelompok dominan. Dengan begitu, sikap dalam perspektif komunikasi tidak hanya berada dalam kasus feminis saja. Namun sikap juga membahas luas tentang semua lini dari semua kelompok minoritas yang terpinggirkan.
Kekuasaan sikap yang
berlebihan dan tidak berimbang, dapat berimbas buruk bagi pihak yang dianggap sebagai sub kelompok. Implikasi politis semacam ini menjadi titik balik bagi teori sikap untuk menjelaskan ketimpangan realitas sosial yang terjadi, dan memberikan solusi dari buruknya hubungan antar individu tersebut. Secara
empirik,
teori
sikap
mengkritisi
ketimpangan
hubungan
antarkomunikator yang berbeda cara pandang berdasarkan latarbelakang etnis, agama, suku bangsa, dan kelas sosial. Pengaruh sikap yang terlalu dominan oleh kelompok tertentu dapat menjadi penghambat dalam menciptakan komunikasi yang efektif. Konsep ini pula yang akan disingkap dalam konflik Sampang, sehingga melihat buruknya hubungan komunikasi antara kelompok Syi’ah dan kelompok anti Syi’ah, yang disebabkan perbedaan sikap. Meskipun sebenarnya ada faktor selain sikap, yang dapat memperburuk proses komunikasi antara kedua kelompok aliran agama tersebut. Usaha mencapai komunikasi yang efektif, dapat juga terhadang oleh adanya masalah prasangka yang terbangun pada pengikut Syi’ah dan anti Syi’ah. E.3.2 Level Perilaku Komunikasi Perilaku komunikasi seringkali menjadi acuan dalam menilai seseorang. Hal ini terjadi, karena tampilan dari perilaku komunikasi menjadi identitas individu terhadap dunia sosialnya. Bagi Abrams, O’Connor, dan Giles, perilaku komunikasi selalu dipengaruhi oleh identitas yang terbentuk dari latarbelakang nilai, dan
17
pengalaman individu atau kelompoknya.19 Dengan begitu identitas memiliki kontribusi yang kuat terhadap efektif atau tidaknya komunikasi antar individu. Banyak diantara kita yang ingin memiliki karakteristik sebagai pembeda dengan orang lain. Kecenderungan manusia untuk memiliki karakter didasari dari sebuah nilai, pengalaman dan bisa juga kebiasaan yang kita lakukan. Biasanya karakteristik khas tentang diri kita seringkali disebut dengan istilah identitas. Identitas tidak hanya untuk individu saja, namun dapat dibutuhkan dan dihasilkan oleh kelompok sosial. Baik itu individu atau kelompok tidak hanya memandang identitas dapat dibentuk, tapi bagi mereka identitas bisa sebagai nilai perjuangan. Lebih konseptual Stella dan Toomey dalam Gudykunst mendefinisikan identitas sebagai berikut; Identity is defined as the cultural, societal, relational, and individual images of self conception, and this composite identity has group membership, interpersonal, and individual self reflective implications. identify is a colorful kaleidoscope with both stable and dynamic characteristics. the study of identify and communication issues is a challenging and yet rewarding enterprise.20
Definisi identitas di atas sebenarnya menyimpan makna, bahwa sebenarnya terjadi hubungan antara manusia dengan lingkungan sosial, budaya, dan orang-orang yang kemudian tercermin kedalam konsepsi manusia. Konsepsi dari individu inilah yang menjadi identitas, dan yang membedakannya dengan individu lain. Perbedaan identitas antar individu tampak dalam sifat, fungsi, tindakan, dan peran sosialnya. Sehingga perbedaan identitas membuat individu merasa eksis terhadap nilai dan orientasinya yang berbeda dengan orang lain. Dan untuk menciptakan identitas setiap individu maupun kelompok harus bersifat aktif, dalam arti mereka berusaha mencari identitas dengan cara merepresentasikan lingkungan sosial dan budayanya. Dengan begitu ketika menjelaskan identitas individu atau kelompok, maka sama saja kita mendefinisikan diri subjek tersebut.
19
ibid, halaman 226. Stephen W. Little John, Karen A. Foss (ed). Encyclopedia of Communication Theory. California: Sage Publications Inc, halaman 493-494. 20
18
Berbagai bentuk identitas yang ada pada indvidu tidak sepenuhnya berjalan dinamis. Dewasa ini kategori indvidu semakin kompleks, yang mana sejalan dengan meningkatnya beragam identitas. Sehingga seringkali muncul gesekan antar individu atau kelompok yang mempersoalkan identitas. Pada praktiknya, penolakan terhadap identitas kelompok lain menjadi bagian paling rumit dalam mengorganisasikan identitas itu sendiri. Menurut Wolton, jika beberapa identitas tertentu tidak dihargai dan tidak nampak jelas, maka komunikasi yang mengaselerasikan terjadinya hubungan itu dapat dikatakan tidak beraturan atau destabilisasi.21 Gagalnya komunikasi dalam menghubungkan dua kelompok yang berbeda identitas dapat menimbulkan penolakan atau konflik sosial. Dengan kata lain, perbedaan identitas juga berdampak terhadap tingkah laku anggota kelompok yang saling berbeda. Oleh karena itu untuk mendapatkan komunikasi yang terbuka dan efektif, maka perlakuan identitas yang dinamis merupakan syarat yang mutlak. Gagasan teoritik dimunculkan oleh Jessica Abrams, O’Connor, dan Giles mengenai pengaruh identitas terhadap perilaku komunikasi, seperti dalam tabel berikut:22
21 22
Dominique Wolton. 2007. Kritik Atas Teori Komunikasi. Jogjakarta: Kreasi Wacana, halaman 337. William Gudykunst dan Bella Mody (ed). Op.cit, halaman 227.
19
Tabel 1.1: Identitas dalam Perilaku Komunikasi
Implementasi identitas dapat lebih mudah untuk dilihat, karena berwujud dalam perilaku komunikasi individu. Mereka mengidentifikasi pengaruh identitas berdasarkan tiga kategori yaitu perilaku komunikasi non verbal, bahasa, dan paralanguage. Dari hubungan identitas terhadap komunikasi ini memiliki dua jenis konsekuensi, pertama, kemampuan kelompok yang menyikapi identitas secara dinamis (konvergen), memberikan peluang besar untuk terwujudnya kovergensi kelompok. Sebaliknya, kelompok yang dalam proses komunikasi memperlebar jurang perbedaan (divergen), maka semakin memperkuat konflik diantara dua kelompok budaya yang berbeda. Perilaku non verbal memiliki peran penting untuk menampilkan identitas di hadapan kelompok budaya yang berbeda. Apabila perilaku yang dilakukan lebih mengarah kepada negosiasi identitas, maka salah satu atau kedua kelompok yang berbeda bersedia untuk berprasangka baik, menebar senyuman, dan membuka peluang asimilasi. Namun kelompok yang kaku terhadap perbedaan identitas, maka 20
mereka akan menolak dan menonjolkan simbol-simbol identitas sebagai upaya eksistensi yang mengarah pada perilaku negatif. Selain itu, mereka juga akan saling membatasi untuk bertemu, bahkan hal terburuk yang dapat terjadi upaya untuk konflik dengan tujuan menghilangkan identitas kelompok lain dari struktur sosial. Begitupun dengan bahasa verbal memiliki kekuatan untuk mendekatkan atau menjauhkan hubungan antarkelompok. Menurut Nobleza dan Landen, bahasa merupakan bagian terpenting untuk menunjukkan identitas seseorang, lebih dari itu bahasa dapat membangun komunikasi.23 Kelompok yang cenderung untuk konvergensi, maka penggunaan bahasa diarahkan sebagai usaha berbagi pikiran, perasaan dan informasi. Berbeda kemudian dengan kelompok divergen, maka semua akan menonjolkan berbagai perbedaan identitas dan tidak menghargai perbedaan penggunaan identitas bahasa tersebut. Bahkan buruknya, kelompok tersebut menggunakan bahasa untuk saling menyindir dan merendahkan kelompok lainnya. Sedangkan untuk penelitian ini, konflik lebih tepat dijelaskan penyebabnya dengan menggunakan teori perilaku identitas kelompok yang cenderung divergen. Masing-masing cara pandang yang saling berbeda antarkelompok Syi’ah dan anti Syi’ah, terwujud dalam perilaku antarkelompok yang bermusuhan. Perilaku verbal dan non verbal yang menonjolkan identitas divergen, dapat memperburuk hubungan diantara kedua kelompok ini. Berikut logika hubungan konflik Sampang dalam perilaku komunikasi: PERILAKU KOMUNIKASI KONVERGEN
DIVERGEN Konflik Sampang
23
William Gudykunst. 1983. Intercultural Communication Theory. California: Sage Publications Inc, halaman 253.
21
F. Model penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka dihasilkan model penelitian yang menjelaskan realitas konflik Sampang dalam perspektif komunikasi. Sedangkan perspektif komunikasi dalam penelitian ini merujuk pada akomodasi komunikasi divergen, yang dibagi lagi kedalam; prasangka kelompok, sikap kelompok, dan perilaku komunikasi kelompok. Adapun model penelitiannya sebagai berikut: Bagan 1.1: Model Penelitian Konflik Sampang Konflik Sampang Prasangka
Komunikasi Divergen
Sikap
Perilaku Divergen
Menimbulkan hambatanhambatan kognisi
Pertarungan Sikap antarkelompok
Verbal Non Verbal
G. Kerangka Konsep
Pada bagian ini, akan menjelaskan konsep-konsep yang digunakan kedalam objek penelitian. Konsep-konsep tersebut akan menjelaskan permasalahan hubungan komunikasi antara kelompok Syi’ah dan anti Syi’ah, sehingga berakibat menjadi konflik. Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah: Tabel 1.2: Kerangka Konsep Konflik Sampang Konsep Komunikasi Divergen
Penjelasan - Konsep komunikasi divergen dalam penelitian ini adalah,
menilai terjadinya penolakan akomodasi perbedaan antara kelompok Syiah maupun anti Syi’ah dalam proses komunikasi. 22
Prasangka
- Konsep prasangka dalam penelitian ini adalah, adanya penilaian negatif untuk menyalahkan ajaran kelompok lawan, yang terjadi antara kelompok anti Syi’ah dengan kelompok Syi’ah.
Sikap
- Konsep sikap dalam penelitian ini adalah, adanya perbedaan cara pandang yang menilmbulkan pemaksaan sikap dari kelompok anti Syi’ah, sehingga terjadi perlawanan dari pihak minoritas yakni kelompok Syi’ah. - Konsep perilaku komunikasi divergen dalam penelitian ini adalah, bagaimana perbedaan antara kelompok Syi’ah dan anti Syi’ah ditonjolkan dalam perilaku komunikasi baik itu dalam bentuk verbal dan non verbal.
Perilaku Komunikasi Divergen
H. Metodologi Penelitian H.1 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Sedangkan tipe studi kasus penelitian tergolong intrinsik, yang mana fokus membahas kasus secara mendalam, mulai dari faktor-faktor penyebab konflik sampai peluang meredam konflik ini dimasa mendatang.
Oleh karena itu, metode ini
memang dipandang paling tepat untuk mengetahui penyebab dan memahami proses konflik agama di Nangkernang, Kabupaten Sampang. Pengetahuan tersebut harus dicari karena baru pertama kali konflik kekerasan agama terjadi di Madura. Munculnya perbedaan terhadap kelompok pendatang dengan aliran Syi’ah, telah membangun pengalaman dan sikap pada kelompok dominan anti Syi’ah untuk mengusir dari dusun Nangkernang, Sampang. Perbedaan sikap (standpoint) dan prasangka diantara dua kelompok masyarakat tersebut berdampak pada hubungan yang tidak harmonis. Kelompok Syi’ah dianggap berada diluar struktur sosial. Divergensi sebuah identitas kelompok Syi’ah dan anti Syi’ah yang ditonjolkan dapat mengetahui perilaku komunikasi diantara dua kelompok. Pengalaman yang seperti itu dapat memunculkan keraguan, kecemasan bahkan
23
konflik kekerasan. Dengan demikian, proses komunikasi dua kelompok tersebut penting untuk diteliti. Studi kasus dalam metode penelitian ini digunakan untuk memahami proses komunikasi antara kelompok terpinggirkan Syi’ah dan kelompok dominan anti Syi’ah, sehingga terjadi konflik. Menurut Syarifudidin Anwar penelitian studi kasus, merupakan penelitian yang akan fokus membongkar suatu kasus secara detail, yang bertujuan untuk mempelajari latarbelakang, status, terakhir, dan interaksi yang terjadi pada suatu lingkungan sosial seperti individu, kelompok, lembaga, atau komunitas pada keadaan sekarang.24 Dan yang perlu diperhatikan dari studi kasus, peneliti harus memiliki daya tangkap yang kuat terhadap isu dan tidak bias dengan anggapan, sebelum menggali keterangan dari informan.25 Dengan begitu peneliti fokus dan hatihati terhadap isu yang berkaitan objek dilapangan. Berdasarkan kondisi sub budaya yang ada, maka penelitian ini menggunakan paradigma kritis. Bagi Gudykunst pendekatan kritis mampu menempatkan penindasan dan menganalisa konflik seperti yang terjadi Sampang. Melalui paradigma kritis, akan diketahui persaingan dalam komunikasi antara Syi’ah dan antu Syi’ah. Budaya merupakan situs pergulatan, diantara berbagai orang atau kelompok dominan dan kelompok yang terpinggirkan. Selain itu pula, paradigma kritis memiliki daya kejar untuk menciptakan temuan dari kasus, dan juga memfasilitasi bagi kelompok yang tertindas. Dengan ketentuan studi kasus tersebut, maka permasalahan ini akan dibongkar dari kedalaman menggali dan menganalisa keterangan informan atau narasumber. Selain itu, penelitian studi kasus ini tidak hanya terfokus pada terjadinya konflik saja, namun juga melihat asal mula faktor yang menyebabkan konflik dan kondisi terakhir dari hubungan kedua kelompok yang saling bertentangan.
24 25
Syarifuddin Anwar. 1998. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, halaman 8. Robert K Yin. 2012. Studi Kasus Desain dan Metode. Jakarta, Rajawali Pers, halaman 70.
24
H.2 Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan ditempat terjadinya konflik aliran agama antara Syi’ah dan anti Syi’ah, yaitu di Dusun Nangkernang, Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Madura. H.3 Teknik Pengumpulan Data Agar permasalahan dapat dipahami secara lengkap, maka untuk menerapkan metode studi kasus dibutuhkan data pendukung yang rinci, sehingga mampu mengungkap permasalahan objek yang diteliti. Dalam studi kasus terdapat beberapa cara untuk memperoleh data, yaitu; dokumentasi, rekaman arsip, wawancara, observasi langsung, observasi partisipan, focus group discussion dan perangkat fisik. Sedangkan penelitian ini menggunakan tiga cara untuk memperoleh data penting yang dibutuhkan, dan sesuai dengan akses data yang tersedia dilapangan. Adapun studi dokumen, wawancara mendalam, dan observasi langsung merupakan pilihan untuk menjadi teknik pengumpulan data dalam membedah studi kasus konflik Syi’ah dan anti Syi’ah. Berikut penjelasan dari masing-masing teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini: 1. Wawancara mendalam (in-depth interview), cara mengumpulkan informasi melalui tatap muka secara langsung kepada informan yang kompeten, sehingga mendapat keterangan yang mendalam mengenai kasus atau objek yang diteliti.26 Data informasi yang dimaksud dapat berupa penjelasan, perasaan, atau pengetahuan lengkap yang dimiliki informan mengenai konflik Sampang. Dalam penelitian ini, hasil wawancara mendalam (in-depth interview) kepada aktor kelompok Syi’ah dan anti Syi’ah menjadi data primer, yang kemudian dianalisis berdasarkan perspektif komunikasi. 2. Studi dokumen atau arsip-arsip penting, pengumpulan data informasi penelitian melalui sumber-sumber hasil laporan, jurnal, buku, buletin, foto, 26
Rachmat Kriyantono. 2007. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media, halaman 100.
25
dan dokumen-dokumen penting lainnya yang dapat dijadikan sebagai sumber data. Pengumpulan data sekunder demikian dapat ditemukan dari laporan pengamatan lembaga swadaya masyarakatan yang membantu penanganan konflik tersebut, seperti; Center for Marginalized Communities Studies (CMars) Surabaya, dan Lembaga Bantuan Hukum Surabaya. Selain itu, datadata dokumen juga bisa diperoleh dari birokrasi Pemerintahan bersangkutan yang menangani kasus konflik Sampang. Data dokumentasi tulisan atau gambar tersebut, dapat menjadi acuan penelitian dalam memahami hubungan komunikasi antara kedua kelompok aliran agama yang terlibat baku konflik. 3. Focus group discussion: pengumpulan data informasi dengan cara mengumpulkan orang-orang dari internal kelompok Syi’ah saja, atau juga bisa mengumpulkan orang-orang internal kelompok anti Syi’ah saja. Hal ini dibutuhkan untuk saling mengoreksi kebenaran informasi dari masing-masing informan. 4. Observasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengadakan pengamatan langsung ketempat kejadian terjadinya konflik Syi’ah dan anti Syi’ah di Dusun Nangkernang, Kabupaten Sampang. Begitupun pengamatan langsung juga dilakukan di tempat pengungsian kelompok Syi’ah, sehingga dapat mengatahui langsung kondisi terkini pasca konflik. Pengamatan ini dapat membantu peneliti dalam mendeskripsikan situasi konflik. Dan Pengamatan ini menjadi penting, untuk mengetahui kondisi terkini penganut Syi’ah yang masih berada di Kabupaten Sampang. Sehingga sikap-sikap pertentangan yang masih ada diantara kelompok Syi’ah dan kelompok anti Syi’ah di Kabupaten Sampang dapat diketahui dan diolah sebagai data penelitian.
26
H.4 Penentuan Informan Wawancara dari para informan untuk memperoleh pernyataan yang sifatnya terbuka untuk mengetahui pengalaman-pengalaman yang terjadi antar aktor kelompok yang berkonflik. Keaslian data wawancara pada anggota kelompok Syi’ah dan anti Syi’ah di Dusun Nangkernang, Sampang dimanfaatkan untuk mengetahui kondisi riil dialapangan, sehingga dapat dianalisis tentang komunikasi dan pengalaman kelompok Syi’ah yang menyandang identitas subkelompok. Adapun pihak-pihak yang akan diwawancarai antara lain: 1. Pengikut kelompok anti Syi’ah di Dusun Nangkernang: diharapkan memberikan informasi tentang interaksi sehari-hari kelompok anti Syi’ah dengan kelompok Syi’ah, sehingga mengetahui penyebab konflik bisa terjadi. 2. Pengikut kelompok Syi’ah: bisa menjadi sumber informasi tentang interaksi komunikasi yang dialaminya bersama kelompok anti Syi’ah. 3. Pemerintah Kabupaten Sampang: sebagai penanggung jawab selama terjadinya hubungan yang buruk antara kelompok Syi’ah dan anti Syi’ah. Bagian
pemerintah
ini
misalnya
Kepolisian,
Pengadilan
Negeri,
Bakesbangpolinmas atau Dinas-dinas yang terkait lainnya. 4. Lembaga Swadaya Masyarakat: bisa merupakan aktor resolusi konflik, lembaga bantuan sosial dan kemanusian. Lembaga-lembaga bersangkutan banyak mengetahui informasi lapangan dari kedua belah pihak yang terlibat konflik di Sampang. Adapun kelompok ini misalnya, Lembaga Bantuan Hukum Surabaya, dan Center for Marginslized Communities Studies (CMars) Surabaya yang telah mengawal konflik kelompok Syi’ah sejak tahun 2006. Pertimbangan pemilihan informan dalam penelitian ini bukan sekedar diarahkan kepada keterwakilan saja, tapi juga lebih difokuskan pada kesesuaian realitas dilapangan. Dengan begitu, selain hasil wawancara dari pimpinan dari kelompok Syi’ah dan anti Syi’ah, juga dibutuhkan informasi dari anggota masing-
27
masing kelompok. Sehingga dipilih dua informan dari anggota kelompok Syi’ah dan dua informan lagi dari kelompok anti Syi’ah. Menurut Kristi Perwandari, informan yang terpilih dalam penelitian harus dapat bersifat intensitas.27 Berarti setiap penentuan informan harus melibatkan aktoraktor yang signifikan untuk menjelaskan gagalnya hubungan komunikasi di Sampang. Agar intensitas diketahui, maka selain dari pimpinan juga harus mengambil data dari anggota masing-masing kelompok. Ini terkait, anggota dari kedua kelompok merupakan aktor utama yang terlibat langsung dalam terjadinya hubungan komunikasi. H.5 Teknis Analisa Data Penelitian ini menempatkan proses komunikasi dalam kelompok Syi’ah dan anti Syi’ah sebagai fokus objek penelitian. Sedangkan teknik analisa dalam penelitian ini, yaitu mencari faktor-faktor gagalnya komunikasi antara kelompok Syi’ah dan kelompok anti Syi’ah sehingga berakibat konflik. Terjadinya konflik, juga menyertakan bagaimana peran komunikasi yang terbangun pada hubungan kedua kelompok tersebut. Dengan begitu, penelitian ini diharapkan mengetahui kesalahan hubungan pada kedua kelompok dan menempatkan bagaimana seharusnya komunikasi yang baik, dalam arti tidak memunculkan kecemasan atau ancaman dari kelompok dengan aliran pendatang (Syi’ah). Mengingat buruknya komunikasi diantara kedua kelompok masyarakat beragama ini, maka dijelaskan dengan teori-teori komunikasi seperti; prasangka, sikap, dan pengaruh identitas dalam perilaku komunikasi. Berdasarkan teori-teori komunikasi ini memiliki tujuan dan mengarahkan interaksi hubungan yang saling mengahargai dan hidup berdampingan. Namun berdasarkan realita yang ada, hubungan kelompok ini masih terlibat konflik kekerasan dan belum menemukan titik
27
E, Kristi Poerwandari. 1998. Pendekatan Kualitatif Dalam Penelitian Psikologi. Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3). Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, halaman 55.
28
kesepahaman. Dengan demikian, lebih awal teori-teori tersebut ingin mengungkap proses komunikasi yang terjadi sehingga dapat menemukan titik celah kekurangan dari aspek interaksi kelompok Syi’ah dan anti Syi’ah di Dusun Nangkernang, Kabupaten Sampang. I. Limitasi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitan studi kasus dengan alur berpikir induktif, sehingga ada pembatasan dalam menganalisis objek penelitian pada konflik Sampang. Adapun limitasi tersebut yaitu: 1. Penelitian ini terbatas pada lokasi di Desa Karanggayam dan Desa Blu’uran Kabupaten Sampang Madura. 2. Objek penelitian ini adalah konflik antara kelompok Syi’ah dan kelompok anti Syi’ah di Desa Karanggayam dan Desa Blu’uran Kabupaten Sampang Madura. Oleh karenanya akan menjadi bias apabila hasil penelitian ini digunakan untuk mengeneralisir konflik-konflik etnik lainnya yang pernah terjadi di Madura. Apalagi pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif yang tidak memiliki teknik standar yang diakui bersama dalam membatasi hubungan antara peneliti dengan objek peneltian, sehingga ada kemungkinan penelitian ini tidak berlaku di tempat yang berbeda. 3. Melalui perspektif komunikasi, penelitian ini hanya memfokuskan pada proses komunikasi dalam sehari-hari antara kelompok Syi’ah dan kelompok anti Syi’ah, sehingga menyebabkan konflik.
29