BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Di seluruh dunia lebih dari 20 juta setiap tahunnya dilahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR). Di negara berkembang kejadian BBLR 16,5%, 2 kali lebih tinggi dibandingkan negara maju dengan insiden 7% (WHO, 2004). Di Indonesia insiden BBLR (10,5%), IUGR (19,8%) dan kelahiran prematur (18,5%) (Depkes RI, 2008). Target
Millenium Development Goals sampai dengan tahun 2015 adalah menurunkan angka kematian bayi dan balita sebesar 20 per 1000 kelahiran hidup. Saat ini angka kematian bayi masih tinggi yaitu sebesar 67 per 1000 kelahiran hidup. Penyebab utama tingginya angka kematian bayi, khususnya pada masa perinatal adalah BBLR (Kemenkes, 2013). BBLR adalah bayi dengan berat lahir < 2500 gram tanpa melihat umur kehamilan. Pertumbuhan janin dan berat badan bayi yang dilahirkan sangat dipengaruhi oleh status gizi ibu hamil, baik sebelum dan selama hamil. Status gizi ibu selama hamil dapat ditentukan dengan memantau pertambahan berat badan selama hamil, lingkar lengan atas (LLA) dan kadar hemoglobin (Waryono, 2010). Bertambahnya umur kehamilan disertai dengan pertambahan berat badan yang sesuai. Pertambahan berat badan ibu yang tidak normal dapat menyebabkan terjadinya keguguran, prematuritas, BBLR, gangguan pada rahim dan perdarahan setelah melahirkan (Manuaba, 1998). Masalah gizi yang sering dihadapi ibu hamil yaitu Kurang Energi Kronik (KEK) dan anemia gizi. KEK pada saat hamil akan menghambat pertumbuhan janin sehingga menimbulkan risiko BBLR (Depkes RI, 2002). Penelitian di Madiun melaporkan bahwa ibu hamil yang mengalami Kurang 1
Energi Kronik (KEK) mempunyai risiko 8,24 kali lebih besar melahirkan bayi dengan BBLR (Budiyanto, 2000). Berdasarkan Riskesdas 2013, terdapat 37,1% ibu hamil
anemia, yaitu ibu hamil dengan kadar Hb kurang dari 11 g%, dengan proporsi yang hampir sama antara di kawasan perkotaan (36,4%) dan perdesaan (37,8%). Ibu hamil yang menderita anemia berisiko 2,25 untuk melahirkan bayi dengan BBLR (Nurhayati, 2009). Usia reproduksi wanita sehat adalah 20–35 tahun. Pada umur < 20 tahun, panggul belum sempurna, sedangkan pada umur > 35 tahun ada kecenderungan perdarahan post partum karena organ reprodusi sudah tidak dapat berfungsi sempurna (Manuaba, 1998). Jumlah anak yang dilahirkan (paritas) mempunyai hubungan dengan kejadian BBLR, dimana ibu dengan paritas > 3 anak berisiko dua kali melahirkan BBLR (Joeharno dan Zaenab, 2006). Paritas pertama memiliki risiko 3,2 kali melahirkan BBLR dibandingkan paritas ke dua atau lebih (Negi et al., 2006). Seorang ibu hamil memerlukan waktu paling sedikit 2 tahun untuk memulihkan kondisi tubuhnya setelah hamil dan melahirkan. Apabila jarak kehamilan terlalu dekat berisiko terganggunya sistem reproduksi yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan ibu maupun bayi yang dilahirkan (Manuaba, 1998). Pemeriksaan kehamilan (ANC) mempunyai peranan penting dalam upaya pencegahan dan mendeteksi adanya kelainan atau komplikasi yang terjadi pada ibu dan bayi, termasuk risiko BBLR. Frekuensi ANC minimal 4 kali selama kehamilan. Ibu yang memeriksa kehamilan kurang dari empat kali memiliki risiko 1,24 kali melahirkan bayi dengan BBLR (Setyowati et al., 2001). Faktor risiko lain yang dapat
mempengaruhi kejadian BBLR adalah tingkat pendidikan, pekerjaan, kebiasaan ibu misalnya merokok, penyakit yang diderita selama kehamilan seperti hipertensi,
penyakit
jantung,
pre-eklampsia/eklampsia,
penyakit
infeksi, 2
perdarahan antepartum dan ketuban pecah dini (Rochadi, 1997). Masalah yang sering terjadi pada BBLR adalah asfiksia lahir, gangguan pernafasan, hipotermia, hipoglikemia, problem feeding, penyakit infeksi, kurang gizi, gangguan tumbuh kembang, penurunan kecerdasan (Syarifuddin et al., 2011). Indikator keberhasilan upaya kesehatan berupa penurunan BBLR dari 10,5% menjadi kurang dari 7%. serta penurunan angka kematian bayi menjadi 48 per 1000 kelahiran hidup (Kemenkes, 2013). Data dari Dinas Kesehatan Prop. DIY, Tahun 2012, dari 45.796 bayi lahir hidup, ditemukan BBLR sebanyak 2012 (4,40%). Data dari Kabupaten Sleman dari 13.697 bayi lahir hidup, ditemukan 498 BBLR (3,91%) (Dinkes Kab Sleman, 2013). Propinsi DIY tahun 2012 dari 400 kematian neonatal, BBLR menduduki peringkat tertinggi yaitu 37,9% (Dinkes Prop DIY 2013). Kabupaten Sleman peringkat tertinggi kematian neonatal disebabkan asfiksia (43,9%), kemudian BBLR (21,9%) (Dinkes Kab Sleman, 2013). RSUD Sleman adalah RS rujukan utama di wilayah Kabupaten Sleman, dimana
pada periode tahun 2010–2014 terdapat kecenderungan
peningkatan BBLR. Data kejadian BBLR di RSUD Sleman dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 terdapat pada Gambar 1.
3
Sumber : RSUD Sleman 2015.
Gambar 1. Kejadian bayi berat lahir rendah di RSUD Sleman periode tahun 2010 -2014.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan, maka dirumuskan suatu pertanyaan penelitan sebagai berikut: Apa saja faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian BBLR di RSUD Sleman periode tahun 20102014?
4
C. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan faktor risiko dengan kejadian
BBLR di
RSUD Sleman periode tahun 2010-2014.
Tujuan Khusus 1.
Untuk mengetahui faktor risiko kejadian BBLR di RSUD Sleman periode tahun 2010-2014.
2.
Untuk mengetahui angka kejadian BBLR di RSUD Sleman periode 20102014.
D. Manfaat Penelitian 1.
Hasil
penelitian
ini
secara
teoritis
diharapkan
bermanfaat
dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan bahan acuan peneliti lain yang berkaitan dengan kejadian BBLR. 2.
Secara praktis hasil penelitian yang diharapkan dapat sebagai masukan bagi pelaksana sebagai bahan informasi dalam menentukan kebijakan sebagai upaya meningkatkan pelayanan kesehatan ibu saat kehamilan dan persalinan
3.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi/masukan Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman dalam menyusun perencanaan pelayanan kesehatan ibu dan bayi (KIB) pada pemeriksaan selama kehamilan dan upaya pencegahan kejadian BBLR.
5
4.
Bagi penulis merupakan suatu pengalaman yang sangat berharga dalam mengaplikasikan ilmu yang telah didapat dan menambah wawasan pengetahuan.
6
Tabel 1. Keaslian Penelitian No
Nama Peneliti/Judul
Desain
Populasi
1
Kurang energi kronis dan anemia ibu hamil sebagai faktor risiko kejadian berat bayi lahir rendah di kota Mataram Propinsi Nusa Tenggara Barat (Hidayati et al., 2006)
Case Control
Semua ibu yang melahirkan bayi di kota Mataram, Prop NTB periode 1 jan s/d 31 desember 2004.
2
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian berat badan lahir rendah (BBLR) di Kabupaten Kotawaringin Timur (Ruji, 2009)
Case Control
3
Faktor risiko ibu dan layanan antenatal terhadap kejadian bayi berat lahir rendah di RSUD Kraton Pekalongan (Nurhadi, 2006)
4
Hubungan faktor risiko ibu hamil dengan kejadian bayi berat lahir rendah (BBLR) di Rumah Sakit Umum Barru tahun 2007 (Puji et al., 2007)
Jumlah Sampel
Hasil
Perbedaan
378
KEK (LLA < 23,5cm) berisiko BBLR (OR 4,71, anemia (OR 3,70). KEK dan anemia secara bersama sama (OR 5,53).
Rancangan penelitian
Semua ibu yang melahirkan pada bulan September s/d Juli 2009, yang tinggal di wilayah Kota Waringin Timur.
120
LLA < 23,5 cm mempunyai risiko BBLR 4,89 kali dibandingkan LLA > 23,5 cm, paritas < 2 dan > 4 mempunyai risiko 3,5 kali BBLR dibandingkan paritas 2-4. Umur Ibu < 20 tahun dan > 35 tahun mempunyai risiko BBLR 12,5 kali dibanding umur 20-35 tahun.
Rancangan penelitian
Case Control
Semua ibu yang melahirkan bayi di BP RSUD Kraton Pekalongan dengan berat badan lahir < 2500 gram, umur kehamilan 38-42 minggu dan tercatat dalam rekam medis
126
Ada 2 variabel yang secara statistik terbukti berpengaruh terhadap kejadian BBLR yaitu LLA < 23,5 cm dengan OR 42,55 (95% CI; 3,61-501,67) dan frekuensi ANC < 4 kali dengan OR 8,06 (95% CI; 1,33-48,93).
Rancangan penelitian
Cross Sectional
Semua yang melahirkan di RSU Barru tahun 2007.
100
Terdapat, hubungan bermakna antara paritas, status gizi dan kadar Hb terhadap kejadian BBLR (p < 0,05).
Rancangan penelitian sama, perbedaan didapatkan pada analisis.
7