BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu negara harus memenuhi syarat-syarat tertentu berdasarkan Konvensi Montevideo tahun 1933 untuk dapat disebut sebagai negara yang berdaulat. Negara harus memiliki penduduk yang tetap, teritori dan pemerintahan. Syarat lain yang penting untuk dipenuhi oleh negara agar dapat dikategorikan ke dalam negara yang berdaulat ialah adanya pengakuan. Peran dari pengakuan sangat krusial bagi negara, karena pemberian pengakuan akan berdampak pada kemampuan negara yang diakui dalam mengadakan hubungan internasional.1 Pengakuan dibutuhkan oleh entitas-entitas agar dapat berfungsi sebagai entitas normal yaitu menjadi sebuah negara berdaulat untuk menjalankan sistem internasional. Negara yang mendapatkan pengakuan secara terbatas akan menyulitkan akses negara tersebut terhadap pasar, pinjaman dan perlindungan dari norma non-intervensi misalnya. Karakter yang sering diasosiasikan dengan negara-negara yang banyak tidak diakui internasional ialah ketidakpatuhan pada hukum internasional, kekerasan dan radikalisme etnis-nasional. Negara-negara tersebut umumnya akan berusaha mengubah pandangan dan menunjukkan bahwa negara tersebut adalah negara demokratis serta entitas yang layak diterima oleh komunitas internasional. 2 Pentingnya pengakuan membuat negara terus memperjuangkan statusnya sebagai negara berdaulat. Namun, terdapat beberapa negara yang status internasionalnya masih diperdebatkan.
1
Council on Foreign Relations, Montevideo Conventions on the Right and Duties of States (daring),
, diakses 16 Agustus 2016 2
N. Capersen, ‘States Without Sovereignity: Imitating Democratic Statehood’ dalam N. Capersen & G. R. V. Stansfield, Introduction: Unrecognized States in International System, Routledge, Abingdon, 2011, p. 78
1
Salah satu negara yang status internasionalnya masih diperdebatkan (debatable) adalah Republic of China (Taiwan). Konsensus 1992 yang merupakan pertemuan wakil tidak resmi antara Cina dan Taiwan menghasilkan kesepakatan adanya 1 Cina. Sementara itu, intrepetasi tentang 1 Cina (One China Policy) dimaknai berbeda oleh Cina maupun Taiwan. Kebijakan hanya ada 1 Cina menimbulkan isu penting tentang status internasional yang dimiliki oleh Taiwan. Hal tersebut menimbulkan pilihan bagi negara-negara untuk memberikan pengakuan kepada Cina atau Taiwan. Kompetisi antara Cina dan Taiwan dalam memperebutkan pengaruh di negara-negara lain utamanya mengenai pengakuan dapat dilihat dari tahun 1970an. Pada periode tersebut, Taiwan kehilangan keanggotaan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sehingga membuat Taiwan perlu mencari pengakuan sedapat mungkin. Upaya Taiwan dalam memperoleh pengakuan secara signifikan meliputi negara-negara kecil di Afrika, kawasan Amerika Tengah, Kepulauan Karibea dan Pasifik.3 Selain kawasan-kawasan tersebut, negaranegara memilih mengakui Cina. Sebagian besar negara di dunia apabila telah memberikan pengakuan untuk Cina atau Taiwan, cenderung mempertahankan pengakuan ke salah satu negara tersebut. Contohnya Indonesia yang membuka hubungan diplomatik dengan Cina pada tahun 1950, meskipun hubungan sempat putus di tahun 1967 hingga 1989. Akan tetapi, sejak membuka kembali hubungan diplomatik dengan Cina di tahun 1990, Indonesia tetap mengakui Cina hingga sekarang. 4 Hal tersebut juga terjadi dengan Jepang yang telah mengakui Cina sebagai negara berdaulat sejak tahun 1972.5
3
T. Wesley-Smith, ‘China in the Pacific Islands: impact and implications’, dalam C. P. Freeman (ed.), Handbook on China and Developing Countries, Edward Elgar Publishing, Cheltenham, 2015, p. 482 4 A. M. Murphy, ‘Indonesia Responds to China’s Rise’, dalam B. Gilley & A. O’Neil (ed.), Middle Powers and The Rise of China, Georgetown University Press, Washington DC, 2014, pp. 129-130 5 M. Shirashi, ‘Japan and the Reconstruction of Indochina’, dalam G. Faure (ed.), New Dynamics between China and Japan in Asia: How to Build the Future from the Past?, World Scientific Publishing, Danvers, 2010, p. 156
2
Kebijakan untuk tetap mengakui Cina pun dilakukan oleh Amerika Serikat. Perbaikan hubungan diplomatik antara Amerika Serikat dan Cina diawali kunjungan Nixon ke Cina pada tahun 1972. Baru di tahun 1979, Amerika Serikat membangun hubungan diplomatik secara penuh dengan Cina.6 Setelah memberikan pengakuan diplomatik untuk Cina di tahun tersebut, Amerika Serikat tetap mempertahankan pengakuannya. Gambia mempunyai posisi yang unik dalam memberikan pengakuan untuk Taiwan. Pasca merdeka dari Inggris di tahun 1965, Gambia mengakui Taiwan sebagai negara yang berdaulat tepatnya di tahun 1968. Namun, setelah Cina mendapatkan kursi di PBB pada tahun 1971, Gambia beralih posisi dengan mengakui Cina tepatnya pada tahun 1974. Perubahan pengakuan Gambia pun terjadi lagi dimana Gambia kembali mengakui Taiwan di tahun 1995. Beberapa tahun kemudian yaitu di tahun 2013, Gambia memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan. Selang 3 tahun pemutusan hubungan diplomatik dengan Taiwan, Gambia pun mengakui Cina lagi pada Maret 2016. 7 Padahal, hubungan antara Gambia dan Taiwan begitu erat di tahun 2010 dengan adanya kerjasama yang intens di bidang kesehatan, pendidikan dan pelatihan, agrikultur serta pembangunan infrastruktur.8 Pada tahun 2011, hubungan Gambia dan Taiwan juga semakin menguat terutama di sektor perdagangan bilateral. Hubungan antara Gambia dan Taiwan yang semakin kuat di tahun 2011 tersebut, tidak terlepas dari kerjasama ekonomi utamanya di bidang perdagangan antara Gambia dan Republic of China (Taiwan) dimana volume perdagangan pada tahun sebelumnya mencapai US$4.147 juta. 9 Dapat 6
D. Wang, The United States and China: A History from the Eighteenth Century to the Present, Rowman & Littlefield Publishers, Plymouth, 2013, p. 7 7 A. Ramzy, ‘China Resumes Diplomatic Relations with Gambia, Shutting Out Taiwan’, The New York Times (daring), 18 March 2016, , diakses 23 Agustus 2016 8 N. Jawneh, ‘Gambia-Taiwan Relations Deepen, as ROC Embassy Marks 99th National Day’, The Point (daring), 11 October 2010, , diakses 23 Agustus 2016 9 Admin, ‘Taiwan Boosts Trade Relations with Gambia Through the Gambia Trade Fair 2011’, Business Wire (daring), 4 December 2011, , diakses 23 Agustus 2016
3
dikatakan bahwa Gambia mempunyai inkonsistensi dalam memberikan pengakuannya untuk Taiwan.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan penelitian yang penulis ajukan adalah “Mengapa terjadi inkonsistensi dalam kebijakan pengakuan (recognition) oleh Gambia terhadap Taiwan dan Cina?”
C. Landasan Konseptual Untuk menjawab rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, penulis menggunakan landasan konseptual sebagai berikut: 1. Recognition Dalam Hukum Internasional, recognition merupakan bentuk pernyataan formal tentang status negara yang berdaulat dari suatu negara kepada negara lainnya. Recognition sebagai sebuah tindakan diplomatik dapat diberikan secara sepihak oleh 1 negara maupun lebih. Tujuan praktis dari recognition adalah untuk mengawali hubungan resmi antara negara yang mengakui dengan negara yang diakui. Pengakuan secara konstitutif dapat menciptakan status kenegaraan atau melengkapi otoritas pemerintahan baru di lingkungan internasional.10 Pengakuan de jure berarti menurut negara negara yang mengakui, negara yang diakui secara formal telah memenuhi persyaratan berdasarkan hukum internasional untuk dapat berpartisipasi aktif di dalam masyarakat internasional.11 Pada prakteknya, pengakuan lebih ke masalah politik daripada masalah hukum. Pilihan untuk mengakui negara lain terutama ditentukan oleh perlunya perlindungan atas kepentingan-kepentingan negara yang mengakui dengan negara yang diakui. Terdapat pertimbanganpertimbangan politis lainnya seperti perdagangan, strategi dan sebagainya yang mempengaruhi pemberian pengakuan oleh suatu negara. Atas dasar tersebut, 10
J. G. Starke, Introduction to International Law, edisi kesepuluh Bahasa Indonesia Pengantar Hukum Internasional, diterjemahkan oleh Bambang Iriana Djajaatmadja, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, pp. 176-177 11 J. G. Starke, pp. 186-187
4
muncul tendensi (kecenderungan) negara-negara untuk menggunakan prinsipprinsip hukum sebagai kamuflase guna menutupi keputusan-keputusan politiknya.12 Gambia memberikan pengakuan untuk Taiwan karena Taiwan dinilai telah memenuhi syarat-syarat sah sesuai hukum internasional sebagai negara berdaulat. Selain itu, faktor politik dan kepentingan strategis atas persoalan domestik juga menjadi hal yang dipertimbangkan oleh pemerintah Gambia ketika mengakui Taiwan maupun Cina.
2. The Rational Actor Model The Rational Actor Model merupakan teori yang penting dalam memahami pembuatan keputusan luar negeri suatu negara. Berdasarkan model ini, aktor yang rasional diasumsikan mampu mengidentifikasi alternatifalternatif beserta konsekuensi-konsekuensinya dan menyeleksi alternatifalternatif tersebut dengan tujuan untuk memaksimalkan kepuasan. Dalam kondisi yang dihadapkan pada pilihan-pilihan, maka pembuat keputusan yang rasional diharapkan dapat mencapai sasaran dan tujuan. Graham Allison mendefinisikan rasionalitas sebagai pilihan yang konsisten dan valuemaximizing di dalam hambatan yang ada. Pembuat keputusan yang rasionalitas akan memilih alternatif dengan konsekuensi yang paling disukai. Allison juga menambahkan bahwa rational actor model juga menekankan tentang utility maximization yang berarti aktor pembuat keputusan akan memilih alternatif yang memberikan keuntungan-keuntungan bersih (net benefits) paling besar. Rasionalitas sendiri masih dibagi ke dalam 2 bagian yaitu thin rationality yang bertujuan mengejar kepentingan strategis yang sifatnya stabil dan preferensi sesuai yang ditentukan. Sementara itu, thick rationality mengasumsikan aktor mempunyai preferensi-preferensi tertentu yang umumnya berbentuk material self-interest atau melanggengkan maupun memperluas kekuasaan politisi.13 Berubahnya posisi Gambia dalam memberikan pengakuan untuk Taiwan dilandasi oleh kepentingan ekonomi. Gambia memilih mengakui Cina kembali 12
J. G. Starke, p. 174 A. Mintz & K. DeRouen Jr., Understanding Foreign Policy Decision Making, Cambridge University Press, New York, 2010, pp. 57-59 13
5
sebagai negara yang berdaulat karena akan lebih besar keuntungan ekonomi yang diperoleh Gambia ketika mengakui Cina daripada memberi pengakuan ke Taiwan.
3. Reciprocity Reciprocity (resiprositas) merupakan fondasi dalam memahami hukum internasional. Selain itu, resiprositas adalah komponen yang esensial pada sistem kedaulatan dan persamaan hukum. Pentingnya resiprositas terlihat melalui diplomasi yang menjadi media pertama dari interaksi negara-negara. Robert Keohane mengidentifikasi 2 bentuk resiprositas dalam hubungan internasional yang dibedakan berdasarkan sifat dan level interaksinya. Pertama adalah specific reciprocity dan kedua yaitu diffuse reciprocity. Specific reciprocity menjelaskan situasi dimana aktor yang melakukan hubungan bilateral menukarkan item atau keputusan yang nilainya kira-kira sebanding dalam interaksi keduanya. Kontrak atau perjanjian adalah contoh dari specific reciprocity karena terdapat pertukaran-pertukaran antara barang maupun jasa secara jelas. Keohane menambahkan bahwa specific reciprocity merupakan kerjasama yang dapat berubah dan akan menghalangi pihak yang menginginkan sebuah perjanjian yang stabil dan menguntungkan. Kontrak atau perjanjian yang termuat dalam specific reciprocity biasanya bersifat sementara dan tertutup. Specific reciprocity juga kerap mengabaikan perjanjian-perjanjian yang ada dan lebih menganggapnya sebagai pelengkap kepentingan negara, alih-alih norma yang mengikat perilaku negara bersama. Sementara itu, diffuse reciprocity menurut Keohane mempunyai cakupan yang lebih luas dalam hal komitmen menerima standar berperilaku demi mengurangi konflik. Diffuse reciprocity hanya akan dapat dicapai jika aktor-aktor memiliki kepentingan yang sesuai dan kepatuhan pada norma bersama. Tanpa adanya prasyaratprasyarat tersebut, diffuse reciprocity akan membuat pihak-pihak mengalami eksploitasi. Penerapan dan pengaplikasian resiprositas seringkali bergantung pada 3 hal yaitu : a) Sumber legal dari kepatuhan norma
6
b) Kedudukan politik dari aktor yang dikenai kewajiban c) Evaluasi subjektif kewajiban14. Hubungan Gambia dan Taiwan terutama mengenai kebijakan pengakuan dari Gambia untuk Taiwan ada resiprositas di dalamnya. Sebab pengakuan yang diberikan oleh negara Gambia untuk Taiwan terdapat hal-hal yang dipertukarkan. D. Argumentasi Utama Gambia yang merupakan negara di benua Afrika memiliki posisi unik dalam pemberian pengakuan kepada Taiwan. Negara Gambia semula mengakui Taiwan kemudian berpindah mengakui Cina, mengakui Taiwan lagi dan akhirnya kembali ke Cina. Hal tersebut menunjukkan adanya inkonsistensi dalam pemberian pengakuan Gambia terhadap Taiwan. Pengakuan Gambia untuk Taiwan diberikan secara resmi karena Taiwan dinilai telah memenuhi syarat-syarat secara hukum internasional sebagai sebuah negara berdaulat. Namun, inkonsistensi yang terjadi di dalam pengakuan Gambia terhadap Taiwan muncul kembali pada bulan Maret 2016. Inkonsistensi disebabkan oleh beberapa hal utama yaitu kepentingan politik dan ekonomi Gambia, bentuk resiprositas, kepentingan strategis untuk mengatasi persoalan domestik serta meluasnya peran Cina secara politik dan ekonomi di kawasan Afrika dan di level internasional.
E. Metode Penelitian Metode penelitian yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan sumber data sekunder berupa studi kepustakaan. Data yang digunakan untuk menganalisis dan menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini adalah literatur buku, jurnal, koran resmi pemerintah dan milik organisasi, serta artikel-artikel lain dari internet. Dalam skripsi ini data yang penulis kumpulkan adalah mengenai inkonsistensi pemberian pengakuan dari 14
S. Watts, Reciprocity and the Law of War, Harvard International Law Journal I, vol. 50, no. 2, 2009, pp. 366-370
7
Gambia terhadap Taiwan dan Cina dari tahun 1968 hingga 2016 dan faktorfaktor yang mempengaruhi inkonsistensi kebijakan pengakuan Gambia untuk Taiwan dan Cina dengan mengacu juga pada pernyataan yang dirilis oleh lembaga berwenang pada periode tersebut.
F. Lingkup Waktu Lingkup waktu tahun 1968 sampai 2016 dipilih oleh penulis karena pada rentang waktu tersebut terdapat peristiwa-peristiwa penting dalam hubungan Gambia dengan Taiwan dan Cina khususnya dalam hal kebijakan pengakuan Gambia. Negara Gambia mengakui Taiwan pada tahun 1968 lalu mengakui Cina di tahun 1974. Namun, Gambia kembali menjalin hubungan dengan Taiwan di tahun 1995. Pemutusan hubungan diplomatik di tahun 2013 mengakhiri pengakuan formal yang diberikan Gambia untuk Taiwan sejak 1995. Meskipun Gambia telah memutuskan hubungan diplomatik sekaligus mencabut pengakuan internasional (international recognition) untuk Taiwan, Gambia tidak langsung memberikan pengakuan internasional untuk Cina. Setelah 3 tahun memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Taiwan, baru pada bulan Maret 2016 Gambia mengakui hanya ada 1 Cina yaitu People’s Republic of China (PRC) dan Taiwan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari PRC. Pemilihan rentang waktu dari 1968 hingga 2016 oleh penulis berdasarkan adanya inkonsistensi yang muncul kembali atas kebijakan pengakuan Gambia untuk Taiwan.
G. Sistematika Penulisan Skripsi ini direncanakan akan terdiri dari empat bab. Bab Pertama akan membahas mengenai setting dari pengkajian isu yang diteliti, latar belakang mengenai isu penelitian dan mengapa penulis memilih dan menilai isu tersebut sebagai isu yang menarik untuk diteliti. Selanjutnya dalam Bab Kedua akan dijelaskan lebih lanjut mengenai inkonsistensi kebijakan pengakuan oleh Gambia terhadap Taiwan. Bab Ketiga penulis akan menguraikan tentang analisis inkonsistensi pengakuan Gambia pada Taiwan
8
dan Cina. Pada Bab Ketiga ini penulis akan menggunakan landasan konseptual recognition, the rational actor model dan reciprocity untuk menganalisis inkonsistensi Gambia tersebut. Skripsi akan diakhiri dengan Bab Empat yang berisi kesimpulan dan inferensi dari hasil temuan penelitian yang penulis dapatkan.
9