BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Mahasiswa sebagai salah satu kaum intelektual banyak menorehkan cerita dalam kehidupan sehari hari. Mulai dari cerita akademik hingga kehidupan kesehariannya yang senantiasa menyedot perhatian dari khalayak umum. Tidak terhitung banyaknya prestasi-prestasi akademik yang dihasilkan oleh kaum kaum intelektual ini, tidak hanya di tingkat nasional bahkan juga di tingkat internasional hingga mampu membawa harum nama bangsa. Namun diantara kisah sukses dalam bidang akademis juga tidak sedikit cerita negatif yang berhasil terkuak dari kalangan mahasiswa, mulai dari catatan kriminal kasus narkoba hingga gaya hidup yang cenderung bebas dan tanpa batas. Tidak sedikit diantaranya yang sudah tidak mengindahkan norma ketimuran dengan memakai kiblat orang barat dalam menyikapi kehidupan sehari hari. Aktifitas seksual yang masih dianggap tabu bagi orang timur tidak lagi dihiraukan, bahkan sudah menjadi rutinitas bagi sebagian kalangan mahasiswa. Tidak hanya norma ketimuran yang mengecam perilaku pergaulan bebas dan seks di luar nikah norma agama pun juga melarang hal yang serupa terjadi pada semua umat manusia. Seperti yang tertulis dalam Surat Al Israa’(17: 32) yang berbunyi : “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. Sudahlah sangat jelas manakala tindakan tersebut tidak lagi bisa diterima baik dalam norma ketimuran ataupun dalam sisi norma agama. Namun pada perkembangannya norma agama ataupun norma sosial pada masyarakat ketimuran tidak lagi diindahkan. Hal ini terbukti dengan beberapa penelitian yang dilakukan para ahli yang menemukan sejumlah angka yang mencengangkan seputar aktivitas amoral atau free sex. Seperti yang telah dibuktikan oleh data penelitian PKBI Jakarta yaitu sebanyak 14,73 % responden dari 2.479 responden melakukan hubungan seks, dengan pacar 74, 89 %, pacaran di rumah 1
61,54 % dan kemudian 40 % tidak menggunakan alat kontrasepsi dan 60 % tidak aman menggunakan lat kontrasepsi. Hal yang serupa juga ditunjukkan oleh data yang telah dihimpun dari beberapa negara berkembang, mengemukakan bahwa 46% remaja putri (14-17 tahun) dan 66,2 % telah melakukan hubungan seksual di luar pernikahan yang sah (Sarwono, 2002). Selain itu sejumlah data yang dihasilkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Balitbang MAP pada beberapa kecamatan di kota Malang dengan jumlah responden 404 siswa mendapatkan sebuah hasil yang mencengangkan bahwa, dari 404 responden, 116 siswa atau 29 persen mengaku pernah berhubungan seks. Dan mayoritas perempuan berhubungan seks dengan pacar, adapun 21 persen dari 116 siswa itu atau sekitar 25 siswa pernah berhubungan seks dengan orang lain (Malang post.com). Angka yang fantastik yang menandai adanya krisis moral dan aqidah saat ini yang mulai meneror generasi penerus bangsa. Dalam situasi apapun tingkah laku seksual tidak menguntungkan sama sekali. Adapun yang dimaksud dengan perilaku seksual adalah segala sesuatu yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini bermacam macam mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri. Sebagian dari tingkah laku seks bebas memang tidak berdampak apapun, terutama jika tidak ada akibat fisik atau sosial yang dapat ditimbulkannya. Tetapi pada sebagian perilaku seksual yang lain, dampaknya bisa cukup serius, seperti perasaan bersalah, depresi, marah, misalnya pada gadis gadis yang terpaksa menggugurkan kandungannya (Sarwono, 2002). Akibat psikososial lainnya adalah ketegangan mental, dan kebingungan akan peran sosial yang tiba-tiba berubah jika seorang gadis tiba-tiba hamil. Juga akan terjadi cemoohan dan penolakan diri masyarakat sekitarnya. Akibat lainnya adalah terganggunya kesehatan dan resiko kehamilan serta kematian bayi yang tinggi. Selain itu juga ada akibat-akibat putus sekolah dan akibat-akibat ekonomis karena
2
diperlukan ongkos perawatan dan lain-lain (Sanderowitz & Paxman, dalam Sarwono 2002). Banyak peneliti yang tertarik dalam menentukan relasi antara kepribadian dan perilaku seksual khususnya, antara kepribadian dan seks yang tidak aman. Hal yang serupa juga dikatakan oleh Freud (dalam Soekatno, 2008) bahwa karakteristik kehidupan seksual manusia dianggap representasi yang sempurna dari kepribadian secara keseluruhan, sedangkan need itu sendiri merupakan representasi kepribadian secara keseluruhan. Sebagai suatu contoh yang paling mendasar, orang ekstrovert lebih berpetualang secara seksual karena mereka mencari stimulasi ekstra. Orang orang ekstrovert cenderung lebih banyak melakukan “ French kissing” dan terlibat dalam berbagai aktivitas seksual yang luas (Friedman & Schustack, 2008). Orang yang memiliki disposisi untuk impulsif cenderung impulsif untuk pengalaman seksualnya. Orang yang kurang terkontrol dan lebih ramah, lebih banyak mengambil resiko seksual. Sebagai contoh, berdasarkan sebuah studi yang dilakukan terhadap para mahasiswa ditemukan bahwa mereka yang cenderung membuat keputusan secara impulsif dan mengambil risiko dalam kehidupan sehari-harinya juga cenderung mengambil risiko dalam perilaku seksualnya. Hal ini benar-benar terlepas dari pemahaman mereka mengenai seks yang aman, dengan demikian mengambil resiko bukan benar-benar merupakan faktor kognitif. Orang-orang semacam ini cenderung lebih ekstrovert, kurang terkekang dan lebih suka melakukan hubungan seks awal dalam relasi, memiliki lebih banyak partner seksual sekaligus, dan cenderung memiliki relasi yang kurang melibatkan komitmen (Friedman & Schustack, 2008). Di samping adanya keterkaitan antara seks dengan kepribadian, juga terdapat keterkaitan antara seks dengan sikap agresi, dimana berdasarkan penelitian yang dilakukan Malamuth 1989 mengemukakan bahwa perilaku seksual pria dengan agresifitas yang tinggi memiliki kecenderungan mendominasi dalam kehidupan kesehariannya terutama dengan lawan jenis yang tentunya hal ini sangat berkaitan sekali dengan kebutuhan untuk mendominasi seperti yang telah dijelaskan oleh Murray (Friedman & Schustack, 2008). Selain keterkaitan seks dengan kepribadian, seks juga merupakan salah satu aspek kebutuhan dalam diri manusia. Menurut Murray (dalam Hall, Lindzey and 3
Campbel, 1998), kebutuhan merupakan dorongan untuk mewujudkan tindakan tertentu. Ada dua macam kebutuhan, yaitu kebutuhan primer atau viskerogenik (viscerogenic needs) dan kebutuhan sekunder atau kebutuhan psikogenik (psychogenic needs). Kebutuhan primer adalah kebutuhan yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa organis tertentu yang secara khas dan secara khusus berkenaan dengan kepuasan-kepuasan fisik, misalnya kebutuhan akan udara, air, makanan, seks, laktasi, kencing dan defekasi. Kebutuhan sekunder merupakan kebutuhan yang dianggap berasal dari kebutuhan-kebutuhan primer dan ditandai oleh tidak adanya hubungan vocal dengan proses-proses organis atau kepuasan fisik khusus sehingga dipandang sebagai kebutuhan murni psikologikal, misalnya kebutuhan akan belajar, konstruksi, prestasi, pengakuan, ekhsibisi, kekuasaan, otonomi, dan kehormatan. Seks merupakan energi psikis, yang ikut mendorong manusia untuk bertingkah laku. Tidak hanya bertingkah laku di bidang seks saja, yaitu melakukan relasi seksual atau bersenggama, akan tetapi juga melakukan kegiatan non seksual. Umpamanya saja berprestasi di bidang ilmiah, seni, melakukan tugas tugas moril, dan lain lain. Sebagai energy psikis, seks merupakan motivasi atau dorongan untuk berbuat/bertingkah laku (Kartono, 2009). Seperti yang dituturkan oleh subyek bahwa perilaku seksual yang dilakukan bersama dengan partnernya juga mempengaruhi dengan secara tidak langsung terhadap aktivitas kesehariannya, menumbuhkan semangat dan juga gairah untuk mengerjakan aktivitas keseharian, terutama dalam menjalani rutinitas akademik. Seakan sudah menjadi sebuah motivasi dalam kesehariannya hingga aktivitas seks dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan akademiknya guna mencapai prestasi yang diinginkan. Berbagai paparan diatas menandakan bahwa setiap kebutuhan pada dasarnya menuntut suatu pemenuhan, Murray mengatakan bahwa tingkah laku individu mengarah pada usaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang muncul. Kebutuhan yang dapat dipenuhi akan membawa individu pada situasi yang menenangkan atau memuaskan. Kebutuhan yang tidak dapat terpenuhi akan membuat individu merasa kecewa atau sakit sehingga mengalami tekanan (Hall, Lindzey, and Campbel 1998). Begitu pula dengan kebutuhan psikologis yang tidak akan muncul begitu saja tapi ada proses yang terjadi sepanjang kehidupan. Kebutuhan psikologis terjadi 4
karena adanya perasaan kekurangan terhadap sesuatu yang disebabkan oleh prosesproses internal dalam diri individu yang disertai keinginan untuk memenuhi tindakan tertentu. Murray mengatakan bahwa suatu kebutuhan pada dasarnya menuntut suatu pemenuhan. Tingkah laku individu akan mengarah pada usaha-usaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang muncul (Alwisol, 2007). Dimana menurut Murray, suatu bagian tingkah laku tidak dapat dipahami terlepas dari semua bagian lainnya dalam pribadi yang berfungsi. Manusia harus dipahami dalam kesatuan pribadi yang utuh. Murray juga menekankan konsistensi pada proses-proses fisiologis yang terjalin secara fungsional yang mengiringi proses psikologis. Murray juga memiliki konsep bahwa ada pusat yang mengorganisir dan mengatur proses dalam diri individu, proses yang fungsinya untuk mengintegrasikan kekuatan yang saling bertentangan yang dihadapi individu, proses yang fungsinya untuk mengintegrasikan kekuatan yang saling bertentangan yang dihadapi individu, memuaskan kebutuhan individu, dan merencanakan pencapaian tujuan individu (Alwisol, 2007). Perilaku seks bebas membawa dampak yang cukup serius dalam kehidupan dewasa ini, norma ketimuran, norma agama yang masih mengecam perilaku seks bebas sudah tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang penting dan lebih jelasnya menimbulkan kemerosotan moral pada pergaulan dewasa ini. Image sebagai negara timur yang masih menganggap tabu tentang pergaulan bebas tidak lagi diindahkan. Betapa sangat memprihatinkan manakala hal ini terus berkelanjutan tanpa adanya penanggulangaan sejak dini. Oleh karena itu mengingat perilaku seksual membawa dampak yang tidak sederhana bagi kelangsungan hidup masyarakat, dan juga keterkaitannya dengan pembenahan moral generasi muda sebagai penerus cita cita bangsa maka sangat dibutuhkan langkah pasti untuk menangani permasalahan dewasa ini. Dilakukannya penelitian ini adalah untuk menganalisa kebutuhan dari pelaku seks bebas, mengingat adanya keterkaitan antara perilaku seksual dengan kepribadian dan juga upaya-upaya pemenuhan kebutuhan. Oleh karena itu maka peneliti tertarik untuk menganalisa kebutuhan pada pelaku seks bebas sebagai langkah awal dimana melalui penelitian ini kebutuhan para pelaku akan dengan jelas dapat diketahui sebagai data untuk menentukan langkah lebih lanjut. 5
A. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang dapat dirumuskan suatu masalah yaitu bagaimanakah kebutuhan para pelaku seks bebas dengan menggunakan EPPS? B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kebutuhan yang dimiliki oleh para pelaku seks bebas dengan menggunakan EPPS. C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini dapat menambah kajian keilmuan dalam kaitannya untuk memperoleh pemahaman, pengembangan teori, dan pengujian secara metodologi mengenai manfaat dari penelitian tentang penggunaan EPPS, khususnya dalam penggunaannya untuk mengetahui kebutuhan para mahasisiswa yang melakukan aktivitas seks bebas. 2. Manfaat Praktis a. Bagi subyek penelitian Penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi untuk mengetahui kebutuhan yang terdapat dalam diri subyek yang melakukan seks bebas sehingga subyek dapat memenuhi kebutuhan dengan baik. b. Bagi masyarakat umum Penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu metode bagi khayalak umum untuk mencegah atau melakukan tindakan preventif seperti terapi keluarga, FGD, ataupun konseling pada komunitas mahasiswa guna menanggulangi permasalahan remaja yang berkaitan dengan perilaku seks bebas.
6